STUDI PENGARUH TWEEN 80 DAN MINYAK INTI
SAWIT TERHADAP PENETRASI ASAM ASKORBAT
MELALUI KULIT KELINCI SECARA
SKRIPSI
OLEH:
AGUS DERMAWAN
NIM 091501043
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
STUDI PENGARUH TWEEN 80 DAN MINYAK INTI
SAWIT TERHADAP PENETRASI ASAM ASKORBAT
MELALUI KULIT KELINCI SECARA
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh
Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
AGUS DERMAWAN
NIM 091501043
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENGESAHAN SKRIPSI
STUDI PENGARUH TWEEN 80 DAN MINYAK INTI
SAWIT TERHADAP PENETRASI ASAM ASKORBAT
MELALUI KULIT KELINCI SECARA
OLEH:AGUS DERMAWAN NIM 091501043
Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Pada Tanggal: 26 April 2013
Pembimbing I, Panitia Penguji,
Dra. Anayanti Arianto, M.Si., Apt. Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. NIP 195306251986012001 NIP 195301011983031004
Pembimbing II, Dra. Anayanti Arianto, M.Si., Apt. NIP 195306251986012001
Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt. Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt. NIP 195201171980031002 NIP 195504241983031003
Drs. Rasmadin Mukhtar, M.S., Apt. NIP 194909101980031002
Medan, Mei 2013 Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara Dekan,
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan
anugerah dan kemurahan3Nya sehingga penulis dapat meyelesaikan skripsi yang
berjudul “Studi Pengaruh Tween 80 dan Minyak Inti Sawit Terhadap Penetrasi Asam Askorbat Melalui Kulit Kelinci Secara ”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi dari
Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis hendak menyampaikan rasa hormat dan
terima kasih yang sebesar3besarnya kepada Dra. Anayanti Arianto, M.Si., Apt.,
dan Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt., selaku dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan bimbingan, arahan, dan bantuan selama masa penelitian dan
penulisan skripsi ini berlangsung, kepada Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.,
selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan fasilitas dan masukan selama masa pendidikan dan penelitian,.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Urip Harahap,
Apt., Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt., dan Drs. Rasmadin Mukhtar,
M.S., Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dalam
penyusunan skripsi ini serta kepada Bapak Hari Ronaldo Tanjung, S.Si.,
M.Pharm.Clin., Apt., selaku dosen pembimbing akademik yang selalu
membimbing selama masa pendidikan.
Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih serta penghargaan
yang tulus dan tak terhingga kepada orangtua tersayang Ayahanda Suandi dan
Yuniaty, kerabat3kerabat, dan teman3teman semua atas motivasi dan segala
bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan balasan yang berlipat
ganda kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
sangat diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak
guna perbaikan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini
bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang farmasi.
Medan, April 2013
Penulis,
Studi Pengaruh Tween 80 dan Minyak Inti Sawit Terhadap Penetrasi Asam Askorbat Melalui Kulit Kelinci Secara
Abstrak
Kulit sebagai tempat penyampaian obat memiliki berbagai keuntungan, seperti kemudahan pemakaian dan menghindari . Namun, lambatnya sistem transport obat melalui kulit membatasi jalur penyampaian obat ini. Untuk mengatasi masalah ini, berbagai jenis dapat digunakan. Asam askorbat adalah bahan farmasetik yang dapat berfungsi sebagai pemutih kulit. Oleh karena itu, penyampaiannya melalui kulit akan lebih efektif untuk mendapatkan efek ini.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Tween 80 dan minyak inti sawit terhadap penetrasi asam askorbat dari sediaan salep melalui kulit secara
Pada penelitian ini dibuat berbagai formula salep dengan kandungan asam askorbat sebanyak 10%, yaitu F1 (tanpa Tween 80, minyak inti sawit 35%), F2 (2,5% Tween 80, minyak inti sawit 35%), F3 (Tween 80 5%, minyak inti sawit 35%), F4 (Tween 80 10%, minyak inti sawit 35%), F5 (tanpa minyak inti sawit, Tween 80 5%), F6 (minyak inti sawit 25%, Tween 80 5%), dan F7 berupa larutan asam askorbat dengan pelarut gliserin 50%. Pengujian penetrasi dilakukan menggunakan sel difusi dengan luas permukaan 1,28 cm2 dan kulit kelinci bebas bulu. Salep asam askorbat sebanyak 0,15 gram dioleskan pada kulit dan pada setiap interval waktu tertentu, dipipet medium (gliserin 50%) pada kompartemen reseptor dan diukur konsentrasi asam askorbat yang berpenetrasi melalui kulit kelinci dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 266,8 nm. Semua penelitian dilakukan selama 9 jam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tween 80 dalam konsentrasi rendah (2,5% dan 5%) dapat meningkatkan penetrasi asam askorbat dalam sediaan salep melalui kulit secara , tetapi pada konsentrasi tinggi (10%) akan menurunkan penetrasi. Minyak inti sawit dapat meningkatkan penetrasi asam askorbat dalam sediaan salep melalui kulit kelinci secara . Semakin tinggi konsentrasi minyak inti sawit, semakin besar penetrasinya.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Tween 80 dapat meningkatkan penetrasi asam askorbat, tetapi tidak signifikan secara statistik. Minyak inti sawit dapat meningkatkan penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara signifikan secara statistik. Kombinasi keduanya menghasilkan efek peningkat penetrasi yang lebih besar jika Tween 80 digunakan dalam konsentrasi rendah, tetapi peningkatan ini tidak signifikan secara statistik.
Study of the Effects of Tween 80 and Palm Kernel Oil on Ascorbic Acid Penetration through Rabbit Skin
Abstract
It is well known that drugs can be applied to the skin to get the advantages of accessibility and the avoidance of first pass metabolism. However, the slow transport of many drugs across the skin makes a limitation. To overcome this problem, enhancers can be used. Ascorbic acid is a pharmaceutical agent that can be used to whiten skin. Delivering ascorbic acid directly to the skin will be more effective to obtain this effect.
The aim of this study was to evaluate the effect of Tween 80 and palm kernel oil on the penetration of ascorbic acid through rabbit skin .
In this study, varies ointment formula were made, F1 (without Tween 80), F2 (2.5% Tween 80, 35% palm kernel oil), F3 (5% Tween 80, 35% palm kernel oil), F4 (10% Tween 80, 35% palm kernel oil), F5 (without palm kernel oil, 5% Tween 80), F6 (25% palm kernel oil, Tween 80 5%), and F7 (ascorbic acid solution with 50% glycerin as solvent), each formula contained 10% ascorbic acid. For the penetration experiment, diffusion cell providing effective diffusion area of 1.28 cm2 and hairless rabbit skin were used. 0.15 gram of ascorbic acid ointment was applied to the skin and at a certain interval of time, medium (50% glycerin) in the receptor chamber was withdrawn and ascorbic acid content was assayed using UV spectrophotometer at wavelength 266.8 nm. The experiments were conducted for 9 hours.
The results of this study showed that Tween 80 and palm kernel oil could enhance ascorbic acid skin penetration, but Tween 80 must be used in low concentration (2.5% and 5%). The used of Tween 80 in high concentration (10%) decreased the penetration. For palm kernel oil, the concentration of ascorbic acid penetrated was increased equally with the concentration of palm kernel oil used.
This study suggests that Tween 80 can enhances penetration of ascorbic acid through rabbit skin, but not significant statistically. Palm kernel oil can be used to enhance ascorbic acid penetration through rabbit skin, and the enhancement is significant statistically. Their combination shows greater penetration enhancing effect if Tween 80 is used in low concentration, but not significant statistically.
