SKRIPSI
ANALISIS DETERMINAN DAYA SAING EKONOMI KABUPATEN BATU BARA
OLEH
SUCI ANA WINTA RITONGA 110501056
PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi dan menjadi penentu daya saing ekonomi Kabupaten Batu Bara pada tahun 2014 dengan menggunakan metode Analisis Hierarki Proses (AHP). Metode yang di gunakan adalah metode purposive sampling, dan menggunakan data primer dengan kuisioner dan wawancara terhadap 50 responden yang terdiri dari mahasiswa, pengajar, tokoh masyarakat, birokrasi, perbankan, non perbankan, dan pengusaha.
Hasil dari penelitian ini yaitu faktor infrastruktur menjadi faktor yang paling penting dalam meningkatkan daya saing ekonomi Kabupaten Batu Bara dengan bobot sebesar 0,353, diikuti dengan faktor tenaga kerja dan produktivitas dengan bobot sebesar 0,328, kemudian faktor perekonomian daerah dengan bobot sebesar 0,171, faktor kelembagaan dengan bobot sebesar 0,085, dan yang terakhir faktor sosial politik dengan bobot sebesar 0,063.
ABSTRACT
Therefore this research for analyze the factors that affect and the economic competitivenessmakers at Batu Bara in 2014 by using the method of Analytical Hierarchy Process (AHP). By using purposive sampling method, andthis study used primary data with quetionaires and interviews with 50 respondent, consisting of student, teachers, community leaders, bureaucracy, banking, non-banking, and entrepreneurs.
Results from this research that the infrastructure factor becomes the most important factor in improving economic competitiveness Batu Bara city with a weight of 0,353, followed by a factor of labor and productivity a weight of 0,328, then the regional economy factors a weight of 0,171, institutional factors a weight of 0,085, and the final is socio political factor a weight of 0,063.
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas kasih dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi berjudul
“ Analisis Determinan Daya Saing Ekonomi Kabupaten Batu Bara”.
Penelitian ini disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi di
Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Sumatera Utara dan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi.Tentunya dalam
penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, maka penulis dengan
terbuka mengharapkan masukan dari berbagai pihak.
Dalam kesempatan ini, penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih
kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini
dan juga penyelesaian studi penulis, terutama kepada :
1. Kedua orang tua tercinta Eddi Mora Ritonga dan Ratna Sari Siregar atas
cinta, kasih, sayang, doa dan seluruh dukungan baik moril maupun materil
yang telah diberikan kepada penulis.
2. Bapak Prof. Dr Azhar Maksum, SE., M.Ec., Ac. selaku Dekan Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE., M.Ec.selaku Ketua Departemen Ekonomi
Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara, dan
Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera
Utara.
4. Bapak Irsyad Lubis, S.E., M.Soc.Sc., Ph.D, selaku Ketua Program Studi S1
Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera
Utara sekaligus dosen penguji yang telah banyak memberikan dukungan dan
masukan berupa saran dan kritik dalam penyusunan skripsi ini, dan Bapak
Paidi Hidayat, S.E., M.Si. selaku Sekretaris Program Studi S1 Ekonomi
Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara
sekaligus dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya dan
memberi masukan dari awal sehingga terselesaikannya skripsi ini.
5. Ibu Inggrita Gusti Sari Nasution,S.E., M.Si.selaku dosen penguji yang telah
banyak memberikan dukungan dan masukan berupa saran dan kritik dalam
penyusunan skripsi ini.
6. Seluruh staf pengajar dan staf pegawai Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Sumatera Utara, terutama Departemen Ekonomi Pembangunan
7. Kepada seluruh teman-teman Ekonomi pembangunan 2011 serta kepada
seluruh pihak yang telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga hasil penelitian skripsi ini dapat
bermanfaat bagi banyak pihak, termasuk bagi penulis sendiri.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 5
1.4 Manfaat Penelitian... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 Teori Daya Saing... 6
2.2 Konsep Daya Saing ... 7
2.2.1 Daya Saing Global ... 8
2.2.2 Daya Saing Daerah ... 10
2.3 Indikator Utama Daya Saing Ekonomi Daerah ... 14
2.4 Penelitian Sebelumnya ... 21
2.5 Kerangka Konseptual ... 24
BAB III METODE PENELITIAN ... 25
3.1 Ruang Lingkup Penelitian ... 25
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 25
3.3 Batasan Oprasional ... 25
3.4 Defenisi Oprasional ... 25
3.5 Populasi dan Sampel Penelitian ... 26
3.6 Metode Pengambilan Sampel ... 27
3.7 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ... 27
3.8 Metode Analisis Data ... 29
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39
4.1 Gambaran Umum Kabupaten Batu Bara ... 39
4.3 Kondisi Perekonomian Batu Bara ... 40
4.4 Profil Responden... . 41
4.5 Pembobotan dan Pemeringkatan Faktor Daya Saing Ekonomi ... 42
4.5.1 Faktor Infrastruktur Fisik ... 44
4.5.2 Faktor Tenaga Kerja dan Produktivitas ... 47
4.5.3 Faktor Perekonomian Daerah ... 50
4.5.4 Faktor Kelembagaan ... 52
4.5.5 Faktor Sosial Politik ... 54
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 58
5.1 Kesimpulan ... 58
5.2 Saran ... 59
DAFTAR PUSTAKA ... 60
DAFTAR TABEL
No. Tabel Judul Halaman
3.1 Jumlah Sampel Berdasarkan Kelompok
Masyarakat ... 27
3.2 Matriks Perbandingan Berpasangan ... 34
3.3 Skala Penilaian Perbandingan ... 35
3.4 Pembangkit Random (RI) ... 38
4.1 Persentase PDRB Menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kabupaten Batu Bara (%) Tahun 2013 ... 40
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Judul Halaman
2.1 Indikator Utama Penentu Daya Saing di Kabupaten
Batu Bara ... 24 4.1 Nilai Bobot dari Faktor Penentu Daya Saing Ekonomi
Kabupaten Batu Bara ... 43 4.2 Presentase Faktor Penentu Daya Saing Ekonomi
Kabupaten Batu Bara ... 44 4.3 Presentase Pembobotan Faktor Infrastruktur Fisik
Kabupaten Batu Bara ... 45 4.4 Presentase Pembobotan Faktor Tenaga Kerja dan
Produktivitas Kabupaten Batu Bara ... 48 4.5 Presentase Pembobotan Faktor Perekonomian daerah
Kabupaten Batu Bara ... 50 4.6 Presentase Pembobotan Faktor Kelembagaan
Kabupaten Batu Bara ... 52 4.7 Presentase Pembobotan Faktor Sosial Politik
DAFTAR LAMPIRAN
No. Lampiran Judul Halaman
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal ini menandai
dimulainnya sebuah babak baru dalam pembangunan daerah. Terlepas dari
perdebatan mengenai ketidaksiapan pemerintah di berbagai bidang untuk
melaksanakan kedua UU tersebut, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
diyakini merupakan jalan terbaik dalam rangka mendorong pembangunan daerah ,
menggantikan konsep pembangunan terpusat yang oleh beberapa pihak dianggap
sebagai penyebab lambannya pembangunan di daerah dan semakin membesarrnya
ketimpangan antar daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yang berarti
adanya keleluasaan bagi daerah untuk mengembangkan potensi penerimaan
daerah pada satu sisi, dan keleluasaan untuk menyusun daftar prioritas
pembangunan di sisi lainnya, akan dapat mendorong percepatan pembanguna
daerah.
Tantangan utama dari pemberdayaan otonomi daerah adalah pemahaman
akan potensi daya saing daerah. Dengan pemahaman yang akurat dan lengkap
akan potensi daya saing yang dimiliki oleh daerahnya, suatu pemerintah daerah
akan dapat dengan mudah menyusun suatu kebijakan yang benar-benar baik dan
pada gilirannya akan menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha di daerah
Otonomi daerah harus dapat menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan
otonomi nasional didaerah, dan dilain pihak terbukanya peluang bagi pemerintah
daerah mengembangkan kebijakn regional dan lokal untuk mengoptimalkan
pendayagunaan potensi ekonomi didaerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah
akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk
menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perijinan usaha, dan
membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di
daerahnya. Dengan demikian otonomi daerah akan membawa masyarakat ke
tingkat kesejahteraan yang lebh tinggi dari waktu ke waktu (Haris, 2005:10).
Laporan World Economic Forum ( WEF) dalam “ Global Competitiveness
Report” tahun 2014-2015 menunjukkan bahwa posisi daya saing Indonesia
berada di peringkat ke-34 dari 144 atau naik empat tingkat dari posisi sebelumnya
di peringkat 38 (tahun 2013-2014), dan posisi ke-50 (tahun 2012-2013). Meski
menunjukkan kenaikan peringkat, Indonesia dinilai masih tetap menduduki posisi
daya saing terendah dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Daya saing
Indonesia masih tetap berada di bawah negara Singapura (urutan ke-2), Jepang
(ke-6), Malaysia (ke-20), Thailand (ke-31), Taiwan (ke-14), Korsel (ke-26), dan
China (ke-28).
