• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi laboratorium ketahanan surfaktan MES Olein terhadap penambahan bakteri campuran sumur minyak bumi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi laboratorium ketahanan surfaktan MES Olein terhadap penambahan bakteri campuran sumur minyak bumi"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI LABORATORIUM KETAHANAN

SURFAKTAN MES OLEIN TERHADAP PENAMBAHAN

BAKTERI CAMPURAN SUMUR MINYAK BUMI

SKRIPSI

FEBBY ARIAWIYANA

F34060918

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

LABORATORY STUDY ON MIXED BACTERIA IN AVAILABILITY IN

OIL WELL TO SURFACTANT MES OLEIN RESISTANCE

1Febby Ariawiyana, 2Erliza Hambali and 3Abdul Haris

1

Departement of Agroindustrial Technology, Faculty Agrotechnology, Bogor Agricultural University

1,2

Surfactant and Bioenergy Research Centre, Bogor

3

PPTMGB Lemigas, Jakarta

Phone : +62 85695502675, e-mail : cyberfre@gmail.com

ABSTRACT

The potential surfactant that can be produced from Palm Olein is surfactant of Methyl Ester Sulfonates (MES). MES can be categorized as an anionic surfactant. Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) is intermediate product of MES which can be made by sulfonation of fatty acid methyl ester olein. Production of MESA using SO3 firstly carried out continuously in falling film reactor that rapid

formation between SO3 and ester group. In addition to produce MES by added NaOH 50% into

MESA. This research was aimed to inform uses the resistance of MES by added mixed bacteria addition on Interfacial Tensions (IFT) oil – water value. Common found bacteria on oil well which is used in this research were : Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus pantothenticus, and Streptococus sp. Those bacteria were mixed with Tanjung’s water formation as media cultivation. Concentration surfactant mixed bacteria suspension consist of 0.1%, 0.3%, 0.5%, 1.0% and incubation time 1,3,5,7 days were applied in this research. Incubation and analysis IFT was done in room conditon and temperature. Analysis of variance (α=0.05) showed that mixed bacteria addition on surfactant concentraion and incubation time gave significant effect to increase IFT.

(3)

Febby Ariawiyana. F34060918. Studi Laboratorium Ketahanan Surfaktan MES Olein terhadap Penambahan Bakteri Campuran Sumur Minyak Bumi.Dibawah Bimbingan Erliza Hambali dan Abdul Harris. 2011

RINGKASAN

Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) dan tegangan antar muka antara zat yang berbeda polaritasnya. Pemakaian surfaktan antara lain untuk aplikasi pencucian dan pembersihan (washing and cleaning applications), produk pangan, pertambangan, cat dan pelapis, kertas, tekstil, serta produk kosmetika dan produk perawatan diri (personal care products). Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik dari minyak olein sawit yang berpotensi menggantikan surfaktan berbasis minyak bumi (petroleum sulfonat) yang selama ini digunakan. Hal ini terkait dengan kelebihan yang dimiliki surfaktan MES, diantaranya bersifat terbarukan, lebih ramah lingkungan, secara alami mudah didegradasi dan memiliki sifat deterjensi yang baik walaupun digunakan pada air dengan tingkat kesadahan yang cukup tinggi (Matheson 1996).

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi awal ketahanan surfaktan terhadap adanya campuran bakteri yang umum dijumpai pada lingkungan sumur minyak bumi. Penelitian ini diawali dengan pembuatan konversi minyak sawit olein menjadi metil ester (biodiesel) olein melalui proses transesterifikasi. Kemudian produksi surfaktan Metil Ester Sulfonat Acid (MESA) dilakukan melalui proses sulfonasi metil ester dengan gas SO3 menggunakan Single Tube Film Reactor (STFR)

pada suhu input 100oC waktu sampling 360 menit. Kemudian dilakukann aging pada suhu 80oC dan waktu 60 menit. MESA yang terbentuk dilakukan netralisasi dengan NaOH 50% membentuk MES. MES yang terbentuk dilakukan uji pendahuluan tegangan antar muka (Interfacial Tension) dengan Tensiometer model TX-500C pada konsentrasi 0.3% memberikan hasil terbaik yaitu sebesar 6x10-3 dyne/cm.

Bakteri yang digunakan merupakan galur campuran yang terdiri atas bakteri yang umum ditemukan di sumur minyak bumi yakni: Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus pantothenticus, dan Streptococus sp. Bakteri dicampurkan kedalam air formasi Tanjung sebagai media untuk pertumbuhan. Kurva pertumbuhan dilakukan pada bakteri campuran tersebut memperlihatkan waktu puncak tumbuh pada selang waktu 21-26 jam (fase log) kemudian setelahnya mengalami fase stasioner dan kematian.

Studi ketahanan surfaktan MES olein dilakukan menggunakan faktor konsentrasi surfaktan 0.1%, 0.3%, 0.5%, dan 1.0% serta lama inkubasi 1,3,5, dan 7 hari. Lama inkubasi tersebut menggambarkan kondisi surfaktan selama berada di dalam sumur minyak pada proses injeksi surfaktan dalam aplikasi Enhaced Oil Recovery (EOR). Analisis ragam penambahan bakteri campuran terhadap pengaruh faktor konsentrasi dan masa inkubasi pada tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) menunjukkan faktor konsentrasi surfaktan dan lama inkubasi memberikan efek signifikan terhadap kenaikan nilai IFT.

(4)

STUDI LABORATORIUM KETAHANAN

SURFAKTAN MES OLEIN TERHADAP PENAMBAHAN BAKTERI

CAMPURAN SUMUR MINYAK BUMI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

FEBBY ARIAWIYANA

F34060918

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Studi Laboratorium Ketahanan Surfaktan MES Olein

terhadap Penambahan Bakteri Campuran Sumur Minyak

Bumi

Nama

: Febby Ariawiyana

NIM

: F34060918

Menyetujui,

Pembimbing I,

( Prof. Dr. Erliza Hambali

)

NIP. 19620821 198703 2 003

Pembimbing II,

( Drs. Abdul Haris, MSi )

NIP. 100009798

Mengetahui;

Ketua Departemen,

(Prof. Dr.Nastiti Siswi Indrasti)

NIP. 19621009 198903 2 001

(6)

i

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Studi Laboratorium Ketahanan Surfaktan MES Olein terhadap Penambahan Bakteri Campuran Sumur Minyak Bumi adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2011 Yang membuat pernyataan

(7)

ii

© Hak cipta milik Febby Ariawiyana, tahun 2011

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

(8)

iii

BIODATA RINGKAS PENULIS

(9)

iv

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur sudah sepantasnya penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan begitu banyak limpahan karunia dalam setiap langkah kehidupan ini. Penulis juga bersyukur karena telah diberikan kekuatan dan kemudahan dalam melaksanakan tugas akhir penelitian sampai terselesaikannya skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan perhagaan dan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Erliza Hambali selaku dosen pembimbing utama dan atas izin untuk bergabung di

Surfactant and Bioenergy Research Centre (SBRC) selama masa penelitian ini.

2. Drs. Abdul Harris, MSi untuk kesempatan melakukan penelitian di Lemigas dan untuk saran dan bantuan sebagai pembimbing pendamping.

3. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS selaku dosen penguji untuk saran dan evaluasi.

4. Staf dan laboran SBRC: Mas Anas, Mas Slamet, Mas Gun, Pak Ratno, Pak Heri, Mas Saeful, Mas Otto, Mas Feri, dan Mas Mulyanto di PT. Mahkota Indonesia yang telah membantu dalam pembuatan MESA.

5. Staf di LEMIGAS : Ibu Tuti, bapak Oci, bapak Oni, Ibu Eva untuk kebersamaan singkat dalam penyiapan teknis mikrobiologi dasar.

6. Rekan satu bimbingan: Nur Hidayat, Dini, dan Rere atas motivasi, pembelajaran dan kerjasamanya.

7. Kakak-kakak S2 TIP IPB: Mba Susi, Mba Reny, Mba Ira, Mba Yeni, Bu Dona, dan Mas Encep untuk berbagi ilmu dan pengalaman.

8. Saudaraku PPSDMS Regional 5 Bogor angkatan 4 : Sobari, Randi, Faisal, Achmad, Ade, Holil, Rahman, Ismeri, Dimas dan masih banyak yang belum tersebutkan. Terimakasih untuk kekeluargaan yang luarbiasa.

9. Rekan-rekan TIN ‘43 untuk kekompakan, kebersamaan, dan kekerabatan selama ini.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan bagi perbaikan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat menjadi sumbangan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan bermanfaat untuk siapapun yang membutuhkannya.