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
HALAMAN JUDUL ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 4
1.3 Perumusan Masalah ... 4
1.4 Hipotesis Penelitian ... 5
1.5 Tujuan Penelitian ... 5
1.6 Manfaat Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1 Tween 80 ... 7
2.2 Minyak Inti Sawit ... 7
2.3.1 Anatomi dan fisiologi kulit ... 9
2.3.1.1 Epidermis ... 9
2.3.1.2 Dermis ... 11
2.3.1.3 Jaringan subkutan ... 13
2.4 Sistem Penyampaian Obat Melalui Kulit ... 13
2.4.1 Keuntungan sistem penyampaian obat melalui kulit ... 14
2.4.2 Kerugian sistem penyampaian obat melalui kulit ... 14
2.4.3 Rute penetrasi zat aktif melalui kulit ... 14
2.5 Prinsip Dasar Difusi Melalui Membran ... 16
2.5.1 Hukum Fick pertama ... 16
2.6 (Peningkat Penetrasi) ... 17
2.6.1 Peningkatan penetrasi secara fisika ... 18
2.6.2 Peningkatan penetrasi secara kimia ... 19
2.6.3 Mekanisme kerja kimia ... 20
2.6.4 Jenis3jenis kimia ... 20
2.6.4.1 Asam lemak ... 21
2.6.4.2 Surfaktan ... 21
2.7 Asam Askorbat ... 22
2.7.1 Uraian bahan ... 22
2.7.2 Efek asam askorbat melalui kulit ... 23
2.8 Natrium metabisulfit ... 23
BAB III METODE PENELITIAN ... 24
3.3 Prosedur Penelitian ... 24
3.3.1 Pembuatan pereaksi ... 24
3.3.1.1 Pembuatan larutan gliserin 50% ... 24
3.3.2 Pembuatan kurva serapan dan kurva kalibrasi asam
askorbat dalam medium gliserin 50% ... 25
3.3.2.1 Pembuatan larutan induk baku asam askorbat ... 25
3.3.2.2 Pembuatan blanko dan penetapan ... 25
3.3.2.2 Pembuatan kurva serapan larutan asam askorbat .. 25
3.3.2.3 Pembuatan kurva kalibrasi larutan asam askorbat .. 25
3.3.3 Pembuatan salep asam askorbat ... 26
3.3.3.1 Pembuatan salep asam askorbat tanpa Tween 80 ... 26
3.3.3.2 Pembuatan salep asam askorbat dengan Tween 80 2,5% ... 26
3.3.3.3 Pembuatan salep asam askorbat dengan Tween 80 5% ... 27
3.3.3.4 Pembuatan salep asam askorbat dengan Tween 80 10% ... 27
3.3.3.5 Pembuatan salep asam askorbat tanpa minyak inti sawit ... 28
3.3.3.6 Pembuatan salep asam askorbat dengan minyak
inti sawit 25% ... 28
3.3.4 Pembuatan larutan asam askorbat ... 29
3.3.5 Penyiapan membran biologis ... 29
3.3.6 Uji penetrasi asam askorbat dalam sediaan salep secara
... 30
3.3.7 Analisa statistik ... 30
4.1 Pengaruh Konsentrasi Tween 80 terhadap Penetrasi Asam
Askorbat melalui Kulit Kelinci secara 31
4.2 Pengaruh Konsentrasi Minyak Inti Sawit terhadap Penetrasi
Asam Askorbat melalui Kulit Kelinci secara ... 35
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 41
5.1 Kesimpulan ... 41
5.2 Saran ... 41
DAFTAR PUSTAKA ... 42
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Kandungan asam lemak dan persentasenya dalam minyak inti sawit ... 8
Tabel 4.1 Nilai AUC masing3masing formula variasi konsentrasi
Tween 80 ... 31
Tabel 4.2 Pengaruh konsentrasi minyak Tween 80 terhadap parameter3parameter penetrasi asam askorbat melalui
kulit kelinci secara ... 34
Tabel 4.3 Nilai AUC masing3masing formula variasi konsentrasi
minyak inti sawit ... 36
Tabel 4.4 Pengaruh konsentrasi minyak inti sawit terhadap
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Rumus bangun Tween 80 ... 7
Gambar 2.2 Struktur kulit ... 9
Gambar 2.3 Jalur penetrasi obat melalui stratum korneum ... 15
Gambar 2.4 Rumus bangun asam askorbat ... 22
Gambar 4.1 Grafik perbandingan konsentrasi terhadap waktu dari berbagai fomula dengan variasi konsentrasi Tween 80 .. 31
Gambar 4.2 Grafik pengaruh konsentrasi Tween 80 terhadap parameter3parameter penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara ... 33
Gambar 4.3 Grafik pengaruh konsentrasi minyak inti sawit terhadap penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara ... 36
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Kurva serapan larutan asam askorbat konsentrasi 5 ppm
dalam medium gliserin 50% ... 45
Lampiran 2. Kurva kalibrasi larutan asam askorbat dalam medium gliserin 50% pada panjang gelombang 266,8 nm ... 46
Lampiran 3 Data difusi asam askorbat dari salep formula 1 ... 47
Lampiran 4 Data difusi asam askorbat dari salep formula 2 ... 48
Lampiran 5 Data difusi asam askorbat dari salep formula 3 ... 50
Lampiran 6 Data difusi asam askorbat dari salep formula 4 ... 51
Lampiran 7 Data difusi asam askorbat dari salep formula 5 ... 53
Lampiran 8 Data difusi asam askorbat dari salep formula 6 ... 54
Lampiran 9 Data difusi asam askorbat dari salep formula 7 ... 56
Lampiran 10 Jumlah rata3rata asam askorbat yang berpenetrasi dari salep formula 1 ... 57
Lampiran 11 Jumlah rata3rata asam askorbat yang berpenetrasi dari salep formula 2 ... 58
Lampiran 12 Jumlah rata3rata asam askorbat yang berpenetrasi dari salep formula 3 ... 58
Lampiran 13 Jumlah rata3rata asam askorbat yang berpenetrasi dari salep formula 4 ... 59
Lampiran 14 Jumlah rata3rata asam askorbat yang berpenetrasi dari salep formula 5 ... 59
Lampiran 15 Jumlah rata3rata asam askorbat yang berpenetrasi dari salep formula 6 ... 60
Lampiran 17 Data AUC difusi asam askorbat dari salep formula 1
ke dalam medium gliserin 50% ... 61
Lampiran 18 Data AUC difusi asam askorbat dari salep formula 2
ke dalam medium gliserin 50% ... 61
Lampiran 19 Data AUC difusi asam askorbat dari salep formula 3
ke dalam medium gliserin 50% ... 62
Lampiran 20 Data AUC difusi asam askorbat dari salep formula 4
ke dalam medium gliserin 50% ... 62
Lampiran 21 Data AUC difusi asam askorbat dari salep formula 5
ke dalam medium gliserin 50% ... 63
Lampiran 22 Data AUC difusi asam askorbat dari salep formula 6
ke dalam medium gliserin 50% ... 63
Lampiran 23 Data AUC difusi asam askorbat dari salep formula 7
ke dalam medium gliserin 50% ... 64
Lampiran 24 Perhitungan % kumulatif asam askorbat yang
berpenetrasi melalui epidermis kelinci secara ... 64
Lampiran 25 Perhitungan parameter penetrasi asam askorbat melalui Kulit kelinci secara ... 65
Lampiran 26 Data uji statistik pengaruh minyak inti sawit terhadap penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara
... 66
Lampiran 27 Data uji statistik pengaruh Tween 80 terhadap penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara ... 68
Lampiran 28 Tabel distribusi F ... 70
Studi Pengaruh Tween 80 dan Minyak Inti Sawit Terhadap Penetrasi Asam Askorbat Melalui Kulit Kelinci Secara
Abstrak
Kulit sebagai tempat penyampaian obat memiliki berbagai keuntungan, seperti kemudahan pemakaian dan menghindari . Namun, lambatnya sistem transport obat melalui kulit membatasi jalur penyampaian obat ini. Untuk mengatasi masalah ini, berbagai jenis dapat digunakan. Asam askorbat adalah bahan farmasetik yang dapat berfungsi sebagai pemutih kulit. Oleh karena itu, penyampaiannya melalui kulit akan lebih efektif untuk mendapatkan efek ini.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Tween 80 dan minyak inti sawit terhadap penetrasi asam askorbat dari sediaan salep melalui kulit secara
Pada penelitian ini dibuat berbagai formula salep dengan kandungan asam askorbat sebanyak 10%, yaitu F1 (tanpa Tween 80, minyak inti sawit 35%), F2 (2,5% Tween 80, minyak inti sawit 35%), F3 (Tween 80 5%, minyak inti sawit 35%), F4 (Tween 80 10%, minyak inti sawit 35%), F5 (tanpa minyak inti sawit, Tween 80 5%), F6 (minyak inti sawit 25%, Tween 80 5%), dan F7 berupa larutan asam askorbat dengan pelarut gliserin 50%. Pengujian penetrasi dilakukan menggunakan sel difusi dengan luas permukaan 1,28 cm2 dan kulit kelinci bebas bulu. Salep asam askorbat sebanyak 0,15 gram dioleskan pada kulit dan pada setiap interval waktu tertentu, dipipet medium (gliserin 50%) pada kompartemen reseptor dan diukur konsentrasi asam askorbat yang berpenetrasi melalui kulit kelinci dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 266,8 nm. Semua penelitian dilakukan selama 9 jam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tween 80 dalam konsentrasi rendah (2,5% dan 5%) dapat meningkatkan penetrasi asam askorbat dalam sediaan salep melalui kulit secara , tetapi pada konsentrasi tinggi (10%) akan menurunkan penetrasi. Minyak inti sawit dapat meningkatkan penetrasi asam askorbat dalam sediaan salep melalui kulit kelinci secara . Semakin tinggi konsentrasi minyak inti sawit, semakin besar penetrasinya.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Tween 80 dapat meningkatkan penetrasi asam askorbat, tetapi tidak signifikan secara statistik. Minyak inti sawit dapat meningkatkan penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara signifikan secara statistik. Kombinasi keduanya menghasilkan efek peningkat penetrasi yang lebih besar jika Tween 80 digunakan dalam konsentrasi rendah, tetapi peningkatan ini tidak signifikan secara statistik.