The Global Competitiveness Report's didasarkan pada Global
Competitiveness Index (GCI), yang diperkenalkan WEF pada 2004. Laporan ini
mendefinisikan daya saing sebagai seperangkat institusi, kebijakan dan
faktor-faktor yang menentukan tingkat produktivitas suatu negara. Skor GCI dihitung
makroekonomi, kesehatan dan pendidikan dasar, pendidikan tinggi dan pelatihan,
efisiensi pasar, efisiensi tenaga kerja, pengembangan pasar keuangan, kesiapan
teknologi, ukuran pasar, kecanggihan bisnis, dan inovasi. Dari ke-12 kategori itu,
total skor yang diraih Indonesia adalah 4,57, mengungguli sejumlah negara di
Eropa seperti Spanyol (35), Portugal (36), dan Italia (49); negara-negara Timur
Tengah seperti Kuwait (40), Bahrain (44), atau Oman (46); juga negara-negara
Asia seperti Filipina (52), Vietnam (68), dan India (71).
Tingkat persaingan antar negara dari waktu ke waktu semakin tinggi
sebagai dampak dari munculnya fenomena globalisasi ekonomi. Globalisasi ini
tidak hanya akan berdampak pada perekonomian Indonesia secara keseluruhan,
tetapi juga akan berdampak langsung pada perekonomian daerah terlebih lagi
setelah era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Di lain pihak, daya saing
negara merupakan cermin dari posisi daya saing di tingkat daerah. Suatu daerah
akan memiliki reaksi yang berbeda dalam menyikapi dampak dari adanya
fenomena globalisasi ini, hal tersebut akan sangat menentukan posisi tawar
masing-masing daerah dalam kancah persaingan global yang semakin ketat
(Horvarth, 2004 dalam PPSK BI, 2008).
Kabupaten Batu Bara memiliki potensi daerah yang cukup menonjol di
sektor perindustrian, pertanian, perikanan dan perkebunan khususnya di sektor
industri dengan keberadaan PT.INALUM, PT.Multimas Nabati dan PT. Domba
Mas. Kabupaten Batubara merupakan daerah yang berpotensial tinggi untuk
Daerah Ekonomi Khusus. Ini merupakan pengembangan wilayah industri dari
KIM ( Kawasan Industri Medan).
Untuk itu Pemerintah Kabupaten Batu Bara diharapkan dapat
memasarkan daerahnya dengan baik. KKPOD dalam penelitiaanya pada tahun
2013 menjelaskan bahwa pemasaran daerah menjadi suatu pendekatan yang
populer sebagai instrument penting untuk memperkuat perekonomian daerah dan
daya saing global. Pemasaran daerah dijadikan instrumen dalam bidang
pembangunan ekonomi lokal dan ekonomi regional (Local dan Regional
Economic Development/ LRED) dalam rangka menghadapi tantangan globalisasi
yang menghasilkan persaingan yang semakin ketat antara wilayah dan
masing-masing daerah.
KKPOD (2013) Kemampuan daerah menjual potensi yang dimiliki suatu
daerah adalah faktor penting keberhasilan pemasaran daerah. Kemampuan untuk
menjual tersebut juga harus didukung oleh terciptanya iklim yang kondusif dan
mendukung investasi di daerah seperti adanya jaminan keamanan dan kepastian
hukum bagi investasi di daerah. Pemda hendaknya mampu melahirkan regulasi
yang dapat memacu pertumbuhan perekonomian dengan merebut investor PMA
dan PMDN sekaligus memberdayakan investor lokal. Keberhasilan Pemda
mengelola faktor-faktor tersebut akan dapat mendorong peningkatan daya saing
daerah dalam merebut investor.
Latar belakang diatas menunjukkan betapa pentingnya kemampuan daerah
dalam meningkatkan daya saing daerah sebagai penentu keberhasilan
Batu Bara untuk meningkatkan daya saing daerah ini akan sangat tergantung pada
kemampuan Kabupaten Batu Bara sendiri dalam mengidentifikasi faktor-faktor
penentu daya saing daerah tersebut, maka dari pemaparan diatas penulis dapat
membuat judul penelitian mengenai “Analisis Determinan Daya Saing Ekonomi
di Kabupaten Batu Bara”.
I.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas dan latar belakang di atas, maka rumusan masalah
yang menjadi pokok permasalah dalam penelitian ini ialah:
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Daya saing ekonomi di Kabupaten
Batu Bara?
I.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas maka, penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasikan faktor-faktor utama yang mempengaruhi daya saing ekonomi
di Kabupaten Batu Bara.
I.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Hasil penelitian dapat menjadi bahan masukan dan pengetahuan bagi
pembaca mengenai daya saing ekonomi.
2. Hasil penelitian dapat dijadikan referensi bagi penulis lainnya.
3. Dapat menambah wawasan bagi penulis dan pembaca.
4. Sebagai penambah dan pembanding hasil-hasil penelitian dengan topik yang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori daya saing
Daya saing merupakan salah satu kriteria untuk menentukan keberhasilan
dan pencapaian sebuah tujuan yang lebih baik oleh suatu negara dalam
peningkatan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi. Daya saing diidentifikasikan
dengan masalah produktifitas, yakni dengan melihat tingkat output yang
dihasilkan untuk setiap input yang digunakan. Meningkatnya produktifitas ini
disebabkan oleh peningkatan jumlah input fisik modal dan tenaga kerja,
peningkatan kualitas input yang digunakan dan peningkatan teknologi (Porter,
1990 dalam Abdullah, 2002).
Pendekatan yang sering digunakan untuk megukur daya saing dilihat dari
beberapa indikator yaitu keunggulan komperatif dan keunggulan kompetitif, ada
juga keunggulan absolut. Menurut Tarigan (2005:75). Keunggulan komperatif
adalah suatu kegiatan ekonomi yang menurut perbandingan lebih menguntungkan
bagi pengmbangan daerah. Lebih lanjut menurut tarigan (2005:75) istilah
comparative adventage (keunggulan komparatif) mula-mula dikemukakanoleh
David Ricardo (1917) sewaktu membahas perdagangan antara dua
negara(Tarigan, 2005 dalam Sitorus, 2013).
Dalam teori tersebut, Ricardo membuktikan bahwa apabila ada dua negara
saling berdagang dan masing-masing negara mengkonsentrasikan diri untuk
mengeksport barang yang bagi negara tersebut memiliki keunggulan yang
bukan saja bermanfaat dalam perdagangan internasional tetapi juga sangat penting
di perhatikan dalam ekonomi regional.
Keunggulan kompetitif adalah suatu keunggulan yang dapat diciptakan
dan dikembangkan. Ini merupakan ukuran daya saing suatu aktifitas kemampuan
suatu negara atau suatu daerah untuk memasarkan produknya di luar daerah atau
luar negeri. Maka dari itu, menurut Tarigan (2005:75) seorang perencana wilayah
harus memiliki kemampuan untuk menganalisa potensi ekonomi wilayahnya.
Dalam hal ini kemampuan pemerintah daerah untuk melihat sektor yang memiliki
keunggulan/kelemahan di wilayahnya menjadi semakin penting. Sektor
inimemilik keunggulan, memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan
dan diharapkan dapat mendorong sektor-sektor lain untuk berkembang.
2.2 Konsep Daya Saing
Konsep daya saing daerah berkembang dari konsep daya saing yang
digunakan untuk perusahaan dan negara. Selanjutnya konsep tersebut di
kembangkan untuk tingkat negara sebagai daya saing global, khususnya melalui
lembaga World Economic Forum (Global Comvetitiveness Report) dan
International Institute for management Development ( World Competitiveness
Yearbook). Daya saing ekonomi suatu negara seringkali merupakan cerminan dari
daya siang ekonomi daerah secara keseluruhan. Disamping itu, dengan adanya
tren desentralisasi, maka makin kuat kebutuhan untuk mengetahui daya saing
2.2.1 Daya saing global
Michael Porter (1990) menyatakan bahwa konsep daya saing yang dapat
diterapkan pada level nasional adalah “produktivitas” yang didefinisikannya
sebagai nilai output yang dihasilkan oleh seorang tenaga kerja. Bank dunia
menyatakan hal yang relatif sama di mana “daya saing mengacu kepada besaran
serta laju perubahan nilai tambah perunit input yang dicapai oleh perusahaan”.
