• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Narkotika ( Studi Putusan No. 847/Pid.B/2013/PN.MDN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penerapan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Narkotika ( Studi Putusan No. 847/Pid.B/2013/PN.MDN)"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG HASIL TINDAK PIDANA NARKOTIKA

( STUDI PUTUSAN NOMOR. 847/PID.B/2013/PN.MDN) SKRIPSI

O l e h

ROYANTI 110200290

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG HASIL TINDAK PIDANA NARKOTIKA

( STUDI PUTUSAN NOMOR. 847/PID.B/2013/PN.MDN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

O l e h : ROYANTI

110200290

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. H. M. Hamdan, SH. MH NIP. 19570326198601001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Nurmalawaty, S.H.,M.Hum Rafiqoh Lubis, S.H.,M.Hum NIP. 196209071988112001 NIP. 197407252002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas berkat dan karuniaNya Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini adalah merupakan salah satu syarat yang harus

dipenuhi untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

Adapun judul skripsi adalah “Penerapan Hukum Pidana Terhadap

Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Narkotika ( Studi Putusan No. 847/Pid.B/2013/PN.MDN).

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tak luput dari kekurangan

dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan

hati Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan

skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang

tua Penulis E. Tampubolon dan N br Situmorang, yang dengan sepenuh hati

memberikan dukungan yang begitu besar bagi Penulis baik itu dukungan Materil

maupun moril yang begitu berharga bagi Penulis.

Selain itu, melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima

kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian

skripsi ini, yaitu:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum., selaku Pembantu Dekan I

(4)

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH. MH. DFM., selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK Saidin SH. M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH. MH., selaku Ketua Departemen Hukum

Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Nurmalawaty, SH. M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I Penulis yang

telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing, memberi masukan

dan mengarahkan Penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.

7. Ibu Rafiqoh Lubis, SH. M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah

banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan masukan

kepada penulis dengan begitu sabar hingga terselesaikannya skripsi ini.

8. Bapak Hemat Tarigan, SH. M.Hum., selaku Dosen Wali yang telah

membimbing penulis selama masa perkuliahan.

9. Abang-abang, Kakak dan Eda-edaku yang sangat kusayangi dan selalu

memberikan dukungannya kepada penulis selama masa perkuliahan

hingga terselesaikannya skripsi ini.

10.Susanti Nababan, SH selaku PKK ku di kelompok kecil, terima kasih telah

menjadi kakak terbaik ku selama di medan, terima kasih juga atas seluruh

dukungannya dan untuk segala nasehat selama ini yang begitu berharga

bagi Penulis.

11.Elora dan Janet, terima kasih untuk teman-teman kelompok kecilku

Roulinta Y Sinaga, Sri Nita Tarigan, Sabrina A Gultom, Gracia W

Manurung dan Aprini R Tarigan, Holy A Kembaren, Kristina Simbolon,

Sarah N Siagian terima kasih selama ini telah menjadi teman berbagi suka

(5)

12.Sisca Siregar dan Nadia Siregar, terima kasih untuk segala dukungannya

bagi Penulis dan terima kasih juga selama ini telah menjadi teman terbaik

bagi Penulis baik dalam suka dan duka.

13.UKM KMK USU, terima kasih telah menjadi sarana bagi Penulis untuk

semakin bertumbuh lagi dalam hal Rohani serta membantu Penulis untuk

menjadi pribadi yang lebih baik lagi setiap harinya.

14.PERMAHI, terima kasih buat seluruh rekan-rekan permahi yang telah

mendukung penulis selama penyelesaian skripsi ini dan terima kasih juga

karena telah menjadi wadah pembelajaran bagi Penulis baik pembelajaran

dalam bidang hukum, pembentukan karakter serta memberikan sebuah

keluarga baru bagi Penulis melalui organisasi ini.

15.Teman-teman stambuk 2011 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

dan seluruh teman-teman Penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu,

yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Medan, Juli 2015

Penulis

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI………..…iv

ABSTRAKSI………vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………...………....1

B. Perumusan Masalah………...…...5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...……...5

D. Keaslian Penulisan…….………..………..……....6

E. Tinjauan Kepustakaan..………....7

1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana….….….7 2. Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia………..……...12

3. Narkotika dan Tindak Pidana Narkotika..………..26

F. Metode Penelitian………..………...…………..…..33

G. Sistematika Penulisan………...……....35

BAB II KETENTUAN HUKUM PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM MENJERAT PELAKU TINDAK PIDANA UNTUK UPAYA MENGURANGI PELAKU TINDAK PIDANA. A. Modus Dalam Pencucian Uang …...…………..………..37

B. Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Ketentuan

(7)

Pidana………...44

C. Ketentuan Hukum Pidana Mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Menjerat Pelaku Tindak Pidana Untuk Upaya Mengurangi Pelaku Tindak Pidana …...…48

BAB III KAITAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA. A. Ruang Lingkup Tindak Pidana Pencucian Uang ...55

B. Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak ………57

C. Kaitan Tindak Pidana Pencucian Uang Dengan Tindak Pidana……….…. 59

BAB IV PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG HASIL TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI PUTUSAN NOMOR. 847/PID.B/2013/PN.MDN). A. Kasus ...………..66

1. Kronologis Kasus66 2. Dakwaan……….69

3. Fakta Hukum………..70

4. Tuntutan……….85

5. Putusan………...88

B. Analisa Kasus………...91

(8)

A. Kesimpulan………..………..…..98

B. Saran………...…101

(9)

mengubah uang “haram” yang sebenarnya dihasilkan dari sumber illegal sehingga menjadi uang yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah atau halal dengan cara mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk atau menukarkan dengan mata uang atau surat berharga yang dilakukan melalui tahap Placement (Penempatan Uang), Layering (Pelapisan Uang), Integration (Penyatuan Uang).

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang yang berkaitan dengan Tindak Pidana Narkotika sebagai tindak pidana asalnya, hal ini tertuang dalam Putusan Pengadilan sebagai jalan penyelesaian Tindak Pidana Pencucian Uang atas hasil Tindak Pidana Narkotika tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian normatif.

Pemerintah Republik Indonesia mengkriminalisasikan pencucian uang (Money laundering) ini pada tahun 2002 dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Penanganan tindak pidana pencucian uang atas dasar UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003, meskipun sudah menunjukkan arah yang positif, tetapi dirasa masih belum optimal, hal inilah yang kemudian memicu dibentuknya UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tindak pidana pencucian uang mengenal nomenklatur sebagai tindak pidana lanjutan (predicate crime), atau dengan istilah kejahatan asal. Tindak Pidana Narkotika sendiri adalah salah satu dari kejahatan asal yang terdapat dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, hal ini diatur dengan jelas dalam Pasal 2 angka (1) huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Berdasarkan analisis penulis penerapan Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang diamati melalui kasus yang masuk ke PN Medan yang dalam putusannya hakim menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- sudahlah tepat, hanya saja perintah pidana penjara tidak usah dijalani tersebut yang menurut penulis kurang tepat karena alasan untuk tidak menjalani pidana penjara tersebut tidaklah logis.

