• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK PEMAKAIAN BAHASA DALAM IKLAN KOMERSIAL DI RADIO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KARAKTERISTIK PEMAKAIAN BAHASA DALAM IKLAN KOMERSIAL DI RADIO"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK PEMAKAIAN BAHASA

DALAM IKLAN KOMERSIAL

DI RADIO

SKRIPSI

Oleh:

ESTI PRIASTUTI

NIM K1206020

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

KARAKTERISTIK PEMAKAIAN BAHASA

DALAM IKLAN KOMERSIAL

DI RADIO

Oleh:

ESTI PRIASTUTI

NIM K1206020

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(3)

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji

Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Raheni Suhita, M. Hum. Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum.

(4)

commit to user

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima

untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Hari :

Tanggal :

Tim Penguji Skripsi

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Drs. Slamet Mulyono, M. Pd. ________________

Sekertaris : Drs. Suyitno, M. Pd. ________________

Anggota I : Dra. Raheni Suhita, M. Hum. ________________

Anggota II : Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum. ________________

Disahkan oleh :

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret

Dekan,

Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd.

(5)

ABSTRAK

Esti Priastuti. K1206020. KARAKTERISTIK PEMAKAIAN BAHASA DALAM IKLAN KOMERSIAL DI RADIO. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Juli. 2010.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) karakteristik pemakaian diksi dan gaya bahasa dalam iklan komersial di radio dan (2) wujud campur kode dan alih kode dalam iklan komersial di radio.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah bahasa iklan di radio dengan sampel bahasa iklan komersial yang disiarkan oleh Radio JPI. Sampel diambil dengan menggunakan purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik rekam, simak, catat, dan teknik wawancara mendalam (indepth interviewing). Validitas data dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi sumber data dan metode. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis jalinan atau mengalir (Flow Model of Analysis).

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan: (1) karakteristik diksi dalam

bahasa iklan komersial di radio meliputi: a) pemakaian kata-kata gaul, b) pemakaian kata-kata asing, c) pemakaian kata bersinonim, d) pemakaian kata

(6)

commit to user

MOTTO

Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh,

sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang tinggi di

dalam surga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di

dalamnya. Yaitu yang bersabar dan bertawakal pada Tuhan-nya.

(7)

PERSEMBAHAN

Kusuntingkan hasil karya ini untuk:

1. Kedua orang tuaku, ibu Surati dan

bapak Budi, atas segala linangan do’a

tanpa ujung yang menghantarkanku

hingga jenjang sarjana.

2. Saudara-saudaraku, Mbak Indah Nian,

Mas Hirto, Mbak Yunita, Dek Afive

Ca’em yang mengajariku makna kasih

sayang, persaudaraan, dan ketegasan

pilihan hidup.

3. Mas Top, tekad dan semangat juangmu

(8)

commit to user

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yang

telah melimpahkan belas kasih, rahmat, dan ilmu-Nya yang Mahaluas hingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi

sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia. Selama penyusunan skripsi, tidak terlepas dari bantuan dan dukungan

berbagai pihak. Untuk itu, penulis ucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan izin

menyusun skripsi;

2. Drs. Suparno, M. Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret yang telah

memberikan persetujuan skripsi;

3. Drs. Slamet Mulyono, M. Pd., selaku Ketua Program Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas

Sebelas Maret yang telah memberikan izin penulisan skripsi;

4. Dra. Raheni Suhita, M. Hum. dan Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum., selaku

pembimbing I dan pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan

arahan kepada penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik;

5. Bapak dan ibu dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang

dengan tulus memberikan ilmunya selama penulis menimba ilmu di prodi ini;

6. Teman-teman JPI semuanya, tanpa terkecuali, terima kasih atas bantuan dan

dukungannya.

7. Teman-teman Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2006 yang telah

memberikan kesempatan untuk saling mencicip indahnya suatu persahabatan;

8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan

menambah wawasan bagi para pembaca.

Surakarta, Juli 2010

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel halaman

1. Perincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian ……… 42

2. Data Pengklasifikasian Iklan Komersial yang Disiarkan oleh Radio JPI

(10)

commit to user

DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman

1. Kerangka Berpikir ……… 41

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran halaman

1. Transkripsi Grafemis Iklan Komersial yang Disiarkan Radio JPI ………. 127

2. Klasifikasi Data ……….. 146

3. Daftar Pertanyaan ………... 165

(12)

commit to user

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….. i

HALAMAN PENGAJUAN ………... ii

HALAMAN PERSETUJUAN……… iii

HALAMAN PENGESAHAN ……… iv

HALAMAN ABSTRAK ……… v

HALAMAN MOTTO ……… vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ……… vii

KATA PENGANTAR ……… viii

DAFTAR TABEL ……….. ix

DAFTAR GAMBAR ………. x

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xi

DAFTAR ISI ……….. xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Rumusan Masalah ……… 4

C. Tujuan Penelitian ………. 4

D. Manfaat Penelitian ……… 5

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR A. Landasan Teori ………. 6

1. Bahasa ……….. 6

2. Diksi ………. 9

3. Gaya Bahasa ………. 20

4. Campur Kode ………... 27

5. Alih Kode ………. 30

6. Iklan ………. 33

7. Ragam Bahasa Iklan di Radio ………. 35

(13)

C. Kerangka Berpikir ……… 40

BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ………. 42

B. Bentuk dan Strategi Penelitian ……… 42

C. Populasi dan Sampel ……… 43

D. Teknik Pengumpulan Data ……….. 43

E. Validitas Data ……….. 44

F. Analisis Data ……… 44

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Data ……….. 46

B. Analisis Data ………... 48

1. Karakteristik Diksi ………... 48

2. Pemakaian Gaya Bahasa ………... 71

3. Wujud Campur Kode ………... 93

4. Wujud Alih Kode ………...……….113

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan ………. 120

B. Implikasi ………. 121

C. Saran ……… 122

DAFTAR PUSTAKA ……… 124

LAMPIRAN ……….. 127

(14)

commit to user

PERSETUJUAN

Proposal skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim

Pembimbing Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas

Maret Surakarta pada:

Hari :

Tanggal :

Persetujuan Pembimbing,

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Raheni Suhita, M. Hum. Dr. Muhammad Rohmadi, S. S., M. Hum.

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ..……… i

HALAMAN PERSETUJUAN………...……… ii

DAFTAR ISI ……….………... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...……… 1

B. Rumusan Masalah ……… 4

C. Tujuan Penelitian ……….……… 4

D. Manfaat Penelitian ……...……… 5

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR A. Landasan Teori ………….………... 6

1. Bahasa ……...………... 6

2. Diksi ………. 9

3. Gaya Bahasa ...………... 12

4. Campur Kode ………..19

5. Alih Kode ………... 22

6. Iklan ………..………. 24

7. Ragam Bahasa Iklan …..………... 27

B. Penelitian yang Relevan ..………... 28

C. Kerangka Berpikir ……...………... 29

BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ….………... 31

B. Bentuk dan Strategi Penelitian ………... 31

C. Populasi dan Sampel …...………... 32

D. Teknik Pengumpulan Data ……..………... 32

E. Validitas Data ………..………... 33

F. Analisis Data ………...………... 33

(16)

commit to user

PENGESAHAN

Proposal skripsi ini telah diseminarkan dan dipertahankan di hadapan Tim

Pembimbing Skripsi pada forum Seminar Proposal Skripsi Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk

memenuhi persyaratan dalam mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada hari :

Tanggal :

Mengetahui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dra. Raheni Suhita, M. Hum. Dr. Muhammad Rohmadi, S. S., M. Hum.

NIP 19630309 198803 2 0001 NIP 19761013 200212 1 0005

Ketua Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia,

Drs. Slamet Mulyono, M. Pd.

NIP 19620728 199003 1 002

Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni,

Drs. Soeparno, M. Pd.

(17)

KARAKTERISTIK PEMAKAIAN BAHASA DALAM IKLAN

KOMERSIAL DI RADIO

Oleh:

Esti Priastuti

NIM K1206020

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(18)

commit to user

KARAKTERISTIK PEMAKAIAN BAHASA

DALAM IKLAN KOMERSIAL

DI RADIO

Oleh :

ESTI PRIASTUTI

NIM K1206020

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa digunakan manusia sebagai alat komunikasi dalam upaya

berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya, hal tersebut tidaklah mutlak

bebas. Ada seperangkat aturan berbahasa yang telah disepakati oleh suatu

masyarakat. Suatu kelompok orang atau masyarakat merupakan lingkungan untuk

seseorang hidup dan bergaul dengan anggota-anggotanya yang lain sesuai dengan

tata nilai yang menjadi pedoman mereka dalam upaya berinteraksi dengan

sesamanya.

Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi adalah cerminan bahasa

masyarakat. Masyarakat dapat menyangkut masyarakat yang sangat luas dan

dapat pula menyangkut sekelompok kecil orang. Suatu kelompok orang yang

karena faktor daerah, profesi, dan hobi menggunakan bentuk bahasa dan penilaian

yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakannya, dapat

disebut sebagai masyarakat tutur. Variasi atau ragam bahasa yang digunakan

dalam komunikasi setiap masyarakat tutur selalu berbeda.

Bahasa sebagai bagian dari masyarakat merupakan gejala sosial yang tidak

dapat dilepaskan dari pemakaiannya. Pengkajian bahasa sebagai alat komunikasi

masyarakat dan segala aktivitasnya masuk dalam ranah ilmu sosiolinguistik.

Sosiolinguistik merupakan cabang ilmu bahasa yang mempelajari berbagai

macam ragam bahasa berkenaan dengan fungsi pemakaiannya. Dalam

sosiolinguistik, bahasa dikaji sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam

masyarakat. Setiap kegiatan kemasyarakatan manusia tidak akan terlepas dari

penggunaan bahasa. Sosiolinguistik memberikan pedoman dalam berkomunikasi

dengan menunjukkan bahasa, ragam bahasa atau gaya bahasa yang harus dipakai.

Pemakaian bahasa selalu dipengaruhi faktor linguistik dan faktor

nonlinguistik. Faktor linguistik tersebut adalah faktor sosial dan situasional.

(20)

commit to user

pemakaian bahasa yaitu siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa,

kapan, dan mengenai masalah apa. Hal ini dirumuskan oleh Fishman (dalam

Suwito, 1997: 3) Who speak what language to whom and when.

Fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai sarana komunikasi.

Setiap anggota masyarakat dan komunitas selalu terlibat dalam komunikasi

bahasa, baik dia bertindak sebagai komunikator (pembicara atau penulis) maupun

sebagai komunikan (mitra bicara, penyimak, pendengar, atau pembaca). Jika

bertolak pada fungsi dari bahasa, yaitu bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau

berkomunikasi (Chaer dan Agustina, 2004: 18), maka penggunaan bahasa

meliputi seluruh ranah kehidupan manusia, baik di bidang pendidikan, ekonomi,

perdagangan, kebudayaan, politik, hukum, maupun bidang-bidang kehidupan

yang lain. Bisa dikatakan, bahasa merupakan alat yang ampuh untuk berhubungan

dan bekerja sama. Keberagaman penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia

menyebabkan munculnya ragam bahasa. Setiap ragam bahasa memiliki ciri khas

tersendiri. Hal ini juga tampak pada ragam bahasa iklan.

Iklan merupakan salah satu bentuk komunikasi. Iklan dalam berbagai

media penyampaiannya ada yang diucapkan secara lisan, seperti melalui televisi,

radio, dan media elektronik lainnya. Iklan juga disampaikan melalui tulisan,

seperti dalam surat kabar, majalah, dan papan reklame. Radio, sebagai salah satu

media penyampai informasi, memiliki sumbangsih yang cukup besar terhadap

dunia periklanan. Radio merupakan sarana terhandal untuk menjangkau

orang-orang yang mungkin tidak mempunyai akses ke media yang lain. Radio dapat juga

menjangkau orang-orang yang buta huruf yang tidak dapat membaca surat kabar.

Penggunaan suara, baik vokal maupun musikal, menjadikan radio sebagai suatu

sarana iklan yang hidup dan lebih menarik jika dibandingkan dengan media iklan

yang pasif dan statis. Efek suara juga dapat digunakan untuk menajamkan kesan.

Pendengar radio secara otomatis akan terekspos iklan yang disiarkan pada waktu

mendengarkan radio.

Iklan dapat hadir di tengah-tengah siaran tanpa mengakibatkan orang

beralih ke siaran lainnya. Oleh karena itu, radio cocok digunakan untuk

(21)

bagi calon konsumen (seperti komputer pribadi atau jasa keuangan). Radio cepat

dalam penyampaian pesannya dan mudah dimengerti tanpa menuntut kemampuan

membaca dari pendengarnya. Radio, sebagai media komunikasi, menyajikan

berbagai macam programa dengan musik sebagai unsur yang essensial dalam

keseluruhan acara karena tulang punggung siaran radio adalah musik. Berbagai

program diolah dan diberi ilustrasi musik, termasuk dalam penyajian iklan.

Iklan berisi suatu pesan yang disiarkan kepada publik agar publik tertarik

pada isi informasi tersebut. Bahasa iklan dalam dunia periklanan digunakan untuk

menyampaikan informasi-informasi mengenai suatu produk atau jasa. Penggunaan

bahasa dalam iklan dibuat lebih menarik agar pesan yang disampaikan memiliki

nilai jual dan menarik perhatian publik, sehingga publik terbujuk untuk membeli

produk atau pun jasa yang ditawarkan. Sama halnya dengan penggunaan bahasa

dalam iklan di radio, pemakaian bahasa iklan memiliki sifat-sifat persuatif, gaul,

memakai ragam santai, memiliki unsur pengingat, dan lebih sering menggunakan

kata-kata yang berkonotasi. Pemakaian diksi atau pilihan kata dalam iklan di radio

sering didasarkan pada usia pendengar, daerah asal pendengar, tingkat sosial

pendengar, dan jenis produk yang diiklankan. Gaya bahasa yang dipakai harus

disesuaikan dengan mitra tutur atau pendengar, kebiasaan-kebiasaan perilaku atau

sasaran iklan, dan tempat-tempat yang biasa mereka melakukan aktivitasnya.

Penggunaan bahasa iklan dalam iklan komersial berikut ini merupakan salah satu

iklan komersial yang disiarkan oleh radio.

A : “Wa…h, Pak. Kita butuh dana banyak lho, Pak. Buat mantu.”

B : “Tenang saja, Buk. Kita ambil kredit di BPR Trihasta Prasojo saja.

Piye?”

A : “A…h Bapak iki, apa-apa kok andalane BPR Trihasta Prasojo. Dulu

waktu kredit pendidikan juga di sana. Bank lain kenapa to, Pak?”

C : “Bapak itu bener, Buk. Untuk anggunan kendaraan, kredit di BPR

Trihasta Prasojo prosesnya cepet. Hari ini daftar, besok cair. Ada juga ni kredit bidikan, kredit modal kerja, kredit konsumtif untuk barang-barang kebutuhan harian, dan ada juga kredit hajatan yang bebas bunga.”

A : “Wah, wah, wah, wa…h. Jangan-jangan syarate angel.”

B : “Angel piye to? Syaratnya ya umum saja. Fotokopi KTP suami istri dan

KK yang masih berlaku, fotokopi surat nikah, slip gaji, jaminan BPKB dan SHM. Lebih detail lagi ya ke BPR Trihasta Prasojo saja.”

(22)

commit to user

deposito dengan suku bunga bersaing yang dijamin LPS atau pemerintah sampai dengan dua milyar.”

A : “Kosik, kosik, kosik, kosik. BPR Trihasta Prasojo ini masih di tempat yang lama kan?”

C : “Masih dong, Buk. Kantor pusatnya itu masih di Jalan

Solo-Tawangmangu km 16 Palur telpon 825042.”

B : “Atau di komplek Ruko Beteng Blok A No. 6 Solo telpon 651358.”

A : “Kalau gitu let’s go yo, Pak ke BPR Trihasta Prasojo. Biar kreditnya

cepet cair. Aku selak pingin mantu.”

(Sumber: Radio JPI Sabtu, 03 Januari 2010)

Bahasa iklan yang digunakan dalam iklan di atas memunculkan ragam

bahasa informal dengan mencampur atau menggunakan beberapa bahasa dalam

satu tuturan. Pemilihan kata yang digunakan pun lebih terkesan santai, luwes,

komunikatif dan memiliki variasi yang berbeda untuk setiap jenis iklan, sehingga

bisa dikatakan penggunaan bahasa dalam iklan yang disiarkan radio tersebut

menarik dan laik untuk peneliti kaji. Dari sinilah, peneliti mencoba mengkaji lebih

dalam pemakaian bahasa iklan di radio tersebut yang peneliti tuangkan dalam

sebuah tulisan dengan judul Karakteristik Pemakaian Bahasa dalam Iklan

Komersial di Radio.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis dapat rumuskan

beberapa masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana karakteristik diksi dan gaya bahasa dalam iklan komersial yang

disiarkan Radio JPI?

2. Bagaimana wujud campur kode dan alih kode dalam iklan komersial yang

disiarkan Radio JPI?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tulisan ini bertujuan untuk:

1. mendeskripsikan karakteristik diksi dan gaya bahasa dalam iklan komersial

yang disiarkan Radio JPI.