Akan tetapi, baik Bank Dunia, Porter, serta literatur-literatur lain mengenai daya
saing nasional memandang bahwa daya saing tidak secara sempit mencakup
hanya sebatas tingkat efisiensi suatu perusahaan. Daya saing mencakup aspek
yang lebih luas, tidak berkutat hanya pada level mikro perusahaan, tetapi juga
mencakup aspek diluar perusahaan seperti iklim berusaha yang jelas diluar
kendali perusahaan. (Abdullah dkk, 2002 : 11). Secara lebih rinci, Porter
mendefinisikan daya saing nasional sebagai: “luaran dari kemampuan suatu
negara untuk berinovasi dalam rangka mencapai, atau mempertahankan posisi
yang menguntungkan dibandingkan dengan negara lain dalam sejumlah
sektor-sektor kuncinya”.
Menurut Cho (2003), definisi daya saing yang paling populer pada tingkat
nasional juga dapat ditemukan dalam Laporan Komisi Kemampuan Bersaing
Presiden yang ditulis untuk pemerintahan Reagan pada tahun 1984 yaitu sebagai
berikut:“Kemampuan bersaing sebuah negara adalah derajat di mana negara itu
dapat, di bawah keadaan pasar yang bebas dan adil, menghasilkan barang dan
jasa yang memenuhi uji pasar internasional sementara secara simultan
bersaing pada tingkat nasional didasarkan pada kinerja produktivitas superior”(
Cho, 2003 dalam Millah, 2013:15).
World Economic Forum (WEF), suatu lembaga yang menerbitkan “Global
Competitiveness Report” mendefenisikan daya saing nasional secara lebih luas
maknaya dengan kalimat yang sangat sederhana. WEF mendefenisikan daya saing
nasional sebagai “kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan”. Fokusnya adalah pada
kebijakan-kebijakan yang tepat, institusi-institusi yang sesuai, serta
karakteristik-karakteristik ekonomi lain yang mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dan berkelanjutan (Abdullah, 2002).
Lembaga lain seperti yang dikenal luas seperti Institute of Management
Development (IMD) dalam buku “Daya Saing Daerah” Abdullah (2002) dengan
publikasinya “World Competitiveness Yearbook”, secara lengkap mendefenisikan
daya saing nasional sebagai “ kemampuan suatu negara dalam menciptakan nilai
tambah dalam rangka menambah kekayaan nasional dengan cara mengelola aset
dan proses, daya tarik dan agresivitas, globality dan proximity, serta dengan
mengintegrasikan hubungan-hubungan tersebut kedakam suatu model ekonomi
dan sosial”. Dengan arti bahwa daya saing nasional adalah suatu konsep yang
mengukur dan membandingkan seberapa baik suatu negara dalam menyediakan
suatu iklim tertentu yang kondusif untuk mempertahankan daya saing domestik
Martin (2003) menyatakan konsep dan definisi daya saing suatu negara
atau daerah mencakup beberapa elemen utama sebagai berikut:
1. Meningkatkan taraf hidup masyarakat;
2. Mampu berkompetisi dengan daerah maupun negara lain;
3. Mampu memenuhi kewajibannya baik domestik maupun internasional;
4. Dapat menyediakan lapangan kerja; dan
5. Pembangunan yang berkesinambungan dan tidak membebani generasi yang
akan datang. (Martin, 2003, dalam PPSK-BI, 2008)
Dari berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
konsensus yang secara tegas mendefinisikan daya saing. Setidaknya walau dengan
definisi yang tidak begitu seragam, hampir semua ahli mempunyai kesamaan
pendapat tentang apa saja yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan daya
saing (Sachs dkk, 2000, dalam PPSK BI, 2008). Dengan demikian, definisi yang
pasti dan disepakati semua pihak tidak lagi menjadi syarat mutlak dalam rangka
mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat menentukan daya saing suatu
negara.
2.2.2 Daya saing daerah
Sedangkan untuk tingkat wilayah (region) konsep daya saing ekonomi
dapat didefenisikan oleh Departemen Pedagangan dan Industri Inggris (UK-DTI)
yang menerbitkan “Regional Competitiveness Indicators”, serta Centre for Urban
and Regional Studies (CURDS), Inggris, dengan publikasi “The Competitiveness
Project: 1998 Regional Bench-marking Report”. Daya saing daerah menurut
menghasilkan pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap
terbuka terhadap persaingan domestik maupun internasional. Sedangkan
pengertian konsep daya saing wilayah menurut CURDS ialah sebagai kemampuan
sektor bisnis atau perusahaan pada suatu daerah dalam menghasilkan
pendapatan yang tinggi serta tingkat kekayaan yang lebih merata untuk
penduduknya.
Studi mengenai daya saing daerah juga dilakukan oleh Komite
Pemantauan Pelaksanaan Otonomi daerah. Studi KPPOD (2005) ini di fokuskan
pada daya saing investasi untuk tingkat kabupaten/kota. Pada tahun 2005, studi
yang dilakukan oleh KPPOD ini melibatkan 228 kabupaten di Indonesia. KPPOD
(2005) ini menyatakan bahwa investasi yang akan masuk ke suatu daerah akan
bergantung pada daya saing investasi yang di miliki oleh daerah yang
bersangkutan.
Hasil temuan KPPOD menyebutkan bahwa ada dua karakteristik yang
umumnya dimiliki oleh daerah-daerah yang mempunyai daya saing tinggi.
Pertama, daerah-daerah tersebut memiliki kondisi perekonomian yang baik.
Kedua, adalah daerah-daerah dengan kondisi keamanan, politik, sosial dan
budaya yang kondusif. Kondisi perekonomian daerah yang baik dan ditunjang
oleh kondisi keamanan, politik, sosial budaya dan birokrasi yang ramah terhadap
kegiatan usaha, akan menciptakan daya saing investasi daerah. Kondisi yang baik
pada faktor-faktor tersebut akan semakin mempengaruhi daya saing investasi
yang baik dan infrastruktur fisik pendukung kegiatan usaha yang memadai
(KKPOD, 2005).
The European Commission mendefenisikan daya saing sebagai
“kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan
pasar internasional, diiringi dengan kemempuan mempertahankan pendapatan
yang tinggi dan berkelanjutan, lebih umumnya adalah kemampuan (regions)
untuk menciptakan pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif tingg
isementara terekspos pada daya saing eksternal” (European Commission, 1999
p.4. dalam PPSK-BI 2008).
Huggins (2007) dalam publikasi “UK Competitiveness Index”
mendefenisikan daya saing daerah sebagai kemampuan dari perekonomian untuk
menarik dan mempertahankan perusahaan-perusahaan dengan kondisi yang
stabil atau dengan pangsa pasar yang meningkat dalam aktivitasnya, dengan
tetap mempertahankan atau meningkatkan standar kehidupan bagi semua yang
telibat di dalamnya (Huggins, 2007 dalam PPSK BI, 2008)
Abdullah (2002) dalam penelitiannya mendefenisikan daya saing daerah
“Kemampuan perekonomian daerah dalam mencapai pertumbuhan tingkat
kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada
persaingan domestik dan internasional.”
Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan BI (PPSK BI, 2008) dalam
penelitiannya mendefenisikan daya saing daerah adalah kemampuan daerah
untuk mensinergikan antara input, dan output dan outcome yang ada di
teknologi dan institusi yang ada didaerah tersebut, agar dapat bersaing baik di
tingkat nasional maupun internasional, sehingga dapat mampu meningkatkan
standart kehidupan masyarakat dan tingkat pertumbuhan kesejateraan yang
tinggi.
Martin dan Tyler (2003) menyebutkan argumen mengapa daerah maupun
negara saling berkompetisi:
1. Untuk investasi, melalui kemampuan daerah untuk menarik masuknya modal
asing, swasta, dan modal publik
2. Untuk tenaga kerja, dengan kemampuan untuk menarik masuknya tenaga kerja
yang terampil, entrepreneur-entrepreneur dan tenaga kerja yang kreatif,
dengan cara menyediakan lingkungan yang kondusif dan pasar tenaga kerja
bomestik.
3. Untuk teknologi, melalui kemampuan daerah untuk menarik aktivitas inovasi
dan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi (Martin dan Tyler 2003, dalam
PPSK BI,2008).
PPSK BI menjelaskan bahwa konsep mengenai daya saing terdapat
kesamaan esensi yang cukup jelas antara daya saing daerah dan daya saing
nasional. Kesamaan pandangan tersebut adalah bahwa tujuan akhir dari upanya
untuk meningkatkan daya siang dari suatu perekonomian adalah untuk
meningkatkan tingkat kesejahteraan (standart of living) dari masyarakat yang ada
di dalam perekonomian tersebut. Sementara itu, konsep dan tujuan kesejahteraan
non ekonomi yang menpengaruhinya. Sedangkan perbedaanya adalah terpusat
pada wilayah, dimana daya saing daerah mencakup daerah (bagian dari suatu
negara), sedangkan daya saing nasional mencakup negara. Dalam berbagai
pembahasan tentang daya saing nasional pun, baik secara eksplisit maupun
implisit, terangkum relevansi pengadopsian konsep daya saing nasional ke dalam
konsep daya saing daerah.