1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Pidana

**

Dosen PembimbingI, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***

(10)

mengubah uang “haram” yang sebenarnya dihasilkan dari sumber illegal sehingga menjadi uang yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah atau halal dengan cara mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk atau menukarkan dengan mata uang atau surat berharga yang dilakukan melalui tahap Placement (Penempatan Uang), Layering (Pelapisan Uang), Integration (Penyatuan Uang).

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang yang berkaitan dengan Tindak Pidana Narkotika sebagai tindak pidana asalnya, hal ini tertuang dalam Putusan Pengadilan sebagai jalan penyelesaian Tindak Pidana Pencucian Uang atas hasil Tindak Pidana Narkotika tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian normatif.

Pemerintah Republik Indonesia mengkriminalisasikan pencucian uang (Money laundering) ini pada tahun 2002 dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Penanganan tindak pidana pencucian uang atas dasar UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003, meskipun sudah menunjukkan arah yang positif, tetapi dirasa masih belum optimal, hal inilah yang kemudian memicu dibentuknya UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tindak pidana pencucian uang mengenal nomenklatur sebagai tindak pidana lanjutan (predicate crime), atau dengan istilah kejahatan asal. Tindak Pidana Narkotika sendiri adalah salah satu dari kejahatan asal yang terdapat dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, hal ini diatur dengan jelas dalam Pasal 2 angka (1) huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Berdasarkan analisis penulis penerapan Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang diamati melalui kasus yang masuk ke PN Medan yang dalam putusannya hakim menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- sudahlah tepat, hanya saja perintah pidana penjara tidak usah dijalani tersebut yang menurut penulis kurang tepat karena alasan untuk tidak menjalani pidana penjara tersebut tidaklah logis.

1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Pidana

**

Dosen PembimbingI, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejahatan pencucian uang ( money laundring ) belakangan ini makin

mendapat perhatian khusus dari berbagai kalangan, yang bukan saja dalam skala

nasional, tetapi juga meregional dan mengglobal melalui kerja sama antar

negara-negara. Gerakan ini terpicu oleh kenyataan di mana kini semakin maraknya

kejahatan money laundering dari waktu ke waktu, sementara kebanyakan negara

belum menetapkan sistem hukumnya untuk memerangi atau menetapkannya

sebagai kejahatan yang harus diberantas. Sebegitu besarnya dampak negatif yang

ditimbulkannya terhadap perekonomian suatu negara, sehingga negara -negara di

dunia dan organisasi internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menarik

perhatian yang lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan

pencucian uang. Hal ini didorong karena kejahatan money laundering

mempengaruhi sistem perekonomian khususnya menimbulkan dampak negatif

baik secara langsung maupun tidak langsung.

Menurut Guy Stessen terdapat tiga alasan mengapa pencucian uang

menjadi bentuk kejahatan yang harus diperangi dan dinyatakan sebagai tindak

pidana. Per tama , pencucian uang memberi dampak negatif pada sistem keuangan

dan ekonomi yang dapat mengganggu stabilitas perekonomian dunia. Kedua , atas

dampaknya yang begitu besar bagi perekonomian dunia maka penetapan

pencucian uang sebagai tindak pidana merupakan usaha untuk menghentikan

aliran dana hasil kejahatan asal. Hal ini akan memudahkan bagi aparat penegak

hukum untuk menyita hasil tindak pidana yang seringkali sulit terjamah hukum.

(12)

pelakunya kearah menyita hasil tindak pidana. Melakukan kriminalisasi terhadap

pencucian uang dapat menjadi landasan bagi aparat penegak hukum untuk

memidanakan pihak ketiga yang dinilai menghambat upaya penegakan hukum.

Ketiga, dengan dinyatakannya pencucian uang sebagai tindak pidana maka

melahirkan sistem pelaporan transaksi dalam jumlah tertentu yang menghasilkan

berbagai transaksi mencurigakan. Tujuannya agar aparat penegak hukum mampu

menyelidiki kasus pidana sampai menjurus kepada tokoh-tokoh dibelakangnya.

Dinamika atau perubahan ekonomi yang akselerasif berimplikasi pula

pada sistem sosial, serta sesuai dengan sendirinya memasuki wilayah hukum.

Dengan demikian hukum sebagai salah satu subsistem sosial, tidak bisa lepas dari

perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, termasuk didalamnya

perubahan ekonomi. Globalisasi hukum, mengharuskan Indonesia untuk segera

melahirkan ketentuan perundang-undangan yang menjadi tuntutan internasional,

salah satu kebutuhan mendasar tersebut adalah Undang-Undang Pencucian Uang.

Tindak pidana pencucian uang sebagaimana terdapat dalam penjelasan umum

menerangkan bahwa berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang

perorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu Negara maupun

yang dilakukan melintasi batas wilayah Negara lain makin meningkat.

Kejahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan

(bribery), penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan

imigran, perbankan, perdagangan gelap, narkotika dan psikotropika, perdagangan

budak, wanita dan anak, perdagangan senjata dan berbagai kejahatan kerah putih

(white collar crime). Kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan atau

menghasilkan harta kekayaan yang sangat besar jumlahnya. Harta kekayaan yang

(13)

langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan, karena apabila

langsung digunakan akan mudah dilacak oleh penegak hukum mengenai sumber

diperolehnya harta kekayaan tersebut. Biasanya para pelaku kejahatan terlebih

dahulu mengupayakan agar harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut

masuk ke dalam sistem keuangan (Financial System). Dengan cara demikian asal

usul harta kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh para penegak

hukum. Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta

kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

undang-undang ini dikenal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini

dikenal sebagai pencucian uang (money laundering).2

Sabagaimana kejahatan-kejahatan yang disebut diatas, kejahatan peredaran

gelap narkoba memang sejak lama diyakini memiliki kaitan erat dengan proses

pencucian uang. Sejarah perkembangan tipologi pencucian uang menunjukkan

bahwa perdagangan obat bius merupakan sumber yang paling dominan dan

kejahatan asal (predicate crime) yang utama yang melahirkan kejahatan pencucian

uang. Organized crime selalu menggunakan metode pencucian uang ini untuk

menyembunyikan, menyamarkan atau mengaburkan hasil bisnis haram itu agar

nampak seolah-olah merupakan hasil dari kegiatan yang sah. Selanjutnya, uang

hasil jual beli narkoba yang telah dicuci itu digunakan lagi untuk melakukan

kejahatan serupa atau mengembangkan kejahatan-kejahatan baru.

Sejarah mencatat pula bahwa kelahiran rezim hukum internasional yang

memerangi kejahatan pencucian uang dimulai pada saat masyarakat internasional

merasa frustrasi dengan upaya memberantas kejahatan perdagangan gelap

narkoba. Pada saat itu, rezim anti pencucian uang dianggap sebagai paradigma

2

(14)

baru dalam memberantas kejahatan yang tidak lagi difokuskan pada upaya

menangkap pelakunya, melainkan lebih diarahkan pada penyitaan dan perampasan

harta kekayaan yang dihasilkan. Logika dari memfokuskan pada hasil

kejahatannya adalah bahwa motivasi pelaku kejahatan akan menjadi hilang

apabila pelaku dihalang-halangi untuk menikmati hasil kejahatannya. Melihat

korelasi yang erat antara kejahatan peredaran gelap narkoba sebagai predicate

crime dan kejahatan pencucian uang sebagai derivative-nya, maka sangat jelas

bahwa keberhasilan perang melawan kejahatan peredaran gelap narkoba di suatu

negara sangat ditentukan oleh efektivitas rezim anti pencucian uang di negara itu.

