• Tidak ada hasil yang ditemukan

Marginalisasi Perempuan Dalam Industri Dan Pengaruhnya Terhadap Kesejahteraan Keluarga Pekerja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Marginalisasi Perempuan Dalam Industri Dan Pengaruhnya Terhadap Kesejahteraan Keluarga Pekerja"

Copied!
190
0
0

Teks penuh

(1)

KELUARGA PEKERJA

(CV. Mekar Plastik Industri, Kelurahan Cilampeni, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat)

Oleh :

LINDA PRATIWI I34052025

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

industrial factory, which based on four indicators of work condition. There are wage employment, the status of workers, job security, and assurance given by the family company. Inequality gender that occurs between male workers and women in the factory, will be seen again how big the impact on the welfare of his family. Research paper results show that women's access to labourer to get the wages and status of the workers who remain more limited than for mens, which is caused by various factors, such as the high gender stereotypes attached to the labourer and the company. To overcome the problem, required a special break, which is the result of cooperation between stakeholders, such as working together with the agreement between employers and workers .

(3)

LINDA PRATIWI. I34052025. Marginalisasi Perempuan dalam Industri dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan Keluarga Pekerja. CV. Mekar Plastik Industri, Kelurahan Cilampeni, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat. (Di bawah bimbingan WINATI WIGNA)

Munculnya industrialisasi membuka peluang bagi perempuan untuk bekerja di sektor publik terutama dengan bekerja sebagai operator/buruh. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan pun meningkat seiring dengan berkembangnya industrialisasi. Perempuan dapat turut berperan secara ekonomi bekerja menghasilkan materi (uang) untuk kehidupan dirinya maupun keluarganya. Dengan semakin banyak tenaga kerja perempuan memasuki pasar kerja, maka semakin tinggi kualitas hidup perempuan dan keluarganya. Hal ini dapat dilihat dari adanya penambahan kualitas kondisi kerja berupa penghasilan keluarga, dan pemberian jaminan sosial yang diberikan perusahaan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Gambaran positif itu berbeda dengan kenyatan yang telah ada.

Kondisi kerja pekerja perempuan berada di posisi yang terpinggirkan/ termarjinalisasikan dibandingkan pekerja laki-laki. Kondisi seperti itu menggambarkan kurangnya pemahaman pekerja laki-laki dan perempuan tentang keadilan/kesetaraan gender dalam industri. Jenis kelamin merupakan pembeda utama yang mendasari perbedaan kondisi kerja pekerja di pabrik. Oleh karena itu, penelitian mengenai kondisi kerja pekerja dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga pekerja, khususnya pekerja perempuan menjadi suatu hal yang penting dan menarik untuk dikaji dan dibuktikan.

Adapun tujuan penelitian ini adalah (1) menggambarkan kondisi kerja pekerja laki-laki dan perempuan di pabrik, (2) mengidentifikasi faktor- faktor yang mempengaruhi kondisi kerja pekerja, (3) menganalisis hubungan kondisi kerja terhadap kesejahteraan keluarga pekerja, dan (4) mendeskripsikan faktor lain yang turut mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga pekerja tersebut.

(4)

dilakukan di CV. Mekar Plastik Industri, Kelurahan Cilampeni, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat yang ditentukan secara purposive dengan cara memilih daerah yang mempunyai sentra/kelompok industri. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni hingga Juli 2009.

Kondisi kerja pekerja CV. Mekar Plastik secara umum dikatakan belum baik. Terdapat perbedaan kondisi kerja pekerja berdasarkan jenis kelamin pekerja, seperti dalam hal pembagian kerja secara seksual, status pekerja, pengupahan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga. Perempuan ditempatkan pada bagian packing dan laki-laki pada bagian mesin. Sebagian besar pekerja di CV. Mekar Plastik Industri berstatus pekerja tetap, namun tampak bahwa jumlah pekerja laki-laki berstatus tetap lebih banyak dibandingkan perempuan. Dalam hal upah, CV. Mekar Plastik Industri memberikan besar upah yang sama kepada pekerja laki-laki dan pekerja perempuan yang berstatus pekerja tetap, namun untuk pekerja harian lepas, upah pekerja laki-laki lebih tinggi daripada pekerja perempuan.

CV. Mekar Plastik Industri memberikan jaminan kerja yang cukup baik, namun pekerja laki-laki mendapatkan jaminan kerja yang lebih banyak dibandingkan pekerja perempuan. Sama halnya seperti jaminan kerja, pekerja laki-laki mendapatkan jaminan keluarga lebih banyak dibandingkan dengan pekerja perempuan. Hal ini disebabkan adanya kebijakan perusahaan yang menganggap bahwa laki-laki memiliki jenis pekerjaan yang lebih berat dan memiliki tanggungan hidup yang banyak sehingga upahnya lebih tinggi dibandingkan perempuan.

(5)

pendidikan anak, pola konsumsi, dan kepemilikan aset. Setelah melalui pengujian, ternyata kesejahteraan keluarga pekerja tidak memiliki hubungan dengan kondisi kerja, namun ada faktor lain yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga tersebut, yaitu pendapatan total keluarga dan jumlah tanggungan keluarga.

Keadaan infrastruktur perumahan keluarga pekerja CV. Mekar Plastik Industri belum baik. Sebagian besar perumahan yang berkondisi baik dimiliki oleh keluarga pekerja perempuan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar pekerja perempuan memiliki suami yang juga bekerja sehingga pendapatan mereka bertambah untuk memperbaiki keadaan infrastruktur perumahan mereka.

Kondisi kesehatan keluarga pekerja CV. Mekar Plastik Industri sudah baik karena terdapat perbaikan kesehatan pekerja yang didukung perusahaan dengan memberikan fasilitas pelayanan kesehatan dasar di POLIKLINIK BINA SEHAT yang dapat diakses oleh pekerja laki-laki beserta istri dan anaknya, namun tidak untuk suami atau anak dari pekerja perempuan.

Pola konsumsi keluarga pekerja CV. Mekar Plastik Industri belum baik karena sebagian besar keluarga baik pekerja laki-laki maupun pekerja perempuan memiliki pola konsumsi makanan yang lebih tinggi daripada konsumsi non makanannya. Kepemilikan aset adalah banyaknya jumlah barang berharga yang dimiliki sebuah keluarga seperti televisi, kulkas, komputer, parabola, handphone, DVD/VCD player dan kendaraan bermotor (sepeda motor), kipas angin, telepon, rice cooker, radiotape, setrika. Kepemilikan aset keluarga pekerja perempuan CV. Mekar Plastik Industri lebih tinggi dibandingkan keluarga pekerja laki-laki. Hal ini disebabkan adanya uang tambahan untuk membeli barang tersebut dari suami yang bekerja, sedangkan sebagian besar pekerja laki-laki jarang sekali yang memiliki istri yang juga bekerja mencari nafkah keluarga, sehingga uang mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan saja.

(6)

faktor inilah yang dianggap berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kesejahteraan keluarga pekerja.

Secara umum, tingkat pendapatan total keluarga CV. Mekar Plastik Industri sudah tinggi. Tingkat pendapatan total keluarga pekerja perempuan CV. Mekar Plastik Industri yang tinggi lebih banyak dibandingkan dengan total pendapatan total keluarga pekerja laki. Keadaan seperti ini sangat berlawanan, namun logis karena hampir semua pekerja perempuan juga mendapatkan pendapatan tambahan dari suaminya yang bekerja. Keluarga pekerja CV. Mekar Plastik Industri sebagian besar memiliki jumlah tanggungan keluarga yang banyak. Berdasarkan Uji Korelasi Spearman jumlah tanggungan keluarga memiliki hubungan yang erat dengan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja, berarti semakin sedikit jumlah tanggungan keluarga, maka semakin baik tingkat kesejahteraan keluarga pekerja tersebut. Berdasarkan fakta dan data yang ada di lapangan, dapat disimpulkan bahwa kondisi kerja pekerja dalam perusahaan belum dapat memberikan kesejahteraan yang berarti bagi keluarga pekerja, khususnya pekerja perempuan

(7)

KELUARGA PEKERJA

(CV. Mekar Plastik Industri, Kelurahan Cilampeni, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat)

Oleh :

LINDA PRATIWI I34052025

Skripsi Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakatr

Pada

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

MASYARAKAT

Judul : Marginalisasi Perempuan dalam Industri dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan Keluarga Pekerja (CV. Mekar Plastik Industri, Kelurahan Cilampeni, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat)

Nama Mahasiswa : Linda Pratiwi Nomor Mahasiswa : I34052025

Major : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Dra. Winati Wigna, MDS

NIP. 131284835

Mengetahui,

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Ketua

Dr.Ir. Lala M. Kolopaking, MS

NIP. 19580827 1983031 001

(9)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESEJAHTERAAN KELUARGA PEKERJA (CV. MEKAR PLASTIK INDUSTRI, KELURAHAN CILAMPENI, KECAMATAN KATAPANG, KABUPATEN BANDUNG, PROPINSI JAWA BARAT).” BELUM PERNAH DIAJUKAN ADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK/LEMBAGA LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, September 2009

Linda Pratiwi

(10)

Penulis bernama Linda Pratiwi dilahirkan di Bekasi pada tanggal 11 Juni 1987. Penulis adalah anak kedua dan terakhir dari pasangan suami istri Syamharso dan Srinuryati. Pendidikan pertama sekolah dasar ditempuh penulis di SD. Santa Maria Monica Bekasi pada tahun 1993-1999, kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 2 Bekasi pada tahun 1999-2002, dan SMA Negeri 1 Bekasi pada tahun 2002-2005.