2.3 Indikator Utama Daya Saing Ekonomi Daerah
Penentuan indikator utama daya saing daerah merupakan bagian yang
penting dalam analisis daya saing ekonomi daerah. Pemahaman indikator utama
daya saing ekonomi daerah yang terbatas dan tidak secara komprehensif
menjadikan tidak adanya keseragaman pemahaman yang benar oleh Stakeholders
di tingkat pemerintah daerah dan pada gilirannya akan dapat menyebabkan adanya
perbedaan analisis dan kesimpulan terhadap tingkat daya saing yang dimiliki oleh
suatu daerah (Hidayat,2012).
Irawati, dkk (2008) dalam penelitiannya yang mengukur tingkat daya
saing daerah menggunakan variabel perekonomian daerah, variabel infrastruktur,
sumber daya alam, dan variabel sumber daya manusia di Provinsi Sulawesi
Tenggara.
Sementara Santoso (2009) dalam penelitiannya yang mengukur daya saing
kota-kota besar di Indonesia menyebutkan faktor utama pembentuk daya saing
terdiri dari 5 indikator utama, yaitu: (1) lingkungan usaha produktif, (2)
infrastruktur, sumber daya alam, dan lingkungan, (5) perbankan dan lembaga
keuangan.
Hidayat (2012) dalam penelitiannya yang mengukur daya saing ekonomi
Kota Medan, menyebutkan beberapa indikator utama penentu daya saing ekonomi
Kota Medan yaitu: ekonomi daerah, infrastruktur, sistem keuangan, kelembagaan,
dan sosial politik.
Potret daya saing daerah kabupaten/kota di indonesia secara keseluruhan
merupakan representasi dari kinerja-kinerja indikator-indikator pembentuknya,
semakin baik kinerja indikator-indikator tersebut, maka semakin tinggi pula daya
saing daerah suatu kabupaten/kota, sebaliknya apabila kinerja indikator-indikator
tersebut rendah, maka semakin rendah pula daya saing kabupaten/kota tersebut
(PPSK BI, 2008:44).
Penelitian yang dilakukan Abdullah, dkk (2002 : 15) menyebutkan
indikator-indikator utama yang dianggap menentukan daya saing daerah adalah
(1) Perekonomian daerah, (2) Keterbukaan, (3) Sistem Keuangan, (4) Infrastruktur
dan sumber daya alam, (5) Ilmu pengetahuan dan teknologi, (6) Sumber daya
manusia, (7) Kelembagaan, (8) Governance dan Kebijakan pemerintah, dan (9)
Manajemen dan ekonomi mikro. Masing-masing indikator tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Perekonomian Daerah
Perekonomian daerah merupakan ukuran kerja secara umum dari
hidup. Indikator kinerja ekonomi makro mempenaruhi mempengaruhi daya saing
daerah melaui prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Nilai tambah merefleksikan produktivitas perekonomian setidaknya dalam
jangka pendek.
2. Akumulasi modal mutlak diperlukan untuk meningkatkan daya saing dalam
jangka panjang.
3. Kemakmuran suatu daerah mencerminkan kinerja ekonomi di masa lalu.
4. Kompetisi yang di dorong mekanisme pasar akan meningkatkan kinerja
ekonomi suatu daerah.
2. Keterbukaan
Indiktor kerbukaan merupakan ukuran seberapa jauh perekonomian suatu
daerah berhubungan dengan daerah lain yang tercermin dari perdagangan daerah
tersebut dengan daerah lain dalam mencakup nasional dan internasional. Indikator
ini menentukan daya saing melalui prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Keberhasilan suatu daerah dalam perdagan internasional merefleksikan daya
saing perekonomian daerah tersebut.
2. Keterbukaan suatu daerah baik dalam perdagangan domestik maupun
internasional meningkatkan kinerja perekonomiannya.
3. Investasi internasional mengalokasikan sumber daya secara lebih efisien
keseluh penjuru dunia.
4. Daya saing yang di dorong oleh ekspor terkait dengan orientasi pertumbuhan
5. Mempertahankan standart hidup yang tinggi mengharuskan integrasi dengan
ekonomi internasinal.
3. Sistem Keuangan
Indikator sistem keuangan merefleksikan kemampuan sistem finansial
perbankan dan non-perbankan didaerah untuk memfasilitas aktivitas
perekonomian yang memberikan nilai tambah. Indikator sistem keuangan ini
mempengarui daya saing daerah melalui prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Sistem keuangan yang baik mutlak diperlukan dalam memfasilitasi aktivitas
perekonomin daerah.
2. Sektor keuangan yang efesien dan terintegrasi secara internasional mendukung
daya saing daerah.
4. Infrastuktur dan Sumber Daya Alam\
Infrastruktur dalam hal ini merupakan indikator seberapa besar sumber
daya seperti modal fisik, geografi, dan sumber daya alam dapat mendukung
aktivitas perekonomian daerah yang bernilai tambah. Indikator ini mendukung
daya saing daerah melalui prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Modal fisik berupa infrastruktur baik ketersediaan maupun kualitasnya
aktivitas ekonomi daerah.
2. Modal alamiah baik berupa kondisi geografis maupun kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya juga mendorong aktivitas perekonomian daerah.
3. Teknologi informasi yang maju merupakan infrastuktur yang mendukung
5. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Ilmu Pengetahuan dan teknologi mengukur kemampuan daerah dalam
ilmu pengetahuan dan teknologi serta penerapannya dalam aktivitas ekonomi
yang meningkatkan nilai tambah. Indikator ini mempengaruhi daya saing daerah
melalui bebarapa prinsip di bawah ini:
1. Keunggulan kompetitif dapat dibangun melalui aplikasi teknologi yang sudah
ada secara efesien dan inovatif.
2. Investasi pada penelitian dasar dan aktivitas yang inovatif yang menciptakan
pengetahuan baru sangat krusial bagi daerah ketika melalui tahapan
pembangunan ekonomi yang lebih maju.
3. Investasi jangka panjang berupa R&D akan meningkatkan daya saing sektor
bisnis.
6. Sumber Daya Manusia
Indikator Sumber Daya Manusia dalam hal ini ditujukan untuk mengukur
ketersediaan dan kualitas sumber daya manusia. Faktor SDM ini mempengaruhi
daya saing daerah berdasarkan prinsip-prinsip berikut:
1. Angkatan kerja dalam jumlah besar dan berkualitas akan meningkatkan daya
saing suatu daerah.
2. Pelatihan dan Pendidikan adalah cara yang paling baik dalam meningkatkan
tenaga kerja yang berkualitas.
3. Sikap dan nilai yang dianut oleh tenaga kerja juga menentukan daya saing
4. Kualitas hidup masyarakat suatu daerah menentukan daya saing daerah
tersebut begitu juga sebaliknya.
7. Kelembagaan
Kelemgaan merupakan Indikator yang mengukur sebeapa jauh iklim
sosial, politik, hukum dan aspek keamanan mampu mempengruhi secara positif
aktivitas perekonomian di daerah. Pengaruh faktor kelembagaan terhadap daya
saing daerah di dasarkan pada beberapa prinsip sebagai berikut:
1. Stabilitas sosial dan politik melalui sistem demokrasi yang berfungsi dengan
baik merupakan iklim yang kondusif dalam mendorong aktivitas ekonomi
daerah yang berdaya saing.
2. Peningkatan daya sain ekonomi suatu daerah tidak akan dapat tercapai tanpa
adaya sistem hukum yang baik serta penegakan hukum yang independen.
3. Aktivitas perekonomian suatu daerah tidak akan berjalan secara optimal tanpa
didukung oleh situasi keamanan yang kondusif.
8. Governance dan Kebijakan Pemerintah
Indikator Governance dan kebijakan pemerintah dimaksudkan sebagai
ukuran dari kualitas administrasi pemerintahan daerah, khususnya dalam rangka
menyediakan infrastruktur fisik dan peratuaran-peraturan daerah. Secara umum
pengaruh faktor governance dan kebijakan pemerintah bagi daya saing daerah
dapat didasarkan pada prinsip-prinsip sebaga berikut:
1. Dengan tujuan menciptakan iklim persaingan yang sehat intervensi
2. Pemerintah daerah berperan dalam menciptakan kondisi sosial yang
terprediksi serta berperan pula dalam meminimalkan resiko bisnis.
3. Efektivitas administrasi pemerintah daerah dalam menyediakan infrastruktur
dan aturan-aturan berpengaruh terhadap daya saing ekonomi suatu daerah.