Meski tindak pidana narkotika dan tindak pidana pencucian memiliki

keterkaitan, meski demikian ada yang hanya terjerat kasus narkotika saja atau

tindak pidana pencucian uang saja. Sebernya apa itu tindak pidana narkotika dan

tindak pidana pencucian uang tersebut, lalu bagaimana peraturan yang ada di

Indonesia tentang tindak pidana pencucian uang jika dikaitkan dengan tindak

pidana narkotika, dan bagaimana penanganan terhadap tersangka kasus tersebut,

itulah yang akan dibahas dalam skripsi ini.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana ketentuan hukum pidana mengenai tindak pidana pencucian

uang dalam menjerat para pelaku tindak pidana ?

2. Bagaimana kaitan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana

(15)

3. Bagaimana penerapan ketentuan pidana terhadap tindak pidana pencucian

uang hasil tindak pidana narkotika (Studi Putusan Nomor.

847/Pid.B/2013/PN.Mdn) ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Dalam penulisan ini, ada beberapa hal yang menjadi tujuan guna

menjawab permasalahan yang ada dalam skripsi ini, adapun yang menjadi tujuan

dalam penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana peran Pencucuian Uang dalam memberikan

dampak untuk mengurangi Tindak Pidana Narkotika.

2. Untuk mengetahui kaitan antara Tindak Pidana Pencucian Uang dengan

Tindak Pidana Narkotika.

3. Untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum pidana dalam kasus Tindak

Pidana Pencucian Uang hasil Tindak Pidana Narkotika.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan diharapkan dapat memberikan manfaat antara

lain:

a. Secara Teoritis

Guna mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan hukum pidana, khususnya

mengenai tindak pidana pencucian uang.

b. Secara Praktis

(16)

2. Dengan adanya penelitian ini maka penulis dapat memberikan gambaran

tentang tindak pidana pencucian uang dari hasi tindak pidana narkotika.

3. Agar masyarakat mengetahui bagaimana penerapan hukum di Indonesia

terhadap kasus pencucian uang.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini disusun berdasarkan literatur yang diperoleh dari perpustakaan

dan dari media massa baik media cetak maupun elektronik. Berdasarkan informasi

yang diperoleh dari penelusuran studi literatur dan bahan-bahan kepustakaan

lainnya, belum terdapat judul yang sama dengan skripsi yang diangkat pada judul

skripsi ini.

Judul-judul yang ada tentang pencucian uang tidak ada yang menyentuh

materi pokok dalam bahasan skripsi ini yaitu tentang “Penerapan Hukum Pidana

terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang hasil Tindak Pidana Narkotika ( Studi

Putusan Nomor. 847/Pid.B/2013/PN.Mdn).” oleh sebab itu judul pada skripsi ini

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

a. Tindak Pidana

Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan

“strafbaarfeit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” di

(17)

perbuatan pidana, atau tindak pidana5. Para ahli hukum berusaha untuk

memberikan arti dari istilah itu, tetapi belum ada keseragaman pendapat saat itu.6

Istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada

maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemaha dari istilah strafbaar

feit adalah sebagai berikut:7

1. Tindak pidana, dapat dikatakan istilah resmi dalam perundang-undangan

pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan

menggunakan istilah tindak pidana, Seperti dalam undang-undang Nomor 8

Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Peristiwa pidana, Pembentuk UU pernah menggunakan istilah peristiwa

hukum, yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 pasal 14

ayat 1 yang berbunyi “ Setiap orang yang dituntut karena disangka

melakukan sesuatu peristiwa pidana berhak dianggap tak bersalah, sampai

dibuktikan kesalahan saja dalam suatu siding pengadilan, menurut

aturan-aturan hukum yang berlaku, dan ia dalam siding itu diberikan segala dijamin

yang telah ditentukan dan yang perlu untuk pembelaan”.

Istilah tindak pidana menunjukan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan

gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut juga seseorang untuk tidsk

berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak

pidana.

5

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 90

6

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal 67.

7

(18)

b. Unsur-unsur Tindak Pidana

Dalam kita menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsur-unsurnya,

maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkan sesuatu tindakan

manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang

terlarang oleh Undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke

dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.

Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau

yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala

sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah

unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam

keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:8

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolusatau Culpa);

2. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang

dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di

dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan

dan lain-lain;

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang

terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

5. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana

menurut Pasal 308 KUHP.

8

(19)

Unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu adalah:9

a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid;

b. Kualitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri

di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan

sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam

kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;

c. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab

dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Seorang ahli hukum yaitu Simons merumuskan unsur-unsur tindak pidana

sebagai berikut:

a. Diancam dengan pidana oleh hukum;

b. Bertentangan dengan hukum;

c. Dilakukan oleh orang yang bersalah;

d. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

Satochid juga mengemukakan pendapat, menurutnya unsure-unsur delik

atau tindak pidana ada dua golongan, yaitu unsur obyektif dan unsur subyektif.10

a. Unsur-unsur yang obyektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar diri

manusia, yaitu yang berupa:

1. Suatu tindak tanduk atau tingkah laku;

2. Suatu akibat tertentu;

3. Keadaan.

Semua unsur obyektif di atas harus dilarang dan diancam dengan hukuman

oleh undang-undang.

b. Unsur-unsur subjektif yang berupa:

9

Ibid

10

(20)

penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan

“strafbaar feit”.3

Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari

suatu kenyataan” atau “dapat dihukum”, hingga secara harafiah perkataan

“strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan

yang dapat dihukum”. Yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak

akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia

sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.

Menurut Vos tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia yang oleh

peraturan perundang-undangan diberi pidana. Jadi, suatu kelakuan manusia yang

pada umumnya dilarang dan diancam dengan pidana.4

Menurut Van Hamel tindak pidana dirumuskan sebagai delik adalah

perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang melawan hukum yang

patut dipidana dan dilakukan sebagai kesalahan. Sebagai tindak pidana suatu

pelanggaran terhadap kaidah hukum yang berlaku di masyarakat, dimana pelaku

mempunyai kesalahan untuk dapat dimintai pertanggungjawaban sehingga dapat

dikenal pemidanaan.

Kepustakaan tentang hukum Pidana sering mempergunakan istilah delik,

sedangkan pembuat undang-undang menggunakan istilah peristiwa pidana, atau

3

Drs.P A.F.Lamintang, Dasar-dasar hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal 181.

4

(21)

1. Dapat dipertanggung jawabkan, yaitu adanya hukuman atau ancaman

pidana;

2. Adanya kesalahan.

2. Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia. a. Pencucian Uang

Meskipun tindak pidana pencucian uang telah berkembang sedemikian

rupa, namun sampai saat ini tidak ada atau belum ada suatu definisi yang

universal dan komprehensif mengenai apa yang dimaksud dengan pencucian uang

atau money laundering ini.