(11)

KELUARGA PEKERJA

(CV. Mekar Plastik Industri, Kelurahan Cilampeni, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat)

Oleh :

LINDA PRATIWI I34052025

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

industrial factory, which based on four indicators of work condition. There are wage employment, the status of workers, job security, and assurance given by the family company. Inequality gender that occurs between male workers and women in the factory, will be seen again how big the impact on the welfare of his family. Research paper results show that women's access to labourer to get the wages and status of the workers who remain more limited than for mens, which is caused by various factors, such as the high gender stereotypes attached to the labourer and the company. To overcome the problem, required a special break, which is the result of cooperation between stakeholders, such as working together with the agreement between employers and workers .

(13)

LINDA PRATIWI. I34052025. Marginalisasi Perempuan dalam Industri dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan Keluarga Pekerja. CV. Mekar Plastik Industri, Kelurahan Cilampeni, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat. (Di bawah bimbingan WINATI WIGNA)

Munculnya industrialisasi membuka peluang bagi perempuan untuk bekerja di sektor publik terutama dengan bekerja sebagai operator/buruh. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan pun meningkat seiring dengan berkembangnya industrialisasi. Perempuan dapat turut berperan secara ekonomi bekerja menghasilkan materi (uang) untuk kehidupan dirinya maupun keluarganya. Dengan semakin banyak tenaga kerja perempuan memasuki pasar kerja, maka semakin tinggi kualitas hidup perempuan dan keluarganya. Hal ini dapat dilihat dari adanya penambahan kualitas kondisi kerja berupa penghasilan keluarga, dan pemberian jaminan sosial yang diberikan perusahaan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Gambaran positif itu berbeda dengan kenyatan yang telah ada.

Kondisi kerja pekerja perempuan berada di posisi yang terpinggirkan/ termarjinalisasikan dibandingkan pekerja laki-laki. Kondisi seperti itu menggambarkan kurangnya pemahaman pekerja laki-laki dan perempuan tentang keadilan/kesetaraan gender dalam industri. Jenis kelamin merupakan pembeda utama yang mendasari perbedaan kondisi kerja pekerja di pabrik. Oleh karena itu, penelitian mengenai kondisi kerja pekerja dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga pekerja, khususnya pekerja perempuan menjadi suatu hal yang penting dan menarik untuk dikaji dan dibuktikan.

Adapun tujuan penelitian ini adalah (1) menggambarkan kondisi kerja pekerja laki-laki dan perempuan di pabrik, (2) mengidentifikasi faktor- faktor yang mempengaruhi kondisi kerja pekerja, (3) menganalisis hubungan kondisi kerja terhadap kesejahteraan keluarga pekerja, dan (4) mendeskripsikan faktor lain yang turut mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga pekerja tersebut.

(14)

dilakukan di CV. Mekar Plastik Industri, Kelurahan Cilampeni, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat yang ditentukan secara purposive dengan cara memilih daerah yang mempunyai sentra/kelompok industri. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni hingga Juli 2009.

Kondisi kerja pekerja CV. Mekar Plastik secara umum dikatakan belum baik. Terdapat perbedaan kondisi kerja pekerja berdasarkan jenis kelamin pekerja, seperti dalam hal pembagian kerja secara seksual, status pekerja, pengupahan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga. Perempuan ditempatkan pada bagian packing dan laki-laki pada bagian mesin. Sebagian besar pekerja di CV. Mekar Plastik Industri berstatus pekerja tetap, namun tampak bahwa jumlah pekerja laki-laki berstatus tetap lebih banyak dibandingkan perempuan. Dalam hal upah, CV. Mekar Plastik Industri memberikan besar upah yang sama kepada pekerja laki-laki dan pekerja perempuan yang berstatus pekerja tetap, namun untuk pekerja harian lepas, upah pekerja laki-laki lebih tinggi daripada pekerja perempuan.

CV. Mekar Plastik Industri memberikan jaminan kerja yang cukup baik, namun pekerja laki-laki mendapatkan jaminan kerja yang lebih banyak dibandingkan pekerja perempuan. Sama halnya seperti jaminan kerja, pekerja laki-laki mendapatkan jaminan keluarga lebih banyak dibandingkan dengan pekerja perempuan. Hal ini disebabkan adanya kebijakan perusahaan yang menganggap bahwa laki-laki memiliki jenis pekerjaan yang lebih berat dan memiliki tanggungan hidup yang banyak sehingga upahnya lebih tinggi dibandingkan perempuan.

(15)

pendidikan anak, pola konsumsi, dan kepemilikan aset. Setelah melalui pengujian, ternyata kesejahteraan keluarga pekerja tidak memiliki hubungan dengan kondisi kerja, namun ada faktor lain yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga tersebut, yaitu pendapatan total keluarga dan jumlah tanggungan keluarga.

Keadaan infrastruktur perumahan keluarga pekerja CV. Mekar Plastik Industri belum baik. Sebagian besar perumahan yang berkondisi baik dimiliki oleh keluarga pekerja perempuan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar pekerja perempuan memiliki suami yang juga bekerja sehingga pendapatan mereka bertambah untuk memperbaiki keadaan infrastruktur perumahan mereka.

Kondisi kesehatan keluarga pekerja CV. Mekar Plastik Industri sudah baik karena terdapat perbaikan kesehatan pekerja yang didukung perusahaan dengan memberikan fasilitas pelayanan kesehatan dasar di POLIKLINIK BINA SEHAT yang dapat diakses oleh pekerja laki-laki beserta istri dan anaknya, namun tidak untuk suami atau anak dari pekerja perempuan.

Pola konsumsi keluarga pekerja CV. Mekar Plastik Industri belum baik karena sebagian besar keluarga baik pekerja laki-laki maupun pekerja perempuan memiliki pola konsumsi makanan yang lebih tinggi daripada konsumsi non makanannya. Kepemilikan aset adalah banyaknya jumlah barang berharga yang dimiliki sebuah keluarga seperti televisi, kulkas, komputer, parabola, handphone, DVD/VCD player dan kendaraan bermotor (sepeda motor), kipas angin, telepon, rice cooker, radiotape, setrika. Kepemilikan aset keluarga pekerja perempuan CV. Mekar Plastik Industri lebih tinggi dibandingkan keluarga pekerja laki-laki. Hal ini disebabkan adanya uang tambahan untuk membeli barang tersebut dari suami yang bekerja, sedangkan sebagian besar pekerja laki-laki jarang sekali yang memiliki istri yang juga bekerja mencari nafkah keluarga, sehingga uang mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan saja.

(16)

faktor inilah yang dianggap berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kesejahteraan keluarga pekerja.

Secara umum, tingkat pendapatan total keluarga CV. Mekar Plastik Industri sudah tinggi. Tingkat pendapatan total keluarga pekerja perempuan CV. Mekar Plastik Industri yang tinggi lebih banyak dibandingkan dengan total pendapatan total keluarga pekerja laki. Keadaan seperti ini sangat berlawanan, namun logis karena hampir semua pekerja perempuan juga mendapatkan pendapatan tambahan dari suaminya yang bekerja. Keluarga pekerja CV. Mekar Plastik Industri sebagian besar memiliki jumlah tanggungan keluarga yang banyak. Berdasarkan Uji Korelasi Spearman jumlah tanggungan keluarga memiliki hubungan yang erat dengan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja, berarti semakin sedikit jumlah tanggungan keluarga, maka semakin baik tingkat kesejahteraan keluarga pekerja tersebut. Berdasarkan fakta dan data yang ada di lapangan, dapat disimpulkan bahwa kondisi kerja pekerja dalam perusahaan belum dapat memberikan kesejahteraan yang berarti bagi keluarga pekerja, khususnya pekerja perempuan

(17)

KELUARGA PEKERJA

(CV. Mekar Plastik Industri, Kelurahan Cilampeni, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat)

Oleh :

LINDA PRATIWI I34052025

Skripsi Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakatr

Pada

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(18)

MASYARAKAT

Judul : Marginalisasi Perempuan dalam Industri dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan Keluarga Pekerja (CV. Mekar Plastik Industri, Kelurahan Cilampeni, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat)

Nama Mahasiswa : Linda Pratiwi Nomor Mahasiswa : I34052025

Major : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Dra. Winati Wigna, MDS

NIP. 131284835

Mengetahui,

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Ketua

Dr.Ir. Lala M. Kolopaking, MS

NIP. 19580827 1983031 001

(19)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESEJAHTERAAN KELUARGA PEKERJA (CV. MEKAR PLASTIK INDUSTRI, KELURAHAN CILAMPENI, KECAMATAN KATAPANG, KABUPATEN BANDUNG, PROPINSI JAWA BARAT).” BELUM PERNAH DIAJUKAN ADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK/LEMBAGA LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, September 2009

Linda Pratiwi

(20)

Penulis bernama Linda Pratiwi dilahirkan di Bekasi pada tanggal 11 Juni 1987. Penulis adalah anak kedua dan terakhir dari pasangan suami istri Syamharso dan Srinuryati. Pendidikan pertama sekolah dasar ditempuh penulis di SD. Santa Maria Monica Bekasi pada tahun 1993-1999, kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 2 Bekasi pada tahun 1999-2002, dan SMA Negeri 1 Bekasi pada tahun 2002-2005.

