• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindakan Perawatan Dekubitus oleh Perawat di RSUD Dr. Pirngadi Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tindakan Perawatan Dekubitus oleh Perawat di RSUD Dr. Pirngadi Medan"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

MEDAN

SKRIPSI

Oleh

GIOFHANY Y TAMBUN

101101043

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)

berkat dan rahmatnya yang senantiasa diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Tindakan Perawat dalam Perawatan Dekubitus di RSUD Dr. Pirngadi Medan” sebagai tugas akhir yang harus dipenuhi di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada saat penyelesaian skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan serta dorongan kepada penulis.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada yang terhormat :

1. Ibu Salbiah, S.Kp., M.Kep. sebagai dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, pikiran serta memberikan masukan-masukan yang bermanfaat bagi skripsi ini dan juga motivasi serta dukungan kepada saya selama proses penyelesaian skripsi ini.

2. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS selaku dosen pembimbing akademik.

3. Ibu Diah Arruum, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen penguji I skripsi di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Ismayadi, S.Kep, Ns, M.Kes selaku dosen penguji II skripsi di Fakultas Keperawatan Sumatera Utara.

5. Teristimewa kepada bapak mama tersayang dan keempat abang-abang aku. 6. Sahabat aku yang selalu ada disaat susah dan senang.

(4)

masukan yang sifatnya membangun dari pembaca demi kesempurnaan dan pengembangan penulisan ini dimasa yang akan datang.

Medan, 8 Juli 2014

(5)

Halaman judul ... i

2.1.4 Standar Praktik Keperawatan ... 8

2.2 Dekubitus ... 9

2.2.1 Definisi Dekubitus ... 9

2.2.2 Mekanisme Terjadinya Dekubitus ... 9

2.2.3 Faktor Risiko Dekubitus ... 11

2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Dekubitus ... 13

2.2.5 Patogenesis Luka Dekubitus ... 20

2.2.6 Klasifikasi Dekubitus Tahap atau Warna ... 21

2.2.7 Pengkajian Dekubitus ... 23

2.2.8 Penatalaksanaan Dekubitus ... 27

2.2.9 Jenis Balutan ... 33

2.2.10 Penatalaksanaan Dekubitus Berdasarkan Derajatnya ... 34

(6)

Bab 4 Metode Penelitian

4.1 Desain Penelitian ... 40

4.2 Populasi dan Sampel Penelitian ... 40

4.2.1 Populasi ... 40

4.2.2 Sampel ... 40

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 41

4.4 Pertimbangan Etik Penelitian ... 42

4.4.1 Tanpa Nama ... 42

4.4.2 Kerahasiaan ... 42

4.5 Instrumen Penelitian ... 42

4.5.1 Format Observasi ... 43

4.6 Uji Validitas dan Realibilitas ... 44

4.7 Pengumpulan Data ... 44

BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 57

(7)
(8)
(9)

Jadwal Penelitian ... 63

Taksasi Dana ... 64

Instrumen Penelitian ... 65

Indikator ... 67

Data Responden ... 68

Data Observasi ... 70

Frequencies ... 72

(10)

Student Name : Giofhany Y Tambun Student Number : 101101043

Department : Science of Nursing (S1)

Abstract

Decubitus treatment is an action in maintaining skin integrity of the patients of bed rest which consists of patients preparation, maintaining hygiene, maintaining moisture, maintaining pressure, assessment, and communication. This research uses descriptive design with the purpose to know the action of decubitus treatment by nurses in RSUD dr. Pirngadi Medan which consists of patients preparation, maintaining hygiene, maintaining moisture, maintaining pressure, assessment, and communication. The sample is taken by accidental sampling technique which comprises 30 actions. This research displays the action of decubitus treatment by nurses in the form of frequency distribution and percentage. The assessment is conducted directly by observation. From the result of this research, it is obtained that 23.3% the action for patients preparation is not well conducted, 30% the action in maintaining hygiene is not well conducted, 96.7% the action in maintaining hygiene has been well conducted, 80% the action in maintaining pressure is not well conducted, 30% the action in assessing is not well conducted and 73.3% the action in communication in not well conducted. Based on this research, it is expected the increase of the nurse obedience, the increase of hospital facilities, and soft skill competence which consists of responsibility, honesty, respectability, fairness, collaboration and tolerance.

(11)

Nama : Giofhany Y Tambun

NIM : 101101043

Program Studi : Ilmu Keperawatan S1

Abstrak

Perawatan dekubitus merupakan tindakan dalam menjaga integritas kulit pada pasien tirah baring yang terdiri dari persiapan pasien, menjaga kebersihan, menjaga kelembaban, menjaga tekanan, pengkajian dan komunikasi. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan tujuan untuk melihat tindakan perawatan dekubitus oleh perawat di RSUD dr. Pirngadi Medan yang mencakup persiapan pasien, menjaga kebersihan, menjaga kelembaban, menjaga tekanan, pengkajian dan komunikasi. Pengambilan sampel ini dilakukan dengan teknik accidential sampling yang terdiri dari tiga puluh tindakan. Penelitian ini menampilkan tindakan perawatan dekubitus oleh perawat dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentasi. Penilaian ini dilakukan langsung secara observasi. Hasil penelitian ini didapat 23.3% tindakan persiapan pasien dilakukan dengan tidak baik, 30% tindakan dalam menjaga kebersihan dilakukan dengan tidak baik, 96.7% tindakan menjaga kebersihan telah dilakukan dengan baik, 80% tindakan menjaga tekanan dilakukan dengan tidak baik, 30% tindakan dalam pengkajian tidak dilakukan dengan baik dan 73.3% tindakan komunikasi tidak dilakukan dengan baik. Berdasarkan hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan perawat, peningkatan fasilitas rumah sakit dan kompetensi soft skill yang terdiri dari tanggung jawab, kejujuran, menghormati orang lain, berlaku adil, kerja sama dan toleransi.

(12)

Student Name : Giofhany Y Tambun Student Number : 101101043

Department : Science of Nursing (S1)

Abstract

Decubitus treatment is an action in maintaining skin integrity of the patients of bed rest which consists of patients preparation, maintaining hygiene, maintaining moisture, maintaining pressure, assessment, and communication. This research uses descriptive design with the purpose to know the action of decubitus treatment by nurses in RSUD dr. Pirngadi Medan which consists of patients preparation, maintaining hygiene, maintaining moisture, maintaining pressure, assessment, and communication. The sample is taken by accidental sampling technique which comprises 30 actions. This research displays the action of decubitus treatment by nurses in the form of frequency distribution and percentage. The assessment is conducted directly by observation. From the result of this research, it is obtained that 23.3% the action for patients preparation is not well conducted, 30% the action in maintaining hygiene is not well conducted, 96.7% the action in maintaining hygiene has been well conducted, 80% the action in maintaining pressure is not well conducted, 30% the action in assessing is not well conducted and 73.3% the action in communication in not well conducted. Based on this research, it is expected the increase of the nurse obedience, the increase of hospital facilities, and soft skill competence which consists of responsibility, honesty, respectability, fairness, collaboration and tolerance.

(13)

Nama : Giofhany Y Tambun

NIM : 101101043

Program Studi : Ilmu Keperawatan S1

Abstrak

Perawatan dekubitus merupakan tindakan dalam menjaga integritas kulit pada pasien tirah baring yang terdiri dari persiapan pasien, menjaga kebersihan, menjaga kelembaban, menjaga tekanan, pengkajian dan komunikasi. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan tujuan untuk melihat tindakan perawatan dekubitus oleh perawat di RSUD dr. Pirngadi Medan yang mencakup persiapan pasien, menjaga kebersihan, menjaga kelembaban, menjaga tekanan, pengkajian dan komunikasi. Pengambilan sampel ini dilakukan dengan teknik accidential sampling yang terdiri dari tiga puluh tindakan. Penelitian ini menampilkan tindakan perawatan dekubitus oleh perawat dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentasi. Penilaian ini dilakukan langsung secara observasi. Hasil penelitian ini didapat 23.3% tindakan persiapan pasien dilakukan dengan tidak baik, 30% tindakan dalam menjaga kebersihan dilakukan dengan tidak baik, 96.7% tindakan menjaga kebersihan telah dilakukan dengan baik, 80% tindakan menjaga tekanan dilakukan dengan tidak baik, 30% tindakan dalam pengkajian tidak dilakukan dengan baik dan 73.3% tindakan komunikasi tidak dilakukan dengan baik. Berdasarkan hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan perawat, peningkatan fasilitas rumah sakit dan kompetensi soft skill yang terdiri dari tanggung jawab, kejujuran, menghormati orang lain, berlaku adil, kerja sama dan toleransi.

(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu aspek pelayanan keperawatan adalah mempertahankan integritas kulit pada pasien tirah baring agar senantiasa terjaga dan utuh. Intervensi dalam perawatan kulit menjadi salah satu indikator kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan. Perawat dengan teratur mengobservasi kerusakan atau gangguan integritas kulit pada klien. Kerusakan integritas kulit dapat berasal dari luka karena trauma atau pembedahan, namun dapat juga disebabkan karena adanya tekanan pada kulit dalam waktu yang lama yang menyebabkan iritasi dan menyebabkan luka tekan atau dekubitus (Potter & Perry, 2006).

Dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan di antara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu lama ( National Pressure Ulcer Advisor Panel 1989a, 1989b dalam Potter & Perry, 2006). Dekubitus terjadi pada pasien immobilisasi/bedrest dalam waktu lama sehingga terjadi penekanan terus menerus terhadap jaringan kulit dibawahnya sehingga terjadi luka. Tempat yang paling sering terjadi dekubitus, yaitu sakrum, tumit, siku, maleolus lateral, trokanter besar, dan tuberositis iskial (Potter & Perry, 2006).

(15)

kelembaban, nutrisi buruk, anemia, infeksi, demam, gangguan sirkulasi perifer, obesitas, kakeksia dan usia (Potter & Perry, 2006).

Prevalensi berdasarkan NPUAP akan insiden dekubitus meningkat setiap tahunnya pada tahun 1993-2006 dari 2.3% menjadi 23.9% di panti jompo, 0.4% sampai 38% di rumah sakit, 0% sampai 17% perawatan di rumah, 0% sampai 6% di perawatan rehabilitasi. Estimasi menunjukkan bahwa 1 sampai 3 juta orang menderita dekubitus di United States. Prevalensi dekubitus di Amerika Serikat tersebar luas di semua perawatan dengan perkiraan 10% sampai 18% dalam perawatan akut, 2.3 % menjadi 28% dalam perawatan jangka panjang, dan 0% sampai 29% dalam perawatan di rumah (Decubitus Ulcer Help and Info, 2013). Berdasarkan suatu studi, insiden dekubitus di Study International sebanyak 1.9%-63.6%, ASEAN (Jepang, Korea, Cina) 2.1%-18%, di Indonesia cukup tinggi yaitu 33.3% (Suriadi, 2007 dalam Lestari 2010).

(16)

2012 sebanyak 17 orang dan pada Januari 2013 sampai Mei 2013 sebanyak 9 orang.

Data tersebut menunjukkan masih tingginya angka dekubitus baik di negara maju maupun negara berkembang. Tingginya angka dekubitus mempengaruhi lama dan biaya perawatan rumah sakit. Biaya akibat terlambatnya penyembuhan luka dapat menjadi tinggi, baik bagi perorangan maupun rumah sakit. Pada akhirnya, klien terganggu oleh panjangnya periode hospitalisasi, yang tentunya memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi bagi seluruh keluarganya. Kemungkinan terburuk adalah klien dapat meninggal akibat septikemia.

Angka kejadian dekubitus dapat secara nyata diturunkan bila penanggung jawab di bidang kesehatan atau rumah sakit telah mengembangkan suatu kebijakan tentang pencegahan dan pengobatan dekubitus yang diketahui dan dilaksanakan oleh semua karyawan. Salah satu penanggung jawab dalam penyembuhan dekubitus yaitu perawat (Morison, 2004).

Selama penyembuhan dekubitus, perawat harus melakukan suatu tindakan yang tepat. Dimana tindakan merupakan seseorang yang mengetahui objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian, proses selanjutnya mempraktikkan apa yang diketahui atau disikapinya (Notoatmodjo, 2010).

(17)

posisi dan membalik tubuh secara teratur harus diikuti dengan meminimalkan tekanan dan mencegah kerusakan kulit (Potter & Perry, 2006).

Tindakan keperawatan yang dilakukan oleh perawat sangat menentukan dalam mengurangi dekubitus yang terjadi dengan memberikan asuhan keperawatan dalam perawatan dekubitus. Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana “tindakan perawatan dekubitus oleh perawat di RSUD dr. Pirngadi Medan”.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Bagaimana tindakan yang dilakukan oleh perawat dalam merawat dekubitus?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tindakan perawatan dekubitus dalam persiapan pasien, menjaga kebersihan, menjaga kelembaban, menjaga tekanan, pengkajian dan komunikasi yang dilakukan oleh perawat.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Praktik Keperawatan

(18)

1.4.2 Bagi Ilmu Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk pengembangan ilmu keperawatan khususnya dalam melakukan perawatan dekubitus

1.4.3 Bagi Penelitian Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat memberikan data awal dalam mengadakan penelitian yang terkait dengan perawatan dekubitus.

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tindakan (practice)

2.1.1 Definisi Tindakan (practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Disamping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain, misalnya dari suami, istri, orang tua atau mertua dan lain-lain.

Setelah seseorang megetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktikkan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Inilah yang disebut praktik (practice) kesehatan atau dapat juga dikatakan perilaku kesehatan (overt behaviour) (Notoatmodjo, 2007).

2.1.2 Klasifikasi Tindakan (practice)

(20)

1. Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama. Misalnya, seorang ibu dapat memilih makanan yang bergizi tinggi bagi anak balitanya.

2. Respon terpimpin (guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat dua. Misalnya seorang ibu dapat memasak sayur dengan benar, mulai dari cara mencuci dan memotong-motongnya, lamanya memasak, menutup pancinya dan sebagainya.

3. Mekanisme (mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga. Misalnya, seorang ibu yang sudah mengimunisasikan bayinya pada umur-umur tertentu, tanpa menunggu perintah atau ajakan orang lain.

4. Adopsi (adoption)

(21)

Pengukuran tindakan atau perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.

2.1.3 Praktik Keperawatan

Praktik keperawatan klinis ahli merupakan komitmen terhadap penerapan pengetahuan dan pengalaman klinis. Praktik professional meliputi pengetahuan sosial, tingkah laku, ilmu biologi dan fisiologi, serta teori keperawatan. Selain itu, keperawatan juga menyertakan nilai sosial, kewenangan professional, komitmen dan masyarakat serta kode etik (Potter&Perry, 2009).

2.1.4 Standar Praktik Keperawatan

Keenam standar praktik keperawatan ANA ( American Nurses Association) menggambarkan tingkat kompetensi dari pelayana keperawatan. Keenam standar praktik keperawatan ANA (2004) dijelaskan sebagai berikut (Potter&Perry, 2009):

1. Pengkajian : Perawat mengumpulkan data yang berhubungan dengan kesehatan dan kondisi klien.

(22)

3. Identifikasi Hasil : Perawat mengidentifikasi hasil yang diharapkan untuk perencanaan individual sesuai klien atau keadaan.

4. Perencanaan : Perawat merancang rencana yang berisi strategi dan alternative untuk mencapai hasil yang diharapkan.

5. Implementasi : Perawat mengimplementasikan rencana yang telah diidentifikasi.

6. Evaluasi : Perawat mengevaluasi kemajuan ke arah pencapaian hasil.

2.2 Dekubitus

2.2.1 Definisi Dekubitus

Istilah dekubitus ataupun luka tekan sering digunakan secara bergantian dalam pelayanan kesehatan. Dekubitus berasal dari bahasa latin “decumbere”, berarti berbaring (Revis, 2012). Dekubitus adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal akibat dari tekanan eksternal yang berhubungan dengan penonjolan tulang dan tidak sembuh dengan urutan dan waktu yang biasa (Potter & Perry, 2006). Dekubitus juga merupakan area setempat dari jaringan lunak yang mengalami infark yang terjadi ketika tekanan diberikan pada kulit melebihi tekanan penutupan kapiler normal, sekitar 32 mmHg (Smeltzer&Bare, 2002).

2.2.2 Mekanisme Terjadinya Dekubitus

(23)

nutrisi serta membuang sisa metabolisme melalui darah. Beberapa faktor yang mengganggu proses ini akan mempengaruhi metabolisme sel dan fungsinya serta kehidupan dari sel. Tekanan mempengaruhi metabolisme sel dengan cara mengurangi atau menghilangkan sirkulasi jaringan yang menyebabkan iskemi jaringan.

Iskemia jaringan adalah tidak adanya darah secara lokal atau penurunan aliran darah akibat obstruksi mekanika (Pires and Muller, 1991). Penurunan aliran darah menyebabkan daerah tubuh menjadi pucat. Pucat terlihat ketika tidak adanya warna kemerahan pada klien berkulit terang. Pucat tidak terjadi pada klien berkulit pigmennya gelap (Potter & Perry, 2006).

Kerusakan jaringan terjadi ketika tekanan mengenai kapiler yang cukup besar dan menutup kapiler tersebut. Tekanan penutupan kapiler adalah tekanan yang dibutuhkan untuk menutup kapiler, misalnya tekanan tersebut melebihi tekanan kapiler normal yang berada pada rentang 16 sampai 32 mmHg (Maklebust, 1987 dalam Potter & Perry, 2006).

(24)

hiperemia reaktif dapat hilang dalam waktu antara lebih dari 1 jam hingga 2 minggu setelah tekanan dihilangkan (Pires & Muller, 1991 dalam Potter & Perry, 2006).

Ketika klien berbaring atau duduk maka berat badan berpindah pada penonjolan tulang. Semakin lama tekanan diberikan, semakin besar risiko kerusakan kulit. Tekanan menyebabkan penurunan suplai darah pada jaringan sehingga terjadi iskemi. Apabila tekanan dilepaskan akan terdapat periode hiperemia reaktif atau peningkatan aliran darah yang tiba-tiba ke daerah tersebut. Hiperemia reaktif merupakan suatu respon kompensasi dan hanya efektif jika tekanan di kulit dihilangkan sebelum terjadi nekrosis atau kerusakan.