2. mendeskripsikan wujud campur kode dan alih kode dalam iklan komersial

(23)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoretis

Penelitian ini diharapkan nantinya dapat menambah khazanah penelitian

ilmu bahasa dan sastra Indonesia, khususnya tentang karakteristik pemakaian

bahasa iklan.

2. Manfaat praktis

a. Bagi siswa

Dapat menambah pengetahuan dan pemahaman siswa tentang

karakteristik bahasa iklan, khususnya dalam pemilihan kata dan penggunaan

gaya bahasa.

b. Bagi pengajar bahasa dan sastra Indonesia

Dapat dijadikan tambahan materi ajar bahasa dan sastra Indonesia,

khususnya yang terkait dengan pilihan kata, gaya bahasa, campur kode dan

alih kode ragam bahasa iklan.

c. Bagi praktisi radio

Dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam pembuatan iklan

komersial, khususnya yang terkait dengan pemilihan diksi.

d. Bagi penelitian lain

Dapat dijadikan referensi untuk penelitian lain yang berkaitan dengan

(24)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Landasan Teori

1. Bahasa

a. Hakikat Bahasa

Bahasa merupakan lambang atau sebuah rangkaian bunyi yang

membentuk suatu arti tertentu. Subroto berpendapat bahwa bahasa memiliki

sistem, asas-asas, pola-pola yaitu seperangkat kaidah yang bersifat mengatur dan

merupakan paduan dari aspek bentuk (formal aspect) dan aspek arti (semantic

aspect) bahkan juga aspek situasi (1997: 18). Sedikit berbeda dengan pendapat

tersebut, Wirjosoedarmo (dalam Husein dan Banasuru, 1996: 4) mengatakan

bahwa bahasa sebagai alat komunikasi antaranggota masyarakat, yang berupa

bunyi suara atau tanda atau isyarat atau lambang yang dikeluarkan oleh manusia

untuk menyampaikan isi hati kepada manusia.

Kridalaksana (dalam Chaer, 1994: 32) mengatakan bahasa adalah sistem

lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial

untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Manusia

mengumpulkan lambang-lambang ini dan menyusun segala sesuatu yang

dikenalnya sebagai perbendaharaan kata-kata. Perbendaharaan ini pada

hakikatnya merupakan akumulasi pengalaman dan pemikiran mereka.

Pandangan muncul dari linguistik struktural dengan tokoh Bloomfield

(dalam Sumarsono dan Partana, 2002: 18) bahwa bahasa adalah sistem lambang

berupa bunyi yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) yang dipakai oleh

anggota-anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan berinteraksi. Bahasa

mempunyai aturan-aturan yang saling bergantung dan mengandung struktur

unsur-unsur yang bisa dianalasis secara terpisah-pisah, karena merupakan suatu

sistem. Sedikit lebih rinci, Hockett (dalam Chaer, 1994: 284) menyatakan bahwa

bahasa adalah suatu sistem yang kompleks dari kebiasaan-kebiasaan.

(25)

gramatika, subsistem fonologi, subsistem morfofonemik, subsistem semantik, dan

subsistem fonetik. Hymes (dalam Purwoko, 2008: 4) mengatakan bahwa bahasa

adalah sesuatu yang integral dengan budaya sehingga bahasa merupakan petunjuk

simbolik menuju budaya. Bahasa sebagai pedoman simbolik untuk memahami

budaya masyarakat yang sedang diteliti, sehingga perilaku budaya akan tercermin

dalam penggunaan bahasa oleh penutur aslinya.

Dari berbagai pendapat para ahli di atas, penulis dapat simpulkan bahwa

bahasa bukan sekedar alat komunikasi, melainkan juga sebagai alat untuk

menunjukkan identitas kelompok. Bahasa adalah satu sistem untuk mewakili

benda, tindakan, gagasan dan keadaan. Bahasa erat kaitannya dengan kognisi pada

manusia. Bahasa senantiasa diperkaya oleh seluruh lapisan masyarakat yang

menggunakannya. Adanya bahasa memungkinkan manusia untuk memikirkan

sesuatu dalam kepala mereka, meskipun obyek yang sedang dipikirkan tersebut

tidak berada di dekatnya. Manusia dengan kemampuan berbahasanya

memungkinkan untuk memikirkan suatu masalah secara terus menerus. Bukan itu

saja, dengan bahasa manusia pun dapat mengekspresikan sikap dan perasaannya.

b. Fungsi Bahasa

Kata fungsi, dalam arti yang paling sederhana, dapat dipandang sebagai

padanan kata guna dan penggunaan. Dengan demikian, fungsi bahasa dapat

diartikan sebagai cara orang menggunakan bahasa mereka, atau bahasa-bahasa

mereka bila mereka berbahasa lebih dari satu bahasa. Jika dinyatakan dalam

pengertian yang lebih sempit, yaitu orang melakukan sesuatu dengan bahasa

mereka; dengan cara bertutur dan menulis, mendengarkan dan membaca, mereka

berharap dapat mencapai banyak sasaran dan tujuan.

Fungsi bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi dapat dilakukan dengan

cara lisan maupun tertulis. Komunikasi lisan, biasanya, dilakukan dalam

percakapan antar-anggota keluarga dan percakapan dengan teman akrab.

Komunikasi lisan dapat dilakukan langsung atau melalui alat perantara, misalnya

telepon. Komunikasi secara tertulis dapat dilakukan dengan surat menyurat

(26)

commit to user

Di dalam kehidupan masyarakat fungsi bahasa secara tradisional dapat

dikatakan sebagai alat komunikasi verbal yang digunakan oleh masyarakat untuk

berkomunikasi. Akan tetapi, fungsi bahasa tidak hanya semata-mata sebagai alat

komunikasi. Ada beberapa pengelompokan fungsi kebahasaan yang sudah

dikenal, misalnya pengelompokan yang dikemukakan oleh Malinowski (dalam

Halliday dan Hasan, 1992: 20). Dia mengelompokkan fungsi bahasa ke dalam

dua kelompok besar, yaitu penggunaan bahasa yang praktis atau pragmatik dan

penggunaan bahasa yang ritual atau magis yang berkaitan dengan

kegiatan-kegiatan seremonial atau keagamaan dalam kebudayaan.

Berbeda dengan pendapat di atas, seorang pakar psikologi, Bűhler (dalam

Halliday dan Hasan, 1992: 20) mengatakan fungsi bahasa bukan dari sudut

pandangan kebudayaan, tetapi dari sudut pandangan perseorangan. Lebih jelasnya,

dia membedakan fungsi bahasa ke dalam bahasa ekspresif (terarah pada diri

sendiri/si pembicara), bahasa konatif (terarah pada lawan bicara) dan bahasa

representasional (terarah pada kenyataan lainnya). Secara lebih rinci, Morris

(dalam Halliday dan Hasan, 1992: 21) mengelompokkan fungsi bahasa menjadi

empat fungsi, yaitu information talking (pertukaran keterangan), mood talking

(fungsi ekspresif), exploratory talking (ujaran untuk kepentingan ujaran, fungsi

estetis, fungsi drama), dan grooming talking (tuturan yang sopan dan tidak berarti

dalam peristiwa-peristiwa sosial).

Chaer (1994: 15) berpendapat bahwa fungsi bahasa yang menjadi

persoalan dalam sosiolingustik adalah dari segi penutur, pendengar, topik, kode,

dan amanat pembicaraan. Maksud dari pernyataan tersebut adalah fungsi bahasa

akan berbeda apabila ditinjau dari sudut pandang yang berbeda. Berkaitan dengan

fungsi bahasa, Halliday (dalam Sumarlam, 2005: 25) mengemukakan tujuh fungsi

bahasa, di antaranya: (1) fungsi instrumental; (2) fungsi regulasi; (3) fungsi

pemerian/representasi; (4) fungsi interaksi; (5) fungsi perorangan; (6) fungsi

heuristik; dan (7) fungsi imajinatif. Dari berbagai pendapat di atas, penulis lebih

condong pada pendapat yang dikemukakan oleh Chaer bahwa pada intinya fungsi

(27)

seperti ditinjau dari sudut pandang penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat

pembicaraan.

2. Diksi

a. Hakikat Diksi

Diksi merupakan pemilihan kata untuk mengungkapkan gagasan. Pilihan

kata bukanlah masalah sederhana karena menyangkut persoalan yang bersifat

dinamis, inovatif, dan kreatif sejalan dengan perkembangan masyarakat

penunturnya. Diksi merujuk pada pemilihan kata dan gaya ekspresi oleh penulis

atau pembicara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 264) diksi berarti

pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan

gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan). Diksi atau

pilihan kata yang baik berhubungan dengan pemilihan kata yang bermakna tepat

dan selaras, yang penggunaannya cocok dengan pokok pembicaraan, peristiwa

dan khalayak pembaca atau pendengar.