(21)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Marginalisasi Perempuan dalm Industri dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan Keluarga Pekerja (CV. Mekar Plastik Industri, Kelurahan Cilampeni, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat)”. Skripsi ini merupakan syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini menjelaskan kondisi kerja pekerja laki-laki dan perempuan yang bekerja di CV. Mekar Plastik Industri. Kondisi kerja yang diteliti berdasarkan pembagian kerja secara seksual, status pekerja, pengupahan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga yang diperoleh pekerja. Skripsi ini juga melihat faktor apa saja yang mempengaruhi kondisi kerja tersebut. Kemudian skripsi ini membahas mengenai pengaruh kondisi kerja pekerja pabrik terhadap kesejahteraan keluarganya yang diukur dengan variabel kondisi infrastruktur perumahan, kesehatan, pendidikan anak, pola konsumsi makanan, dan kepemilikan aset keluarga pekerja. Selain itu, skripsi ini juga akan melihat faktor lain yang turut mempengaruhi tingakt kesejahteraan keluarga pekerja karyawan, selain kondisi kerja, seperti pendapatan total keluarga dan jumlah tanggungan keluarga pekerja.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya dan penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

Bogor, September 2009

(22)

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi, terutama kepada :

1. Ibu Dra. Winati Wigna, MDS., selaku dosen pembimbing skripsi, atas segala bantuan, bimbingan, koreksi, pemikiran dan sarannya serta kesabarannya dalam penyusunan dan perbaikannya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

2. Keluarga tercinta (Papa, Mama, Mas-masku, dan Keponakanku Raissa) yang selalu setia menemani dengan motivasi, semangat, doa, perhatian dan kasih sayangnya yang begitu besar.

3. Pak Hendra, Pak Endang, dan Pak Iyak dari Disnaker Kabupaten Bandung, Pak Ade RT 02 Cilampeni dan keluarga yang membantu dalam proses penelitian, terima kasih atas pendampingannya.

4. Freddy Munandar yang telah memberikan semangat, motivasi, perhatian, kesabaran dalam menghadapi kejenuhan dan amarah aku, dan kesetiaan saat seneng dan susah selama ini. Terima kasih atas doa, waktu, dan kasih sayangnya untuk menemani aku sampai skripsi ini selesai dan aku dapat kerja.

5. Sahabatku, Nono, Ghea, Tari, Dilla, dan Icha atas semangat dan dukungannya, dan semua cerita yang pernah dilalui bersama sampai saat ini.

6. Teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih untuk kerjasamanya selama ini.

7. Semua pihak yang telah memberikan dorongan, doa, semangat, bantuan dan kerjasamanya selama ini sehingga memberikan warna dalam hidup penulis.

Bogor, September 2009

(23)

DAFTAR ISI...

vii

DAFTAR TABEL ...

ix

DAFTAR GAMBAR ...

xi

BAB I

PENDAHULUAN ...

1

1.1

Latar Belakang ...

1

1.2

Perumusan Masalah ...

4

1.3

Tujuan Penelitian ...

4

1.4

Kegunaan Penelitian ...

5

BAB II TINJAUAN TEORITIS ...

6

2.1 Tinjauan Pustaka ...

6

2.1.1 Konsep Gender ...

6

2.1.2 Karakteristik Tenaga Kerja Perempuan ...

8

2.1.3 Pembagian Kerja dan Kondisi Kerja...

10

2.1.4 Isu-isu Ketimpangan Gender dalam Sistem Kerja ...

12

2.1.5 Penyebab Ketimpangan Gender ... 15

2.1.6 Kesejahteraan Keluarga ... 17

2.2 Kerangka Pemikiran... 20

2.3 Hipotesis ... 21

2.4 Definisi Operasional ... 22

BAB III METODE PENELITIAN ...

29

3.1

Metodologi Penelitian ...

29

3.2

Lokasi dan Waktu Penelitian ...

29

3.3

Teknik Pengumpulan Data ...

29

(24)

4.2

Kondisi Kerja Pekerja CV. Mekar Plastik Industri ...

32

BAB V KONDISI KERJA PEKERJA CV. MEKAR PLASTIK INDUSTRI

37

5.1

Pembagian Kerja secara Seksual ...

37

5.2

Status Pekerja ...

39

5.3

Pengupahan ...

40

5.4

Jaminan Kerja ...

43

5.5

Jaminan Keluarga...

45

BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONDISI KERJA

49

PEKERJA CV. MEKAR PLASTIK INDUSTRI ...

6.1

Stereotip Gender dan Pembagian Kerja secara Seksual ...

51

6.2

Kurangnya Pemahaman Pekerja terhadap Peraturan Perusahaan ...

56

BAB VII KESEJAHTERAAN KELUARGA PEKERJA CV. MEKAR

PLASTIK INDUSTRI ...

59

7.1

Perumahan...

59

7.2

Kesehatan ...

60

7.3

Pendidikan Anak ...

62

7.4

Pola Konsumsi ...

64

7.5

Kepemilikan Aset...

65

7.6

Hubungan Kondisi Kerja dan Tingkat Kesejahteraan Keluarga ...

67

7.7

Pendapatan Total Keluarga ...

68

7.8

Jumlah Tanggungan Keluarga ...

69

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN

8.1 Kesimpulan ...

73

8.2 Saran ...

75

DAFTAR PUSTAKA ...

77

(25)

Tabel 1.

Perbedaan Seks dan Gender ...7

Tabel 2.

Diferensiasi Upah Pekerja menurut Jenis Kelamin, Jakarta, 1992 ...14

Tabel 3.

Jumlah dan Persentase Pekerja Berdasarkan Status Pekerja, Jenis Kelamin,

dan Kewarganegaraan, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 ...32

Tabel 4.

Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Jenis

Pekerjaan, CV. Mekar Plastik Industri, 2009...38

Tabel 5.

Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Status

Pekerja, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 ...40

Tabel 6.

Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Upah,

CV. Mekar Plastik Industri, 2009 ...41

Tabel 7.

Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Status

Pekerja, dan Upah, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 ...42

Tabel 8.

Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Jaminan

Kerja, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 ...43

Tabel 9.

Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Status

Pekerja, dan Jaminan Kerja, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 ...44

Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Jaminan

Keluarga, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 ...47

Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Status Pekerja,

dan Jaminan Keluarga, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 ...47

Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Jenis

Pekerjaan, dan Stereotip Gender, CV.Mekar Plastik Industri, 2009 ...52

Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Jenis

Pekerjaan, dan Status Kerja, CV.Mekar Plastik Industri, 2009 ...53

Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Status Kerja,

dan Kondisi Kerja, CV.Mekar Plastik Industri, 2009 ...54

Tabel 15. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Tingkat

Pemahaman Pekerja Terhadap Peraturan Perusahaan, dan Kondisi Kerja,

(26)

Perumahan,

dan

Tingkat

Kesejahteraan,

CV.Mekar Plastik Industri, 2009 ...60

Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Kesehatan

Keluarga, dan Tingkat Kesejahteraan, CV.Mekar Plastik Industri, 2009 ...61

Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Pendidikan

Anak, dan Tingkat Kesejahteraan, CV.Mekar Plastik Industri, 2009 ...62

Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Pola

Konsumsi, dan Tingkat Kesejahteraan, CV.Mekar Plastik Industri, 2009 ...64

Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Kepemilikan

Aset, dan Tingkat Kesejahteraan, CV.Mekar Plastik Industri, 2009 ...66

Tabel 21. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Kerja dan

Kesejahteraan

Keluarga

Pekerja, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 ...67

Tabel 22. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Pendapatan

Total Keluarga dan Kesejahteraan Keluarga Pekerja, CV. Mekar Plastik

Industri,

2009

...68

Tabel 23. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan

Keluarga dan Kesejahteraan Keluarga Pekerja, CV. Mekar Plastik

(27)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran ...21

(28)

1.1 Latar Belakang

Perempuan karir, dalam segala levelnya, kian hari kian mewabah. Dari posisi pucuk pimpinan negara, top executive, hingga kondektur bus bahkan tukang becak. Hingga kini boleh dibilang nyaris tidak ada jenis profesi yang belum terambah perempuan. Perempuan telah meninggalkan kehidupannya yang khas pada era agraris. Pada era tersebut dia adalah makhluk rumah sejat, mengasuh anak-anaknya dengan setia, dan berperan serta dalam perekonomian keluarga dengan aktivitas di ladang-ladang tradisional sekitar rumahnya. Seiring terjadinya perubahan struktur perekonomian nasional yang mengarah pada industrialisasi, peran perempuan mengalami perubahan. Perempuan pun berbaur dengan laki-laki memasuki dunia publik untuk menjadi pekerja (sebagai faktor produksi).