2.2.3 Faktor Risiko Dekubitus

Berbagai faktor dapat menjadi predisposisi terjadi dekubitus pada klien (Potter & Perry, 2006), antara lain:

1. Gangguan Input Sensorik

Klien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri dan tekanan berisiko tinggi mengalami gangguan integritas kulit daripada klien yang sensasinya normal. Klien yang mempunyai persepsi sensorik yang utuh terhadap nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah satu bagian tubuhnya merasakan tekanan atau nyeri yang terlalu besar. Sehingga ketika klien sadar dan berorientasi, mereka dapat mengubah posisi atau meminta bantuan untuk mengubah posisi.

(25)

Klien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri berisiko tinggi terjadi dekubitus. Klien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi tidak mampu mengubah posisi secara mandiri untuk menghilangkan tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan peluang terjadi dekubitus. Pada klien yang mengalami cedera medulla spinalis terdapat gangguan motorik dan sensorik. Angka kejadian dekubitus pada klien yang mengalami cedera medulla spinalis diperkirakan sebesar 85% dan komplikasi ulkus ataupun yang berkaitan dengan ulkus merupakan penyebab kematian pada 8% populasi ini (Reuler dan Cooney, 1981 dalam Potter & Perry, 2006).

3. Perubahan Tingkat Kesadaran

Klien bingung, disorientasi atau mengalami perubahan tingkat kesadaran tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari dekubitus. Klien bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi tidak mampu memahami bagaimana menghilangkan tekanan itu. Klien koma tidak dapat merasakan tekanan dan tidak mampu mengubah ke posisi yang lebih baik. Selain itu pada klien yang mengalami perubahan tingkat kesadaran lebih mudah menjadi bingung. Beberapa contoh adalah pada klien yang berada di ruang operasi dan unit perawatan intensif dengan pemberian sedasi.

4. Gips, Traksi, Alat Ortotik dan Peralatan Lain

(26)

friksi eksternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek pada kulit. Gaya mekanik kedua adalah tekanan yang dikeluarkan gips pada kulit jika gips terlalu ketat dikeringkan atau jika ekstremitasnya bengkak.

Peralatan ortotik seperti penyangga leher digunakan pada pengobatan klien yang mengalami fraktur spinal servikal bagian atas. Dekubitus merupakan potensi komplikasi dari alat penyangga leher ini. Sebuah studi yang dilakukan Plaiser dkk (1994) mengukur jumlah tekanan pada tulang tengkorak dan wajah yang diberikan oleh empat jenis penyangga leher yang beda dengan subjek berada posisi telentang dan upright (bagian atas lebih tinggi). Hasilnya menunjukkan bahwa pada beberapa penyangga leher, terhadap tekanan yang menutup kapiler.

Perawat perlu waspada terhadap risiko kerusakan kulit pada klien yang menggunakan penyangga leher ini. Perawat harus mengkaji kulit yang berada di bawah penyangga leher, alat penopang (braces) atau alat ortotik lain untuk mengobservasi tanda-tanda kerusakan kulit. Semua peralatan yang memberikan tekanan pada kulit klien menyebabkan terjadi dekubitus. Selang oksigen dan NGT juga merupakan dua contoh umum peralatam yang menyebabkan dekubitus (Potter & Perry, 2006).

2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Dekubitus

(27)

gesek dan friksi, kelembaban, nutrisi buruk, anemia, infeksi, demam, gangguan sirkulasi perifer, obesitas, kakeksia dan usia (Potter & Perry, 2006).

1. Gaya Gesek & Friksi

Gaya gesek adalah tekanan yang diberikan pada kulit dengan arah parallel terhadap permukaan tubuh (AHCPR, 1994 dalam Potter & Perry, 2006). Gaya ini terjadi saat klien bergerak atau memperbaiki posisi tubuhnya di atas tempat tidur dengan cara didorong atau digeser ke bawah saat berada pada posisi fowler yang tinggi. Jika terjadi gaya gesek maka kulit dan lapisan subkutan menempel pada permukaan tempat tidur dan lapisan otot serta tulang bergeser sesuai dengan arah gerakan tubuh. Tulang klien bergeser ke arah kulit dan memberi gaya pada kulit.

(28)

dalam Potter & Perry, 2006). Bryant, dkk (1992) dalam Potter & Perry (2006) mengatakan gaya gesek tidak mungkin tanpa disertai friksi.

Dimana friksi merupakan gaya mekanika yang diberikan saat kulit digeser pada permukaan kasar seperti alat tenun tempat tidur (AHCPR, 1994). Tidak seperti cedera akibat gaya gesek, cedera akibat friksi mempengaruhi epidermis atau lapisan kulit bagian atas, yang akan terkelupas ketika klien mengubah posisinya.

(29)

2. Kelembaban

Adanya kelembaban pada kulit dan durasinya meningkatkan risiko terjadi ulkus. Adanya kelembaban meningkatkan risiko pembentukan dekubitus sebanyak lima kali lipat (Reuler & Cooney, 1981 dalam Potter & Perry, 2006). Kelembaban menurunkan resistensi kulit terhadap faktor fisik lain seperti tekanan atau gaya gesek.

Klien immobilisasi yang tidak mampu memenuhi kebutuhan higienisnya sendiri, tergantung perawat untuk menjaga kulit klien tetap kering dan utuh. Untuk itu perawat harus memasukkan higienis ke dalam rencana perawatan. Kelembaban kulit dapat berasal dari drainase luka, keringat, kondensasi dari system yang mengalirkan oksigen yang dilembabkan, muntah dan inkontinensia. Beberapa cairan tubuh seperti urin, feses, dan drainase luka menyebabkan erosi kulit dan meningkatkan risiko terjadi luka akibat tekanan pada klien.

3. Nutrisi Buruk

(30)

mempunyai berat badan sama dengan atau lebih dari berat badan ideal. Klien dengan status nutrisi buruk biasa mengalami hipoalbuminemia (level albumin serum di bawah 3g/100 ml) dan anemia.

Albumin adalah ukuran variabel yang biasa digunakan untuk mengevaluasi status protein klien. Klien yang level albumin serumnya dibawah 3g/100 ml lebih berisiko tinggi mengalami luka daripada klien yang level albumin tinggi. Selain itu level albumin rendah sering dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka (Hanan & Scheele, 1991 dalam Potter & Perry, 2006). Walaupun kadar albumin kurang cepat memperlihatkan perubahan protein viseral, tapi albumin merupakan prediktor malnutrisi yang terbaik untuk semua kelompok usia (Hanan & Scheele, 1991 dalam Potter & Perry, 2006).

Level total protein juga mempunyai korelasi dengan dekubitus. Level total protein di bawah 5.4 g/100 ml menurunkan tekanan osmotik koloid, yang akan menyebabkan edema intertisial dan penurunan oksigen ke jaringan (Hanan & Scheele, 1991 dalam Potter & Perry, 2006). Edema akan menurunkan toleransi kulit dan jaringan yang berada di bawahnya terhadap tekanan, friksi dan gaya gesek. Selain itu penurunan level oksigen meningkatkan kecepatan iskemi yang menyebabkan cedera jaringan.

(31)

terdapatnya perubahan tekanan pada sirkulasi dan dasar kapiler (Shekleton & Litwack, 1991 dalam Potter & Perry, 2006).

4. Anemia

Klien aniemia berisiko terjadi dekubitus. Penurunan level hemoglobin mengurangi kapasitas darah membawa oksigen dan mengurangi jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan. Anemia juga mengganggu metabolisme sel dan mengganggu penyembuhan luka.

5. Kakeksia

Kakeksia adalah penyakit kesehatan dan malnutrisi umum, ditandai dengan kelemahan dan kurus. Kakeksia biasa berhubungan dengan penyakit berat seperti kanker dan penyakit kardiopulmonal tahap akhir. Kondisi ini meningkatkan risiko dekubitus pada klien. Pada dasarnya klien kakeksia mengalami kehilangan jaringan adipose yang berguna melindungi tonjolan tulang dari tekanan.

6. Obesitas

(32)

7. Infeksi

Infeksi disebabkan adanya pathogen di dalam tubuh. Klien infeksi biasa mengalami demam. Infeksi dan demam meningkatkan kebutuhan metabolic tubuh, membuat jaringan yang telah hipoksia (penurnan oksigen) semakin rentan mengalami cedera akibat iskemi (Shekleton dan Litwack, 1991). Selain itu demam menyebabkan diaporesis (keringatan) dan meningkatkan kelembaban kulit, yang selanjutnya menjadi predisposisi kerusakan kulit klien.

8. Gangguan Sirkulasi Perifer

Penurunan sirkulasi menyebabkan jaringan hipoksia dan lebih rentan mengalami kerusakan iskemia. Gangguan sirkulasi terjadi pada klien yang menderita penyakit vascular perifer, klien syok atau yang mendapatkan pengobatan jenis vasopresor.

9. Usia

Lansia lebih sering terjadi dekubitus. Beberapa perubahan normal karena proses penuaan juga meningkatkan risiko terjadinya dekubitus pada lansia. Usia lanjut mempunyai potensi besar untuk terjadi dekubitus karena perubahan kulit berkaitan dengan bertambahnya usia antara lain:

a. Berkurangnya jaringan lemak subkutan. b. Berkurangnya jaringan kolagen dan elastin.

