• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Internalization Cost of Conservation Practices of Potato Farming in Serayu Watershed (Case study in Igirmranak Village, Kejajar Sub- District, Wonosobo District).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Internalization Cost of Conservation Practices of Potato Farming in Serayu Watershed (Case study in Igirmranak Village, Kejajar Sub- District, Wonosobo District)."

Copied!
246
0
0

Teks penuh

(1)

Studi Kasus di Desa Igir Mranak, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah

Rachman Pasha P052080111

PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Internalisasi Biaya Konservasi Lahan Pertanian Kentang di DAS Serayu (Studi Kasus di Desa Igir Mranak, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini

Bogor, Juli 2012

(3)

Farming in Serayu Watershed (Case study in Igirmranak Village, Kejajar Sub-District, Wonosobo District). Supervised by SAMBAS BASUNI and SUYANTO

Environmental degradation caused by intensive potato farming on the upper Dieng Plateau has reached an alarming level. Farmers who intensively plant potatoes and other vegetables in this Plateu mostly do not apply soil and water conservation practices on their gardens. This is suspected as one of the main causes of high erosion and sedimentation rates in the watershed. These environmental problems combined with farmers’ behavior torwards soil and water conservation in their potato gardens require further attention and information on how to solve such problem. Therefore, this research offers some fundamental analysis on farm-budget under different conservation techniques, farmers’ willingness to accept in improving their conservation practices and potential of application of rewards for environmental services schemes in the upper Dieng Plateu. The objective of this study are (i) to evaluate the conservation practices of potato farming by comparing rate of erosion and farm productivity under different soil and water conservation techniques, (ii) to determine the Willingness to Accept (WTA) value to environmentally friendly farming practices for sedimentation reduction. The research involving 100 respondents was carried out in January–May 2011 at Igirmranak village, Wonosobo district, Central Java, Indonesia.

The study shows that the total potato production on land without conservation techniques was 37% higher compared to the one with conservation techniques. This result is based on the measurement of the potato farming erosion rate that the conservation techniques could control erosion and run-off at higher rates (18.38% and 33.90% respectively) compared to potato farming without conservation techniques. Farmers who adopted conservation techniques experience less profit per season (IDR 5,905,021) than those who do not apply such technique. In contrast, the potato production per stem in conservation farming was 26% higher compared to production on land without conservation techniques. The study also showed that the value of WTA among farmers was IDR 5,000,000. Some factors that influenced them to make decisions were 1) bid amount and 2) perception of profitability of potato. Overall, this study concluded that the RES concept in Dieng could be implemented by setting enabling conditions for environmentally friendly agriculture system that could provide long-term benefits to farmers. Government involvement and support would be needed to provide livelihoods’ alternatives that can fill the gap between opportunity costs and WTA.

(4)

RACHMAN PASHA. Internalisasi Biaya Konservasi Lahan Pertanian Kentang Di DAS Serayu (Studi Kasus di Desa Igir Mranak, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo). Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI dan SUYANTO.

Degradasi lingkungan yang disebabkan oleh pertanian intensif kentang di hulu Dataran Tinggi Dieng telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Para petani yang menanam kentang dan berbagai sayur-sayuran secara intensif, pada umumnya tidak menerapkan praktek konservasi yang baik dan benar di lahan pertanian mereka. Kondisi ini diduga sebagai salah satu penyebab utama terjadinya erosi dan sedimentasi yang sangat tinggi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu. Masalah serius lainnya di DAS ini adalah mengeringnya beberapa danau pada musim kemarau dan serta seringnya bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi pada saat musim hujan tiba. Berbagai permasalahan lingkungan yang dikombinasikan dengan perilaku petani dalam mengelola lahan pertanian kentang memerlukan perhatian lebih lanjut untuk dapat mencari berbagai solusi untuk menghadapi masalah tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk melakukan beberapa analisa fundamental mengenai analisis usaha tani berdasakan penerapan teknik konservasi yang berbeda, menilai besaran insentif yang dinginkan petani untuk menerima dan melakukan praktik konservasi (Willingness to Accept/WTA) serta melihat potensi penerapan skema jasa lingkungan di Dieng. Tujuan dari penelitian ini adalah (i) untuk mengevaluasi praktek-praktek konservasi usahatani kentang dengan membandingkan laju erosi dan produktivitas pertanian bawah tanah yang berbeda dan teknik konservasi air, (ii) untuk menentukan nilai WTA petani kentang agar bersedia melakukan praktek pertanian ramah lingkungan bagi upaya pengurangan sedimentasi. Penelitian yang melibatkan 100 responden ini dilakukan pada Januari-Mei 2011 di Igirmranak desa, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Indonesia.

(5)

masing-masing) dibandingkan dengan lahan pertanian kentang tanpa teknik konservasi. Petani yang mengadopsi teknik konservasi akan mendapatkan keuntungan yang lebih sedikit per musim (Rp 5.905.021) dibandingkan dengan para petani yang tidak menerapkan teknik tersebut. Sebaliknya, produksi kentang per batang dalam pertanian konservasi 26% lebih tinggi dibandingkan dengan produksi pada lahan tanpa teknik konservasi. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa nilai WTA di kalangan petani adalah Rp 5.000.000. Beberapa faktor yang mempengaruhi mereka untuk membuat keputusan adalah 1) Jumlah tawaran dan 2) Persepsi profitabilitas kentang.

Secara keseluruhan, penelitian ini menyimpulkan bahwa konsep RES di Dieng dapat diterapkan dengan menetapkan kondisi yang memungkinkan untuk sistem pertanian ramah lingkungan yang dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi para petani. Keterlibatan dan dukungan pemerintah sangat diperlukan untuk dapat menyediakan alternatif mata pencaharian yang dapat mengisi kesenjangan antara opportunity costs and WTA.

(6)

@ Hak Cipta milik IPB tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagaian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

Studi Kasus di Desa Igir Mranak, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah

Rachman Pasha P052080111

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA

(8)
(9)
(10)

Karya Ilmiah ini kupersembahkan kepada Istri dan anakku tersayang

(Silvia Pasha dan Tiara Pasha),

Alm .Mama Yetti, Papa Wahab, Abang, Adik-adikku

Serta seluruh keluarga besar dan semua orang

yang tanpa henti memberikan dukungan.

Terima Kasih yang tulus untuk semuanya

(11)

Alhamdullilah, puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Internalisasi Biaya Konservasi Lahan Pertanian Kentang Di DAS Serayu (Studi Kasus di Desa Igir Mranak, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo)”. Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat utama penyelesaian studi pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (PS-PSL IPB). Kesuksesan hingga tahap akhir dari perjuangan selama masa studi di Sekolah Pascasarjana IPB ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Suyanto M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing atas kesediaan waktu untuk membimbing, memberikan arahan dan masukan kepada penulis selama penyusunan tesis ini.

2. Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc.Trop dan Prof. Dr. Ir. Erliza Noor, MS selaku Penguji Luar Komisi dan Penguji Perwakilan Program Studi atas saran dan masukan yang sangat berharga demi perbaikan tesis ini.

3. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS selaku Ketua Program Studi PSL, para staf dosen dan staf sekretariat PSL atas segala bantuan, sumbangsih IPTEK dan kerjasama yang telah terjalin dengan baik selama studi.

4. Dr. Beria Leimona selaku RUPES Project Coordinator atas bantuan berupa dorongan bimbingan serta dana penelitian yang bersumber dari IFAD (International Fund for Agriculture Development).

(12)

atas masukan, diskusi dan fasilitasi selama penelitian dilakukan serta para enumerator (Agung, Munadhom, dkk) yang telah membantu dalam proses pengumpulan data.

7. Kepada teman-teman PSL IPB angkatan 2008 atas segala kebersamaan, kekompakan dan keceriaan selama proses studi di IPB.

8. Rekan – rekan kerja di World Agroforestry Centre (ICRAF) South East Asia Regional Office atas segala semangat., dukungan dan kebersaman yang telah diberikan.

9. Seluruh teman-teman, sanak saudara dan handai taulan telah memberikan kontribusi lewat berbagai cara selama proses penelitian dan penyelesaian studi di IPB. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan berkat- Nya bagi kita semua. Amin

Penulis mengucapkan maaf apabila masih terdapat kekurangan dalam penulisan tesis ini karena keterbatasan yang dimiliki. Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima kasih.

Bogor, Juni 2012

(13)
(14)

ŀ

!

" # $ %"#$& '

( "#$ )

! " # $

* + , "#$

+ - + $ '

* . * /

0

1 " ! " 2

!