Bogor, Maret 2011

(10)

v

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG ... 1

1.2 TUJUAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 OLEIN SAWIT ... 3

2.2 SURFAKTAN... 4

2.3 METIL ESTER SULFONAT ... 5

2.4 TEGANGAN ANTAR MUKA ... 7

2.5 AIR FORMASI TANJUNG ... 9

2.6 BAKTERI DI LINGKUNGAN SUMUR MINYAK ... 10

2.7 PERTUMBUHAN MIKROORGANISME ... 11

III.METODOLOGI PENELITIAN 3.1 ALAT DAN BAHAN... 13

3.2 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ... 13

3.3 METODE PENELITIAN ... 13

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 SIFAT FISIKOKIMIA OLEIN SAWIT ... 17

4.2 SIFAT FISIKOKIMIA METIL ESTER... 18

4.3 SIFAT FISIKOKIMIA SURFAKTAN MES ... 19

4.4 PERTUMBUHAN BAKTERI CAMPURAN ... 21

4.5 PENGUKURAN NILAI IFT SURFAKTAN ... 24

4.6 KETAHANAN SURFAKTAN TERHADAP BAKTERI CAMPURAN... 28

V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 SIMPULAN ... 31

5.2 SARAN ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32

(11)

vi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi asam lemak produk sawit ... 3

Tabel 2. Sifat fisikokimia olein sawit ... 17

Tabel 3. Sifat fisikokimia metil ester olein ... 18

Tabel 4. Sifat fisikokimia surfaktan MES olein ... 20

Tabel 4. Hitungan cawan populasi bakteri campuran... 23

Tabel 5. Nilai IFT pada beberapa konsentrasi ... 28

(12)

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Tampilan orientasi surfaktan MES pada air ... 5

Gambar 2. Struktur MES ... 6

Gambar 3. Reaksi kimia produksi MES ... 7

Gambar 4. Lokasi sumur minyak Tanjung ... 9

Gambar 5. Kurva pertumbuhan bakteri ... 12

Gambar 6. Diagram alir penelitian ... 16

Gambar 7. Bakteri campuran ...... 21

Gambar 8. Kurva pertumbuhan kultur bakteri campuran ... 22

Gambar 9. Hitungan cawan tuang PCA ... 23

Gambar 10. Pola pertumbuhan bakteri (nilai log) ... 24

Gambar 11. Emulsi surfaktan MES di dalam air formasi Tanjung ... 25

Gambar 12. Foto Tensiometer dan Densitometer ... 25

Gambar 13. Foto surfaktan pada Tensiometer... 26

Gambar 14. Perubahan nilai IFT akibat aktifitas bakteri ... 27

(13)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Prosedur analisa minyak olein ... 36

Lampiran 2. Prosedur analisa metil ester olein ... 37

Lampiran 3. Prosedur analisa karakteristik surfaktan MES ... 40

Lampiran 4. Karakteristik air formasi Tanjung ... 43

Lampiran 5. Prosedur uji air formasi ... 43

Lampiran 6. Prosedur kuantifikasi bakteri ... 39

Lampiran 7. Kurva pertumbuhan bakteri (turbidimetri) ... 46

Lampiran 8a. Hasil analisis pengaruh konsentrasi dan waktu inkubasi terhadap nilai IFT surfaktan ... 47

Lampiran 8b. Hasil analisis uji lanjut interaksi ... 50

(14)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG

Surfaktan (surface active agent) merupakan bahan aktif yang mampu menurunkan tegangan permukaan. Surfaktan dapat menurunkan tegangan antar muka akibat memiliki dua gugus dalam satu molekul yaitu gugus hidrofilik dan hidrofobik. Adanya dua gugus yang berbeda tersebut menyebabkan surfaktan mampu mencampur dua zat yang berbeda kepolarannya, seperti minyak dan air. Surfaktan juga mampu meningkatkan kelarutan suatu zat dalam larutan.

Berdasarkan gugus hidrofiliknya surfaktan dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu: surfaktan anionik, kationik, amfoterik, dan non-ionik. Matheson (1996) menyebutkan kelompok surfaktan terbanyak yang diproduksi dan diguna kan oleh berbagai industri adalah surfaktan anionik. Beberapa contoh surfaktan anionik yaitu Alkilbenzen Sulfonat Linear (LAS), Alkohol Sulfat (AS), Alkohol Eter Sulfat (AES), Alfa Olefin Sulfonat (AOS), parafin (secondary alkane sulfonate, SAS), dan Metil Ester Sulfonat (MES). Jenis-jenis surfaktan tersebut diperoleh melalui tahapan sulfonasi atau sulfatasi.

Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan salah satu jenis surfaktan anionik yang prospektif untuk dikembangkan. Memiliki beberapa keunggulan, yaitu berasal dari sumber terbarukan (renewable resources), lebih bersih dan ramah lingkungan, secara alami mudah terdegradasi (biodegradable) dan memiliki sifat deterjensi yang baik walaupun digunakan pada air dengan tingkat kesadahan yang cukup tinggi (Matheson 1996). MES diaplikasikan dalam banyak industri, mulai dari produk perawatan tubuh dan kebersihan hingga sebagai oil well stimulation agent dan flooding pada industri perminyakan.

Bahan baku MES adalah minyak nabati, sehingga MES merupakan surfaktan yang dapat diperbarui dan lebih ramah lingkungan. Proses produksi surfaktan MES dapat dilakukan dengan menggunakan agen pensulfonasi diantaranya H2SO4, NaHSO3, oleum, dan

gas SO3. Watkins (2001) menyebutkan kelapa sawit merupakan salah satu jenis minyak yang

baik digunakan sebagai bahan baku pembuatan surfaktan MES. Asam lemak dalam kelapa sawit mengandung C16 dan C18 dalam bentuk asam palmitat, asam stearat, dan asam oleat yang

mempunyai sifat daya deterjensi yang sangat baik. Maka, pembuatan surfaktan dengan bahan baku minyak sawit potensial untuk dikembangkan. Selain meningkatkan nilai tambah dari industri minyak sawit.

Aplikasi surfaktan MES yang akan dikembangkan adalah sebagai bahan pembantu dalam peningkatan rekoveri minyak bumi di dalam sumur tua minyak bumi yang banyak tersebar di Indonesia. Andhika (2005) meneliti pengaruh penambahan bakteri aerob dan anaerob pada surfaktan MES Palm Kernel Oil (PKO) dengan reaktan NaHSO3 yang akan

diformulasikan sebagai oil well stimulation agent. Hasilnya menunjukkan terjadi peningkatan nilai tegangan antar permukaan minyak-air selama lima hari masa inkubasi.

Kontaminasi mikroorganisme dapat terjadi ketika MES diaplikasikan dalam stimulasi kimiawi, karena di dalam sumur minyak bumi juga mengandung bakteri yang mampu menguraikan surfaktan MES terutama dari bahan nabati. Akibatnya, kemampuan surfaktan MES dalam mengurangi tegangan antar permukaan antara minyak bumi dan batuan akan berkurang.

(15)

2

1.2

TUJUAN

(16)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

OLEIN SAWIT

Tanaman kelapa sawit (Elais guinensis JACQ) secara umum tumbuh dengan usia rata-rata 20–25 tahun. Pada tiga tahun pertama disebut sebagai kelapa sawit muda, hal ini dikarenakan kelapa sawit tersebut belum menghasilkan buah. Kelapa sawit mulai berbuah pada usia empat sampai enam tahun. Pada usia tujuh sampai sepuluh tahun disebut sebagi periode matang (the mature periode), yaitu pada periode tersebut mulai menghasilkan buah tandan segar (fresh fruit bunch). Tanaman kelapa sawit pada usia sebelas sampai dua puluh tahun mulai mengalami penurunan produksi buah tandan segar. Daerah penanaman tanaman sawit utama di Indonesia adalah Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Lampung, Aceh, dan Kalimantan.

Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang berlainan sifatnya, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) dan minyak yang berasal dari biji (kernel). Minyak sawit yang dihasilkan dari sabut dikenal dengan crude palm oil (CPO) dan dari inti (biji) disebut minyak inti sawit atau palm kernel oil (PKO).

Minyak sawit kasar (CPO) merupakan produk tingkat pertama yang dapat memberikan nilai tambah sekitar 30 % dari nilai tambah buah segar. Pemisahan asam lemak penyusun trigliserida pada minyak sawit dapat dilakukan dengan menggunakan proses fraksinasi. Secara umum fraksinasi minyak sawit dapat menghasilkan 73 % olein, 21 % stearin, 5 % Palm Fatty Acid Distillate (PFAD), dan 0.5 % limbah. Olein sawit merupakan fase cair yang dihasilkan dari proses fraksinasi minyak sawit setelah melalui pemurnian. Karakteristik fisik olein sawit bersifat cair pada suhu ruang, berbeda dengan minyak sawit (CPO) yang bersifat semi padat. Komposisi asam lemak beberapa produk sawit disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi asam lemak beberapa produk sawit

Asam lemak Jenis Bahan

CPOa) PKOb) Oleinc) Stearinc) Laurat (C12:0) <1.2 40-52 0.1-0.5 0.1-0.6 Miristat (C14:0) 0.5-5.9 14-18 0.9-1.4 1.1-1.9 Palmitat (C16:0) 32-59 7-9 37.9-41.7 47.2-73.8 Palmitoleat (C16:1) < 0.6 0.1-1 0.1-0.4 0.05-0.2

Stearat (C18:0) 1.5-8 1-3 4.0-4.8 4.4-5.6

Oleat (18:1) 27-52 11-19 40.7-43.9 15.6-37.0 Linoleat (C18:2) < 1.5 - 0.1-0.6 0.1-0.6 Sumber :

a)

Godin dan Spensley (1971) dalam Salunkhe et al. (1992).

b)

Swern (1979).

c)

Basiron (1996).

(17)

4

(1979), panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan lipofilik. Apabila rantai hidrofobik terlalu panjang, akan terjadi ketidakstabilan, terlalu besarnya afinitas untuk gugus minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini akan ditunjukkan oleh keterbatasan kelarutan dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat aktif permukaan (surface active) karena ketidakcukupan gugus hidrofobik dan akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya panjang rantai terbaik untuk surfaktan adalah asam lemak dengan 10-18 atom karbon

.