Menurut Tjandraningsih (1999), meskipun di sektor publik adalah domain laki-laki, namun tidak dapat disangkal keterlibatan perempuan di sektor tersebut menunjukkan kecenderungan meningkat meskipun secara absolut tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan masih lebih rendah dibandingkan laki-laki, namun secara relatif tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan meningkat lebih cepat dibandingkan laki-laki.

(29)

Dengan semakin banyak tenaga kerja perempuan memasuki pasar kerja, maka semakin tinggi kualitas hidup perempuan dan keluarganya. Hal ini dapat dilihat dari adanya penambahan penghasilan keluarga, dan pemberian jaminan sosial yang diberikan perusahaan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya, namun dugaan ini masih perlu pembuktian (Widanti, 2005).

Beberapa dari hasil penelitian ditemukan bahwa keterlibatan perempuan menjadi tenaga kerja di sektor industri atau pabrik, tak lepas dari berbagai tindakan diskriminatif yang terjadi di lingkungan tempat mereka bekerja. Perempuan masih dianggap sebagai tenaga kerja nomor dua (sekunder) dan upah tenaga kerja perempuan diperlakukan diskriminatif dengan laki-laki, dilihat dari resiko serta beban kerjanya (Suyanto dan Hendrarso, 1996 dalam Safitri, 2006). Kondisi kerja seperti itu menggambarkan kurangnya pemahaman pekerja laki-laki dan perempuan tentang keadilan/kesetaraan gender dalam industri.

Gender diartikan sebagai konstruksi sosial budaya yang membedakan karakteristik maskulin dan feminin. Gender berbeda dengan seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis. Pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin hanya menunjuk pada perbedaan biologis semata. Perbedaan secara biologis ini tidak dapat memasukkan dinamika sosial budaya yang sangat bervariasi antar struktur sosial masyarakat. Gender merupakan pembedaan laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang membentuk identitas laki-laki dan perempuan serta pola perilaku dan kegiatan yang menyertainya. Pengertian gender ini memberikan ruang yang sangat dominan terhadap dinamika sosial budaya masyarakat untuk turut mempengaruhi pembedaan peran laki-laki dan perempuan.

(30)

pekerja yang mampu memenuhi kebutuhan bagi dirinya sendiri dengan cara mengaktualisasikan diri, dibuktikan dengan meningkatnya pendapatan keluarga).

Menurut Sajogyo (1983), yang menjadi masalah perempuan dalam masyarakat yang sedang berkembang adalah tingginya perbedaan imbalan dan penghargaan yang diterima antara tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja perempuan. Tenaga kerja perempuan masih dipandang hanya sebagai pelengkap dari tenaga kerja laki-laki, dan karena itu imbalan upah yang harus mereka terima menjadi lebih kecil dari upah atau nafkah pekerja laki-laki. Apalagi, jika kenyataan menunjukkan bahwa dalam hal pendidikan dan keterampilan, tenaga kerja perempuan masih sangat terbelakang, meskipun sebenarnya bila diberikan kesempatan yang sama tidak sedikit pekerja perempuan yang mampu berprestasi dengan kaum laki-laki.

Dengan semakin meningkatnya keterlibatan perempuan bekerja di sektor publik tersebut, dan tidak terlepas dari berbagai faktor dan pertimbangan, muncul permasalahan-permasalahan yang dianggap menyudutkan dan merugikan perempuan. Perempuan selalu ditempatkan dan diperlakukan tidak sama dengan laki-laki. Permasalahan yang sudah umum terjadi antara lain adanya terjadinya ketimpangan gender, seperti marginalisasi dalam kesempatan kerja, pembagian kerja, dan pemberian upah kerja yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Seiring dengan perkembangan masalah tersebut, Pemerintah menetapkan UU No 7 tahun 1984 pada tanggal 24 Juli 1984, tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan untuk memberikan perlindungan pada perempuan agar perempuan memiliki akses dan kontrol terhadap berbagai sumber daya dan meningkatkan keterampilan. Hal ini perlu diperhatikan karena peningkatan peranan perempuan di dalam berbagai sektor publik semakin meluas dan agar keterlibatan ini tidak mengakibatkan ketimpangan gender.

(31)

bias gender, hal tersebut menjadi penghambat perempuan untuk dapat menunjukkan kemampuannya melakukan pekerjaan tersebut. Inilah fenomena masyarakat, yang meskipun semakin berkembang namun pandangan umum tentang perempuan bekerja masih terjadi bias gender dalam memandang dan memperlakukan perempuan.

Bias gender tersebut kemudian memunculkan masalah yang berkaitan dengan tingkat partisipasi perempuan bekerja dalam sektor publik. Hal itu merupakan salah satu penyebab terjadinya ketimpangan atau ketidakadilan gender antara pekerja laki-laki dan perempuan yang kemudian akan mempengaruhi kondisi kerja pekerja itu sendiri. Jika sudah terkait dengan kondisi kerja, maka itu juga akan terkait dengan seberapa besar tingkat kesejahteraannya. Sehubungan dengan hal itu, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang kondisi kerja pekerja perempuan dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan keluarga.

1.2 Perumusan Masalah

Untuk memahami realitas dari kondisi ketimpangan gender yang terjadi pada pekerja perempuan maka ada beberapa pertanyaan spesifik, yaitu :

1. Bagaimana kondisi kerja pekerja CV. Mekar Plastik Industri? 2. Faktor apa saja yang mempengaruhi kondisi kerja tersebut?

3. Bagaimana hubungan kondisi kerja pekerja perempuan terhadap tingkat

kesejahteraan keluarganya?

4. Selain kondisi kerja, faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat

kesejahteraan keluarga pekerja CV. Mekar Plastik Industri?

1.3 Tujuan Penelitian

(32)

1. 4 Kegunaan Penelitian

(33)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Konsep Gender

Konsep gender hingga saat ini telah dirumuskan dan dijabarkan oleh banyak pihak. Salah satu konsep yang berbicara mengenai definisi gender diungkapkan oleh Fakih (2004), adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan satu sama lain dan berubah dari waktu ke waktu. Artinya laki-laki bisa saja memiliki sifat yang dianggap sifat perempuan, sebaliknya perempuan bisa juga memiliki sifat yang dianggap sifat laki-laki (Fakih, 2004). Jadi, dapat disimpulkan bahwa konsep gender di sini dapat mengakibatkan munculnya bias gender yang akan berujung pada berkembangnya masalah ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan.

Definisi lainnya menurut Dirjen Peranan Perempuan (1998) dalam Rohmah (2006), adalah konsep hubungan sosial yang membedakan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan. Konsep gender berbeda dengan seks. Seks sama dengan jenis kelamin yaitu persifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis. Misalnya laki-laki memiliki penis, memiliki jakala dan memproduksi sperma, sebaliknya perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat yang dimiliki oleh masing-masing jenis kelamin tersebut melekat pada laki-laki dan perempuan secara permanen, sehingga tidak berubah dan tidak bisa dipertukarkan karena sudah merupakan ketentuan Tuhan yang dikatakan sebagai kodrat Tuhan.

(34)

antara laki-laki dan perempuan. Salah satu yang paling menyokong perbedaan gender adalah pembagian dunia ke dalam wilayah publik dan privat (domestik). Wilayah publik, yang terdiri atas pranata publik, negara, pemerintahan, pendidikan, media, dunia bisnis, kegiatan perusahaan, perbankan, agama, dan kultur, hampir semua didominasi oleh laki-laki meskipun ada perempuan yang memasuki wilayah publik, namun akses dan kontrol lebih rendah daripada laki-laki (Widanti, 2005).

Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena antar keduanya terdapat perbedaan biologi atau kodrat, tetapi dibedakan atau dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi, dan peranannya masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan. Untuk memperjelas konsep seks dan gender dapat diperhatikan melalui Tabel 1 adanya kenyataan bahwa laki-laki secara biologis berbeda dengan perempuan tidak ada perbedaan pendapat, akan tetapi efek perbedaan biologis terhadap perilaku manusia khususnya dalam perbedaan relasi gender, menimbulkan banyak perbedaan.

Tabel 1. Perbedaan Seks dan Gender

No. Karakteristik Seks Gender

1 Sumber pembeda

Tuhan Manusia (masyarakat)

2 Visi, misi Kesetaraan Kebiasaan

3 Unsur pembeda

Biologis (alat reproduksi) Kebudayaan (tingkah laku)

4 Sifat Kodrat, tertentu, tidak dapat dipertukarkan

Harkat, martabat dapat dipertukarkan

5 Dampak Terciptanya nilai-nilai: kesempurnaan, kenikmatan, kedamaian, dll, sehingga menguntungkan kedua belah pihak

Terciptanya norma-norma/ ketentuan tentang ”pantas” atau ”tidak pantas”. Laki-laki pantas jadi pemimpin, perempuan pantas dipimpin, dll, sering merugikan salah stau pihak, kebetulan adalah perempuan

6 Keberlakuan Sepanjang masa, dimana saja, tidak mengenal pembedaan kelas

Dapat berubah, musiman dan berbeda antara kelas

[image:34.612.133.512.414.677.2]
(35)

Berdasarkan konsep gender yang telah diuraikan pada Tabel 1, dapat disimpulkan bahwa masing-masing konsep memiliki tujuan yang secara umum dapat dikatakan sama, yaitu untuk menunjukkan adanya perbedaan antara konsep gender dengan konsep seks. Terdapat perbedaan dalam menjelaskan konsep, karena masing-masing konsep memiliki konteks yang berbeda. Pada konsep yang dijelaskan Fakih (2004), bahwa kedudukan laki-laki berada pada tingkat yang lebih kuat daripada perempuan, sehingga peran laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. Hal tersebut sependapat dengan Widanti (2005) yang menjelaskan bahwa salah satu yang paling menyokong perbedaan gender adalah pembagian dunia ke dalam wilayah publik yang hampir semua didominasi oleh laki-laki, meskipun ada perempuan yang memasuki wilayah publik, namun akses dan kontrol lebih rendah daripada laki-laki.