(15)

" )

3 )

3 /

"#

# - )

4 "

$ 4 5 3

5 3

6 " % &

6 . #&

# 7 87 9 6

. #& " 3 5

' 4: (; )

) * , " " '

$

'

$ '

(16)

* + , ! " #

* ! * . *

* 8 3 "5 %<& *

. * # " // 8 //

* 3 0

* 0 3 3 0 '

* 3 3 $ + 3 0

'

* ' 3 3 3 3 3 0 /

* ) 1 " " 0 . + *

3 0

* / 3 1 " 3 * . *

* * 3 3 )

* 3 3

* 6 3

* " % & 3 4 3

* % & 3 4 % = &

3 % = '

* 3 # $ $ 3

(17)

* 5 8 3 5 3

* ' " % & 5 3

* ) * " 1 . # 5 3

* / * " ; * + . #

5 3

* 6 ! 3 * 3 +

* + , 3

(18)

> *

> * #3 * . *

> * " * 3 * . *

> * ( 1 " 3 +

> * 3 0

> * 0 3 3 0 )

> * 3 3 3 3 3 0

> * ' $ 4 ?( @ A

> * ) % & : " 3 $ %*&

#- 3 3 $

> * / 4

> * " "

4

> * $ * 3

-> * $ * 3 3 3

> * $ * 3 ,

> * $ * 3 5 3

> * 3

> * % & 3 %*& 7 8! + * *

%0& * 1 *

> * ' # 3

> * ) % & " 6 ! %*& 3 3

%0& # '

> * / % & 3 %*& # 3 /

(19)

> * > ! * 3 3

> * > ! " % & 5 3

(20)

# - )

$ 4 B B 3

. #

)

- /

# 5 3 $ # # /

* # ( 3

% 3 4 3

/

& 3 4 3

(21)

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi areal vital bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan akan air. Pemanfaatan air sungai banyak digunakan sebagai pembangkit listrik, irigasi sawah, sumber air minum, pemandian dan sebagainya. Salah satu fungsi DAS yang utama adalah sebagai pemasok air dengan kualitas dan kuantitas yang baik terutama bagi orang di daerah hilir (Farida dan Noordwijk, 2004). Ketersediaan air sangat tergantung pada aktivitas yang dilakukan di hulu DAS karena daerah ini merupakan pintu utama dalam menjaga ketersediaan suplai air.

Tingginya laju sedimentasi di sungai menjadi suatu permasalahan yang umum terjadi di berbagai DAS yang ada di Indonesia. Meningkatnya populasi manusia di wilayah hulu, terbatasnya pemilikan lahan, tingginya kemiskinan serta kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat, cenderung memotivasi masyarakat untuk membuka lahan guna menghasilkan sumber pendapatan baru (Farida dan Noordwijk, 2004). Terbatasnya pengetahuan masyarakat dalam teknik budidaya dan pola pengelolaan lahan juga diduga sebagai pendorong terjadinya aktivitas masyarakat yang berakibat pada menurunnya kualitas & kuantitas air sungai. Munculnya lahan-lahan kritis sebagai akibat dari proses erosi dan longsor dari pola pengelolaan lahan yang tidak ramah lingkungan berdampak langsung pada meningkatnya proses sedimentasi di sungai. Kondisi ini merugikan banyak pihak, baik dari masyarakat hulu sendiri selaku pengelola maupun para pengguna air yang berada di daerah hilir selaku pemanfaat. Di satu sisi masyarakat merasa dirugikan dengan seiring menurunnya hasil pertanian dan berkurangnya areal lahan yang mereka miliki, sedangkan di sisi lain banyak pihak sebagai pengguna air yang tidak dapat melakukan kegiatan produksinya secara maksimal (Verbist dan Pasya, 2004).

(22)

tanah dan sistem budidaya tanaman semusim di lahan kering. Masyarakat selama ini beranggapan bahwa guludan yang sejajar kontur akan membuat aliran air permukaan menjadi terhambat sehingga dikhawatirkan akan membuat tanah menjadi tergenang air hujan yang pada akhirnya akan menyebabkan umbi kentang menjadi busuk sehingga membuat mereka rugi. Selain itu, mereka juga beranggapan bahwa pembuatan teknik konservasi cukup mahal. Paradigma ini yang menyebabkan proses pemahaman mengenai pentingnya pola pertanian ramah lingkungan di Dieng menjadi terkendala. Kondisi diatas berdampak pada produksi kentang yang terus merosot selama empat tahun terakhir. Apabila pada tahun 2004 per hektar tanaman kentang masih menghasilkan 17,6 ton, tahun 2007 bisa 15,4 ton, ternyata tahun 2008 panen hanya tertinggi 10-13,5 ton per hektar. Biaya produksi tanaman pun naik, kalau 2004 per hektar cukup Rp 25 juta, ternyata saat ini kisarannya Rp 40 juta-Rp 48 juta per hektar untuk sekali musim tanam (TKPD 2008). Hal tersebut diperparah dengan semakin membanjirnya kentang impor dari China yang memiliki harga jual relatif lebih murah dibandingkan kentang Dieng, yaitu seharga Rp 3.500/kg sehingga menyebabkan daya jual kentang Dieng kalah bersaing. Memburuknya kualitas tanah dan panenan itu tak menyurutkan alih fungsi lahan. Menurut TKPD (2008), pada tahun 2005 luas lahan kentang di Dieng 5.724 hektar, tahun 2006 menjadi 6.902 hektar. Pada tahun 2008, lahan justru meluas menjadi 8.075 hektar.

Tim Kerja Pemulihan Dieng – TKPD (2008) mengidentifikasi kecenderungan-kecenderungan kerusakan sumberdaya lahan dan lingkungan sebagai berikut:

• Di Dataran Tinggi Dieng, tingkat erosi mencapai 161 ton per hektar per tahun. Di tahun 2002, terhitung tingkat erosi di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu mencapai 4,21 mm per tahun, dan 13,7 mm per tahun di hulu DAS Merawu. Sebelumnya, tingkat erosi di tahun 1990 tidak pernah melebihi 2 mm per tahun di kedua tempat tersebut.

(23)

waduk. Penambahan sedimen tertinggi terjadi selama tahun 2000 (7,106 m3) pada saat terjadi penggundulan hutan besar-besaran di dataran tinggi Dieng. • Empat danau besar yang ada pada kawasan Dieng, saat ini sudah mengering.

Kini, di dataran tersebut hanya tinggal satu danau yaitu Telaga Warna yang masih berair, namun saat ini airnya sudah tidak lagi menampilkan warna yang mempesona seperti kondisi 15-20 tahun silam

• Penurunan produktifitas lahan dan banjir di daerah hilir Serayu dan anak-anak sungainya

• Penurunan kualitas dan kuantitas air menyebabkan mulainya kesulitan pemenuhan kebutuhan air bagi lahan pertanian dan konsumsi rumah tangga

Kondisi demikian telah mendorong berbagai pihak untuk peduli terhadap pemulihan kawasan Dieng. Pemerintah Propinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kabupaten Wonosobo, telah memasukkan program rehabilitasi kawasan Dieng dalam Rencana Kerja Pembangunan Jangka Menengah 2010-2015. Hanya saja tampaknya pengelolaan sumberdaya lahan dan hutan di kawasan Dieng yang berkelanjutan belum efektif dan menghasilkan capaian-capaian sesuai harapan.

(24)

Kombinasi penerapan teknik pertanian yang bersifat ramah lingkungan dan penyediaan insentif melalui skema jasa lingkungan bagi para petani yang bersedia mengadopsi teknik tersebut, diharapkan menjadi salah satu solusi yang menguntungkan bagi kedua belah pihak, baik masyarakat maupun lingkungan. Tidak hanya memiliki manfaat dari sisi ekologi, akan tetapi juga manfaat dari sisi ekonomi dan sosial.

B. Rumusan Masalah

Tingkat pemanfaatan yang tidak diikuti dengan pengelolaan sumberdaya lahan yang berkelanjutan menyebabkan terlampauinya daya dukung kawasan Dieng. Karakteristik hak kepemilikan pribadi (private property rights) yang otonom dalam pengambilan keputusan menyebabkan pemilik lahan memiliki kebebasan dalam memanfaatkan lahannya yang terkadang tanpa memperhitungkan eksternalitas yang dihasilkan oleh pola pengelolaan lahan yang diterapkan. Keputusan-keputusan yang dibuat umumnya didasarkan pada rasionalitas jangka pendek dan untuk kemanfaatan individu, sementara kemanfaatan jangka panjang dan perlindungan lingkungan untuk kemanfaatan sosial jarang dijadikan acuan. Akibatnya dampak-dampak negatif pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan yang eksploitatif seperti banjir, tanah longsor, sulitnya memperoleh air dengan kualitas dan kuantitas yang memadai dan rusaknya kawasan wisata menjadi beban bagi orang lain.

(25)

sosial karena dana yang ada dan terbatas habis untuk membiayai pencegahan dan penanganan bencana lingkungan seperti banjir dan tanah longsor.

Namun demikian, kebijakan pemulihan kawasan Dieng tidak lantas diarahkan untuk menghentikan kegiatan budidaya kentang di kawasan Dieng. Kebijakan demikian mungkin akan menyelesaikan masalah rusaknya kawasan Dieng, tetapi tidak menjamin bahwa kerusakan serupa tidak terjadi di tempat lain seperti Garut, Lembang dan tempat-tempat lain yang memiliki kondisi agroklimat yang sesuai bagi budidaya kentang. Oleh karenanya kebijakan pemulihan kawasan Dieng seharusnya ditujukan untuk mengembalikan fungsi lindung kawasan Dieng tanpa mengabaikan kepentingan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat.