Olein sawit baik digunakan sebagai bahan baku surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES), hal ini dikarenakan olein sawit dominan mengandung asam lemak C16 dan C18 sebesar 40.7 –

43.9 % (Hui 1996). Metil ester dari asam lemak tidak jenuh juga mudah disulfonasi oleh gas SO3, sehingga reaksi sulfonasi pada olein sawit akan terjadi pada ikatan C-α juga terjadi pada

ikatan rangkap. Olein merupakan fraksi cair dari minyak sawit, berwarna kuning sampai jingga dan diperoleh dari hasil fraksinasi minyak dari daging buah sawit. Olein merupakan trigliserida yang bertitik cair rendah, serta mengandung asam oleat dengan kadar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan stearin (fraksi padat dari minyak Sawit)

2.2

SURFAKTAN

Surfaktan adalah suatu zat yang bersifat aktif permukaan yang dapat menurunkan tegangan antarmuka (Interfacial Tension, IFT) minyak– air. Surfaktan memiliki kecenderungan untuk menjadikan zat terlarut dan pelarutnya terkonsentrasi pada bidang permukaan. Sifat-sifat surfaktan adalah mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi (misalnya oil in water (o/w) atau water in oil (w/o). Di samping itu, surfaktan akan terserap ke dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengurangi atau menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang terdispersi. (Rieger 1985).

Menurut Flider (2001), surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi ke dalam empat kelompok dasar, yaitu : (a) berbasis minyak-lemak, seperti monogliserida, digliserida, poligliserol ester, fatty alkohol sulfat, fatty alkohol etoksilat, MES, dietanolamida, sukrosa ester, dan sebagainya, (b) berbasis karbohidrat, seperti alkil poliglikosida dan N-metil glukamida, (c) ekstrak bahan alami, seperti lesitin dan saponin, serta (d) biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme, seperti rhamnolipida, sophorolipida, lipopeptida, threhaloslipida, dan sebagainya.

Surfaktan berbasis minyak-lemak (oleokimia) merupakan kelompok surfaktan berbasis bahan alami yang paling banyak dihasilkan. Minyak dan lemak yang biasanya digunakan untuk memproduksi surfaktan diantaranya yaitu tallow, tall oil, minyak biji bunga matahari, minyak kedelai, minyak kelapa dan minyak sawit. Umumnya bahan baku minyak dan lemak tersebut harus diproses terlebih dahulu menjadi senyawa oleokimia dasar sebelum digunakan untuk memproduksi surfaktan. Oleokimia dasar yang dihasilkan dari minyak dan lemak adalah asam lemak, gliserol, metil ester, dan fatty alkohol. Kebutuhan untuk memproses minyak dan lemak terlebih dahulu ditentukan sebelum memproduksi surfaktan tersebut berpengaruh nyata terhadap biaya produksi produk akhir (Flider 2001).

(18)

5

surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan amfoterik. Surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada bagian hidrofilik atau aktif permukaan (surface-active). Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus ionik yang sangat besar, seperti gugus sulfat atau sulfonat.

Aplikasi surfaktan pada industri sangat luas, contohnya yaitu sebagai bahan utama pada industri deterjen dan pembersih lainnya, bahan pembusaan dan emulsifier pada industri kosmetik dan farmasi, bahan emulsifier pada industri cat, serta bahan emulsifier dan sanitasi pada industri pangan (Hui 1996).

Menurut Swern (1979), kemampuan surfaktan untuk meningkatkan kestabilan emulsi tergantung dari kontribusi gugus polar (hidrofilik) dan gugus non polar (lipofilik). Menurut Matheson (1996), kelompok surfaktan terbesar yang diproduksi dan digunakan oleh berbagai industri (dalam jumlah) adalah surfaktan anionik. Surfaktan anionik adalah bahan aktif permukaan yang bagian hidrofobiknya berhubungan dengan gugus anion (ion negatif).

Molekul surfaktan dapat divisualisasikan seperti berudu ataupun bola raket mini yang terdiri atas bagian kepala dan ekor (Gambar 1). Bagian kepala bersifat hidrofilik (suka air), merupakan bagian yang polar, sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik (benci air/suka minyak), merupakan bagian nonpolar. Kepala dapat berupa anion, kation atau nonion. Sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon (Hui 1996; Hasenhuettl 1997).

Gambar 1. Tampilan orientasi surfaktan pada air (Zen, 2009)

Dalam media cair, molekul surfaktan anionik terpecah menjadi gugus kation yang bermuatan positif dan gugus anion yang bermuatan negatif. Gugus anion merupakan pembawa sifat aktif permukaan pada surfaktan anionik. Contoh khas surfaktan anionik adalah alkohol sulfat dan ester sulfonat. Beberapa contoh surfaktan anionik yaitu Alkilbenzen Sulfonat Linear (LAS), Alkohol Sulfat (AS), Alkohol Eter Sulfat (AES), Alfa Olefin Sulfonat (AOS), parafin (secondary alkane sulfonate, SAS), dan Metil Ester Sulfonat (MES).

2.3

METIL ESTER SULFONAT (MES)

Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) termasuk golongan surfaktan anionik, yaitu surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface-active). MES merupakan golongan baru dalam kelompok surfaktan anionik telah mulai dimanfaatkan sebagai bahan aktif pada produk-produk pencuci dan pembersih (washing

and cleaning products) (Hui 1996; Matheson 1996).

Ekor nonpolar

Kepala Polar

(19)

6

Proses produksi surfaktan MES dilakukan dengan mereaksikan metil ester dengan agen sulfonasi. Menurut Bernardini (1983) dan Pore (1976), pereaksi yang dapat dipakai pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat (H2SO4), oleum (larutan SO3 di dalam H2SO4), sulfur

trioksida (SO3), NH2SO3H, dan ClSO3H. Untuk menghasilkan kualitas produk terbaik,

beberapa perlakuan penting yang harus dipertimbangkan adalah rasio mol, suhu reaksi, konsentrasi grup sulfat yang ditambahkan, lama proses netralisasi, jenis dan konsentrasi katalis, pH dan suhu netralisasi (Foster 1996). Struktur kimia Metil Ester sulfonat (MES) pada Gambar 2 sebagai berikut :

R

CH

C

O

SO

3

Na

OCH

3

Gambar 2. Struktur MES (Watkins, 2001)

Surfaktan pada umumnya dapat disintesis dari minyak nabati melalui senyawa antara metil ester dan alkohol lemak (fatty alcohol). Proses-proses yang dapat diterapkan untuk menghasilkan surfaktan diantaranya yaitu asetilasi, etoksilasi, esterifikasi, sulfonasi, amidasi, sukrolisis, dan saponifikasi. Produksi surfaktan dengan bahan baku metil ester dapat berasal dari minyak kelapa, stearin sawit, kernel sawit (PKO), dan lemak hewan (Mac Arthur dan Sheats 2002).

Menurut Matheson (1996), Metil Ester Sulfonat (MES) memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C14, C16 dan C18 memberikan

tingkat detergensi terbaik, serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability). Dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium.

Hasil pengujian di laboratorium memperlihatkan bahwa laju biodegradasi MES serupa dengan LAS dan sabun, namun lebih cepat dibandingkan LAS. Hal tersebut menyebabkan Metil Ester Sulfonat pada masa mendatang diindikasikan akan menjadi surfaktan anionik yang paling penting (Watkins 2001).

Mekanisme pembuatan Metil Ester Sulfonat adalah dengan mereaksikan Metil Ester (biodiesel) dengan agen pensolfunasi gas SO3 menghasilkan Metil Ester Sulfonat Acid

(20)

7

Gambar 3. Reaksi kimia produksi metil ester sulfonat (Susi, 2010)

Menurut Watkins (2001) jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku `pembuatan Metil Ester Sulfonat (MES) adalah kelompok minyak nabati seperti minyak kelapa, minyak sawit, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak kedelai, atau tallow (lemak sapi). Menurut Swern (1979), panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan lipofilik. Apabila rantai hidrofobik terlalu panjang, akan terjadi ketidakseimbangan, terlalu besarnya afinitas untuk gugus minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini akan ditunjukkan oleh keterbatasan kelarutan di dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat aktif permukaan (surface active) karena ketidakcukupan gugus hidrofobik dan akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak.

2.4 TEGANGAN ANTAR MUKA (

Interacial Tension

/IFT)

Tegangan permukaan atau energi bebas permukaan didefinisikan sebagai usaha yang dibutuhkan untuk memperluas permukaan cairan per satuan luas. Sedangkan tegangan antarmuka adalah pengukuran kekuatan sebagai usaha yang diperlukan untuk memperluas antar muka antara dua cairan immisible per satuan luas (Shaw 1980). Tegangan antarmuka adalah energi yang bergerak melintang sepanjang garis permukaan. Tegangan permukaan merupakan suatu gaya yang timbul sepanjang garis permukaan suatu cairan. Gaya ini timbul karena adanya kontak antara dua cairan yang berbeda fase Dalam satuan SI (Standard International) besaran tegangan antarmuka dinyatakan dengan mN/m atau dyne/cm.

Metil Ester

Metil Ester Sulfonat

Metil Ester Sulfonat Acid Proses Sulfonasi

(21)

8

Turunnya tegangan antarmuka akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya meningkatkan gaya adhesi. Gaya kohesi adalah gaya antar molekul yang bekerja diantara molekul-molekul yang sejenis, sedangkan gaya adhesi adalah gaya antar molekul yang bekerja diantara molekul-molekul yang tidak sejenis

.

Adapun mekanisme dari penurunan tegangan antarmuka minyak dengan air akibat penginjeksian larutan surfaktan adalah sebagai berikut: surfaktan organik memiliki gugus dasar hidrokarbon (R) dan berikatan dengan senyawa anorganik (gugus sulfonat) SO3. Rumus

kimianya adalah R-SO3H. Surfaktan jenis ini dalam air akan terionisasi menjadi SO3- dan H+.

