• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Konsumsi Pangan Rumahtangga Petani Hutan Kemasyarakatan Di Kabupaten Lampung Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pola Konsumsi Pangan Rumahtangga Petani Hutan Kemasyarakatan Di Kabupaten Lampung Barat"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

 

PO

OLA KONS

PETANI

DI KAB

ASIH S

SEK

INST

SUMSI PA

I HUTAN K

BUPATEN

SULISTYO

KOLAH PA

TITUT PER

BO

2

ANGAN RU

KEMASYA

N LAMPUN

ORINI ULY

ASCA SA

RTANIAN

OGOR

2009

UMAHTAN

ARAKATA

NG BARAT

Y DAMORA

RJANA

BOGOR

NGGA

AN

T

(2)

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pola Konsumsi Pangan Rumahtangga Petani Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Lampung Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2009

Asih Sulistyorini Uly Damora

(3)

ASIH SULISTYORINI ULY DAMORA. Food Consumption Pattern Of Social Forestry’s Farmer Household In West Lampung District. Under direction of FAISAL ANWAR and YAYAT HERYATNO.

The objectives of this research were to: 1) identify socio economic characteristics of Social Forestry’s farmer household, 2) analyze food consumption pattern of Social Forestry’s farmer household, 3) analyze ideal food necessity of Social Forestry’s farmer household, 4) analyze factors that influence energy and protein adequacy level of Social Forestry’s farmer household. The research was conducted in October – November 2008 by using cross sectional study design. The sample was 90 Social Forestry’s farmer households chosen by using proportional sampling method based on group size. The data in this research consisted of primary data (household characteristic, food consumption pattern, food consumption) and secondary data (description of research’s location). The data was analyzed descriptively and statistically. The result of the research indicates that more than half (77.8%) of the sample are small household with productive age 30-49 years old and the average education 6-7 years. The ethnic of bread winner and housewife are dominated by Sundanese and Javanese. The average household income is Rp. 509.626 per capita per month, while the average food expenditure is Rp. 213.136 per capita per month. The foods consumed by the sample are rice, cassava, salty fish, fresh fish, tempeh, tofu, palm oil, cane sugar, spinach, Chinese cabbage, banana, and papaya. The average energy consumption is 2020 kilocalories per capita per day, while the average protein consumption is 47.9 gram per capita per day. The sample has good (84.4%) and moderate (15.6%) energy adequacy level. Moreover, the sample has good (46.6%), moderate (32.2%), less (15.6%), and bad (5.6%) protein adequacy level. The average score of Desirable Dietary Pattern is 81.7. Based on linear regression analysis, the factors that influence energi adequacy level are number of household member and food expenditure, while the factors that influence protein adequacy level is food expenditure.

Key words: Food Consumption Pattern; Social Forestry (Hutan Kemasyarakatan/HKm).

(4)

ASIH SULISTYORINI ULY DAMORA. Pola Konsumsi Pangan Rumahtangga Petani Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Lampung Barat. Dibimbing oleh FAISAL ANWAR dan YAYAT HERYATNO.

Pangan dan Gizi merupakan unsur yang sangat penting dalam membentuk kualitas sumberdaya manusia karena itu pemerintah berusaha untuk mewujudkan ketahanan dan perbaikan gizi masyarakat. Salah satu subsistem ketahanan pangan adalah subsistem konsumsi. Melaksanakan pemantauan konsumsi dan status gizi penduduk di berbagai daerah harus dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang ada sehingga dapat diambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi atau bahkan mengantisipasi terjadinya masalah pangan dan gizi yang sering terjadi di daerah pedesaan termasuk penduduk yang tinggal di sekitar kawasan hutan dan menggantungkan hidupnya pada hutan. Kabupaten Lampung Barat yang memiliki 48.873,37 ha Hutan Lindung memiliki program pemberdayaan masyarakat yang memberikan akses bagi penduduk untuk mengelola hutan dengan pola Hutan Kemasyarakatan (HKm).

Luas areal HKm seluruhnya adalah 14.174,56 hektar dengan jumlah pengelola 8.863 orang. Selama ini belum diketahui bagaimana kondisi konsumsi pangan rumahtangga HKm. Kondisi ini sangat penting bagi pembangunan kedepan karena akan memberikan data dan informasi serta akan menentukan langkah-langkah yang akan dilakukan untuk pembangunan kedepan dan juga antisipasi dan penyelesaian jika terjadi masalah ketahanan pangan. Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi keluarga rumahtangga petani Hkm; 2) Menganalisis pola konsumsi pangan rumahtangga petani HKm; 3) Menganalisis kebutuhan pangan ideal rumahtangga petani Hkm; 4) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein rumahtangga petani HKm.

Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional study yaitu pengumpulan data hanya dengan satu kali survei yang dilakukan pada bulan oktober sampai november 2008. Populasi penelitian adalah rumahtangga petani HKm sedangkan contoh dipilih sebanyak 90 rumahtangga yang dipilih secara acak proporsional berdasarkan ukuran kelompok tani HKm. Data yang diambil adalah data primer dan sekunder. Data primer meliputi karakteristik rumahtangga dan pola konsumsi pangan. Data sekunder meliputi profil gambaran dan kondisi Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Lampung. Data diolah secara deskriptif dan statistik. Pola konsumsi ditetapkan berdasarkan frekuensi makan, jenis bahan pangan yang dikonsumsi, jumlah konsumsi energi dan protein serta mutu konsumsi pangan (PPH). Kemudian untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi zat gizi rumahtangga dilakukan dengan menggunakan regresi linier berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar rumahtangga adalah rumahtangga kecil dengan umur kepala dan ibu rumahtangga antara 30-39 tahun, berpendidikan setingkat SD, bersuku sunda dan jawa serta telah menetap antara 19-36 tahun. Pendapatan rata-rata rumahtangga adalah Rp. 509.626 per kapita/bulan dengan rata-rata pengeluaran pangan adalah Rp. 213.136 per kapita/bulan.

(5)

asin sebagai pangan hewani dikonsumsi 1-3 kali seminggu oleh 70% rumahtangga dengan berat rata-rata 13,8 gram perkapita/hari. Tempe sebagai sumber protein nabati dikonsumsi rata-rata 29,6 gram perkapita/hari dengan frekuensi 1-3 kali seminggu. Bayam dan pisang adalah sayur dan buah yang paling sering dikonsumsi. Bayam dikonsumsi 1-3 kali seminggu oleh 80% rumahtangga contoh sedangkan pisang dikonsumsi oleh 75 % rumahtangga contoh.

Konsumsi energi rata-rata rumahtangga contoh adalah 2020 Kkal per kapita/hari sehingga telah memenuhi standar ideal, namun dan konsumsi protein sebesar 47,9 gram perkapita/hari masih harus ditingkatkan lagi untuk memenuhi standar ideal. Tingkat kecukupan konsumsi energi rumahtangga contoh 84,4% baik dan 15,6% cukup sedangkan tingkat kecukupan protein 46,6% baik, 32,2% cukup 15,6% kurang dan 5,6% buruk.

Kualitas konsumsi pangan rumahtangga contoh secara rata- rata masih kurang beragam. Hal ini ditunjukkan dengan skor PPH sebesar 81,7. Konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, kacang-kacangan dan buah biji berminyak masih harus ditingkatkan dan mengurangi konsumsi minyak dan lemak, gula serta buah dan sayur untuk menambah keragaman sehingga kebutuhan pangan ideal rumahtangga terpenuhi.

Kebutuhan pangan ideal perkapita adalah beras sebesar 263,9 gram/hari, singkong 63 gram/hari, ikan asin 26,8 gram/hari, minyak sawit 21 gram/hari, kelapa 36,9 gram/hari, tempe 32,2 gram/hari, gula pasir 18,2 gram/hari, bayam 8,1 gram/hari dan pisang sebesar 62,6 gram/har. Berdasarkan analisis regresi linear, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecukupan konsumsi energi adalah jumlah anggota rumahtangga dan pengeluaran pangan rumahtangga sedangkan tingkat kecukupan konsumsi protein dipengaruhi oleh pengeluaran pangan rumahtangga.

Peningkatan konsumsi pangan hewani, umbi-umbian, kacang-kacangan dan buah biji berminyak dapat dilakukan melalui penggunaan bahan pangan yang mudah didapatkan di lokasi sekitar tempat tinggal dan usaha penambahan penyediaannya untuk dikonsumsi rumahtangga dengan memanfaatkan lahan garapan dengan beternak, membuat kolam, menanam umbi-umbian dan kacang-kacangan, serta peningkatan daya beli pangan dan kesadaran pentingnya gizi seimbang. Selain itu pemerintah perlu berperan aktif dalam memberikan sosialisasi, pelatihan, penyuluhan, memberikan bantuan ternak dan ikan serta membangun sarana dan prasarana di sekitar lokasi rumahtangga untuk meningkatkan akses pangan.

(6)

 

 

POLA KONSUMSI PANGAN RUMAHTANGGA

PETANI HUTAN KEMASYARAKATAN

DI KABUPATEN LAMPUNG BARAT

ASIH SULISTYORINI ULY DAMORA

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional

pada

Program Studi Manajemen Ketahanan Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

 

 

 

 

 

 

(8)

Petani HKm di Kabupaten Lampung Barat

Nama Mahasiswa : Asih Sulistyorini Uly Damora

NRP : I153070075

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Faisal Anwar, M.S. Ir. Yayat Heryatno, M.Si.