Study of the Effects of Tween 80 and Palm Kernel Oil on Ascorbic Acid Penetration through Rabbit Skin
Abstract
It is well known that drugs can be applied to the skin to get the advantages of accessibility and the avoidance of first pass metabolism. However, the slow transport of many drugs across the skin makes a limitation. To overcome this problem, enhancers can be used. Ascorbic acid is a pharmaceutical agent that can be used to whiten skin. Delivering ascorbic acid directly to the skin will be more effective to obtain this effect.
The aim of this study was to evaluate the effect of Tween 80 and palm kernel oil on the penetration of ascorbic acid through rabbit skin .
In this study, varies ointment formula were made, F1 (without Tween 80), F2 (2.5% Tween 80, 35% palm kernel oil), F3 (5% Tween 80, 35% palm kernel oil), F4 (10% Tween 80, 35% palm kernel oil), F5 (without palm kernel oil, 5% Tween 80), F6 (25% palm kernel oil, Tween 80 5%), and F7 (ascorbic acid solution with 50% glycerin as solvent), each formula contained 10% ascorbic acid. For the penetration experiment, diffusion cell providing effective diffusion area of 1.28 cm2 and hairless rabbit skin were used. 0.15 gram of ascorbic acid ointment was applied to the skin and at a certain interval of time, medium (50% glycerin) in the receptor chamber was withdrawn and ascorbic acid content was assayed using UV spectrophotometer at wavelength 266.8 nm. The experiments were conducted for 9 hours.
The results of this study showed that Tween 80 and palm kernel oil could enhance ascorbic acid skin penetration, but Tween 80 must be used in low concentration (2.5% and 5%). The used of Tween 80 in high concentration (10%) decreased the penetration. For palm kernel oil, the concentration of ascorbic acid penetrated was increased equally with the concentration of palm kernel oil used.
This study suggests that Tween 80 can enhances penetration of ascorbic acid through rabbit skin, but not significant statistically. Palm kernel oil can be used to enhance ascorbic acid penetration through rabbit skin, and the enhancement is significant statistically. Their combination shows greater penetration enhancing effect if Tween 80 is used in low concentration, but not significant statistically.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Obat dapat diberikan melalui kulit untuk mendapatkan efek pada tempat
pemakaian, jaringan di dekat tempat pemakaian, ataupun efek sistemik. Meskipun
terdapat banyak keuntungan dari penyampaian obat melalui kulit, seperti
pemakaian yang mudah dan menghindari metabolism, sifat barier kulit
menjadi suatu tantangan yang sulit bagi penetrasi obat (Chiranjib, et al 2010).
Lapisan stratum korneum dari kulit adalah lapisan pelindung utama dan
terdiri dari delapan sampai enam belas lapisan sel yang pipih, berlapis3lapis, dan
berkeratin. Setiap sel memiliki panjang sekitar 34344 µm, lebar 25336 µm, dan
tebal 0,1530,2 µm. Lapisan sel ini secara berkesinambungan digantikan dari
lapisan basal (Washington, et al 2003).
Lapisan stratum korneum diperkirakan memberi 1000 kali tahanan difusi
bagi senyawa hidrofilik untuk penetrasi ke dalam kulit. Namun, untuk senyawa
yang sangat lipofilik dengan koefisien partisi lipid banding air lebih dari 400,
lapisan dermis yang hidrofilik menjadi tahanan absorpsi sistemik yang utama
(Riviere dan Papich, 2001). Oleh karena keterbatasan penetrasi obat melalui kulit,
(peningkat penetrasi) sering ditambahkan dalam formulasi sediaan obat
topikal (Marzouk, et al., 2012).
Ada banyak mekanisme untuk meningkatkan penetrasi. Interaksi antara
dengan gugus polar dari lipid stratum korneum adalah salah satu cara
susunan lipid menyebabkan fasilitasi difusi dari obat3obat hidrofilik (Vikas, et al.,
2011). Bahan kimia dipercaya bekerja aktif dengan cara memecah
susunan molekul interselular, terutama , yang mempertahankan barier
tahanan difusi. Perubahan dari lingkungan korneosit juga dapat mempengaruhi
penetrasi obat (Walker dan Smith, 1996).
Asam askorbat atau dikenal juga dengan vitamin C adalah bahan
farmasetik yang digunakan dalam kosmetik sebagai pemutih kulit. Asam askorbat
dapat mengontrol produksi melanin dengan dua cara, yaitu mengurangi senyawa
intermedit melanin, dopaquinone, dalam reaksi tirosinase yang menghasilkan
melanin dari tirosin, dan mengurangi warna gelap melanin yang teroksidasi
menjadi bentuk tereduksi yang lebih cerah (Mitsui, 1997).
Tween 80 adalah surfaktan nonionik dan sering yang digunakan dalam
formulasi sediaan farmasi, seperti salep dan krim. Tween 80 diketahui dapat
meningkatkan permeabilitas membran fosfolipid. Pengaruh Tween 80 terhadap
penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci telah diteliti sebelumnya.
Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi
Tween 80 yang digunakan, semakin besar penetrasi asam askorbat (Akhtar, et al.,
2011). Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Patel, et al., (2011) yang
menyatakan bahwa pelepasan obat tidak selalu linear dengan konsentrasi
penetrasi. Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan penelitian
mengenai pengaruh konsentrasi Tween 80 terhadap penetrasi asam askorbat
melalui kulit kelinci secara .
Minyak dari daging buah dan minyak inti memiliki kandungan asam lemak yang
berbeda (Khosla, 2006). Kandungan asam lemak terbanyak pada minyak inti sawit
adalah asam laurat, sedangkan pada minyak daging buah sawit, asam lemak
terbanyak adalah asam palmitat (Li, et al., 2012; Mukherjee dan Analava, 2009).
Asam lemak telah sering digunakan sebagai . Efek ini sangat
dipengaruhi oleh struktur asam lemak dan pembawa dalam formulasi (Trommer
dan Neubert, 2006). Minyak daging buah sawit (fraksi olein) telah pernah diteliti
daya 3nya terhadap aspirin melalui kulit kelinci dan hasil penelitian
menunjukkan bahwa minyak buah sawit dapat menjadi (Handoko,
2005). Sejauh studi literatur yang dilakukan oleh peneliti, minyak inti sawit belum
pernah diteliti sebagai pada sistem penyampaian perkutan. Peneliti
tertarik untuk meneliti daya dari minyak inti sawit terhadap penetrasi
asam askorbat melalui kulit kelinci.
Dewasa ini, pemutihan kulit dengan menggunakan asam askorbat
dilakukan secara injeksi. Hal ini sangat beresiko dan menyebabkan rasa yang
sangat sakit. Selain itu, injeksi asam askorbat ini dilakukan di salon3salon
kecantikan sehingga mungkin bukan ditangani oleh dokter yang bersertifikasi.
Peneliti tertarik membuat suatu sediaan topikal asam askorbat yang efektif
memutihkan kulit sehingga mengghasilkan suatu produk pemutih kulit yang
1.2 Kerangka Pikir Penelitian
Secara skematis, kerangka pikir penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.1.
Variabel bebas Variabel terikat Parameter
Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian
1.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Apakah terdapat korelasi antara peningkatan konsentrasi Tween 80 dengan
peningkatan penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara ?
b. Apakah terdapat korelasi antara peningkatan konsentrasi minyak inti sawit
dengan peningkatan penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara
?
c. Apakah kombinasi Tween 80 dan minyak inti sawit memiliki daya
peningkat penetrasi yang lebih besar dibandingkan dengan tidak
1.4 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah diatas maka hipotesis penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Terdapat korelasi antara peningkatan konsentrasi Tween 80 dengan
peningkatan penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara ?
b. Terdapat korelasi antara peningkatan konsentrasi minyak inti sawit dengan
peningkatan penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara ?
c. Kombinasi Tween 80 dan minyak inti sawit memiliki daya peningkat
penetrasi yang lebih besar dibandingkan dengan tidak dikombinasi.
