• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN A Latar Belakang

/PT tidak/belum

V. HASILDAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Usaha Tani Kentang

5.8. Potensi Pengembangan Jasa Lingkungan di Dieng

Ide atau gagasan mengembangkan konsep jasa lingkungan oleh Tim Kerja Pemulihan Dieng (TKPD) sebagai kelompok kerja sukalera berbasis lokal bersama para pihak terkait diawali dengan pemikiran bahwa laju kerusakan DAS Serayu semakin tinggi. Kenyataannya DAS Serayu hanya dipandang sebagai tempat yang ideal untuk bercocok tanam tanaman holtikultura (terutama kentang) saja. Namun apabila diteliti sebetulnya masih banyak komponen yang lebih besar nilainya selain pertanian seperti potensi air, ekowisata, panorama alam, dan lain- lain yang menyangkut air, keanekaragaman hayati dan wisata. Tantangannya saat ini bagaimana memberikan penjelasan kepada masyarakat petani yang berada di hulu DAS mengenai pentingnya fungsi konservasi melalui penerapan pertanian ramah lingkungan sebagai sistem pengendali dan antisipasi terhadap kerusakan DAS yang ada. Desakan ekonomi dan idealisme masyarakat dalam bertani kentang sampai saat ini masih sangat kuat, dan menurut mereka hingga kini belum ada alternatif komoditi lain yang bisa menyaingi kentang. Membanjirnya kentang impor Cina yang menawarkan harga yang jauh lebih murah akan membuat daya saing kentang lokal di tingkat petani akan semakin turun. Kondisi ini di satu sisi akan membuat posisi ekonomi para petani kentang semakin terjepit, akan tetapi kondisi ini juga membuka peluang untuk intervensi konservasi yang semakin tinggi sebagai akibat nilai profitabilitas kentang yang semakin rendah. Hal ini tentu saja manjadi suatu dilema.

Adanya skema imbal jasa lingkungan dimana penggantian komoditas kentang dengan tanaman yang mampu menjadi penyangga tanah dan air, diharapkan pendapatan masyarakat dapat sebanding dengan yang mereka dapatkan dari kentang. Cukup banyak kisah sukses yang menunjukkan keberhasilan alih komoditi dari sayuran intensif menjadi tanaman keras dengan pola agroforestry yang bisa dijadikan model bagi para petani kentang di Dieng, seperti di daerah Pengalengan dan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Namun kembali melihat kondisi dimana tingkat ketergantungan petani Dieng terhadap komoditi kentang ini yang masih tinggi, maka perlu dilakukan peningkatan kesadaran masyarakat melalui kegiatan-kegiatan lingkungan yang bersifat partisipatif sebelum melangkah ke skema imbal jasa.

Di Kabupaten Wonosobo sendiri konsep pengembangan jasa lingkungan sudah sampai pada tahap penyamaan persepsi pada tataran pengambil kebijakan maupun pada tahap melakukan penilaian (assessment) potensi jasa lingkungan dan pelatihan pada tingkat lapang pada tataran masyarakat dan penggiat lingkungan. Salah satu strategi yang ditempuh TKPD adalah melalui raising awareness atau peningkatan kepedulian masyarakat melalui penyuluhan dan pelatihan.

Nugroho (2010) menyatakan bahwa terdapat beberapa aspek yang perlu dinilai dalam kajian valuasi ekonomi kawasan Dieng. Aspek-aspek tersebut memiliki maksud dan kegunaan yang berbeda, yang secara sinergis diharapkan dapat menjawab persoalan-persoalan pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan di kawasan Dieng, khususnya pada persoalan yang disebabkan oleh penyebab-penyebab yang terkait dengan ekonomi usaha tani budidaya tanaman semusim bernilai tinggi (kentang). Salah satu aspek yang dimaksud adalah kebijakan penetapan insentif dan dis-insentif pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan di kawasan Dieng melalui skema jasa lingkungan.

Insentif merupakan instrumen yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keputusan produsen/konsumen baik berdasarkan pertimbangan finansial maupun non-finansial. Dalam kasus pemulihan kawasan Dieng, insentif perlu diberikan untuk mendorong petani dan pihak pemanfaat sumberdaya lahan dan hutan lainnya dalam penerapan teknik budidaya ramah lingkungan. Sebaliknya dis-insentif, perlu dikembangkan untuk menghambat penerapan teknik-teknik pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan yang tidak ramah lingkungan. Nugroho (2010) menyatakan bahwa terdapat banyak model (regime) insentif dan dis-insentif yang dapat diterapkan, misalnya (1) insentif yang berorientasi pada kebendaan/finansial (remunerative incentives or financial incentives), (2) insentif yang berorientasi moral (moral incentives) dengan mengajak/mengkapanyekan hal-hal baik dan terpuji untuk dilakukan, dan (3) insentif paksaan (coercive incentives) dengan memberikan hukuman, pengucilan, dsb (dis-insentif). Sasaran insentif/dis-insentif dapat diberikan kepada individu (personal incentives) dan insentif untuk masyarakat luas (social incentives).

