• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN A Latar Belakang

/PT tidak/belum

V. HASILDAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Usaha Tani Kentang

5.3. Karakteristik Sosial Ekonomi Responden 1 Kondisi Lingkungan Hidup

5.3.3. Usia Responden

Tingkat umur responden bervariasi, dimulai dari 21 tahun hingga diatas umur 71 tahun. Distribusi tingkat umur responden dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Sebaran responden menurut Usia

Dari gambar di atas terlihat bahwa responden terbanyak pada kisaran umur 31 – 40

tahun yaitu sejumlah 36 orang atau 36% dari keseluruhan responden, dan pada

kisaran umur 21 – 30 tahun sebanyak 20 orang atau 20 % dari keseluruhan responden.

Responden yang berusia antara 41 – 50 tahun sejumlah 18 orang atau 18% dari

keseluruhan responden, responden yang berusia antara 51 – 60 tahun sejumlah 17

orang atau 17% dari keseluruhan responden, responden yang berusia antara 61 – 70

tahun sejumlah 8 orang atau 8% dari keseluruhan responden sedangkan responden yang berusia di atas 71 tahun sejumlah 1 orang atau satu persen dari keseluruhan responden.

5.3.4. Tingkat Pendidikan

Berdasarkan Gambar 13, dapat dilihat bahwa responden umumnya lulusan Sekolah Dasar atau sederajat yaitu sejumlah 87 orang atau 87% dari keseluruhan responden. Responden yang memiliki pendidikan formal terakhir SMP atau sederajat berjumlah 6 orang atau atau 6% dari keseluruhan responden, responden yang memiliki pendidikan formal terakhir SMA atau sederajat berjumlah 2 orang atau atau 2% dari keseluruhan responden, sedangkan responden yang tidak sekolah berjumlah 5 orang atau 5% dari keseluruhan responden.

Gambar 13. Sebaran responden menurut Pendidikan 5.3.5. Jumlah Tanggungan

Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki anak 3 orang yaitu sejumlah 43 keluarga atau 43% dari keseluruhan responden. Selanjutnya diikuti dengan responden memiliki 2 orang anak yaitu sejumlah 28 keluarga atau 28% dari keseluruhan responden. Responden yang memiliki 4 orang anak yaitu sejumlah 14 keluarga atau 14% dari keseluruhan responden, responden yang memiliki 1 orang anak yaitu sejumlah 9 keluarga atau 9% dari keseluruhan responden, responden yang memiliki 5 orang anak yaitu sejumlah 4 keluarga atau 4% dari keseluruhan responden serta responden yang memiliki 6 dan 7 orang anak masing-masing berjumlah 1 keluarga atau 1% dari keseluruhan responden (Gambar 14).

Gambar 14. Sebaran responden menurut Jumlah Tanggungan 5.3.6. Pendapatan

Walaupun responden tinggal pada daerah pertanian kentang, komoditi pertanian kentang bukan satu-satunya sumber pendapatan bagi masyarakat di desa

Igirmranak. Hasil survey menunjukkan bahwa pendapatan dari hasil pertanian kentang hanya menyumbang hampir 70% dari total pendapatan keluarga responden. Selain itu, 17 % total pendapatan lainnya berasal dari upah sebagai buruh maupun gaji sebagai perangkat desa, guru maupun PNS, 8 % dari sektor perdagangan berupa warung maupun sebagai pengumpul kentang sedangkan 5% sisanya berasal dari sektor jasa, industri rumah tangga, ternak serta sumber lain. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari Gambar 15.

Gambar 15. Sumber pendapatan responden

Tabel 17 dibawah menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pendapatan responden perkapita untuk setiap bulannya adalah Rp. 279.762,- dimana nilai tersebut sebenarnya masih diatas nilai garis kemiskinan kabupaten Wonosobo sebesar Rp. 147.687,- (BPS, 2008). Apabila dilihat dari nilai pendapatan perkapita untuk setiap rumah tangga yang disurvey, diketahui bahwa sebanyak 39% responden berada dibawah garis kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten Wonosobo. Hal ini berarti rumah tangga mereka tidak mampu untuk memenuhi seluruh kebutuhan dasar sehingga dikategorikan sebagai petani miskin.