4. Efektivitas pemerintah dalam melakukan koordinasi dan menyediakan
informasi tertentu pada sektor swasta mendukung daya saing ekonomi suatu
daerah.
5. Fleksibilitas pemerintah daerah dalam meyesuaikan kebijakan ekonomi
merupakan faktor yang kondusif dalam mendukung peningkatan daya saing
daerah.
9. Manajemen dan Ekonomi Mikro
Dalam indikator manajemen dan ekonomi mikropengukuran yang
dilakukan dikaitkan dengan pertayaan seberapa jauh perusahaan di daerah dikelola
secara inovatif , menguntungkan dan bertanggung jawab. Prinsip-prinsip yang
relevan terhadap daya saing daerah diantaranya adalah:
1. Rasio harga/kualitas yang kompetitif dari suatu produk mencerminkan
kemampuan managenerial perusahaan-perusahaan yang berada disuatu daerah.
2. Orientasi jangka panjang manajemen perusahaan akan meningkatkan daya
saing daerah dimana perusahaan tersebut berada.
3. Efesiensi dalam aktivitas perekonomian ditambah dengan kemampuan
menyesuaikan diri terhadap perubahan adalah keharusan bagi perusahaan yang
kompetitif.
5. Dalam usaha yang sudah mapan, menejemen perusahaan memerlukan
keahlian dalam mengintegrasikan serta menbedakan kegiatan-kegiatan usaha.
2.4 Penelitian Sebelumnya.
Jurnal penelitian yang ditulis oleh Santoso (2009) dalam penelitiannya
yang berjudul “Daya Saing Kota-Kota Besar di Indonesia”. Hasil dari
penelitiaanya menjelaskan bahwa pendekatan pengembangan kota melalui
penguatan daya saing kota menjadi salah satu strategi kota untuk mampu
berkompetisi dengan kota-kota lainnya. Penentuan peringkat dan pemetaan daya
saing kota akan membantu kota-kota besar dalam menentukan arah
pembangunannya ke depan. Kota-kota dapat secara obyektif mengetahui kekuatan
dan kelemahannya baik berdasarkan indikator input maupun outputnya. Karena
peringkat daya saing yang disusun bersifat dinamis, maka kota-kota harus
senantiasa berupaya untuk meningkatkan posisinya secara terus menerus.
Hidayat (2012) yang berjudul “Analisis Daya Saing Ekonomi Kota
Medan”. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa dari hasil pembobotan dan
pemeringkatan diperoleh tiga faktor utama penentu daya saing ekonomi kota
medan, yaitu faktor infrastruktur dengan nilai bobot tertinggi. Skala prioritas
untuk faktor infrastuktur yang harus diperhatikan adalah ketersediaan energi
alternatf dan kualitas infrastruktur fisik, sangat mempengaruhi kelancaran
kegiatan usaha yang terjadi didaerah. Selanjutnya diikuti oleh skala prioritas
faktor ekonomi daerah yang merupakan indikasi dari potensi ekonomi dan
variabel yang menjadi penentu daya saing ekonomi untuk faktor sistem keuangan
adalah variabel kinerja lembaga keuangan, variabel infrastruktur perbankan dan
infrastruktur non perbankan. Keberadaan lembaga keuangan di suatu daerah baik
lembaga perbankan maupun non perbankan dinyakini mampu mempercepat
proses pembangunan dan kemajuan ekonomi. Faktor berikutnya adalah faktor
kelembagaan yang menjadi skala prioritas untuk diperhatikan adalah kepastian
hukum melalui konsistensi peraturan dan penegakkan hukum yang masih
dirasakan distorsif. Sedangkan faktor sosial politik yang menjadi prioritas utama
adalah tingkat keamanan guna menjamin kelangsungan berusaha dan gangguan
dari masyarakat disekitar tempat kegiatan usaha dilakukan.
Dalam jurnal penelitiannya yang ditulis oleh Ira Irawati,dkk (2012) yang
berjudul “Pengukuran Tingkat Daya Saing Daerah Berdasarkan Variabel
Perekonomian Daerah, Variabel Infrastuktur, dan Sumber Daya Alam, serta
Variabel Sumber Daya Manusia di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara” di
jelaskan bahwa daya saing wilayah menunjukkan kemampuan suatu wilayah
menciptakan nilai tambah untuk mencapai kesejahteraan yang tinggi dan
berkelanjutan dengan tetap terbuka pada persaingan domestik dan internasional.
Dalam Pengembangan wilayah di kota-kota dan kabupaten-kabupaten di Provinsi
Sulawesi Tenggara merupakan upaya untuk meningkatkan daya saing tersebut,
walaupun dalam pengembangannya menghadapi permasalahan-permasalahan
yang antara lain disebabkan oleh kurang berkembangnya sumber daya manusia
masyarakat serta kurangnya prasarana dan sarana untuk menunjang kesejahteraan
masyarakat.
Soebagyo, dkk (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Regional
Competitiveness and Its Implications for Development”. Hasil dari penelitiannya
menjelaskan bahwa Daya saing daerah menjadi salah satu isu dalam
pembangunan daerah semenjak diberlakukan kebijakan otonomi daerah.
Pengukuran daya saing daerah selama ini banyak dilakukan melalui
pemeringkatan sebagai benchmark daya saing daerah. Pemetaan daya saing
daerah di Indonesia telah dilakukan terhadap semua kabupaten dan kota, yang
menunjukkan peringkat daya saing masing-masing daerah. Peringkat daya saing
daerah dinilai berdasarkan karakteristik daya saing input dan daya saing
outputnya.
Huda dan Eko (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “ Pengembangan
Daya Saing Daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Timur berdasarkan Potensi
Daerahnya”. Hasil dari penelitiannya menjelaskan bahwa terdapat perbedaan
kemampuan daya saing antara wilayah perkotaan dan kabupaten. Terdapat 17
kabupaten yang masuk dalam kategori kemampuan daya saing rendah. Dari hasil
pemetaan, menunjukkan bahwa daerah yang memiliki daya saing tinggi secara
umum didominasi oleh daerah yang unggul di indikator Perekonomian dan
2.5 Kerangka Konseptual
[image:34.595.117.505.179.579.2]Adapun kerangka konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1
Indikator Utama Penentu Daya Saing Ekonomi Kabupaten Batu Bara FAKTOR PENENTU DAYA SAING EKONOMI DAERAH
KELEMBAGAAN Regulation & Government services SOSIAL POLITIK Socio-Political Factors EKONOMI DAERAH Regional Economic Dynamism
TENAGA KERJA & PRODUKTIVITAS Labor& productivity INFRASTRUKTUR FISIK Physical Infrastructure Kepastian Hukum Legal Certainty Keuangan Daerah Regional Finance Aparatur Quality Of Civil
Service
Perda / Indikator
Perda Region Policy /
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang Lingkup penelitian ini adalah menganalisis tentang Determinan
daya saing ekonomi kabupaten/kota di Kabupaten Batu Bara pada tahun 2014
dengan pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP).
3.2Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Batu Bara. Penelitian dilakukan
dengan kurun waktu penelitian pada bulan Oktober sampai dengan selesai.
3.3Batasan Operasional
Adapun Batasan Operasional dari Penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kelembagaan
2. Sosial Politik
3. Ekonomi Daerah
4. Tenaga Kerja dan produkvitas
5. Infrastruktur Fisik
3.4 Defenisi Operasional
1. Kelembagaan adalah pola hubungan antara anggota masyarakat Kabupaten
batu Bara yang saling mengikat, diwadahi dalam suatu jaringan atau
organisasi dengan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan non formal
2. Sosial Politik, yaitu sesuatu yang berhubungan dengan penggunaan kekuasaan
dan wewenang dalam pelaksanaan kegiatan sistem politik di Kabupaten Batu
Bara, yang banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor sossial budaya.
3. Ekonomi Daerah, yaitu ukuran kinerja secara umum dari perekonomian makro
(daerah) yang meliputi penciptaan nilai tambah, akumulasi kapital, tingkat
konsumsi, kinerja sektoral, perekonomian, serta tingkat biaya hidup di
Kabupaten Batu Bara.
4. Tenaga kerja, yaitu setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat yang ada di Kabupaten Batu Bara.
5. Infarastruktur fisik, yaitu sebagai kebutuhan dasar fisik pengorganisasian
sistem struktur yang diperlukan untuk jaminan ekonomi sektor publik, dan
sektor privat di Kabuapten Batu Bara sebagai layanan dan fasilitas yang
diperlukan agar perekonomian dapat berfungsi dengan baik.
3.5Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah suatu kelompok dari elemen penelitian di mana elemen
adalah unit terkecil yang merupakan sumber dari data yang di perlukan
(Kuncoro,2009). Populasi yang dipilih oleh penulis yaitu masyarakat yang
bertempat tinggal di Kabupaten Batu Bara.