Berdasarkan paparan di atas, alternatif-alternatif insentif yang paling mungkin adalah sebagai berikut:

a. Insentif untuk penerapan teknik budidaya ramah lingkungan, terdiri dari: • Kompensasi, misalnya dengan mekanisme pembayaran jasa

lingkungan (payment for environmental services) dan/atau REDD. • Subsidi, misalnya keringan pajak PBB atau subsidi input teknologi. • Fasilitasi perolehan harga premium (premium price) atas komoditas hasil pertanian yang dilakukan dengan teknik budidaya yang ramah lingkungan. Hal ini sejalan dengan maraknya kampanye – kampanye yang dilakukan oleh berbagai instansi mengenai isu green product.

b. Dis-insentif untuk penerapan teknik budidaya konvensional (tidak ramah lingkungan) dengan pengenaan pajak berlipat (misal: PBB, penggunaan air dalam dan telaga, dls)

van Noordwijk dan Leimona (2010) juga menyatakan bahwa skema Imbal Jasa Lingkungan (IJL) yang berfokus bahwa ―insentif/pembayaran‖ bagi penyedia jasa lingkungan tidak hanya berupa uang tunai tetapi dapat berupa imbalan non- tunai, seperti peningkatan kapasitas masyarakat, fasilitas umum untuk kesehatan dan pendidikan, akses pasar untuk komoditas pertanian dan pekebunan setempat, dan sebagainya. Salah satu contoh insentif berupa uang adalah aplikasi IJL di Cidanau dimana masyarakat petani mendapatkan pembayaran tunai jika mereka berhasil menanam sejumlah pohon berkayu dan memeliharanya dalam jangka waktu tertentu (Leimona, Pasha, and Rahadian 2010). Hasil penelitian di sejumlah negara Asia (Indonesia, Filipina, dan Nepal) menunjukkan bahwa imbalan non- tunai lebih diharapkan oleh masyarakat penyedia jasa lingkungan (Leimona, Joshi, and Van Noordwijk 2009). Penganut paham PJL berpendapat bahwa pemberian imbalan non-tunai dapat mengurangi efektivitas dari skema karena non-peserta dianggap penunggan bebas (free rider) dan peserta tidak menerima pembayaran utuh sebagai pengganti biaya kesempatannya (opportunity cost) yang hilang (Pagiola, Arcenas, and Platais 2005; Grieg-Gran, Porras, and Wunder 2005). Kurangnya pembayaran tunai bagi penyedia jasa lingkungan dianggap sebagai salah satu akibat lunturnya performa mereka dalam melaksanakan kontrak konservasi. Namun, perlu pula dipertimbangkan bahwa pemberian uang tunai

terutama bagi masyarakat pedesaan, dipandang merendahkan norma sosial mereka dalam melestarikan lingkungan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan Dieng memiliki banyak potensi untuk pengembangan imbal jasa lingkungan. Jasa lingkungan tersebut tidak hanya dari aspek sumber air, tetapi juga ekowisata, keanekaragaman hayati, sumber tenaga listrik, potensi karbon stok dan keindahan bentang alam. Sehingga pengembangan imbal jasa lingkungan bisa berupa kombinasi dari aspek jasa-jasa lingkungan yang tersedia tersebut (bundle ES). Pada akhirnya, dengan menerapkan mekanisme imbal jasa lingkungan di Dieng adalah terpeliharanya jasa-jasa lingkungan dengan memperhatikan tradeoff antara produktivitas suatu lahan dalam menyediakan produk yang tangible dan berkontribusi langsung terhadap penghidupan dengan jasa lingkungan yang akan mendukung keberlanjutan potensi sumber daya alam di Dieng.

Selain mendorong upaya penerapan IJL sebagai salah satu cara untuk mengatasi permasalahan yang ada, penetapan wilayah untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya juga harus semakin diperjelas lagi agar tidak terjadi tumpang tindih pengelolaan dan kebijakan di lapangan. Kondisi ini biasanya muncul pada wilayah-wilayah pedesaan atau wilayah yang dihuni oleh masyarakat tradisional seperti kawasan Dieng, dimana perlindungan tidak bisa terlepas dengan pemanfaatan wilayah. Pada wilayah ini konsep pembagian wilayah lindung dan wilayah budidaya perlu dikaji lagi dengan mengedepankan kedua aspek ini sekaligus. Ini terkait dengan budaya masyarakat, pada masyarakat pedesaan terutama masyarakat tradisional, dimana sistem perlindungan dan pemanfaatan menyatu dalam satu ritme kehidupan. Ketergantungan masyarakat pada alam secara otomatis akan membentuk budaya yang juga ikut melestarikan alam. Pola masyarakat yang seperti ini disebut dengan masyarakat ekosentris.

Penataan ruang di Indonesia seharusnya sudah mampu mengadopsi sistem yang membagi wilayah secara lebih detail. Bahwa blok Taman Nasional atau Cagar Alam misalnya harus juga memperhatikan kelompok-kelompok masyarakat yang sudah hidup jauh sebelum wilayah tersebut dijadikan wilayah lindung. Pertanyaan yang paling sulit adalah bagaimana mengelola wilayah tersebut agar fungsi kawasan lindung dan kawasan budidaya tidak saling merugikan.

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN