PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG HASIL TINDAK PIDANA NARKOTIKA
( STUDI PUTUSAN NOMOR. 847/PID.B/2013/PN.MDN) SKRIPSI
O l e h
ROYANTI 110200290
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG HASIL TINDAK PIDANA NARKOTIKA
( STUDI PUTUSAN NOMOR. 847/PID.B/2013/PN.MDN)
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
O l e h : ROYANTI
110200290
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. H. M. Hamdan, SH. MH NIP. 19570326198601001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Nurmalawaty, S.H.,M.Hum Rafiqoh Lubis, S.H.,M.Hum NIP. 196209071988112001 NIP. 197407252002122002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan karuniaNya Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini adalah merupakan salah satu syarat yang harus
dipenuhi untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Adapun judul skripsi adalah “Penerapan Hukum Pidana Terhadap
Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Narkotika ( Studi Putusan No. 847/Pid.B/2013/PN.MDN).
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tak luput dari kekurangan
dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan
hati Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
skripsi ini.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang
tua Penulis E. Tampubolon dan N br Situmorang, yang dengan sepenuh hati
memberikan dukungan yang begitu besar bagi Penulis baik itu dukungan Materil
maupun moril yang begitu berharga bagi Penulis.
Selain itu, melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian
skripsi ini, yaitu:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum., selaku Pembantu Dekan I
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH. MH. DFM., selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. OK Saidin SH. M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH. MH., selaku Ketua Departemen Hukum
Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Ibu Nurmalawaty, SH. M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I Penulis yang
telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing, memberi masukan
dan mengarahkan Penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.
7. Ibu Rafiqoh Lubis, SH. M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah
banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan masukan
kepada penulis dengan begitu sabar hingga terselesaikannya skripsi ini.
8. Bapak Hemat Tarigan, SH. M.Hum., selaku Dosen Wali yang telah
membimbing penulis selama masa perkuliahan.
9. Abang-abang, Kakak dan Eda-edaku yang sangat kusayangi dan selalu
memberikan dukungannya kepada penulis selama masa perkuliahan
hingga terselesaikannya skripsi ini.
10.Susanti Nababan, SH selaku PKK ku di kelompok kecil, terima kasih telah
menjadi kakak terbaik ku selama di medan, terima kasih juga atas seluruh
dukungannya dan untuk segala nasehat selama ini yang begitu berharga
bagi Penulis.
11.Elora dan Janet, terima kasih untuk teman-teman kelompok kecilku
Roulinta Y Sinaga, Sri Nita Tarigan, Sabrina A Gultom, Gracia W
Manurung dan Aprini R Tarigan, Holy A Kembaren, Kristina Simbolon,
Sarah N Siagian terima kasih selama ini telah menjadi teman berbagi suka
12.Sisca Siregar dan Nadia Siregar, terima kasih untuk segala dukungannya
bagi Penulis dan terima kasih juga selama ini telah menjadi teman terbaik
bagi Penulis baik dalam suka dan duka.
13.UKM KMK USU, terima kasih telah menjadi sarana bagi Penulis untuk
semakin bertumbuh lagi dalam hal Rohani serta membantu Penulis untuk
menjadi pribadi yang lebih baik lagi setiap harinya.
14.PERMAHI, terima kasih buat seluruh rekan-rekan permahi yang telah
mendukung penulis selama penyelesaian skripsi ini dan terima kasih juga
karena telah menjadi wadah pembelajaran bagi Penulis baik pembelajaran
dalam bidang hukum, pembentukan karakter serta memberikan sebuah
keluarga baru bagi Penulis melalui organisasi ini.
15.Teman-teman stambuk 2011 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
dan seluruh teman-teman Penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu,
yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Medan, Juli 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI………..…iv
ABSTRAKSI………vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………...………....1
B. Perumusan Masalah………...…...5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...……...5
D. Keaslian Penulisan…….………..………..……....6
E. Tinjauan Kepustakaan..………....7
1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana….….….7 2. Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia………..……...12
3. Narkotika dan Tindak Pidana Narkotika..………..26
F. Metode Penelitian………..………...…………..…..33
G. Sistematika Penulisan………...……....35
BAB II KETENTUAN HUKUM PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM MENJERAT PELAKU TINDAK PIDANA UNTUK UPAYA MENGURANGI PELAKU TINDAK PIDANA. A. Modus Dalam Pencucian Uang …...…………..………..37
B. Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Ketentuan
Pidana………...44
C. Ketentuan Hukum Pidana Mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Menjerat Pelaku Tindak Pidana Untuk Upaya Mengurangi Pelaku Tindak Pidana …...…48
BAB III KAITAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA. A. Ruang Lingkup Tindak Pidana Pencucian Uang ...55
B. Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak ………57
C. Kaitan Tindak Pidana Pencucian Uang Dengan Tindak Pidana……….…. 59
BAB IV PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG HASIL TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI PUTUSAN NOMOR. 847/PID.B/2013/PN.MDN). A. Kasus ...………..66
1. Kronologis Kasus66 2. Dakwaan……….69
3. Fakta Hukum………..70
4. Tuntutan……….85
5. Putusan………...88
B. Analisa Kasus………...91
A. Kesimpulan………..………..…..98
B. Saran………...…101
mengubah uang “haram” yang sebenarnya dihasilkan dari sumber illegal sehingga menjadi uang yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah atau halal dengan cara mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk atau menukarkan dengan mata uang atau surat berharga yang dilakukan melalui tahap Placement (Penempatan Uang), Layering (Pelapisan Uang), Integration (Penyatuan Uang).
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang yang berkaitan dengan Tindak Pidana Narkotika sebagai tindak pidana asalnya, hal ini tertuang dalam Putusan Pengadilan sebagai jalan penyelesaian Tindak Pidana Pencucian Uang atas hasil Tindak Pidana Narkotika tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian normatif.
Pemerintah Republik Indonesia mengkriminalisasikan pencucian uang (Money laundering) ini pada tahun 2002 dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Penanganan tindak pidana pencucian uang atas dasar UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003, meskipun sudah menunjukkan arah yang positif, tetapi dirasa masih belum optimal, hal inilah yang kemudian memicu dibentuknya UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tindak pidana pencucian uang mengenal nomenklatur sebagai tindak pidana lanjutan (predicate crime), atau dengan istilah kejahatan asal. Tindak Pidana Narkotika sendiri adalah salah satu dari kejahatan asal yang terdapat dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, hal ini diatur dengan jelas dalam Pasal 2 angka (1) huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Berdasarkan analisis penulis penerapan Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang diamati melalui kasus yang masuk ke PN Medan yang dalam putusannya hakim menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- sudahlah tepat, hanya saja perintah pidana penjara tidak usah dijalani tersebut yang menurut penulis kurang tepat karena alasan untuk tidak menjalani pidana penjara tersebut tidaklah logis.