Tabel 17. Rata-rata Pendapatan Per Kapita Responden Sumber Pendapatan Total pendapatan Per Tahun Rata-rata pendapatan per HH per tahun Rata-rata pendapatan per Kapita per bulan

Rupiah % Rupiah % Rp

1. Pertanian 882,914,750 66.41 8,918,331 66.41 185,799 2. Non Pertanian

Industri RT 3,960,000 0.30 40,000 0.30 833 Jasa 58,920,000 4.43 595,152 4.43 12,399 Kiriman 6,000,000 0.45 60,606 0.45 1,263 Upah/Gaji 247,494,000 18.61 2,499,939 18.61 52,082 Ternak 3,900,000 0.29 39,394 0.29 821 Lain-lain 6,000,000 0.45 60,606 0.45 1,263 TOTAL 1,330,028,750 100 13,434,634 100 279,762 5.4. Persepsi Responden

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden menyadari bahwa sungai memiliki banyak arti penting di dalam kehidupan mereka. Hal tersebut tergambar melalui jawaban yang beragam yang disampaikan. Sebanyak 68% responden berpendapat bahwa peran penting sungai bagi kehidupan mereka adalah untuk pengairan bagi pertanian kentang mereka (Gambar 16). Hal ini disebabkan karena tanaman kentang sangat bergantung kepada pasokan air sepanjang tahun, terutama pada saat musim kemarau/kering. Sebanyak 14% berpendapat bahwa air sungai juga dapat digunakan sebagai campuran untuk pestisida yang mereka gunakan sedangkan hanya 10% responden yang berpendapat bahwa air sungai bermanfaat untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga mereka sehari-hari. Hanya sebagian kecil responden (7%) yang beranggapan bahwa sungai merupakan tempat pembuatan berbagai sampah dari kehidupan mereka. Hal ini perlu mendapat perhatian serius agar pemahaman-pemahaman seperti ini tidak muncul secara lebih luas di kalangan masyarakat Desa Igir Mranak.

Gambar 16. Peran penting sungai menurut responden

Masyarakat menyadari bahwa lingkungan mereka saat ini sudah mengalami penurunan kualitas apabila dibandingkan dengan satu dekade yang

lalu. Hal tersebut ditunjukkan dengan data yang menggambarkan bahwa sebanyak 77% responden berpendapat demikian. Beberapa bentuk kerusakan alam yang paling banyak disampaikan oleh responden selama penelitian adalah longsor, banjir, erosi, perubahan profil sungai, panen menurun serta kualitas tanah yang semakin rendah. Sedangkan sisanya sebanyak 20% responden berpendapat bahwa kondisi lingkungan mereka saat ini lebih baik dibandingkan dengan kondisi pada beberapa tahun yang lalu (Gambar 17a).

Berbagai pendapat dari reponden menyebutkan bahwa penyebab kerusakan tersebut bersumber dari manusia dan kondisi alam itu sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah jawaban sebesar 60% (Gambar 17b). Sementara itu, sebagian responden berpendapat bahwa penyebab kerusakan yang terjadi murni semata-mata adalah karena ulah manusia saja (18%) dan murni karena kondisi alam/topografi (18%). Beberapa bentuk dan contoh kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia diantaranya adalah penebangan hutan secara tidak terkendali, penggunaan bahan kimia yang berlebihan serta pola pengolahan lahan pertanian yang cenderung tidak mengikuti kaidah konservasi yang baik dan benar. Sedangkan kerusakan yang disebabkan karena alam digambar dengan contoh tingginya curah hujan dan topografi yang curam yang dianggap sebagai penyebab utama terjadi kerusakan lingkungan seperti banjir dan longsor.

(a)

(b) (c)

Gambar 17. (a) Kondisi lingkungan saat ini (b) Faktor-faktor penyebab kerusakan (c) Beban tanggung jawab atas kerusakan lingkungan

Meskipun demikian, masyarakat menyadari bahwa yang harus bertanggung jawab atas terjadinya penurunan kualitas di daerah tempat tinggal dan lahan pertanian mereka adalah mereka sendiri serta masyarakat sekitar. Hal ini cukup jelas digambarkan dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebanyak 48 % responden menjawab bahwa yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kerusakan yang ada adalah mereka sendiri, dan sebanyak 33% berpendapat bahwa masyarakat umum juga memiliki tanggung jawab serupa. Hanya sebagian kecil saja, yaitu 19% rerponden yang berpendapat bahwa pemerintahlah yang sepenuhnya harus bertanggung jawab atas semua kerusakan lingkungan yang ada (Gambar 17c).

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, hampir seluruh masyarakat di Desa Igir Mranak melakukan bercocok tanam kentang sebagai mata pencaharian utama dari sektor pertanian. Berdasarkan hasil FGD yang dilakukan dengan beberapa orang tokoh masyarakat dari desa lokasi, diperoleh keterangan bahwa sejarah masuk dan diperkenalkannya tanaman kentang ke desa mereka sudah berlangsung semenjak tahun 1982. Sebelumnya, masyarakat setempat mengusahakan tembakau sebagai komoditas utama mereka. Dari hasil wawancara diperoleh hasil bahwa alasan mereka menanam kentang adalah karena faktor tradisi yang cukup kuat yang terjadi secara turun temurun (71%). Sedangkan sebagian kecil responden berpendapat bahwa tanaman kentang memiliki masa panen yang relatif lebih cepat dan menguntungkan (Gambar 18).

Gambar 18. Alasan menanam kentang menurut responden

Walaupun demikian, masyarakat tidak menampik bahwa tanaman kentang yang mereka usahakan hingga saat ini memiliki berbagai dampak negatif

terhadap lingkungan tempat tinggal dan lahan pertanian mereka. Sebanyak 37% responden menyatakan bahwa dampak negatif tanaman kentang adalah dapat menimbulkan erosi dan longsor, sedangkan 36% responden menyatakan bahwa tanaman kentang dapat menyebabkan lahan yang ditanami lama-kelamaan akan menjadi tidak subur dan produktif lagi (Gambar 19a). Dampak negatif ini ditimbulkan akibat pola pengolahan lahan yang tidak memenuhi kaidah konservasi serta dilakukan hingga pada lahan-lahan yang memiliki kemiringan ekstrem (diatas 90%). Selain itu, penggunaan pupuk kimia serta berbagai obat- obatan kimia juga dianggap oleh responden sebagai penyebab semakin menurunnya kualitas dan produktifitas lahan pertanian mereka. Hal tersebut diperburuk dengan banyaknya lapisan subur yang sudah tergerus oleh erosi sehingga tanah yang tersisa hanyalah bagian yang kurang subur. Yang cukup menarik, sebagian kecil responden (16%) menyatakan bahwa tanaman kentang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini disebabkan karena lahan pertanian kentang mereka berada pada lahan yang relatif datar sehingga tidak mengalami berbagai dampak yang disebutkan diatas secara langsung.

(a) (b)

(c)

Gambar 19. (a) Dampak Negatif Kentang (b) Pendapat dari menanam kentang (c) Alasan petani tetap menanam kentang

Berbanding lurus dengan dampak yang dihasilkan, pendapatan dari pertanian kentang juga memberikan hasil yang baik kepada para responden. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang menunjukkan bahwa lebih dari setengah (52%) dari responden menyatakan bahwa mereka mengalami kerugian dari mengusahakan komoditi ini, setidaknya untuk 10 tahun terakhir. Selain itu, 36% responden menyatakan bahwa menanam kentang justru menguntungkan serta 12 % responden lainnya menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara untung dan rugi (Gambar 19b). Untuk menutupi kerugian tersebut, pada umumnya mereka meminjam uang kepada para tengkulak, tetangga dan bank. Bentuk usaha ―gali lobang tutup lobang‖ ini berlangsung hampir setiap tahun dimana para petani biasanya membayar utang mereka dari hasil panen yang mereka dapatkan sebelumnya.

Namun demikian, responden tetap memilih kentang sebagai komoditas utama pertanian mereka. Hal ini disebabkan karena mereka mengaku tidak memiliki pilihan (61%) untuk mengganti tanaman kentang dengan jenis komoditi yang lain. Selain itu, faktor kebiasaan (tradisi) juga merupakan salah satu faktor yang membuat mereka tetap pada usaha tanaman kentang. Hal ini mengingat bahwa pengetahuan yang mereka miliki hanyalah bercocok tanaman kentang yang sudah berlangsung turun temurun sehingga mereka merasa tidak nyaman apabila harus melakukan alih komoditi dengan komoditas yang lain (Gambar 19c).