2.1.2 Karakteristik Tenaga Kerja Perempuan

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, telah dijelaskan tentang konsep gender dan isu-isu ketimpangan gender yang menimpa tenaga kerja perempuan. Untuk lebih mendalami penelitian selanjutnya, kita juga harus tahu pengertian dari tenaga kerja perempuan itu sendiri, khususnya yang bekerja sebagai pekerja. Pekerja adalah seseorang yang bekerja dan mendapatkan sejumlah upah dari pengusaha (Semaoen, 2000). Pekerja terbagi ke dalam dua kategori, yaitu pekerja tetap dan pekerja lepas. Pekerja perempuan banyak yang menempati posisi sebagai operator yang berstatus pekerja lepas. Posisi tersebut merupakan posisi paling bawah. Pekerjaan perempuan dalam perusahaan bertugas menjalankan mesin-mesin produksi yang memiliki tingkat risiko kecelakaan paling tinggi, namun memiliki upah rendah.

(36)

Dari segi ekonomi mereka memiliki pendapatan ekonomi yang lemah dan berpendidikan rendah. Perempuan yang bekerja di pabrik, biasanya masih berusia muda dan belum menikah. Pekerja yang sudah tua biasanya di PHK dengan alasan pabrik sedang mengalami krisis dan tidak mampu membayar pekerja (Tjandraningssih, 1999). Pekerja perempuan memiliki upah yang sama dengan laki-laki, yang berbeda adalah kesempatan dalam memperoleh upah yang lebih tinggi (Hutagalung, et al., 1992). Masih dalam topik yang sama, ada juga pernyataan lain seperti menurut Widanti (2005), upah yang diterima oleh perempuan lebih rendah daripada upah yang diterima laki-laki atas pekerjaan yang sama. Strategi pengupahan yang ditetapkan oleh pabrik dapat berbeda satu sama lain, namun seperti yang telah dijelaskan oleh pendapat yang pertama, bahwa upah bisa saja sama atas pekerjaan yang sama, namun kesempatan dalam memperoleh upah dapat saja berbeda. Dalam hal ini pekerja perempuan sering mempunyai kesempatan yang lebih rendah daripada laki-laki. Bahkan tidak jarang perempuan ditempatkan pada posisi yang kasar dan dengan risiko yang tinggi. Dari segi karakteristik individu, pekerja perempuan sering distereotipkan sebagai makhluk yang patuh, teliti, nrimo (Widanti, 2005). Selain itu pekerja perempuan lebih disukai perusahaan karena tidak banyak menuntut dan mudah dikendalikan (Hutagalung, et al., 1992).

Pekerja perempuan yang bekerja di pabrik besar, biasanya masih berusia muda yaitu 18 sampai 28 tahun dan berstatus belum menikah. Walaupun status tersebut kadang-kadang tidak benar. Banyaknya pekerja yang berusia muda di pabrik disebabkan oleh adanya pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja yang dianggap sudah tua. Kemudian perusahaan merekrut pekerja baru yang berusia muda belia (Tjandraningsih, 1999).

(37)

2.1.3 Pembagian Kerja dan Kondisi Kerja

Setelah membahas konsep gender, konsep pembagian kerja juga menjadi penting dalam mengkaji pemahaman lebih lanjut mengenai ketimpangan gender yang menimpa tenaga kerja perempuan dalam sektor industri khususnya. Konsep pembagian kerja yang pertama adalah menurut Rahima (2004), bahwa dalam komunitas terdapat dua kategori pembagian kerja, yaitu kerja produktif dan kerja reproduktif. Baik kerja produksi maupun kerja reproduksi, keduanya berperan penting dalam proses kehidupan manusia. Kerja produktif berfungsi memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, papan.

Kerja reproduktif adalah kerja ”memproduksi manusia”, bukan hanya sebatas masalah reproduksi biologis perempuan, hamil, melahirkan, menyusui, namun mencakup pula pengasuhan, perawatan sehari-hari manusia baik fisik dan mental. Hal tersebut berperan penting dalam melahirkan dan memampukan seseorang untuk ”berfungsi” sebagaimana mestinya dalam struktur sosial komunitas. Kerja reproduktif juga kerja yang pada prosesnya menjaga kelangsungan proses produksi, misalnya pekerjaan rumahtangga. Tanpa ada yang melakukan pekerjaan rumahtangga seperti memasak, atau mencuci maka tidak mungkin akan didapatkan makanan, kenyamanan bagi anggota rumahtangga yang lain, sehingga dengan makanan dan kenyamanan tersebut proses yang lain tidak terganggu. Pekerjaan reproduksi seperti ini tidak dianggap sebagai pekerjaan oleh komunitas dan juga pemerintah padahal secara fisik ini jelas sebagai sebuah kerja.

Selanjutnya Rahima (2004) menyatakan bahwa sistem kapitalisme memiliki kecenderungan kuat untuk memisahkan kerja produksi dan reproduksi, dimana kedua pekerjaan tersebut dilakukan dan siapa yang melakukan pekerjaan tersebut. Kerja produksi dianggap tanggung jawab laki-laki, biasanya dikerjakan di luar rumah. Kerja reproduksi dianggap tanggung jawab perempuan dan biasanya dikerjakan di dalam rumah. Berdasarkan hal-hal tersebut, terdapat kesimpulan bahwa peran dan tanggung jawab laki-laki dalam hal pengambilan keputusan dan produksi, lebih besar dibandingkan perempuan.

(38)

massa, mendukung pula pandangan ini dan sedikit sekali yang memperhitungkan nilai ekonomi pekerjaan rumahtangga. Sayangnya, keterlibatan perempuan dalam kerja produksi tidak mengurangi beban dan tanggung jawabnya di sektor reproduksi. Dengan kata lain, tidak mengundang laki-laki untuk berkontribusi lebih besar tidak pernah diperhitungkan dalam data perekonomian dan statistik. Jika kerja tersebut diperhitungkan, akan mematahkan mitos ”laki-laki adalah pencari nafkah utama”.

Di sektor publik sering kali sistem yang ada ”tidak mendukung” perempuan bekerja untuk dapat pula melakukan kerja reproduksi secara optimal sekaligus. Jam kerja panjang, ketiadaan sarana penitipan anak di tempat kerja, dan kesulitan perempuan bekerja untuk menyusui anaknya, adalah beberapa contoh nyata. Meskipun cuti melahirkan telah diberlakukan secara luas, masih ada yang merasa rugi memberi cuti melahirkan kepada karyawan perempuan. Diskriminasi terselubung dilakukan guna menghindari pemberian cuti tersebut antara lain dengan preferensi tidak tertulis mengutamakan merekrut karyawan laki-laki atau karyawan perempuan lajang. Situasi di sektor publik sering kali tidak ramah keluarga, baik terhadap karyawan perempuan maupun laki-laki. Memberikan cuti melahirkan bagi karyawan perempuan dianggap pemborosan dan inefisiensi. Berkomitmen tinggi terhadap anak dan keluarga dipandang tidak kompatibel dengan dunia kerja.

(39)

tenaga kerja perempuan banyak dimanfaatkan di bagian tenaga produksi yang kasar namun dengan upah yang rendah, dan perempuan dihadapkan pada suatu posisi yang lemah, dan tidak mampu berbuat banyak untuk membela hak-haknya.

2.1.4 Isu-isu Ketimpangan Gender dalam Sistem Kerja

Pelanggaran hak-hak perempuan dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan di Indonesia merupakan fenomena yang sudah sering kita jumpai dalam kehidupan bekerja. Pada dasarnya hal tersebut tidak membedakan hak-hak dari adanya gender, tetapi selama ini dominasi sistim patriarkhi tetap menjadi persepsi masyarakat secara struktural. Sering kita jumpai pelanggaran diberbagai bentuk ketidak adilan yang bukan saja disebabkan karena inherennya struktur hubungan 'gender' tetapi juga struktur ini bersifat asimetris. Hubungan asimetris ini, pada gilirannya mempunyai pembagian kerja yang sangat dikotomis. Akibatnya kehidupan posisi perempuan tersubordinat dan sekaligus terlemahkan. Misalnya, laki-laki menempati posisi yang dominan terhadap reproduksi biologis, kontrol terhadap kerja, maupun pola hubungan produksi sosial-ekonomi dari gender. Dengan demikian, perspektif perempuan kalau dikaji dalam kehidupannya memang ternyata secara implisit belum bisa memiliki hak asasi manusia dan kebebasan dasar pada diri perempuan.