Pilihan kata atau diksi bukan saja untuk menyatakan kata-kata yang

dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi

persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan (Keraf, 2007: 23). Fraseologi

mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya. Gaya

bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang

individual atau karakterisitik.

Pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata yang harus dipakai

untuk mencapai suatu gagasan, membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat

atau menggunakan ungkapan-ungkapan. Pilihan kata atau diksi adalah

kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang

ingin disampaikan dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan

situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Pilihan kata

yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh seseorang yang memiliki

(28)

commit to user

b. Hakikat Kata

Kata merupakan tataran terendah dalam tataran gramatikal bahasa. Kata

merupakan kunci utama dalam upaya membentuk tulisan. Kata adalah

sekumpulan huruf atau bunyi ujaran yang mengandung arti. Para tata bahasawan

tradisional biasanya memberi pengertian terhadap kata berdasarkan arti dan

ortografi. Mereka berpendapat bahwa kata adalah satuan bahasa yang memiliki

satu pengertian; atau kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua spasi, dan

mempunyai satu arti (Chaer, 1994: 162). Sementara itu, batasan kata yang dibuat

Bloomfield (dalam Chaer, 1994: 163) kata adalah satuan bebas terkecil (a minimal

free form).

Kata sebagai satuan dari perbendaharaan kata sebuah bahasa mengandung

dua aspek, yaitu aspek bentuk atau ekspresi (dapat diserap dengan panca indera)

dan aspek isi makna (reaksi yang timbul pada pendengar atau pembaca) (Keraf,

2007: 25). Chomsky (dalam Chaer, 1994: 163) mengatakan kata adalah dasar

analisis kalimat, menyajikan kata itu dengan simbol-simbol V (verba), N

(nomina), A (adjektiva), dan sebagainya. Batasan kata yang umum dijumpai

dalam berbagai buku linguistik Eropa adalah bahwa kata merupakan bentuk yang

ke dalam mempunyai susunan fonologis yang stabil dan tidak berubah, dan keluar

mempunyai kemungkinan mobilitas di dalam kalimat.

Batasan tersebut menyiratkan dua hal, yaitu (1) bahwa setiap kata

mempunyai susunan fonem yang urutannya tetap dan tidak dapat berubah, serta

tidak dapat diselipi atau diselang oleh fonem lain dan (2) setiap kata mempunyai

kebebasan berpindah tempat di dalam kalimat atau tempatnya dapat diisi atau

digantikan oleh kata lain, atau juga dapat dipisahkan dari kata lainnya. Dari

berbagai pendapat di atas, penulis coba simpulkan bahwa kata adalah satuan bebas

terkecil yang memiliki satu pengertian atau arti, baik dalam bentuk verba (kata

kerja), nomina (kata benda), adjektiva (kata sifat), maupun bentuk-bentuk yang

(29)

c. Klasifikasi Kata

Klasifikasi kata adalah penggolongan kata atau penjenisan kata. Dalam

peristilahan bahasa Inggris disebut juga part of speech (Chaer, 1994: 166). Para

tata bahasawan tradisional menggunakan kriteria makna dan kriteria fungsi untuk

mengklasifikasikan kata. Kriteria makna digunakan untuk mengidentifikasi kelas

verba, nomina, dan ajektiva; sedangkan kriteria fungsi digunakan untuk

mengidentifikasi preposisi, konjungsi, adverbia, pronomina. Mereka mengatakan

(dalam Chaer, 1994: 163) yang disebut verba adalah kata yang menyatakan

tindakan atau perbuatan; yang disebut nomina adalah kata yang menyatakan

benda atau yang dibendakan; dan yang disebut konjungsi adalah kata yang

bertugas atau berfungsi untuk menghubungkan kata dengan kata, atau bagian

kalimat yang satu dengan bagian yang lain.

Berbeda dengan Keraf, dalam bukunya yang berjudul Diksi dan Gaya

Bahasa, dia menjelaskan bahwa untuk mencapai ketepatan pengertian lebih baik

memilih kata khusus daripada kata umum (2007: 89). Kata umum dan kata khusus

dibedakan berdasarkan luas tidaknya cakupan makna yang dikandungnya. Jika

sebuah kata mengacu pada suatu hal atau kelompok yang luas bidang lingkupnya

maka kata itu disebut kata umum, sedangkan jika ia mengacu pada

pengarahan-pengarahan khusus dan kongkret maka disebut kata khusus.

Para tata bahasawan strukturalis (dalam Chaer, 1994: 167) membuat

klasifikasi kata berdasarkan distribusi kata itu dalam suatu struktur atau

konstruksi. Nomina adalah kata yang dapat berdistribusi di belakang kata bukan.

Verba adalah kata yang dapat berdistribusi di belakang kata tidak. Adjektifa

adalah kata-kata yang dapat berdistribusi di belakang kata sangat. Kelompok

linguis (dalam Chaer, 1994: 168) menggunakan kriteria fungsi sintaksis sebagai

patokan untuk menentukan kelas kata. Secara umum, fungsi subyek diisi oleh

kelas nomina; fungsi predikat diisi oleh verba atau adjektifa; fungsi objek diisi

oleh kelas nomina; dan fungsi keterangan diisi oleh adverbia.

(30)

commit to user

d. Hakikat Makna

Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu

melekat dari suatu ujaran yang kita tuturkan. Istilah makna memiliki pengertian

yang beragam. Pateda (2001: 79) mengemukakan istilah makna merupakan

kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada

tuturan kata maupun kalimat. Makna kata merupakan hubungan antara bentuk

dengan hal atau barang yang diwakilinya (referen-nya) (Keraf, 2007: 25). Makna

adalah pertalian antara bentuk dengan referennya.

Senada dengan pendapat di atas, Ullman (dalam Pateda, 2001: 82)

mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian.

Sementara itu, Saussure (dalam Chaer, 1994: 286) mengungkapkan pengertian

makna sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu

tanda linguistik. Bloomfield (dalam Wahab, 1995: 40) mengemukakan bahwa

makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas-batas

unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya.

Terkait dengan hal tersebut, Aminuddin (1998: 50) mengemukakan bahwa

makna merupakan hubungan antara bahasa dengan bahasa luar yang disepakati

bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti. Dari pengertian

para ahli bahasa di atas, dapat penulis simpulkan bahwa batasan tentang

pengertian makna sangat sulit ditentukan karena setiap pemakai bahasa memiliki

kemampuan dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah ujaran atau

kata.

e. Jenis Makna

Ada berbagai jenis makna di dalam bahasa yang secara dikotomis

dibedakan menjadi beberapa macam. Penggolongan makna dilihat dari sudut

pandang yang berbeda-beda. Wijana dan Rohmadi (2008: 22-26) menggolongkan

jenis-jenis makna menjadi 8, yang meliputi: (1) makna leksikal; (2) makna

gramatikal; (3) makna denotatif; (4) makna konotatif; (5) makna literal; (6) makna

figuratif; (7) makna primer; dan (8) makna sekunder.

Makna leksikal lazim dipandang sebagai sifat kata sebagai unsur leksikal.

[image:30.595.110.515.241.486.2]
(31)

yang satu dengan unsur yang lain, sedangkan makna gramatikal adalah makna

yang muncul dengan menggabungkan unsur yang satu dengan yang lain (Wijana

dan Rohmadi, 2008: 22).

Jenis makna yang selanjutnya yaitu makna denotasi dan makna konotasi.

Makna denotasi dan makna konotasi oleh para ahli semantik lazim dibedakan.

Makna denotasi adalah referensi pada sesuatu yang ekstralingual menurut makna

kata yang bersangkutan, sedangkan makna konotasi adalah “arti” yang dapat

muncul pada penutur akibat penilaian afektif atau emosional (Verhaar,

2008: 390). Senada dengan pendapat tersebut, Wijana dan Rohmadi (2008: 23)

mengungkapkan bahwa makna denotatif adalah keseluruhan komponen makna

yang dimiliki oleh sebuah kata atau makna yang langsung berhubungan dengan

acuan yang ditunjuk oleh kata atau ujaran, sedangkan makna konotatif adalah

makna suatu kata yang muncul karena pengaruh nilai atau rasa emotifnya.

Makna literal adalah makna yang langsung menunjuk pada sesuatu, baik

benda, gejala, kenyataan, peristiwa maupun proses; makna yang langsung

berhubungan dengan acuan yang ditunjuk oleh kata atau ujaran. Makna figuratif

adalah makna bentuk kebahasaan yang menyimpang dari referennya (Wijana dan

Rohmadi, 2008: 25). Makna primer adalah makna satuan kebahasaan yang dapat

diidentifikasi tanpa bantuan konteks, sedangkan makna sekunder adalah makna

satuan kebahasaan yang dapat diidentifikasi dengan bantuan konteks (Wijana dan

Rohmadi, 2008: 26).