1
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Pidana
**
Dosen PembimbingI, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
***
mengubah uang “haram” yang sebenarnya dihasilkan dari sumber illegal sehingga menjadi uang yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah atau halal dengan cara mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk atau menukarkan dengan mata uang atau surat berharga yang dilakukan melalui tahap Placement (Penempatan Uang), Layering (Pelapisan Uang), Integration (Penyatuan Uang).
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang yang berkaitan dengan Tindak Pidana Narkotika sebagai tindak pidana asalnya, hal ini tertuang dalam Putusan Pengadilan sebagai jalan penyelesaian Tindak Pidana Pencucian Uang atas hasil Tindak Pidana Narkotika tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian normatif.
Pemerintah Republik Indonesia mengkriminalisasikan pencucian uang (Money laundering) ini pada tahun 2002 dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Penanganan tindak pidana pencucian uang atas dasar UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003, meskipun sudah menunjukkan arah yang positif, tetapi dirasa masih belum optimal, hal inilah yang kemudian memicu dibentuknya UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tindak pidana pencucian uang mengenal nomenklatur sebagai tindak pidana lanjutan (predicate crime), atau dengan istilah kejahatan asal. Tindak Pidana Narkotika sendiri adalah salah satu dari kejahatan asal yang terdapat dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, hal ini diatur dengan jelas dalam Pasal 2 angka (1) huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Berdasarkan analisis penulis penerapan Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang diamati melalui kasus yang masuk ke PN Medan yang dalam putusannya hakim menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- sudahlah tepat, hanya saja perintah pidana penjara tidak usah dijalani tersebut yang menurut penulis kurang tepat karena alasan untuk tidak menjalani pidana penjara tersebut tidaklah logis.
1
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Pidana
**
Dosen PembimbingI, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
***
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan pencucian uang ( money laundring ) belakangan ini makin
mendapat perhatian khusus dari berbagai kalangan, yang bukan saja dalam skala
nasional, tetapi juga meregional dan mengglobal melalui kerja sama antar
negara-negara. Gerakan ini terpicu oleh kenyataan di mana kini semakin maraknya
kejahatan money laundering dari waktu ke waktu, sementara kebanyakan negara
belum menetapkan sistem hukumnya untuk memerangi atau menetapkannya
sebagai kejahatan yang harus diberantas. Sebegitu besarnya dampak negatif yang
ditimbulkannya terhadap perekonomian suatu negara, sehingga negara -negara di
dunia dan organisasi internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menarik
perhatian yang lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan
pencucian uang. Hal ini didorong karena kejahatan money laundering
mempengaruhi sistem perekonomian khususnya menimbulkan dampak negatif
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut Guy Stessen terdapat tiga alasan mengapa pencucian uang
menjadi bentuk kejahatan yang harus diperangi dan dinyatakan sebagai tindak
pidana. Per tama , pencucian uang memberi dampak negatif pada sistem keuangan
dan ekonomi yang dapat mengganggu stabilitas perekonomian dunia. Kedua , atas
dampaknya yang begitu besar bagi perekonomian dunia maka penetapan
pencucian uang sebagai tindak pidana merupakan usaha untuk menghentikan
aliran dana hasil kejahatan asal. Hal ini akan memudahkan bagi aparat penegak
hukum untuk menyita hasil tindak pidana yang seringkali sulit terjamah hukum.
pelakunya kearah menyita hasil tindak pidana. Melakukan kriminalisasi terhadap
pencucian uang dapat menjadi landasan bagi aparat penegak hukum untuk
memidanakan pihak ketiga yang dinilai menghambat upaya penegakan hukum.
Ketiga, dengan dinyatakannya pencucian uang sebagai tindak pidana maka
melahirkan sistem pelaporan transaksi dalam jumlah tertentu yang menghasilkan
berbagai transaksi mencurigakan. Tujuannya agar aparat penegak hukum mampu
menyelidiki kasus pidana sampai menjurus kepada tokoh-tokoh dibelakangnya.
Dinamika atau perubahan ekonomi yang akselerasif berimplikasi pula
pada sistem sosial, serta sesuai dengan sendirinya memasuki wilayah hukum.
Dengan demikian hukum sebagai salah satu subsistem sosial, tidak bisa lepas dari
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, termasuk didalamnya
perubahan ekonomi. Globalisasi hukum, mengharuskan Indonesia untuk segera
melahirkan ketentuan perundang-undangan yang menjadi tuntutan internasional,
salah satu kebutuhan mendasar tersebut adalah Undang-Undang Pencucian Uang.
Tindak pidana pencucian uang sebagaimana terdapat dalam penjelasan umum
menerangkan bahwa berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang
perorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu Negara maupun
yang dilakukan melintasi batas wilayah Negara lain makin meningkat.
Kejahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan
(bribery), penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan
imigran, perbankan, perdagangan gelap, narkotika dan psikotropika, perdagangan
budak, wanita dan anak, perdagangan senjata dan berbagai kejahatan kerah putih
(white collar crime). Kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan atau
menghasilkan harta kekayaan yang sangat besar jumlahnya. Harta kekayaan yang
langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan, karena apabila
langsung digunakan akan mudah dilacak oleh penegak hukum mengenai sumber
diperolehnya harta kekayaan tersebut. Biasanya para pelaku kejahatan terlebih
dahulu mengupayakan agar harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut
masuk ke dalam sistem keuangan (Financial System). Dengan cara demikian asal
usul harta kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh para penegak
hukum. Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini dikenal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini
dikenal sebagai pencucian uang (money laundering).2
Sabagaimana kejahatan-kejahatan yang disebut diatas, kejahatan peredaran
gelap narkoba memang sejak lama diyakini memiliki kaitan erat dengan proses
pencucian uang. Sejarah perkembangan tipologi pencucian uang menunjukkan
bahwa perdagangan obat bius merupakan sumber yang paling dominan dan
kejahatan asal (predicate crime) yang utama yang melahirkan kejahatan pencucian
uang. Organized crime selalu menggunakan metode pencucian uang ini untuk
menyembunyikan, menyamarkan atau mengaburkan hasil bisnis haram itu agar
nampak seolah-olah merupakan hasil dari kegiatan yang sah. Selanjutnya, uang
hasil jual beli narkoba yang telah dicuci itu digunakan lagi untuk melakukan
kejahatan serupa atau mengembangkan kejahatan-kejahatan baru.
Sejarah mencatat pula bahwa kelahiran rezim hukum internasional yang
memerangi kejahatan pencucian uang dimulai pada saat masyarakat internasional
merasa frustrasi dengan upaya memberantas kejahatan perdagangan gelap
narkoba. Pada saat itu, rezim anti pencucian uang dianggap sebagai paradigma
2
baru dalam memberantas kejahatan yang tidak lagi difokuskan pada upaya
menangkap pelakunya, melainkan lebih diarahkan pada penyitaan dan perampasan
harta kekayaan yang dihasilkan. Logika dari memfokuskan pada hasil
kejahatannya adalah bahwa motivasi pelaku kejahatan akan menjadi hilang
apabila pelaku dihalang-halangi untuk menikmati hasil kejahatannya. Melihat
korelasi yang erat antara kejahatan peredaran gelap narkoba sebagai predicate
crime dan kejahatan pencucian uang sebagai derivative-nya, maka sangat jelas
bahwa keberhasilan perang melawan kejahatan peredaran gelap narkoba di suatu
negara sangat ditentukan oleh efektivitas rezim anti pencucian uang di negara itu.