Untuk itu pertimbangan-pertimbangan yang holistik diperlukan dalam pembuatan kebijakan pemulihan kawasan Dieng yang kompleksitas permasalahannya sangat tinggi dengan penyebab yang beragam mulai dari penyebab yang terkait dengan ekonomi, sosial dan kelembagaan masyarakat dan pemerintah, hingga kualitas sumberdaya manusia dan ketersediaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan dalam banyak kasus penyebab-penyebab tersebut terkait satu sama lain. Valuasi ekonomi sumberdaya lahan untuk kawasan Dieng dapat dijadikan input untuk intervensi kebijakan penyelesaian masalah yang terkait dengan ekonomi usaha tani yang berkelanjutan. Oleh karenanya valuasi ekonomi manfaat ekologis dan kerugian atas kerusakan sumberdaya lahan dan hutan di Kawasan Dieng perlu dilakukan.

(26)

kerugian atas kerusakan sumberdaya lahan dan hutan di Kawasan Dieng yang sesuai dengan standar ilmiah, berkualitas dan valid.

C. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menghitung besaran nilai eksternalitas yang perlu internalisasi oleh petani kentang sebagai dasar dan acuan untuk merancang skema PES yang cocok, adil dan berkelanjutan bagi proses perbaikan kawasan Dieng. Tujuan ini dapat dicapai dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Membandingkan tingkat kesuburan tanah pada pertanian kentang yang diukur dari tingkat erosi dan limpasan permukaan yang dipengaruhi oleh pola konservasi yang diterapkan.

2. Menghitung besaran nilai ekonomi pertanian kentang yang dihasilkan yang diukur dari tingkat produksi dan keuntungan panen yang dipengaruhi oleh pola konservasi yang diterapkan.

3. Menghitung besarnya nilai internalisasi petani untuk menurunkan erosi dan limpasan permukaan dengan menggunakan pendekatan Opportunity Cost dan Willingness to Accept (WTA) serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya.

D. Hipotesis

1. Tingkat erosi dan limpasan permukaan pada plot yang menerapkan teknik konservasi lebih rendah dibandingkan pada plot yang tidak menerapkan sistem konservasi

2. Hasil panen kentang pada plot yang menerapkan sistem konservasi lebih rendah dibandingkan pada plot yang tidak menerapkan sistem konservasi akan tetapi produktifitas kentang per tanaman pada plot yang menerapkan sistem konservasi lebih tinggi dibandingkan pada plot yang tidak menerapkan sistem konservasi

(27)

E. Kerangka Pemikiran Penelitian

Secara skematis, kerangka konsep penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran

F. Manfaat Penelitian

(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

Persoalan sedimentasi, penurunan muka air suatu waduk, sungai, atau danau serta maraknya kejadian bencana alam akhir-akhir ini seperti longsor, banjir dan kekeringan, dapat dipandang sebagai indikator tidak optimalnya pengelolaan sumberdaya (alam dan manusia) dalam Daerah Aliran Sungai (DAS). Intervensi dan kebutuhan manusia dalam pemanfaatan sumber daya yang semakin meningkat membuat makin banyaknya DAS yang rusak dan kritis.

Salah satu fokus kegiatan Departemen Kehutanan pada era Kabinet Indonesia Bersatu adalah pengelolaan DAS. Saat ini diketahui bahwa jumlah DAS kritis yang ada di Indonesia mencapai 458 DAS dimana 60 DAS diantaranya termasuk kedalam prioritas I, 222 DAS termasuk ke dalam prioritas II dan sisanya 176 DAS tergolong ke dalam prioritas III untuk upaya penanggulangannya/ rehabilitasinya. Sedangkan lahan kritis di wilayah DAS kritis di Indonesia sangat luas dan terbagi ke dalam lahan sangat kritis seluas 6.890.567 hektar dan 23.306.233 hektar merupakan lahan kritis (Darori, 2008).

Gambaran kerusakan DAS dan degradasi lahan menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 1984 terdapat 22 DAS dalam keadaan kritis dengan luas 9.699.000 ha, kemudian meningkat menjadi 39 DAS kritis pada tahun 1994 dengan luas lahan kritis mencapai 12.517.632 ha dan pada tahun 2000 DAS kritis berjumlah 42 DAS dengan luas lahan kritis mencapai 23.714.000 ha (Soenarno, 2000; Ditjen RRL, 1999). Saat ini diperkirakan 13% atau 62 DAS dari 470 DAS di Indonesia dalam kondisi kritis, meskipun kegiatan konservasi tanah dan air dalam pengelolaan DAS sudah sejak lama dilakukan.

(29)

penyedia energi dan sebagainya. Selama ini multifungsi tersebut seakan tenggelam dan ditenggelamkan oleh erosi sedimentasi yang sejak lama dikampanyekan pemerintah dalam pengelolaan DAS. Paper ini menguraikan imbal jasa multifungsi DAS untuk mendukung pengelolaan DAS dan implementasi serta kendala yang mungkin terjadi.

2.2. Cakupan Pengelolaan DAS

Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik (outlet). Oleh karena itu, pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pembangunan wilayah yang menempatkan DAS sebagai unit pengelolaan. Pada dasarnya pengelolaan DAS merupakan upaya manusia untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Departemen Kehutanan, 2000).

(DAS) merupakan suatu ekosistem dimana terjadi interaksi antara organisme dari lingkungan biofisik dan kimia secara intensif serta terjadi pertukaran material dan energi. Dalam ekosistem DAS dapat dilihat bahwa hujan sebagai input, DAS sebagai pemroses, dan air sebagai output. Hujan sebagai input dalam ekosistem DAS bisa dianggap sebagai faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia. DAS sebagai faktor proses merupakan unsur yang bisa diubah atau diperlakukan untuk bisa memanfaatkan sumber daya yang ada di dalamnya dan untuk bisa menekan kerusakan yang terjadi (Priyono dan Cahyono, 2003). Karena DAS secara alamiah juga merupakan satuan hidrologis, maka dampak pengelolaan yang dilakukan di dalam DAS akan terindikasikan dari keluarannya yang berupa tata air.

(30)

tidak selalu daerah hilir menerima dampak dari kegiatan di hulu karena dapat terjadi daerah hulu menerima dampak dari aktivitas ekonomi di daerah hilir. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya di dalam DAS perlu dilakukan secara terpadu (integrated resource management) untuk dapat mengakomodir semua kepentingan.

Kegiatan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pertama kali di Indonesia dilakukan pada tahun 1970-an. Pada saat itu, pengelolaan DAS merupakan respon terhadap banjir besar yang terjadi di kota Solo pada tahun 1966 (BTP DAS Surakarta, 2001). Pengelolaan DAS adalah upaya manusia untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Departemen Kehutanan, 2000).

(31)

dalam kehidupan manusia. Secara topografi, DAS dibagi atas daerah hulu, tengah, dan hilir yang saling terkait (Asdak, 1995). Aktivitas yang terjadi pada daerah hulu akan berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap daerah hilir. Sebagai salah satu sumberdaya alam, maka sumberdaya yang ada pada suatu wilayah DAS dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Lahan di kawasan DAS dipergunakan untuk pembangunan pertanian baik yang berada di kawasan hulu maupun hilir. Pada daerah hulu umumnya merupakan lahan kering seperti huma, tegalan, dan kebun. Adapun daerah hilir umumnya dipergunakan sebagai daerah persawahan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.

Tabel 1. Perbandingan Antara Daerah Hulu dengan Hilir (Cahyono dan Purwanto, 2006)

HILIR HULU

Faktor – Faktor Biofisik

 Datar

 Tidak rentan terhadap erosi

 Relatif banyak sedimentasi

 Seragam

 Sedikit hutan yang tertinggal

 Lapisan olahnya tebal dan subur

 Umumnya lahan teririgasi

 Sistem usahatani sejenis, padi

 Pertanian intensif

 Berlereng miring

 Rentan terhadap erosi

 Relatif sedikit sedimentasi

 Beragam

 Masih cukup banyak sisa hutan

 Lapisan olahnya dangkal, kritis

 Umumnya lahan kering

 Kemampuan ekonomi lebih baik

 Kredit lebih mudah diberikan

 Berorientasi pasar

 Pusat aktivitas, pengambilan keputusan

 Hak kepemilikan tanah jelas

 Kemampuan ekonomi rendah, miskin

 Kredit sukar diberikan

 Berorientasi subsisten

 Bukan pusat aktivitas

 Hak kepemilikan tanah rumit

(32)

Pendekatan Penyuluhan

 Teknologi yang kompleks

 Paket teknologi

 Paket diberikan

 Fokus pada sistem pertanian

 Pelayanan penyuluhan baik

 Teknologi yang sederhana

 Pilihan teknologi

 Proses difasilitasi

 Relevan dengan tata guna lahan

 Pelayanan penyuluhan kurang baik

Teknologi Yang Menentukan

 Penyediaan air/irigasi

 Jenis tanaman unggulan

 Pengendalian hama penyakit, pemupukan

berimbang

 Konservasi tanah dan air

 Konservasi unsur hara

 Pola tanam intercropping dengan

tanaman tahunan

Adanya keterkaitan antara daerah hulu dan hilir sebagai suatu ekosistem DAS membuat pengelolaan DAS harus terintegrasi dan holistik. Pengelolaan DAS dilakukan melalui pendekatan ekosistem yang dilaksanakan berdasarkan prinsip ―satu daerah aliran sungai, satu rencana, satu pengelolaan. Pengembangan hilir tanpa memperhatikan wilayah hulu akan mengakibatkan rendahnya kesejahteraan di hulu. Namun, hal itu akan mengancam kesinambungan pembangunan wilayah di daerah hilir. Bila dicermati, pengembangan di daerah hulu relatif lebih sedikit dibandingkan dengan daerah hilir, baik dari segi perhatian, program, dana, dan sebagainya. Hal ini wajar karena secara nilai ekonomis wilayah hilir yang bernilai ekonomis tinggi akan lebih diperhatikan oleh pemerintah dibandingkan dengan wilayah hulu. Akibatnya, terjadi ketimpangan pembangunan antara daerah hulu dengan hilir. Daerah hilir umumnya menjadi pusat-pusat aktivitas manusia dan daerah hulu merupakan pemasok bahan baku dan sumberdaya bagi daerah hilir. Bila ini tidak diantisipasi akan menimbulkan konflik kepentingan antara daerah hulu dengan hilir. Konflik yang sering terjadi berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam dan pemberian kompensasi bagi daerah hulu dari hilir yang selama ini cenderung menikmati apa yang dihasilkan oleh wilayah hulu.

(33)

kompleksitas kondisi sosial ekonomi dan fisik di daerah hulu membuat upaya tersebut kurang signifikan.

2.3. Multifungsi Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah aliran sungai selama ini lebih sering dipahami dengan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pencegahan erosi dan sedimentasi. Hal ini wajar karena kampanye pengelolaan DAS pada periode yang lalu lebih menonjolkan pada peran yang dapat dimainkan DAS dalam rangka mengeliminir dampak yang merugikan dari erosi sedimentasi. Konsep DAS terlihat tengelam dan kehilangan arus utamanya dalam pengelolaan sumberdaya alam maupun secara kewilayahan. Hal tersebut kasat mata terlihat bahwa pembangunan dan pengelolaan sumberdaya lebih berpegang pada batas administratif dibandingkan dengan batas alami DAS.

Daerah aliran sungai perlu dilihat dalam dimensi yang lebih luas, yaitu tidak terbatas hanya sebagai pengendali erosi sedimentasi dan sedikit produksi. DAS dapat menghasilkan produk yang dapat dipasarkan dan juga sekaligus sebagai penghasil jasa yang tidak bisa dipasarkan. Berbagai fungsi itu antara lain penyedia produk (pangan, sandang, dan papan), keindahan lansekap, mitigasi banjir, mitigasi, kekeringan, mitigasi longsor, mengurangi erosi, mitigasi gas rumah kaca, tempat rekreasi, penyejuk udara, mempertahankan keanekaragaman hayati, pendaur ulang limbah organik, menjaga ketahanan pangan, penyangga ekonomi, penyedia lapangan kerja, dan sebagainya.

Daerah aliran sungai terdiri dari penggunaan lahan dan setiap penggunaan lahan memiliki beragam fungsi. Misal, sawah memiliki banyak fungsi yang penting bagi kehidupan. Berbagai studi menunjukkan bahwa sawah selain sebagai penyedia pangan juga mempunyai jasa terhadap lingkungan baik lingkungan biofisik, kimia maupun sosial ekonomi (Agus et al, 2003; Pawitan, 2004; dan Wahyunto et al, 2004).

2.4 Tanaman Kentang

(34)

Dicotyledonae, Ordo Tubiflorae, Famili Solanaceae, Genus Solanum, dan Spesies Solanum tuberosum L. (Beukema, 1977).

Tanaman kentang berasal dari Amerika Selatan (Peru, Chili, Bolivia, dan Argentina) serta beberapa daerah Amerika Tengah. Di Eropa daratan tanaman itu diperkirakan pertama kali diintroduksi dari Peru dan Colombia melalui Spanyol pada tahun 1570 dan di Inggris pada tahun 1590 (Hawkes, 1990). Penyebaran kentang ke Asia (India, Cina, dan Jepang), sebagian ke Afrika, dan kepulauan Hindia Barat dilakukan oleh orang-orang Inggris pada akhir abad ke-17 dan di daerah-daerah tersebut kentang ditanam secara luas pada pertengahan abad ke-18 (Hawkes, 1992).

Menurut Permadi (1989), saat masuknya tanaman kentang di Indonesia tidak diketahui dengan pasti, tetapi pada tahun 1794 tanaman kentang ditemukan telah ditanam di sekitar Cisarua (Kabupaten Bandung) dan pada tahun 1811 tanaman kentang telah tersebar luas di Indonesia, terutama di daerah-daerah pegunungan di Aceh, Tanah Karo, Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, Minahasa, Bali, dan Flores. Di Jawa daerah-daerah pertanaman kentang berpusat di Pangalengan, Lembang, dan Pacet (Jawa Barat), Wonosobo dan Tawangmangu (Jawa Tengah), serta Batu dan Tengger (Jawa Timur).

(35)

oC, cukup sinar matahari, dan kelembaban udara 80 sampai 90 % (Sunarjono, 1975).

Pertumbuhan dan hasil tanaman kentang juga sangat dipengaruhi oleh curah hujan dan penyebarannya selama masa pertumbuhan. Selama pertumbuhannya tanaman kentang menghendaki curah hujan 1000 mm atau setiap bulan rata-rata 200 sampai 300 mm. Saat kritis bagi tanaman kentang adalah saat ketika dibutuhkan lebih banyak air, yaitu pada permulaan pembentukan umbi dan pembentukan stolon. Oleh karena itu, untuk mencapai hasil yang tinggi, pada saat itu kadar air tanah pada kedalaman 15 cm dari permukaan tanah tidak boleh kurang dari 56% kapasitas lapang (Nonnecke, 1989). Hal itu didukung oleh Gandar dan Tanner (1976) yang menyatakan bahwa perpanjangan dan bentangan daun menurun jika potensial air daun menurun. Hasil umbi kentang akan terganggu jika kelembaban terlalu tinggi.

2.5. Mekanisme Pembayaran Jasa Multifungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) Nilai finansial jasa multifungsi DAS dapat dipahami dan dimanfaatkan untuk mendorong pengelolaan DAS yang lebih bijak dan menghambat praktek pengelolaan DAS yang merusak. Sistem pasar dan kebijakan pembangunan yang mengabaikan multifungsi DAS dan menganggap jasa yang dihasilkan sebagai eksternalitas telah menyebabkan semakin rendahnya insentif pengelolaan DAS. Nilai atau manfaat multifungsi DAS memiliki ciri seperti public goods, yakni dapat dinikmati oleh setiap orang tanpa harus membayar. Keadaan ini membuat pengambil manfaat dari multifungsi tersebut kurang menyadari dan tidak memberikan perhatian yang sepatutnya pada penjaga dan pengelola penyedia jasa multifungsi tersebut.

Tabel 2. Potensi Keuntungan dan Kerugian dalam Penerapan Mekanisme Pembayaran Jasa Multifungsi Daerah Aliran Sungai (Cahyono dan Purwanto, 2006)

Potensi Keuntungan Potensi Kerugian

- Meningkatkan dan menjaga kualitas air

- Pengalokasian suplai air lebih efisien

- Pengadaan kembali aliran air alami

- Mengurangi biaya sekunder yang muncul

(36)

- Mengurangi biaya kesehatan tambahan -

Memberikan layanan yang diperlukan pengguna

atau industri dengan lebih efisien dan murah

dibandingkan dengan pendekatan kebijakan atau

pengawasan

- Berpotensi sebagai sumber pendapatan dalam

jangka waktu yang lama untuk melindungi

kawasan termasuk ekosistem kritis.

- Mendorong makin diakuinya nilai ekonomis dan

ekologis DAS

- Keuntungan sekaligus biaya jasa DAS dapat

tersebar dengan lebih merata

- Mengurangi jurang perbedaan urban-rural dan

meningkatkan pemerataan

- Memberikan kesempatan untuk pengembangan

mekanisme pengaturan yang partisipatif dan

kooperatif yang berdampak positif yang bersifat

sosial lebih luas

- Memperbaiki regulasi atau struktur hukum

perlindungan air dan DAS Komunikasi yang

lebih baik di antara para pemangku kepentingan

- Penyedia jasa lingkungan memperoleh

kompensasi. Ini berarti meningkatkan

pendapatan masyarakat miskin pedesaan – jika

hak mereka diakui dan kepastian kepemilikan

lahan meningkat

- Peningkatan pemahaman secara ilmiah

- Perlindungan warisan budaya/leluhur -

Peningkatan kesempatan rekreasi

- Peningkatan penyediaan jasa DAS

- Potensi pasar yang sangat besar untuk jasa

hidrologi

- Tingginya biaya transaksi yang

dikaitkan dengan pengembangan

pasar yang mungkin berupa: (a)

perencanaan dan negosiasi, (b)

pemantauan dan penerapan

- Kesepakatan dan kerjasama diantara

pemangku kepentingan multipihak

(multiple stakeholder agreements

and collaboration) untuk mengatasi masalah free-riding

- Pengumpulan informasi ilmiah dan

informasi lainnya untuk mendukung

pembuatan keputusan

- Penjelasan kepada para pemangku

kepentingan dan membuat mereka

mnyadari kemungkinan

ketidakpastian yang muncul sehingga

harapan yang tidak realistik dapat

dihindarkan

- Kejelasan hak atas lahan

- Memperkuat kerangka hukum dan

perundangan

- Pengembangan lembaga perantara

- Pemecahan permasalahan akses pasar

dapat berupa (a) rendahnya

- Ketidakadilan mungkin akan timbul

(37)

intensif

- Hilangnya biaya peluang terhadap

pemanfaatan lahan tertentu. Daya

beli pemakai air mungkin rendah

- Potensi kehilangan hak guna

informasi akibat meningkatnya

kompetisi dan pemberlakuan

berbagai pembatasan

- Peliknya prosedur valuasi ekonomi

jasa lingkungan

Tidak seperti insentif finanisal yang tergantung pada subsidi pemerintah, imbal jasa ini mensyaratkan pemanfaat jasa multifungsi DAS membayar jasa yang diterimanya kepada penyedia jasa tersebut. Selain itu harus disepakati jasa apa saja yang akan dibayarkan oleh penerima jasa kepada penyedia jasa. Penyedia jasa pun harus dapat memastikan bahwa jasa multifungsi DAS tersebut merupakan hasil pengelolaannya dan ketersediaannya tergantung pada keputusan yang diambil oleh penyedia jasa. Namun, banyaknya stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan DAS dapat menyebabkan situasi yang kompleks, rumit dan membutuhkan biaya transaksi yang tinggi.

Menurut Cahyono dan Purwanto (2006), mekanisme imbal jasa multifungsi DAS dapat dikelompokkan dalam 3 bentuk yaitu:

a. Kesepakatan yang diatur sendiri

Kesepakatan diatur sendiri antara penyedia jasa dengan penerima jasa, biasanya bersifat tertutup, cakupannya sempit, negosiasi terjadi secara tatap muka, perjanjian cenderung sederhana, dan campur tangan yang rendah dari pemerintah. Misalnya, skema ekolabel, sertifikasi, pembelian hak pengembangan lahan dimana jasa itu berada, pembayaran langsung antara pemanfaat jasa DAS yang berada di luar lokasi dengan pemilik lahan yang bertanggungjawab atas ketersediaan jasa multifungsi DAS.

b. Skema pembayaran publik

(38)

iuran dan pajak. Contohnya, kebijakan penetapan harga air, persetujuan penggunaan pajak air untuk melindungi DAS, menciptakan mekanisme pengawasan, pemantauan dan pelaksanaan regulasi yang bersifat melindungi penyedia jasa dan menerapkan denda bagi pelanggarnya.

c. Skema pasar terbuka

Skema ini jarang diterapkan dan cenderung dapat diterapkan di negara yang sudah maju. Pemerintah dapat mendefinisikan barang atau jasa apa saja dari multifungi DAS yang dapat diperjual belikan. Selanjutnya dibuat regulasi yang dapat menimbulkan permintaan. Perlu sebuah kerangka regulasi yang kuat dan penegakan hukum, transparansi, penghitungan secara ilmiah yang akurat dan sistem verifikasi yang terjamin.

Selain mekanisme yang dipergunakan dalam imbal jasa multifungsi DAS, tipe imbalan berkaitan dengan jasa lingkungan akan menentukan implementasi lapangan. Gouyon (2004) membagi imbalan berkaitan dengan jasa lingkungan dalam 3 kategori yaitu:

1. Imbalan berupa pembiayaan langsung, seperti pemberian subsidi atas pertukaran suatu perubahan tata guna lahan.

2. Imbalan non finansial, misalnya penyediaan infrastruktur, pelatihan, manfaat atau jasa-jasa lainnya bagi pihak yang menyediakan jasa lingkungan.

3. Akses ke sumberdaya atau pasar, seperti pemilikan lahan, atau akses pasar yang lebih baik dengan sertifikasi jasa lingkungan atau dengan skema alokasi kontrak publik

2.6. Bahaya Usaha Tani yang Serampangan

Apa yang terkandung dalam tanah merupakan unsur hara atau makanan yang sangat diperlukan tanaman. Kemampuan tanah dalam memenuhi kebutuhan tanaman disebut dengan produktifitas tanah. Produktifitas tanah semakin lama akan semakin menurun akibat Usaha tani yang tidak benar, pengikisan lapisan tanah atas yang dibiarkan, pencemaran lingkungan, dan bencana alam.

(39)

tersebut dan bahan organik lainnya, akan menguras kesuburan tanah. Unsur hara atau makanan yang ada di tanah akan diambil tanaman untuk pertumbuhan batang, daun dan buah. Unsur hara yang diambil itu adalah unsur hara Makro (unsur yang diambil tanaman dalam jumlah besar) yaitu, N (nitrogen), P (fosfor), K (kalium), Ca (Calsium), Mg (magnesium), dan S (sulfur) dan juga unsur mikro (unsur yang diperlukan dalam jumlah sedikit) yaitu Fe (besi), Mn (mangan), Bo (boron), Mo (molibdenum), Cu (tembaga), Zn (seng), Cl (klor)dan Co (kobalt). Oleh karena itu setiap panenan banyak sekali unsur hara yang terangkut dari dalam tanah tanpa dikembalikan lagi ke dalam tanah.

Pada lahan-lahan miring, kehilangan lapisan tanah atas akan terjadi bersamaan dengan mengalirnya air ke bawah. Lapisan atas yang mengandung unsur hara akan segera habis dengan besarnya pengaliran air di atasnya. Hilangnya lapisan atas akan menyisakan lapisan tanah dalam atau yang sering disebut tanah tulang. Tanpa usaha pencegahan tanah tidak akan mampu lagi mendukung pertumbuhan tanaman secara maksimal. Penggunaan bahan-bahan kimia dan racun secara berlebihan akan mengganggu kondisi lingkungan kita. Racun akan terserap ke dalam tanah dan akan membunuh makhluk hidup lain di dalam tanah, sehingga tanah menjadi mati dan tidak mampu berproduksi dengan semestinya.

(40)

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kondisi umum dari lokasi penelitian yaitu dimulai dari kondisi umum Kabupaten Wonosobo, Kecamatan Kejajar, Dataran Tinggi Dieng hingga profil desa penelitian yaitu Desa Igirmranak. Data dan informasi yang dipaparkan dalam bab ini bersumber pada dokumen Wonosobo Dalam Angka tahun 2009 dan Wonosobo Dalam Angka tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Wonosobo serta beberapa informasi yang didapat melalui wawancara dengan beberapa stakeholders kunci.

3.1. Kabupaten Wonosobo a. Letak dan Luas

Wonosobo merupakan salah satu dari 35 Kabupaten di Jawa Tengah yang terletak pada 7˚ 04’13‖ - 7˚ 04’.40‖ LS, dan 109˚ 43’19‖ dan 110˚ 04’ 40‖ BT dengan luas wilayah mencapai 98.468 hektar. Secara administratif Kabupaten Wonosobo terbagi menjadi 15 Kecamatan, yaitu Kecamatan Wonosobo, Kertek, Selomerto, Leksono, Garung, Kejajar, Mojotengah, Watumalang, Sapuran, Kepil, Kalikajar, Kalibawang, Kaliwiro, Wadaslintang dan Kecamatan Sukoharjo. Kabupaten ini berbatasan dengan:

• Kabupaten Banjarnegara, Kendal dan Batang di sebelah utara. • Kabupaten Temanggung dan Magelang di sebelah timur. • Kabupaten Purworejo dan Kebumen di sebelah selatan.

• Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Kebumen di sebelah Barat.

(41)

Sumber: Wonosobo Dalam Angka 2010

Gambar 2. Peta Administrasi Kabupaten Wonosobo

b. Penguasaan dan Pemanfaatan Lahan

(42)

Sumber: Wonosobo Dalam Angka 2010

Gambar 3. Distribusi Penggunaan Lahan di Kabupaten Wonosobo

Tanah kering merupakan bagian terluas dari wilayah Wonosobo. Pada wilayah tersebut penguasaan ada pada masyarakat, selain sawah dan penggunaan lainnya. Sementara itu, hutan dikuasai oleh negara (state forest) yang pengelolaannya dilakukan oleh Perum Perhutani, dan perkebunan oleh swasta. Tidak ditemukan data rinci mengenai penggunaan tanah kering tersebut.

Dapat dikemukakan bahwa kondisi tanah di Kabupaten Wonosobo tergolong subur, karena terletak di sekitar gunung api muda. Wajar jika dimanfaatkan untuk tanaman pertanian yang menjadi mata pencaharian utama masyarakat Wonosobo. Komoditi utama pertanian yang dikembangkan antara lain kentang, tembakau, kopi, pepaya carica, purwaceng, jamur, kol dan wortel. Kebun dan hutan rakyat berkembang sangat pesat, khususnya di wilayah bagian tengah dan selatan (Nugroho, 2009).

c. Kondisi Agro-ekosistem

(43)

bulan yang paling jarang hujan, dan paling banyak terjadi hujan pada bulan Januari. Rata-rata hari hujan adalah 196 hari dengan curah hujan rata-rata 3.400 mm, tertinggi di Kecamatan Garung (4.802 mm) dan terendah di Kecamatan Watumalang (1.554 mm). Peta curah hujan untuk kawasan Dieng dan sekitarnya disajikan pada Gambar 4 berikut:

Sumber: Tim Kerja Pemulihan Dieng, 2011

Gambar 4. Peta Curah Hujan Kawasan Dieng dan sekitarnya

Menurut data BPS Kabupaten Wonosobo 2010, jenis tanah di Kabupaten Wonosobo dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

- Andosol (25%), tersebar di Kecamatan Kejajar, sebagian Garung, Mojotengah, Watumalang, Kertek dan Kalikajar,

- Regosol (40%), terdapat di Kecamatan Kertek, Sapuran, Kalikajar, Selomerto, Watumalang dan Garung, dan

- Tanah Podsolik (35%) terdapat di Kecamatan Selomerto, Leksono dan Sapuran.