Ketua Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi a.n. Dekan Sekolah Pasca Sarjana Manajemen Ketahanan Pangan Wakil Dekan

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS. Dr. Ir. Dedi Jusadi, MSc. NIP. 131 677 778 NIP. 131 788 590

(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober hingga Desember 2008 ini berjudul “Pola Konsumsi Pangan Rumahtangga Petani Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Lampung Barat”. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat untuk perencanaan kebijakan Hutan Kemasyarakatan guna mendukung terwujudnya ketahanan pangan rumahtangga petani Hutan Kemasyarakatan Kabupaten Lampung Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS. dan Yayat Heryatno, SP, MPS. selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan saran bagi terwujudnya karya ilmiah ini. Disamping itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat yang telah memberikan beasiswa tugas belajar dan Ir. Warsito selaku Kepala Dinas Kehutanan dan SDA Kabupaten Lampung Barat atas dukungan dan dorongan semangat yang diberikan. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Ibu, Bapak dan Adik-adikku(Ani, Ali, Lila dan Awal) yang tercinta, atas segala do’a dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2009

(10)

Penulis dilahirkan di Kodya Metro, Provinsi Lampung pada tanggal 24 Maret 1978 dari Bapak T. Saragi dan ibu Sri Sumaryati. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Pada tahun 1990, penulis lulus dari SD Negeri 1 Yosodadi, Kodya Metro dan lulus SMP Negeri 1 Metro pada tahun 1993. Pada tahun 1996 penulis lulus SMU Negeri 1 Metro dan pendidikan sarjana penulis ditempuh di Program Studi Manajemen Hutan Fakultas Pertanian Universitas Lampung, lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2007, penulis diterima di Program Studi Manajemen Ketahanan Pangan pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat.

Penulis berkerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat sejak tahun 2002 dan ditugaskan di Dinas Kehutanan dan SDA. Bidang tugas yang menjadi tanggung jawab penulis adalah perencanaan, monitoring, evaluasi dan pelaporan.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Hutan Kemasyarakatan ... 4

Karakteristik Rumahangga Petani HKm ... 6

Pola Konsumsi Pangan ... 7

Faktor-Faktor yang mempengaruhi Konsumsi Pangan ... 11

KERANGKA PEMIKIRAN ... 17

METODE PENELITIAN ... 19

Desain, Waktu dan Tempat ... 19

Metode Pengambilan Contoh ... 19

Jenis dan Cara Pengambilan Data ... 20

Pengolahan dan Analisis Data ... 21

Batasan Operasional ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 25

Karakteristik Rumahtangga Petani HKm ... 28

Kebiasaan Konsumsi Pangan ... 38

Konsumsi Pangan ... 46

Kebutuhan Pangan Ideal ... 53

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi Energi dan Protein ... 56

SIMPULAN DAN SARAN ... 60

Simpulan ... 60

Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62

(12)

DAFTAR TABEL

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

(14)

Latar Belakang

Kabupaten Lampung Barat dibentuk berdasarkan UU No. 6 Tahun 1991 dengan total luas 495.040 hektar dan sebesar 76,78% dari luasnya merupakan kawasan hutan yang terdiri dari hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan seluas 280.580 hektar, Hutan Produksi terbatas (HPT) seluas 33.580 hektar dan Hutan Lindung(HL) seluas 48.873,37 hektar. Sekitar 23,22 % dari luas wilayah kabupaten yang dapat diusahakan menjadi kawasan budidaya pertanian, perkebunan, perikanan darat, pemukiman penduduk, sarana umum dan sebagainya. Hal ini menyebabkan terjadi berbagai upaya untuk melakukan perusakan hutan dengan merubah fungsi hutan menjadi berbagai fungsi. Tingkat pertambahan penduduk, baik dari kelahiran maupun migrasi dan kemiskinan serta tuntutan pemenuhan berbagai kebutuhan terutama pangan diyakini menjadi salah satu sumber terjadinya perubahan fungsi hutan tersebut.

Kondisi alam Lampung Barat yang sebagian besar merupakan hutan dengan fungsi utama untuk konservasi kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, serta perlindungan tanah dan air menyebabkan sebagian kecil saja wilayahnya yang dapat digunakan/dikelola sebagai areal penghasil pangan, untuk itu dibutuhkan strategi kebijakan khusus dalam pembangunan dan pengelolaan lingkungannya untuk menjamin ketahanan pangan masyarakat.

(15)

 

Kabupaten Lampung Barat yang memiliki 48.873,37 ha Hutan Lindung memiliki program pemberdayaan masyarakat yang memberikan akses bagi penduduk untuk mengelola hutan. Hutan Kemasyarakatan/HKm (Community Based Forest Management/CBFM) merupakan salah satu program/kebijakan pemerintah pusat yang diadopsi oleh pemerintah lokal untuk diterapkan pada pengelolaan Hutan Lindung di Kabupaten Lampung Barat. Program Hutan Kemasyarakatan ini diyakini merupakan salah satu strategi pembangunan/pengelolaan lahan yang dapat mendukung ketersedian pangan rumahtangga karena program ini memberikan peluang bagi masyarakat lokal untuk memanfaatkan lahan Hutan Lindung dengan menanaminya dengan berbagai jenis tanaman baik kayu-kayuan maupun tanaman Multi Purpose Tree Species/buah-buahan dan tanaman tajuk rendah/empon-emponan yang dapat menjadi sumber produksi pangan serta hasilnya dapat dijual sehingga dapat menjadi sumber pendapatan untuk meningkatkan daya beli pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan rumahtangga sehingga tujuan langsung dari program Hutan Kemasyarakatan adalah untuk mewujudkan ketahanan pangan masyarakat.

Luas areal HKm seluruhnya adalah 14.174,56 hektar dengan jumlah pengelola 8.863 orang. Selama ini belum diketahui bagaimana kondisi ketahanan pangan masyarakat pengelola Hutan Kemasyarakatan dari sisi konsumi pangan. Kondisi ini sangat penting bagi pembangunan di masa yang akan datang karena akan memberikan data dan informasi serta akan menentukan langkah-langkah yang akan dilakukan untuk pembangunan ke depan dan juga antisipasi dan penyelesaian jika terjadi masalah ketahanan pangan. Berdasarkan hal tersebut di atas penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian tingkat konsumsi rumahtangga petani Hutan Kemasyarakatan.

Rumusan Masalah

Dari uraian di atas terdapat beberapa permasalahan yang ingin diketahui menyangkut tingkat konsumsi rumatangga petani Hkm beserta faktor sosial, ekonomi dan budaya yang mempengaruhinya. Permasalahan tersebut adalah: 1. Bagaimana kondisi sosial ekonomi rumahtangga petani Hkm?

(16)

 

3. Faktor-faktor sosial ekonomi apa yang mempengaruhi konsumsi energi dan protein rumahtangga petani HKm?

Tujuan

Tujuan umum

Penelitian secara umum bertujuan untuk menganalisis pola konsumsi pangan rumahtangga petani Hkm di Kabupaten Lampung Barat.

Tujuan khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi rumahtangga petani Hkm. 2. Menganalisis pola konsumsi pangan rumahtangga petani HKm.

3. Menganalisis kebutuhan pangan ideal rumahtangga petani Hkm.

4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein rumahtangga petani HKm.

Manfaat Penelitian

(17)

 

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Kemasyarakatan

Batasan hutan kemasyarakatan

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007 yang dimaksud Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Penyelenggaraan HKm dimaksudkan untuk pengembangan kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat dengan azas manfaat dan lestari secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, azas musyawarah mufakat, dan azas keadilan. Pengertian Hutan Kemasyarakatan menurut Cahyaningsih, Pasya dan Warsito (2004) adalah Hutan Negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat (meningkatkan nilai ekonomi, nilai budaya, memberikan manfaat /benefit kepada masyarakat pengelola, dan masyarakat setempat), tanpa mengganggu fungsi pokoknya (meningkatkan fungsi hutan dan fungsi kawasan, pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dengan tetap menjaga fungsi kawasan hutan).

(18)

 

kesejahteraan hidup mereka melalui keanekaragaman hasil dari tanaman yang ditanam di areal HKm (Renstra Dishut PSDA tahun 2002-2007).

Beberapa kegiatan yang dapat dikembangkan dalam pengelolaan dan pengembangan hutan kemasyarakatan adalah: 1) Hutan Lindung untuk a) pemanfaatan kawasan, meliputi: budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya lebah madu, budidaya pohon serbaguna, budidaya burung walet penangkaran rusa, penangkaran satwa liar, rehabilitasi hijauan makanan ternak; b) Pemanfaatan jasa lingkungan meliputi pemanfaatan jasa aliran air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, penerapan dan/atau penyimpanan karbon; c) Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada Hutan Lindung meliputi rotan, bambu, madu, getah, buah, jamur; 2) Hutan Produksi untuk pemanfaatan kawasan meliputi budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, penangkaran satwa, budidaya sarang burung walet.

Manfaat hutan kemasyarakatan

Menurut Cahyaningsih, Pasya dan Warsito HKm memiliki beberapa manfaat. Manfaat HKm untuk masyarakat adalah: 1) Pemberian izin kelola HKm memberikan kepastian hak akses untuk turut mengelola kawasan hutan. Masyarakat kelompok tani pengelola HKm menjadi pasti untuk berinvestasi dalam kawasan hutan melalui reboisasi swadaya mereka; 2) Menjadi sumber mata pencaharian dengan memanfaatkan hasil dari kawasan hutan. Keanekaragaman tanaman yang diwajibkan dalam kegiatan HKm menjadikan kalender musim panen petani menjadi padat dan dapat menutup kebutuhan sehari-hari rumahtangga petani; 3) Kegiatan pengelolaan HKm yang juga menjaga sumber mata air dengan prinsip lindung, berdampak pada terjaganya ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan rumahtangga dan kebutuhan pertanian lainnya; 4) Terjalinnya hubungan dialogis dan harmonis dengan pemerintah dan pihak terkait lainnya; 5) Adanya peningkatan pendapatan non tunai dalam bentuk pangan dan papan.