Bila ion molekul RSO3- kontak dengan senyawa yang bersifat nonpolar (minyak), maka gugus

R– akan berusaha untuk melakukan gaya adhesi (surfaktan–minyak), sedangkan pada molekul surfaktan ini sendiri akan bekerja gaya kohesi antara RSO3

-, pengaruh gaya adhesi ini akan memgurangi harga resultan gaya kohesi minyak itu sendiri, yang mengakibatkan gaya antarmuka minyak dan air akan menurun (Affiati 1992). Saat ini diyakini jika IFT dapat diturunkan menjadi 10-3 dyne/cm, maka fraksi minyak dalam pori-pori batuan dapat di imobilisasi lebih baik (Baviere et al 1992).

Suatu surfaktan tersusun atas gugus hidrofobik dan hidrofilik pada molekulnya dan memiliki kecenderungan untuk berada pada antarmuka antara dua fase yang berbeda derajat polaritasnya atau dengan kata lain surfaktan dapat membentuk film pada bagian antar muka dua cairan yang berbeda fase. Pembentukan film tersebut menyebabkan turunnya tegangan permukaan kedua cairan berbeda fase tersebut sehingga mengakibatkan turunnya tegangan antar muka (Georgiou et al. 1992).

Efek dari surfaktan pada fenomena antar muka merupakan fungsi dari konsentrasi surfaktan pada antar muka. Efektifitas surfaktan pada adsorpsi antar muka didefinisikan sebagai konsentrasi maksimum dimana surfaktan dapat tertahan pada antar muka

.

Efektifitas Surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka minyak – air dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jenis surfaktan yang digunakan, konsentrasi surfaktan dan kosurfaktan yang digunakan, kadar garam larutan, dan adsorpsi larutan surfaktan (Menursita 2002).

Menurut Shaw (1980), tegangan antarmuka merupakan faktor penting pada proses

enchanced oil recovery (EOR) dalam bidang pertambangan. Surfaktan dapat menurunkan tegangan antarmuka antara fluida dengan fluida, fluida dengan batuan, dan fluida dengan hidrokarbon. Di samping itu, surfaktan dapat memecah tegangan permukaan dari emulsi minyak yang terikat dengan batuan (emulsion blocks), mengurangi terjadinya water blocking

dan mengubah sifat kebasahan (wettability) batuan menjadi suka air (water wet). Dalam kondisi batuan yang bersifat water wet, minyak menjadi fasa yang mudah mengalir dan dengan demikian water cut dapat diturunkan.

Proses EOR didefinisikan sebagai suatu metode yang melibatkan proses penginjeksian material yang dapat menyebabkan perubahan dalam reservoir seperti komposisi minyak, suhu, rasio mobilitas, dan karakteristik interaksi batuan-fluida. Metode EOR dapat dikelompokkan berdasarkan material yang diinjeksikan ke reservoir yaitu metode panas (air panas, steam stimulation, steamflood, fireflood), metode kimia (polimer, surfaktan, alkali), metode solvent

-miscible (pelarut hidrokarbon, CO2, N2, gas hidrokarbon, campuran gas alam), dan lainnya

(22)

9

2.5

AIR FORMASI TANJUNG

Air formasi merupakan air yang terdapat di dalam formasi batuan. Merupakan istilah untuk menjelaskan larutan cair yang terdapat pada pertemuan produksi minyak dan gas dalam sumur minyak bumi. Istilah lain adalah air yang ada pada saat pembentukan hidrokarbon yang terjebak dalam layer batuan dan ditemukan dalam ruang di dalam batuan tersebut. Komposisi air formasi bervariasi sesuai posisi dalam struktur geologi dari air yang dihasilkan. Sebagian besar air formasi berisi unsur anorganik terlarut dan senyawa organik.

Analisa air minyak bumi menunjukkan adanya berbagai sifat kimia meliputi : unsur organik, seperti natrium, kalsium, magnesium kalium, strontium, lithium, barium, aluminium, besi, timbal hitam, mangan, silikon, dan seng; anion yaitu klorida, bromida iod, arsenat, borat, karbonat, florida, hidroksi, asam organik, garam, fosfat dan boron; gas terlarut seperti CO2, N2,

dan H2S; dan sifat fisik geologi seperti: kompresibilitas, densitas, faktor volume formasi,

tahanan jenis, tegangan antarmuka, viskositas, pH, dan potensial redoks (Collins 1989). Lapangan Tanjung merupakan salah satu daerah operasi milik PT. Pertamina (Persero) Unit Bisnis Pertamina EP Tanjung, yang berlokasi ± 230 km timur laut Banjarmasin, Kalimantan Selatan atau ± 240 km dari Balikpapan, Kalimantan Timur (Gambar 4). Sejarah penemuan lapangan ini diawali dengan penemuan minyak oleh Mijn Bouw Maatschappij Martapoera pada tahun 1898 dengan melakukan empat pengeboran sumur minyak. Dotsche Petroleum Maatschappij, perusahaan Belanda mengambil alih lapangan ini pada tahun 1912. Namun tidak bertahan lama lapangan ini diambil alih oleh sesama perusahaan Belanda pada tahun 1930 yang bernama N.V. Bataache Petroleum Maatschappij atau lebih dikenal dengan BPM.

Struktur Tanjung terletak pada Cekungan Barito bagian Timur Laut, yang dibatasi oleh Sunda Shelf, dibagian bawah Meratus High, dibagian Timur dan Utara dibatasi oleh Kuching High. Struktur Tanjung berbentuk asymmetric NE-SW oriented faulted anticline, yang dibatasi di Barat dan Utara oleh patahan. Struktur Tanjung mempunyai panjang sekitar 9 km dan lebar sekitar 3 km dengan luas ± 2973,74 acre ( Wibowo 2008)

Gambar 4. Lokasi lapangan Tanjung (Wibowo 2008)

(23)

10

2.6

BAKTERI DI LINGKUNGAN SUMUR MINYAK BUMI

Kelimpahan organisme dalam ekosistem ditentukan oleh ketersediaan energi dan sumber karbon serta nutrisi esensial. Tiap-tiap spesies atau galur dalam ekosistem memiliki kebutuhan nutrisi khusus, sifat kinetik, kemampuan biokimia, struktur khusus, dan lebih lanjut lagi mempunyai tingkat yang berbeda dalam toleransi atau kemampuan terhadap kondisi lingkungan (Balows et al. 1992). Menurut kadarwati et al. (1994) mikroorganisme yang banyak hidup dan berperan di lingkungan hidrokarbon minyak bumi sebagian besar adalah bakteri. Bakteri yang sesuai harus mempunyai kemampuan fisiologi dan metabolik untuk mendegradasi bahan pencemar Bakteri, terutama jenis aerob, dapat mengoksidasi hidrokarbon dalam minyak bumi dan menggunakannya sebagai sumber karbon dan energi bagi pertumbuhannya. Umumnya bakteri yang dijumpai dalam reservoir minyak bumi berasal dari lingkungan sekitarnya, baik yang berasal dari lingkungan tanah maupun perairan.

Minyak bumi umumnya mengandung ratusan senyawa kimia, dengan hidrokarbon sebagai penyusun utamanya. Kebanyakan minyak bumi mengandung 90- 95% hidrokarbon, meskipun ada yang memiliki 50% hidrokarbon (Davis 1967). Hidrokarbon sebagai satu-satunya sumber karbon yang berada di dalam minyak bumi dapat dimanfaatkan oleh bakteri pengoksidasi hidrokarbon untuk menyokong pertumbuhannya (Madigan dan Martinko 2006).

Mikroorganisme dalam hidup dan pertumbuhannya memerlukan sejumlah nutrisi atau makanan dan energi. Hidrokarbon minyak bumi akan dikonsumsi mikroorganisme sebagai sumber karbon dan energi. Unsur karbon yang terdapat pada minyak bumi, nitrogen dan fosfor dalam suatu lingkungan tertentu akan digunakan mikroorganisme untuk pertumbuhan dan biosintesisi unsur pokok bakterial (Oetomo 1997).

Bakteri yang diisolasi dari lingkungan minyak bumi umumnya tumbuh secara optimal pada suhu 37oC Faktor suhu dan tekanan akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman formasi. Formasi yang terdalam masih menyediakan lingkungan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Suhu pada kedalaman reservoir meningkat rata-rata sebesar 1-20C tiap 100 kaki (Menursita 2002).

Mikroorganisme pendegradasi minyak bumi umunya tergolong dalam mikroba aerob, sehingga adanya oksigen sangat penting dalam proses degradasi. Dalam studi laboratorium, penambahan oksigen dapat dilakukan dengan pengadukan dan aerasi. Pengadukan menyebabkan pecahnya lapisan minyak pada permukaan air sehingga berlangsung suplai oksigen dari udara. Dengan demikian kebutuhan mikroorganisme akan oksigen akan terpenuhi. Penelitian Bossert dan Bartha (1984) menunjukkan bahwa dari 22 genera bakteri yang hidup di lingkungan minyak bumi, isolat yang mendominasi terdiri dari beberapa genera yaitu :

Alcaligenes, Arthrobacter, Nocardia, Achromobacter, Bacillus, Flavobacterium, dan

Pseudomonas. Penelitian lain dari Udiharto (1992) menunjukkan bahwa pseudomonas sp. merupakan genera yang paling dominan ditemui di lingkungan minyak bumi. Genus

Pseudomonas telah dikenal luas sebagai salah satu kelompok mikroba yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam mendegradasi minyak bumi. Bakteri ini memiliki kemampuan mendegradasi fraksi alifatik, aromatik dan resin (Harayama et al. 1995).