(44)

kategori datar. Sebagian besar wilayah mempunyai tingkat kemiringan lebih dari 30% (Tabel 3). Dan beberapa wilayah kabupaten Wonosobo merupakan daerah yang labil sehingga rawan terjadi tanah longsor.

Tabel 3. Topografi Luas Kemiringan Lahan Kabupaten Wonosobo

URAIAN LUAS (Ha)

Datar ( 3 – 8 % ) 54,4 ha

Bergelombang ( 8 – 15 % ) 24.769,1 ha

Curam ( 15 – 40 % ) 42.173,6 ha

Sangat Curam ( > 40 % ) 31.829,9 ha Sumber: Wonosobo Dalam Angka 2010

Daerah pegunungan Wonosobo di bagian utara menjadi sumber mata air yang mengalir beberapa sungai, yaitu Sungai Serayu, Bogowonto, Kali Putih, Kali Galuh, Kali Semagung, dan Luk Ulo. Sebagian besar sungai ini dimanfaatkan untuk irigasi pertanian, keperluan rumah tangga, air minum komersial dan sumber energi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Terdapat satu bendungan besar Mrica (Sudirman) di wilayah Kabupaten Banjarnegara yang berasal dari Sungai Serayu yang digunakan untuk irigasi dan PLTA. Aliran sungai lainnya digunakan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).

Mengacu pada pembagian wilayah pengelolaan sungai, Sub Satuan Wilayah Sungai (SSWS) di Kabupaten Wonosobo adalah sebagai berikut :

 SSWS Serayu Hulu mempunyai luas daerah tangkapan 591,34 km2 dengan panjang sungai 45 km

 SSWS Bogowonto seluas 146,10 km2 dengan panjang sungai 26,70 km

 SSWS Medono seluas 196,10 km2 dengan panjang sungai 10,25 km

(45)

d. Kependudukan dan Perekonomian Kependudukan

Hasil Registrasi Penduduk Akhir Tahun 2009, jumlah penduduk Kabupaten Wonosobo adalah sebanyak 789.848 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 398.933 jiwa dan perempuan 390.915 jiwa dengan rasio jenis kelamin 102,05. Pertambahan penduduk dari tahun 2008 ke 2009 sebesar 5.622 jiwa berasal dari mutasi penduduk lahir sebanyak 9.961 jiwa, meninggal sebanyak 3.733 jiwa, datang 3.983, dan pergi 4.589. Tingkat kelahiran tertinggi sebesar 16,86% terjadi di Kecamatan Kaliwiro dan tingkat kematian tertinggi sebesar 6,97% terjadi di Kecamatan Kepil.

Bila dilihat per kecamatan, jumlah penduduk terbesar adalah di Kecamatan Kertek yaitu sebanyak 77.169 jiwa, disusul Kecamatan Wonosobo sebesar 76.996 jiwa, sedangkan Kecamatan yang jumlah penduduknya paling sedikit adalah Kecamatan Kalibawang yaitu sebesar 26.029 jiwa. Ditinjau dari pertumbuhan penduduk selama lima tahun terakhir (2005-2009), Kecamatan Garung mengalami pertumbuhan penduduk yang paling tinggi sebesar 0,93%, sedangkan pertumbuhan penduduk terendah di Kecamatan Wonosobo sebesar 0,27%.

Kepadatan penduduk di Kabupaten Wonosobo tahun 2009 sebesar 802 jiwa per Km2. Bila dilihat per kecamatan, angka kepadatan penduduk cukup bervariasi. Angka kepadatan penduduk yang paling tinggi terdapat di kecamatan Wonosobo sebesar 2.378 jiwa per Km2 sedangkan yang paling rendah di Kecamatan Wadaslintang sebesar 433 jiwa per Km2.

Perekonomian

(46)

Tabel 4. Peranan masing-masing sektor dalam PDRB (%) Kabupatren Wonosobo Atas Dasar harga Konstan Tahun 2004 - 2006

No Sektor Produk Domestik Regional Bruto (Tahun)

2004 2005 2006

4 Listrik, Gas dan Air Bersih 0,72 0,72 0,72

5 Bangunan 4,04 4,04 4,04

6 Perdagangan, Hotel dan Restoran

11,60 11,65 11,74

7 Angkutan dan Komunikasi 5,93 5,89 5,86

8 Bank, Persewaan & Jasa

Kecamatan Kejajar merupakan wilayah Kabupaten Wonosobo yang seluruhnya berada di Kawasan Dieng. Luas wilayah Kecamatan Kejajar adalah 5.762 hektare yang tebagi dalam 15 desa, yaitu: Buntu, Sigedang, Tambi, Kreo, Serang, Igirmanak, Surengede, Tieng, Parikesit, Sembungan, Jojogan, Patak Banteng, Dieng, Sikunang dan Campursari. Desa terbesar adalah Sigedang dengan luasan 1.081,52 hektar dan desa terkecil adalah Igirmanak 109, 86 hektar.

3.2.1 Penggunaan Lahan

(47)

Tabel 5 Penggunaan Lahan di Kecamatan Kejajar

No. Lahan Jumlah Prosentase

1 Pekarangan 157,21 2.7%

2 Tegalan 3.066,31 53.2%

3 Kolam 1,67 0.0%

4 Hutan Negara 2.307,20 40.0%

5 Rawa/Telaga 21,00 0.4%

6 Perkebunan 155,85 2.7%

7 Lainnya 52,67 0.9%

Jumlah 5.761,90 100.0%

Sumber: Tim Kerja Pemulihan Dieng 2011

Komposisi lahan terbesar berupa tegalan yang dipakai sebagai lahan budidaya tanaman semusim oleh masyarakat, yang mana bentuk pengusahaan lahan ini diduga kuat sebagai merupakan salah satu sumber penyumbang erosi terbesar di DAS Serayu.

3.2.2. Kepemilikan Lahan

Sumber: Tim Kerja Pemulihan Dieng 2011

(48)

Dari Gambar 5 diatas, dapat diketahui bahwa rata-rata kepemilikan lahan untuk setiap rumah tangga di Kecamatan Kejajar adalah di bawah 1 Ha. Keterbatasan lahan ini menyebabkan pengolahan lahan di Kejajar menjadi sangat intensif, bahkan menurut beberapa sumber yang diwawancara, kondisi seperti ini yang pada masa lalu akhirnya mendorong masyarakat merambah kawasan hutan untuk menanam tanaman semusim.

3.2.3. Mata Pencaharian

Mata pencaharian sebagian besar penduduk di Kecamatan Kejajar adalah sebagai petani dengan komoditi yang dibudidayakan meliputi kentang, sawi, kacang merah, daun bawang, kobis dan jagung. Secara lebih jelas, sebaran penduduk menurut mata pencahariannya disajikan pada Tabel 6 dan Tabel 7 serta gambar 3.5 berikut:

Tabel 6. Mata pencaharian penduduk Kecamatan Kejajar

No. Mata pencaharian Jumlah Prosentase

1 Petani 9.539 48%

Tabel 7. Luas Panen dan Produksi Tanaman Sayuran di Kecamatan Kejajar

(49)

5 Daun Bawang 315 799 3.3% 0.9%

6 Kobis 3.970 8.999 41.4% 10.4%

Jumlah 9.598 86.536 100.0% 100.0%

Sumber: Tim Kerja Pemulihan Dieng 2011

Sumber: Tim Kerja Pemulihan Dieng 2011

Gambar 6. Mata pencaharian penduduk Kecamatan Kejajar

(50)

3.2.4 Tingkat Pendidikan

Tabel 8. Tingkat Pendidikan Penduduk di Kecamatan Kejajar

Desa SD SLTP SMA AKD

Sumber: Tim Kerja Pemulihan Dieng 2011

(51)

Sumber: Tim Kerja Pemulihan Dieng 2011

Gambar 7. Tingkat Pendidikan Penduduk di Kecamatan Kejajar

3.2.5. Karakteristik Masyarakat Kejajar

Masyarakat Kejajar merupakan masyarakat agraris, dimana hampir seluruh penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Hanya saja ternyata belum semua petani memiliki pengetahuan yang cukup memadai di bidang pertanian itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari sejarah pertanian di Kejajar ketika mulai booming tanaman kentang tahun 80-an, ternyata hingga saat ini belum ada perkembangan yang berarti untuk pengelolaan pertanian. Masyarakat petani sejauh ini hanya mengandalkan penyuluhan-penyuluhan dari agen-agen pabrik pestisida yang sesungguhnya hanya mempromosikan produknya. Akibatnya petani tidak mengetahui benar apa saja yang sesungguhnya dibutuhkan oleh tanaman dan lahan pertaniannya. Mereka hanya berusaha untuk mempertinggi hasil panen dengan menambah dosis obat atau mengganti obat dengan kandungan yang lebih kuat. Akibatnya tanaman semakin resisten dan kandungan bahan kimia dalam tanah semakin tinggi dan merusak struktur tanah (TKPD, 2011).