Berdasarkan kondisi diatas, sebagian besar responden sudah berpikir untuk melakukan alih komoditi, mengingat usaha pertanian kentang yang mereka jalani sekarang sudah tidak memberikan hasil (keuntungan) kepada mereka lagi. Hal ini terlihat dari hasil wawancara yang menunjukkan bahwa 56% responden mau melakukan alih komoditi sedangkan 44% responden lainnya tetap memilih kentang sebagai usaha utama mereka (Gambar 20a). Hanya saja ketika pertanyaan mengenai jenis tanaman yang mereka inginkan sebagai pengganti tanaman kentang disampaikan, jawaban yang diberikan sangat beragam seperti cabai, tembakau, karika dan lain-lain. Beragamnya jawaban mereka ini menunjukkan bahwa mereka masih belum memiliki keinginan yang jelas mengenai jenis tanaman pertanian yang mereka inginkan. Jawaban yang diberikan masih terkesan ragu-ragu dan tidak meyakinkan. Hal ini dirasa wajar mengingat bahwa mereka

sekian lama sudah melakukan pertanian kentang sehingga ketika diberikan pilihan untuk mengusahakan tanaman jenis lain, mereka terlihat ragu dan bingung.

(a) (b)

Gambar 20. (a) Keinginan alih komoditi (b) Alasan menolak alih komoditi Bagi responden yang menyatakan menolak untuk melakukan alih komoditi, terdapat beberapa alasan yang mereka kemukakan. Sebanyak 52% responden menyatakan bahwa tanaman kentang masih merupakan komoditi yang terbaik apabila dibandingkan dengan jenis-jenis tanaman lain yang biasa dibudidayakan oleh para petani di daerah Dieng seperti sayur-sayuran dan buah- buahan. Hal ini disebabkan karena pasar kentang yang memang sudah jelas serta pengetahuan yang mereka kuasai akibat sudah terbiasa semenjak lama menanam kentang (5%). Selain itu mereka juga terjebak dengan kondisi yang ada, dimana mereka tidak memiliki dan tidak meilhat pilihan lain yang lebih baik selain menanam kentang (25%) sehingga mereka tidak berani untuk mengambil keputusan untuk melakukan alih komoditi (18%) (Gambar 20b).

Tidak banyak responden yang memahami pembuatan teknik konservasi yang sesuai dengan kaidah yang benar. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa sebanyak 89 % petani melakukan teknik konservasi terasering searah lereng dalam usaha pertanian kentang, sedangkan 11 % responden lainnya mengaku telah menerapkan teknik konservasi terasering searah kontur dalam menanam kentang (Gambar 21). Berbagai pendapat dan alasan membuat teras searah lereng dikemukakan oleh responden, diantaranya adalah teras searah kontur akan mengurangi bidang tanam, biaya pembuatan mahal, perawatan yang relatif sulit, aliran air menjadi tidak lancar sehingga membuat kentang menjadi busuk, pengetahuan serta waktu yang tidak cukup serta berbagai alasan lainnya. Hal ini memang cukup wajar, dimana persepi yang terbangun selama ini di

masyarakat adalah membuat teras serah lereng yang menurut mereka lebih praktis, ekonomis dan baik untuk pertumbuhan kentang.

Gambar 21. Jenis terasering yang diterapkan oleh responden

Secara lebih jauh, wawancara juga menggali berbagai jawaban untuk melihat perbandingan antara teras searah lereng dengan teras searah kontor (nyabuk gunung). Berdasarkan hasil wawancara, responden berpendapat bahwa pembuatan teras searah lereng akan menguntungkan secara ekonomi mengingat biayanya yang cenderung lebih murah (60%). Selain itu, kebutuhan bibit yang diperlukan juga cukup banyak (58%), sehingga jumlah tanaman kentang yang dapat ditanam dan hasil panen nantinyapun akan lebih banyak (58%) (Gambar 22).

Gambar 22. Grafik perbandingan teras searah lereng dan teras searah kontur (nyabuk gunung)

Sedangkan pembuatan teras searah kontur (nyabuk gunung) memiliki keunggulan dari sisi konservasi, dimana sebanyak 81% responden setuju bahwa pembuatan teras serah kontur akan dapat mengawetkan tanah dari ancaman erosi dan longsor. Selain itu, responden juga berpendapat bahwa teras searah kontur

memiliki fungsi perlindungan yang sangat tinggi (84%) dan mempermudah mereka dalam melakukan perawatan lahan dan tanaman kentang karena cederung lebih datar (67%). Yang menarik adalah sebanyak 40% responden berpendapat bahwa pembuatan teras searah kontur maupun serah lereng tidak akan mempengaruhi dari kualitas kentang yang dihasilkan. Hal ini berbeda dengan paradigma yang ad adi masyarakat Dieng secara umum, dimana pembuatan teras serah kontur akan menyebabkan hasil tanaman kentang menjadi lebih buruk dan busuk sebagai akibat adanya pengendapan air di tanah.