Meski tindak pidana narkotika dan tindak pidana pencucian memiliki
keterkaitan, meski demikian ada yang hanya terjerat kasus narkotika saja atau
tindak pidana pencucian uang saja. Sebernya apa itu tindak pidana narkotika dan
tindak pidana pencucian uang tersebut, lalu bagaimana peraturan yang ada di
Indonesia tentang tindak pidana pencucian uang jika dikaitkan dengan tindak
pidana narkotika, dan bagaimana penanganan terhadap tersangka kasus tersebut,
itulah yang akan dibahas dalam skripsi ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ketentuan hukum pidana mengenai tindak pidana pencucian
uang dalam menjerat para pelaku tindak pidana ?
2. Bagaimana kaitan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana
3. Bagaimana penerapan ketentuan pidana terhadap tindak pidana pencucian
uang hasil tindak pidana narkotika (Studi Putusan Nomor.
847/Pid.B/2013/PN.Mdn) ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Dalam penulisan ini, ada beberapa hal yang menjadi tujuan guna
menjawab permasalahan yang ada dalam skripsi ini, adapun yang menjadi tujuan
dalam penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana peran Pencucuian Uang dalam memberikan
dampak untuk mengurangi Tindak Pidana Narkotika.
2. Untuk mengetahui kaitan antara Tindak Pidana Pencucian Uang dengan
Tindak Pidana Narkotika.
3. Untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum pidana dalam kasus Tindak
Pidana Pencucian Uang hasil Tindak Pidana Narkotika.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan diharapkan dapat memberikan manfaat antara
lain:
a. Secara Teoritis
Guna mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan hukum pidana, khususnya
mengenai tindak pidana pencucian uang.
b. Secara Praktis
2. Dengan adanya penelitian ini maka penulis dapat memberikan gambaran
tentang tindak pidana pencucian uang dari hasi tindak pidana narkotika.
3. Agar masyarakat mengetahui bagaimana penerapan hukum di Indonesia
terhadap kasus pencucian uang.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan literatur yang diperoleh dari perpustakaan
dan dari media massa baik media cetak maupun elektronik. Berdasarkan informasi
yang diperoleh dari penelusuran studi literatur dan bahan-bahan kepustakaan
lainnya, belum terdapat judul yang sama dengan skripsi yang diangkat pada judul
skripsi ini.
Judul-judul yang ada tentang pencucian uang tidak ada yang menyentuh
materi pokok dalam bahasan skripsi ini yaitu tentang “Penerapan Hukum Pidana
terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang hasil Tindak Pidana Narkotika ( Studi
Putusan Nomor. 847/Pid.B/2013/PN.Mdn).” oleh sebab itu judul pada skripsi ini
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana
a. Tindak Pidana
Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan
“strafbaarfeit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” di
perbuatan pidana, atau tindak pidana5. Para ahli hukum berusaha untuk
memberikan arti dari istilah itu, tetapi belum ada keseragaman pendapat saat itu.6
Istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada
maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemaha dari istilah strafbaar
feit adalah sebagai berikut:7
1. Tindak pidana, dapat dikatakan istilah resmi dalam perundang-undangan
pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan
menggunakan istilah tindak pidana, Seperti dalam undang-undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Peristiwa pidana, Pembentuk UU pernah menggunakan istilah peristiwa
hukum, yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 pasal 14
ayat 1 yang berbunyi “ Setiap orang yang dituntut karena disangka
melakukan sesuatu peristiwa pidana berhak dianggap tak bersalah, sampai
dibuktikan kesalahan saja dalam suatu siding pengadilan, menurut
aturan-aturan hukum yang berlaku, dan ia dalam siding itu diberikan segala dijamin
yang telah ditentukan dan yang perlu untuk pembelaan”.
Istilah tindak pidana menunjukan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan
gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut juga seseorang untuk tidsk
berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak
pidana.
5
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 90
6
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal 67.
7
b. Unsur-unsur Tindak Pidana
Dalam kita menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsur-unsurnya,
maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkan sesuatu tindakan
manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang
terlarang oleh Undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke
dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.
Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau
yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah
unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam
keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:8
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolusatau Culpa);
2. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang
dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di
dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan
dan lain-lain;
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
5. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana
menurut Pasal 308 KUHP.
8
Unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu adalah:9
a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid;
b. Kualitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri
di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan
sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam
kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
c. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Seorang ahli hukum yaitu Simons merumuskan unsur-unsur tindak pidana
sebagai berikut:
a. Diancam dengan pidana oleh hukum;
b. Bertentangan dengan hukum;
c. Dilakukan oleh orang yang bersalah;
d. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.
Satochid juga mengemukakan pendapat, menurutnya unsure-unsur delik
atau tindak pidana ada dua golongan, yaitu unsur obyektif dan unsur subyektif.10
a. Unsur-unsur yang obyektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar diri
manusia, yaitu yang berupa:
1. Suatu tindak tanduk atau tingkah laku;
2. Suatu akibat tertentu;
3. Keadaan.
Semua unsur obyektif di atas harus dilarang dan diancam dengan hukuman
oleh undang-undang.
b. Unsur-unsur subjektif yang berupa:
9
Ibid
10
penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan
“strafbaar feit”.3
Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari
suatu kenyataan” atau “dapat dihukum”, hingga secara harafiah perkataan
“strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan
yang dapat dihukum”. Yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak
akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia
sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.
Menurut Vos tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia yang oleh
peraturan perundang-undangan diberi pidana. Jadi, suatu kelakuan manusia yang
pada umumnya dilarang dan diancam dengan pidana.4
Menurut Van Hamel tindak pidana dirumuskan sebagai delik adalah
perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang melawan hukum yang
patut dipidana dan dilakukan sebagai kesalahan. Sebagai tindak pidana suatu
pelanggaran terhadap kaidah hukum yang berlaku di masyarakat, dimana pelaku
mempunyai kesalahan untuk dapat dimintai pertanggungjawaban sehingga dapat
dikenal pemidanaan.
Kepustakaan tentang hukum Pidana sering mempergunakan istilah delik,
sedangkan pembuat undang-undang menggunakan istilah peristiwa pidana, atau
3
Drs.P A.F.Lamintang, Dasar-dasar hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal 181.
4
1. Dapat dipertanggung jawabkan, yaitu adanya hukuman atau ancaman
pidana;
2. Adanya kesalahan.
2. Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia. a. Pencucian Uang
Meskipun tindak pidana pencucian uang telah berkembang sedemikian
rupa, namun sampai saat ini tidak ada atau belum ada suatu definisi yang
universal dan komprehensif mengenai apa yang dimaksud dengan pencucian uang
atau money laundering ini.
Prof. Dr. utan Remy Sjahdeini menggaris bawahi, dewasa ini istilah
money laundering sudah lazim digunakan untuk menggambarkan usaha-usaha
yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum untuk melegalisasi uang
“kotor” yang diperoleh dari hasil tindak pidana.11
Selain istilah tersebut diatas, ada beberapa definisi lain dari pencucian
uang yang penulis himpun dari beberapa sumber. Namun, hakikatnya
mengandung unsur-unsur pokok berupa tindakan yang sengaja dilakukan,
berkaitan dengan kekayaan, dan kekayaan tersebut berasal dari kejahatan.
Beberapa definisi tersebut ialah sebagai berikut:
1. Menurut Sarah N. Welling (1992) “ Pencucian Uang adalah proses dimana
seseorang menyembunyikan keberadaan sumber (pendapatan) illegal atau
aplikasi pendapatan illegal dan kemudian menyamarkan sumber (pendapatan)
tersebut agar terlihat seperti sesuai dengan aturan atau hukum yang berlaku”.
11
2. Menurut David Fraser (1992) “ Pencucian Uang kurang lebih adalah proses
dimana uang “kotor” (hasil dari tindak pidana) dicuci menjadi bersih atau
uang kotor yang dibersihkan melalui suatu sumber hukum dan perusahaan
yang legal sehingga ‘”para penjahat” dapat dengan aman menikmati hasil jerih
payah tindak pidana mereka”.
3. Menurut Made. M. I Pastika “ Pencucian uang ialah cara dimana seseorang
mengubah uang “haram” yang dimilikinya menjadi uang “bersih” yang bisa
ditelusuri kembali kepada mereka, dan tidak bisa dihubungkan dengan
kejahatan manapun.
4. Menurut Anwar Nasution “ Pencucian uang adalah suatu cara atau proses
untuk mengubah uang “haram” yang sebenarnya dihasilkan dari sumber illegal
sehingga menjadi uang yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah atau
halal.
5. Menurut UU RI No. 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang:
tindakan pencucian uang dapat berupa tindakan orang yang sengaja
melakukan percobaan bantuan atau permufakatan jahat untuk:12
a. Menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana kedalam penyedia jasa keuangan, baik atas
namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
b. Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke
penyedia jasa keuangan lain, baik atas namanya sendiri maupun atas nama
pihak lain;
12
c. Membayar atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri
atau atas nama pihak lain;
d. Menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil dari tindak pidana, baik atas
namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
e. Menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, baik namanya sendiri maupun atas nama
pihak lain;
f. Membawa keluar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri
maupun atas nama pihak lain;
g. Menukarkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga
lainnya; atau
h. Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
Selain dari definisi-definisi tersebut diatas, tindakan-tindakan dibawah ini
juga merupakan praktik pencucian uang, yaitu:13
1. Perubahan atau transfer kekayaan dengan maksud menyembunyikan atau
mengaburkan asal-usul kekayaan, demikian pula dengan maksud membantu
seseorang agar dapat menghindar dari konsekuensi tindakannya;
2. Penyembunyian atau pengaburan sumber, lokasi, penarikan, pemindahan
hak-hak yang berhubungan dengan kekayaan atau kepemilikan dari suatu
kekayaan;
13
3. Akuisisi, pemilikan atau penggunaan kekayaan yang diketahui dari
kejahatan dan keikutsertaan dalam kejahatan;
4. Keikut sertaan, kerjasama atau persekongkolan, percobaan untuk melakukan
atau membantu, mempermudah dan menyuruh melakukan kejahatan
tersebut.
Mengacu pada sejumlah definisi tindak pidana pencucian uang diatas
maka terlihat jelas, walaupun terdapat persamaan tentang unsur adanya uang hasil
dari tindak pidana, unsur-unsur lainnya dari tindak pidana pencucian uang
memiliki perbedaan.
Dengan demikian secara umum, tindak pidana pencucian uang bisa di
definisikan secara ragam pula. Misalnya, tindak pidana pencucian uang sebagai
proses dimana seseorang menutup-nutupi keberadaan uang illegal, ataupun
aplikasi illegal dari uang, ataupun menutup-nutupi pendapatan agar pendapatan
tersebut terlihat bersih atau sah menurut hukum dan tidak melanggar hukum.
b. Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia
Tindak pidana pencucian uang (money laundering) sebagai salah satu jenis
kejahatan kerah putih (white collar crime) sebenarnya sudah dikenal sejak tahun
1867. Namun istilah money laundering baru muncul ketika Al Capone, salah satu
mafia besar di Amerika Serikat, pada tahun 1920-an, memulai bisnis Laundromats
(tempat cuci otomatis). Bisnis ini dipilih karena menggunakan uang tunai yang
mempercepat proses pencucian uang agar uang yang mereka peroleh dari hasil
pemerasan, pelacuran, perjudian, dan penyelundupan minuman keras terlihat
sebagai uang yang halal. Sebelum tahun 1986, tindakan pencucian uang bukan
masuk dalam bisnis legal dan usaha-usaha ekonomi lain. Pemerintah Amerika
Serikat mulai mengkualifikasikan pencucian uang ini sebagai suatu tindak pidana
dengan mengeluarkan Money Laundering Central Act. (1986), yang kemudian
diikuti dengan The Annunzio Wylie Act.dan Money Laundering Suppression Act.
(1994).
Sedangkan pemerintah Republik Indonesia baru mengkriminalisasikan
pencucian uang (Money laundering) ini pada tahun 2002 dengan mengeluarkan
Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dikeluarkannya UU No. 15 tahun 2002 ini oleh pemerintah Indonesia pada
dasarnya tidak terlepas dari desakan dan ancaman sanksi yang dijatuhkan oleh
masyarakat internasional. Saat itu dunia menyoroti beberapa kelemahan pada
negara Indonesia untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian
uang, yakni tidak adanya undang-undang yang menetapkan money laundering
sebagai tindak pidana.
Sejak tanggal 17 April 2002 telah mulai berlaku Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara RI
Tahun 2002 Nomor 30).