Berbeda dengan pendapat di atas, Keraf (2007: 27) membedakan

jenis-jenis makna menjadi dua, yaitu makna konotatif dan makna denotatif. Makna

konotatif muncul jika makna suatu kata mengandung makna tambahan, perasaan

tertentu, atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar; sedangkan makna

denotatif adalah suatu makna yang muncul jika makna suatu kata tidak

mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan, hanya makna dasarnya

saja.

f. Hubungan Makna

(32)

commit to user

pertentangan, dan tumpang tindih. Dalam hal ini, para ahli semantik telah

mengklasifikasikan hubungan makna ke dalam beberapa kategori, yang meliputi:

sinonimi, antonimi, polisemi, homonimi, dan hiponimi.

1) Sinonimi

Sinonimi digunakan untuk menyatakan sameness of meaning

‘kesamaan arti’ (Djajasudarma, 1993: 36). Wijana dan Rohmadi (2008: 28)

mengungkapkan bahwa sinonimi, yaitu hubungan atau relasi persamaan

makna. Dalam bahasa Indonesia terdapat kata wafat, gugur, meninggal,

dan mati sering dikatakan bersinonim, tetapi masing-masing kata

mempunyai tempat sendiri dalam pemakaiannya sehari-hari.

Sama halnya dengan pendapat di atas, Keraf (2007: 34) berpendapat

bahwa sinonimi adalah telaah dua kata atau lebih yang memiliki makna

yang sama. Istilah sinonim digunakan untuk menyatakan kata-kata yang

memiliki makna yang sama. Sinonim digunakan untuk menghindari

pengulangan kata untuk gagasan yang sama. Meskipun demikian, sedikit

sekali kata yang bersinonim secara sempurna, dalam arti bisa

dipertukarkan dalam segala konteks tanpa ada perubahan sedikit pun dari

makna objektifnya, rasa nada atau nilai evokatifnya. Jika ada dua kata atau

lebih untuk mengekspresikan satu gagasan, maka akan dipilih satu kata

yang paling cocok untuk konteksnya, yaitu kata yang paling mampu

memuat beban emosi dan tekanan (empasis), yang paling serasi untuk

struktur fonetik kalimat, dan yang paling mampu mendukung nada umum

ujaran.

Collinson (dalam Ullman, 2007: 177) mentabulasikan

perbedaan-perbedaan antara sinonimi, yang meliputi: a) satu kata lebih umum dari

yang lain, misal kata binatang-hewan; b) satu kata lebih intens dari yang

lain, misal kata mengamati-memandang; c) satu kata lebih emotif dari yang

lain, misal kata memohon-meminta; d) satu kata lebih profesional dari yang

lain, misal kata riset-penelitian; e) satu kata lebih literer dari yang lain,

misal kata mafhum-memahami; f) satu kata lebih kolokial dari yang lain,

(33)

lu-kamu; h) satu kata dapat mencakup penerimaan atau penolakan moral

sedang yang lain netral, misal kata sedekah-pemberian; dan i) salah satu

dari sinonim termasuk bahasa kanak-kanak, misal kata mimik-minum.

Sinonim adalah kata-kata yang memiliki kesamaan atau kemiripan

makna. Dalam bahasa iklan sekali pun, sinonim lebih membuka peluang

untuk memilih kosakata yang lebih sesuai dengan konteks tanpa harus

mengubah gagasan. Penggunaan kata mulus, yang bersinonim dengan kata

halus, lebih sering digunakan dalam bahasa iklan kecantikan dibanding

dengan kata halus. Selain itu, penggunaan sinonim mampu mengadakan

variasi dalam pemakaian kosakata sehingga ujaran atau tuturan yang

ditampilkan menjadi lebih segar, dan menarik.

2) Antonimi

Antonimi adalah relasi antarmakna yang wujud logisnya sangat

berbeda atau bertentangan (Keraf, 2007: 39). Istilah antonimi dipakai

untuk menyatakan lawan makna, sedangkan kata yang berlawanan disebut

antonim. Rustamaji (2003: 47) mengungkapkan bahwa antonim adalah

kata-kata yang memiliki makna yang berlawanan.

Senada dengan pendapat di atas, Wijana dan Rohmadi (2008: 30)

mengatakan bahwa antonimi, yaitu perlawanan makna. Antonim adalah

suatu kata yang artinya berlawanan satu sama lain, misal kata keras

-lembek, naik-turun, kaya-miskin, surga-neraka, laki-laki-perempuan, atas

-bawah.

3) Polisemi

Wijana dan Rohmadi (2008: 37) mengatakan bahwa polisemi, yaitu

sebuah bentuk kebahasaan yang memiliki berbagai macam makna. Senada

dengan pendapat tersebut, Keraf (2007: 36) berpendapat bahwa polisemi

adalah suatu bentuk kata yang mempunyai beberapa makna. Polisemi

adalah suatu kata yang memiliki makna ganda. Namun demikian, di antara

(34)

commit to user

4) Homonimi

Wijana dan Rohmadi (2008: 53) mengatakan bahwa homonimi, yaitu

dua kata atau lebih yang secara kebetulan memiliki pola bunyi yang sama.

Homonim adalah suatu kata yang memiliki makna yang berbeda tetapi

lafal atau ejaan sama. Jika lafalnya sama disebut homograf, namun jika

yang sama adalah ejaannya maka disebut homofon.

Sementara itu, Keraf (2007: 36) berpendapat bahwa homonimi

adalah dua kata atau lebih, tetapi memiliki bentuk yang sama (homograf

dan homofon). Kata amplop dalam kalimat Untuk mengirim surat kepada

bapak presiden kita harus menggunakan amplop memiliki arti yang

berbeda dengan kata amplop dalam kalimat Agar bisa diterima menjadi

PNS ia memberi amplop kepada para pejabat. Kata amplop pada kalimat

pertama memiliki arti amplop surat biasa, sedangkan pada kalimat kedua

memiliki arti sogokan atau uang pelicin.

5) Hiponimi

Hiponimi merupakan cakupan-cakupan makna dalam sebuah makna

yang lain. Hiponim adalah suatu kata yang maknanya telah tercakup oleh

kata yang lain (Rustamaji, 2003: 48). Hubungan makna kata yang satu

dengan yang lain akan menghasilkan kata (superordinat dan subordinat).

Kata bunga yang merupakan superordinat dapat menghasilkan kata melati,

mawar, anggrek yang merupakan subordinat.

Wijana dan Rohmadi (2008: 68) mengatakan bahwa hiponimi, yaitu

hubungan semantik antara makna spesifik dan makna generik; atau antara

anggota taksonomi dengan nama taksonomi. Hampir sama dengan

pendapat tersebut, Keraf (2007: 36) berpendapat bahwa hiponimi adalah

semacam relasi antarkata yang dalam suatu makna terkandung sejumlah

komponen yang lain.

Dari berbagai pendapat dari para ahli bahasa di atas, penulis coba

simpulkan bahwa hubungan makna meliputi sinonim, yaitu dua buah kata

yang mempunyai kemiripan makna diantaranya disebut dua kata yang

(35)

makna yang berlawanan; hiponim, yaitu menyatakan hubungan makna

yang mengandung pengertian hubungan hierarkis. Bila sebuah kata

memiliki semua komponen makna kata lainnya, tetapi tidak sebaliknya,

maka hubungan itu disebut hiponimi; homonimi, yaitu bila terdapat dua

buah makna atau lebih yang dinyatakan dengan sebuah bentuk yang sama;

dan polisemi, yaitu kata yang mempunyai banyak makna.

g. Ungkapan atau idiom

Dalam bahasa Indonesia, idiom disejajarkan dengan pengertian peribahasa.

Idiom adalah pola-pola struktural yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa

yang umum, biasanya berbentuk frasa, sedangkan artinya tidak bisa diterangkan

secara logis atau secara gramatikal, dengan bertumpu pada makna kata-kata yang

membentuknya (Keraf, 2007: 109). Pemahaman makna idiomatis tiada cara lain

kecuali dengan cara memahami istilah demi istilah secara benar.

Hampir senada dengan pendapat di atas, Rustamaji mengungkapkan idiom

atau ungkapan adalah kata yang memiliki makna khusus dan tidak dapat

diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa dan situasi lain (2003: 45).

Bentuk-bentuk idiom hanya bisa dipelajari dari pengalaman-pengalaman, bukan

melalui peraturan-peraturan umum bahasa. Hal ini disebabkan, sebuah idiom

bersifat tradisional dan bukan bersifat logis. Kata-kata tertentu yang terusun dalam

suatu idiom mampu mengungkapkan atau menggambarkan siatuasi secara cermat.

Dalam Ensiklopedia Bebas dikatakan bahwa idiom merupakan suatu

ungkapan (seperti istilah atau frase) yang maknanya tak dapat diturunkan dari

definisi langsung dan penyusunan bagian-bagiannya, melainkan merupakan suatu

makna tak langsung yang hanya dikenal melalui penggunaan umum. Dalam ilmu

bahasa atau linguistik, idiom umumnya dianggap sebagai gaya bahasa yang

bertentangan dengan prinsip penyusunan (principle of compositionality). Idiom

dapat membingungkan orang yang belum terbiasa dengannya.

Orang-orang yang belajar suatu bahasa harus mempelajari makna idiom

bahasa tersebut sebagaimana mereka mempelajari kosa kata lain dalam bahasa itu.

(36)

commit to user

kata-kata yang membentuknya. Beberapa contoh dari idiom yang diambil dari

bahasa Indonesia antara lain: cuci mata, kambing hitam, jago merah, kupu-kupu

malam, dan hidung belang. Dari beberapa pengertian di atas, dapat dikatakan

bahwa idiom atau disebut juga dengan ungkapan adalah gabungan kata yang

membentuk arti baru yang tidak berhubungan dengan kata pembentuk dasarnya.

h. Kata-kata Gaul

Secara harfiah, istilah gaul memiliki arti hidup berteman (KBBI,

2005: 339). Bahasa gaul merupakan bahasa pergaulan. Bahasa gaul sudah muncul

sejak tahun 1970-an. Bahasa gaul juga sering disebut dengan bahasa prokem. Kata

prokem merupakan bahasa pergaulan dari preman. Bahasa gaul atau prokem

awalnya digunakan oleh kalangan preman untuk berkomunikasi satu sama lain

secara rahasia. Bahasa prokem yang berkembang di Indonesia lebih dominan

dipengaruhi oleh bahasa Betawi yang mengalami penyimpangan atau

pengubahsuaian pemakaian kata oleh kaum remaja Indonesia yang menetap di

Jakarta. Saragih (2010) mengatakan bahwa bahasa gaul dianggap lebih bergengsi

karena merupakan campuran antara bahasa masyarakat ibu kota (etnis Betawi)

dengan bahasa asing, sehingga masyarakat khususnya remaja secara psikologis

ingin dianggap memiliki gengsi yang lebih tinggi dengan menggunakan bahasa

gaul.

Dalam konteks kekinian, bahasa pergaulan anak-anak remaja merupakan

dialek bahasa Indonesia non-formal. Pada dasarnya, bahasa gaul digunakan untuk

memberikan kode kepada lawan bicara. Rumusan bahasa gaul di tiap komunitas

atau daerah berbeda satu sama lain, termasuk bahasa gaul yang digunakan oleh

kalangan militer, kalangan kepolisian, atau kalangan homo seksual (waria) di

suatu daerah atau komunitas.

Penggunaan bahasa gaul menjadi lebih dikenal khalayak ramai. Bahasa

gaul telah banyak terasimilasi dan menjadi umum digunakan sebagai bentuk

percakapan sehari-hari dalam pergaulan di lingkungan sosial, bahkan dalam

media-media populer serperti TV, radio, dunia perfilman nasional, dan seringkali

digunakan dalam bentuk pengumuman-pengumuman. Bahasa gaul merupakan

(37)

sementara, dan hanya berupa variasi bahasa. Penggunaan bahasa gaul meliputi

kosakata, ungkapan, singkatan, intonasi, pelafalan, pola, konteks dan distribusi.

Kelompok-kelompok tertentu yang menggunakan bahasa gaul (Ensiklopedia

Bebas) seringkali merancang kata-kata baru dengan cara mengganti kata ke lawan

kata, mencari kata sepadan, menentukan angka-angka, penggantian fonem,

distribusi fonem, penambahan awalan, sisipan, atau akhiran. Kelompok-kelompok

tertentu tersebut menciptakan ungkapan-ungkapan baru yang sifatnya tidak baku.

Struktur dan tatabahasa dari bahasa gaul tidak terlalu jauh berbeda dari

bahasa formal, yaitu bahasa Indonesia. Perbedaan utama antara bahasa formal

dengan bahasa gaul, yaitu dalam hal perbedaharaan kata. Kosakata yang dimiliki

hanya merupakan singkatan dari bahasa formalnya. Saleh (2006) menyatakan

bahwa kosakata bahasa gaul sering tidak beraturan atau tidak memiliki rumus

tertentu, sehingga perlu upaya untuk menghafal setiap kali muncul istilah atau

kata baru. Salah satu kosakata baru dalam bahasa gaul yang tidak memiliki rumus

tertentu, misal untuk sebuah lawakan yang tidak lucu biasa disebut dengan istilah

garing, jayus, jasjus; untuk sesuatu yang tidak bagus atau tidak cocok biasa

disebut dengan istilah cupu.

Partikel sich, nich, tuh, dan dong merupakan sebagian dari

partikel-partikel bahasa gaul yang membuatnya terasa lebih hidup dan membumi,

menghubungkan satu anak muda dengan anak muda lain dan membuat mereka

merasa berbeda dengan orang-orang tua yang berbahasa baku. Partikel-partikel

bahasa gaul memiliki arti jauh lebih bermakna melebihi jumlah huruf yang

menyusunnya. Partikel-partikel tersebut mampu memberikan informasi tambahan

kepada orang lain yang tidak dapat dilakukan oleh bahasa Indonesia baku seperti

tingkat keakraban antara pembicara dan pendengar, suasana hati atau ekspresi

pembicara, dan suasana pada kalimat yang diucapkan.

Kosakata bahasa gaul di Indonesia diambil dari kosakata bahasa yang

hidup di lingkungan kelompok remaja tertentu. Pembentukan kata dan maknanya

sangat beragam dan bergantung pada kreativitas pemakainya. Bahasa gaul

(38)

commit to user

menggunakan bahasa gaul, mereka ingin menyatakan diri sebagai anggota

kelompok masyarakat yang berbeda dari kelompok masyarakat yang lain.

3. Gaya Bahasa

a. Hakikat Gaya Bahasa

Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah

style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk

menulis pada lempengan lilin (Keraf, 2007: 112). Ada dua aliran yang terkenal,

yaitu: (1) Aliran Platonik yang menganggap style sebagai kualitas suatu ungkapan

dan (2) Aliran Aristoteles yang menganggap bahwa gaya adalah suatu kualitas

yang inheren, yang ada dalam tiap ungkapan.

Majas atau gaya bahasa adalah cara pengarang atau seseorang yang

mempergunakan bahasa sebagai alat mengekspresikan perasaan dan buah pikiran

yang terpendam di dalam jiwanya (Rustamaji, 2003: 83). Kata gaya secara umum

dapat dikatakan sebagai cara mengungkapkan diri sendiri, baik melalui bahasa,

tingkah laku, maupun cara berpakaian. Semakin baik gaya bahasa seseorang,

semakin baik pula penilaian orang lain terhadap orang tersebut; sebaliknya

semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin buruk pula penilaian diberikan

pada orang tersebut. Dari beberapa pendapat dia atas dapat penulis simpulkan

bahwa style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran

melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian seseorang

(pemakai bahasa).

b. Macam-macam Gaya Bahasa

Gaya bahasa atau majas dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut

pandang. Pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat tentang gaya bahasa

sejauh ini sekurang-kurangnya dapat dibedakan, pertama, dilihat dari segi

nonbahasa, dan kedua dilihat dari segi bahasanya sendiri (Keraf, 2007: 115). Pada

dasarnya majas atau gaya bahasa dapat dibagi menjadi empat, yang meliputi:

(1) majas perbandingan; (2) majas sindiran; (3) majas penegasan; dan (4) majas

(39)

1) Majas perbandingan

Majas perbandingan adalah majas yang berupa kata-kata kias untuk

menyatakan perbandingan untuk meningkatkan kesan dan pengaruhnya

terhadap pendengar atau pembaca. Majas perbandingan dibagi menjadi

lima belas, di antaranya: (1) gaya bahasa personifikasi; (2) gaya bahasa

metafora; (3) gaya bahasa eufemisme; (4) gaya bahasa sinekdokhe;

(5) gaya bahasa alegori; (6) gaya bahasa hiperbola; (7) gaya bahasa

simbolik; (8) gaya bahasa litotes; (9) gaya bahasa alusio; (10) gaya bahasa

asosiasi; (11) gaya bahasa perifrasis; (12) gaya bahasa metonimia;

(13) gaya bahasa antonomasia; (14) gaya bahasa tropen; dan (15) gaya

bahasa parabel.