(24)

11

tumbuh secara kemoorganotrof. Karakteristik yang mencolok dari kelompok ini adalah variasi yang sangat luas terhadap penggunaan senyawa organik sebagai sumber karbon dan energi. Pseudomonas mampu memanfaatkan berbagai senyawa hidrokarbon seperti alkana rantai lurus C11–C36, alkana bercabang, fenantren, antrasen dan naftalen, benzotiofen, dibenzotiofen, xylen,

dan toluen (Van Hamme 2000).

Sedangkan Bacillus diketahui dapat tumbuh dengan baik pada berbagai sumber karbon, diantaranya dengan mengoksidasi berbagai hidrokarbon alifatik (Davis 1967). Kelompok pembentuk endospora ini lazim ditemukan dalam tanah, air, udara dan tumbuh-tumbuhan. Beberapa strain Bacillus dapat ditemukan di daerah ekstrim seperti danau soda dan tanah berkadar karbonat tinggi yang memiliki pH alkali. Selain itu, dapat juga diisolasi dari lokasi geotermal dan sumber air panas yang bersuhu tinggi (Madigan dan Martinko 2006).

Penelitian Knight dan Proom (1950) menemukan adanya organisme baru dari isolasi yang dilakukan terhadap mesopilik spesies dari genus Bacillus yang berasal tanah. Mampu tahan dalam kondisi simulasi 4% NaCl broth dan suhu inkubasi 370C pada Agar Nutrien. Jenis tersebut adalah Bacillus pantothenticus. Karakterisasi B.pantothenticus termasuk dalam bakteri gram-positif, bersifat aerob fakultatif, berbentuk batang vegetatif ukuran 0.5-4.0 m, umumnya hidup sendiri atau bercampur dalam bebrapa organisme lainnya. Mampu tumbuh dalam medium mengandung garam, asam-hidrolase casein dengan aneurin, biotin, dan asam pantotenik (Knight dan Proom 1950).

Adapun bakteri Streptococcus dan Staphylococcus termasuk dalam gram positif bersifat aerob fakultatif, tidak menghasilkan spora dan tidak motil, umumnya tumbuh berpasangan maupun berkelompok, dengan diameter sekitar 0,8-1,0 µm Staphylococcus aureus tumbuh optimum pada shu 370C mampu menghsilkan katalase, yaitu enzim untuk mengkonversi H2O2

menjadi H2O dan O2, dan koagulase, enzim yang mengakibatkan fibrin berkoagulasi dan

menggumpal (Madigan dan Partinko 2006).

2.7

PERTUMBUHAN MIKROORGANISME

Pertumbuhan mikroorganisme sangat tergantung pada tersedianya substrat dan karbon sebagai sumber energi. Kecepatan pertumbuhan mikroorganisme dalam suat medium bergantung dengan kondisi yang seimbang antara populasi mikroorganisme dengan substrat yang tersedia, artinya apabila mikroorganisme mendapat substrat yang cukup populasi akan berkembang dan tumbuh dengan cepat, sebaliknya apabila jumlah substrat yang tersedia terbatas. Maka, energi yang diperoleh hanya cukup untuk mempertahankan hidupnya. Karbon yang tersedia pada hidrokarbon minyak bumi akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk aktivitas pertumbuhannya. Selain karbon, kebutuhan unsur lain yang esensial adalah: nitrogen, fosfor, oksigen, belerang, kalilum, magnesium, dan besi. (Jordan dan Payne 1980)

(25)

12

densitas optik (OD) maupun bobot kering sel. Pengukuran nilai densitas optik berbanding lurus dengan konsentrasi sel pada kisaran tertentu.

Kurva pertumbuhan diperoleh melalui perhitungan jumlah bakteri yang dihitung pada waktu-waktu tertentu sehingga menunjukkan pola pertumbuhan bakteri tersebut. Pola pertumbuhan bakteri pada umumnya memiliki empat fase pertumbuhan, yaitu fase permulaan atau adaptasi (fase lag), fase pertumbuhan eksponensial atau logaritma (fase log), fase stasioner, dan fase kematian.

Fase pertumbuhan awal atau fase lag merupakan awal pertumbuhan mikroba ketika bakteri baru menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Fase ini ditandai dengan perubahan komposisi kimiawi sel, penambahan ukuran, substansi seluler, dan waktu generasinya relatif panjang. Fase selanjutnya adalah fase pertumbuhan eksponensial atau fase log yang merupakan fase pertumbuhan sel paling cepat dan paling aktif. Pada fase ini, metabolisme sel paling aktif, sintesis bahan sel sangat cepat dengan jumlah konstan hingga nutrien habis. Fase log sangat dipengaruhi oleh suhu dan komposisi media pertumbuhan. Fase optimum pertumbuhan bakteri ini memungkinkan dalam mempelajari enzim dan komponen bakteri lainnya, termasuk metabolit primer (Rahman 1992).

Gambar 5. Kurva pertumbuhan bakteri (Rahman 1992)

Setelah nutrisi pada media pertumbuhan sudah habis, pertumbuhan sel mulai terhambat, kecepatan pembelahan sel berkurang, dan jumlah sel yang mati mulai bertambah, serta mulai dihasilkannya metabolit sekunder. Pada fase ini, jumlah sel hidup konstan seperti tidak terjadi pertumbuhan, sehingga disebut sebagai fase stasioner. Berikutnya, nutrisi dari media pertumbuhan sudah tidak tersedia lagi dan terjadi penimbunan hasil metabolisme yang bersifat toksik yang mengakibatkan penurunan jumlah populasi bakteri secara drastis. Fase ini disebut sebagai fase kematian. Namun, pada fase ini tetap terdapat sel yang dapat bertahan hidup dengan waktu generasi yang relatif lama (Rahman 1992).

L

og j

u

m

la

h

b

ak

r

te

r

i

Fase lag

Fase kematian

Fase Log

Fase Stasioner

(26)

13

III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1

ALAT DAN BAHAN

3.1.1

Alat

Peralatan yang digunakan dalam proses pembuatan metil ester adalah tank esterifikasi skala pilot plant 100 L. Sedangkan untuk pembuatan MES digunakan reaktor sulfonasi Single Tube Falling Film Reactor (STFR). Untuk keperluan analisa mikrobiologi menggunakan antara lain autoklaf, tabung reaksi, cawan petri, durgasky stick, bunsen, selongsong pipet, pipet serologis 1 ml, kapas, sumbat karet, vortex mixer, oven sterilisasi, pipet mikrometer, quebec colony meter. Keperluan untuk fisikokimia MES: piknometer, pH meter, gelas ukur, labu erlemeyer, hotplate stirrer, neraca analitik. Sedangkan untuk uji IFT menggunakan: Density Meter DMA 4500M/Anton Paar dan spinning drop TensiometerTX 500 C.

3.1.2

Bahan

Bahan baku utama yang digunakan adalah surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) dari olein, air formasi sumur Tanjung. Untuk keperluan analisan MES diantaranya: larutan KI 10 %, larutan Na2S2O3 0,1 N, indikator fenolftalein 1%, KOH 0,1 N, NaCl, CaCl2.2H2O, NaOH

0.1 N, campuran 50% toluen – 50% etanol 95%, campuran sikloheksan – asam asetat glasial, larutan Wijs, indikator Metilene blue, N-cetylpyridiumchloride, dan aseton. Media yang dipergunakan untuk pertumbuhan bakteri adalah Nutrient Broth dan minyak bumi mentah (crude oil), sedangkan untuk analisa mikroorganisme digunakan adalah Nutrient Agar (NA) dan Nutrient Broth (NB).

3.2

WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus hingga Desember 2010. Pembuatan surfaktan MES dilakukan di Laboratorium Produksi Surfaktan MES SBRC IPB di PT Mahkota Indonesia, Pulogadung, Jakarta. Pengambilan sampel bakteri berasal dari BLCC (Biotechnology Lemigas Culture Collection) PPTMGB Lemigas, Jakarta. Analisa surfaktan dan IFT di Laboratorium Analisis SBRC Institut Pertanian Bogor.

3.3

METODE PENELITIAN

3.3.1

Sifat Fisiko Kimia Olein

(27)

14

3.3.2

Metil Ester Olein

Bahan baku olein sawit diproses secara transesterifikasi untuk menghasilkan metil ester olein. Proses transesterifikasi dilakukan dengan cara pemanasan hingga suhu 60 ⁰C kemudian dimasukkan dalam tangki transesterifikasi dan ditambahkan larutan metoksida (methanol 15% v/v, KOH 1% b/v) dengan pengadukan selama 1 jam. Setelah 1 jam, dipindahkan ke dalam tangki settling (pengendapan) dan diendapkan selama 24 jam untuk pemisahan gliserol. Gliserol dipisahkan, kemudian dilakukan pencucian menggunakan air minimal 3-4 kali untuk menghilangkan gliserol dan sabun yang terbentuk, dan selanjutnya dikeringkan dengan pemanasan dan pengadukan hingga tidak terlihat lagi gelembung air pada permukaan

.

Terhadap m

etil ester yang dihasilkan dilakukan analisa sifat fisika-kimia meliputi: kadar air, bilangan asam, bilangan iod, bilangan penyabunan, fraksi tak tersabunkan, dan kadar ester.