(19)

 

kelompok melakukan penerapan pengeolahan lahan berwawasan konservasi (menerapkan terasering, guludan, rorak, dll) dan melakukan penanaman tajuk tinggi melalui sistem MPTs membawa perbaikan pada fungsi hutan; 4) Kegiatan HKm berdampak pada pengamanan hutan (menurunkan tingkat penebangan liar, kebakaran hutan dan perambahan hutan). Kegiatan pengamanan hutan tersebut merupakan bagian dari program kerja masing-masing kelompok tani; 5)Terlaksananya tertib hukum di lahan HKm (berdasarkan aturan dan mekanisme kerja kelompok).

Manfaat HKm terhadap fungsi hutan dan restorasi habitat alami adalah: 1) Terbentuknya kenanekaragaman tanaman (tajuk rendah, sedang dan tinggi); 2) Terjaganya fungsi ekologis dan hidro-orologis melalui pola tanaman campuran dan teknis konservasi lahan yang diterapkan; 3) Terjaganya blok perlindungan yang dikelola oleh kelompok pemegang ijin Hkm yang diatur melalui aturan main kelompok; 4) Kegiatan Hkm juga menjaga kekayaan alam flora dan fauna yang telah ada sebelumnya beserta habitatnya.

Karakteristik Rumahtangga Petani Hutan Kemasyarakatan

Berdasarkan data terakhir yang dikumpulkan oleh Dishut dan PSDA Kabupaten Lampung Barat (2007), jumlah kelompok tani yang telah memiliki ijin pengelolaan Hutan Kemasyarakatan adalah 31 kelompok dengan jumlah total anggota 8.863 rumahtangga. Dari jumlah 31 kelompok tersebut sudah ada 5 kelompok yang telah memperoleh ijin pengelolan definitif selama 35 tahun dan 26 kelompok telah memperoleh ijin sementara 5 (Lampiran 1).

(20)

 

Pola Konsumsi Pangan

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama mahluk hidup. Pentingnya pemenuhan kebutuhan pangan bagi penduduk mendorong pemerintah menetapkan kebijakan bahwa program pangan di Indonesia diarahkan untuk memberikan jaminan ketersediaan pangan bagi seluruh penduduk. Pengertian konsumsi pangan dapat ditinjau dari dua dimensi, yaitu dimensi kuantitas (jumlah) dan kualitas (mutu). Dimensi kuantitas dari konsumsi pangan meliputi jumah pangan dan zat gizi yang dikonsumsi. Dimensi kualitas dari konsumsi pangan meliputi pola (keragaman jenis) konsumsi pangan dan nilai mutu gizi yang pada umumnya dinyatakan sebagai nilai “Net Protein Utilization” (Suhardjo, 1989).

Konsumsi pangan memiliki ukuran kualitatif dan kuantitatif. Salah satu ukuran kuantitatif konsumsi adalah asupan energi dan protein. Pada umumnya jika kecukupan energi dan protein telah terpenuhi dan dikonsumsi dari berbagai jenis pangan, maka kecukupan zat-zat gizi lainnya dapat terpenuhi atau sekurang-kurangnya tidak terlalu sukar untuk memenuhinya. Standar kecukupan konsumsi yang dapat digunakan sebagai acuan adalah jumlah konsumsi energi/zat gizi yaitu AKE dan AKP mapun komposisi pangan yaitu persen kontribusi terhadap AKE dan AKP. Angka Kecukupan Gizi merupakan standar normatif kebutuhan pangan yang harus terpenuhi oleh setiap individu agar sehat dan produktif. Angka Kecukupan Gizi rata-rata yang dianjurkan (AKG) adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi hampir semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan ativitas untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal (Muhilal, dkk 1989). Standar kecukupan gizi ini disepakati melalui Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) yang dilakukan setiap lima tahun sekali. Pada WKNPG ke VII tahun 2004 AKG konsumsi energi adalah 2000 kkal per kapita/hari dan konsumsi protein 52 gram per kapita/hari. Ukuran terpenuhinya jumlah konsumsi pangan yang cukup dilihat dari persentase AKG yang mencapai 100 persen.

(21)

 

(baik secara absolut maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan dan atau konsumsi pangan. FAO-RAPA (1989) mendefinisikan PPH sebagai “komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya”. Dengan pendekatan PPH ini mutu konsumsi pangan penduduk dapat dilihat dari skor pangan (dietary score) dan dikenal sebagai skor PPH. Semakin tinggi skor PPH, konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang.

Definisi lainnya menjelaskan bahwa PPH merupakan susunan beragam pangan yang didasarkan atas proporsi keseimbangan energi dari 9 kelompok pangan dengan mempertimbangkan segi daya terima, ketersediaan pangan, ekonomi, budaya dan agama. Pada umumnya telah diketahui bahwa lima kelompok zat gizi selain air, yang esensial diperlukan tubuh manusia adalah protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral. Dari tiga macam zat gizi yang pertama tersebut (protein, karbohidrat, dan lemak), tubuh akan memperoleh energi sehingga manusia mampu mempertahankan kerja alat-alat tubuh dan melakukan kegiatan fisik sehari-hari. Berbagai zat gizi ini dapat disediakan oleh beragam pangan yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi. Sejumlah golongan bahan makanan yang tersusun secara seimbang akan mampu memenuhi kebutuhan zat gizi. Golongan pangan tersebut mencakup: (1) padi-padian, (2) umbi-umbian, (3) pangan hewani, (4) minyak dan lemak, (5) buah dan biji berminyak, (6) kacang-kacangan, (7) gula, (8) sayuran dan buah-buahan, (9) lain-lain (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, 1994).

Dalam melakukan analisis kualitatif berdasarkan indikator PPH maka terdapat beberapa standar normatif yaitu menurut FAO-RAPA, Menteri Negara Urusan Pangan tahun 1996 dan Departemen Pertanian tahun 2001. Secara total, skor PPH yang ditetapkan oleh Meneg Pangan tahun 1996 yaitu sebesar 93, kemudian skor ini dilakukan penyempurnaan dan pengkajian kembali oleh Deptan pada tahun 2001 sehingga skor PPH ideal sebesar 100. Skor PPH menunjukkan mutu pangan, artinya pangan yang dikonsumsi tidak hanya semacam tetapi beranekaragam dengan gizi seimbang, atau dikenal dengan semboyan beragam, bergizi dan berimbang (3B) ditunjukkan dengan skor PPH (Pola Pangan Harapan) mencapai 100, dan sebaliknya skor PPH kurang atau lebih dari 100 menunjukkan konsumsi pangan kurang bermutu.

(22)

 

sehari-hari (Pranadji, 1988). Pola konsumsi pangan ini disusun berdasarkan data jenis makanan dan berat yang dimakan. Semakin sering suatu pangan dikonsumsi dan semakin banyak jumlah yang dimakan, maka semakin besar peluang pangan tersebut tergolong ke dalam pola konsumsi.

Den Hartog et al. (1995) mendefinisikan pola konsumsi pangan sebagai komposisi jenis pangan sebagai makanan pokok, sayur-sayuran, buah-buahan, daging dan sebagainya yang dikonsumsi oleh individu atau keluarga setiap hari. Sumber berbagai jenis pangan tersebut merupkan komponen penting dalam pola konsumsi pangan seperti berasal dari pembelian, hasil produksi rumahtangga, penukaran (barter) dan hadiah atau pemberian. Catatan sumber pangan ini penting untuk melihat kontinuitas ketersediaan pangan tersebut bagi kebutuhan konsumsi pangan rumahtangga sebelum dapat dikatakan sebagai pola dari konsumsi pangan.

Menurut Tan et al. (1970) pola konsumsi pangan sangat dipengaruhi oleh adat-istiadat. Pola konsumsi pangan ini merupakan salah satu kebiasaan yang paling tua dan bersifat sangat mendalam. Meskipun demikian kebiasaan makan dapat dirubah dan akan berubah walaupun perubahan tidak berlangsung dengan mudah. Perubahan akan terjadi apabila individu menyadari dan memiliki keinginan serta kebutuhan untuk berubah.

Menurut Suharjo (1989) kebiasaan makan didefinisikan sebagai suatu perilaku yang berhubungan dengan makan seseorang, pola makanan yang dimakan, pantangan, distribusi makanan dalam anggota keluarga, preferensi terhadap makanan dan cara memilih bahan pangan. Kebiasaan makan tercermin dalam cara-cara seseorang memilih makanan beragam sesuai dengan golongan etnis dari mana seseorang tersebut berada.

Pantangan merupakan salah satu fungsi dari kebiasaan makan (Suhardjo, 1989). Pantangan berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya dan bahkan agama yang dalam hal-hal tertentu tidak dapat dihindari dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari system kehidupan suatu masyarakat. Berbagai budaya memberikan peranan dan nilai yang berbeda-beda terhadap pangan atau makanan. Suatu budaya dapat menganggap suatu bahan makanan tertentu sebagai tabu untuk dikonsumsi karena alasan-alasan tertentu. Sanjur (1982) menempatkan pantangan ke dalam sistem kepercayaan dan praktek atas pangan (food beliefs and practices system). Lebih Lanjut Den Hartog et al.