Majas personifikasi adalah majas yang melukiskan suatu benda

dengan memberikan sifat-sifat manusia kepada benda-benda mati,

sedangkan majas metafora adalah majas yang melukiskan suatu benda

dengan perbandingan langsung dengan benda lain atas dasar sifat yang

sama atau hampir sama (Rustamaji, 2003: 83). Contoh dari masing-masing

gaya bahasa di atas, misalnya Baru 3 km berjalan mobilnya sudah

batuk-batuk (personifikasi) dan Raja siang (matahari) telah pergi ke

peraduannya (metafora). Sementara itu, majas eufemisme adalah majas

yang melukiskan suatu benda dengan kata-kata yang lebih lembut dan

sopan untuk menggantikan kata-kata lain, misal Para tunakarya perlu

perhatian yang serius dari pemerintah.

Keraf (2007: 142) menyatakan bahwa majas sinekdokhe adalah

suatu istilah yang diturunkan dari kata Yunani synekdechesthai yang

berarti menerima bersama-sama. Majas ini dibedakan menjadi dua, yaitu:

sinekdokhe pars pro toto dan sinekdokhe totem pro parte. Rustamaji

(2003: 83) mengatakan sinekdokhe pars pro toto adalah majas yang

menuliskan sebagian tetapi yang dimaksud adalah seluruhnya, sebaliknya

totem pro parte adalah majas yang melukiskan keseluruhan tetapi yang

(40)

commit to user

lima ekor kuda (pars pro toto) dan Kaum wanita memperingati hari

Kartini (totem pro parte).

Untuk majas alegori, Rustamaji (2003: 84) menyatakan bahwa

majas alegori adalah majas yang memperlihatkan suatu perbandingan utuh

dan membentuk kesatuan yang menyeluruh, misal Hidup ini

diperbandingkan dengan perahu yang tengah berlayar di lautan. Berbeda

dengan pendapat di atas, Keraf berpendapat bahwa majas alegori adalah

suatu cerita singkat yang mengandung kiasan (2007: 140). Sementara itu,

majas hiperbola adalah majas yang melukiskan sesuatu dengan mengganti

peristiwa atau tindakan sesungguhnya dengan kata-kata yang lebih hebat

pengertiannya untuk menyangatkan arti, misal Kakak membanting tulang

demi menghidupi keluarganya. Senada dengan pengertian di atas, Keraf

(2007: 135) menyatakan bahwa hiperbol adalah semacam gaya bahasa

yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan

membesar-besarkan sesuatu hal.

Majas simbolik adalah majas yang melukiskan sesuatu dengan

memperbandingkan benda-benda lain sebagai simbol atau perlambang,

misal Dari dulu tetap saja ia menjadi lintah darat. Litotes adalah majas

yang melukiskan keadaan dengan kata-kata yang berlawanan artinya

dengan kenyataan yang sebenarnya guna merendahkan diri, misal

Perjuangan kami hanyalah setitik air dalam samudera luas. Alusio adalah

majas dengan menggunakan ungkapan peribahasa, misal Ah, dia itu tong

kosong nyaring bunyinya. Asosiasi adalah majas yang membandingkan

sesuatu dengan keadaan lain karena adanya persamaan sifat, misal

Wajahnya muram bagai bulan kesiangan. Perifrasis adalah majas yang

melukiskan sesuatu dengan menguraikan sebuah kata menjadi serangkaian

kata yang mengandung arti yang sama dengan kata yang digantikan itu,

misal Petang barulah dia pulang kalimat tersebut menjadi Ketika

matahari hilang di balik gunung barulah dia pulang.

Metonimia adalah majas yang menggunakan merk dagang untuk

(41)

dengan benda keseluruhan. Kata metonimia (Keraf, 2007: 142) diturunkan

dari kata Yunani meta yang berarti menunjukkan perubahan dan anoma

yng berarti nama, misal Kemarin dia memakai Fiat (mobil merk Fiat).

Antonomasia adalah majas yang menyebutkan nama lain terhadap

seseorang berdasarkan ciri atau sifat menonjol yang dimilikinya, misal si

pincang, si jangkung, si keriting. Tropen adalah majas yang melukiskan

sesuatu dengan membandingkan suatu pekerjaan atau perbuatan dengan

kata-kata lain yang mengandung pengertian yang sejalan dan sejajar, misal

Setiap malam ia menjual suaranya untuk nafkah anak dan istrinya.

Parabel adalah majas perbandingan dengan menggunakan perumpamaan

dalam hidup. Majas ini terkandung dalam seluruh isi karangan, misal

Baghawat Gita, Mahabarata, Bayan Budiman.

2) Majas Sindiran

Majas sindiran adalah majas yang yang bertujan untuk menyindir.

Majas sindiran meliputi ironi, sinisme, dan sarkasme. Ironi adalah majas

sindiran yang melukiskan sesuatu yang menyatakan sebaliknya dari apa

yang sebenarnya dengan maksud untuk menyindir orang. Keraf

(2007: 143) berpendapat bahwa ironi adalah suatu acuan yang ingin

mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang

terkandung dalam rangkaian kata-katanya, misal Harum benar bunga

bangkai ini!

Sinisme adalah majas sindiran dengan menggunakan kata-kata

sebaliknya seperti ironi tetapi kasar, misal Itukah yang dinamakan

bekerja. Dalam bukunya Diksi dan Gaya Bahasa, Keraf (2007: 143)

mengatakan bahwa sinisme diartikan sebagai suatu sindiran yang

berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan

ketulusan hati, sedangkan sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih

kasar dari ironi dan sinisme. Sarkasme adalah majas sindiran yang terkasar

(42)

commit to user

3) Majas Penegasan

Majas penegasan adalah majas yang betujuan untuk menegaskan

sesuatu. Majas penegasan dibagi menjadi lima belas, yaitu (1) pleonasme;

(2) repetisi; (3) pararelisme; (4) tautologi; (5) simetri; (6) enumerasio;

(7) klimaks; (8) antiklimaks; (9) retorik; (10) koreksio; (11) asidenton;

(12) polisidenton; (13) ekslamasio; (14) praeterito; dan (15) interupsi.

Rustamaji (2003: 84) mengatakan bahwa pleonasme adalah majas

penegasan yang menggunakan sepatah kata yang sebenarnya tidak perlu

dikatakan lagi karena arti kata tersebut sudah terkandung dalam kata yang

diterangkan, misalnya Salju putih sudah mulai turun ke bawah. Repetisi

adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan mengulang kata

atau beberapa kata berkali-kali, yang biasanya dipergunakan dalam pidato,

sedangkan pararelisme adalah majas penegasan seperti repetisi tetapi

dipakai dalam puisi. Pararelisme dibagi menjadi dua, yaitu: anafora dan

epifora. Anafora, yaitu bila kata atau frase yang diulang terletak di awal

kalimat, sedangkan epifora, yaitu bila kata atau frase yang diulang terletak

di akhir kalimat atau lirik.

Tautologi adalah majas penegasan yang melukiskan suatu dengan

mempergunakan kata-kata yang sama artinya (bersinonim) untuk

mempertegas arti, misal Saya khawatir serta was-was akan

keselamatannya. Simetri adalah majas penegasan yang melukiskan suatu

dengan mempergunakan satu kata, kelompok kata atau kalimat yang

diikuti oleh kata atau kalimat yang seimbang artinya dengan yang

pertama, misal Kakak berjalan tergesa-gesa, seperti orang dikejar anjing

gila. Enumerasio adalah majas penegasan yang melukiskan beberapa

peristiwa membentuk satu kesatuan yang dituliskan satu per satu supaya

tiap-tiap peristiwa dalam keseluruhannya tampak jelas, misal Angin

berhembus, lalu tenang, bulan memancar lagi.

Masih dalam bukunya yang sama, Keraf (2007: 124) berpendapat

bahwa majas klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung

(43)

dari gagasan-gagasan sebelmnya. Bisa dikatakan, klimaks adalah majas

penegasan dengan menyatakan beberapa hal berturut-turut dengan

menggunakan urutan kata-kata yang makin lama makin memuncak

pengertiannya, misal Anak-anak, remaja, dewasa datang menyaksikan

film “Saur Sepuh”. Antiklimaks adalah majas penegasan dengan beberapa

hal berturut-turut dengan menggunakan urutan kata-kata yang makin lama

makin melemah pengertiannya, misal Jangankan seribu, atau seratus,

serupiah pun tak ada. Untuk majas antiklimaks, Keraf (2007: 125)

berpendapat bahwa antiklimaks sebagai gaya bahasa merupakan suatu

acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting

berturut-turut ke gagasan yang kurang penting.

Retorik adalah majas penegasan dengan mempergunakan kalimat

tanya yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban karena sudah

diketahuinya, misalnya Mana mungkin orang mati hidup kembali?