3.3.3

Pembuatan Metil Ester Sulfonat

Tahapan selanjutnya dalam produksi surfaktan MESA adalah proses sulfonasi yang merupakan proses pelekatan gugus sulfonat pada senyawa organik. Pada kegiatan penelitian ini digunakan gas SO3 sebagai agen sulfonasi dan Metil Ester Olein. Reaksi sulfonasi terjadi di

dalam Reaktor Single Tube Falling Film Reactor (STFR) setinggi 6 m diameter tube 25 mm. Kontak Gas SO3 dan Metil Ester dilakukan pada laju alir 75 ml/menit dengan suhu input

bahan 100 ⁰C selama 360 menit. MESA dilanjutkan dengan proses aging pada suhu 80oC dan waktu 60 menit. Surfaktan MESA dinetralkan dengan NaOH 50% untuk mendapatkan surfaktan MES. Kemudian dilakukan analisa fisikokimia berupa: densitas, warna, bilangan asam, dan bahan aktif.

3.3.4

Pembuatan Kultur Bakteri Campuran

Kultur bakteri yang digunakan merupakan koleksi dari BLCC (Biotechnology Lemigas Culture Collections). Kultur bakteri yang digunakan adalah: Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginos, Bacillus pantothenticus, dan Streptococus sp. Sediaan kultur tersebut diambil 1 ose dari media agar miring untuk dilakukan penyegaran (propagasi) dengan cara digoyangkan dalam media nutrient broth cair dengan shaker selama 48 jam pada suhu 37oC. Kemudian diambil 5 ml pada masing-masing kultur tersebut secara aseptik untuk dicampurkan dalam media nutrient broth yang baru sebanyak 200 ml.

3.3.5

Inokulasi Bakteri

(28)

15

3.3.6

Pembuatan Kurva Pertumbuhan

Sebanyak 2-3 ml sampel (air formasi yang telah ditambahkan bakteri campuran) diambil setiap jamnya. Untuk melihat pola pertumbuhan bakteri yang akan dibuat kurva tumbuh selama 36 jam. Selanjutnya, dilakukan pengukuran jumlah sel dengan metode turbidimetri melalui perhitungan Optical Density (OD) menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm. Kurva pertumbuhan diperoleh dengan memplotkan waktu (jam) pada sumbu x dan OD pada sumbu y.

3.3.7

Pengujian Ketahanan Surfaktan MES

Surfaktan MES yang telah disterilisasi di timbang untuk penentuan kebutuhan dalam pembuatan konsentrasi 0.1%; 0.3%; 0.5%; dan 1.0% surfaktan dalam air formasi. Sebagai contoh untuk pembuatan konsentrasi 0.1% dalam 20 ml suspensi bakteri (air formasi) ditambahkan 0,02 gram surfaktan MES. Campuran tersebut diletakkan di dalam tabung reaksi dan ditutup dengan alumium foil. Kemudian di inkubasi dalam kondisi dan suhu ruang selama 7 hari dengan dilakukan pengamatan pada hari ke-1, 3, 5, dan 7 sebanyak 2 kali ulangan. Waktu inkubasi tersebut menggambarkan lamanya surfaktan berada dalam sumur minyak. Ketahanan MES diukur melalui kemampuannya dalam menurunkan tegangan antar muka (IFT). Pengukuran IFT menggunakan alat Tensiometer kemudian dibandingkan dengan MES yang tidak diberikan kultur bakteri (kontrol). Sebagai pengamatan awal ketahanan surfaktan. Kondisi pengujian dilakukan dalam kondisi ruang pada suhu 27 – 30 oC

Model Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) in Time

dengan dua faktor yakni konsentrasi surfaktan dalam suspensi bakteri (B) dan lama inkubasi (S). Faktor konsentrasi surfaktan terhadap suspensi bakteri terdiri atas empat taraf, sedangkan faktor lama inkubasi sebanyak empat taraf. Masing-masing dilakukan ulangan sebanyak dua kali. Model Linear percobaan (Mattjik dan Sumertajaya 2006):

Yijk = + Bi + Sj + (BS)ij + ij + ijk

Keterangan :

Yijk = Hasil pengamatan konsentrasi ke-i, lama inkubasi ke-j pada Ulangan ke-k µ = Rata-rata yang sebenarnya

Bi = pengaruh konsentrasi ke-i (i = 0.1, 0.3, 0.5, 1.0) Sj = pengaruh lama inkubasi ke-j (j= 1, 3, 5, 7)

(BS)ij = pengaruh interaksi konsentrasi ke-i dengan lama inkubasi ke-j

δ

ij = komponen acak perlakuan ijk = Galat percobaan

Interaksi RAL intime dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mendapatkan perlakuan terbaik. Kemudian dilanjutkan uji- t dengan membandingkan perlakuan terbaik dengan kontrol.

(29)

16

Gambar 6. Diagram alir penelitian ketahanan surfaktan MES

Surf. 1,0%

Pengukuran IFT (Tensiometer)

Metil Ester Sulfonat

Filtrasi (0,45 m)

Streptococus sp. Bacillus pantothenticus Pseudomonas aeruginosa Staphylococcus aureus Bakteri Campuran 1-2% Sterilisasi (T=121oC, t=15’)

Air Formasi Tanjung Steril 500 ml Inokulasi aseptik Metil Ester Metil Ester Sulfonat Acid (MESA) Propagasi (penyegaran) Shaker T=37oC, 48 jam

Air Formasi + Bakteri Campuran

Pembuatan kurva tumbuh (spektrometer) Surf. 0,1% Surf. 0,3% Surf. 0,5%

Inkubasi (1, 3, 5, 7 hari) Surf.

blanko

Transesterifikasi

(30)

17

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

SIFAT FISIKOKIMIA OLEIN SAWIT

Penelitian pembuatan surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) ini menggunakan bahan baku olein sawit. Olein sawit merupakan salah satu hasil fraksinasi berbentuk cair dari minyak sawit kasar (Crude Palm Oil). Sebelum dilakukan proses transesterifikasi, maka analisis olein sawit diperlukan untuk mengetahui sifat fisikokimia olein sawit. Sifat fisikokimia olein sawit menjadi acuan kondisi reaksi transesterifikasi yang digunakan untuk mengkonversi olein sawit menjadi metil ester olein. Hasil analisis olein sawit selengkapnya disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Sifat fisikokimia olein sawit

Analisis Satuan Nilai

Asam lemak bebas % 0.19

Bilangan asam mg KOH/g minyak 0.41

Bilangan iod mg iod/g minyak 61.33

Bilangan penyabunan mg KOH/g minyak 208.40

Densitas g/L 0.906

Viskositas (29 oC) 61.5

Kadar Air % 0.103

Fraksi tak tersabunkan % 0.38

Menurut Mittelbach dan Remschmidt (2006) minyak dengan bilangan asam di bawah 1 mg KOH/ gram minyak dapat diolah secara langsung melalui proses transesterifikasi, sedangkan Sanford et al. (2009) menyebutkan mensyaratkan asam lemak bebas pada bahan baku untuk pembuatan metil ester tidak lebih besar dari 0.5%. Hal ini terkait dengan pengaruh asam lemak bebas dalam proses produksi metil ester yakni menyebabkan terjadinya deaktivasi katalis yang diakibatkan karena asam lemak bebas bereaksi dengan natrium metoksida membentuk sabun. Aktivitas katalis basa yang berkurang akan mengganggu konversi minyak menjadi metil ester. Analisis sifat fisikokimia olein sawit menunjukkan bilangan asam 0,41 mg KOH/gram dan asam lemak bebas 0.19% sehingga dapat dilakukan proses transesterifikasi langsung untuk membuat metil ester.

Hasil analisa menyebabkan bilangan iod olein sebesar 61.33 mg iod/g minyak. Bilangan iod dan komposisi asam lemak tidak berpengaruh terhadap proses transesterifikasi, namun menentukan karakteristik metil ester yang dihasilkan. Metil ester dari minyak tidak jenuh kurang stabil terhadap oksidasi. Stabilitas terhadap oksidasi ditentukan oleh 2 aspek yaitu keberadaan atom hidrogen pada ikatan rangkap yang merupakan titik terjadinya oksidasi dan adanya antioksidan alami pada minyak yang dapat mencegah oksidasi pada molekul trigliserida (Sanford et al. 2009).

(31)

18

lemak pendek, maka dalam 1 gram lemak atau minyak kandungan asam lemaknya semakin banyak sehingga kebutuhan KOH untuk penyabunan semakin tinggi demikan sebaliknya.

Dari hasil analisis, olein sawit yang digunakan untuk bahan baku pembuatan metil ester mengandung sejumlah kecil air 0.13%. Air merupakan komponen minor dalam olein, namun dalam proses produksi metil ester sangat penting untuk dihilangkan. Menurut Gerpen et al. (2004) kandungan air dalam bahan baku masih ditoleransi hingga 1%. Air mampu menghidrolisis trigliserida menjadi digliserida dan akhirnya terbentuk asam lemak bebas. Asam lemak bebas akan bereaksi dengan katalis basa membentuk sabun. Air pada olein dapat dihilangkan dengan proses pemanasan dan dibantu dengan kondisi vakum untuk meminimalkan pembentukan emulsi selama proses transesterifikasi.

Fraksi tak tersabunkan yang terdapat pada olein sawit yang digunakan sebesar 0.38%. Fraksi tak tersabunkan merupakan senyawa yang tidak dikehendaki dalam minyak yang harus dihilangkan atau diminimalkan. Fraksi tak tersabunkan terdiri dari senyawa organik yang tidak bereaksi dengan basa untuk membentuk sabun. Fraksi tak tersabunkan terdiri dari sterol, alkohol dengan bobot molekul yang tinggi, pigmen, lilin (waxes) dan hidrokarbon. Fraksi ini bersifat sangat non polar, sehingga memungkinkan terbawa pada metil ester setelah reaksi transesterifikasi sehingga dapat mengurangi kemurnian metil ester dan dapat mempengaruhi proses selanjutnya.