(33)

2.2.5 Patogenesis Luka Dekubitus

Berdasarkan Potter & Perry (2006) tiga elemen yang menjadi dasar terjadi dekubitus, yaitu intensitas tekanan dan tekanan yang menutup kapiler (Landis, 1930), durasi dan besarnya tekanan (Koziak, 1959), toleransi jaringan (Husain, 1953).

Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antara waktu dengan tekanan (Stotts, 1988). Semakin besar tekanan dan durasinya,maka semakin besar pula insiden terbentuknya luka. Kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan. Tapi, pada tekanan eksternal terbesar daripada tekanan dasar kapiler akan menurunkan atau menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan sekitarnya. Jaringan ini menjadi hipoksia sehingga terjadi cedera iskemi. Jika tekanan ini lebih besar dari 32 mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia, maka pembuluh darah kolaps dan thrombosis yaitu terjadi pembekuan darah (Potter & Perry, 2006).

Dengan terjadinya kolaps akan menghalangi oksigenasi dan nutrisi ke jaringan, selain itu area yang tertekan menyebabkan terhambatnya aliran darah. Dengan adanya peningkatan tekanan arteri kapiler terjadi perpindahan cairan ke kapiler, ini akan menyokong untuk terjadinya edema dan mengkontribusi untuk terjadi nekrosis di jaringan (Suriadi, 2004).

(34)

dengan tekanan yang akhirnya melebar ke epidermis (Maklebust, 1995 dalam Potter & Perry, 2006).

Pembentukan luka dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya gesek yang terjadi saat menaikkan posisi klien di atas tempat tidur. Area sacral dan tumit merupaka area yang paling rentan. Efek tekanan juga dapat ditingkatkan oleh distribusi berat badan yang tidak merata. Seseorang mendapatkan tekanan konstan pada tubuh dari permukaan tempatya berada karena adanya gravitasi. Jika tekanan tidak terdistribusi secara merata pada tubuh maka gradient tekanan jaringan yang mendapatkan tekanan akan meningkat dan metabolism sel kulit di titik tekanan mengalami gangguan.

2.2.6 Klasifikasi Dekubitus Tahap atau Warna

Salah satu yang paling dini untuk mengklasifikasikan dekubitus adalah dengan menggunakan sistem nilai atau tahapan. Sistem ini pertama kali dikemukakan oleh Shea (1975 dalam Potter & Perry, 2006) sebagai suatu cara untuk memperoleh metode jelas dan konsisten untuk menggambarkan dan mengklasifikasikan dekubitus. Sistem tahapan dekubitus berdasarkan gambaran kedalaman jaringan yang rusak. Ulkus yang tertutup dengan jaringan nekrotik sebut seperti eschar tidak dapat dimasukkan dalam tahapan hingga jaringan tersebut dibuang dan kedalaman dekubitus dapat diobservasi.

(35)

mempunyai nomor tahapan yang berbeda, tergantung sistem tahapan yang digunakan.

Tahapan dibawah ini berasal dari NPUAP (1992) dan tahapan ini juga digunakan dalam Pedoman Pengobatan AHCPR (1994). Pada konfrensi konsensus NPUAP (1995) mengubah definisi untuk tahap I yang memperlihatkan karakterisktik pengkajian pasien berkulit gelap. Berbagai indikator selain warna kulit, seperti suhu, adanya pori-pori “kulit jeruk”, kekakuan atau ketegangan, kekerasan dan data laboratorium dapat membantu mengkaji pasien berkulit gelap (Maklebust & Sieggreen, 1991 dalam Potter & Perry, 2006).

Saat mengkaji klien berkulit gelap, memerlukan pencahayaan yang sesuai untuk mengkaji kulit secara akurat. Dianjurkan berupa cahaya alam atau halogen. Hal ini mencegah muncul warna biru yang dihasilkan dari sumber lampu pijar pada kulit berpigmen gelap, yang dapat mengganggu pengkajian yang akurat (Bennet, 1995 dalam Potter & Perry, 2006).

Berikut karakteristik klinis dekubitus dari derajat I sampai derajat IV (Potter & Perry, 2006):

I. Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi ulkus kulit yang diperbesar. Kulit tidak berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi indikator.

II. Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan/atau dermis. Ulkus superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet atau lubang yang dangkal.

(36)

fascia yang berada di bawahnya. Ulkus secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.

IV. Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif, nekrosis jaringan; atau kerusakan otot, tulang atau struktur penyangga (misal. Tendon, kapsul sendi dll).

Dekubitus tidak berkembang dari derajat I sampai ke derajat IV (NPUAP, 1995). Maklebust (1995) peringatan klinik untuk diingat walaupun sistem tahapan menggunakan urutan nomor untuk menggambarkan dekubitus, tetapi tidak berarti ada perkembangan tingkat keparahan dekubitus (Potter & Perry, 2006).

Luka nekrotik diklasifikasikan dengan luka hitam, disertai dengan eksudat dan debris berserat kuning, dan luka pada fase penyembuhan aktif dan bersih disertai dengan granulasi berwarna merah muda hingga merah dan jaringan epitel diklasifikasikan dengan luka merah. Luka dapat memiliki warna yang bercampur, contohnya 25% kuning dan 75% merah (Potter & Perry, 2006).

2.2.7 Pengkajian Dekubitus

(37)

1. Ukuran Perkiraan

Pada saat seseorang masuk ke rumah sakit perawatan akut dan rehabilitasi, rumah perawatan, program perawatan rumah, fasilitas perawatan lain maka pasien harus dikaji risiko terjadi dekubitus (AHCPR,1992). Pengkajian risiko dekubitus harus dilakukan secara sistematis. Sangat dianjurkan menggunakan alat pengkajian yang tervalidasi untuk jenis populasi klien tertentu.

Bila klien terindentifikasi berisiko maka intervensi yang tepat diberikan untuk mempertahankan intgritas kulit. Pengkajian ulang untuk risiko dekubitus harus dilakukan secara teratur.

2. Kulit

Perawat harus mengkaji kulit terus menerus dari tanda-tanda munculnya ulkus pada kulit klien. Klien gangguan neurologi, berpenyakit kronik dalam waktu lama, penurunan status mental. Dan dirawat di ruang ICU, berpenyakit onkologi dan terminal dan orthopedic berpotensi tinggi terjadi dekubitus.

(38)

Ketika hiperemia ada maka perawat harus mencatat lokasi, ukuran dan warna lalu mengkaji ulang area tersebut setelah satu jam. Apabila terlihat kelainan hiperemia reaktif maka perawat dapat menandai area tersebut denpidol agar pengkajian ulang menjadi lebih mudah. Tanda peringatan dini lain yang menunjukkan kerusakan jaringan akibat tekanan adalah lecet atau bintil-bintil pada area yang menanggun beban berat tubuh dan mungkin disertai hiperemia. Pires dan Muller (1991) melaporkan bahwa tanda dini akibat tekanan yang sering diabaikan pada klien yang tidak mengalami trauma adalah borok di area yang menanggung beban berat badan. Semua tanda-tanda ini merupakan indikator dini gangguan integritas kulit, tetapi kerusakan yang berada di bawahnya mungkin menjadi lebih progresif. Pengkajian taktil memungkinkan perawat menggunakan tehnik palpasi untuk memperoleh data lebih lanjut mengenai indurasi dan kerusakan kulit maupun jaringan di bawahnya.

Perawat melakukan palpasi pada jaringan disekitarnya untuk mengobservasi area hiperemi, mengkaji adanya pucat dan kembali ke warna kulit normal pada klien berkulit terang. Selain itu, perawat mempalpasi indurasi mencatat indurasi di sekitar are yang cedera dalam ukuran millimeter atau sentimeter. Perawat juga mencatat perubahan suhu di sekitar kulit dan jaringan (Pires & Muller, 1991 dalam Potter & Perry, 2006).

(39)

tubuh yang paling terbebani berat badan ataupun tekanan merupakan area berisiko tinggi terjadi dekubitus (Helt, 1991 dalam Potter & Perry, 2006).

3. Mobilisasi

Pengkajian meliputi pendokumentasian tingkat mobilisasi dan efek imobilisasi pada integritas kulit. Pengkajian mobilisasi juga harus memperoleh data tentang kualitas tonus dan kekuatan otot. Klien yang mempunyai rentang gerak yang adekuat untuk bergerak secara mandiri ke bentuk posisi yang lebih terlindungi.

Mobilisasi harus dikaji sebagai bagian dari data dasar. Jika pasien memiliki tingkat kemandirian mobilisasi maka perawat harus mendorong klien agar sering mengubah posisinya dan melakukan tindakan untuk menghilangkan tekanan yang dialaminya. Frekuensi perubahan posisi berdasarkan pengkajian kulit yang terus menerus dan dianggap sebagai perubahan data.

4. Status Nutrisi

(40)

dengan jumlah serum albumin atau protein total yang rendah makan persentase berat badan ideal klien dapat mempengaruhi timbulnya dekubitus.