(52)

Perhatian utama masyarakat Kejajar selama ini hanya tertuju pada bidang pertanian, terutama tanaman kentang yang secara ekonomis cukup menguntungkan sehingga bidang-bidang lain kurang mendapat perhatian. Pendidikan dan ketrampilan lain belum menjadi kebutuhan karena orientasi mereka masih pada materi dan sudah terpenuhi dari hasil tanaman kentang. Maka salah satu dampaknya adalah minimnya pengetahuan masyarakat di bidang-bidang lain seperti pariwisata sehingga sumber daya manusia untuk mendukung pengelolaan menuju desa wisata masih belum memadai (TKPD, 2011).

Hutan yang sudah terlanjur gundul di Desa Kejajar belum direhabilitasi sampai sekarang sehingga erosi terjadi hampir di seluruh kawasan desa yang topografinya berbukit-bukit sehingga mendorong terjadi pengendapan lumpur di daerah hilir.

3.3. Kawasan Dieng

Kawasan Dieng dapat dikatakan merupakan tulang punggung sistem penyangga kehidupan (life support system) Kabupaten Wonosobo. Hampir semua aktivitas ekonomi bersumber pada kawasan Dieng. Demikian pula potensi bencana yang ada. Dengan demikian, peran dan fungsi Kawasan Dieng berupa produktivitas ekonomi maupun jasa lingkungan, dapat terwujud apabila dikelola secara lestari (Nugroho, 2009).

(53)
(54)

KABUPATEN KECAMATAN LUAS (Ha)

Wonosobo 384.64

Wonosobo Total 11.647,95

Jumlah 54.974, 27

Sumber: Nugroho, 2009

Keistimewaan kawasan Dieng adalah merupakan hulu dari 8 DAS yang mengalir ke wilayah selatan dan utara Pulau Jawa. Alirannya mengaliri ribuan ha sawah dan mencukupi kebutuhan air bagi jutaan penduduk. Kedelapan sungai tersebut adalah hulu DAS Serayu (seluas 22.921 ha), hulu DAS Progo (seluas 2.672,13 ha), hulu DAS Bodri Ds (seluas 3.646,62 ha), hulu DAS Lampir Ds (seluas 5.967,56 ha), hulu DAS Sengkarang Ds (seluas 16.857,65 ha), hulu DAS Comal (seluas 380,48 ha), dan hulu DAS Sragi (seluas 2.526,56 ha). Khusus untuk Sungai Serayu, kawasan ini menjadi daerah tangkapan air (DTA) waduk Sudirman yang merupakan investasi besar guna irigasi dan tenaga listrik (Nugroho, 2009).

(55)

Tabel 10 Hutan Lindung Kawasan Dieng di Kabupaten Wonosobo

Sumber: Nugroho, 2009

Kawasan Dieng juga merupakan habitat beragam satwa dilindungi yang sebagian diantaranya terancam punah. Beberapa spesies yang tercatat hidup di dataran tinggi Dieng antara lain Harimau Tutul (Panthera pardus), mamalia endemik Jawa seperti Babi Hutan (Sus verrcosus), Owa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis comata), dan Lutung (Trachypithecus auratus), serta 19 species burung endemik Jawa termasuk diantaranya Elang Jawa (Spizaetus bartelsii). Juga terdapat tumbuhan spesifik yang hanya hidup di pegunungan Dieng yaitu Purwoceng (Pimplinea pruacen) yang dikenal sebagai tanaman obat.

Dataran tinggi ini dikenal karena memiliki lansekap alam pegunungan yang indah dengan warisan budaya berupa tinggalan Siwaistik dari belasan abad silam. Tinggalan tersebut adalah delapan buah candi, yaitu Candi Arjuna, Semar, Srikandi, Puntadewa, Sembadra, Dwarawati, Bhima, dan Gatotkaca. Selain itu masih dijumpai beberapa struktur bangunan yang diduga sebagai tempat tinggal para biksu, petirtaan, serta saluran air dan jalan kuna.

Warisan budaya di Dataran Tinggi Dieng sudah lama dikelola, baik segi pelestarian maupun pemanfaatan untuk pariwisata. Namun pengelolaan kawasan

KPH Luas

(56)

Dieng, baik sebagai situs bersejarah maupun objek wisata, berbenturan dengan kepentingan lain, misalnya pertanian kentang, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB), pabrik pengalengan jamur dan carica, serta pemukiman.

Kepadatan penduduk rata-rata Kawasan Dieng mencapai angka 100 jiwa/km² dengan pemilikan lahan yang rendah yaitu rata-rata sebesar 0,1 ha. Desa yang paling padat jumlah penduduknya adalah desa Dieng, Kecamatan Kejajar yang mencapai 190 jiwa/km². Kepadatan penduduk yang cukup tinggi dan tingkat kepemilikan lahan yang rendah ini menyebabkan terjadinya tekanan terhadap kawasan lindung dengan adanya proses pengalihan fungsi lahan (kawasan lindung menjadi lahan budidaya).

Konversi lahan ini menyebabkan terjadinya degradasi lahan yang parah. Lahan kritis yang sudah di atas ambang batas toleransi terjadi di mana-mana akibat pemanfaatan lahan hutan di Pegunungan Dieng secara besar-besaran untuk tanaman kentang. Saat ini Dieng yang masuk wilayah Banjarnegara, terdapat 4.758 hektare tanaman kentang, sedang di Wonosobo 3.000 hektare lebih. Jadi sekitar 7.758 hektare lebih lahan di Dieng sudah menjadi tanah kritis. Lahan kritis itu tetap bisa berproduksi, karena tanaman kentang dipacu dengan pupuk (kandang/ kimia) dalam dosis besar. Tingkat erosi yang terjadi sudah mencapai mencapai angka 10,7 mm/tahun atau rata-rata sebesar 161 ton/hektare/ tahun. 3.4. Profil Desa Igirmranak

Berikut akan disampaikan sekilas mengenai kondisi umum desa penelitian yaitu Desa Igirmranak. Data-data yang disajikan disadur dari data Monografi Desa Igirmranak tahun 2010 yang diperoleh dari kantor desa setempat.

(57)

yaitu dari 1.360 mdpl – 2.302 mdpl dan suhu udara sangat sejuk yang berkisar antara 14o – 23o C. Jumlah penduduk desa Igirmranak hingga akhir tahun 2011 adalah sebanyak 716 jiwa yang terdiri dari 370 orang laki-laki dan 346 perempuan. Sedangkan jumlah Kepala Keluarga (KK) adalah sebanyak 213 KK. Jarak desa dari ibukota kabupaten sekitar 21 km dan jarak dari pusat pemerintahan kecamatan adalah sekitar 4 km. Mayoritas masyarakat di Desa Igirmranak adalah penganut agama Islam. Infrastruktur yang tersedia di desa ini masih relatif terbatas dimana hanya terdapat sebuah masjid dan dua buah Sekolah Dasar (SD) saja. Akses jalan cukup baik, walaupun dibeberapa lokasi ditemukan bahu jalan rusak akibat longsor yang terjadi.

(58)

IV. METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, dalam rentang bulan Januari - Mei 2011 yang berlokasi di Desa Igirmranak, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah.

4.2. Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner Willingness to Accept (WTA), kuisioner biaya pertanian, altimeter, klinometer, bor tanah, Chin Ong Meter, ring sampel tanah, meteran, waterpass, pisau pandu, kantong plastik dan karet gelang, kertas label, drum penampung, atau kolektor air larian dan sedimentasi, lembar plastik penahan, alat-alat pertukangan, kamera digital, perangkat komputer, alat tulis.

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini diantaranya lahan budidaya kentang, contoh tanah/sedimen, contoh air larian, peta administrasi, peta jenis

tanah, peta kelas lereng, peta penutupan dan penggunaan lahan dan data curah hujan.

4.3. Jenis dan Sumber Data

(59)

4.4. Pengumpulan Data

Tahapan yang dilakukan dalam proses pengumpulan data dibagi menjadi dalam lima tahapan :

4.4.1. Tahapan Persiapan

Kegiatan tahapan persiapan terdiri atas: (i) Pengumpulan dan kompilasi data sekunder (studi literatur). Proses ini bertujuan untuk mengumpul berbagai informasi mengenai kondisi umum lokasi penelitian, penelitian-penelitian yang sudah ada, program pemerintah serta berbagai data - data literatur yang terkait dengan kawasan Dieng. Selain itu juga dilakukan (ii) Persiapan bahan dan alat penelitian, seperti kuisioner, peta digital, GPS dan tallysheet.