Gender tidak menjadi masalah jika tidak menyebabkan ketimpangan gender terhadap salah satu jenis kelamin, namun gender yang berlaku di komunitas seringkali diadopsi oleh berbagai pihak yang berkepentingan sehingga melakukan ketimpangan gender dalam skala yang lebih luas (Widanti, 2005). Dalam hal ini, perempuan sering menjadi korban ketimpangan gender terutama dalam lingkungan keluarga, komunitas dan tempat kerja.

(40)

menganut hukum hegemoni patriarkhi, yaitu yang berkuasa dalam keluarga adalah bapak. Patriarkhi menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak di dalam keluarga dan ini berlanjut pada dominasi laki-laki dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya.

Jadi, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perbedaan gender (gender differences) tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequality), namun persoalannnya adalah tidaklah sesederhana yang dipikirkan, ternyata perbedaan gender tersebut telah melahirkan berbagai ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan.

Menurut Fakih (2004), ketimpangan/ketidakadilan gender termanifestasikan ke dalam beberapa bentuk, salah satunya adalah marginalisasi. Marginalisasi perempuan berarti peminggiran perempuan, yang meliputi empat dimensi (Scott, 1986):

1. Pertama, marginalisation as exclusion from productive employment (sebagai proses pengucilan). Bahwa perempuan dikucilkan dari kerja upahan atau dari jenis kerja upahan tertentu.

2. Kedua, marginalisation as concentration on the margins of the labour

market (sebagai proses penggeseran perempuan ke pinggiran dari pasar tenaga kerja). Dimana posisi perempuan dalam sektor publik terpinggirkan pada jenis-jenis pekerjaan yang berupah rendah, kondisi kerja buruk, dan tidak memiliki kestabilan kerja.

3. Ketiga, marginalisation as feminisation or segregation (sebagai proses feminisasi atau segregasi). Feminisasi adalah penggunaan tenaga kerja perempuan untuk sektor produktif tertentu. Segregasi adalah pemisahan kegiatan-kegiatan tertentu berdasarkan jenis kelamin.

4. Keempat, marginalisation as economic inequality (sebagai proses

(41)

Salah satu bentuk terjadinya marginalisasi terhadap pekerja perempuan adalah dengan pemberian upah yang rendah. Bahkan di sektor publik telah terjadi diskriminasi upah pekerja laki-laki dan upah pekerja perempuan. Upah pekerja di Jakarta ditemukan bahwa pekerja perempuan hanya menerima rata-rata Rp71.395 per bulan, sedangkan pekerja laki-laki rata-rata Rp95.087 per bulan (Yusuf dan Kurniawan, 1992). Pada Tabel 2 disajikan data tentang diferensiasi upah pekerja menurut jenis kelamin.

Tabel 2. Diferensiasi Upah Pekerja menurut Jenis Kelamin, Jakarta, 1992

Upah (Rp/bulan) Laki-laki (%) Perempuan (%) Total (%)

< 70.000 21 (27,6) 123 (53,94) 144 (47,4)

70.000-85.000 10 (13,2) 40 (17,54) 50 (16,5)

85.000-100.000 21 (27,6) 41 (17,98) 62 (20,3)

> 100.000 24 (31,6) 24 (10,5) 48 (15,8)

Mean (Rupiah) 95.108 71.395 83.252

Sumber: Yusuf dan Kurniawan (1992)

Berdasarkan Tabel 2, pekerja perempuan memiliki proporsi lebih besar dalam menerima upah yang kecil dibandingkan pekerja laki-laki. Sebaliknya, pekerja perempuan memiliki proporsi yang lebih kecil dalam menerima upah yang besar dan pekerja laki-laki menerima upah yang lebih besar dibandingkan pekerja perempuan. Dengan demikian, perempuan yang bekerja sebagai pekerja menerima upah yang rendah dalam dunia publik dan hal ini diakibatkan adanya anggapan bahwa perempuan bukan pencari nafkah utama dalam keluarga.

[image:41.612.129.510.261.372.2]
(42)

2.1.5 Penyebab Ketimpangan Gender

Berbagai isu ketimpangan gender telah dibahas sebelumnya. Isu-isu yang semakin berkembang di kalangan masyarakat menimbulkan kondisi yang tidak baik dalam penyetaraan hak dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dalam pembangunan. Ketimpangan gender adalah suatu kondisi yang tidak memberikan hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk berpartisipasi dalam suatu praktek. Yang dimaksud praktek adalah istilah teknis yang berarti setiap bentuk kegiatan yang ditunjuk oleh suatu sistem peraturan dan yang menentukan struktur kegiatan tersebut (Rawls, 1976 dalam Rohmah 2006).

Salah satu penyebab ketimpangan gender adalah adanya ideologi gender. Ideologi gender berbicara tentang gagasan, pengetahuan kolektif, pemahaman-pemahaman, pendapat, nilai-nilai, prakonsepsi-prakonsepsi, pengalaman-pengalaman, dan atau ingatan tentang informasi sebuah kebudayaan dan juga rakyat individual. Ideologi gender yang berlaku di komunitas yang diperkuat oleh hukum negara. Kemudian ideologi gender yang telah terbentuk dalam komunitas diadopsi/dipungut oleh industri yang cenderung mengucilkan perempuan untuk menekan biaya produksi dengan menekan biaya pengeluaran upah untuk pekerja. Kaitan itu dapat dijelaskan dengan posisi pekerja perempuan yang termarjinalisasikan yaitu perempuan sebagai pekerja murah dan terkonsentrasi dalam industri padat kerja. Hal tersebut terjadi merupakan akibat dari adanya ideologi gender dalam komunitas yang dikuatkan oleh negara (Widanti, 2005).

(43)

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sargent dalam Fakih (2001), yang mengatakan bahwa adanya ideologi akan menyebabkan sesuatu yang kompleks dianggapnya sebagai sesuatu yang sederhana. Begitu pula dengan pekerja yang sebenarnya telah mengalami ketimpangan menganggap bukan suatu permasalahan. Berbeda lagi jika pekerja perempuan mengalami ideologi lain yang bertentangan dengan ideologi gender yang berlaku, maka akan menganggap ketimpangan yang dialami adalah sebagai bentuk permasalahan. Menurut Widanti (2005) dalam kajian feminis jurisprudence1 pekerja perempuan dapat dikaji dari dua aspek yaitu aspek kondisional dan aspek struktural.

Aspek kondisional pekerja perempuan menyangkut pekerja secara umum yang secara fisik bersifat jangka pendek seperti upah, diskriminasi upah, diskriminasi tunjangan, kondisi kerja yang menyangkut kesehatan, maupun kesehatan yang berhubungan dengan reproduksi, hak berorganisasi, mengeluarkan pendapat dan hak-hak dasar lainnya. Aspek struktural lebih menekankan posisi pekerja perempuan dalam keseluruhan struktur formasi sosial yang ada. Kedua aspek tersebut saling berkaitan satu sama lain. Selanjutnya Fakih (2004) menambahkan bahwa pekerja perempuan harus diletakkan dalam perspektif struktural dalam kerangka kerja jangka panjang.

Diskriminasi upah yang terjadi secara eksplisit maupun implisit memanipulasi ideologi gender sebagai pembenaran seringkali terjadi di pabrik. Kenyataan bahwa tugas utama perempuan adalah di sektor domestik, menyebabkan saat perempuan masuk ke sektor publik ”sah-sah” saja untuk memberikan upah lebih rendah karena pekerjaan di sektor publik hanya sebagai ”sampingan” untuk ”membantu” suami. Sebenarnya pihak yang diuntungkan dalam kasus diskriminasi upah adalah pemilik modal yang dapat menekan biaya produksi melalui pengurangan komponen biaya tenaga kerja. Selain persoalan upah, dalam perspektif perbandingan dengan laki-laki, perempuan di sektor publik menghadapi kendala lebih besar untuk melakukan mobilitas vertikal (kenaikan pangkat, posisi, jabatan) karena ideologi patriarkis yang dominan (Rahima, 2004).

1

Feminis jurisprdence adalah kajian hukum feminis yang merupakan landasan kajian

(44)

Jika dilihat secara teliti lagi, sebenarnya telah ditemukan pokok utama permasalahan penyebab ketimpangan gender yang menimpa tenaga kerja perempuan, khususnya dalam sektor industri. Ideologi gender menimbulkan bias gender yang nantinya berwujud ketidakadilan gender, dan perempuan menjadi korban yang tidak dapat berbuat apa-apa. Jika saja pekerja tahu akan hak dan kewajibannya sebagai pekerja, dan mereka mau bersatu untuk memperjuangkannya, masalah ini dapat diatasi, tentunya dengan kerjasama berbagai pihak seperti pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja.

2.1.6 Kesejahteraan Keluarga

Tingkat kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada satu kurun waktu tertentu. Menurut Yosep seperti yang dikutip Nurohmah (2003), kesejahteraan itu bersifat luas yang dapat diterapkan pada skala sosial besar dan kecil misalnya keluarga dan individu. Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Sejahtera bagi seseorang dengan tingkat pendapatan tertentu belum tentu dapat dikatakan sejahtera bagi orang lain.

Menurut Sawidak (1985) dalam Nurohmah (2003), kesejahteraan

merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil menkonsumsi pendapatan tertentu. Konsumsi sendiri bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsi pun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya bagi konsumennya.