5. Nyeri

Sampai saat ini, hanya sedikit tulisan atau penelitian yang dilakukan tentang nyeri dan dekubitus. AHCPR (1994) telah merekomendasikan pengkajian dan manajemen nyeri termasuk dalam perawatan klien dekubitus. Selain itu AHCPR menegaskan perlunya penelitian tentang nyeri pada klien dekubitus. Salah satu studi yang pertama kali menghitung pengalaman nyeri klien yang dirawat di rumah sakit karena luka dekubitus telah dilakukan oleh Dallan dkk (1995). Pada studi ini 59.1% klien melaporkan adanya nyeri dengan menggunakan skala analog visual, 68.2% melaporkan adanya nyeri akibat dekubitus dengan menggunakan skala urutan nyeri faces. Berlawanan dengan banyaknya nyeri yang dilaporkan, obat-obatan nyeri yang telah digunakan klien sebesar 2.3%. Beberapa implikasi praktik yang disarankan para peneliti adalah menambah evaluasi tingkat nyeri klien ke dalam pengkajian dekubitus, yaitu pengontrolan nyeri memerlukan pengkajian ulang yang teratur untuk mengevaluasi efektifitas dan bahwa program pendidikan dperlukan untuk meningkatkan sensitifitas pemberi pelayanan kesehatan terhadap nyeri akibat luka dekubitus.

2.2.8 Penatalaksanaan Dekubitus

(41)

kesehatan. Beberapa aspek penatalaksanaan dekubitus antara lain perawatan luka secara lokal dan tindakan pendukung seperti gizi yang adekuat dan cara penghilang tekanan (Potter & Perry, 2006).

Selama penyembuhan dekubitus, maka luka harus dikaji untuk lokasi, tahap, ukuran, traktus sinus, kerusakan luka, luka menembus, eksudat, jaringan nekrotik, dan keberadaan atau tidak adanya granulasi maupun epitelialisasi. Dekubitus harus dikaji ulang minimal satu kali sehari. Dekubitus yang bersih harus menunjukkan proses penyembuhan dalam waktu 2-4 minggu (AHCPR,1994 dalam Potter & Perry, 2006).

Pada daerah kulit selain menghilangkan tekanan pada bagian tubuh dan menjaga tekanan pada bagian tersebut, kebersihan daerah ulkus dan seluruh permukaan kulit juga perlu diperhatikan. Kebersihan mungkin sangat sulit dipertahankan pada klien inkotinensia, demam atau bingung (Potter & Perry, 2006).

Kelembaban pada ataupun di sekitar daerah kulit yang rusak menyebabkan ulserasi dan infeksi yang lebih parah. Sebelum melaksanakan tindakan perawat harus mengkaji secara menyeluruh dekubitus pada klien dan menentukan jenis balutan yang tepat sesuai dengan taha perkembangan ulkus. (Potter & Perry, 2006).

1. Perawatan Luka dengan Debridemen

(42)

atau telah menunjukkan tanda-tanda mengelupas harus dilakukan debridemen. Pada prinsip debridemen yang perlu diperhatikan adalah kondisi pasien dan kondisi luka (Suriadi, 2004).

Debridemen adalah pembuangan jaringan nekrotik sehingga jaringan sehat dapat beregenerasi (Potter & Perry, 2006). Pembuangan jaringan nekrotik diperlukan untuk menghilangkan ulkus yang menjadi sumber infeksi, agar lebih mudah terlihat bagian dasar luka sehingga dapat menentukan tahap ulkus secara akurat dan memberikan dasar yang bersih yang diperlukan untuk proses penyembuhan.

Beberapa metode debridemen antara lain debridemen mekanik, autolitik, kimiawi/enzimatik dan pembedahan. Debridemen mekanik menggunakan balutan tipis yang mengandung salin yang basah hingga kering. Balutan tersebut harus benar-benar kering sebelum perawat menarik balutan tipis yang telah menempel pada jaringan dekubitus. Metode ini merupakan metode yang tidak dipilih karena jaringan rusak maupun jaringan sehat akan ikut terangkat (Potter & Perry, 2006).

(43)

normal ditemukan dalam cairan luka. Debridemen autolitik ini kontraindikasi dengan luka yang infeksi (Potter & Perry, 2006).

Debridemen enzimatik adalah penggunaan enzim debridemen topikal pada jaringan rusak yang berada di atas permukaan luka. Obat-obatan tersebut harus diresepkan dokter. Perlu diingat bahwa teknik yang digunakan dan khasiat tiap obat debridemen enzimatik berbeda. Dari semua obat debridemen enzimatik, hanya kolagenase (Santyl) yang disebutkan oleh AHCPR sebagai debridemen yang bersifat promotif dan meningkatkan pertumbuhan granulasi di jaringan (Potter & Perry, 2006).

Debridemen bedah adalah pembuangan jaringan rusak dengan merupakan metode paling cepat. Metode ini biasa dilakukan apabila klien mempunyai tanda-tanda selulitis atau sepsis. Balutan kering dan bersih harus digunakan dalam waktu 8 sampai 24 jam setelah debridemen karena perdarahan, kemudian jaringan lembab harus diganti untuk mempercepat penyembuhan luka (Potter & Perry, 2006).

2. Penyembuhan Luka dengan Kelembaban

(44)

epidermal pindah ke bawah kulit kering atau borok dan pindah ke jaringan fibrosa yang akan menimbulkan “jalur resistensi terendah”. Karena perubahan rute sel epidermal kurang efisien dan dapat meningkatkan jumlah waktu yang diperlukan sel untuk pindah sebelum sel-sel tersebut sampai ke bagian tepi lain dari luka, sehingga penyembuhan luka berlangsung lebih lama. Barier, contohnya balutan, diletakkan di bagian atas luka (tertutup seluruh atau sebagian), maka permukaan luka akan tetap lembab karena cairan luka. Kondisi ini membuat sel epidermal mudah bermigrasi dengan segera dan cepat. Lingkungan luka yang lembab dapat ditingkatkan dengan penggunaan balutan yang tepat (Potter & Perry, 2006).

Setelah dekubitus berhasil dilakukan debridemen dan mempunyai bagian dasar granulasi bersih, maka tujuan perawatan luka lokal selanjutnya adalah memberikan lingkungan yang tepat untuk penyembuhan luka dengan kelembaban dan mendukung pembentukan jaringan granulasi baru. Luka harus dibersihkan dan balutan diganti secara teratur. Dekubitus hanya dibersihkan dengan menggunakan cairan pembersih luka seperti normal saline atau beberapa cairan pembersih luka komersial lainnya yang tidak merusak atau mematikan sel, seperti fibrolas dan jaringan yang sedang mengalami proses penyembuhan (Potter & Perry, 2006).

(45)

4. Terapi Diet

Defisiensi protein menyebabkan luka dengan pengurangan kekuatan regangan, sintesa kolagen mengalami gangguan bila terdapat defisiensi vitamin C. oleh karena itu, pengkajian status nutrisi segera setelah ia masuk rumah sakit merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan, dengan bantuan ahli diet, dilakukan koreksi pada setiap defisiensi. Pasien juga harus tetap dipertahankan hidrasinya dengan baik (Morison, 2004)

5. Mengurangi Tekanan

Tanpa memandang tahap dekubitus , tekanan pada area harus dihilangkan. Ulkus tidak akan sembuh sampai semua tekanan dihilangkan. Pasien tidak boleh duduk atau berbaring pada luka dekubitus, sekalipun hanya untuk beberapa menit.

Memindahkan beban berat badan memungkinkan darah untuk mengalir ke area iskemi dan membantu pemulihan jaringan dari efek tekanan. Dengan demikian pasien harus dibalik dan diatur kembali posisi dengan interval setiap 1-2 jam (Smeltzer&Bare, 2002).

6. Pembersihan (Wound Cleansing)

(46)

menimbulkan cytotoxic. Dalam membersihkan luka perlu dilakukan irigasi dengan tekanan yang tidak terlalu kuat, dengan tujuan untuk membersihkan sisa-sisa jaringan yang nekrotik atau eksudat. Prinsip membersihkan luka adalah dari pusat luka ke arah luar luka dan secara hati-hati atau dapat juga dari bagial luar dulu kemudian bagian dalam dengan kasus yang berbeda (Suriadi, 2004).

7. Dressing

Dressing adalah suatu usaha untuk mempertahankan integritas fisiologi pada luka. Sebelum melakukan dressing atau balutan dan pengobatan luka diperlukan pengkajian pada kondisi luka halni adalah dengan menentukan tipe dressing atau balutan yang dibutuhkan. Perawatan luka pada dekubitus adalah berdasarkan pada derajat luka dekubitus, eksudat, sekeliling luka dan ada tidaknya infeksi.

Beberapa hal yang perlu diketahui pada balutan yaitu terdapat beberapa tipe balutan. Tipe balutan atau dressing tersebut adalah dressing yang sifatny kering, basah, basah-lembab atau basah-kering. Ada juga balutan untuk pelindung luka dan dressing yang sifatnya menyerap dan mengabsorbsi (Suriadi, 2004).

2.2.9 Jenis Balutan

(47)

1. Moist Gauze membantu menjaga luka lembab dan menyerap kelebihan cairan. Kasa harus basah – tidak basah – dengan salin. Kasa terlalu basah dapat melemahkan jaringan sekitarnya.

2. Transparent Films tipis dan fleksibel dan membantu melindungi luka dari air dan bakteri.

3. Hydrokoloid menyerap eksudat dan tahan air. Hal ini membantu menjaga lingkungan luka lembab. Hydrokoloid juga melindungi luka dari air dan bakteri. 4. Hidrogel adalah gel berbasis air yang membuat luka lembab. Hidrogel juga menenangkan dan dapat membantu meringankan rasa sakit.