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi Tween 80 terhadap
peneterasi asam askorbat dalam bentuk sediaan salep melalui kulit kelinci
secara .
b. Mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi minyak inti sawit terhadap
peneterasi asam askorbat dalam bentuk sediaan salep melalui kulit kelinci
secara .
c. Mengetahui pengaruh kombinasi Tween 80 dengan minyak inti sawit
terhadap penetrasi asam askorbat dalam bentuk sediaan salep melalui kulit
1.6 Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan bahwa asam askorbat dapat diberikan
secara perkutan dalam bentuk sediaan salep sebagai zat pemutih ( )
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tween 80
Tween 80 adalah ester asam lemak polioksietilen sorbitan, dengan nama
kimia polioksietilen 20 sorbitan monooleat. Rumus molekulnya adalah C64H124O26
dan rumus strukturnya adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1 Rumus bangun Tween 80 (Rowe, 2009)
Pada suhu 25ºC, Tween 80 berwujud cair, berwarna kekuningan dan
berminyak, memiliki aroma yang khas, dan berasa pahit. Larut dalam air dan
etanol, tidak larut dalam minyak mineral. Kegunaan Tween 80 antara lain sebagai:
zat pembasah, emulgator, dan peningkat kelarutan (Rowe, 2009). Selain fungsi,
fungsi tersebut, Tween 80 juga berfungsi sebagai peningkat penetrasi (Akhtar, et
al., 2011).
2.2 Minyak Inti Sawit
Sawit ( ! ) secara umum adalah tumbuhan yang berasal dari
Sawit dapat menghasilkan minyak sawit dan minyak inti sawit. Komposisi asam
lemak utama dalam minyak inti sawit adalah asam laurat (sekitar 48%), asam
miristat (sekitar 16%), dan asam oleat (sekitar 15%). Tabel 2.1 menunjukkan
kandungan asam lemak dan persentasenya dalam minyak inti sawit (Pantzaris dan
Ahmad, 2002).
Tabel 2.1 Kandungan asam lemak dan persentasenya dalam minyak inti sawit Asam lemak Persentase (%)
Kaproat (C6) 0,3
Kaprilat (C8) 4,2
Kaprat (C10) 3,7
Laurat (C 12) 48,7
Miristat (C 14) 15,6
Palmitat (C16) 7,5
Stearat (C 18) 1,8
Oleat (C18:1) 14,8
Linoleat (C18:2) 2,6
Lain3lain 0,1
Kandungan asam lemak ini memungkinkan penggunaan minyak inti sawit
sebagai peningkat penetrasi. Daya peningkat penetrasi asam lemak telah sering
disebutkan dalam literatur. Efek ini sangat dipengaruhi oleh struktur asam lemak
dan pembawa dalam formulasi (Trommer dan Neubert, 2006). Asam laurat
meningkatkan fluks ozagrel sebanyak 24 kali lipat (Ogiso, et al., 2000). Asam
secara parallel dengan meningkatnya konsentrasi asam oleat yang disebabkan oleh
perubahan stratum korneum (Larrucea, et al., 2001).
2.3 Kulit
Kulit adalah organ tubuh yang paling luas dan mudah diakses. Kulit orang
dewasa memiliki luas permukaan sekitar 2 m2 ketebalan sekitar 3 mm, menerima
satu per tiga sirkulasi darah, dan berfungsi untuk melindungi dan menerima
rangsangan dari lingkungan (Washington, et al., 2003).
2.3.1 Anatomi dan fisiologi kulit
Kulit terdiri dari tiga lapisan, berturut3turut mulai dari yang paling luar
adalah sebagai berikut:
a. lapisan epidermis
b. lapisan dermis
c. jaringan subkutan
Gambar 2.2 Struktur kulit 2.3.1.1 Epidermis
Epidermis adalah lapisan pelindung terluar yang tipis, kering, dan tangguh.
Epidermis membentuk penghalang untuk mencegah hilangnya air, elektrolit, dan
nutrisi dari dalam tubuh, serta membatasi masuknya zat3zat dari lingkungan ke
dalam tubuh. Kerusakan epidermis menyebabkan terjadinya difusi senyawa ke
dalam kulit sekitar 1000 kali lebih cepat (Washington, et al., 2003).
Lapisan epidermis tersusun dari lima lapisan yaitu:
a. Lapisan tanduk (Stratum korneum)
Lapisan stratum korneum dari kulit adalah lapisan pelindung utama dan
terdiri dari delapan sampai enam belas lapisan sel yang pipih, berlapis3lapis, dan
berkeratin. Setiap sel memiliki panjang sekitar 34344 µm, lebar 25336 µm, dan
tebal 0,1530,2 µm. Lapisan sel ini secara berkesinambungan digantikan dari
lapisan basal. Stratum korneum sering digambarkan sebagai susunan batu bata, di
mana bagian keratinosit sebagai zat hidrofilik membentuk batu bata dan lipid
interselular adalah celah3celah susunan, sehingga terdapat jalur hidrofobik yang
kontinu di dalam stratum korneum. (Washington, et al 2003).
Untuk senyawa hidrofilik, stratum corneum memberikan tahanan difusi
1000 kali untuk penetrasi ke dalam. Tetapi untuk senyawa yang terlalu lipofilik
dengan koefisien partisi lebih dari 400 maka lapisan dermis yang hidrofilik
merupakan barier yang nyata untuk absorpsi sistemik (Riviere dan Papich, 2001).
Lapisan ini tersusun dari beberapa lapisan sel transparan, terletak di atas
stratum granulosum. Biasanya terdapat pada tangan dan telapak kaki (Barry,
1983).
c. Lapisan granulosum (stratum granulosum)
Lapisan ini terdiri dari 2 sampai 3 lapisan sel dan terletak di atas lapisan
spinosum. Dinamakan lapisan granulosum karena sel3sel lapisan ini mengandung
granul keratohyalin yang menyebabkan sel berbentuk granul.
d. Lapisan spinosum (stratum spinosum)
Lapisan ini memiliki banyak koneksi intraseluler yang dinamakan
desmosom. Sebagai akibatnya, muncul proyeksi seperti duri di permukaan sel.
Sel3sel pada lapisan ini dipisahkan oleh celah yang sangat sempit. Celah ini
merupakan tempat mengalirnya pembuluh limfe yang kaya nutrisi. Lapisan
spinosum merupakan lapisan yang paling tebal dari epidermis.
e. Lapisan basal (stratum basale)
Lapisan ini terdiri dari satu lapis sel berbentuk kolumnar, berbatasan
dengan membran basal yang berkontak dengan dermis. Lapisan ini terus
membelah dan sel hasil pembelahan ini bergerak ke atas membentuk lapisan
spinosum (Mitsui, 1997).
Pada lapisan epidermis terdapat (Mitsui, 1997):
a. Keratinosit, yang berfungsi untuk membentuk lapisan yang tahan terhadap
zat kimia dan biologis.
b. Melanosit, yang berfungsi memproduksi melanin. Sel ini tersebar di antara
c. Sel Langerhans dengan sistem imun yang berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan terhadap zat asing.
2.3.1.2 Dermis
Dermis (corium) merupakan jaringan penyangga berserat dengan
ketebalan rata3rata 335 mm. Komponen lapisan dermis, yaitu (Barry, 1983):
a. Kolagen
Merupakan komponen serat utama dari kulit. Kolagen membentuk berbagai
jaringan pengikat yang hanya sedikit berbeda pada komposisi asam aminonya.
Kolagen hanya sedikit mengandung sistein, tapi sangat kaya akan glisin, prolin,
dan hidroksi3prolin.
b. Elastin
Komponen yang membentuk serat elastik, sehingga bagian dermis dapat
meregang dengan mudah ketika diberi tekanan dan dapat kembali ke bentuk
awal ketika tekanan dihilangkan.
c. Zat dasar ( ! ! )
Merupakan zat berbentuk amorf sebagai tempat melekatnya sel dan serat,
mengandung berbagai jenis lipid, protein, dan karbohidrat. Zat yang paling
penting adalah mucopolisakarida, asam hyaluronik, dan dermatan sulfat
(chondroitin B).
d. Sel
Fibroblast merupakan sel yang paling banyak menghuni lapisan dermis. Selain
Berfungsi untuk menjaga suhu tubuh, menghantarkan nutrisi ke kulit,
menghilangkan produk sisa, menggerakkan system pertahanan, dan
berkontribusi terhadap warna kulit.
f. Ujung saraf yang berfungsi untuk memberikan rasa sakit, sentuhan, gatal, dan
suhu.
g. Kelenjar keringat ekrin, berfungsi mengontrol suhu. Pada suhu yang tinggi dan
olahraga, akan terjadi sekresi kelenjar ini.
h. Kelenjar keringat apokrin, berfungsi sebagai organ seks skunder.
i. Kelenjar sebum, berfungsi mengatur kehilangan air, melindungi tubuh dari
infeksi bakteri dan jamur.