(45)

Tingkat kesejahteraan suatu rumahtangga dapat diukur dengan jelas melalui besarnya pendapatan yang diterima oleh rumahtangga tersebut. Mengingat data yang akurat sulit diperoleh, maka pendapatan yang sering digunakan adalah melalui pendekatan pengeluaran rumahtangga. Pengeluaran rata-rata per kapita per tahun adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan rumahtangga selama setahun untuk konsumsi semua anggota rumahtangga dibagi dengan banyaknya anggota rumahtangga. Determinan utama dari kesejahteraan penduduk adalah daya beli. Apabila daya beli menurun, maka kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup menurun, sehingga tingkat kesejahteraan juga akan menurun (BPS, 1995).

Menurut Mardinus (1995) dalam Nurohmah (2003), untuk menentukan

suatu keluarga sudah digolongkan sejahtera secara materiil atau belum tentunya diperlukan ukuran pendapatan yang biasa disebut garis kemiskinan. Kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Garis kemiskinan adalah besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minuman makanan (batas kecukupan pangan) dan non makanan (batas kecukupan non pangan). Garis kemiskinan diartikan sebagai tingkat pendapatan yang layak untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum. Suatu keluarga yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan, tidak dapat memenuhi semua kebutuhan secara materiil.

Menurut data BPS tahun 2007 Garis Kemiskinan Indonesia naik sebesar Rp.166.697 per kapita per bulan (Siregar, et al., 2007 dalam Nurohmah, 2003). Selain itu, BPS juga menggunakan batas garis kemiskinan berdasarkan data konsumsi dan pengeluaran komoditas pangan dan non pangan (Rusman, 2006

dalam Nurohmah, 2003). Menurut data Susenas tahun 1996 dan 1996 pengeluaran untuk pangan bagi rumahtangga miskin berkisar antara 60-80% dari pendapatan dan bagi rumahtangga mampu antara 20-59%, sedangkan pengeluaran untuk pangan di Indonesia menurut BPS tahun 1990 masih merupakan bagian terbesar dari total pengeluaran rumahtangga, yaitu lebih dari 59% (Soekirman, 2000 dalam

Nurohmah 2003).

(46)
(47)

2.2 Kerangka Pemikiran

Pembagian kerja secara seksual dalam perusahaan muncul dan diperkuat oleh adanya stereotip gender dalam masyarakat dan karena kurangnya pemahaman pekerja terhadap kewajibannya dan hak-haknya sebagai pekerja dalam perusahaan seperti yang tercantum dalam peraturan perusahaan akan mempengaruhi kondisi kerja pekerja itu sendiri. Kurangnya pemahaman pekerja terhadap hak dan kewajibannya sebagai pekerja dapat dilihat dari pengetahuan dan pelaksanaan peraturan perusahaan tersebut oleh para pekerja. Stereotip gender dalam masyarakat, memandang perempuan sebagai makhluk yang lemah lembut, bersifat melayani, tergantung, dan emosional, dan laki-laki dianggap sebagai makhluk yang berjiwa pemimpin, mandiri, kuat, dan rasional. Pembagian kerja secara seksual yang didasarkan pada streotip gender ini mengakibatkan terjadinya peminggiran atau pembedaan, dan biasanya perempuan menjadi korban yang tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan adanya pembagian kerja secara seksual tersebut, perempuan sudah berada dalam posisi yang termarjinalkan (mengalami marginalisasi-ketimpangan gender). Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh stereotip gender tersebut, sudah berlaku di komunitas dan memiliki kekuatan mengikat tertentu seperti norma, walaupun tidak ada peraturan khusus yang mengatur sistem pembagian kerja tersebut.

Marginalisasi perempuan dalam perusahaan menjadi lebih kuat dengan kurangnya pemahaman pekerja terhadap kewajiban dan hak-haknya sebagai pekerja, sehingga perempuan menerima ketimpangan (marginalisasi) ini seperti hal yang wajar dan keharusan aturan. Marginalisasi ini nampak dalam hal ketimpangan upah, status pekerja, jaminan kerja, dan jaminan keluarga, yang merupakan variabel-variabel kondisi kerja pekerja dalam perusahaan yang lebih jauh lagi akan berpengaruh pada kesejahteraan keluarga pekerja pabrik. Kesejahteraan keluarga pekerja pabrik dapat dilihat dari perumahan, kesehatan, pendidikan keluarga, pola konsumsi, dan kepemilikan aset. Namun ada faktor lain yang diduga turut mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga tersebut, yaitu pendapatan total keluarga dan jumlah tunjangan keluarga.

(48)
[image:48.612.134.501.152.497.2]

rendahnya tingkat kesejahteraan hidup pekerja, dapat dilihat dari tingkat pemenuhan kebutuhan keluarga pekerja sehari-hari seperti sandang, pangan, papan, pendidikan anak dan kesehatan keluarga.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Marginalisasi Perempuan dalam Industri dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan Keluarga Pekerja

Keterangan :

: Memiliki hubungan (diuji) : Memiliki hubungan (tidak diuji)

2.3 Hipotesis

Bagan alur pemikiran di atas menghasilkan beberapa hipotesis yang diuji dalam penelitian ini, yaitu:

Stereotip gender

(49)

1. Diduga kurangnya pemahaman pekerja terhadap hak dan kewajibannya sebagai pekerja berpengaruh terhadap kondisi kerja pekerja dalam pabrik.

2. Diduga pembagian kerja secara seksual menyebabkan adanya

ketimpangan/ketidakadilan gender dalam kondisi kerja pekerja dalam pabrik.

3. Diduga kondisi kerja memiliki hubungan dengan tingkat kesejahteraan

keluarga pekerja.

4. Diduga ada hubungan antara besarnya pendapatan total keluarga dengan

tingkat kesejahteraan keluarga pekerja.

5. Diduga ada hubungan antara banyaknya jumlah tanggungan keluarga dengan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja.

2.4 Definisi Operasional

Pengukuran variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini akan dibatasi pada perumusan penjabaran masing-masing variabel tersebut secara operasional. Variabel-variabel tersebut adalah:

1. Tingkat pemahaman pekerja terhadap kewajiban dan hak-haknya yang

tercantum dalam perjanjian kerja

a. Pengetahuan pekerja akan perjanjian kerja adalah tingkatan pengetahuan pekerja terhadap aturan-aturan yang memuat pengetahuan tentang: perusahaan dan pekerja, jabatan atau jenis pekerjaan, besarnya upah dan cara pembayaran, jam kerja, syarat-syarat kerja, masa berlaku kontrak kerja, dan sistem penerimaan pekerja atau perpanjangan masa kontrak kerja. Penilaian: 2 : tahu , 1 : tidak tahu.

b. Pelaksanaan pekerja adalah kemampuan pekerja dalam melakukan semua

aturan perusahaan sesuai perjanjian kerja yang telah disepakati. Penilaian: 1 : tidak dilaksanakan, 2 : dilaksanakan.

(50)

2. Stereotip pekerja tentang gender adalah pelabelan suatu sifat gender yang sudah melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa (stereotip). Bias gender ini kemudian menimbulkan ketidakadilan gender. Penilaian: 1: tidak setuju, 2: setuju. Skor berjumlah 15-22: tidak setuju, 23-30: setuju. Semakin tinggi skor tentang stereotip masyarakat tentang gender, bias gender makin tinggi, maka semakin buruk pembagian kerja secara seksual dan kondisi kerja pekerja dalam pabrik.

3. Pembagian kerja secara seksual

Ketidakadilan atau ketimpangan gender dapat disebut dengan diskriminasi. Salah satu contohnya terjadi dalam bentuk marginalisasi (proses peminggiran). Marginalisasi umumnya meminggirkan kaum perempuan karena dianggap sebagai makhluk yang inferior (lemah dan tak dapat berbuat apa-apa), misalnya dalam hal pembagian kerja secara seksual. Pembagian kerja dapat diukur dari jenis pekerjaan responden antara pekerja perempuan dan laki-laki. Pekerja perempuan biasanya ditempatkan di bagian operator packing yang tidak membutuhkan tenaga besar (diberi skor 1), dan laki-laki ditempatkan di bagian operator mesin yang membutuhkan kekuatan (diberi skor 2).