Sampel adalah bagian dari populasi yang diharapkan dapat mewakili
populasi penelitian dan proses pemilihan sampel merupakan suatu rangkaian
kegiatan yang berurutan (Kuncoro, 2009). Adapun sampel yang akan digunakan
responden yang dianggap mewakili segmen kelompok masyarakat yang dinilai
mempunyai pengaruh dan merasakan dampak besar terkait daya saing daerah
yang sudah dianggap repsentatif, yang terdiri dari beberapa kelompok masyarakat.
[image:37.595.180.444.247.415.2]Adapun sampel berdasarkan kelompok masyarakat adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1
Jumlah Sampel Berdasarkan Kelompok Masyarakat
No Kelompok Masyarakat Responden
1 Mahasiswa/Pelajar 6
2 Staf Pengajar/Dosen/Guru 6
3 Masyarakat Umum 6
4 Birokrasi 6
5 Perbankan 3
6 Non Perbankkan 3
7 Pengusaha 20
Jumlah 50
3.6Metode Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel atau responden pada penelitian ini dilakukan
secara purposive sampling, yakni dengan menentukan sampel atau responden
yang dianggap dapat mewakili segmen kelompok masyarakat yang dinilai
mempunyai pengaruh atau merasakan dampak besar terkait daya saing daerah.
3.7 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang di perlukan dalam penelitian ini maka jenis
data yang digunakan adalah:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang biasa diperoleh dengan survei lapangan yang
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang telah dikumpulkan oleh lembaga pengumpul
data dan dipublikasikan kepada masyarakat pengguna data. Data skunder tidak
terbatas kepada instansi pemerintahan saja tetapi juga dapat di peroleh dari
pihak swasta dan instansi-instansi yang terkait yang berhubungan dengan
penelitian (Kuncoro, 2009).
Sedangkan teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah:
1. Kuisoner
Kuesioner adalah salah satu teknik pengumpulan data dengan cara
memberikan suatu daftar pertanyaan (angket) kepada responden yang
dijadikan sampel penelitian( Santosa, 2007). Dalam hal ini, yang menjadi
responden dalam penelitian ini adalah masyarakat di Kab.Batu Bara untuk
mengetahui faktor-faktor penentu daya saing ekonomi Kab. Batu Bara pada
tahun 2014.
2. Wawancara
Wawancara adalah satu teknik pengumpulan data dengan proses tanya jawab
atau interaksi antara pihak pencari data atau peneliti selaku pewawancara
dengan responden atau nara sumber yang berposisi sebagai pihak
3. Studi Kepustakaan
Teknik studi kepustakaan adalah mengumpulkan data dan informasi melalui
berbagai literatur dan dapat diperoleh dari buku-buku, artikel, internet, jurnal,
tesis, dan sebagainya, yang berkaitan dengan penelitian ini.
3.8 Metode Analisis Data
Metode analisis data yang dilakukan dalam menganalisis daya saing
ekonomi di Kab. Batu Bara pada tahun 2014 ialah melalui Analisi Deskriptif dan
Analytical Hierarchy Process (HAP). Secara jelasnya, metode yang digunakan
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Analisis Deskriptif
Analisis ini memberikan gambaran tentang karakteristik tertentu dari data
yang telah dikumpulkan. Data tersebut akan dianalisis sehingga menghasilkan
gambaran mengenai persepsi masyarakat terhadap faktor-faktor penentu daya
siang ekonomi Kab. Batu Bara. Analisis data disajikan dalam bentuk tabulasi,
gambar (chart) dan diagram.
2. Analytical Hierarchy Process (HAP)
Analisis ini digunakan untuk memberikan nilai bobot setiap faktor dan
vaariabel dalam menghitung faktor-faktor penentu daya saing ekonomi di
Kabupaten Batu Bara pada tahun 2014. Proses pemberian bobot indikator dan
sub-indikator (variabel) dilakukan dengan menggunakan Analytical Hierarchy
Process (HAP) melalui kuisoner untuk kelompok masyarakat yang sudah
Metode Analytical Hierarchy Process (HAP) awalnya dikembangkan oleh
Prof. Thomas Lorie Saaty dari Wharton Business School sekitar tahun 1970.
Metode ini digunakan untuk mencari rangking atau urutan prioritas dari berbagai
alternatif dalam pemecahan suatu permasalahan.
Analytical Hierarchy Process (HAP) mempunyai landasan aksiomatik yang
terdiri dari:
1. Resiprocal Comparison, yang mengandung arti bahwa matriks perbandingan
berpasangan yang terbentuk harus bersifat berkebalikan. Misalnya, jika A
adalah k kali lebih penting dari pada B maka B adalah 1/k kali lebih penting
dari A.
2. Homogenity, yaitu mengandung arti kesamaan dalam melakukan
perbandingan. Misalnya, tidak di mungkinkan membandingkan jeruk dengan
bola tenis dalam hal rasa, akan tetapi lebih relevan jika membandingkan dalam
hal berat.
3. Dependence, yang berarti setiap level mempunyai kaitan (complete hierarchy)
walaupun mungkin saja terjadi hubungan yang tidak sempurna (incomplete
hierarchy).
4. Expectation, yang berarti menonjolkan penilaian yang bersifat ekspektasi dan
preferensi dari pengambilan keputusan. Penilaian dapat merupakan data
kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif.
Secara umum pengambilan keputusan dengan metode AHP didasarkan
pada langkah-langkah berikut:
2 Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan
dengan kriteria-kriteria dan alternatif-alternatif pilihan yang ingin di rangking.
3 Membentuk matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan
kkontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing
tujuan atau kriteria yang setingkat diatasnya. Perbandingan dilakukan
berdasarkan pilihan atau judgement dari pembuat keputusan dengan menilai
tingkat-tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan dengan lainnya.
4 Menormalkan data yaitu dengan membagi nilai dari setiap elemen didalam
matriks yang berpasangan dengan nilai total dari setiap kolom.
5 Menghitung nilai eigen vector dan menguji konsistensinya, jika tidak
konsisten maka pengambilan data (preferensi) perlu diulangi. Nilai eigen
vector yang dimaksud adalah nilai eigen vector maksimum yang di peroleh
dengan menggunakan matlab maupun dengan manual.
6 Mengulangi langkah 3, 4 dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki.
7 Menghitung eigen vector dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai
eigen vector merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini untuk mensintesis
pilihan dalam penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hirarki terendah
sampai pencapaian tujuan.
8 Menguji konsistensi hirarki. Jika tidak memenuhi dengan CR < 0,15 maka
penilaian harus diulang kembali.
Rasio konsistensi (CR) merupakan batas ketidak konsistenan
perbandingan indeks konsistensi (RI). Angka pembanding pada perbandingan
berpasangan adalah skala 1 sampai 9, dimana:
Skala 1 = setara antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain.
Skala 3 = kategori sedang dibandingkan dengan kepentingan lainnya.
Skala 7 = kategori amat kuat dibandingkan dengan kepentingan lainnya.
Skala 9 = kepentingan satu secara ekstrim lebih kuat dari kepentingan lainnya.
Prioritas alternatif terbaik dari total rangking yang diperoleh merupakan
rangking yang dicari dalam Analytical Hierarchy Process (AHP) ini. Dalam
menyelesaikan persoalan dengan metode Analytic Hierarchy Process (AHP) ada
beberapa prinsip dasar yang harus dipahami antara lain sebagai berikut (Saaty,
1990) :
a. Decomposition
Sistem yang kompleks dapat dengan mudah dipahami kalau sistem
tersebut dipecah menjadi berbagai elemen pokok, kemudian elemen-elemen
tersebut disusun secara hirarkis. Hirarki masalah disusun untuk membantu proses
pengambilan keputusan dengan memperhatikan seluruh elemen keputusan yang
terlibat dalam sistem. Sebagian besar masalah menjadi sulit untuk diselesaikan
karena proses pemecahannya dilakukan tanpa memandang masalah sebagai suatu
sistem dengan suatu struktur tertentu.
Pada tingkat tertinggi dari hirarki, dinyatakan tujuan, sasaran dari sistem
yang dicari solusi masalahnya. Tingkat berikutnya merupakan penjabaran dari
tujuan tersebut. Suatu hirarki dalam metode AHP merupakan penjabaran elemen
elemen homogen. Sebuah elemen menjadi kriteria dan patokan bagi
elemen-elemen yang berada di bawahnya. Dalam menyusun suatu hirarki tidak terdapat
suatu pedoman tertentu yang harus diikuti. Hirarki tersebut tergantung pada
kemampuan penyusun dalam memahami permasalahan. Namun tetap harus
bersumber pada jenis keputusan yang akan diambil.