(23)

 

bagian dari konsep sosial yang berlaku dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi pendistribusian makanan di dalam keluarga.

Berkenaan dengan pantangan ini, pantangan dibagi menjadi pantangan permanen dan pantangan sementara. Pantangan permanen berkaitan dengan jenis-jenis makanan yang tidak pernah dan tidak akan pernah dikonsumsi oleh suatu masyarakat seperti larangan memakan babi untuk umat muslim. Pantangan ini tidak berubah atau permanen. Sedangkan pantangan yang bersifat sementara belaku atas individu-indiidu tertentu dalam suatu periode tertentu seperti dalam masa kehamilan, anak-anak atau akibat mengidap penyakit tertentu. Hal ini berarti bila periode waktu tersebut telah dilewati, maka pantangan tersebut menjadi tidak berlaku lagi. Selain hal tersebut di atas pola konsumsi pangan juga ditentukan oleh 3 faktor dominan yaitu 1) Kondisi ekosistem yang mencakup penyediaan bahan makanan alami; 2) kondisi ekonomi yang menentuka daya beli; 3) pemahaman konsep kesehatan dan gizi (Suhardjo, 1989). Antang (2002) menyatakan bahwa konsumsi bahan pangan berbeda pada masing-masing kelompok masyarakat dimana faktor ekologi memberikan pengaruh yang besar pada pola konsumsi.

Konsumsi pangan dapat digunakan untuk memperkirakan kecenderungan masalah gizi yang dihadapi masyarakat. Dengan demikian perubahan konsumsi pangan dari waktu ke waktu dapat digunakan untuk memperkirakan perubahan keadaan ekonomi penduduk dan untuk melakukan prediksi masalah gizi yang timbul dimasa mendatang. Cara yang baik untuk mengukur keberhasilan program pangan dan gizi adalah dengan mengevaluasi tingkat konsumsi pangan penduduk (Suharjo, 1995). Informasi konsumsi pangan dapat digunakan sebagai bahan untuk menetapkan kebijakan pangan dan untuk merencanakan program perbaikan kesehatan dan gizi dimasa mendatang dan juga dapat digunakan untuk merencanakan program dalam sektor pertanian dan industri makanan olahan untuk mencukupi kebutuhan pangan dan juga untuk mempengaruhi perilaku pangan yang lebih sehat.

(24)

 

pendapatan yang masih rendah juga sangat berpengaruh terhadap pilihan pangan yang bermutu. Di masa mendatang tantangan di bidang konsumsi adalah terdapatnya kecenderungan konsumsi yang mengarah kepada pola konsumsi yang semakin kurang beragam, antara lain disebabkan oleh kebiasaan makan diluar rumah, keberhasilan dalam peningkatan dan pemerataan pendapatan akan mempengaruhi pencapaian tingkat konsumsi yang sehat (Suharjo, 1995).

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan

Jumlah anggota rumahtangga

Banyaknya anggota rumahtangga akan mempengaruhi konsumsi pangan. Suharjo (1989) mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besarnya rumahtangga dan kurang gizi pada masing-masing rumahtangga. Jumlah anggota rumahtangga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan semakin tidak merata. Dalam hubungannya dengan pengeluaran rumahtangga, Sanjur (1882) menyatakan bahwa besar keluarga yaitu banyaknya anggota suatu keluarga akan mempengaruhi pengeluaran rumahtangga.

(25)

 

Pendapatan

Menurut Sanjur (1982), konsumsi pangan mengacu pada pengertian jumlah pangan yang tersedia yang dan dapat tersedia dan dikonsumsi oleh individu atau keluarga. Sejumlah faktor mempengaruhi ketersediaan pangan tersebut. Harper et al. (1989) menyatakan bahwa ketersediaan pangan dalam rumahtangga dipengaruhi oleh pengeluaran uang untuk pangan dan produksi pangan untuk keperluan rumahtangga itu sendiri. Berkaitan dengan pengeluaran untuk pangan, Suhardjo (1993) melihat bahwa daya beli merupakan fungsi dari pendapatan. Dengan meningkatnya pendapatan, maka keterjaminan pangan dan konsumsi atau ketersediaan menu makanan akan lebih baik bagi rumahtangga tersebut. Secara umum, fenomena ini menunjukkan bahwa tingkat pendapatan sebagai faktor ekonomi dapat mempengaruhi konsumsi pangan.

(26)

 

dalam jumlah yang diperlukan, yang pada gilirannya berakibat buruk terhadap status gizi anggota keluarga.

Pada kelompok miskin hampir semua pendapatan dibelanjakan untuk konsumsi pangan, dan semakin tinggi pendapatan semakin besar proporsi belanja untuk pangan. Sayogyo (1994) menyatakan bahwa pendapatan keluarga mepunyai peranan penting dalam memberikan efek terhadap taraf hidup mereka. Efek disini lebih berorientasi pada kesejahteraan dan kesehatan, dimana perbaikan pendapatan akan meningkatkan tingkat gizi masyarakat. Pendapatan akan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain.

Sanjur (1982) menyatakan bahwa pendapatan merupakan penentu utama yang berhubungan dengan kualitas makanan. Berg (1986) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pendapatan dan status gizi. Hal itu karena tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Pendapatan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas makanan. Antara pendapatan dan gizi, jelas ada hubungan yang mengutungkan. Secara umum, peningkatan pendapatan akan berpengaruh terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi rumahtangga dan selanjutnya berhubungan dengan status gizi. Namun peningkatan pendapatan atau daya beli seringkali tidak dapat mengalahkan pengaruh kebiasaan makan terhadap perbaikan gizi yang efektif.

Pengeluaran pangan

Pendapatan berpengaruh terhadap daya beli dan perilaku manusia dalam mengkonsumsi pangan. Umumnya pendapatan mempunyai hubungan yang erat dengan perubahan dan perbaikan konsumsi pangan. Terdapat hubungan antara pendapatan dan keadaan gizi. Hal ini karena tingkat pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan terhadap jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Pendapatan rumahtangga yang rendah menyebabkan daya beli rendah pula, sehingga tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan akhirnya berakibat pada keadaan gizi. Meskipun demikian, pertambahan pendapatan tidak selalu membawa perbaikan pada konsumsi pangan, karena belum tentu kualitas makanan yang dikonsumsi lebih baik (Sayogyo dkk., 1986).

(27)

 

mengenai pendapatan sangat sulit. Dengan mengetahui tingkat pengeluaran paling tidak sudah dapat mencerminkan tingkat pendapatan, karena pengeluaran sebenarnya juga berasal dari pendapatan. Kaitan antara pengeluaran pangan dengan pendapatan, Engel dalam Martianto (2004) menyimpulkan bahwa persentase bahan pokok berpati dalam konsumsi pangan rumahtangga semakin berkurang dengan meningkatnya pendapatan dan cenderung beralih pada pangan yang berenergi lebih mahal. Martianto (2004) menyatakan bahwa pangan hewani yang harganya relatif lebih mahal dari pangan nabati bersifat sangat elastis terhadap pendapatan.

Suharjo (1989) menyatakan bahwa pengeluaran pangan dipengaruhi oleh pendapatan untuk membeli pangan, harga bahan pangan di pasaran, jumlah pangan yang dibeli, jenis pangan yang dibeli dan subsidi dari pemerintah.

Tingkat pendidikan ibu rumahtangga

(28)

 

Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi melalui pemilihan bahan pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutunya dibanding mereka yang mempunyai pendidikan lebih rendah (Sayogyo, 1986). Pengetahuan gizi ibu misalnya, juga turut mempengaruhi pola konsumsi pangan keluarga. Ibu, sebagai pengambil keputusan dalam menentukan pola makanan keluarga, memliki preferensi dan cara tersendiri dalam menentukan menu makanan keluarga (Suhardjo, 1995). Berkaitan erat dengan pengetahuan gizi ibu adalah tingkat pendidikan kepala keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga, maka semakin luas pengetahuan yang dimilikinya, termasuk mengenai sumber-sumber makanan atau pangan bergizi yang baik untuk dikonsumsi bagi keluarganya. Wawasan kepala keluarga yang luas bukan hanya akan terbagi (sharing) dengan ibu, melainkan juga dapat menjadi faktor pendorong bagi ibu untuk secara lebih bebas mencari tambahan pengetahuan gizi diluar rumahtangga seperti melalui kunjungan ke posyandu dan melakukan diskusi/sosialisasi dengan petugas kesehatan lainnya.

Menurut Junaidi (1997) rendahnya tingkat pendidikan kepala rumahtangga dan ibu rumahtangga merupakan salah satu indikator rendahnya mutu sumberdaya manusia. Rendahnya tingkat pendidikan tentu berdampak terhadap seluruh kehidupan seperti akses penerimaan informasi, pengetahuan kesehatan, pengetahuan gizi, dan lain-lain. Namun Sangian (2001) menyebutkan bahwa sebagian besar pengetahuan gizi ibu diperoleh melalui kunjungan dan partisipasi di posyandu dan pertemuan informal lainnnya. Den Hartog et al. (1995) menyatakan bahwa ibu sebagai pengembil keputusan dalam menentukan menu makanan keluarga memegang peranan penting dalam penyedian bahan makanan serta penyiapan dan pendistribusian makanan diantara anggota keluarga dimana apa yang ibu lakukan ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan gizi yang dimilikinya.