Prof. Dr. utan Remy Sjahdeini menggaris bawahi, dewasa ini istilah

money laundering sudah lazim digunakan untuk menggambarkan usaha-usaha

yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum untuk melegalisasi uang

“kotor” yang diperoleh dari hasil tindak pidana.11

Selain istilah tersebut diatas, ada beberapa definisi lain dari pencucian

uang yang penulis himpun dari beberapa sumber. Namun, hakikatnya

mengandung unsur-unsur pokok berupa tindakan yang sengaja dilakukan,

berkaitan dengan kekayaan, dan kekayaan tersebut berasal dari kejahatan.

Beberapa definisi tersebut ialah sebagai berikut:

1. Menurut Sarah N. Welling (1992) “ Pencucian Uang adalah proses dimana

seseorang menyembunyikan keberadaan sumber (pendapatan) illegal atau

aplikasi pendapatan illegal dan kemudian menyamarkan sumber (pendapatan)

tersebut agar terlihat seperti sesuai dengan aturan atau hukum yang berlaku”.

11

(22)

2. Menurut David Fraser (1992) “ Pencucian Uang kurang lebih adalah proses

dimana uang “kotor” (hasil dari tindak pidana) dicuci menjadi bersih atau

uang kotor yang dibersihkan melalui suatu sumber hukum dan perusahaan

yang legal sehingga ‘”para penjahat” dapat dengan aman menikmati hasil jerih

payah tindak pidana mereka”.

3. Menurut Made. M. I Pastika “ Pencucian uang ialah cara dimana seseorang

mengubah uang “haram” yang dimilikinya menjadi uang “bersih” yang bisa

ditelusuri kembali kepada mereka, dan tidak bisa dihubungkan dengan

kejahatan manapun.

4. Menurut Anwar Nasution “ Pencucian uang adalah suatu cara atau proses

untuk mengubah uang “haram” yang sebenarnya dihasilkan dari sumber illegal

sehingga menjadi uang yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah atau

halal.

5. Menurut UU RI No. 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang:

tindakan pencucian uang dapat berupa tindakan orang yang sengaja

melakukan percobaan bantuan atau permufakatan jahat untuk:12

a. Menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya

merupakan hasil tindak pidana kedalam penyedia jasa keuangan, baik atas

namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

b. Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya

merupakan hasil tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke

penyedia jasa keuangan lain, baik atas namanya sendiri maupun atas nama

pihak lain;

12

(23)

c. Membayar atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau

patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri

atau atas nama pihak lain;

d. Menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya

atau patut diduganya merupakan hasil dari tindak pidana, baik atas

namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

e. Menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya

merupakan hasil tindak pidana, baik namanya sendiri maupun atas nama

pihak lain;

f. Membawa keluar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut

diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri

maupun atas nama pihak lain;

g. Menukarkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya

merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga

lainnya; atau

h. Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang

diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.

Selain dari definisi-definisi tersebut diatas, tindakan-tindakan dibawah ini

juga merupakan praktik pencucian uang, yaitu:13

1. Perubahan atau transfer kekayaan dengan maksud menyembunyikan atau

mengaburkan asal-usul kekayaan, demikian pula dengan maksud membantu

seseorang agar dapat menghindar dari konsekuensi tindakannya;

2. Penyembunyian atau pengaburan sumber, lokasi, penarikan, pemindahan

hak-hak yang berhubungan dengan kekayaan atau kepemilikan dari suatu

kekayaan;

13

(24)

3. Akuisisi, pemilikan atau penggunaan kekayaan yang diketahui dari

kejahatan dan keikutsertaan dalam kejahatan;

4. Keikut sertaan, kerjasama atau persekongkolan, percobaan untuk melakukan

atau membantu, mempermudah dan menyuruh melakukan kejahatan

tersebut.

Mengacu pada sejumlah definisi tindak pidana pencucian uang diatas

maka terlihat jelas, walaupun terdapat persamaan tentang unsur adanya uang hasil

dari tindak pidana, unsur-unsur lainnya dari tindak pidana pencucian uang

memiliki perbedaan.

Dengan demikian secara umum, tindak pidana pencucian uang bisa di

definisikan secara ragam pula. Misalnya, tindak pidana pencucian uang sebagai

proses dimana seseorang menutup-nutupi keberadaan uang illegal, ataupun

aplikasi illegal dari uang, ataupun menutup-nutupi pendapatan agar pendapatan

tersebut terlihat bersih atau sah menurut hukum dan tidak melanggar hukum.

b. Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia

Tindak pidana pencucian uang (money laundering) sebagai salah satu jenis

kejahatan kerah putih (white collar crime) sebenarnya sudah dikenal sejak tahun

1867. Namun istilah money laundering baru muncul ketika Al Capone, salah satu

mafia besar di Amerika Serikat, pada tahun 1920-an, memulai bisnis Laundromats

(tempat cuci otomatis). Bisnis ini dipilih karena menggunakan uang tunai yang

mempercepat proses pencucian uang agar uang yang mereka peroleh dari hasil

pemerasan, pelacuran, perjudian, dan penyelundupan minuman keras terlihat

sebagai uang yang halal. Sebelum tahun 1986, tindakan pencucian uang bukan

(25)

masuk dalam bisnis legal dan usaha-usaha ekonomi lain. Pemerintah Amerika

Serikat mulai mengkualifikasikan pencucian uang ini sebagai suatu tindak pidana

dengan mengeluarkan Money Laundering Central Act. (1986), yang kemudian

diikuti dengan The Annunzio Wylie Act.dan Money Laundering Suppression Act.

(1994).

Sedangkan pemerintah Republik Indonesia baru mengkriminalisasikan

pencucian uang (Money laundering) ini pada tahun 2002 dengan mengeluarkan

Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dikeluarkannya UU No. 15 tahun 2002 ini oleh pemerintah Indonesia pada

dasarnya tidak terlepas dari desakan dan ancaman sanksi yang dijatuhkan oleh

masyarakat internasional. Saat itu dunia menyoroti beberapa kelemahan pada

negara Indonesia untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian

uang, yakni tidak adanya undang-undang yang menetapkan money laundering

sebagai tindak pidana.

Sejak tanggal 17 April 2002 telah mulai berlaku Undang-Undang Nomor

15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara RI

Tahun 2002 Nomor 30).

Untuk mengetahui latar belakang pemikiran, maksud dan tujuan

penyusunan undang-undang tersebut demikian pula untuk mengetahui latar

belakang maksud dan tujuan dijadikannya perbuatan yang berupa pencucian uang

sebagai tindak pidana dapat diketahui dari penjelasan umum Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2002 yang mengemukakan sebagai berikut:

(26)

(bribery, penyelundupa n ba ra ng, penyelundupan tenaga kerja , penyelundupan

Secara khusus apa sebab sampai dibentuknya Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2002 tersebut adalah dikarenakan pada tanggal 22 Juni 2001, Financial

Action Ta sk Force on Money Laundering (FATF)14 telah memasukkan Indonesia

pada daftar Non Cooperative Countries and Territories (NCCT’s), karena di

Indonesia:

a. Tidak adanya ketentuan yang menempatkan money laundering sebagai

tindak pidana;

b. Tidak adanya ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your

Customer-KYC) untuk lembaga non bank;

c. Rendahnya kapasitas dalam penanganan kejahatan pencucian uang;

14

(27)

d. Kurangnya kerja sama internasional dalam penanganan kejahatan

pencucian uang.15

Dimasukkannya suatu Negara ke dalam daftar NCCT’s adalah merupakan

dasar bagi FATF untuk meminta kepada para anggotanya yang terdiri atas

Negara-negara besar di dunia untuk melakukan counter-measures terhadap

Negara tersebut dan menetapkan set date, yaitu tanggal mulai diberikannya sanksi

kepada Negara tersebut.16

Apabila suatu Negara terkena counter-measures dari Negara-negara

anggota FATF, maka Negara tersebut akan terisolir, antara lain tidak dapat

melakukan transaksi dagang dan transaksi keuangan dengan pengusaha-pengusaha

lembaga-lembaga keuangan dari Negara-negara yang melakukan

counter-mea sures tersebut.