Untuk memastikan bahwa kriteria-kriteria yang dibentuk sesuai dengan
tujuan permasalahan, maka kriteria-kriteria tersebut harus memiliki sifat-sifat
berikut :
1) Minimum
Jumlah kriteria diusahakan optimal untuk memudahkan analisis.
2) Independen
Setiap kriteria tidak saling tumpang tindih dan harus dihindarkan
pengulangan kriteria untuk suatu maksud yang sama.
3) Lengkap
Kriteria harus mencakup seluruh aspek penting dalam permasalahan.
4) Operasional
Kriteria harus dapat diukur dan dianalisis, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif dan dapat dikomunikasikan.
b. Comparative Judgment
Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua
elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan criteria di atasnya.
keputusan. Hasil dari penilaian ini disajikan dalam bentuk matriks yang
dinamakan matriks pairwise comparison.
Yang pertama dilakukan dalam menentapkan prioritas elemen-elemen
dalam suatu pengambilan keputusan adalah dengan membuat perbandingan
berpasangan, yaitu membandingkan berpasangan, yaitu membandingkan dalam
bentuk berpasangan seluruh kriteria untuk setiap sub sistem hirarki. Dalam
perbandingan berpasangan ini, bentuk yang lebih disukai adalah matriks, karena
matriks merupakan alat yang sederhana yang biasa dipakai, serta memberi
kerangka untuk menguji konsistensi. Rancangan matrik ini mencerminkan dua
segi prioritas yaitu, mendominasi dan didominasi.
Misalkan terdapat suatu sub sistem hirarki dengan kriteria C dan sejumlah n
alternatif dibawahnya, Ai sampai An. Perbandingan antar alternatif untuk sub
sistem hirarki itu dapat dibuat dalam bentuk matriks n × n, seperti pada tabel 4 di
[image:44.595.144.477.508.631.2]bawah ini :
Tabel 3.2.
Matriks Perbandingan Berpasangan
C A1 A2 A3 ….. An
A1 A2 A3 ….. An a11 a21 a31 ….. an1 a12 a22 a32 ….. an2 a13 a23 a33 ….. an3 … … … … … a1n a2n a3n ….. ann
Nilai a11 adalah nilai perbandingan elemen A1 (baris) terhadap A1 (kolom)
yang menyatakan hubungan :
b. Seberapa jauh dominasi A1 (baris) terhadap A1 (kolom) atau
c. Seberapa banyak sifat kriteria C terhadap A1 (baris) dibandingkan dengan A1
(kolom).
Nilai numerik yang dikenakan untuk seluruh perbandingan diperoleh dari
skala perbandingan yang disebut Saaty pada tabel 5. Apabila bobot kriteria Ai
adalah Wi dan bobot elemen Wj maka skala dasar 1-9 yang disusun Saaty
mewakili perbandingan (Wi/Wj)/1. Angka-angka absolute pada skala tersebut
merupakan pendekatan yang amat baik terhadap perbandingan bobot elemen Ai
[image:45.595.116.511.381.712.2]terhadap elemen Aj.
Tabel 3.3.
Skala Penilaian Perbandingan
Skala tingkat
kepentingan Definisi Keterangan
1 Sama pentingnya Kedua elemen mempunyai pengaruh yang sama
3 Sedikit lebih penting
Pengalaman dan penilaian sedikit memihat satu elemen dibandingkan dengan pasangannya
5 Lebih penting
Pengalaman dan penilaian sangat memihak satu elemen dibandingkan dengan pasangannya
7 Sangat penting
Satu elemen sangat disukai dan secara praktis dominasinya sangat nyata dibandingkan dengan elemen pasangannya
9 Mutlak lebih penting
Satu elemen terbukti mutlak lebih disukai dibandingkan dengan pasangannya, pada tingkat keyakinan yang tertinggi
2,4,6,8 Nilai tengah Diberikan bila terdapat keraguan penilaian antara dua penilaian yang berdekatan
Kebalikan Aij = 1/Aji
Saaty menyusun angka-angka absolute sebagai skala penilaian
berdasarkan kemampuan manusia untuk menilai secara kualitatif, yaitu melalui
ungkapan sama, lemah, amat kuat, dan absolute atau ekstrim. Penilaian yang
dilakukan oleh banyak partisipan akan menghasilkan pendapat yang berbeda
satu sama lain. AHP hanya memerlukan satu jawaban untuk matriks
perbandingan.
Jadi semua jawaban dari partisipan harus dirata-ratakan. Dalam hal ini
Saaty memberikan metode perataan dengan rata-rata geometric atau geometric
mean. Rata-rata geometric dipakai karena bilangan yang dirata-ratakan adalah
deret bilangan yang sifatnya rasio dan dapat mengurangi gangguan yang
ditimbulkan salah satu bilangan yang terlalu besar atau terlalu kecil.
Teori rata-rata geometric menyatakan bahwa jika terdapat n partisipan
yang melakukan perbandingan berpasangan, maka terdapat n jawaban atau nilai
numerik untuk setiap pasangan. Untuk mendapatkan nilai tertentu dari semua
nilai tersebut, masing-masing nilai harus dikalikan satu sama lain kemudian hasil
perkalian itu dipangkatkan dengan 1/n. Secara sistematis dituliskan sebagai
berikut:
aij = (z1. z2. z3. …. zn)1/n
dengan :
aij = Nilai rata-rata perbandingan berpasangan kriteria Ai dengan Aj untuk n partisipan
Zi = Nilai perbandingan antara A1 dengan Ai untuk partisipan i, dengan nilai i = 1, 2, 3, …, n
n = Jumlah partisipan
c. Synthesis of Priority
Dari setiap matriks Pairwise Comparison kemudian dicari eigenvector dari
mendapatkan global priority harus dilakukan sintesis di antara local priority.
Prosedur melakukan sintesis berbeda menurut bentuk hirarki. Pengurutan
elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesis dinamakan priority
setting.
d. Logical Consistency
Salah satu asumsi utama model AHP yang membedakannya dengan
model-model pengambilan keputusan lain adalah tidak adanya syarat konsistensi
mutlak. Dengan model AHP yang memakai persepsi manusia sebagai inputnya
maka ketidakkonsistenan mungkin terjadi karena manusia memiliki keterbatasan
dalam menyatakan persepsinya secara konsisten terutama kalau harus
membandingkan banyak kriteria. Berdasarkan kondisi ini maka manusia dapat
menyatakan persepsinya tersebut akan konsisten nantinya atau tidak.
Pengukuran konsistensi dari suatu matriks itu sendiri didasarkan atas
eigenvalue maksimum. Dengan eigenvalue maksimum, inkonsistensi yang biasa
dihasilkan matriks perbandingan dapat diminumkan.
Rumus dari indeks konsistensi adalah:
CI = (λmaks – n) ( n – 1)
Dengan :
CI = indeks konsistensi
(λmaks = eigenvalue maksimum
n = orde maktrik
dengan λ merupakan eigenvalue dan n ukuran matriks. Eigenvalue
maksimum suatu matriks tidak akan lebih kecil dari nilai n sehingga tidak
mungkin ada nilai CI negatif. Makin dekat eigenvalue maksimum dengan
sehari-hari CI tersebut biasa disebut indeks inkonsistensi karena rumus (2.2) di
atas memang lebih cocok untuk mengukur inkonsistensi suatu matriks.
Indeks inkonsistensi di atas kemudian diubah dalam bentuk rasio
inkonsistensi dengan cara membaginya dengan suatu indeks random. Indeks
random menyatakan rata-rata konsistensi dari matriks perbandingan berukuran 1
sampai 10 yang didapatkan dari suatu eksperimen oleh Oak Ridge National
[image:48.595.120.505.305.429.2]Laboratory dan kemudian dilanjutkan oleh Wharton School.
Tabel 3.4.
Pembangkit Random (RI)
N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
RI 0 0 0.58 0.9 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49
CR = CI/RI
CR = Rasio konsistensi
RI = Indeks random
Selanjutnya konsistensi responden dalam mengisi kuesioner diukur.
Pengukuran konsistensi ini dimaksudkan untuk melihat ketidak konsistensinan
respon yang diberikan responden. Sato dalam Chow and Luk (2005) telah
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Kabupaten Batu Bara
Kabupaten Batu Bara merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi
Sumatera Utara yang baru terbentuk pada tahun 2007, yang merupakan
pemekaran dari Kabupaten Asahan. Batu Bara berada di kawasan Pantai Timur
Sumatera Utara yang berbatasan dengan Selat Malaka. Kabupaten Batu Bara
menempati area seluas 90.496 Ha yang terdiri dari 7 Kecamatan serta 100
Desa/Kelurahan Definitif. Ketujuh Kecamatan itu adalah Kecamatan Sei Balai,
Tanjung Tiram, Talawi, Limapuluh, Air Putih, Sei Suka, Medang Deras.