2.3.1.3 Jaringan Subkutan
Lemak subkutan (hypoderm, subkutis) tersebar di seluruh tubuh sebagai
lapisan serat lemak ( ), kecuali pada kelopak mata dan bagian genital pria.
Ketebalan jaringan ini bergantung pada umur, jenis kelamin, endokrin, dan gizi
dari individu yang bersangkutan. Sel3sel pada jaringan ini membuat dan
menyimpan lipid dalam jumlah besar, dan serat kolagen terdapat diantara sel3sel
lemak ini untuk menyediakan fleksibilitas antara struktur di bawahnya dengan
lapisan kulit di atasnya. Lapisan ini juga berfungsi untuk menjaga suhu tubuh dan
sebagi bantalan mekanis (Barry, 1983).
2.4 Sistem Penyampaian Obat Melalui Kulit
Penyampaian obat melalui kulit menjadi alternatif yang lebih diinginkan
daripada penyampaian obat secara oral. Pasien sering lupa meminum obat atau
menjadi bosan harus mengkonsumsi beberapa jenis obat dengan frekuensi yang
gangguan lambung dan inaktivasi sebagian obat karena di
hati. Selain itu, absorpsi keadaan tunak suatu obat ( ) melalui
kulit selama beberapa jam ataupun hari menghasilkan level dalam darah yang
lebih disukai daripada yang dihasilkan dari obat oral (Kumar, et al., 2010).
2.4.1 Keuntungan sistem penyampaian obat melalui kulit
Menurut Kumar, et al., (2010), sistem penyampaian obat melalui kulit
memiliki beberapa keuntungan, antara lain:
a. Durasi kerja yang panjang sehingga menurunkan frekuensi pemberian obat.
b. Kenyamanan pemberian obat
c. Meningkatkan bioavailabilitas
d. Menghasilkan level plasma yang lebih seragam
e. Mengurangi efek samping obat dan meningkatkan terapi karena
mempertahankan level plasma sampai akhir interval terapi.
f. Kemudahan penghentian pemakaian obat.
g. Meningkatkan kepatuhan pasien.
2.4.2 Kerugian sistem penyampaian obat melalui kulit
Menurut Kumar, et al., (2010), sistem penyampaian obat melalui kulit
memiliki beberapa kerugian, antara lain:
a. Kemungkinan terjadinya iritasi lokal.
b. Kemungkinan terjadinya eritema, gatal, dan edema lokal yang disebabkan
obat ataupun bahan tambahan dalam formulasi sediaan.
2.4.3 Rute penetrasi zat aktif melalui kulit
Gambar 2.3 Jalur penetrasi obat melalui stratum korneum (Trommer dan Neubert, 2006)
Jalur transepidermal dibagi lagi menjadi jalur transselular dan jalur
interselular. Pada jalur transelular, obat melewati kulit dengan menembus secara
langsung lapisan lipid stratum korneum dan sitoplasma dari keratinosit yang mati.
Jalur ini merupakan jalur terpendek, tetapi obat mengalami resistansi yang
signifikan karena harus menembus struktur lipofilik dan hidrofilik. Jalur yang
lebih umum bagi obat untuk berpermeasi melalui kulit adalah jalur interselular.
Pada jalur ini, obat berpenetrasi melalui ruang antar korneosit (Trommer dan
Neubert, 2006).
Jalur melalui pori dapat dibagi menjadi jalur transfolikular dan
transglandular. Karena kelenjar dan folikel rambut hanya menempati sekitar 0,1%
dari total luas tubuh manusia, kontribusi rute ini terhadap penetrasi dianggap kecil
(Moser, et al., 2001). Tetapi, jalur transfolikular dapat menjadi jalur yang penting
bagi penetrasi obat yang diberikan secara topikal (Lademann, et al., 2004).
Rute transekrine (transglandular) melibatkan difusi melalui saluran
keringat. Rute transekrine merupakan rute yang tidak secara nyata memberikan
berdifusi menuju ke arah dalam, berlawanan dengan arah sekresi kelenjar. Rute
transfollicular melibatkan difusi melalui sebum (lemak) yang ada dalam kelenjar
sebum kemudian masuk ke pembuluh darah. Rute ini lebih banyak dilalui
daripada rute transekrine (Flynn dan Stewart, 1988).
2.5 Prinsip Dasar Difusi Melalui Membran
Difusi adalah proses perpindahan massa molekul suatu zat yang dibawa
oleh gerakan molecular secara acak dan berhubungan dengan adanya perbedaan
konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas, misalnya membran.
2.5.1 Hukum Fick pertama
Sejumlah M benda yang mengalir melalui satu satuan penampang
melintang, S, dari suatu pembatas dalam satu saruan waktu t dikenal sebagai
aliran dengan simbol, J (Martin et al., 1993).
J = "
#. (1)
Di mana: M = massa (gram)
S = luas permukaan batas (cm2 )
Sebaliknya aliran berbanding lurus dengan perbedaan konsentrasi dC/Dx:
J = 3 D $
% (2)
di mana: D = koefisien difusi (cm2/detik) C = konsentrasi (gram/cm3) X = jarak (cm)
Persamaan ini memberikan aliran (laju difusi melalui satuan luas) dalam aliran
reseptor yang diambil diganti secara terus menerus dengan pelarut baru untuk
menjaga agar selalu dalam keadaan .
Parameter penetrasi perkutan secara dihitung dari data penetrasi
dengan menggunakan persamaan berikut:
D =
τ δ
6 2
( 3 )
Js =
δ
$ &'
= Kp Cs ( 4 )
Di mana:
D = koefisien difusi (cm2/jam)
δ = ketebalan membran (cm)
τ = lag time (jam)
Kp = koefisien permeabilitas melali membrane (jam 31. cm 32)
Cs = konsentrasi zat aktif dalam salep (mcg)
Js = fluks (mcg/jam.cm2)
Km = Koefisien partisi kulit/pembawa (cm/jam2)
2.6 (Peningkat Penetrasi)
atau peningkat penetrasi adalah bahan yang dapat meningkatkan
permeabilitas kulit ataupun mengurangi impermeabilitas kulit. Bahan peningkat
penetrasi tidak memiliki efek terapi, tetapi dapat mentransport obat dari bentuk
sediaan ke dalam kulit (Kumar, et al., 2012). Alasan dibutuhkan penggunaan
Peningkatan penetrasi obat dapat dilakukan menggunakan peningkat penetrasi
kimia maupun fisika (Pathan dan Setty, 2009).
2.6.1 Peningkatan penetrasi secara fisika
Peningkatan penetrasi secara fifika dapat dilakukan dengan (Sharma, et al.,
2012):
a. Tato obat ( )
Merupakan modifikasi dari tato biasa, yaitu tato ini mengandung bahan
obat. Tidak dapat ditentukan durasi terapi dari sediaan ini. Tato dilepas
apabila sudah terjadi perubahan warna. Obat yang biasa digunakan antara
lain acetaminophen, vitamin C, dan lain3lain.
b. Gelombang tekanan
Gelombang tekanan dihasilkan dari radiasi laser yang kuat dapat
meningkatkan permeabilitas stratum korneum dan membran sel.
c. Frekuensi radio
Cara ini melibatkan pemaparan kulit pada frekuensi tinggi, sekitar 100
KHz, yang menyebabkan membentukan kanal mikro pada membran sel.
d. Magnetophoresis
Magnethophoresis merupakan suatu gaya dorong untuk meningkatkan
penetrasi obat melalui kulit. Magnetophoresis menyebabkan perubahan
struktur kulit sehingga meningkatkan permeabilitasnya.
e. Ionthophoresis
listrik. Obat digunakan di bawah elektroda yang memiliki muatan yang
sama dengan obat, dan elektroda lain dengan muatan berbeda ditempatkan
pada bagian tubuh yang lain.
f. Elektroporasi
Merupakan metode peningkat penetrasi dengan menggunakan tegangan
tinggi (5031000 volt) dalam waktu yang sangat singkat (mikrosekon atau
milisekon).
g. Mikroporasi
Merupakan metode dengan menggunakan jarum mikro yang hanya
menembus stratum korneum dan meningkatkan permeabilitasnya.
h. Injeksi tanpa jarum
Merupakan metode bebas rasa sakit untuk memasukkan obat ke dalam
kulit. Dilakukan dengan menembakkan partikel cair dan padat dengan
kecepatan supersonik ke dalam stratum korneum.
I . Sonophoresis /Phonophoresis
Menggunakan energi ultrasonik untuk meningkatkan penetrasi obat,
biasanya digunakan frekuensi 203100 KHz.
2.6.2 Peningkatan penetrasi secara kimia
Tujuan peningkatan penetrasi adalah untuk mempercepat secara reversibel
pengurangan barier stratum korneum tanpa merusak sel dan bekerja secara
reversibel.