Negara yang masih memerlukan bantuan pinjaman dari luar negeri akan

dapat pula mengalami kesulitan untuk memperoleh dana bantuan dan pinjaman

dari Negara-negara yang melakukan counter-measures tersebut.

Negara tersebut juga akan mengalami kesulitan untuk memperoleh

bantuan dan pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti

Wor ld Ba nk, IMF, dan ADB.17

Atas dasar alasan khusus seperti tersebut, maka dibentuklah UU No. 15

Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Ternyata oleh FATF, UU No. 15 Tahun 2002 tersebut dinilai masih belum

memenuhi standard Internasional,sehingga masih perlu diadakan perubahan.

15

Yunus Husein, Negeri Sang Pencuci Uang, Pustaka Juanda Tiga Lima, Jakarta, Cetakan ke-1, 2008, hal 89.

16

Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Pustaka Utama Grafitri, Jakarta, 2004, hal 94.

17

(28)

Perubahan terhadap UU No. 15 Tahun 2002 dilakukan dengan UU No. 25

Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak

Pidana Pencucian Uang.

Meskipun terhadap UU No. 15 Tahun 2002 telah dilakukan perubahan

untuk disesuaikan dengan standard internasional, FATF tidak serta merta

mengeluarkan Indonesia dari daftar NCCT’s, karena FATF masih akan melihat

bagaimana implementasinya dari UU No. 15 Tahun 2002 setelah dilakukan

perubahan.18

Baru pada tanggal 11 Februari 2005 Indonesia dikeluarkan dari daftar

NCCT’s, namun FATF tetap meminta Indonesia untuk melanjutkan pembangunan

rezim anti pencucian uang dan akan dilakukan monitoring selama 1 (satu) tahun

terhadap upaya-upaya yang dilakukan dalam memenuhi 40 + 9 rekomendasi

dengan memfokuskan pada 6 (enam) hal sebagai berikut:

1. Mendorong agar small banks (seperti BPR dan bank-bank umum berskala

kecil lainnya) menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan;

2. Meningkatkan capacity building, terutama kepada para penegak hukum yang

melakukan penanganan perkara tindak pidana pencucian uang;

3. Meningkatkan pelaksanaan penanganan kasus tindak pidana pencucian uang

dengan tepat waktu;

4. Melaksanakan pemeriksaan terhadap PJK dan mengenakan sanksi secara

tegas;

5. Mengundangkan RUU tentang Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal

Asssista nce) serta melaksanakan kerjasama internasional di bidang penegakan

hukum;

18

(29)

6. Memenuhi komitmen untuk mendukung operasional (penyediaan anggaran,

gedung perkantoran, sistem penggajian dan kewenangan pengangkatan

pegawai tetap.

Selanjutnya dalam Second Plenary Meeting FATF on Money Laundering

di Cape Town, Afrika Selatan tanggal 13-17 Februari 2006 telah ditetapkan antara

lain bahwa status Indonesia tidak lagi dalam monitoring FATF.

Penanganan tindak pidana pencucian uang atas dasar UU No. 15 Tahun

2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 (untuk

selanjutnya disingkat: UU No. 15 Tahun 2002 jo. UU No. 25 Tahun 2003),

meskipun sudah menunjukkan arah yang positif, tetapi dirasa masih belum

optimal karena perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan ruang

tumbuhnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya

pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian,

keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan Pelapor dan jenis laporannya,

serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana undang-undang

ini.19

Sejak tanggal 22 Oktober 1020 UU No. 15 Tahun 2002 jo. UU No. 25

Tahun 2003 tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU No.8

Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang (Lembaran Negara RI Tahun 2010 Nomor 122 yang mulai berlaku pula

sejak tanggal 22 Oktober 2010.

UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang ini dibentuk sebagai respon dari pemerintah dan badan

legislative terhadap perkembangan TPPU di Indonesia. Hal ini dikarenakan UU

19

(30)

TPPU dan Perubahan UU TPPU belum mampu menjawab setiap tantangan dan

kemungkinan-kemungkinan praktik pencucian uang yang terjadi di masyarakat.

UU PPTPPU ini mengandung kebijakan hukum penanggulangan

kebijakan pencucian uang. Kebijakan hukum tersebut dinyatakan sebagai berikut:

1. Kebijakan hukum melaui redefinisi, penambahan, dan perubahan pengertian

hal yang terkait dengan TPPU, meliputi

a. Pengertian hal-hal lain yang tidak diubah dari UU TPPU dan perubahan

UU TPPU dalam UU PPTPPU ini yaitu pengertian:

- Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.

- Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang

terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan

hukum.

- Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat,

dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa

bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas atau benda fisik

apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik,

termasuk tetapi tidak terbatas pada:

- Tulisan, suara, atau gambar

- Peta

- Huruf, tanda, angka, symbol, atau perforasi yang memiliki makna

atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau

memahami.

- Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang

(31)

dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana

pencucian uang.

b. Redefinisi pengertian

1. Pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur

tindak pidana dalam UU PPTPPU.

Perbuatan yang dimaksud sebagai tindak pidana dalam undang-undang

ini akan dijelaskan pada poin selanjutnya.

2. Transaksi adalah seluruh kegiatan yangmenimbulkan hak dan/ atau

kewajiban atau menyebabkan tibulnya hubungan hukum antar dua

pihak atau lebih.

3. Transaksi keuangan dalah transaksi untuk melakukan atau menerima

penempatan, penyetoran, penarikan, pemindah bukuan, pentrasferan,

pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas

sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan

dengan uang.

4. Transaksi keuangan mencurigakan adalah:

a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik,

atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang

bersangkutan.

b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga

dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi

yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak Pelapor sesuai

dengan ketentuan Undang-Undang ini.

c. Transaksi yang dilakukan atau batal dilakukan dengan

menggunakan Harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak

(32)

d. Transaksi yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak

pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang di duga berasal

dari hasil tindak pidana.

UU PPTPPU ini menambahkan suatu poin baru dalam definisi

TKM yaitu poin ke-4 yang menyebabkan semakin luasnya transaksi yang

dapat dicurigai sebagai TKM. Selain itu hal ini juga mengindikasikan

bahwa PPATK memiliki kewenangan untuk meminta informasi, data,

maupun dokumen terhadap suatu transaksi yang diduga sebagai upaya

pencucian uang.

5. Transaksi Keuangan Tunai adalah transaksi Keuangan yang dilakuakn

dengan menggunakan uang kertas dan/atau uang logam.

6. Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak,

baik yang berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak

langsung.