Suku

(29)

 

Di dalam hal ini orang tidak akan memilih dan mengkonsumsi apa yang tidak disukainya. Di dalam hal ini, faktor budaya memainkan peranan penting. Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, adat-istiadat dan kemampuan-kemampuan lainnya serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tidaklah mengherankan bila kemudian muncul pola konsumsi, kebiasaan makan dan beragam pantangan atas pangan tertentu yang berlaku didalam suatu masyarakat tertentu pula.

(30)

 

KERANGKA PEMIKIRAN

Konsumsi pangan yang beragam dan bergizi dalam rumahtangga ditentukan oleh pola konsumsi pangan. Faktor demografi, sosial, ekonomi dan budaya dapat mempengaruhi pola konsumsi pangan suatu masyarakat yang akan menentukan gaya hidup masyarakat tersebut. Faktor demografi yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah jumlah anggota rumahtangga. Semakin sedikit anggota rumahtangga yang harus dipenuhi kebutuhannya maka akan semakin sedikit pengeluaran untuk membeli bahan pangan sehingga akan lebih terbuka peluang untuk membeli bahan pangan yang berkualitas dalam jumlah banyak untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga. Faktor sosial budaya yang dapat berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan diantaranya adalah pengetahuan gizi ibu rumahtangga yang tercermin dari tingkat pendidikannya serta kebiasaan makan. Kebiasaan makan dipengaruhi oleh suku, preferensi terhadap pangan serta pantangan makanan. Semakin tinggi pendidikan ibu rumahtangga maka akan semakin baik pula pengetahuan gizinya dalam memilih makanan yang dikonsumsi keluarga. Faktor kepercayaan dan tingkat pengetahuan ibu berpengaruh terhadap macam bahan makanan yang dikonsumsi. Pendapatan dan pengeluaran pangan merupakan faktor ekonomi penentu utama yang berhubungan dengan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi daya beli terhadap pangan yang beragam, bergizi dan berkualitas untuk memenuhi kebutuhan gizi. Meskipun demikian, pertambahan pendapatan tidak selalu membawa perbaikan pada konsumsi pangan.

(31)

 

Gambar 1 Kerangka pemikiran pola konsumsi pangan rumahtangga petani Hutan Kemasyarakatan.

KARAKTERISTIK RUMAHTANGGA PETANI HUTAN KEMASYARAKATAN

KEBUTUHAN PANGAN IDEAL POLA KONSUMSI PANGAN Demografi

‐ Umur

‐ Jumlah anggota rumahtangga

Sosial

‐ Pendidikan

‐ Suku

Ekonomi

‐ Pendapatan

‐ Pengeluaran Pangan

Tingkat Kecukupan Konsumsi

‐ Konsumsi Energi dan Protein

‐ Tingkat Kecukupan Konsumsi Protein Kebiasaan Makan

‐ Frekuensi konsumsi

‐ Jumlah pangan

‐ Jenis pangan

‐ Preferensi

‐ Pantangan

(32)

 

METODE PENELITIAN

Desain, Waktu dan Tempat

Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional study dimana pengumpulan data dan informasi dilakukan dalam satu kali survei pada kelompok pengelola HKm di Kabupaten Lampung Barat. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober sampai November 2008.

Metode Pengambilan Contoh

Populasi penelitian adalah rumahtangga petani HKm yang kelompoknya telah mendapatkan ijin pengelolaan HKm selama 35 tahun yang tinggal menetap dan menggarap sendiri lahan Hkmnya. Rumahtangga petani Hutan Kemasyarakatan dipilih sebagai lokasi penelitian karena memiliki kekhasan sebagai rumahtangga yang kehidupannya bergantung pada hutan. Satuan contoh adalah rumahtangga petani Hkm. Ukuran populasi sebesar 1.082 rumahtangga dengan 5 kelompok yang telah memperoleh ijin Pengelolaan Hkm selama 35 tahun. Dari populasi tersebut diambil contoh sebesar 90 rumahtangga. Ukuran sampel didasarkan pada akurasi rata-rata konsumsi energi anggota rumahtangga petani HKm. Jika akurasi konsumsi energi per kapita per hari sebesar d = 41,32 kal/kap/hari dengan probability sebesar 1-α = 0,95 dengan standart deviasi sebesar 200 kal/kap/hari maka diperoleh ukuran sampel sebagai berikut:

Keterangan : σ : standar deviasi α : selang kepercayaan

tα/2(v) : t tabel pada selang kepercayaan 0,05

d : akurasi konsumsi energi

       σ2 .

t

2 α/2(v)     

n = d2

(33)

 

Sampel rumahtangga sejumlah 90 tersebut diatas kemudian dialokasikan secara proporsional untuk tiap kelompok tani HKm berdasarkan jumlah rumahtangga HKm yang memenuhi kriteria jumlah populasi kelompok tani HKm. Sebaran contoh penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jumlah dan sebaran contoh penelitian

No Nama Kelompok Jumlah

KMPH Mitra Wana Lestari Sejahtera KPPSDA Setia Wana Bakti

Rimba Jaya

KMPH Rigis Jaya II

493

Jenis dan Cara Pengambilan Data

Data yang digunakan untuk penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Tabel 2 menyajikan rincian jenis data dan variabel serta cara pengembilan data primer. Data sekunder meliputi profil gambaran dan kondisi Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Lampung Barat yang diperoleh dari Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Barat dan data kelompok tani Hkm.

Tabel 2 Jenis data yang dikumpulkan

No Jenis data Variabel Cara pengambilan data 1.

Jumlah anggota RT Umur anggota RT

Pendidikan ibu RT Suku (frekuensi makan, jumlah dan berat pangan)

Pantangan

Konsumsi energi dan protein

Wawancara menggunakan

(34)

 

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah terkumpul dianalisis dan disajikan dalam bentuk rataan, distribusi frekuensi, tabulasi silang dan presentase. Untuk menghitung konsumsi energi dan konsumsi protein, tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein, skor PPH dan mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi energi dan protein dilakukan dengan cara:

1. Konsumsi energi dan protein rumahtangga diperoleh dengan mengolah data pangan dengan dikonversikan ke dalam bentuk energi dan zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan makanan atau DKBM (Depkes RI, 1995). Secara umum rumus yang digunakan untuk mengetahui kandungan zat gizi konsumsi makanan yang berasal dari pangan yang beragam adalah:

Dimana :

Kgij = Kandungan zat gizi i dari bahan makanan j i = energi atau protein

Bj = Berat bahan makanan j (gram) Gij = Zat gizi I dari bahan makanan j

BDDj = Bagian dapat dimakan dari suatu bahan makanan (j)

2. Kecukupan Energi dan Protein diperoleh dengan menganalisis secara deskriptif berdasarkan AKE dan AKP rata-rata yang ideal hasil dari Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 2004 yaitu 2000 Kkal per kapita/hari untuk energi dan 52 gram per kapita/hari untuk protein.

3. Tingkat Kecukupan zat gizi dihitung dengan membagi konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan kemudian dikalikan 100 %. Klasifikasi tingkat konsumsi zat gizi untuk energi dan protein yang digunakan adalah klasifikasi menurut Suhardjo (1995) yaitu:

a) Konsumsi baik apabila konsumsi zat gizi 90–100 % dari kecukupan.

b) Konsumsi cukup, apabila konsumsi zat gizi antara 80–90 % dari kecukupan.

c) Konsumsi kurang apabila konsumsi zat gizi antara 70–80 % dari kecukupan.

(35)

 

4. Menghitung skor PPH dengan:

1) Pengelompokan pangan menjadi 9 kelompok yaitu:

a) Padi-padian: beras dan olahannya, jagung dan olahannya, gandum dan olahannya;

b) Umbi-umbian: ubi kayu dan olahannya, ubi jalar, kentang, talas, dan sagu;

c) Pangan hewani: daging dan olahannya, ikan dan olahannya, telur, susu dan olahannya;

d) Minyak dan lemak: minyak kelapa, minyak sawit, margarin, dan lemak hewani;

e) Buah/biji berminyak: kelapa, kemiri, kenari, dan coklat;

f) Kacang-kacangan: kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, kacang merah, kacang polong, kacang mete, kacang tunggak, kacang lain, tahu, tempe, tauco, oncom, sari kedelai, dan kecap; g) Gula: gula pasir, gula merah, sirup, minuman jadi dalam botol/kaleng; h) Sayur dan buah: sayur segar dan olahannya, buah segar dan

olahannya;

i) Lain-lain: teh, kopi, terasi, cengkeh, ketumbar, merica, pala, asam, dan bumbu masak;

2) Menghitung konsumsi energi menurut kelompok pangan.

3) Menghitung total konsumsi dari kelompok pangan 1 sampai dengan 9. 4) Menghitung kontribusi energi tiap kelompok pangan ke 1 s/d ke 9.

Ini merupakan langkah untuk menilai pola/komposisi konsumsi pangan dengan cara menghitung kontribusi energi menurut AKG (AKE konsumsi untuk rata-rata nasional tahun 2004 adalah 2000 kkal/kap/hari) dari setiap kelompok pangan, dalam bentuk persen (%), dengan rumus sebagai berikut:

5) Melakukan pencantuman bobot atau rating setiap kelompok pangan. 6) Menghitung skor AKG (berdasarkan kecukupan energi).

7) Melakukan penetapan skor PPH setiap kelompok pangan dengan perhatikan skor maksimal.