4.2

SIFAT FISIKOKIMIA METIL ESTER OLEIN

Tahapan penting pada penelitian ini adalah produksi bahan baku utama untuk sulfonasi, yaitu metil ester. Metil ester dipilih sebagai bahan untuk sulfonasi karena kualitas metil ester sebagai bahan sulfonasi lebih baik, yaitu sifat metil ester yang tidak mudah teroksidasi dibandingkan jika menggunakan trigliserida dan asam lemak sebagai bahan baku sulfonasi.

[image:31.595.140.526.550.674.2]

Menurut Sheats dan MacArthur (2002) penggunaan metil ester sebagai bahan baku pembuatan Metil Ester Sulfonat sangat memfokuskan pada tingginya hidrogenasi dan kemurnian bahan baku, hal ini terkait dengan tingkat ketidakjenuhan dan distribusi rantai karbon didalamnya. Tabel 3 memperlihatkan analisa metil ester olein.

Tabel 3. Sifat fisikokimia metil ester olein

Analisis Satuan Nilai

Kadar air % 0,13

Bilangan asam mg KOH/g ME 0,21

Bilangan iod mg I/g ME 63,74

Bilangan penyabunan mg KOH/g ME 276,30

Fraksi tak tersabunkan % 0,14

Kadar ester % 97,57

(32)

19

Analisis bilangan asam metil ester olein sawit dilakukan untuk mengukur tingkat konversi metil ester. Penurunan bilangan asam dari olein sebesar 0.41 mg KOH/g sampel menjadi 0.21 mg KOH/g menunjukkan penurunan asam lemak bebas, karena teresterifikasi menghasilkan metil ester. Bilangan asam pada metil ester setelah proses transesterifikasi lebih rendah karena katalis basa akan memisahkan asam lemak bebas melalui mekanisme pembentukan sabun. Bilangan asam dapat meningkat sejalan dengan waktu penyimpanan karena terjadinya reaksi dengan udara atau air (Gerpen et al. 2004). Penurunan bilangan asam berkorelasi dengan kadar ester metil olein yaitu sebesar 97.57%, hal ini menunjukkan konversi olein sawit menjadi metil ester cukup tinggi. Menurut Mittelbach dan Remschmidt (2006) kadar ester minimum metil ester sebagai bahan bakar adalah sebesar 96.5%.

Metil ester olein yang dipergunakan pada penelitian ini memiliki bilangan iod sebesar 63.74 mg iod/g ME. Bilangan iod metil ester olein masih lebih tinggi dibandingkan dengan standar yang digunakan Chemithon yaitu 0.39 cg iod/g ME (Sheats dan MacArthur 2002). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketidakjenuhan metil ester olein yang digunakan dalam penelitian ini masih lebih tinggi dibandingkan standar dari Chemithon.

4.3

SIFAT FISIKOKIMIA SURFAKTAN MES OLEIN

Proses utama dalam produksi surfaktan MES adalah pada tahapan sulfonasi. Bahan baku utama dalam proses sulfonasi adalah metil ester olein dan gas SO3. Proses sulfonasi gas

SO3 terhadap metil ester olein berlangsung secara cepat pada Single Tube Falling Film Reactor

(STFR). Falling Film Reactor ini berukuran tinggi 6 meter dengan diameter tube 25 mm. Kontak Gas SO3 dan metil ester dilakukan pada laju alir 75 ml/menit dengan suhu input bahan

100 ⁰C selama 360 menit. Proses tersebut menghasilkan produk antara yang disebut Metil Ester Sulfonat Asam (MESA).

Kemudian dilakukan aging pada suhu 80o C dan lama 60 menit. Proses tersebut Proses aging dilakukan pada MESA agar mencapai reaksi sulfonasi yang sempurna. Proses ini melibatkan penyusunan ulang (rearrangement) struktur molekul intermediet (RCHSO3HCOOSO3CH3) menjadi methyl ester sulfonic acid atau MESA

(RCHSO3HCOOCH3). MESA dilewatkan kedalam digester yang memilki suhu konstan

(~80oC) selama kurang lebih satu jam. Efek samping dari MESA digestion adalah penggelapan warna campuran asam sulfonat secara signifikan.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses sulfonasi menggunakan gas SO3

khususnya dengan teknologi STFR antara lain sumber dan kemurnian (purity) agent/bahan sulfonasi, tipe dan kualitas Metil Ester, kondisi reaksi serta tipe dan unjuk kerja reaksi sulfonasi (Moretti et al. 2001). Adapun penelitian yang dilakukan oleh Susi (2010) menyebutkan karakteristik tube reaktor STFR harus dapat membuat ketebalan film yang tepat untuk kontak dengan SO3 secara maksimum. Pengaturan laju alir gas/liquid ditentukan oleh

diameter tube, hal ini terkait dengan distribusi permukaan, ketebalan film dan penentuan kecepatan gas sehingga turbulensinya sama. Sehingga didalam penelitian ini harus dijaga ketebalan film dari umpan tetap konstan, turbulensi sama sepanjang tube dan sepanjang waktu sulfonasi. Jika terjadi turbulensi akan memungkinkan proses sulfonasi tidak sempurna.

(33)
[image:33.595.145.528.98.205.2]

20

Tabel 4. Sifat fisikokimia surfaktan MES Olein

Analisis Satuan Nilai

Densitas g/ mL 0,9776

pH - 6,98

Warna Klett 735

Bilangan asam mg NaOH/g MES 1,488

Bahan Aktif % 13,05

Densitas merupakan salah satu sifat dasar fluida yang didefinisikan sebagai hasil dari massa per satuan waktu. Efek suhu pada densitas cairan tidak dapat diabaikan karena cairan akan meregang mengikuti perubahan suhu. Densitas umumnya dikaitkan dengan viskositas yaitu cairan lebih padat maka viskositasnya lebih tinggi, hal ini berkorelasi dengan kandungan total padatan pada bahan. Densitas yang diukur pada penelitian ini 0.9776 g/mL merupakan perbandingan bobot dari suatu volume sampel pada suhu 25 oC dengan bobot air pada volume dan suhu yang sama.

Nilai pH surfaktan MESA memiliki nilai pH yang rendah (berkisar 0.1 – 2.0) hal ini menunjukkan gugus sulfonat (-SO3) dalam produk hasil sulfonasi bersifat asam sehingga

produk tersulfonasi pun memiliki pH yang rendah

.

Hal ini menyebabkan MESA perlu dinetralisasi dengan basa kuat (NaOH 50%) agar larutan bersifat netral, berada pada nilai 6-8. Produk tersulfonasi berwarna hitam gelap, yaitu warna MES terukur sebesar 735 (klett). Warna gelap dikarenakan reaksi reaktif gas SO3 terhadap metil ester olein sehingga terbentuk senyawa

polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi (Roberts et al. 2008). Dalam aplikasi MES untuk bahan pembantu pengambilan minyak (recovery) warna hitam pekat tidak menjadi masalah. Untuk produk lain yang membutuhkan penampilan MES yang lebih menarik seperti sabun atau bahan pembersih lainnya. warna hitam pekat MES ini dapat dihilangkan dengan metode bleaching dengan penambahan asam peroksida (H2O2) dalam kadar tertentu.

Bilangan asam terukur rata-rata sebesar 1.488 mg NaOH/g MES merupakan jumlah miligram basa yang diperlukan untuk menetralisasi asam lemak bebas dalam 1 gram bahan. Basa yang digunakan dalam hal ini adalah NaOH. Produk MESA bersifat asam karena masih mengandung campuran SO3. Gas SO3 merupakan salah satu gugus pembentuk asam kuat,

sehingga banyaknya gugus SO3 yang terikat pada suatu bahan akan meningkatkan bilangan

asam.

Kadar bahan aktif rata-rata MES adalah 13.05% merupakan salah satu mutu nilai kinerja surfaktan. Kadar bahan aktif menunjukkan jumlah kandungan bahan aktif permukaan yang terkandung dalam surfaktan. Semakin banyak kadar bahan aktif dalam surfaktan maka diharapkan akan semakin baik kinerja surfaktan. Kadar bahan aktif dapat ditunjukkan dari jumlah gugus SO3 yang terikat dalam struktur MESA.

Analisis kadar bahan aktif yang dilakukan pada penelitian menggunanakn metode

(34)

21

secara cepat pada akhir titrasi. Akhir titrasi dicapai ketika warna kedua lapisan memiliki intensitas yang hampir sama. Bila titrasi diteruskan maka fasa kloroform akan menjadi lebih pucat lalu lama-kelamaan akan menjadi bening.