Tim pemerintah dan komisi II Dewan Perwakilan Rakyat berdebat pada

saat merumuskan pasal 2 ini. Perdebatan itu disebabkan adanya keberatan

berkenaan dengan rumusan pasal 2 tersebut yaitu:20

(1) Seyogianya tidak dicantumkan daftar kejahatan-kejahatan yang menghasilkan Harta Kekayaan yang menjadi objek pencucian uang (daftar predica te crimes, yaitu kejahatan-kejahatan yang menghasilkan objek pencucian uang). Dengan adanya pencantuman daftar kejahatan tersebut, dikhawatrkan ada kejahatan yang terlupakan yang sangat potensial untuk menghasilkna harta kekayaan sebagai objek pencucian uang, namu tidak termuat dalam rumusan tersebut sehingga tidak dapat dipidana. Misalnya saja tidak tercantum “perjudian” dalam pasal 2 undang-undang tersebut, sedangkan menurut pasal 303 KUHP, perjudian merupakan tindak pidana. Tidak dicantumkannya perjudian sebenarnya disebabnkan karena ada pendapat yang mengatakan bahwa tidak semua oerjudian adalah tindak pidana tetapi da perjudian yang diselenggarakan dengan izin pemerintah.

(2) Pada masa yang akan datang ada kemungkinan akan terjadi kejahatan-kejahatan baru yang sebelumnya belum dikenal di masyarakat.

20

(33)

(3) Pada masa yang akan datang, tidak mustahil ada perbuatan-perbuatan yang menghasilkna uang dan merugikan pihak lain atau masyarakat akan dikriminalisasi melalui peraturan pernndang-undangan, namun saat ini perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.

(4) Seharusnya jumlah harta Kekayaan tidak hanya dibatasi pada julmah Rp 500.000.000.00 atau lebih, namu juga untuk semua hasil tindak pidana yang “dicuci”ndengan slah satu perbuatan yang disebutkan dalam pasal 3 ayat (1).

Kritikan tersebut juga dilanjutkan dengan kritik dari FATF sebagai

lembaga inrernasional yang memerangi tindak pidana pencucian uang sehingga

tindak pidana asal tersebut ditambah dengan tindak pidana.

3. Narkotika dan Tindak Pidana Narkotika. a. Narkotika

Definisi narkotika secara umum adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan

pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya, yaitu

dengan cara memasukkan ke dalam tubuh. Istilah narkotika yang dipergunakan

disini bukanlah “na rcotics” pada “fa rma cologie” (farmasi), melainkan sama

artinya dengan “drug” yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa

efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh pemakai, yaitu:

a. Mempengaruhi kesadaran.

b. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia.

c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa :

1. Penenang;

2. Perangsang (bukan rangsangan seks);

3. Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan antara

khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat).

Soedarto menyatakan bahwa perkataan narkotika berasal dari perkataan

(34)

rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan.21

Dalam Undang-undang No.35 Tahun 2009 ini juga menjelaskan apa yang

dimaksud prekusor narkotika , adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia

yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel

sebagaimana terlampir dalam UU No. 35 Tahun 2009.

Narkotika yang terkenal di Indonesia sekarang ini berasal dari kata

“Narkoties”, yang sama artinya dengan kata narcosis yang berarti membius.

Sifat zat tersebut terutama berpengaruh pada otak sehingga menimbulkan

perubahan pada perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, kesadaran, halusinasi,

disamping dapat digunakan untuk pembiusan.

Jenis-jenis narkotika yang perlu diketahui dalam kehidupan sehari-hari:

1. Ca ndu a tau disebut juga opium

Berasal dari sejenis tumbuh-tumbuhan yang dinamakan Papaver

Somniferum, nama lain dari candu selain opium adalah madat. Bagian yang dapat

dipergunakan dari tanaman ini adalah getahnya yang diambil dari buahnya,

narkotika jenis candu atau opium termasuk jenis depressants yang mempunyai

pengaruh hypnotics dan tranglizers. Depresants, yaitu merangsang system saraf

parasimpatis, dalam dunia kedokteran dipakai sebagai pembunuh rasa sakit yang

kuat.

Candu ini terbagi dalam dua jenis, yaitu candu mentah dan candu matang.

Untuk candu mentah dapat ditemukan dalam kulit buah, daun, dan bagian-bagian

lainnya yang terbawa sewaktu pengumpulan getah yang mongering pada kulit

buah, bentuk candu mentah berupa adonan yang membeku seperti aspal lunak,

21

(35)

berwarna coklat kehitam-hitaman dan sedikit lengket. Sedangkan candu masak

merupakan hasil olahan dari candu mentah.

Ada dua macam masakan candu, yaitu:

1. Candu masakan dingin (cingko);

2. Candu masakan hangat (jicingko).

Apabila jicingko dan cingko dicampur maka dapat menjadi candu masak

yang memiliki kadar morphin tinggi.

2. Morphine

Adalah zat utama yang berkhasiat narkotika yang terdapat pada candu

mentah, diperoleh dengan jalan mengolah secara kimia. Morphine termasuk jenis

narkotika yang membahayakan dan memiliki daya eskalasi yang relative cepat,

dimana seseorang pecandu untuk memperoleh rangsangan yang diingini selalu

memerlukan penambahan dosis yang lambat laun membahayakan jiwa.

Menurut Pharmatologic Principles of Medical Practice by John C. Kranz

dan Jeleff Carr, bahwa sebagai obat morphine berguna untuk hal berikut:

1. Menawarkan (menghilangkan) sakit nyeri, hanya cukup dengan 10 gram.

2. Menolak penyakit mejan (diare).

3. Batuk kering yang tidak mempan codeine.

4. Dipakai sebelum diadakan pembedahan.

5. Dipakai dalam pembedahan dimana banyak mengeluarkan darah, karena

tekanan darah berkurang.

6. Sebagai obat tidur bila rasa sakit menghalang-halangi kemampuan untuk tidur,

(36)

Tetapi bila pemakaian morphine disalah gunakan maka akan selalu

menimbulkan ketagihan phisis bagi si pemakai.

3. Heroin

Berasal dari tumbuhan Papaver Somniferum, tanaman ini juga

menghasilkan codeine, morpine dan opium. Heroin disebut juga dengan sebutan

putau, zat ini sangat berbahaya bila dikonsumsi kelebihan dosis, bisa mati

seketika.

4. Coca ine

Berasal dari tumbuh-tumbuhan yang disebut erythroxylon coca , serbuk

cocaine berwarna putih, rasanya pahit dan lama-lama serbuk tadi menjadi basah.

Ciri-ciri cocaine antara lain adalah:

a. Termasuk tanaman perdu atau belukar;

b. Di Indonesia tumbuh di daerah Malang atau Besuki Jawa Timur;

c. Tumbuh sangat tinggi kira-kira 2 (dua) meter;

d. Tidak berduri, tidak betangkai, berhelai daun satu, tumbuh satu -satu pada

cabang atau tangkai;

e. Buahnya berbentuk lonjong berwarna kuning-merah atau merah saja

apabila sudah dimasak.

5. Ga nja

Berasal dari bunga dan daun-daun sejenis tumbuhan rumput bernama

ca nna bis sa tiva .

Ganja terbagi atas dua jenis:

1. Ganja jenis jantan, dimana jenis seperti ini kurang bermanfaat, yang

diambil hanya seratnya saja untuk pembuatan tali.