Sifat kimia yang ideal adalah (Barry, 1983):
a. inert secara farmakologi.
c. obat cepat dan durasi kerja obat yang digunakan sesuai dan
dapat diperkirakan.
d. dengan penghilangan , stratum korneum segera pulih kembali.
e. kompatibel secara fisika dan kimia dengan berbagai bahan obat.
f. merupakan pelarut yang baik bagi obat.
g. mudah disapukan pada kulit dan cocok dengan kulit
h. tidak mahal dan dapat diterima secara kosmetik.
i. bekerja saru arah, yaitu dapat membantu masuknya zat dari luar ke dalam
tubuh, tapi mencegah keluarnya material endogen dari dalam tubuh.
2.6.3 Mekanisme kerja kimia
kimia dapat bekerja dengan salah satu atau lebih mekanisme
utama berikut ini (Sharma, et al., 2012):
a. Meruntuhkan struktur lipid stratum korneum yang rapat
b. Berinteraksi dengan stuktur protein interselular
c. Meningkatkan partisi obat atau pelarut ke dalam stratum korneum.
2.6.4 JenisAjenis kimia
Beberapa senyawa telah diketahui berperan senagai kimia antara
lain (Pathan dan Setty, 2009; Trommer dan Neubert, 2006):
a. Sulfoksida dan senyawa yang mirip
b. Azone
c. Pirolidon
d. Asam lemak
g. Propilen glikol
h. Urea dan turunannya
2.6.4.1 Asam lemak
Efek peningkat penetrasi dari asam lemak telah banyak disebutkan dalam
literatur. Efek ini sangat dipengaruhi oleh struktur asam lemak dan formulasi.
Asam lemak yang paling sering digunakan dan paling banyak diteliti adalah asam
oleat. Secara umum, asam lemak tidak jenuh lebih efektif daripada asam lemak
jenuh. Semakin banyak ikatan rangkap dua yang dimiliki asam lemak, semakin
efektif kerja asam lemak tersebut. Selain itu, asam lemak lebih efektif daripada
asam lemak (Trommer dan Neubert, 2006).
2.6.4.2 Surfaktan
Surfaktan sering digunakan sebagai ! dalam formulasi sediaan
topikal. Surfaktan ditambahkan dengan tujuan untuk melarutkan zat lipofil dalam
formula. Surfaktan dapat digunakan sebagai karena dapat melarutkan
lipid stratum korneum. Interaksi dengan keratin juga diduga menghasilkan efek
peningkatan penetrasi. Secara umum, surfaktan kationik lebih efektif daripada
surfaktan anionik maupun nonionik. Tetapi, efek peningkatan penetrasi surfaktan
yang bermuatan (kationik dan anionik) sering disertai efek iritasi. Oleh karena itu,
surfaktan nonionik lebih sering digunakan. Surfaktan dengan struktur yang analog
dengan struktur lipid bilayer stratum korneum memiliki potensial iritasi yang
lebih rendah. Namun, surfaktan ini juga memiliki efek peningkat penetrasi yang
lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh integrasi monomer surfaktan ke dalam lipid
2.7 Asam askorbat
2.7.1 Uraian Bahan (Ditjen POM, 1995) a. Rumus bangun :
Gambar 2.4 Rumus bangun asam askorbat (Ditjen POM, 1995)
b. Rumus molekul : C6H8O6
c. Berat molekul : 176,13
d. Nama kimia : (
e. Pemerian : Hablur atau serbuk putih atau agak kuning. Oleh pengaruh
cahaya lambat laun menjadi berwarna gelap. Dalam
keadaan kering stabil diudara, dalam larutan cepat
teroksidasi.
f. Kelarutan : Mudah larut dalam air; agak sukar larut dalam etanol;
tidak larut dalam kloroform, dalam eter dan dalam
benzena.
2.7.2 Efek asam askorbat terhadap kulit
Asam askorbat atau dikenal juga dengan vitamin C adalah bahan
farmasetik yang digunakan dalam kosmetik sebagai pemutih kulit. Asam askorbat
melanin dari tirosin, dan mengurangi warna gelap melanin yang teroksidasi
menjadi bentuk tereduksi yang lebih cerah (Mitsui, 1997).
2.8 Natrium metabisulfit
Natrium metabisulfit digunakan sebagai zat antioksidan dalam sediaan
oral, parenteral, maupun topikal pada konsentrasi 0,0131% w/v dan pada
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental,
penelitian dilakukan di dalam laboratorium.
3.1 AlatAalat
Sel difusi yang terdiri dari sel donor dan sel reseptor dengan volume
masing3masing 10,8 ml dan luas permukaan sel difusi 1,28 cm2, spektrofotometer
(UV31800 Shimadzu # ), pengaduk magnet, ,
thermostat, neraca analitik (Boeco), lumpang dan stamfer, gelas ukur 250 ml
(Pyrex), labu tentukur 25 ml (Pyrex), maat pipet 1 ml (Pyrex), thermometer,
, jangka sorong, mikrometer skrup, bola pengisap, karet, dan alat3alat
laboratorium yang biasa digunakan.
3.2 BahanAbahan
Asam askorbat (PT. Mutifa), minyak inti sawit (PT. Multimas Nabati
Asahan), gliserin (Merck), Tween 80 (Merck), natrium meta bisulfit (Merck),
vaselin album (PT. Brataco), , etanol, dan akuades.
3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Pembuatan pereaksi 3.3.1.1 Larutan gliserin 50%
Gliserin diencerkan dengan akuades dengan perbandingan 1:1 dan diaduk
3.3.2 Pembuatan kurva serapan dan kurva kalibrasi larutan asam askorbat dalam medium gliserin 50%
3.3.2.1 Pembuatan larutan induk baku asam askorbat
Ditimbang asam askorbat sebanyak 50 mg dan natrium meta bisulfit
sebanyak 100 mg, kemudian dimasukkan dalam labu tentukur 100 ml. Tambahkan
gliserin 50% sampai sekitar 50 ml dan diaduk sampai larut. Setelah larut,
dicukupkan dengan gliserin 50% sampai garis tanda. Konsentrasi asam askorbat
adalah 500 ppm (µg/ml).
3.3.2.2 Pembuatan blanko dan penentuan
Pelarut dimasukkan ke dalam kedua kuvet sebagai blanko, kemudian
diukur absorbansinya sehingga didapat untuk pengukuran sampel.
3.3.2.3 Pembuatan kurva serapan asam askorbat
Dipipet larutan induk baku sebanyak 0,1 ml, dimasukkan ke dalam labu
tentukur 10 ml dan dicukupkan dengan gliserin 50% sampai garis tanda, dikocok
sampai homogen. Konsentrasi asam askorbat adalah 5 ppm (µg/ml). Diukur
serapannya dengan menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang
2003400 nm. Absorbansi maksimum tejadi pada panjang gelombang 266,8 nm.
3.3.2.4 Pembuatan kurva kalibrasi larutan asam askorbat
Dari larutan induk baku, dibuat larutan asam askorbat dengan konsentrasi
0,2; 0,3; dan 0,4 ppm dengan memipet masing3masing 0,02; 0,03; dan 0,04 ml
dari larutan induk baku, dimasukkan dalam labu tentukur 50 ml, dan dicukupkan
dengan gliserin sampai garis tanda. Dibuat juga konsentrasi 0,5; 1; 2; 3; 4; 5; 8; 9;
10; 14; 16; 18; dan 20 ppm dengan memipet masing3masing 0,01; 0,02; 0.04;
baku, dimasukkan dalam labu tentukur 10 ml, dicukupkan dengan gliserin sampai
garis tanda, dan dikocok homogen. Diukur serapannya dengan spektrofotometer
UV pada panjang gelombang 266,8 nm.
3.3.3 Pembuatan salep asam askorbat
Salep asam askorbat yang dibuat mengandung asam askorbat 10%.
Pemilihan konsentrasi 10% ini didasarkan pada literatur yang menyatakan bahwa
konsentrasi asam askorbat yang dianjurkan untuk sediaan topikal adalah 5310%
3.3.3.1 Pembuatan salep asam askorbat tanpa Tween 80 Formula 1 (F1):
Asam askorbat 0,2 g
Etanol 96% 0,4 ml
Minyak Inti Sawit 0,7 g
Natrium meta bisulfit 0,002 g
Vaselin album ad 2 g
Ditimbang semua bahan. Dimasukkan asam askorbat ke dalam lumpang
dan gerus. Masukkan natrium meta bisulfit dan etanol ke dalam lumpang, gerus
sampai asam askorbat dan natrium meta bisulfit larut. Tambahkan minyak inti
sawit, gerus homogen. Kemudian tambahkan vaselin album, gerus homogen, lalu
masukkan dalam pot plastik.
3.3.3.2 Pembuatan salep asam askorbat dengan Tween 80 sebanyak 2,5% Formula 2 (F2):
Asam askorbat 0,2 g
Minyak Inti Sawit 0,7 g
Natrium meta bisulfit 0,002 g
Vaselin album ad 2 g
Ditimbang semua bahan. Dimasukkan asam askorbat ke dalam lumpang
dan gerus. Masukkan natrium meta bisulfit dan etanol ke dalam lumpang, gerus
sampai asam askorbat dan natrium meta bisulfit larut. Tambahkan Tween 80 lalu
gerus homogen. Tambahkan minyak inti sawit, gerus homogen. Kemudian
tambahkan vaselin album, gerus homogen, lalu masukkan dalam pot plastik.
3.3.3.3 Pembuatan salep asam askorbat dengan Tween 80 sebanyak 5% Formula 3 (F3):
Asam askorbat 0,2 g
Etanol 96% 0,4 ml
Tween 80 0,1 g
Minyak Inti Sawit 0,7 g
Natrium meta bisulfit 0,002 g
Vaselin album ad 2 g
Prosedur pembuatan sama dengan formula 2.
3.3.3.4 Pembuatan salep asam askorbat dengan Tween 80 sebanyak 10% Formula 4 (F4):
Asam askorbat 0,2 g
Etanol 96% 0,4 ml
Tween 80 0,2 g
Minyak Inti Sawit 0,7 g
Vaselin album ad 2 g
Prosedur pembuatan sama dengan formula 2.
3.3.3.5 Pembuatan salep asam askorbat tanpa minyak inti sawit Formula 5 (F5):
Asam askorbat 0,2 g
Etanol 96% 0,4 ml
Tween 80 0,1 g
Natrium meta bisulfit 0,002 g
Vaselin album ad 2 g
Ditimbang semua bahan. Dimasukkan asam askorbat ke dalam lumpang
dan gerus. Masukkan natrium meta bisulfit dan etanol ke dalam lumpang, gerus
sampai asam askorbat dan natrium meta bisulfit larut. Tambahkan Tween 80 lalu
gerus homogen. Tambahkan vaselin album, gerus homogen, lalu masukkan dalam
pot plastik.
3.3.3.6 Pembuatan salep asam askorbat dengan minyak inti sawit sebanyak 25%
Formula 6 (F6):
Asam askorbat 0,2 g
Etanol 96% 0,4 ml
Tween 80 0,1 g
Minyak Inti Sawit 0,5 g
Natrium meta bisulfit 0,002 g
Ditimbang semua bahan. Dimasukkan asam askorbat ke dalam lumpang
dan gerus. Masukkan natrium meta bisulfit dan etanol ke dalam lumpang, gerus
sampai asam askorbat dan natrium meta bisulfit larut. Tambahkan Tween 80 lalu
gerus homogen. Tambahkan minyak inti sawit, gerus homogen. Kemudian
tambahkan vaselin album, gerus homogen, lalu masukkan dalam pot plastik.
3.3.4 Pembuatan larutan asam askorbat Formula 7 (F7):
Asam askorbat 1,08 g
Natrium meta bisulfit 0,0108 g
Gliserin 50% ad 10,8 ml
Ditimbang semua bahan. Dimasukkan asal askorbat dan natrium meta
bisulfit ke dalam labu tentukur 10 ml, ditambahkan gliserin 50%, dan diaduk
sampai larut. Setelah larut, tambahkan gliserin 50% sampai garis tanda, dikocok
homogen. Pindahkan ke dalam bagian donor dari sel difusi dan cukupkan dengan
gliserin 50% sampai garis tanda.
3.3.5 Penyiapan membran biologis
Pada penelitian ini digunakan kulit dari kelinci jantan dengan berat
berkisar antara 1,532 kg. Rambut pada daerah dorsal dicukur secara hati3hati
menggunakan pisau cukur. Pencukuran ini dilakukan sehari sebelum pengambilan
kulit untuk mengkondisikan kulit sesuai lingkungan (Akhtar, et al., 2006). Kelinci
dimatikan dengan cara dibius dengan dietil eter dan kulit bagian dorsal dipotong
dengan gunting bedah. Kulit dibersihkan dari lemak yang menempel, dicuci
disimpan pada suhu 320ºC sampai diperlukan atau saat eksperimen dilakukan
(Marro, et al., 2000).
3.3.6 Uji penetrasi asam askorbat dalam sediaan salep secara
Membran biologis diolesi 0,15 g salep asam askorbat F1 sampai F7.
Kemudian dipasangkan pada sel difusi yang telah diolesi dan
dihubungkan bagian donor dan reseptor dengan karet. Selanjutnya dimasukkan
ke dalam bagian reseptor dan dimasukkan juga gliserin 50% sampai
batas tanda. Sel difusi dijaga pada suhu 37ºC selama percobaan dan pada interval
waktu tertentu dipipet 1 ml aliquot, diencerkan 25 kali, dan diukur absorbansinya
dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 266,8 nm.
3.3.7 Analisa statistik
Semua hasil yang diperoleh baik secara dianalisa dengan
ANOVA dan uji ) * dianalisis dengan ! *#& menggunakan program
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengaruh Konsentrasi Tween 80 terhadap Penetrasi Asam Askorbat melalui Kulit Kelinci secara
Pengaruh konsentrasi Tween 80 dalam formula salep terhadap penetrasi
asam askorbat melalui kulit kelinci dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Tabel 4.1 Nilai AUC masing3masing formula variasi konsentrasi Tween 80
No Formula AUC (µg.jam)
Dari Gambar 4.1 dan Tabel 4.1 terlihat bahwa konsentrasi asam askorbat
yang berpenetrasi ke medium penerima lebih besar pada formula yang
mengandung Tween 80 daripada formula yang tidak mengandung Tween 80.
Peningkatan konsentrasi ini disebabkan Tween 80 adalah surfaktan, ia akan
berinteraksi dengan lapisan stratum korneum dan merusak susunannya sehingga
asam askorbat lebih mudah berpenetrasi (Sheeba, et al., 2012). Selain itu,
surfaktan memiliki potensial untuk melarutkan lipid stratum korneum sehingga
dapat bertindak sebagai penetrasi (Trommer dan Neubert, 2006).
Walaupun terdapat peningkatan penetrasi asam askorbat pada formula
yang mengandung Tween 80 2,5% (formula 2) dan 5% (formula 3) dibandingkan
dengan formula yang tidak mengandung Tween 80 (formula 1), tetapi
peningkatan penetrasi ini tidak signifikan pada uji statistik (+ , -+ ,
P<0,05, uji ) * dianalisis dengan ! *#&). Hal ini mungkin disebabkan
terbentuknya misel dari Tween 80 dengan asam askorbat terperangkap dalam
misel. Terjadinya misel ini disebabkan oleh penggunaan konsentrasi Tween 80
(2.5% dan 5%) yang jauh di atas titik cmc ( . dari
Tween 80 yaitu 0.002% (Mandal, et al., 1988). Misel yang terbentuk akan
memperlambat penetrasi karena ukurannya yang besar sehingga walaupun terjadi
peningkatan penetrasi, peningkatan penetrasi ini menjadi tidak signifikan. Hal ini
tampak lebih jelas pada formula yang mengandung Tween 80 sebanyak 10%
(formula 4). Penetrasi asam askorbat pada formula yang mengandung Tween 80
10% (formula 4) lebih rendah secara signifikan daripada formula yang tidak
sediaan topikal. Efek peningkatan penetrasi sebanding dengan peningkatan
konsentrasi sampai suatu nilai kritis dan peningkatan konsentrasi yang lebih tinggi
dari konsentrasi kritis tidak akan meningkatkan penetrasi (Prakash, et al 2007).
Dari Gambar 4.1 dan Tabel 4.1 diperoleh bahwa larutan asam askorbat
memiliki daya penetrasi yang lebih rendah dan berbeda secara signifikan secara
statistik jika dibandingkan dengan asam askorbat yang telah diformulasikan dalam
bentuk salep. Hal ini menunjukkan bahwa asam askorbat sukar berpenetrasi ke
dalam kulit. Tapi dengan membuatnya menjadi sediaan salep dengan penambahan
, maka penetrasinya akan menjadi lebih efektif.
Pengaruh Tween 80 terhadap parameter3parameter penetrasi asam askorbat
melalui kulit kelinci secara dapat dilihat pada Gambar 4.2 dan Tabel 4.2.