Untuk mengetahui latar belakang pemikiran, maksud dan tujuan
penyusunan undang-undang tersebut demikian pula untuk mengetahui latar
belakang maksud dan tujuan dijadikannya perbuatan yang berupa pencucian uang
sebagai tindak pidana dapat diketahui dari penjelasan umum Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 yang mengemukakan sebagai berikut:
(bribery, penyelundupa n ba ra ng, penyelundupan tenaga kerja , penyelundupan
Secara khusus apa sebab sampai dibentuknya Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 tersebut adalah dikarenakan pada tanggal 22 Juni 2001, Financial
Action Ta sk Force on Money Laundering (FATF)14 telah memasukkan Indonesia
pada daftar Non Cooperative Countries and Territories (NCCT’s), karena di
Indonesia:
a. Tidak adanya ketentuan yang menempatkan money laundering sebagai
tindak pidana;
b. Tidak adanya ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your
Customer-KYC) untuk lembaga non bank;
c. Rendahnya kapasitas dalam penanganan kejahatan pencucian uang;
14
d. Kurangnya kerja sama internasional dalam penanganan kejahatan
pencucian uang.15
Dimasukkannya suatu Negara ke dalam daftar NCCT’s adalah merupakan
dasar bagi FATF untuk meminta kepada para anggotanya yang terdiri atas
Negara-negara besar di dunia untuk melakukan counter-measures terhadap
Negara tersebut dan menetapkan set date, yaitu tanggal mulai diberikannya sanksi
kepada Negara tersebut.16
Apabila suatu Negara terkena counter-measures dari Negara-negara
anggota FATF, maka Negara tersebut akan terisolir, antara lain tidak dapat
melakukan transaksi dagang dan transaksi keuangan dengan pengusaha-pengusaha
lembaga-lembaga keuangan dari Negara-negara yang melakukan
counter-mea sures tersebut.
Negara yang masih memerlukan bantuan pinjaman dari luar negeri akan
dapat pula mengalami kesulitan untuk memperoleh dana bantuan dan pinjaman
dari Negara-negara yang melakukan counter-measures tersebut.
Negara tersebut juga akan mengalami kesulitan untuk memperoleh
bantuan dan pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti
Wor ld Ba nk, IMF, dan ADB.17
Atas dasar alasan khusus seperti tersebut, maka dibentuklah UU No. 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Ternyata oleh FATF, UU No. 15 Tahun 2002 tersebut dinilai masih belum
memenuhi standard Internasional,sehingga masih perlu diadakan perubahan.
15
Yunus Husein, Negeri Sang Pencuci Uang, Pustaka Juanda Tiga Lima, Jakarta, Cetakan ke-1, 2008, hal 89.
16
Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Pustaka Utama Grafitri, Jakarta, 2004, hal 94.
17
Perubahan terhadap UU No. 15 Tahun 2002 dilakukan dengan UU No. 25
Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang.
Meskipun terhadap UU No. 15 Tahun 2002 telah dilakukan perubahan
untuk disesuaikan dengan standard internasional, FATF tidak serta merta
mengeluarkan Indonesia dari daftar NCCT’s, karena FATF masih akan melihat
bagaimana implementasinya dari UU No. 15 Tahun 2002 setelah dilakukan
perubahan.18
Baru pada tanggal 11 Februari 2005 Indonesia dikeluarkan dari daftar
NCCT’s, namun FATF tetap meminta Indonesia untuk melanjutkan pembangunan
rezim anti pencucian uang dan akan dilakukan monitoring selama 1 (satu) tahun
terhadap upaya-upaya yang dilakukan dalam memenuhi 40 + 9 rekomendasi
dengan memfokuskan pada 6 (enam) hal sebagai berikut:
1. Mendorong agar small banks (seperti BPR dan bank-bank umum berskala
kecil lainnya) menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan;
2. Meningkatkan capacity building, terutama kepada para penegak hukum yang
melakukan penanganan perkara tindak pidana pencucian uang;
3. Meningkatkan pelaksanaan penanganan kasus tindak pidana pencucian uang
dengan tepat waktu;
4. Melaksanakan pemeriksaan terhadap PJK dan mengenakan sanksi secara
tegas;
5. Mengundangkan RUU tentang Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal
Asssista nce) serta melaksanakan kerjasama internasional di bidang penegakan
hukum;
18
6. Memenuhi komitmen untuk mendukung operasional (penyediaan anggaran,
gedung perkantoran, sistem penggajian dan kewenangan pengangkatan
pegawai tetap.
Selanjutnya dalam Second Plenary Meeting FATF on Money Laundering
di Cape Town, Afrika Selatan tanggal 13-17 Februari 2006 telah ditetapkan antara
lain bahwa status Indonesia tidak lagi dalam monitoring FATF.
Penanganan tindak pidana pencucian uang atas dasar UU No. 15 Tahun
2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 (untuk
selanjutnya disingkat: UU No. 15 Tahun 2002 jo. UU No. 25 Tahun 2003),
meskipun sudah menunjukkan arah yang positif, tetapi dirasa masih belum
optimal karena perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan ruang
tumbuhnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya
pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian,
keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan Pelapor dan jenis laporannya,
serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana undang-undang
ini.19
Sejak tanggal 22 Oktober 1020 UU No. 15 Tahun 2002 jo. UU No. 25
Tahun 2003 tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU No.8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang (Lembaran Negara RI Tahun 2010 Nomor 122 yang mulai berlaku pula
sejak tanggal 22 Oktober 2010.
UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang ini dibentuk sebagai respon dari pemerintah dan badan
legislative terhadap perkembangan TPPU di Indonesia. Hal ini dikarenakan UU
19
TPPU dan Perubahan UU TPPU belum mampu menjawab setiap tantangan dan
kemungkinan-kemungkinan praktik pencucian uang yang terjadi di masyarakat.
UU PPTPPU ini mengandung kebijakan hukum penanggulangan
kebijakan pencucian uang. Kebijakan hukum tersebut dinyatakan sebagai berikut:
1. Kebijakan hukum melaui redefinisi, penambahan, dan perubahan pengertian
hal yang terkait dengan TPPU, meliputi
a. Pengertian hal-hal lain yang tidak diubah dari UU TPPU dan perubahan
UU TPPU dalam UU PPTPPU ini yaitu pengertian:
- Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
- Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum.
- Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas atau benda fisik
apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada:
- Tulisan, suara, atau gambar
- Peta
- Huruf, tanda, angka, symbol, atau perforasi yang memiliki makna
atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau
memahami.
- Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang
dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang.
b. Redefinisi pengertian
1. Pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur
tindak pidana dalam UU PPTPPU.
Perbuatan yang dimaksud sebagai tindak pidana dalam undang-undang
ini akan dijelaskan pada poin selanjutnya.
2. Transaksi adalah seluruh kegiatan yangmenimbulkan hak dan/ atau
kewajiban atau menyebabkan tibulnya hubungan hukum antar dua
pihak atau lebih.
3. Transaksi keuangan dalah transaksi untuk melakukan atau menerima
penempatan, penyetoran, penarikan, pemindah bukuan, pentrasferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas
sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan
dengan uang.
4. Transaksi keuangan mencurigakan adalah:
a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik,
atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang
bersangkutan.
b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga
dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi
yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak Pelapor sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang ini.
c. Transaksi yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
menggunakan Harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak
d. Transaksi yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak
pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang di duga berasal
dari hasil tindak pidana.