2. Ganja jenis betina, jenis ini dapat berbunga dan berbuah, biasanya

(37)

Selain dikenal beberapa jenis ganja, terdapat pula beberapa variasi tentang

ganja, yaitu:

a. Minyak ganja;

b. Dammar atau getah ganja yang disebut dengan hashis yang diperoleh

dengan melalui proses penyulingan;

c. Budha stick atau thai stick.

6. Na rkotika sintetis a ta u bua ta n

Adalah sejenis narkotika yang dihasilkan dengan melalui proses kimia

secara farmakologi yang sering disebut dengan istilah Napza, yaitu kependekan

dari Narkotika Alkohol Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya.

Napza tergolong zat psikoaktif, yaitu zat yang terutama berpengaruh pada

otak sehingga menimbulkan perubahan pada perilaku, perasaan, pikiran,

persepsi, dan kesadaran.

Narkotika sinthetis ini dibagi menjadi 3 (tiga) bagian sesuai menurut

reaksi terhadap pemakainya.

a . Depressa nts

Depressa nts atau depresif, yaitu mempunyai efek mengurangi kegiatan

dari susunan syaraf pusat, sehingga dipakai untuk menenangkan syaraf

seseorang atau mempermudah orang untuk tidur.

b. Stimula nts

Yaitu merangsang system syaraf simpatis dan berefek kebalikan dengan

depressa nts, yaitu menyebabkan peningkatan kesiagaan, frekuensidenyut

jantung bertambah/berdebat, merasa lebih tahan bekerja, merasa gembira,

sukar tidur, dan tidak merasa lapar.

(38)

Zat semacam halusinasi dapat menimbulkan perasaan-perasaan yang

tidak nyata yang kemudian meningkat pada halusinasi-halusinasi atau

khayalan karena persepsi yang salah, artinya si pemakai tidak dapat

membedakan apakah itu nyata atau hanya ilusi saja.

d. Obat adiktif lain

Yaitu minuman yang mengandung alcohol, seperti beer, wine, whisky,

vodka, dan lain-lain. Pecandu alkohol cenderung mengalami kurang gizi

karena alcohol menghalangi penyerapan sari makanan seperti glukosa,

asam amino, asam folat, cacium, magnesium, dan vitamin B12.

Dari uraian jenis-jenis narkotika atau tepatnya naoza di atas, maka

penulis dapat menyimpulkan bahwa narkotika/napza dapat digolongkan

menjadi 3 (tiga) kelompok:

1. Golongan Narkotika (Golongan I);seperti opium, morphine, heroin,

dan lain-lain.

2. Golongan Psikotropika (Golongan II); seperti ganja, ectacy,

shabu-shabu, hashis, dan lain-lain.

3. Golongan zat adiktif lain (Golongan III); yaitu minuman yang

mengandung alcohol seperti beer, wine, whisky, vodka, dan lain-lain.

b. Tindak Pidana Narkotika

Tindak pidana narkotika dapat diartikan dengan suatu perbuatan yang

melanggar ketentuan-ketentuan hukum narkotika, dalam hal ini adalah

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan ketentuan-ketentuan lain yang

termasuk dan atau tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut. Tindak

(39)

narkotika yang tidak sah (tanpa kewenangan) dan melawan hukum (melanggar

UU Narkotika)22. Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain23

a. Penyalahgunaan / melebihi dosis;

b. Pengedaran narkotika;

c. Jual beli narkotika.

Dari ketiga tindak pidana narkotik itu adalah merupakan salah satu sebab

terjadinya berbagai macam bentuk tindak pidana kejahatan dana pelanggaran,

yang secara langsung menimbulkan akibat demoralisasi terhadap masyarakat,

generasi muda, dan terutama bagi si pengguna zat berbahaya itu sendiri, seperti:

1. Pembunuhan;

2. Pencurian

3. Penodongan;

4. Penjambretan;

5. Pemerasan;

6. Pemerkosaan;

7. Penipuan;

8. Pelanggaran rambu lalu lintas;

9. Pelecehan terhadap aparat keamanan, dan lain-lain.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak

harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang

22

Moh Taufik Makaro, Suhasril, Moh. Zakky A.S., Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hal 45

23

(40)

didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan

untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan

menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam

terhadap suatu pemecahan atas segala permasalahan-permasalahan yang timbul di

dalam gejala yang bersangkutan.24

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode atau jenis

penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat yuridis normatif,

artinya mengacu kepada norma hukum yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan, yurisprudensi serta kebiasaan-kebiasaan yang

berlaku di masyarakat. Metode penelitian normatif ini dipilih untuk

mengetahui bagaimana penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana

pencucian uang hasil tindak pidana narkotika.

2. Data dan Sumber Data

Jenis data yang diperoleh adalah data sekunder, yaitu data yang

diperoleh dari bahan pustaka. Data sekunder ini mengacu pada 3 bahan:

a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat

sehubungan dengan masalah. Bahan hukum primer ini terdiri dari

seluruh peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang mengatur

masalah tindak pidana pencucian uang menurut undang-undang tentang

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di

Indonesia;

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan

mengenai bahan hukum primer. Dalam hal ini, bahan hukum sekunder

24

(41)

yang diperoleh dari buku, jurnal, artikel, dokumen yang diperoleh dari

internet, serta hasil-hasil penelitian dan tulisan-tulisan dari kalangan

ahli hukum yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini;

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Misalnya,

ensiklopedia, kamus hukum dan sebagainya.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah; studi

kepustakaan (library research), yaitu dengan melakukan penelitian

terhadap berbagai sumber bacaan yakni; buku-buku, pendapat sarjana,

artikel dan juga berita yang diperoleh penulis dari internet yang bertujuan

untuk memperoleh atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori atau

bahan-bahan atau doktrin-doktrin yang berkenaan dengan Tindak Pidana

Pencucian uang dan Tindak Pidana Narkotika.

4. Analisis Data

Adapun metode anailisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi

ini adalah metode kualitatif. Analisis kualitatif lebih menekankan kepada

kebenaran berdasarkan sumber-sumber hukum serta doktrin yang

diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis

secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar

(42)

skripsi ini. Keseluruhan sistematika itu merupakan satu kesatuan yang saling

berhubungan yang satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut:

BAB I : Dalam bab pertama ini akan diuraikan mengenai latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian,

keaslian penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

BAB II : Dalam bab ini akan diuraikan mengenai bagaimana ketentuan hukum pidana mengenai pencucian uang dapat menjerat pelaku tindak

pidana agar dapat mengurangi pelaku tindak pidana.

BAB III : Dalam bab ini Penulis akan menguraikan mengenai kaitan antara tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana narkotika serta

sanksi terhadap tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana

narkotika menurut undang-undang tentang pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

BAB IV : Dalam bab ini penulis akan menguraikan bagaimana penerapan pasal mengenai tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana

narkotika yang terdapat dalam undang-undang tentang pencegahan

dan pembatasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia dengan

mengkaji sebuah putusan yang terkait dengan pembahasan ini.