Pengujian pendahuluan tegangan antarmuka (IFT) Surfaktan MESA dan MES Olein pada konsentrasi 0,3% dengan Tensiometer sebanyak dua kali ulangan (duplo) menunjukkan nilai masing-masing untuk MESA adalah 8,9 x 10-2 dyne/cm dan 7,9 x 10-2 dyne/cm. Sedangkan untuk MES olein memberikan hasil 7,4x10-2 dyne/cm dan 6x10-3 dyne/cm. Pegujian pendahuluan nilai IFT MES ini akan dijadikan dasar dalam pengujian ketahanan surfaktan. Hasil terbaik pengujian surfaktan MES olein mencapai 10-3 dyne/cm. Pada aplikasinya di lapangan sumur minyak nilai IFT yang mencapai 10-3 mampu meningkatkan kinerja surfaktan dalam menurunkan tegangan minyak – air di sumur minyak bumi. (Baviere et al 1992)

4.4

PERTUMBUHAN BAKTERI CAMPURAN

Mikroba di habitat asli umumnya terdapat dalam populasi campuran. Kultur campuran dapat terdiri dari spesies-spesies yang telah diketahui atau campuran spesies yang tidak diketahui. Kultur campuran dapat merupakan satu grup mikrobial, seperti misalnya: semua bakteri, atau dapat pula terdiri dari campuran organisme, fungi dan bakteri, fungi dan khamir, atau kombinasi lain.

Bakteri yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari BLCC (Biotechnology Lemigas Culture Collections). Kultur bakteri tersebut adalah Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus pantothenticus, dan Streptococus sp. Kultur tersebut masing-masing dibiakkan dalam nutrient broth yang telah di shaker pada suhu 37oC selama 48 jam. Untuk selanjutnya dilakukan pencampuran dengan media nutrient broth baru sebanyak 10% (b/v). Artinya dalam 200 ml nutrient broth baru ditambahkan 20 ml bakteri, masing-masing 5 ml. Kultur bakteri campuran tersebut di shaker dalam suhu ruang untuk membantu pertumbuhan. Pertumbuhan bakteri campuran ditandai dengan warna nutrient broth yang cenderung kekuningan menjadi kehijauan karena adanya pertumbuhan bakteri Pseudomonas

(Gambar 7)

[image:34.595.195.476.589.709.2]

Penggunaan kultur bakteri campuran dalam penelitian ini diharapkan mendekati kondisi sesungguhnya di lingkungan sumur minyak bumi. Menurut Kuroshawa et al. (1988) kondisi optimum pertumbuhan kultur campuran lebih sulit diperkirakan. Hal ini disebabkan jenis mikroorganisme yang digunakan dalam kultur campuran tidak selalu mempunyai kondisi optimum yang sama seperti pH, suhu, nutrien, dan kebutuhan oksigen.

Gambar 7. Bakteri campuran

(35)

22

mikroorganisme aerob maupun semianaerob berada. Penggunaan kultur campuran Menurut Hesseltine (1991), keuntungannya antara lain (1) lebih tahan terhadap kontaminasi, (2) memungkinkan penggunaan substrat dengan lebih baik karena kisaran kerja enzim yang lebih luas, (3) memungkinkan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi karena masing-masing mikroorganisme dapat menghasilkan faktor pertumbuhan yang dibutuhkan mikroorganisme lain untuk pertumbuhan optimal, (4) memungkinkan terjadi transformasi multi langkah yang tak mungkin terjadi pada kultur tunggal, (5) dapat digunakan substrat yang murah dan tidak murni, (6) pemeliharaan kultur campuran relatif lebih murah.

[image:35.595.160.506.313.499.2]

Sedangkan kerugiannya antara lain: (1) produk yang terbentuk dari fermentasi kultur campuran lebih bervariasi dalam jumlah maupun jenis kompenen dalam kultur tunggal, (2) adanya kontaminan lebih sulit dideteksi, (3) kajian ilmiah produk dan mikroorganisme pada kultur campuran relatif lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan jika hanya melibatkan satu jenis mikroorganisme (Hesseltine, 1991). Berikut ini (Gambar 8) disajikan kurva pertumbuhan dari bakteri campuran dalam selang waktu 36 jam.

Gambar 8. Kurva pertumbuhan kultur bakteri campuran dalam air formasi Tanjung ( = 550 nm)

Kurva pertumbuhan merupakan replikasi dari populasi sel. Waktu yang diperlukan untuk siklus pertumbuhan sel sangat beragam dan terrgantung pada sejumlah faktor antara lain nutrisi dan genetika (Madigan dan Martinko 2006). Kurva pertumbuhan diatas diperoleh dari air formasi Tanjung yang telah dicampurkan suspensi bakteri campuran. Dengan metode turbidimetri dengan mengukur kekeruhan atas nilai OD (Opacity Density). Nilai kekeruhan semakin meningkat terhadap waktu. Menunjukkan bakteri yang diinokulasikan bertambah yang berada di dalam air formasi yang dihitung pada waktu-waktu tertentu sehingga menunjukkan pola pertumbuhan bakteri tersebut.

Fase awal mengalami pertumbuhan lambat pada 1- 21 jam yang disebut waktu adaptasi. Ketika populasi mikroba diinokulasikan ke dalam medium baru diperlukan waktu untuk mensintesis enzim-enzim baru, sehingga pertumbuhannya tidak dimulai segera, tetapi setelah periode waktu tertentu yang disebut fase lag. Waktu adaptasi yang sedemikian panjang ini diduga karena bakteri yang digunakan campuran atas beberapa jenis bakteri.

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1

1 6 11 16 21 26 31 36

(36)

23

[image:36.595.166.473.602.745.2]

Setelah organisme beradaptasi dalam medium, terjadi pertumbuhan populasi pada kecepatan yang paling tinggi disebut fase eksponensial atau logaritmik (Madigan dan Martinko 2006). Kemudian mulai ada pelonjakan nilai OD pada waktu ke 21 hingga ke-26 jam (fase log) dengan nilai tertinggi terlihat pada jam ke-27 (OD=0.925). Pada saat jumlah organisme meningkat, nutrien habis digunakan, limbah metabolisme terakumulasi, ruang hidup menjadi terbatas, terjadi penurunan pH dan oksigen di permukaan aerob berkurang sehingga menghambat fase eksponensial. Kemudian bakteri tersebut perlahan berada pada fase stasioner ditandai dengan trend penurunan atau mengalami fase kematian Ketika pembelahan sel menurun pada kondisi sel-sel baru diproduksi sama kecepatannya dengan sel-sel mati. (Lihat Lampiran 7 untuk melihat data nilai OD selama waktu 1-36 jam). Namun, kelemahan dari metode ini tidak mendapatkan informasi sel bakteri yang masih aktif atau hidup di dalam larutan.

Gambar 9. Hitungan cawan tuang dengan PCA

Kemudian untuk menguji pola pertumbuhan harian dari bakteri campuran dilakukan pengujian kandungan total bakteri dengan metode hitungan cawan tuang (pour plate) dengan media Plate Count Agar (PCA) dalam kondisi aseptik dan suhu ruang. Media hitungan cawan didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi satu koloni. Jadi, jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan suatu indeks bagi jumlah organisme yang dapat hidup yang terkandung dalam sampel (Hadioetomo 1990).

Air Formasi Tanjung diambil 1 ml untuk dilakukan pengenceran hingga 106 kali dengan aquades steril. Pengenceran dilakukan bertingkat bertujuan untuk memenuhi persyaratan statistik jumlah koloni yang dapat diamati tiap cawannya antara 30 hingga 300 koloni. Kemudian dilakukan perhitungan koloni bakteri yang tumbuh berkala selama 7 hari. Jumlah organisme ditentukan dengan mengalikan jumlah koloni yang terbentuk dengan faktor pengenceran pada cawan yang bersangkutan (Hadioetomo 1990).

Tabel 4. Nilai populasi bakteri campuran (Metode Hitungan Cawan /PCA) Lama Inkubasi

(hari)

Total bakteri Jumlah Rataan

(bakteri/ml) Nilai Log

0 2,70E+05 5,43

1 3,10E+05 5,49

3 4,70E+06 6,67

5 8,20E+07 7,91

(37)

24

[image:37.595.154.517.162.364.2]

Tabel 4 merupakan jumlah koloni bakteri yang teramati sejak pemupukan diatas media PCA. Media PCA dipilih karena merupakan media yang umum untuk pertumbuhan bakteri, terutama untuk bakteri campuran. Data pada tabel di

Gambar

Tabel 3. Sifat fisikokimia metil ester  olein
Tabel 4. Sifat  fisikokimia  surfaktan MES Olein
Gambar 7. Bakteri campuran
Gambar 8. Kurva pertumbuhan kultur bakteri campuran dalam
+7

Referensi

Dokumen terkait

- Diberikan sebuah paragraf pendek siswa dapat melengkapi ungkapan menyatakan kemampuan dengan kata yang sesuai1. - Diberikan sebuah paragraf pendek siswa dapat menentukan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa Likuiditas dan Leverage tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Return Saham pada perusahaan Properti yang

peserta didik. Kumpulan ini menggambarkan minat, perkembangan, prestasi, dan kreativitas peserta didik pada satu periode tertentu. Portofolio penilaian bukan sekedar kumpulan

Skripsi dengan judul “Kelainan Bentuk Kuku Sapi Bali Kereman yang dipelihara di Tanah berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur” diajukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai

Perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari gejala kejiwaan antara lain pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi dan sikap. Gejala kejiwaan ini

PEMIKIRAN HATTA AZAD KHAN DALAM DRAMA MUZIKAL KAMPUNG BARU 4.1 Pengenalan Teks Muzikal Kampung Baru refleksi kehidupan orang Melayu 4.2 Di Kampong Bharu 4.2.1 Kampung Baru untuk

Tab€l 1 Perkembangan fisik dan seksual anak mencit generasi Ft dari induk yang diberi perlakuan dengan Basazinon 45130 EC pada dosis 22 mg/kg b.b... PROCEEDINCS ITB

Pelbagai konflik yang terbentuk dalam perkongsian ini di antaranya adalah konflik yang terjadi secara horizontal iaitu konflik yang berada dalam koperasi seperti