5. Alginat adalah balutan dengan daya serap tinggi terbuat dari rumput laut. Ketika berikatan dengan eksudat dapat memnjadi gel yang membantu menjaga dekubitus tetap lembab.

6. Foam menyerap eksudat dan menjaga dekubitus tetap lembab. Mereka digunakan untuk menutup atau mengisi luka.

7. Kolagen menyerap eksudat dan membantu menjaga lingkungan dekubitus tetap lembab. Kolagen juga dapat meningkatkan pertumbuhan jaringan baru.

8. Antimikroba membantu mencegah dan mengobati infeksi. Balutan ini terdiri dalam berbagai bentuk.

2.2.10 Penatalaksanaan Dekubitus Berdasarkan Derajatnya

(48)

Tabel 2.1 Perawatan dan pengobatan luka dekubitus berdasarkan derajat

Tingkat Karakteristik Perawatan dan pengobatan

I Adanya eritema atau kemerahan pada kulit setempat yang menetap atau bila ditekan dengan jari eritema tidak berubah (tidak tampak putih).

Hindari masase dan tekanan pada area lesi. Gunakan balutan hidrokoloid atau film dressing. Bila tidak ada gunakan krem kulit untuk mempertahankan kulit tetap lembab. Lakukan perubahan posisi badan; miring kiri kanan setiap 2 jam sekali. Berikan nutrisi yang adekuat dan vitamin; A D E. berikan sokongan dengan bantal

II Adanya kerusakan pada epithelial kulit yaitu lapisan epidermis dan atau dermis. Kemudian dapat ditandai dengan adanya luka lecet atau melepuh.

Sama tindakannya dengan derajat satu. Ditambah menggunakan balutan yang sifatnya semipermiabel untuk mecegah kekeringan dan menjaga jaringan tetap baik. Atau gunakan balutan yang sifatnya lembab.

III Kerusakan pada semua lapisan kulit atau sampai jaringan subkutan dan mengalami nekrosis dengan tanpa kapitas yang dalam

Bila terdapat nekrosis lakukan debridemen dan bersihkan dengan normal salin. Pertahankan lingkungan luka dalam keadaan lembab bila sekeliling jaringan kering. Gunakan balutan hidrokoloid, bila ada. Hindari penekanan dan kaji faktor risiko. Beri pengobatan antibiotik bila terdapat infeksi

IV Adanya kerusakan pada ketebalan kulit dan nekrosis hingga sampai ke jaringan otot bahkan tulang atau tendon dengan kapitas yang dalam

Sama seperti derajat III

(Suriadi, 2004)

2.2.11 SOP Perawatan Dekubitus

(49)

Tabel 2.2 SOP Perawatan Dekubitus

No Pernyataan Ya Tidak

1. Jelaskan kepada klien apa yang akan anda lakukan, mengapa hal tersebut perlu dilakukan, dan

bagaimana klien dapat bekerja sama. Diskusikan bagaimana hasilnya akan digunakan dalam merencanakan perawatan atau terapi selanjutnya. 2. Cuci tangan dan observasi prosedur pengendalian

infeksi yang sesuai.

3. Berikan privasi klien. Bantu klien ke posisi yang nyaman dan yang membuat luka mudah

dipajankan. Pajankan hanya area luka, gunakan selimut mandi untuk menutupi klien, jika perlu. Pemajanan area yang tidak perlu dapat

menyebabkan distress fisik dan psikologis bagi sebagian besar orang.

4. Pasang masker, jika diindikasikan. 5. Lepaskan balutan yang ada.

6. Bersihkan area kulit di sekitar luka secara seksama.  Pasang sarung tangan disposable.

 Bersihkan kulit dengan baik, tetapi secara hati-hati dengan salin normal atau agens pembersih yang ringan.

 Biarkan residu yang sulit dibersihkan dari kulit. Hal ini akan memerlukan waktu. Usaha untuk membersihkan residu dapat mengiritasi kulit sekitarnya.

 Lepaskan sarung tangan dan buang ke dalam kantong lembab.

7. .Bersihkan luka jika diindikasikan.

 Pasang sarung tangan steril atau disposable.  Bersihkan luka dengan larutan yang

ditetapkan.

 Keringkan kulit sekitar luka dengan kasa kering.

(50)

 Lepaskan dan buang sarung tangan 10. Fiksasi balutan dengan plester.

11. Dokumentasi

(51)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Pada bab ini akan dijelaskan tentang kerangka konsep penelitian dan juga definisi operasional yang akan digunakan dalam penelitian ini.

Kerangka konseptual penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tindakan perawatan dekubitus oleh perawat. Pada penelitian ini fokus yang akan diteliti mencakup variabel tindakan perawatan dekubitus oleh perawat.

Berikut skema berdasarkan penjelasan diatas :

Skema 3.1 Kerangka Penelitian Tindakan Perawatan Dekubitus oleh Perawat

Keterangan :

: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti Tindakan perawatan

dekubitus oleh perawat

‐ Persiapan pasien

‐ Menjaga kebersihan

‐ Menjaga kelembaban

‐ Menjaga Tekanan

‐ Pengkajian

‐ Komunikasi

(52)

3.2 Definisi Operasional

(53)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif, yang bertujuan untuk menggambarkan tindakan-tindakan perawatan dekubitus yang dilakukan oleh perawat di RSUD dr. Pirngadi Medan.

4.2. Populasi dan Sampel Penelitian

4.2.1. Populasi

Populasi adalah kumpulan elemen-elemen yang mempunyai karakteristik tertentu yang sama dan mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel (Siswanto, 2013). Populasi dalam penelitian ini adalah tindakan perawatan dekubitus oleh perawat di RSUD dr. Pirngadi Medan.

4.2.2. Sampel

(54)

pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan sampling aksidental, yaitu teknik penentuan sampel yang dilakukan dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia di suatu tempat dan sesuai dengan konteks penelitian (Notoatmodjo, 2010).

Peneliti ingin mengambil sampel tindakan perawatan dekubitus oleh perawat. Sampel dicari di seluruh ruangan yang ada di RSUD dr. Pirngadi Medan, dimana dan kapan saja peneliti temukan tindakan perawat dalam perawatan dekubitus, peneliti ambil sebagai sampelnya. Jumlah sampel ini dilakukan berdasarkan batasan waktu yang digunakan peneliti dalam mengambil sampelnya adalah dua puluh empat hari, dilakukan enam hari dalam seminggu, peneliti datang untuk melihat ada tidaknya tindakan dalam perawatan dekubitus.

4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian merupakan komponen yang sangat penting dalam mendukung terlaksananya penelitian dan harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian itu sendiri. Lokasi penelitian yang ingin digunakan adalah RSUD Dr. Pirngadi Medan. Alasan pemilihan lokasi tersebut karena berdasarkan dari survei awal peneliti rumah sakit tersebut memiliki pasien dekubitus pada tahun 2012 sebanyak 17 pasien dan pada bulan Januari sampai Mei tahun 2013 tercatat sebanyak 9 pasien sehingga memudahkan peneliti untuk mendapatkan sampel.

(55)

4.4. Pertimbangan Etik Penelitian

Penelitian yang menggunakan manusia sebagai subjek tidak boleh bertentangan dengan etik. Tujuan penelitian harus etis dalam arti hak responden harus dilindungi. Pada penelitian ini, maka peneliti mendapatkan surat pengantar dari Fakultas Keperawatan USU. Kemudian menyerahkannya kepada kepala RSUD Dr. Pirngadi Medan untuk mendapatkan persetujuan penelitian terhadap perawat yang merawat pasien dekubitus. Setelah mendapatkan persetujuan, baru melakukan penelitian dengan menekankan masalah etika meliputi :

4.4.1. Tanpa Nama (Anonimity)

Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak akan mencantumkan nama subyek pada lembar pengumpulan data yang diisi oleh subyek. Lembar tersebut hanya diberi kode tertentu.

4.4.2. Kerahasiaan (Confidentiality)

Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dari subyek dijamin kerahasiaannya. Hanya kelompok data tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan pada hasil riset.

4.5. Instrumen Penelitian

(56)

4.5.1. Format Observasi

Format observasi dibuat berdasarkan standar operasional prosedur perawatan dekubitus pada buku Kozier & Erb. Format observasi ini berupa langkah-langkah dalam perawatan dekubitus dan peneliti membubuhkan tanda check di tempat yang sesuai yang sudah di sediakan. Format observasi ini menggunakan skala Guttman yang terdiri dari persiapan pasien, menjaga kebersihan, menjaga kelembaban, menjaga tekanan, pengkajian dan komunikasi. Untuk Ya diberi nilai 1 jika perawat melakukannya dan Tidak diberi nilai 0 jika perawat tidak melakukannya.

Berdasarkan panduan dasar penilaian skill laboratorium dan praktikum pada Fakultas Keperawatan USU, dijelaskan bahwa keterampilan suatu tindakan baik jika dilakukan ≥ 80% dari seluruh prosedur tindakan dan tidak baik jika dilakukan < 80%. Maka penilaian tindakan perawatan dekubitus oleh perawat pada persiapan pasien dikatakan dengan baik jika dilakukan sebanyak 6-7 tindakan dari 7 tindakan persiapan pasien.

(57)

komunikasi memiliki 3 tindakan dikatakan baik jika seluruh tindakan tersebut dilakukan.