UU PPTPPU ini menambahkan suatu poin baru dalam definisi
TKM yaitu poin ke-4 yang menyebabkan semakin luasnya transaksi yang
dapat dicurigai sebagai TKM. Selain itu hal ini juga mengindikasikan
bahwa PPATK memiliki kewenangan untuk meminta informasi, data,
maupun dokumen terhadap suatu transaksi yang diduga sebagai upaya
pencucian uang.
5. Transaksi Keuangan Tunai adalah transaksi Keuangan yang dilakuakn
dengan menggunakan uang kertas dan/atau uang logam.
6. Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak,
baik yang berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Tim pemerintah dan komisi II Dewan Perwakilan Rakyat berdebat pada
saat merumuskan pasal 2 ini. Perdebatan itu disebabkan adanya keberatan
berkenaan dengan rumusan pasal 2 tersebut yaitu:20
(1) Seyogianya tidak dicantumkan daftar kejahatan-kejahatan yang menghasilkan Harta Kekayaan yang menjadi objek pencucian uang (daftar predica te crimes, yaitu kejahatan-kejahatan yang menghasilkan objek pencucian uang). Dengan adanya pencantuman daftar kejahatan tersebut, dikhawatrkan ada kejahatan yang terlupakan yang sangat potensial untuk menghasilkna harta kekayaan sebagai objek pencucian uang, namu tidak termuat dalam rumusan tersebut sehingga tidak dapat dipidana. Misalnya saja tidak tercantum “perjudian” dalam pasal 2 undang-undang tersebut, sedangkan menurut pasal 303 KUHP, perjudian merupakan tindak pidana. Tidak dicantumkannya perjudian sebenarnya disebabnkan karena ada pendapat yang mengatakan bahwa tidak semua oerjudian adalah tindak pidana tetapi da perjudian yang diselenggarakan dengan izin pemerintah.
(2) Pada masa yang akan datang ada kemungkinan akan terjadi kejahatan-kejahatan baru yang sebelumnya belum dikenal di masyarakat.
20
(3) Pada masa yang akan datang, tidak mustahil ada perbuatan-perbuatan yang menghasilkna uang dan merugikan pihak lain atau masyarakat akan dikriminalisasi melalui peraturan pernndang-undangan, namun saat ini perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.
(4) Seharusnya jumlah harta Kekayaan tidak hanya dibatasi pada julmah Rp 500.000.000.00 atau lebih, namu juga untuk semua hasil tindak pidana yang “dicuci”ndengan slah satu perbuatan yang disebutkan dalam pasal 3 ayat (1).
Kritikan tersebut juga dilanjutkan dengan kritik dari FATF sebagai
lembaga inrernasional yang memerangi tindak pidana pencucian uang sehingga
tindak pidana asal tersebut ditambah dengan tindak pidana.
3. Narkotika dan Tindak Pidana Narkotika. a. Narkotika
Definisi narkotika secara umum adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan
pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya, yaitu
dengan cara memasukkan ke dalam tubuh. Istilah narkotika yang dipergunakan
disini bukanlah “na rcotics” pada “fa rma cologie” (farmasi), melainkan sama
artinya dengan “drug” yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa
efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh pemakai, yaitu:
a. Mempengaruhi kesadaran.
b. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia.
c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa :
1. Penenang;
2. Perangsang (bukan rangsangan seks);
3. Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan antara
khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat).
Soedarto menyatakan bahwa perkataan narkotika berasal dari perkataan
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan.21
Dalam Undang-undang No.35 Tahun 2009 ini juga menjelaskan apa yang
dimaksud prekusor narkotika , adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia
yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel
sebagaimana terlampir dalam UU No. 35 Tahun 2009.
Narkotika yang terkenal di Indonesia sekarang ini berasal dari kata
“Narkoties”, yang sama artinya dengan kata narcosis yang berarti membius.
Sifat zat tersebut terutama berpengaruh pada otak sehingga menimbulkan
perubahan pada perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, kesadaran, halusinasi,
disamping dapat digunakan untuk pembiusan.
Jenis-jenis narkotika yang perlu diketahui dalam kehidupan sehari-hari:
1. Ca ndu a tau disebut juga opium
Berasal dari sejenis tumbuh-tumbuhan yang dinamakan Papaver
Somniferum, nama lain dari candu selain opium adalah madat. Bagian yang dapat
dipergunakan dari tanaman ini adalah getahnya yang diambil dari buahnya,
narkotika jenis candu atau opium termasuk jenis depressants yang mempunyai
pengaruh hypnotics dan tranglizers. Depresants, yaitu merangsang system saraf
parasimpatis, dalam dunia kedokteran dipakai sebagai pembunuh rasa sakit yang
kuat.
Candu ini terbagi dalam dua jenis, yaitu candu mentah dan candu matang.
Untuk candu mentah dapat ditemukan dalam kulit buah, daun, dan bagian-bagian
lainnya yang terbawa sewaktu pengumpulan getah yang mongering pada kulit
buah, bentuk candu mentah berupa adonan yang membeku seperti aspal lunak,
21
berwarna coklat kehitam-hitaman dan sedikit lengket. Sedangkan candu masak
merupakan hasil olahan dari candu mentah.
Ada dua macam masakan candu, yaitu:
1. Candu masakan dingin (cingko);
2. Candu masakan hangat (jicingko).
Apabila jicingko dan cingko dicampur maka dapat menjadi candu masak
yang memiliki kadar morphin tinggi.
2. Morphine
Adalah zat utama yang berkhasiat narkotika yang terdapat pada candu
mentah, diperoleh dengan jalan mengolah secara kimia. Morphine termasuk jenis
narkotika yang membahayakan dan memiliki daya eskalasi yang relative cepat,
dimana seseorang pecandu untuk memperoleh rangsangan yang diingini selalu
memerlukan penambahan dosis yang lambat laun membahayakan jiwa.
Menurut Pharmatologic Principles of Medical Practice by John C. Kranz
dan Jeleff Carr, bahwa sebagai obat morphine berguna untuk hal berikut:
1. Menawarkan (menghilangkan) sakit nyeri, hanya cukup dengan 10 gram.
2. Menolak penyakit mejan (diare).
3. Batuk kering yang tidak mempan codeine.
4. Dipakai sebelum diadakan pembedahan.
5. Dipakai dalam pembedahan dimana banyak mengeluarkan darah, karena
tekanan darah berkurang.
6. Sebagai obat tidur bila rasa sakit menghalang-halangi kemampuan untuk tidur,
Tetapi bila pemakaian morphine disalah gunakan maka akan selalu
menimbulkan ketagihan phisis bagi si pemakai.
3. Heroin
Berasal dari tumbuhan Papaver Somniferum, tanaman ini juga
menghasilkan codeine, morpine dan opium. Heroin disebut juga dengan sebutan
putau, zat ini sangat berbahaya bila dikonsumsi kelebihan dosis, bisa mati
seketika.