4. Kondisi Kerja Pekerja dalam Pabrik (Marginalisasi)

a. Status pekerja atau tingkat kerentanan pekerja untuk dikeluarkan jika terjadi pemecatan. Status pekerja merupakan variabel untuk melihat kondisi kerja pekerja, dibagi menjadi dua, yaitu: 1: pekerja harian lepas = rentan, 2: pekerja tetap = tidak rentan. Semakin rentan status pekerja maka semakin buruk kondisi kerja pekerja.

b. Pengupahan. Upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan

(51)

c. Jaminan kerja

Jaminan kerja adalah banyaknya jaminan dan fasilitas yang diterima pekerja dari perusahaan. Jaminan kerja diukur dengan melihat ada tidaknya: libur/cuti jika sakit, libur tahunan/hari raya, jaminan beristirahat, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kesehatan/sakit, jaminan beribadah, upah lembur, jaminan kematian, jaminan hari tua, cuti haid/melahirkan/ keguguran, libur/cuti pernikahan/kematian/ kelahiran, dan pesangon PHK. Penilaian: ada = skor 2, tidak ada = skor 1. Jaminan kerja merupakan variabel untuk melihat kondisi kerja pekerja. Semakin banyak jaminan kerja yang diperoleh, maka semakin baik kondisi kerja pekerja.

d. Jaminan keluarga adalah jaminan dan fasilitas kesejahteraan keluarga yang diterima oleh pekerja. Jaminan keluarga merupakan variabel untuk melihat kondisi kerja pekerja. Jaminan keluarga dapat dilihat dari ada tidaknya: THR (tunjangan hari raya), santunan menikah pertama kali, santunan melahirkan, santunan kematian ortu/mertua, santunan anak khitan/sunatan, santunan kematian istri/anak/suami, santunan perkawinan anak, santunan anggota keluarga meninggal dunia, santunan jika pekerja ditahan, pinjaman/hutang. Penilaian: ada skor 2, tidak ada skor 1. Skor berjumlah 10-15 = rendah, 16-20 = tinggi. Semakin banyak jaminan keluarga yang diperoleh maka semakin baik kondisi kerja pekerja.

Kondisi kerja adalah perlakuan perusahaan kepada pekerja yang meliputi status pekerja, pengupahan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga. Kondisi kerja pekerja mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarganya. Penilaian: skor ≤36= buruk, skor 37-48 = baik. Semakin kecil skor maka semakin buruk kondisi kerja pekerja.

5. Kesejahteraan pekerja

a. Perumahan

- Status rumah adalah hak atas kepemilikan rumah bagi keluarga

(52)

- Keadaan rumah adalah kondisi fisik rumah yang dihuni oleh pekerja dan keluarganya (responden). Keadaan rumah merupakan salah satu variabel untuk melihat tingkatan keadaan infrastruktur rumah pekerja. Keadaan rumah dibagi menjadi dua kategori, yaitu : skor 1 = bangunan tidak permanen, skor 2 = bangunan permanen, berlantai keramik, berdinding tembok.

- Alat penerangan adalah jenis penerangan yang dipakai oleh keluarga pekerja. Alat penerangan merupakan merupakan salah satu variabel untuk melihat tingkatan keadaan infrastruktur rumah pekerja. Alat penerangan dibagi menjadi dua, yaitu skor 1 = listrik 450 watt, skor 2 = > 450 watt

- Kelayakan tempat tinggal antara luas rumah dengan jumlah anggota keluarga. Skor 1 = luas bangunan tidak memadai untuk seluruh anggota keluarga, skor 2 = luas bangunan memadai untuk seluruh anggota keluarga. Memadai atau tidaknya luas bangunan diukur secara emik, yaitu satu tumbak=14m² untuk satu orang yang tinggal.

- Perumahan adalah tingkatan keadaan infrastruktur rumah pekerja yang menunjukkan tingkat kesejahteraan keluarga. Hal tersebut dapat dilihat dari status rumah, keadaan rumah dan alat penerangan. Penilaian: skor berjumlah ≤ 6 = tidak sejahtera, skor 7-8 = sejahtera. Semakin tinggi keadaan infrastruktur rumah pekerja maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan keluarga pekerja, begitu pun sebaliknya.

b. Kesehatan

- Angka kesakitan merupakan variabel untuk melihat status kesehatan keluarga pekerja. Angka kesakitan dilihat dari frekuensi seringnya sakit pekerja atau keluarganya dalam satu tahun yang lalu. Angka kesakitan digolongkan menjadi : skor 1 : ≥ 5 kali, skor 2 : < 5 kali. - Jenis pengobatan merupakan variabel untuk melihat status kesehatan

(53)

non medis (dukun/pengobatan alternatif/membeli obat warung), skor 2 = berobat medis (Dokter, Puskesmas)

- Frekuensi makan merupakan variabel untuk melihat taraf gizi keluarga pekerja. Frekuensi makan dilihat dari seberapa sering pekerja dan keluarganya makan dalam satu hari. Frekuensi makan digolongkan menjadi dua kategori, yaitu : skor 1 : < 3 kali, skor 2 : ≥ 3 kali.

- Jenis makanan merupakan variabel untuk melihat taraf gizi pada

keluarga pekerja. Jenis makanan dilihat dari seberapa banyak macam makanan yang dikonsumsi pekerja dan keluarganya dalam satu hari. Jenis makanan dikategorikan menjadi dua, yaitu: skor 1 : karbohidrat, skor 2 : karbohidrat dan protein.

- Kesehatan keluarga adalah adalah status kesehatan dan taraf gizi keluarga yang antara lain diukur melalui angka kesakitan, jenis pengobatan yang dilakukan, frekuensi makan dan jenis makanan yang dikonsumsi keluarga. Kesehatan merupakan variabel untuk melihat kesejahteraan keluarga. Penilaian: skor ≤ 6 = buruk, skor 7-8 = baik. Semakin tinggi status kesehatan keluarga pekerja maka semakin baik kesehatan keluarga pekerja. Semakin baik kesehatan keluarga pekerja maka semakin sejahtera keluarga pekerja.

c. Pendidikan keluarga

Banyaknya anak pada usia sekolah yang masih sekolah dan tidak sekolah. Pengukuran: skor 1 : rendah : ≤ 1 orang, skor 2: tinggi : > 1 orang. Semakin banyak anak pada usia sekolah yang masih sekolah maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan keluarga pekerja. Selain itu, perlu diperhatikan banyaknya anak yang berhenti sekolah atau DO (Drop Out).

d. Pola konsumsi adalah tingkat pengalokasian pengeluaran uang dalam

(54)

tingkat konsumsi makanan dibandingkan konsumsi non makanan, maka semakin rendah tingkat kesejahteraan keluarga.

e. Kepemilikan aset : banyaknya jumlah barang berharga yang dimiliki

sebuah keluarga berupa barang mahal dan barang yang tidak mahal. Barang mahal seperti televisi, kulkas, komputer, parabola, handphone, DVD/VCD player dan kendaraan bermotor ( sepeda motor ). Barang tidak mahal seperti : kipas angin, telepon, rice cooker, radiotape, setrika.

Kepemilikan aset merupakan variabel untuk melihat kesejahteraan keluarga dan dapat dilihat dari ada tidaknya aset. Penilaian : skor 1 = ada, skor 0 = tidak ada.

Skor untuk kepemilikan barang mahal yaitu 0-3 barang = rendah, dan 4-7 barang = tinggi, sedangkan skor untuk barang tidak mahal yaitu 0-2 barang = rendah, dan 3-5 barang = tinggi.

Skor jumlah untuk kepemilikan barang : ≤ 5 barang= rendah, skor untuk 6-12 barang= tinggi. Semakin banyak banyak yang dimiliki maka semakin tinggi kesejahteraan keluarga pekerja. Jika barang yang dimiliki banyak, maka diberi skor 2, dan jika barang yang dimiliki sedikit, maka skor 1.

6. Jumlah tanggungan keluarga adalah orang yang hidupnya ditanggung oleh

kepala keluarga yang tinggal dalam satu rumahtangga, termasuk kepala rumahtangga itu sendiri. Jumlah tanggungan keluarga dikategorikan menjadi dua, yaitu: skor 2 : ≤ 3 orang = sedikit, skor 1 : > 3 orang = banyak. Semakin banyak jumlah tanggungan keluarga maka kebutuhan keluarga dapat semakin tidak terpenuhi, maka semakin rendah tingkat kese

Gambar

Tabel 1. Perbedaan Seks dan Gender
Tabel 2. Diferensiasi Upah Pekerja menurut Jenis Kelamin, Jakarta, 1992
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Tabel 3.  Jumlah dan Persentase Pekerja Berdasarkan Status Pekerja, Jenis Kelamin, dan Kewarganegaraan, CV
+7

Referensi

Dokumen terkait

Umumnya industri gerabah di daerah Kasongan banyak menyerap tenaga kerja perempuan sebagai pengerajin gerabah. Keikutsertaan perempuan dalam bekerja dapat menciptakan

“Kemitrasejajaran” adalah kesejajaran hak dan kewajiban serta kesempatan antara laki-laki dan perempuan baik dilingkungan kehidupan berkeluarga khususnya, maupun

Dalam kegiatan-kegiatan seperti membeli bahan baku, menentukan jumlah bahan baku yang dibeli dan menentukan tempat pembelian bahan baku baik perempuan maupun

Selayaknya perempuan adalah sejajar dengan laki-laki namun fisik dan perasaannya telah diideologisasi oleh kaum laki-laki demi kepentingan dalam keluarga dan juga

Kedudukan perempuan perspektif hadis menyebutkan bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, baik di bidang keluarga, masyarakat, dan pendidikan. Yang

Islam memerintah perempuan belajar agar mereka bisa beribadah kepada Allah dengan benar, baik ketika bersama suami atau teman laki-laki yang lain maupun sendiri.. Suara resmi

Berdasarkan analisis data mengenai peran perempuan dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga di Kelurahan Pulo Brayan Darat I maka peneliti menyimpulkan bahwa latar

Hasil penelitian menunjukkan pembagian kerja domestik pada keluarga penambang pasir perempuan telah dilakukan oleh laki-laki dan perempuan waulupun masih ada