4.6. Uji Validitas dan Realibilitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan sesuatu instrumen (Arikunto, 2010). Reliabilitas adalah adanya suatu kesamaan hasil apabila pengukuran dilaksanakan oleh orang yang berbeda ataupun waktu yang berbeda. Uji validitas dan reliabilitas pada penelitian ini tidak dilakukan karena dikutip dari standar operasional prosedur perawatan dekubitus (Kozier dan Erb 2009) dan alat pengumpul data berupa pedoman wawancara terbuka, pedoman observasi, format penjaringan data dan seterusnya tidak perlu diuji validitas dan reliabilitasnya. Penelitian ini menggunakan pedoman observasi, sehingga uji validitas dan reliabilitasnya tidak perlu dilakukan (Setiadi, 2007).

4.7. Pengumpulan Data

(58)

Setelah mengetahui di ruangan tersebut ada pasien dekubitus, peneliti menemui kepala ruang. Peneliti kemudian meminta izin kepada kepala ruang dimana ada tindakan perawat dalam perawatan dekubitus. Peneliti menjelaskan kepada kepala ruang tentang tujuan, manfaat dan proses pengisian format observasi sebelum melakukan penelitian. Peneliti kemudian bertanya kepada perawat pada jam berapa dilakukan tindakan perawatan dekubitus. Setelah mengetahui jadwal tindakan perawatan, kemudian peneliti mengikuti perawat untuk mengobservasi tindakan perawat dalam perawatan dekubitus.

Tindakan perawatan dekubitus oleh perawat yang ditemui peneliti dijadikan sebagai sampelnya. Peneliti memberikan tanda centang (√) pada kolom ya jika perawat melakukan tindakan perawatan dekubitus dan pada kolom tidak jika perawat tidak melakukan tindakan perawatan dekubitus yang ada pada format observasi. Penelitian ini dilakukan selama dua puluh empat hari, enam hari dalam seminggu dalam satu bulan. Selanjutnya seluruh data dikumpul untuk di analisis.

4.8. Analisis Data

(59)
(60)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini, diuraikan tentang hasil penelitian serta pembahasana mengenai tindakan perawatan dekubitus oleh perawat di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Pirngadi Medan

5.1. Hasil Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan mulai dari bulan Februari – Maret 2014. Penelitian ini melibatkan 30 tindakan yaitu tindakan yang dilakukan oleh perawat dalam perawatan dekubitus selama satu bulan.

Hasil penelitian ini memaparkan gambaran tindakan perawat dalam perawatan dekubitus di RSUD dr. Pirngadi Medan yang mencakup persiapan pasien, menjaga kebersihan, menjaga kelembaban, menjaga tekanan, pengkajian dan komunikasi.

5.1.1 Tindakan Perawatan Dekubitus Oleh Perawat di RSUD dr. Pirngadi

Medan

(61)

perawat yang tidak menjaga kelembaban sebanyak 1 tindakan (3.3%), tindakan perawat yang tidak menjaga tekanan dengan baik sebanyak 6 tindakan (20%), tindakan perawat yang tidak melakukan pengkajian sebanyak 30 tindakan (100%), tindakan perawat yang tidak melakukan komunikasi 22 tindakan (73.3%). Berikut penjelasan tindakan perawat dalam perawatan dekubitus berdasarkan sub variabel.

Tabel 5.1 Tindakan perawatan dekubitus oleh perawat berdasarkan sub variabel

(62)

5.2. Pembahasan

5.2.1 Tindakan Perawatan Luka Dekubitus Oleh Perawat di RSUD dr. Pirngadi Medan

Penilaian ini dilakukan langsung secara observasi dengan menggunakan standar operasional prosedur. Standar penilaian observasi ini berdasarkan standar nilai pada skill lab Fakultas Keperawatan USU.

Tindakan perawatan luka dekubitus oleh perawat di RSUD dr. Pirngadi Medan, didapat tindakan yang dilakukan berdasarkan sub variabel pada persiapan pasien 76.7% dilakukan dengan tidak baik. Terlihat bahwa tindakan pada persiapan pasien masih sangat memprihatinkan.

Jika dilihat secara rinci seluruh tindakan dalam memperkenalkan diri kepada klien, termasuk nama dan jabatan atau peran tidak dilakukan dan lebih dari dua per tiga tindakan dalam menjelaskan kepada klien apa yang akan anda lakukan, mengapa hal tersebut perlu dilakukan dan bagaimana klien dapat bekerja sama, diskusikan bagaimana hasilnya akan digunakan dalam merencanakan perawatan atau terapi selanjutnya tidak dilakukan. Jika hal ini dibiarkan akan mempengaruhi tingkat ketidakpercayaan klien terhadap perawat yang mengakibatkan ketidakpuasan klien terhadap pelayanan kesehatan.

(63)

Adapun tujuan lainnya adalah memulai hubungan di mana klien menjadi mitra aktif pada proses penentuan perawatan apa yang akan dipilih

Melakukan sesuatu bagi pasien tanpa pemberitahuan sebelumnya atau melakukan sesuatu tanpa memberi informasi yang penting diketahui pasien dalam menentukan suatu pilihan merupakan tindakan yang tidak memperhatikan prinsip otonomi (Purba & Endang, 2009). Kewajiban perawat salah satunya wajib memberikan informasi yang akurat tentang tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien/klien dan atau keluarganya sesuai dengan batas kemampuannya (Ismani, 2001)

Tindakan perawatan dekubitus di RSUD dr. Pirngadi Medan untuk menjaga kebersihan seluruhnya tidak dilakukan dengan baik. Terlihat pada lampiran 4 bahwa seluruh tindakan dalam melakukan cuci tangan sebelum melakukan perawatan, mencuci tangan setelah melakukan perawatan dan menggunakan sarung tangan steril tidak dilakukan dengan baik.

(64)

Hasil observasi peneliti tidak sejalan dengan penelitian Sri Wulandari (2010), tindakan dalam mencuci tangan sebelum dan sesudah perawatan yang dilakukan oleh perawat memiliki frekuensi yang cukup besar yaitu 77.1% dan yang tidak mencuci tangan ketika beralih dari satu klien ke klien berikutnya 85.7%. Cara mencuci tangan pun tidak sesuai dengan panduan prosedur pada buku Potter & Perry (2010), dimana perawat hanya membasahi tangan kemudian tidak mengeringkan tangan pada handuk steril tetapi pada pakaian dinasnya.

Cara penggunaan sarung tangan steril tidak sesuai dengan panduan prosedur dalam menggunakan sarung tangan steril. Tindakan dalam menggunakan sarung tangan yang dilakukan oleh perawat yaitu satu sarung tangan untuk seluruh klien yang ada di ruangan, dari satu klien ke klien lainnya. Hal ini dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan biasanya disebut infeksi didapat dari pelayanan kesehatan atau nosokomial, yaitu infeksi yang dihasilkan dari penyampaian pelayanan pada suatu sarana pelayanan kesehatan (Potter & Perry, 2010).

Perry, Peterson dan Potter (2005) juga mengatakan rasionalnya mencuci tangan sebelum dan sesudah perawatan dan penggunaan sarung tangan steril yaitu untuk mengurangi penularan mikroorganisme dan mencegah pemajanan tidak disengaja pada cairan tubuh.

(65)

terkontaminasi seperti pispot atau linen yang basah, merawat klien yang terinfeksi dan melepaskan sarung tangan. Mencuci tangan juga harus dilakukan antara merawat klien.

Peneliti juga menemukan bahwa salah satu kepala ruang membatasi perawatnya dalam menggunakan banyak sarung tangan. Tindakan ini tidak sesuai dengan peran manajer terhadap penjaminan kualitas rumah sakit. Pengalaman telah menunjukkan bahwa bila aktivitas penjaminan kualitas tidak mendapatkan respon dari manajer, motivasi akan terhenti dan menjadi negatif, sehingga pada akhirnya penjaminan kualitas akan dipandang sebagai sesuatu yang hanya membuang waktu saja (Marr & Giebing, 2001).

Berdasarkan hasil penelitian peneliti di RSUD dr. Pirngadi Medan, menunjukkan bahwa mayoritas tindakan menjaga kelembaban oleh perawat telah dilakukan. Lingkungan penyembuhan luka yang lembab merupakan hal yang paling penting untuk penyembuhan luka karena lingkungan lembab mempengaruhi kecepatan epitelialisasi dan pembentukan jumlah skar. Lingkungan penyembuhan luka yang lembab memberi kondisi optimum untuk mempercepat proses penyembuhan. (Potter & Perry, 2006).

(66)

Menggunakan kassa mengharuskan perawat mengganti balutan setiap hari, sehingga membuat dekubitus dapat terpapar udara luar yang mempengaruhi peningkatan jumlah bakteri pada dekubitus. Balutan luka merupakan komponen utama dalam perawatan dekubitus. Pemilihan balutan luka harus berdasarkan jaringan yang ada pada dekubitus dan kondisi kulit disekitar dekubitus (NPUAP, 2009).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti di RSUD dr. Pirngadi Medan, didapat mayoritas tindakan perawat dalam menjaga tekanan pada pasien tidak dilakukan. Hasil ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan untuk membalik pasien minimal setiap 2 jam sekali, dimana penekanan pada dekubitus yang telah ada harus dihindari.