Energi kelompok pangan 2000 kkal/kap/hr

(36)

 

5. Untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi zat gizi rumahtangga dilakukan uji statistik regresi linier berganda dengan persamaan dasar sebagai berikut:

Y = a + b1x1 + b2x2 + b3x3 + b4x4 + b5x5 Dimana :

Yi = Konsumsi zat gizi rumahtangga

e = energi(KKal/kapita) dan p = protein(gram/kapita) a = Konstanta

b(1-5) = Koofisien regresi untuk masing-masing faktor yang diamati x1 = Pendapatan rumahtangga (rupiah per kapita/bulan)

x2 = Pengeluaran pangan rumahtangga (rupiah per kapita/bulan) x3 = Jumlah anggota rumahtangga (orang)

x4 = Pendidikan ibu rumahtangga (tahun) x5 = Suku/etnik

Batasan Operasional

Hutan Kemasyarakatan adalah adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Penyelenggaraan hutan kemasyarakatan dimaksudkan untuk pengembangan kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat dengan azas manfaat dan lestari secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, azas musyawarah mufakat, dan azas keadilan.

Jumlah anggota rumahtangga adalah jumlah anggota rumahtangga (orang) yang terdiri dari ayah, ibu, anak-anak dan lainnya yang tinggal bersama dan masak makanan untuk dikonsumsi dalam satu dapur.

Kebiasaan makan adalah cara-cara seseorang atau sekelompok orang dalam memilih pangan dan makanan sebagai reaksi atas pengaruh psikologis fisiologis, budaya dan sosial, mencakup pola konsumsi pangan, pantangan dan preferensi terhadap pangan.

(37)

 

Konsumsi pangan adalah jumlah pangan dan zat gizi yang dikonsumsi oleh rumahtangga yang dihitung dengan mengukur jumlah bahan makanan yang dimasak untuk dikonsumsi beserta kandungan gizinya (energi dan protein).

Pantangan makan adalah bahan makanan tertentu yang tabu untuk dikonsumsi rumahtangga karena alasan alasan-alasan tertentu.

Pendapatan rumahtangga adalah keseluruhan pendapatan (rupiah) yang diperoleh rumahtangga, termasuk hasil usaha sampingan dan dihitung dengan satuan rupiah.

Pengeluaran pangan rumahtangga adalah jumlah uang yang dikeluarkan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Pola konsumsi pangan adalah susunan beragam pangan yang biasa dimasak dan dikonsumsi oleh keluarga sehari-hari. Disusun berdasarkan frekuensi makan, jenis dan jumlah pangan yang dimakan yang dipengaruhi oleh kebiasaan makan, preferensi dan pantangan. Didapatkan dengan recall menggunakan Food Frequensi Quesioner.

Preferensi terhadap bahan pangan adalah tingkat menyukai atau tidak menyukai atas pangan tertentu.

Rumahtangga petani HKm adalah rumahtangga petani yang tergabung dalam kelompok petani Hutan Kemasyarakatan yang telah mendapatkan ijin untuk mengelola hutan negara dalam hal ini hutan lindung untuk memperoleh hasil hutan non kayu.

Tingkat pendidikan ibu rumahtangga adalah lamanya pendidikan formal (tahun) yang pernah dijalani oleh ibu rumahtangga.

Angka Kecukupan Energi adalah angka kecukupan energi rata-rata nasional hasil Widya Karya Pangan Nasional Pangan dan Gizi tahun 2004 sebesar 2000 Kkalori per kapita/hari.

(38)

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Daerah Penelitian

Keadaan umum

Secara keseluruhan kelompok tani hutan kemayarakatan di Kabupaten

Lampung Barat berjumlah 31 kelompok yang terdiri dari 5 kelompok telah

mendapat izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) selama 35

tahun dan 26 kelompok mendapat izin sementara selama 5 tahun yang sebagian

besar berada di kecamatan Sumberjaya dan Way Tenong. Kelompok tani hutan

kemasyarakatan dalam penelitian ini adalah kelompok tani yang telah mendapat

Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) selama 35 tahun

sebanyak 5 kelompok yaitu Kelompok Bina Wana, Kelompok Mitra Wana Lestari

Sejahtera, Kelompok Setia Wana Bhakti, Kelompok Rimba Jaya dan Kelompok

Rigis Jaya II. Secara administrasi Kelompok Bina Wana terletak di Pekon (desa)

Tribudisyukur Kecamatan Sumberjaya, Kelompok Mitra Wana Lestari Sejahtera

terletak di Pekon Simpangsari Kecamatan Sumberjaya, Kelompok Setia Wana

Bhakti terletak di Pekon Simpangsari Kecamatan Sumberjaya, Kelompok Rimba

Jaya terletak di Pekon Tambak Jaya Kecamatan Way Tenong dan Kelompok

Rigis Jaya II terletak di Pekon Gunung Terang Kecamatan Way Tenong.

Batas Pekon Tribudisyukur, pada sebelah utara berbatasan dengan

Pekon Simpangsari, sebelah selatan berbatasan dengan Pekon Purajaya,

sebelah barat dan sebelah timur berbatasan dengan Hutan Lindung. Pekon

Tribudisyukur mempunyai luas 727 ha, jumlah penduduk 2.609 jiwa dengan

jumlah laki-laki 1.520 jiwa, perempuan 1.089 jiwa, jumlah kepala rumahtangga

752 KK. Sebanyak 470 jiwa mengelola kawasan hutan lindung register 45 B

Bukit Rigis. Batas Pekon Simpangsari, pada sebelah utara berbatasan dengan

Pekon Sukapura, sebelah selatan berbatasan dengan Pekon Tribudisyukur,

sebelah barat berbatasan dengan Pekon Way Petai, dan sebelah timur

berbatasan dengan Hutan Lindung. Pekon Simpangsari mempunyai luas 2.483

ha, terletak pada ketinggian 900 m dpl, curah hujan rata-rata 1.500 mm per

tahun, suhu rata-rata harian sebesar 32o C, dan termasuk desa sekitar hutan.

Jumlah penduduk sebanyak 2.408 orang terdiri dari 1.291 laki-laki, 1.117 orang

(39)

 

Batas Pekon Tambak Jaya adalah sebelah utara berbatasan dengan

Pekon Sanyir, sebelah selatan berbatasan dengan Pekon Argosari, sebelah

barat berbatasan dengan Pekon Sekincau, dan sebelah timur berbatasan

dengan Pekon Margahayu. Pekon Tambak Jaya mempunyai luas 910,9 ha,

terletak pada ketinggian 912 m dpl, curah hujan rata-rata 1.600 mm per tahun,

suhu rata-rata harian sebesar 32o C, dan termasuk desa sekitar hutan. Jumlah

penduduk sebanyak 2.280 orang terdiri dari 1.231 laki-laki, 1.049 orang

perempuan, dan 587 KK. Batas Pekon Gunung Terang adalah sebelah utara

berbatasan dengan Pekon Sumber Sari, sebelah selatan berbatasan dengan

Hutan Lindung, sebelah barat berbatasan dengan Pekon Mekarjaya, dan

sebelah timur berbatasan dengan Pekon Gedung Surian. Pekon Gunung Terang

mempunyai luas 2.393,67 ha, terletak pada ketinggian 1000 m dpl, curah hujan

rata-rata 3.000 mm per tahun, suhu rata-rata harian sebesar 30o C, dan

termasuk desa sekitar hutan.

Kecamatan Sumberjaya dan Way Tenong merupakan 2 Kecamatan dari

17 kecamatan yang ada di Kabupaten Lampung Barat. Kecamatan Sumberjaya

berbatasan langsung dengan Kecamatan Way Tenong. Ibu Kota Kecamatan

Sumberjaya terletak di Kelurahan Tugu Sari yang berjarak sekitar 76 km dari Ibu

Kota Kabupaten (Liwa), dan ibu kota Kecamatan Way Tenong terletak di

Kelurahan Fajar Bulan yang berjarak sekitar 56 km dari ibu kota kabupaten.

Wilayah keseluruhan berupa daerah yang berbukit-bukit dengan wilayah datar

sampai berombak 15%, berombak sampai berbukit 65% dan wilayah berbukit

sampai bergunung 20%.

Kelima kelompok tersebut mengelola areal Hutan Lindung Register 45 B

(Bukit Rigis) yang merupakan Hulu dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Besai.

Register 45B ini berbatasan dengan kawasan hutan lindung regsiter 34 (Tangkit

Tebak), Register 32 (bukit Rindingan) dan Register 39 (Kota Agung Utara)

Register 45B ini ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung pada masa

penjajahan Belanda melalui Besluit Residen No. 117 tanggal 19 Maret 1935

dengan luas 8.295 Ha. Penduduk mulai menempati wilayah ini mulai tahun 1951

melalui program Biro Rekonstruksi Nasional yaitu program transmigrasi dibawah

koordinasi ABRI. Penduduk yang ditransmigrasikan ini adalah veteran perang

kemerdekaan dari Jawa Barat dan Jawa Tengah. Luas lahan dan jumlah anggota

kelompok HKm yang telah memperoleh ijin pengelolaan 35 tahun dapat dilihat

(40)

 

Tabel 3 Luas lahan dan jumlah anggota kelompok tani hutan kemasyarakatan di Kabupaten Lampung Barat

Nama Kelompok Tani

Luas lahan (ha) Jumlah

anggota (KK)

Budidaya Perlindungan Luas

Total

Bina Wana 645,00 0 645,00 493

Mitra Wana Lestari Sejahtera 260,76 173,64 260,76 73

Setia Wana Bhakti 259,00 159,96 259,00 145

Rimba Jaya 600,0 0 600,00 297

Rigis Jaya 205,20 74,08 131,84 74

Jumlah 1969,96 407,68 1896,60 1082

Mata pencaharian

Sebagian besar penduduk di wilayah HKm bermatapencaharian sebagai

petani, dalam hal ini petani kopi. Mata pencaharian lainnya adalah buruh tani dan

buruh di luar tani, wiraswasta serta pegawai negeri sipil/militer. Penduduk yang

bermata pencaharian sebagai buruh dan wiraswasta sebenarnya juga

merupakan petani kopi. Mata pencaharian sebagai buruh dan wiraswasta

merupakan suatu strategi untuk mengakumulasi modal sehingga mereka

menjadi tidak mudah terpengaruh oleh fluktuasi harga dan produksi kopi. Sumber

pendapatan dari usahatani tidak seluruhnya dari tanaman kopi. Penduduk

umumnya juga mengusahakan tanaman selain kopi seperti lada, buah-buahan,

pinang, cengkeh, dan sebagainya. Pola tanam yang umumnya dilakukan adalah

tumpangsari dengan kopi. Akan tetapi, sumbangan kopi merupakan yang paling

dominan bagi pendapatan petani di Kecamatan Sumberjaya (Sihite, 2001).