Koreksio adalah majas penegasan berupa membetulkan (mengoreksi)

kembali kata-kata yang salah diucapkan, baik disengaja maupun tidak,

misal Hari ini sakit ingatan, eh … maaf, sakit kepala maksudku. Dengan

memberikan istilah yang lain dari majas koreksio ini, yaitu majas

epanortosis, Keraf (2007: 135) mengatakan bahwa koreksio atau

epartonosis adalah suatu gaya yang berwujud, mula-mula menegaskan

sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya.

Berikutnya, majas yang masih termasuk dalam kelompok majas

penegasan adalah asidenton. Asidenton adalah majas penegasan yang

menyebutkan beberapa benda, hal atau keadaan secara berturut-turut tanpa

memakai kata penghubung (Rustamaji, 2003: 85). Dengan sedikit

memberikan penjelasan yang lebih lengkap, Keraf (2007: 131)

mengatakan bahwa asidenton adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang

bersifat padat dan mampat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang

sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung, misal Kemeja, sepatu,

(44)

commit to user

adalah majas penegasan yang menyatakan beberapa benda, hal atau

keadaan secara berturut-turut dengan memakai kata penghubung, misal

Dia tidak tahu, tetapi tetap saja ditanyai, akibatnya dia marah-marah.

Ekslamasio adalah majas penegasan yang memakai kata-kata seru

sebagai penegas, misal Amboi, indahnya pemandangan ini! Praeterio

adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan

menyembunyikan atau merahasiakan sesuatu dan pembaca harus menerka

apa yang disembunyikan itu, misal Tidak usah kau sebut namanya, aku

sudah tahu siapa penyebab kegaduhan ini. Interupsi adalah majas

penegasan yang mempergunakan kata-kata atau bagian kalimat yang

disisipkan di antara kalimat pokok guna lebih menjelaskan dan

menekankan bagian kalimat sebelumnya, misal Aku, orang yang sepuluh

tahun bekerja di sini, belum pernah dinaikkan pangkatku.

4) Majas Pertentangan

Majas pertentangan adalah majas yang bertujuan untuk

mempertentangkan sesuatu. Kata-kata berkias yang menyatakan

pertentangan dengan yang dimaksudkan sebenarnya oleh pembicara atau

penulis dengan maksud untuk memperhebat atau meningkatkan kesan dan

pengaruhnya kepada pembaca atau pendengar. Majas pertentangan dibagi

menjadi empat, yang meliputi: (1) antitesis; (2) paradoks; (3) okupasi; dan

(4) kontradiskio intermimis.

Antitesis adalah majas pertentangan yang melukiskan sesuatu

dengan mempergunakan kepaduan kata yang berlawanan arti, misal

Cantik atau tidak, kaya atau miskin, bukanlah suatu ukuran nilai

seseorang wanita. Untuk majas paradoks Keraf (2007: 136)

mengungkapkan bahwa paradoks adalah semacam gaya bahasa yang

mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.

Senada dengan hal tersebut, Rustamaji (2003: 84) berpendapat paradoks

merupakan majas pertentangan yang melukiskan sesuatu seolah-olah

bertentangan, padahal maksud sesungguhnya tidak, misal Hatinya sunyi

(45)

Majas pertentangan yang berikutnya, yaitu okupasi dan

kontradiskio intermimis. Okupasi adalah majas pertentangan yang

melukiskan sesuatu dengan bantahan, tetapi kemudian diberi penjelasan

atau diakhiri dengan kesimpulan, sedangkan kontradiskio intermimis

adalah majas pertentangan yang memperlihatkan pertentangan dengan

penjelasan semua (Rustamaji, 2003: 85). Misalnya, Merokok itu merusak

kesehatan, akan tetapi si perokok tak dapat menghentikan kebiasaannya.

Maka, muncullah pabrik-pabrik rokok karena untungnya banyak

(okupasi); Semua murid kelas ini hadir, kecuali si Hasan yang sedang ikut

jambore (kontradiskio intermimis).

4. Campur Kode

a. Hakikat Campur Kode

Nababan mengatakan bahwa (1993: 32) campur kode (code-mixing)

adalah bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa

dalam suatu tindak bahasa (speech act or discourse) tanpa ada sesuatu dalam

situasi berbahasa itu menentukan percampuran bahasa itu. Proses ini terjadi

apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan yang

mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya

berhubungan dengan karakteristik penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat

pendidikan, dan rasa keagamaan.

Apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase

yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid

phrases) dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi

sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode. Seorang penutur

misalnya, yang dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan

bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode. Akibatnya, akan

muncul satu ragam bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan (kalau bahasa

daerahnya adalah bahasa Jawa).

(46)

commit to user

ditentukan oleh kebiasaan atau enaknya perasaan oleh mudahnya pengungkapan

seseorang pengguna bahasa. Hampir senada dengan pendapat tersebut, Kachru

(dalam Suwito, 1997: 76) memberikan batasan mengenai campur kode sebagai

pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa

yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten.

Kridalaksana (dalam Saddhono, 2007: 26) berpendapat bahwa campur

kode adalah (1) interferensi dan (2) penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke

bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di

dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, dan sapaan. Dari beberapa pendapat

para ahli di atas dapat penulis simpulkan hakikat campur kode pada dasarnya

hampir sama, yaitu fenomena pencampuran bahasa kedua ke dalam bahasa

pertama, pencampuran bahasa asing atau daerah ke dalam struktur bahasa ibu baik

dalam tingkat kata, frase, klausa, idiom, maupun sapaan.

b. Ciri-ciri Campur Kode

Campur kode memiliki beberapa ciri penanda. Ciri-ciri campur kode di

antaranya: (1) ciri-ciri ketergantungan ditandai oleh adanya hubungan timbal balik

antara peranan dan fungsi kebahasaan, (2) unsur-unsur bahasa atau

variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi

sendiri, dan (3) dalam kondisi yang maksimal, campur kode merupakan

konvergensi kebahasaan (linguistic convergence) yang unsur-unsurnya berasal

dari beberapa bahasa yang masing-masing telah meninggalkan fungsi bahasa yang

disisipinya, baik campur kode ke dalam maupun keluar (Suwito, 1997: 75).

Ciri-ciri ketergantungan campur kode ditandai oleh adanya hubungan

timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa

yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang

hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya. Unsur-unsur bahasa atau

variasi-variasinya menyisip di dalam bahasa lain dan tidak lagi mempunyai fungsi

tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan

secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Dalam kondisi yang maksimal,

(47)

unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah

menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya.

c. Latar Belakang Campur Kode

Suwito (1997: 90) mengatakan latar belakang terjadinya campur kode

dapat digolongkan menjadi dua, yaitu tipe yang berlatar belakang pada sikap

(Attitudinal Type) dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan (Linguistic Type).

Kedua tipe tersebut saling bergantung dan tidak jarang bertumpang tindih (over

laping). Atas dasar latar belakang sikap dan kebahasaan yang saling bergantung

dan bertumpang tindih, maka dapat diidentifikasikan beberapa alasan atau

penyebab yang mendorong terjadinya campur kode, di antaranya: (a) identifikasi

peranan; (b) identifikasi ragam; dan (c) identifikasi keinginan menjelaskan dan

menafsirkan.

Untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral, dan edukasional.

Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa seorang penutur melakukan campur

kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarki status sosialnya. Identifikasi

<

Gambar

Tabel
Gambar
figuratif; (7) makna primer; dan (8) makna sekunder.
Gambar 1. Kerangka Berpikir
+4

Referensi

Dokumen terkait

Kalau pun terjadi sedikit pergeseran di Baduy Luar, namun Suku Baduy secara keseluruhan masih kuat mempertahankan budaya atau adat istiadat di era digital saat ini, karena

SDM Kesehatan (Sumber Daya Manusia Kesehatan) adalah seseorang yang bekerja secara aktif di bidang kesehatan baik yang memiliki pendidikan formal kesehatan maupun

Horizontal shores (also known as joists) range from small units 1,8 m, to large members 9,0 m, used to carry much heavier loads, usually manufactured from wood or

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui profil penggunaan amlodipine yang diterima pasien stroke iskemik terkait dosis, rute interval pemberian,

Agar tanaman kari dapat menjadi tanaman yang bisa direkomendasikan sebagai bagian dari tanaman penghasil minyak atsiri dan potensial untuk dikembangkan sebagai

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh dua masalah, pertama bahasa sebagai instrumen komunikasi yang digunakan anak, dan kedua anak sebagai pengguna dan pemakai

Simpulan dalam penelitian ini adalah strategi pembelajaran student recap efektif dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas X MA Darussalam Barandasi. Hal

Departemen pendidikan Lithuania yang telah mengimplementasikan pendidikan antikorupsi di negaranya sejak 2005 mengatakan bahwa tugas utama dari pendidikan anti