Jadwal mengubah posisi dan membalik tubuh secara teratur harus diikuti dengan meminimalkan tekanan dan mencegah kerusakan kulit. Jadwal membalik tubuh sedikitnya setiap 2 jam harus ditaati. Ketika pasien diposisikan atau dibalik, harus hati-hati untuk meminimalkan gesekan dan friksi yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan mencetuskan kerusakan kulit pasien (Smeltzer & Bare, 2002).

(67)

pendidikan kepada keluarga klien untuk melakukan miring kanan dan miring kiri minimal 2 jam sekali.

Hasil observasi yang dilakukan peneliti, peneliti menemukan bahwa seluruh tindakan dalam melakukan pengkajian terhadap dekubitus klien oleh perawat tidak dilakukan. Pengkajian adalah proses pengumpulan data secara sistematis yang bertujuan menentukan status kesehatan dan fungsional klien pada saat ini dan waktu sebelumnya, serta menentukan pola respon klien saat ini dan waktu sebelumnya (Potter & Perry, 2009). Peralatan yang kurang juga menjadi alasan tidak dilakukannya pengkajian pada dekubitus. Mengukur kedalaman luka dengan menggunakan lidi kapas steril ataupun alat lain yang memungkinkan pengukuran kedalaman luka (Potter & Perry, 2006).

Pengkajian juga bukan hanya mengukur kedalaman dekubitus, diameter dekubitus tetapi juga mengkaji kondisi kulit yang juga tidak dilakukan oleh perawat. Mengkaji kondisi kulit dapat menunjukkan kerusakan jaringan yang progresif, ukuran objektif pada luka menentukan jenis balutan yang dipilih.

Mengukur kedalaman merupakan ukuran penting untuk menetukan tahapan dekubitus. Pengkajian dekubitus kulit dan sekitarnya, catat dan dokumentasi warna dan keadaan kulit di sekitar luka, mengukur diameter dekubitus dengan penggaris atau film transparan(Potter & Perry, 2006).

(68)

merupakan proses belajar seumur hidup bagi perawat. Kemampuan komunikasi yang baik akan memelihara hubungan efektif dalam seluruh lingkungan praktik professional dan juga membantu memenuhi standar pelayanan secara legal, etik dan klinis (Potter & Perry, 2009).

Secara lebih rinci dapat terlihat pada lampiran empat, bahwa seluruh tindakan perawat dalam melakukan evaluasi tidak dilakukan , lebih dari dua per tiga tindakan perawat dalam melakukan ucapan terimakasih pada klien tidak dilakukan. Pada pendokumentasian mayoritas perawat telah melakukan dokumentasi.

Tindakan komunikasi pada evaluasi belum dilakukan dengan baik di RSUD dr. Pirngadi Medan. Komunikasi tersebut sesungguhnya dapat membantu perawat untuk menentukan strategi dan intervensi yang telah berhasil dan perubahan apa yang telah dicapai klien sebagai akibat intervensi.

Komunikasi untuk mengakhiri pertemuan terhadap klien tidak dilakukan lebih dari dua per tiga perawat. Hal ini menunjukkan kurangnya soft skill perawat. secara harafiah, soft skill dapat didefinisikan sebagai perilaku personal dan interpersonal (karakter positif) yang dapat mengembangkan dan meningkatkan unjuk kerja. Salah satu soft skill yang berkaitan dengan tindakan komunikasi ini adalah menghormati klien (Nursalam & Efendi, 2009).

(69)

dalam memvalidasi asuhan keperawatan, sarana komunikasi antartim kesehatan lainnya dan merupakan dokumen paten dalam pemberian asuhan keperawatan (Nursalam, 2011).

Tindakan perawat dalam mendokumentasi tidak dilakukan 3.3%. Padahal pendokumentasian itu sendiri memiliki peran yang sangat berarti bagi perawat, yaitu sebagai alat komunikasi dan sumber data pasien yang menjadi tanggung jawab dan tanggung gugat perawat. Sebagai upaya untuk melindungi pasien terhadap kualitas pelayanan keperawatan yang diterima dan perlindungan terhadap keamanan perawat dalam melaksanakan tugasnya, maka perawat diharuskan mencatat segala tindakan yang dilakukan terhadap pasien (Khler dalam Mazly, 2010).

(70)

BAB 6

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hasil penelitian dengan cara melakukan observasi terhadap tindakan perawatan dekubitus oleh perawat di RSUD dr. Pirngadi Medan.

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa tindakan perawatan dekubitus oleh perawat seluruhnya dilakukan dengan kategori tidak baik. Berdasarkan sub variabelnya didapat persiapan pasien 76.7% tidak baik, menjaga kebersihan 100% tidak baik, menjaga kelembaban 3.3% tidak baik, menjaga tekanan 20% tidak baik , pengkajian 100% tidak baik, komunikasi 100% tidak baik.

6.2. Rekomendasi

6.2.1 Bagi Praktik Keperawatan

(71)

baik mengingat pasien yang mengalami dekubitus perlu pemantauan yang ketat serta penatalaksanaan yang tepat dalam menangani dekubitus.

6.2.2 Bagi Manajemen Keperawatan

Dari hasil penelitian ini diharapkan manajer memegang peran penting dalam memotivasi staf untuk membangkitkan, mengarahkan dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja. Memastikan bahwa staf mengetahui dampak dari keputusan dan tindakan yang akan dilakukannya, menjadi role model bagi staf dan memberikan penghargaan terhadap usaha yang telah dilaksanakannya.

6.2.3 Bagi Pendidikan Keperawatan

Tindakan perawat dalam perawatan dekubitus di rumah sakit sangatlah penting untuk dilaksanakan dengan baik untuk mencegah bertambah parahnya dekubitus sehingga berakibat kematian pada pasien. Untuk itu, hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi dan materi tambahan dalam ilmu keperawatan tentang pentingnya merawat luka dekubitus sesuai dengan standar operasional prosedur untuk seorang calon perawat.

(72)

6.2.4 Bagi Penelitian Selanjutnya

(73)

Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Decubitus Ulcer & Info. Pressure Sore Statistics (Decubitus Ulcer Stats). 2013. Diambil tanggal 20 september 2013 12:12pm dari http://decubitusulcervictims.com/pressure-sore-statistics

Fairview. (2014). Diambil tanggal 2 Juli 2014 11:47pm dari http://www.fairview.org/healthlibrary/Article/84022

Hidayat, Aziz Alimul. (2011). Metode penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika.

Ismani, Nila. (2001). Etika Keperawatan. Jakarta: Widya Medika.

Komisi Akreditasi Rumah Sakit. (2011). Diambil tanggal 19 Juni 2014 10:28 am dari

http://www.kars.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=45&Ite mid=76

Kozier & Erb. (2009). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Edisi 5. Jakarta: EGC

Lestari, Ni Ketut Sri. Pengaruh Massage Minyak Kelapa terhadap Pencegahan Dekubitus pada Pasien Stroke di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta Pusat. (2010). Diambil tanggal 10 September 2013

07:45pm dari http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/2s1keperawatan/206312022/bab1.pdf

Marr, Heather & Hannie , Giebing. (2001). Penjamin Kualitas dalam Keperawatan, Konsep, Metode dan Studi Kasus. Jakarta: EGC

Mazly Astuty. (2010). Bidang Teknologi Keperawatan. Diambil tanggal 3 Juli 2014 08:45pm dari

http://pkko.fik.ui.ac.id/files/Tugas%20SIM%20Mazly_Manajemen.docx.rtf Morison, Moya J. (2004). Manajemen Luka. Jakarta: EGC.

Notoatmodjo, Soekidjo. (2007). Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.

Gambar

Tabel 2.1 Perawatan dan pengobatan luka dekubitus berdasarkan derajat
Tabel 2.2 SOP Perawatan Dekubitus
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Tabel 5.1 Tindakan perawatan dekubitus oleh perawat berdasarkan sub variabel

Referensi

Dokumen terkait

1) Triage harus dilakukan dengan segera dan singkat. 2) Kemampuan untuk menilai dan merespons dengan cepat kemungkinan yang dapat menyelamatkan pasien dari kondisi sakit atau

Tema yang kedua nilai profesional perawat yang dominan dalam perawatan di ruangan IRNA D RSUD Dumai dengan sub tema komunikasi, menjaga rahasia pasien, tidak membeda-bedakan

Hasil penelitian menunjukkan upaya perawat dalam mencegah terjadinya luka dekubitus dengan memperhatikan higiene/perawatan mayoritas pasien menjawab baik (77,8%), untuk

Pada penelitian ini penulis menggunakan desain penelitian deskriptif korelatif yang bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan pengetahuan perawat dan bidan dengan pelaksanaan

Berdasarkan hasil penelitian ini direkomendasikan kepada pihak tenaga kesehatan untuk dilakukan penyuluhan tentang dekubitus secara rutin kepada keluarga dan pasien

Sikap Caring Perawat dalam Memberikan Asuhan Keperawatan pada Pasien diruangan Intesive Care Unit (ICU). Stikes Kusuma

Hubungan Pelayanan Perawatan dengan Tingkat Kepuasan Pasien di Ruang Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Advent Bandung.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan pengetahuan perawat tentang komunikasi terapeutik terhadap perilaku perawat saat berkomunikasi dengan pasien di RSUD