Usahatani kopi merupakan sumber terbesar pendapatan petani walaupun

usahatani ini umumnya memiliki resiko ketidakpastian akibat kegagalan panen

dan harga. Perbedaan kondisi kemiringan lahan memberikan pengaruh yang

berbeda terhadap hasil panen petani. Kebun di lahan yang datar cenderung

memberikan hasil panen yang stabil. Lima tahun terakhir cara budidaya kopi

yang dilakukan mulai berubah dan ketergantungan kepada input pupuk menjadi

relatif lebih tinggi. Kegagalan panen dapat disebabkan perubahan iklim yang

cukup ekstrim seperti musim kemarau atau hujan yang panjang. Selain itu,

serangan hama dan penyakit juga merupakan faktor penting dalam produksi kopi

(41)

 

Karakteristik Rumahtangga Petani HKm

Jumlah anggota rumahtangga

Rata-rata jumlah anggota rumahtangga petani HKm adalah 4 orang dengan kisaran terendah 1 orang dan tertinggi 7 orang. Selanjutnya berdasarkan

kriteria rumahtangga yang ditetapkan oleh BKKBN yaitu rumahtangga kecil

(jumlah anggota ≤ 4 orang) dan rumahtangga besar (jumlah anggota >4 orang),

maka dapat dilihat bahwa sebaran rumahtangga lebih banyak berada pada pada

kategori rumahtangga kecil (77,8%), sisanya masuk dalam kategori

rumahtangga besar (22,2%). Sebaran jumlah anggota rumahtangga dapat dilihat

pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran rumahtangga petani HKm berdasarkan ukuran jumlah anggota rumahtangga

No Ukuran rumahtangga Jumlah rumahtangga Jumlah anggota rumahtangga

n % Rata-rata Minimum Maksimum

1 Besar 20 22 5,45 5 7

2 Kecil 70 78 3,36 1 4

Total 90 100 3,82 1 7

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa

rumahtangga petani HKm yang termasuk ke dalam kategori rumahtangga kecil

jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan rumahtangga petani HKm yang

termasuk ke dalam kategori rumahtangga besar. Besarnya jumlah anggota

rumahtangga akan berpengaruh terhadap jumlah pangan yang dikonsumsi oleh

anggota rumahtangga. Menurut den hartog et al. (1995) ukuran rumahtangga

(household size) merupakan penentu dalam konsumsi pangan. Semakin besar

ukuran keluarga semakin sedikit pangan tersedia yang yang dapat didistribusikan

pada anggota rumahtangga. Selain itu, pada rumahtangga yang sangat miskin,

jumlah anggota rumahtangga yang sedikit akan lebih mudah memenuhi

kebutuhan makannya sedangkan pada rumahtangga yang besar mungkin

pangan yang tersedia cukup untuk rumahtangga yang besarnya setengah dari

(42)

 

Umur kepala dan ibu rumahtangga

Rata–rata umur kepala rumahtangga petani HKm adalah 42 tahun, dengan kisaran terendah pada umur 24 tahun dan tertinggi pada umur 72 tahun.

Sedangkan rata-rata umur ibu adalah 36 tahun, dengan kisaran terendah pada

umur 18 tahun dan tertinggi pada umur 62 tahun. Selanjutnya bila umur kepala

rumahtangga dan ibu dikelompokkan ke dalam rentang 0-18 tahun, 19-29,

tahun, 30-49 tahun, 50-64 tahun dan >65 tahun (Hardinsyah dan Tambunan,

2004), maka hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran rumahtangga petani HKm berdasarkan kelompok umur kepala dan ibu rumahtangga

No. Kelompok umur

(tahun)

Jumlah ht

Umur

n % Rata-rata Minimum Maksimum

Kepala rumahtangga

1. <19 0 0,0 0 0 0

2. 19 – 29 5 5,6 26,7 19 29

3. 30 – 49 58 64,4 36,6 30 49

4. 50 – 64 26 28,9 57,4 50 64

5. >65 1 1,1 65 65 65

Total 90 100,0 42,2 24 72

Ibu rumahtangga

1. <19 2 2,2 18 18 18

2. 19 – 29 20 22,2 24,6 19 29

3. 30 – 49 57 63,4 36,7 30 49

4. 50 – 64 11 12,2 54,6 50 64

5. >65 0 0,0 0 0 0

Total 89 100,0 36,3 18 62

Sebagian besar kepala dan ibu rumahtangga berumur antara 30–49

tahun (64,4% kepala rumahtangga dan ibu 63,4%). Jika dilihat usia poduktif

yang terletak pada umur 15–65 tahun, maka usia kepala rumahtangga yang

termasuk dalam kategori usia produktif sebanyak 99,9% dan ibu sebanyak

100%. Bila ditinjau dari aspek konsumsi energi maka hampir seluruh kepala dan

ibu rumahtangga berada pada usia produktif untuk bekerja, artinya pada

rumahtangga petani HKm membutuhkan konsumsi energi yang besar untuk

bekerja. Sedangkan jika ditinjau dari aspek tenaga kerja artinya banyak tenaga

kerja pada komposisi penduduk yang berada pada usia produktif dan

(43)

 

menjadi petani pengolah lahan garapan. Mengingat jumlah lahan garapan

kelompok yang luasnya hanya 1969,96 hektar maka pemerintah harus

memikirkan untuk menciptakan lapangan kerja baru bagi tenaga kerja yang

memiliki ketrampilan lain selain bertani.

Bila ditinjau dari aspek kemampuan reproduksi jumlah kepala dan ibu

rumahtangga yang memiliki umur 19-49 tahun adalah 70% dan 85,5 % artinya

bahwa potensi bertambahnya penduduk besar. FAO (1989) menjelaskan bahwa

hampir semua wanita umur 15–49 tahun memiliki potensi untuk hamil dan hampir

semua laki– laki dapat menjadi ayah dari anak–anak, meskipun potensinya

semakin menurun.

Tingkat pendidikan formal kepala dan ibu rumahtangga

Rata–rata lama pendidikan kepala rumahtangga adalah 7 tahun dengan pendidikan terendah 0 tahun dan tertinggi 12 tahun. Sedangkan rata–rata tingkat

pendidikan ibu rumahtangga adalah 6 tahun dengan kisaran terendah 0 tahun

dan tertinggi 16 tahun. Tingkat pendidikan kepala dan ibu rumahtangga dapat

dikelompokkan berdasarkan kriteria Badan Pusat Statistik, yaitu lama pendidikan

0 tahun (tidak sekolah), 1-6 tahun (SD), 7–9 tahun (SLTP), 10–12 tahun (SLTA),

dan >12 tahun (PT). Sebaran mengenai tingkat penddikan kepala rumahtangga

dan ibu hal ini dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran rumahtangga petani HKm berdasarkan tingkat pendidikan formal kepala dan ibu rumahtangga

No Tingkat pendidikan (tahun)

Jumlah rumahtangga

ht ht

Umur

n % Rata-rata Minimum Maksimum

Kepala rumahtangga

1. 0 (Tidak Sekolah) 2 2,2 0,0 0 0

2. 1 – 6 (SD) 49 54,4 5,8 1 6

3. 7 – 9 (SLTP) 34 5,6 8,9 7 9

4. 10 – 12 (SLTA) 5 37, 8 11,8 11 12

5. >12 (PT) 0 0,0 5,0 0 0

Total 90 100,0 0,0 0 12

Ibu rumahtangga

1. 0 (Tidak Sekolah) 4 4,5 0,0 0 0

2. 1 – 6 (SD) 58 65,2 5,9 4 6

3. 7 – 9 (SLTP) 22 24,7 8,9 7 9

4. 10 – 12 (SLTA) 3 3,4 12,0 12 12

5. >12 (PT) 2 2,2 15,0 14 16

(44)

 

Keterangan: Terdapat satu kepala rumahtangga yang tidak beristri

Tingkat pendidikan formal kepala dan ibu rumahtangga paling banyak

adalah pada tingkat SD (54,4% untuk kepala rumahtangga dan ibu 65,2%).