4. Coca ine
Berasal dari tumbuh-tumbuhan yang disebut erythroxylon coca , serbuk
cocaine berwarna putih, rasanya pahit dan lama-lama serbuk tadi menjadi basah.
Ciri-ciri cocaine antara lain adalah:
a. Termasuk tanaman perdu atau belukar;
b. Di Indonesia tumbuh di daerah Malang atau Besuki Jawa Timur;
c. Tumbuh sangat tinggi kira-kira 2 (dua) meter;
d. Tidak berduri, tidak betangkai, berhelai daun satu, tumbuh satu -satu pada
cabang atau tangkai;
e. Buahnya berbentuk lonjong berwarna kuning-merah atau merah saja
apabila sudah dimasak.
5. Ga nja
Berasal dari bunga dan daun-daun sejenis tumbuhan rumput bernama
ca nna bis sa tiva .
Ganja terbagi atas dua jenis:
1. Ganja jenis jantan, dimana jenis seperti ini kurang bermanfaat, yang
diambil hanya seratnya saja untuk pembuatan tali.
2. Ganja jenis betina, jenis ini dapat berbunga dan berbuah, biasanya
Selain dikenal beberapa jenis ganja, terdapat pula beberapa variasi tentang
ganja, yaitu:
a. Minyak ganja;
b. Dammar atau getah ganja yang disebut dengan hashis yang diperoleh
dengan melalui proses penyulingan;
c. Budha stick atau thai stick.
6. Na rkotika sintetis a ta u bua ta n
Adalah sejenis narkotika yang dihasilkan dengan melalui proses kimia
secara farmakologi yang sering disebut dengan istilah Napza, yaitu kependekan
dari Narkotika Alkohol Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya.
Napza tergolong zat psikoaktif, yaitu zat yang terutama berpengaruh pada
otak sehingga menimbulkan perubahan pada perilaku, perasaan, pikiran,
persepsi, dan kesadaran.
Narkotika sinthetis ini dibagi menjadi 3 (tiga) bagian sesuai menurut
reaksi terhadap pemakainya.
a . Depressa nts
Depressa nts atau depresif, yaitu mempunyai efek mengurangi kegiatan
dari susunan syaraf pusat, sehingga dipakai untuk menenangkan syaraf
seseorang atau mempermudah orang untuk tidur.
b. Stimula nts
Yaitu merangsang system syaraf simpatis dan berefek kebalikan dengan
depressa nts, yaitu menyebabkan peningkatan kesiagaan, frekuensidenyut
jantung bertambah/berdebat, merasa lebih tahan bekerja, merasa gembira,
sukar tidur, dan tidak merasa lapar.
Zat semacam halusinasi dapat menimbulkan perasaan-perasaan yang
tidak nyata yang kemudian meningkat pada halusinasi-halusinasi atau
khayalan karena persepsi yang salah, artinya si pemakai tidak dapat
membedakan apakah itu nyata atau hanya ilusi saja.
d. Obat adiktif lain
Yaitu minuman yang mengandung alcohol, seperti beer, wine, whisky,
vodka, dan lain-lain. Pecandu alkohol cenderung mengalami kurang gizi
karena alcohol menghalangi penyerapan sari makanan seperti glukosa,
asam amino, asam folat, cacium, magnesium, dan vitamin B12.
Dari uraian jenis-jenis narkotika atau tepatnya naoza di atas, maka
penulis dapat menyimpulkan bahwa narkotika/napza dapat digolongkan
menjadi 3 (tiga) kelompok:
1. Golongan Narkotika (Golongan I);seperti opium, morphine, heroin,
dan lain-lain.
2. Golongan Psikotropika (Golongan II); seperti ganja, ectacy,
shabu-shabu, hashis, dan lain-lain.
3. Golongan zat adiktif lain (Golongan III); yaitu minuman yang
mengandung alcohol seperti beer, wine, whisky, vodka, dan lain-lain.
b. Tindak Pidana Narkotika
Tindak pidana narkotika dapat diartikan dengan suatu perbuatan yang
melanggar ketentuan-ketentuan hukum narkotika, dalam hal ini adalah
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan ketentuan-ketentuan lain yang
termasuk dan atau tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut. Tindak
narkotika yang tidak sah (tanpa kewenangan) dan melawan hukum (melanggar
UU Narkotika)22. Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain23
a. Penyalahgunaan / melebihi dosis;
b. Pengedaran narkotika;
c. Jual beli narkotika.
Dari ketiga tindak pidana narkotik itu adalah merupakan salah satu sebab
terjadinya berbagai macam bentuk tindak pidana kejahatan dana pelanggaran,
yang secara langsung menimbulkan akibat demoralisasi terhadap masyarakat,
generasi muda, dan terutama bagi si pengguna zat berbahaya itu sendiri, seperti:
1. Pembunuhan;
2. Pencurian
3. Penodongan;
4. Penjambretan;
5. Pemerasan;
6. Pemerkosaan;
7. Penipuan;
8. Pelanggaran rambu lalu lintas;
9. Pelecehan terhadap aparat keamanan, dan lain-lain.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak
harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang
22
Moh Taufik Makaro, Suhasril, Moh. Zakky A.S., Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hal 45
23
didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam
terhadap suatu pemecahan atas segala permasalahan-permasalahan yang timbul di
dalam gejala yang bersangkutan.24
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode atau jenis
penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat yuridis normatif,
artinya mengacu kepada norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan, yurisprudensi serta kebiasaan-kebiasaan yang
berlaku di masyarakat. Metode penelitian normatif ini dipilih untuk
mengetahui bagaimana penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana
pencucian uang hasil tindak pidana narkotika.
2. Data dan Sumber Data
Jenis data yang diperoleh adalah data sekunder, yaitu data yang
diperoleh dari bahan pustaka. Data sekunder ini mengacu pada 3 bahan:
a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat
sehubungan dengan masalah. Bahan hukum primer ini terdiri dari
seluruh peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang mengatur
masalah tindak pidana pencucian uang menurut undang-undang tentang
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di
Indonesia;
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Dalam hal ini, bahan hukum sekunder
24
yang diperoleh dari buku, jurnal, artikel, dokumen yang diperoleh dari
internet, serta hasil-hasil penelitian dan tulisan-tulisan dari kalangan
ahli hukum yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini;
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Misalnya,
ensiklopedia, kamus hukum dan sebagainya.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah; studi
kepustakaan (library research), yaitu dengan melakukan penelitian
terhadap berbagai sumber bacaan yakni; buku-buku, pendapat sarjana,
artikel dan juga berita yang diperoleh penulis dari internet yang bertujuan
untuk memperoleh atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori atau
bahan-bahan atau doktrin-doktrin yang berkenaan dengan Tindak Pidana
Pencucian uang dan Tindak Pidana Narkotika.
4. Analisis Data
Adapun metode anailisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi
ini adalah metode kualitatif. Analisis kualitatif lebih menekankan kepada
kebenaran berdasarkan sumber-sumber hukum serta doktrin yang
diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis
secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar
skripsi ini. Keseluruhan sistematika itu merupakan satu kesatuan yang saling
berhubungan yang satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut:
BAB I : Dalam bab pertama ini akan diuraikan mengenai latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian,
keaslian penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II : Dalam bab ini akan diuraikan mengenai bagaimana ketentuan hukum pidana mengenai pencucian uang dapat menjerat pelaku tindak
pidana agar dapat mengurangi pelaku tindak pidana.
BAB III : Dalam bab ini Penulis akan menguraikan mengenai kaitan antara tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana narkotika serta
sanksi terhadap tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana
narkotika menurut undang-undang tentang pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
BAB IV : Dalam bab ini penulis akan menguraikan bagaimana penerapan pasal mengenai tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana
narkotika yang terdapat dalam undang-undang tentang pencegahan
dan pembatasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia dengan
mengkaji sebuah putusan yang terkait dengan pembahasan ini.
BAB V : Bab ini adalah penutup dari penulisan penelitian yang menguraikan secara singkat mengenai kesimpulan dari keseluruhan penulisan serta
saran yang Penulis anggap perlu untuk disampaikan agar dapat
bermanfaat bagi para pembaca dalam memahami topik yang telah
BAB II
KETENTUAN HUKUM PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM MENJERAT PELAKU TINDAK PIDANA
UNTUK UPAYA MENGURANGI PELAKU TINDAK PIDANA
A. Modus Dalam Pencucian Uang
Secara rinci dan konkrit, modus operasional kejahatan pencucian uang
terdapat 13 (tiga belas) modus, yaitu:25
1. Modus secara Loan Back
Yaitu dengan cara meminjam uangnya sendiri. Modus terinci lagi dalam
bentu direct loan, yakni dengancara meminjam uang dari perusahaan luar negeri,
yakni semacam perusahaan bayangan (immbolen investment company), yang
direksi dan pemegang sahamnya ialah ia sendiri. Dalam bentuk back to loan,
dimana si pelaku meminjam uang dari cabang bakn asing di negaranya. Peminjam
dengan jaminan bank asing secara stand bay letter of credit atau certificate of
deposit bahwa uang di dapat atas dasar uang dari kejahatan. Peminjam itu
kemudian tidak dikembalikan, sehingga jaminan bank dicairkan. Bentuk lainnya
dari modus ini ialah parallel loan, yakni pembiayaan internasional yang
memperoleh asset dari luar negeri. Karena ada hambatan restriksi mata uang,
maka dicari perusahaan di luar negeri untuk sama-sama mengambil loan dan dana
dari loan itu di pertukarkan satu sama lain.
2. Modus Operasi C-Chase
Modus ini cukup rumit karena memiliki sifat lika liku sebagai cara
menghapus jejak. Contoh seperti kasus dalam BCCI, dimana kurir-kurir datang ke
bank di Florida untuk menyimpan dana sebesar US $ 10.000, supaya lolos dari
kewajiban lapor. Kemudian beberapa kali dilakukan transfer, yakni dari New
York ke Luxemburg, dari Luxemburg ke cabang bank di Inggris, lalu disana
25
dikonversi dalam bentuk Certificate of Deposit untuk menjamin loan dalam
jumlah yang sama yang diambil oleh orang di Florida. Loan dibuat di Negara
karabia yang terkenal dengan tax heaven-nya. Disini loan itu tidak pernah ditagih,
namun hanya dengan mencairkan sertifikat deposito itu saja. Dari rekening Drug
Dea ler dan disana uang itu di distribusikan menurut keperluan dan bisnis yang
serba gelap. Hasil investasi ini dapat tercuci dan aman.
3. Modus transaksi dagang internasional
Modus ini menggunakan sarana dokumen L/C. Karena yang menjadi focus
urusan bank, baik bank koresponden maupun opening bank adalah dokumen bank
itu sendiri dan tidak mengenai keadaan barang, maka hal ini dapat menjadi
sasaran money laundering berupa invoice yang besar terhadap barang-barang yang
kecil atau malahan barang itu tidak ada.
4. Modus penyelundupan uang tunai atau sistem bank parallel ke Negara lain.
Modus ini menyelundupkan sejumlah uang fisik itu ke luar negeri.
Berhubung dengan cara ini terdapat resiko-resiko seperti hilang dirampok atau
tertangkap dalam pemeriksaan, dicari modus berupa electronic transfer, yakni
mentransfer dari suatu negara ke negara lain tanpa perpindahan fisik uang itu.
5. Modus Akuisisi
Yang dimaksud adalah perusahaan sendiri. Contohnya, seorang pemilik
perusahaan di Indonesia yang memiliki perusahaan di Indonesia, yang memiliki
perusahaan secara gelap pula di Cayman Island, negara tax heaven. Hasil usaha di
Cayman didepositkan atas nama perusahaan yang ada di Indonesia. Kemudian
perusahaan yang ada di Cayman membeli saham-saham dari perusahaan yang ada
di Indonesia (secara akuisisi). Dengan cara ini pemilik perusahaan di Indonesia
memiliki dana sah, karena telah tercuci melalui hasil penjualan saham-sahamnya
6. Modus Real Estate Corousule
Dengan menjual suatu properti beberapa kali kepada perusahaan di dalam
kelompok yang sama. Pelaku money laundering memiliki sejumlah perusahaan
(pemegang saham mayoritas) dalam bentuk real estate. Dari satu ke lain
perusahaan ke lain grup usaha property melakukan penjualan pada peru sahaan
lain di lingkungan perusahaan itu juga dengan pola harga penjualan yang makin
meningkat. Sasarannya supaya transaksi ini, hasil uang penjualan menjadi putih,
disamping itu pula, pemilik saham minoritas dapat ditarik memodali dalam proses
money la undering. Modus yang sama pula dilakukan di dalam pasar modal, yakni
pembeli saham itu hanya perusahaan-perusahaan dilingkungannya saja dengan
tawaran harga tinggi.
7. Modus Investasi tertentu
Investasi tertentu ini biasanya dalam bisnis transaksi barang lukisan atau
antic. Misalnya pelaku membeli barang lukisan dan kemudian menjualnya kepada
seseorang yang sebenarnya adalah suruhan si pelaku itu sendiri dengan harga yang
mahal. Lukisan dengan harga yang tidak terukur, dapat ditetapkan dengan harga
penjualan yang bersifat tinggi dapat dipandang sebagai dana yang sudah sah
(tercuci).
8. Modus Over Invoices atau Double Invoice
Modus ini dilakukan dengan mendirikan perusahaan ekspor-impor di
negara sendiri, lalu di luar negeri (yang bersifat sistem tax heaven) mendirikan
pula perusahaan bayangan (shell company). Perusahaan di negara tax heaven ini
mengekspor barang ke Indonesia dan perusahaan yang ada di luar negeri itu
membuat invoice pembelian dengan harga tinggi dan bila dibuat 2 invoices, maka