Gambar 4.2 Grafik pengaruh konsentrasi Tween 80 terhadap parameter3 parameter penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara 0
2 4 6 8 10 12 14
F1 F2 F3 F4 F7
Formula
lag time (jam)
Tabel 4.2 Pengaruh konsentrasi minyak Tween 80 terhadap parameter3parameter penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara
Formula (jam) D x 10A5 (cm2/jam)
F1 2,2 6,82
F2 1,36 11,03
F3 1,21 12,4
F4 2,5 6
F7 2,65 5,66
Keterangan Tabel 4.2: F1 = Tanpa Tween 80
F2 = Tween 80 sebanyak 2,5% F3 = Tween 80 sebanyak 5% F4 = Tween 80 sebanyak 10% F7 = larutan asam askorbat D = koefisien difusi
Dari Gambar 4.2 dan Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa penambahan Tween
80 dengan konsentrasi 2,5% (formula 2) dan 5% (formula 3), diperoleh
yang lebih kecil daripada formula yang tidak mengandung Tween 80 (formula 1)
ataupun pada formula yang mengandung Tween 80 dengan konsentrasi tinggi,
yaitu 10% (formula 4). Sedangkan jika ditinjau dari koefisien difusi, penambahan
Tween 80 dengan konsentrasi 2,5% (formula 2) dan 5% (formula 3) diperoleh
koefisien difusi yang lebih besar daripada formula yang tidak mengandung Tween
Alasan terjadinya hal ini adalah sama dengan pengaruh Tween 80 terhadap
konsentrasi asam askorbat yang berpenetrasi. Pada konsentrasi Tween 80 yang
rendah, Tween 80 akan berinteraksi dengan stratum korneum sehingga merusak
susunannya (Sheeba et al., 2012), dan Tween 80 memiliki potensial untuk
melarutkan lipid stratum korneum sehingga dapat bertindak sebagai
penetrasi (Trommer dan Neubert, 2006). Dengan meningkatnya konsentrasi asam
askorbat yang berpenetrasi, maka akan menjadi lebih kecil dan koefisien
difusi menjadi lebih besar.
Dari semua data di atas dapat disimpulkan bahwa Tween 80 dalam
konsentrasi rendah (2,5% dan 5%) dapat digunakan untuk meningkatkan penetrasi
asam askorbat melalui kulit kelinci. Pada konsentrasi yang besar (10%), Tween 80
tidak meningkatkan penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci, sebaliknya,
terjadi perlambatan kecepatan penetrasi dan konsentrasi asam askorbat yang
berpenetrasi menjadi lebih kecil dibandingkan dengan formula yang tidak
mengandung Tween 80.
4.2 Pengaruh Konsentrasi Minyak Inti Sawit terhadap Penetrasi Asam Askorbat melalui Kulit Kelinci secara
Pengaruh konsentrasi minyak inti sawit dalam formula salep terhadap
penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci dapat dilihat pada Gambar 4.3 dan
nilai AUC asam askorbat yang berpenetrasi dari masing3masing formula ke dalam
Tabel 4.3 Nilai AUC masing3masing formula variasi konsentrasi minyak inti sawit
Konsentrasi asam askorbat yang berpenetrasi ke dalam medium penerima
lebih besar pada formula yang mengandung minyak inti sawit daripada formula
yang tidak mengandung minyak inti sawit, dan perbedaan ini adalah signifikan
berdasarkan uji statistik (+ , -+ , P<0,05, uji ) * dianalisis
dengan ! *#&). Semakin besar konsentrasi minyak inti sawit yang
digunakan, semakin besar pula konsentrasi asam askorbat yang berpenetrasi. Hal
ini mungkin disebabkan karena minyak inti sawit membuat asam ask orbat
formula 3 (minyak inti sawit 35%)
formula 5 (tanpa minyak inti sawit)
formula 6 (minyak inti sawit 25%)
formula 7 (larutan asam askorbat)
berpenetrasi melalui rute ! disamping melalui rute transepidermal
non polar. Penelitian terkini menunjukkan bahwa folikel kulit, terutama folikel
rambut, berperan penting dalam proses penetrasi kulit (Lademann, et al., 2003).
Minyak inti sawit mengandung banyak asam lemak, yaitu: asam kaproat
(0,3%), kaprilat (4,2%), kaprat (3,7%), laurat (48.7%), miristat (15.6%), palmitat
(7.5%), stearat (1.8%), oleat (14.8%), linoleat (2.6%), lain3lain (0,1%) (Pantzaris
dan Ahmad, 2002). Daya peningkat penetrasi asam lemak telah sering disebutkan
dalam literatur. Efek ini sangat dipengaruhi oleh struktur asam lemak dan
pembawa dalam formulasi (Trommer dan Neubert, 2006). Diduga bahwa
kandungan asam laurat dan asam oleat yang cukup tinggi dalam minyak inti sawit
berperan dalam meningkatkan penetrasi asam askorbat. Hal ini didukung oleh
laporan dari Ogiso, et al., (2000) yang menyatakan bahwa asam laurat
meningkatkan fluks ozagrel sebanyak 24 kali lipat. Larrucea, et al., (2001)
melaporkan bahwa asam oleat meningkatkan absorpsi tenoxicam. Laju absorpsi
tenoxicam meningkat secara parallel dengan meningkatnya konsentrasi asam oleat
yang disebabkan oleh perubahan stratum korneum akibat ini.
Selain itu, peningkatan penetrasi ini juga disebabkan oleh terjadinya
hidrasi kanal lipid dari stratum korneum. Asam lemak meningkatkan hidrasi kulit,
terutama hidrasi kanal lipid ( ) dengan mengurangi evaporasi air dari
kulit. Hidrasi akan meningkatkan penetrasi molekul polar sehingga semakin
banyak jumlah molekul yang berpenetrasi. Lipid stratum korneum (walaupun
bersifat hidrofobik) dapat dihidrasi karena adanya fraksi lipid yang polar
(Washington, et al., 2003). Hidrasi juga menyebabkan peregangan dari stratum
dengan gugus –SH pada kulit. Peregangan ini meyebabkan peningkatan
permeabilitas statum korneum.
Dari Gambar 4.3 dan Tabel 4.3 dapat dilihat juga bahwa antara larutan
asam askorbat dengan asam askorbat yang telah diformulasikan menjadi bentuk
salep juga terdapat perbedaan konsentrasi asam askorbat yang berpenetrasi secara
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa asam askorbat memang sulit berpenetrasi
melewati kulit, tapi dengan memformulasikannya dalam bentuk salep dan
ditambah , penetrasinya dapat meningkat.
Pengaruh minyak inti sawit terhadap parameter3parameter penetrasi asam
askorbat melalui kulit kelinci dapat dilihat pada Gambar 4.4 dan Tabel 4.4
berikut.
Gambar 4.4 Grafik Pengaruh konsentrasi Tween 80 terhadap parameter3 parameter penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara 0
2 4 6 8 10 12 14
F3 F5 F6 F7
Formula
lag time (jam)
Tabel 4.4 Pengaruh konsentrasi minyak inti sawit terhadap parameter3parameter penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara
Formula (jam) D x 10A5 (cm2/jam)
F3 1,21 12,39
F5 2,63 5,70
F6 2,53 5,93
F7 2,65 5,66
Keterangan Tabel 4.4: F3 = minyak inti sawit 35% F5 = tanpa minyak inti sawit F6 = minyak inti sawit 25% F7 = larutan asam askorbat. D = koefisien difusi
Dari Gambar 4.4 dan Tabel 4.4 terlihat bahwa semakin besar konsentrasi
minyak inti sawit yang digunakan, maka semakin kecil dan semakin
besar koefisien difusinya. Semakin kecil berati semakin cepat keadaan
tunak tercapai. Semakin besar koefisien difusi berarti semakin cepat difusi terjadi.
Dari data3data di atas, dapat disimpulkan bahwa minyak inti sawit dapat
digunakan untuk meningkatkan penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci.
Semakin besar konsentrasi minyak inti sawit yang digunakan, semakin besar pula
penetrasi asam askorbat yang terjadi.
Formula dengan kombinasi antara Tween 80 (2,5% dan 5%) dan minyak
inti sawit (F3) menghasilkan daya peningkat penetrasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan formula yang hanya mengandung Tween 80 (F5) ataupun
dengan konsentrasi 10% dengan minyak inti sawit menekan efek peningkat
penetrasi dari minyak inti sawit. Hal ini terlihat dari nilai AUC F4 (mengandung
Tween 80 10%, minyak inti sawit 35%) yang tidak jauh berbeda dibandingkan
dengan nilai AUC F5 (mengandung Tween 80 5%, tanpa minyak inti sawit).
Penambahan berupa Tween 80 dan minyak inti sawit dapat
dikatakan meningkatkan permeabilitas membran yang digunakan karena terjadi
peningkatan jumlah asam askorbat yang berpenetrasi. Peningkatan permeabilitas
ini terjadi sesuai dengan mekanisme kerja Tween 80 dan minyak inti sawit dalam