Jumlah ibu rumah tangga yang tidak memiliki pendidikan formal lebih banyak

(4,5%) dibandingkan dengan kepala rumahtangga (2,2%), akan tetapi tidak

terdapat kepala rumahtangga yang berpendidikan sampai tingkat Perguruan

Tinggi (0%), sedangkan ibu sebanyak (2,2%) berpendidikan sampai Peguruan

Tinggi. Rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar kepala dan ibu

rumahtangga ini mungkin disebabkan lokasi tempat tinggal yang jauh dari akses

pendidikan. Hal ini dapat memberikan dampak terhadap seluruh aspek

kehidupan seperti pengambilan keputusan, pengetahuan kesehatan,

pengetahuan gizi, dan lainnya.

Tingkat pendidikan berkaitan dengan wawasan dan pengetahuannya

mengenai sumber-sumber gizi dan jenis-jenis makanan yang dikandungnya yang

baik untuk konsumsi keluarga (Nielhof,1998). Tingkat pendidikan formal turut

menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan

gizi yang mereka peroleh. Pengetahuan gizi ibu misalnya, juga turut

mempengaruhi pola konsumsi pangan keluarga. Ibu, sebagai pengambil

keputusan dalam menentukan pola makanan keluarga, memliki preferensi dan

cara tersendiri dalam menentukan menu makanan keluarga (Suhardjo, 1995).

Berkaitan erat dengan pengetahuan gizi ibu adalah tingkat pendidikan kepala

keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga, maka semakin luas

pengetahuan yang dimilikinya, termasuk mengenai sumber-sumber makanan

atau pangan bergizi yang baik untuk dikonsumsi bagi keluarganya.

Pekerjaan sampingan

Selain memiliki pekerjaan utama sebagai petani, kepala rumahtangga

memiliki pekerjaan sampingan. Pekerjaan sampingan rumahtangga petani HKm

terdiri dari 5 jenis pekerjaan yaitu beternak, buruh, pedagang, mengojek, dan

kelompok lain-lain. Pekerjaan sampingan sebagai buruh atau upahan

merupakan pekerjaan sampingan terbanyak dengan jumlah rumahtangga 46

(51,1%), diikuti mengojek dengan jumlah rumahtangga 18 (20,0%), beternak

dengan jumlah rumahtangga 11 (12,2%), berdagang dengan jumlah

(45)

(

g terdiri dari

(46)

 

Tabel 7 Sebaran rumahtangga petani HKm berdasarkan suku kepala dan ibu rumahtangga

No.

Suku Jumlah kepala rumahtangga Jumlah ibu rumahtangga

n % n %

1. Jawa 39 43,3 42 47,2

2. Lampung 4 4,4 3 3,4

3. Semendo 2 2,2 0 0

4. Sunda 45 50,0 44 49,4

Total 90 100,0 89 100,0

Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa mayoritas suku kepala

rumahtangga maupun ibu petani HKm adalah Sunda dan Jawa, sedangkan

penduduk asli (suku Lampung) justru sedikit persentasenya. Hal ini disebakan

daerah penelitian merupakan daerah sasaran transmigrasi melalui program Biro

Rekonstruksi Nasional yaitu program transmigrasi dibawah koordinasi ABRI.

Penduduk mulai menempati wilayah ini mulai tahun 1951. Penduduk tersebut

berasal dari berbagai daerah di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Suku,

budaya dan adat istiadat dapat menentukan pola makan seseorang. Pola sosial

budaya dan kesukaan seseorang serta situasi akan mempengaruhi kebiasaan

makan, jumlah dan jenis pangan cukup tersedia, cara rumahtangga dan

seseorang memilih pangan yang tersedia merupakan faktor yang mempengaruhi

status gizi. Suku jawa dan sunda yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi

sayur-sayuran pangan sumber protein nabati seperti tempe dan tahu lebih banyak

dibanding pangan sumber protein hewani.

Lama menetap

Petani Hkm sebagian besar bukan merupakan penduduk asli Lampung

Barat. Mereka merupakan penduduk pendatang yang berasal dari daerah Jawa

Barat dan Jawa Tengah serta luar kabupaten yang datang beberapa tahun yang

lalu untuk kemudian menetap di lokasi HKm. Sekitar 42,2 % kepala

rumahtangga dan 36,7 % ibu rumahtangga telah menetap di lokasi tempat tinggal

saat ini antara 19-36 tahun. Sebaran lama menetap kepala dan ibu rumahtangga

(47)

 

Tabel 8 Sebaran rumahtangga petani HKm berdasarkan lama menetap kepala dan ibu rumahtangga

Lama menetap Jumlah kepala Jumlah ibu

n % n %

1. 3-18 tahun 30 33,3 42 46,7

2. 19–36 tahun 38 42,2 33 36,7

3. >36 tahun 22 24,4 15 16,7

Total 90 100,0 89 100,0

Rumahtangga petani HKm sebagian besar telah menetap di tempat tinggal

sekarang selama lebih dari 2 generasi. Waktu yang lama ini telah menyebabkan

mereka berbaur antar suku dan beradaptasi dengan kondisi lingkungannya yang

berupa hutan. Suhardj0 (1989) menyatakan bahwa kondisi ekosistem

mempunyai peran yang dominan terhadap terbentuknya pola konsumsi pangan.

Dalam hal ini hutan merupakan penghasil berbagai jenis sayuran dan

buah-buahan. Hal ini diduga berpengaruh terhadap pola makan rumahtangga petani

Hkm saat ini.

Pendapatan rumahtangga

Pendapatan rumahtangga berasal dari pendapatan HKm dan luar HKm.

Pendapatan dari HKm sebagian besar berasal dari hasil penjualan kopi dari

lahan HKm. Pendapatan luar HKm diperoleh dari hasil pekerjaan di luar Hkm

seperti usaha tani di luar lahan HKm dan usaha lainnya.

Tabel 9 Gambaran pendapatan rumahtangga petani HKm per kapita/bulan dari HKm dan luar HKm

Jenis pendapatan Minimum

(Rp.)

Rata-rata (Rp.)

Maksimum

(Rp.) %

Pendapatan HKm 74.900 327.452 941.667 64,5

Pendapatan Luar HKm 138.889 182.172 1.218.333 35,7

Total 206.965 509.626 1.415.875 100,0

Rata-rata pendapatan rumahtangga petani HKm adalah Rp. 509.626 per

kapita/bulan dengan jumlah minimum Rp. 206.965 per kapita/bulan dan

maksimum Rp 1.415.875 per kapita/bulan. Jika menggunakan perhitungan rasio

gini diperoleh hasil rasio gini pendapatan sebesar 0,21 yang artinya bahwa

kesenjangan pendapatan per kapita rumahtangga petani HKm rendah atau

(48)

 

areal yang dibentuk oleh Perfect line dan Lorenz curve menggambarkan

sebaran pendapatan rumahtangga petani HKm.

Gambar 3 Sebaran pendapatan per kapita rumahtangga petani HKm.

BPS (2008) menetapkan bahwa standar garis kemiskinan untuk wilayah

pedesaan di Indonesia secara nasional adalah Rp. 146.837 per kapita/bulan dan

untuk Propinsi Lampung Rp. 145.637 per kapita/bulan. Hasil perhitungan

menunjukkan bahwa seluruh rumahtangga petani HKm memiliki pendapatan

lebih tinggi daripada standar garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS baik

secara nasional maupun secara wilayah Lampung. Pendapatan rumahtangga

yang cukup tinggi ini mengartikan bahwa rumahtangga petani Hkm sudah

sejahtera sehingga sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan dan

gizinya. Oleh karena itu selain untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi,

sebagian pendapatan digunakan untuk menaikkan investasi dengan membeli

lahan, kebun dan pekarangan. Fenomena ini banyak terjadi mengingat adanya

kekhawatiran petani Hkm jika suatu saat nanti tidak lagi diijinkan untuk mengelola

kawasan hutan maka mereka akan kehilangan sumber kehidupan. Oleh karena

itu sebagian pendapatan ditabung dan digunakan untuk membeli lahan yang

berada di luar kawasan hutan untuk menjamin keberlangsungan hidup mereka

sehingga mereka merasa lebih tenteram.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Persen

 

Kumulatif

 

(%)

Gambar

Gambaran Umum Daerah Penelitian   ..................................................
Gambar 1 Kerangka pemikiran pola konsumsi pangan rumahtangga petani
Tabel 1 Jumlah dan sebaran contoh penelitian
Tabel  3  Luas lahan dan jumlah anggota kelompok tani hutan kemasyarakatan di               Kabupaten Lampung Barat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Persyaratan  lahan  bagi  peruntukan  tanaman  pangan  lahan  kering/  peternakan 

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sebuah sistem atau teknologi berbasis komputer yang dibangun dengan tujuan untuk mengumpulkan, menyimpan, mengolah, dan

In the case of the city government of Bogor and the city government of Depok (The Audit Board of The Republic of Indonesia, 2015), both asset management

Adapun kesuksesan peningkatan kualitas dan kinerja bisnis perusahaan ini, tergantung dari kemampuan dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang terjadi,

Manajemen sistem distribusi yang terencana pada suatu usaha akan sangat membantu usaha tersebut, karena informasi akan dapat diketahui dengan cepat, karena setiap

Perancangan Aplikasi Kearsipan Online Berbasis Web Di SDN Jimbaran Kulon Sidoarjo adalah Sistem yang dapat menyimpan data-data penting sekolah dan menyajikan informasi yang

kegiatan mereka sendiri atau menjadikan peserta didik sebagai students center dapat saling berhubungan dengan pendekatan dan model pembelajaran yang

1) Interest rate risk, yaitu risiko yang disebabkan oleh perubahan tingkat bunga tabungan dan tingkat bunga pinjaman. Jika tingkat bunga semakin tinggi maka akan terjadi