Wilayah Kabupaten Batu Bara di sebelah Utara berbatasan dengan
Kabupaten Serdang Bedagai, di sebelah Selatan dengan Kabupaten Asahan, di
sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Simalungun dan di sebelah Timur
berbatasan dengan Selat Malaka.
4.2Gambaran Demografi Kabupaten Batu Bara
Luas Wilayah, Jumlah Rumah Tangga, Penduduk dan Persebaran
Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Batu Bara Tahun 2013 luasnya
904,96 km2 dengan kepadatan penduduk 382,474 jiwa. Sedangkan penduduk
terpadat berada pada Kecamatan Lima Puluh sebesar 86 517 jiwa.
Jumlah rumah tangga di Kota Tanjungbalai pada tahun 2013 sebanyak 89,
238 rumah tangga. Dengan jumlah penduduk 382,474 jiwa, maka setiap rumah
4.3 Kondisi Perekonomian Kabupaten Batu Bara
PDRB sebagai ukuran produktivitas mencerminkan seluruh nilai barang
dan jasa yang dihasilkan oleh suatu wilayah dalam satu tahun. Adanya
peningkatan PDRB perkapita yang cukup tinggi dan selalu berada di atas PDRB
per kapita Sumatera Utara setiap tahun tentu saja sangat menggembirakan, namun
angka tersebut belum dapat menggambarkan pemerataan pendapatan masyarakat
pada setiap strata ekonomi. Pengaruh inflasi sangat dominan dalam pembentukan
[image:50.595.131.494.388.563.2]nilai PDRB.
Tabel 4.1
Persentase PDRB Menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kabupaten Batu Bara (%) Tahun 2013
No Lapangan Usaha 2013
1 Industri Pengolahan 52,01
2 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 23,87 3 Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 15,69
4 Pengangkutan dan Komunikasi 2,34
5 Bangunan 1,96
6 Jasa-Jasa 1,78
7 Keuangan, Real Estat, dan Jasa Perusahaan 1,54
8 Listrik, Gas, dan Air Bersih 0,68
9 Pertambangan dan Penggalian 0,12
PDRB 100
Sumber:Badan Pusat Statistik Kabupaten Batu Bara
Dalam tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa yang memberi sumbangsih
terbesar terhadap PDRB Kabupaten Batu Bara adalah sektor Industri Pengolahan.
Sektor Industri Pengolahan menjadi kontribusi utama dengan peranan mencapai
52,01 persen. Selanjutnya sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran dengan
peranan mencapai 23,87 persen, kemudian sektor Pertanian, Peternakan,
kemudian, sektor Pengangkutan dan Komunikasi dengan peranan mencapai 2,34
persen, setelah itu diikuti oleh Bangunan sektor dengan peranan mencapai 1,96
persen. Selanjutnya diikuti oleh sektor Jasa-Jasa dengan peranan sebesar 1,78
persen, kemudian diikuti oleh sektor Keuangan, Real Estat, dan Jasa Perusahaan
dengan peranan sebesar 1,54 persen. Setelah itu diikuti oleh sektor Listrik, Gas,
dan Air Bersih dengan sumbangsih sebesar 0,68 persen dan diikuti oleh sektor
Pertambangan dan Penggalian sebesar 0,12 persen.
4.4 Profil Responden
Berdasarkan hasil tabulasi terhadap 50 responden yang menjadi sampel
dalam penelitian ini didapat informasi bahwa responden berjenis kelamin pria
lebih banyak daripada responden wanita, yaitu responden pria 56% dan responden
wanita 44%. Sedangkan responden yang paling banyak diwawancarai berusia
41-50 tahun berkisar 32%. Kemudian diikuti oleh usia lebih dari 41-50 tahun berkisar
sebesar 26%. Kemudian usia 21-30 tahun berkisar 20%. Lalu usia 31-40 tahun
berkisar 18%. Serta yang terendah di usia dibawah 20 tahun yaitu 4%. Sementara
itu untuk tingkat pendidikan, pada umumnya responden tamatan D3/S1/S2 sebesar
60% dan selebihnya tamatan SMA/Sederajat sebesar 34%. Dan hanya 6%
responden yang tamatan SMP/Sederajat. Untuk lebih jelasnya, karakteristik
Tabel 4.2
Karakteristik Responden
No Jenis Kelamin Jumlah Persentase
1 Pria 29 56%
2 Wanita 21 44%
Usia (Tahun) Jumlah Persentase
1 <20 2 4%
2 21 – 30 20 20%
3 31 – 40 4 18%
4 41 – 50 11 32%
5 >50 13 26%
Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase
1 SMP/Sederajat 2 6%
2 SMA/Sederajat 21 34%
3 D3/S1/S2 27 60%
Sumber : Data Primer Diolah
4.5 Pembobotan dan Pemeringkatan Faktor Daya Saing Ekonomi
Daya saing ekonomi daerah merupakan representasi dari dari kinerja
indikator-indikator pembentuknya. Semakin baik kinerja indikator-indikator
pembentuknya, maka akan semakin tinggi daya saing ekonomi suatu daerah.
Sebaliknya, apabila kinerja indikator-indikator pembentuk daya saing ekonomi
tersebut rendah, maka daya saing ekonomi daerah tersebut juga rendah. Untuk
melihat daya saing ekonomi Kabupaten Batu Bara, maka terlebih dahulu
ditentukan faktor-faktor penentu daya saing ekonomi dengan menentukan nilai
bobot dari masing-masing faktor tersebut. Pembobotan ini diperoleh dengan
menggunakan metode Analytic Hierarchy Proccess (AHP) dengan bantuan
Software yaitu Expert Choice.
Pembobotan ini digunakan sebagai dasar untuk menentukan faktor-faktor
yang menentukan daya saing ekonomi Kabupaten Batu Bara tahun 2014. Bobot
penting dibandingkan dengan faktor lainnya dalam menentukan daya saing
ekonomi Kota Tanjungbalai. Berikut ini hasil pembobotan dari faktor-faktor
penentu daya saing ekonomi Kabupaten Batu Bara seperti yang dapat dilihat pada
[image:53.595.126.480.238.515.2]gambar di bawah ini.
Gambar 4.1
Nilai Bobot dari Faktor Penentu Daya Saing Ekonomi Kabupaten Batu Bara
Hasil diatas menunjukkan bahwa faktor penentu daya saing ekonomi
Kabupaten Batu Bara tahun 2014 adalah Infrastruktur Fisik yang memiliki bobot
paling tinggi yaitu sebesar 0,353. Kemudian diikuti oleh faktor Tenaga Kerja dan
Produktivitas sebesar 0,328 . Berikutnya Perekonomian Daerah dengan bobot
sebesar 0,171 dan kemudian faktor Kelembagaan dengan bobot sebesar 0,085.
Secara persentase, bobot faktor penentu daya saing ekonomi Kota
[image:54.595.131.494.182.402.2]Tanjungbalai dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.2
Presentase Faktor Penentu Daya Saing Ekonomi Kabupaten Batu Bara
Dari hasil pembobotan tersebut, tanggapan responden terhadap faktor
penentu daya saing ekonomi Kabupaten Batu Bara dipengaruhi oleh tiga faktor
dengan nilai bobot terbesar, yaitu faktor Infrastruktur fisik, faktor Tenaga Kerja
dan Perekonomian Daerah. Berikut akan dijelaskan masing-masing faktor penentu
daya saing ekonomi Kabupaten Batu Bara berdasarkan pemeringkatan beserta
variabelnya.
4.5.1 Faktor Infrastruktur Fisik
Infrastruktur fisik merupakan faktor pendukung bagi kelancaran kegiatan
usaha. Ketersedian dan kualitas infrastruktur fisik sangat mempengaruhi
kelancaran dunia usaha di suatu daerah. Semakin besar skala suatu usaha, maka
kebutuhan akan ketersediaan infrastruktur fisik juga akan semakin besar. Kelembagaan
9%
Sosial Politik 6%
Perekonomian Daerah
17%
Tenaga Kerja dan Produktivitas
33% Infrastruktur
Faktor infrastruktur fisik yang terdiri dari dua variabel yaitu ketersediaan
infrastruktur fisik dan kualitas infrastruktur. Variabel ketersediaan infrastruktur
fisik memiliki bobot sebesar 0,353 atau 35% dari keseluruhan bobot faktor
infrastruktur fisik. Variabel kualitas infrastruktur fisik memiliki bobot sebesar
0,650 atau 65% dari keseluruhan bobot faktor infrastruktur fisik. Persentase bobot
dari masing-masing variabel faktor infrastruktur fisik dapat dilihat pada gambar di
[image:55.5