4.4.2. Observasi Lapang

Kunjungan lapang dilakukan sebagai bentuk observasi langsung terhadap kondisi lokasi penelitian dan sosial masyarakat yang ada. Beberapa hal yang dilakukan adalah pemilihan lokasi plot sampling, negosiasi dengan pemilik lahan, persiapan alat, dll

4.4.3. Pengambilan Data Primer

Pengambilan data erosi dan aliran permukaan pada setiap plot pengamatan yang berbeda pada setiap momen hujan selama maksimal 6 bulan (disesuaikan dengan awal dan akhir penanaman kentang). Selain itu juga dilakukan analisis biaya pertanian dan survey (WTA) kepada para petani terhadap adanya inovasi-inovasi baru dalam pertanian kentang.

4.4.4. Wawancara Petani Kentang

Wawancara bertujuan guna mendapatkan berbagai informasi yang terkait dengan biaya produksi pertanian kentang serta Willingness to Accept (WTA) yang diinginkan oleh para petani kentang untuk melakukan upaya konservasi yang ditawarkan dalam skema imbal jasa lingkungan untuk perbaikan wilayah Dieng.

4.5. Prosedur Penelitian

Adapun prosedur penelitian adalah:

1. Menghitung erosi dengan metode Chin Ong Meter

(60)

b) Diukur curah hujan per kejadian hujan

c) Dilakukan pengukuran setiap setelah kejadian hujan d) Pengukuran air limpasan dan sedimen

 Diaduk seluruh air limpasan dan sedimen yang tertampung dalam drum/jerigen penampung

 Dihitung volume air limpasan dan sedimen yang telah diaduk rata

 Diambil sampel larutan (air lintasan dan sedimen yang diaduk)

e) Pengukuran besar tanah yang tererosi

 Disaring sampel larutan (air limpasan dan sedimen yang diaduk)

 Diovenkan sedimen yang tersaring hingga berat konstan

 Ditimban sedimen yang tersaring setelah diovenkan sebelumnya

4.6. Metode Penelitian

4.6.1. Pengukuran Laju Erosi dengan metode “Chin Ong Meter”

Penelitian ini merupakan metode dekriptif eksploratif yang dilakukan untuk mengetahui tingkat erosi dan aliran permukaan di kawasan hulu DAS Serayu (Dieng), melalui perhitungan dan pengukuran besarnya erosi aktual pada penggunaan lahan pertanian kentang. Pengukuran erosi dan pengambilan sampel tanah dilakukan dengan cara purposive sampling terutama dalam menetapkan lokasi pada lahan pertanian kentang. Limpasan permukaan dan erosi dimonitor dan diukur dari petak-petak erosi yang dibangun pada lahan pertanian kentang yang masing-masing diberi perlakuan:

- Konservasi campuran berupa terasering sejajar kontur, Pembuatan SPA serta penanaman strip rumput

- Bisnis as Usual (Konvensional) sebagai control

(61)

Chin-ong-meter‖. Pengukuran limpasan dan erosi dilakukan sesudah setiap peristiwa hujan selama masa tanam kentang.

Chin-ong meter (Gambar 8) merupakan suatu penyalur limpasan permukaan yang dipasang di saluran pembuangan plot pengukur limpasan permukaan dan erosi. Chin-ong meter ini terbuat dari plat besi setebal 3 mm yang berbentuk persegi panjang dengan panjang 50 cm, lebar 25 cm dan tinggi 15 cm. Di bagian tengah dan bawah dari alat ini dibuat lubang selebar diameter dalam dari pipa besi berdiamater 5 cm. Di dalam pipa tersebut di buat lubang sempit memanjang guna pembuangan air yang ditampung dalam jurigen untuk pengukuran limpasan permukaan dan erosi. Limpasan permukaan dan erosi yang lainnya diteruskan ke bawah dalam permukaan dasar Chin-ong meter menuju pembuangan. Alat ini pada bagian yang panjang dipasang agak miring namun pada bagian lebar harus dipasang dalam posisi yang rata dan dichek dengan ―water-pas‖. Dengan teknik pemasangan tersebut, aliran air diasumsikan sebagai aliran laminer, sehingga sebagian aliran akan masuk silinder dan lainnya terus menuju pembuangan. Perbandingan antara jumlah air yang masuk silinder dan yang keluar setiap alat yang terpasang di lapangan harus dikalibrasikan melalui proses penuangan air 10 liter dari atas alat dan diukur limpasan yang masuk ke dalam jerigen. Selanjutnya jika sudah ada angka kalibrasi untuk setiap alat maka untuk pengamatan limpasan permukaan dan erosi cukup menampung aliran yang lewat Chin-ong meter, kemudian diukur volume air dan sedimen di jerigen penampung.

(62)

Gambar 8. Skema Plot Erosi “Chin Ong Meter”

4.6.2. Opportunity Cost (Biaya Peluang) dengan pendekatan Analisis Usaha Tani

Dalam melakukan usaha tani kentang, analisis biaya dan pendapatan merupakan awal dalam menentukan sikap untuk melakukan budidaya kentang. Analisis perhitungan dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai produksi dan harga jual yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pendapatan petani dalam berusaha tani kentang. Usaha tani kentang skalanya relatif kecil dan adanya ketergantungan terhadap harga jual yang selalu berfluktuasi setiap waktu akan mempengaruhi hasil usaha tani serta pendapatan petani. Melihat fenomena di atas mendorong dilaksanakan analisis usaha tani kentang di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo.

Sampel diambil dari kepala rumah tangga petani yang mengusahakan kentang pada lahan pertanian yang dikuasai. Data yang dikumpulkan mencakup data kualitatif dan kuantitatif yang bersumber dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan metode survey, yakni dengan mewawancarai responden secara langsung dengan bantuan daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Data primer meliputi:

(63)

2 Aspek produksi dan biaya produksi: luas tanam, luas panen, besarnya produksi, penggunaan sarana produksi (bibit, pupuk, obat-obatan, mulsa, plastik dan ajir), penggunaan tenaga kerja (luar dan dalam keluarga), upah biaya untuk irigasi, pajak tanah dan penyusutan alat-alat pertanian.

Data sekunder diperoleh dari lembaga atau instansi yang terkait dengan penelitian meliputi: data yang diperoleh dari kantor kepala desa, Kantor Statistik Kabupaten Wonosobo, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Wonosobo, serta pustaka-pustaka ilmiah.

Analisis yang digunakan adalah analisis usaha tani. Data kuantitatifnya ditabulasi dan dikonversi dalam satuan yang sama. Menurut Soekartawi (1993), pendapatan usaha tani merupakan selisih antara penerimaan dengan semua biaya yang dikeluarkan.

Pendapatan usahatani kentang diperoleh dari perhitungan sebagai berikut :

TL = Y.Py -

Σ

X i . Pi

Keterangan:

TL = Pendapatan usaha tani Kentang. Y = Produksi kentang

Py = Harga kentang per unit X i = Penggunaan faktor ke-i Pi = Harga faktor ke-i per unit

Untuk mengetahui tingkat kelayakan usaha tani kentang dipergunakan analisis R/C ratio. Makin besar nilai R/C ratio usahatani itu makin layak diusahakan (Soekartawi, 1993).

Dalam penelitian ini dipergunakan batasan operasional berikut:

1. Usaha tani adalah suatu jenis kegiatan pertanian rakyat yang diusahakan oleh petani dengan mengkombinasikan faktor alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang ditujukan pada peningkatan produksi.

Gambar

Tabel 1. Perbandingan Antara Daerah Hulu dengan Hilir (Cahyono dan Purwanto, 2006)
Gambar 2. Peta Administrasi Kabupaten Wonosobo
Gambar 3. Distribusi Penggunaan Lahan di Kabupaten Wonosobo
Gambar 5. Kepemilikan Lahan di Kecamatan Kejajar
+7

Referensi

Dokumen terkait

II Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan ilmu pengetahuan, serta mempunyai potensi kuat mengaki batkan

Penelitian ini berjudul Kesantunan dengan Daya Semiotika Bahasa Caleg Partai Golongan Karya di Labuhanbatu Utara. Penelitian ini berupa kajian sebagai

the Riau Islands Province of Indonesia , across the Strait of Singapore , the third-largest city in Sumatra region after Medan and Palembang , and the eighth-largest city

Pada dasarnya sensor tekanan MPX4100 adalah sebuah sensor tekanan yang sudah dilengkapi dengan rangkaian pengkondisi sinyal dan temperatur kalibrator yang

Tema Kerajinan Tangan berbasis adobe flash di kelas III SD. Mengetahui respon siswa terhadap pengembangan media audio visual. Tema Kerajinan Tangan berbasis adobe flash di kelas

Tiga subjek penelitian yang lain menyetujui bahwa berdoa dengan spiritualitas level satu menyebabkan stres. dengan alasan yang sama dengan pendapat Zsolnai dan Okoro,

3 Surat Keterangan Aktif mengajar pada satminkal dari awal samapi dengan terakhir pertahun ( asli bukan fotokopi )5. SKMT 24 JTM (150 Siswa bagi guru BP) dari pejabat yang

Untuk melayani transportasi penumpang dalam kota dan penumpang antar kota dalam propinsi, kabupaten Pekalongan mempunyai sebuah terminal baru yang terletak di jalan Diponegoro,