BAB V : Bab ini adalah penutup dari penulisan penelitian yang menguraikan secara singkat mengenai kesimpulan dari keseluruhan penulisan serta

saran yang Penulis anggap perlu untuk disampaikan agar dapat

bermanfaat bagi para pembaca dalam memahami topik yang telah

(43)

BAB II

KETENTUAN HUKUM PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM MENJERAT PELAKU TINDAK PIDANA

UNTUK UPAYA MENGURANGI PELAKU TINDAK PIDANA

A. Modus Dalam Pencucian Uang

Secara rinci dan konkrit, modus operasional kejahatan pencucian uang

terdapat 13 (tiga belas) modus, yaitu:25

1. Modus secara Loan Back

Yaitu dengan cara meminjam uangnya sendiri. Modus terinci lagi dalam

bentu direct loan, yakni dengancara meminjam uang dari perusahaan luar negeri,

yakni semacam perusahaan bayangan (immbolen investment company), yang

direksi dan pemegang sahamnya ialah ia sendiri. Dalam bentuk back to loan,

dimana si pelaku meminjam uang dari cabang bakn asing di negaranya. Peminjam

dengan jaminan bank asing secara stand bay letter of credit atau certificate of

deposit bahwa uang di dapat atas dasar uang dari kejahatan. Peminjam itu

kemudian tidak dikembalikan, sehingga jaminan bank dicairkan. Bentuk lainnya

dari modus ini ialah parallel loan, yakni pembiayaan internasional yang

memperoleh asset dari luar negeri. Karena ada hambatan restriksi mata uang,

maka dicari perusahaan di luar negeri untuk sama-sama mengambil loan dan dana

dari loan itu di pertukarkan satu sama lain.

2. Modus Operasi C-Chase

Modus ini cukup rumit karena memiliki sifat lika liku sebagai cara

menghapus jejak. Contoh seperti kasus dalam BCCI, dimana kurir-kurir datang ke

bank di Florida untuk menyimpan dana sebesar US $ 10.000, supaya lolos dari

kewajiban lapor. Kemudian beberapa kali dilakukan transfer, yakni dari New

York ke Luxemburg, dari Luxemburg ke cabang bank di Inggris, lalu disana

25

(44)

dikonversi dalam bentuk Certificate of Deposit untuk menjamin loan dalam

jumlah yang sama yang diambil oleh orang di Florida. Loan dibuat di Negara

karabia yang terkenal dengan tax heaven-nya. Disini loan itu tidak pernah ditagih,

namun hanya dengan mencairkan sertifikat deposito itu saja. Dari rekening Drug

Dea ler dan disana uang itu di distribusikan menurut keperluan dan bisnis yang

serba gelap. Hasil investasi ini dapat tercuci dan aman.

3. Modus transaksi dagang internasional

Modus ini menggunakan sarana dokumen L/C. Karena yang menjadi focus

urusan bank, baik bank koresponden maupun opening bank adalah dokumen bank

itu sendiri dan tidak mengenai keadaan barang, maka hal ini dapat menjadi

sasaran money laundering berupa invoice yang besar terhadap barang-barang yang

kecil atau malahan barang itu tidak ada.

4. Modus penyelundupan uang tunai atau sistem bank parallel ke Negara lain.

Modus ini menyelundupkan sejumlah uang fisik itu ke luar negeri.

Berhubung dengan cara ini terdapat resiko-resiko seperti hilang dirampok atau

tertangkap dalam pemeriksaan, dicari modus berupa electronic transfer, yakni

mentransfer dari suatu negara ke negara lain tanpa perpindahan fisik uang itu.

5. Modus Akuisisi

Yang dimaksud adalah perusahaan sendiri. Contohnya, seorang pemilik

perusahaan di Indonesia yang memiliki perusahaan di Indonesia, yang memiliki

perusahaan secara gelap pula di Cayman Island, negara tax heaven. Hasil usaha di

Cayman didepositkan atas nama perusahaan yang ada di Indonesia. Kemudian

perusahaan yang ada di Cayman membeli saham-saham dari perusahaan yang ada

di Indonesia (secara akuisisi). Dengan cara ini pemilik perusahaan di Indonesia

memiliki dana sah, karena telah tercuci melalui hasil penjualan saham-sahamnya

(45)

6. Modus Real Estate Corousule

Dengan menjual suatu properti beberapa kali kepada perusahaan di dalam

kelompok yang sama. Pelaku money laundering memiliki sejumlah perusahaan

(pemegang saham mayoritas) dalam bentuk real estate. Dari satu ke lain

perusahaan ke lain grup usaha property melakukan penjualan pada peru sahaan

lain di lingkungan perusahaan itu juga dengan pola harga penjualan yang makin

meningkat. Sasarannya supaya transaksi ini, hasil uang penjualan menjadi putih,

disamping itu pula, pemilik saham minoritas dapat ditarik memodali dalam proses

money la undering. Modus yang sama pula dilakukan di dalam pasar modal, yakni

pembeli saham itu hanya perusahaan-perusahaan dilingkungannya saja dengan

tawaran harga tinggi.

7. Modus Investasi tertentu

Investasi tertentu ini biasanya dalam bisnis transaksi barang lukisan atau

antic. Misalnya pelaku membeli barang lukisan dan kemudian menjualnya kepada

seseorang yang sebenarnya adalah suruhan si pelaku itu sendiri dengan harga yang

mahal. Lukisan dengan harga yang tidak terukur, dapat ditetapkan dengan harga

penjualan yang bersifat tinggi dapat dipandang sebagai dana yang sudah sah

(tercuci).

8. Modus Over Invoices atau Double Invoice

Modus ini dilakukan dengan mendirikan perusahaan ekspor-impor di

negara sendiri, lalu di luar negeri (yang bersifat sistem tax heaven) mendirikan

pula perusahaan bayangan (shell company). Perusahaan di negara tax heaven ini

mengekspor barang ke Indonesia dan perusahaan yang ada di luar negeri itu

membuat invoice pembelian dengan harga tinggi dan bila dibuat 2 invoices, maka

Referensi

Dokumen terkait

1. Sebelum mengikuti pelatihan, pada umumnya peserta pelatihan belum memiliki pekerjaan tetap yang dapat dijadikan sumber mata pencaharian, meskipun mereka sudah bekerja

Pemeriksaan pada kadar IL-4 diharapkan memiliki kelebihan, yaitu lebih sensitif untuk pemeriksaan kecacingan bila dibanding dengan metode konfensional dengan waktu pengerjaan

harganya diperkirakan mencapai 20 Miliyar. Dengan besarnya biaya investasi yang dibutuhkan, cukup sulit untuk perusahaan pelayaran dalam negeri untuk melakukan

Tidak ada perubahan mengenai obyek sengketa di peradilan tata usaha negara pada undang-undang yang terbaru, dimana obyek sengketanya adalah keputusan tata usaha negara

Pada pertemuan pertama terdapat 6 kelompok dimana terdapat 4 hingga 5 siswa dari masing-masing kelompok, pada pertemuan pertama karena masih proses adaptasi

bahwa auditor KAP, mahasiswa akuntansi dan akuntan pendidik tentang atribut keahlian yang harus dimiliki auditor kantor akuntan publik dalam pengetahuan, pemecahan

Terkait dengan dihapusnya jabatan Kayim dan selanjutnya ditempatkannya di tempat tugas baru sebagai staf pada urusan dan seksi yang ada serta kekosongan karena purna

2. Memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, dan guru. Memahami pengetahuan