• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Kandungan Gizi Udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei) Dari Sistem Budidaya Yang Berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Kandungan Gizi Udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei) Dari Sistem Budidaya Yang Berbeda"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK KANDUNGAN GIZI

UDANG VANNAMEI (

Litopenaeus vannamei

) DARI SISTEM

BUDIDAYA YANG BERBEDA

MUHAMMAD GIGIH WIJAYA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Kandungan Gizi Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) dari Sistem Budidaya yang Berbeda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Muhammad Gigih Wijaya NIM C34110089

(4)
(5)

Vannamei (Litopenaeus vannamei) dari Sistem Budidaya yang Berbeda. Dibimbing oleh MALA NURILMALA dan IRZAL EFFENDI.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan karakteristik kandungan gizi udang vannamei dari sistem budidaya yang berbeda. Udang diperoleh dari tiga sistem budidaya yakni sistem aquapod di Bali, sistem keramba jaring apung (KJA) di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, dan sistem tambak di Karawang. Analisis yang digunakan meliputi analisis proksimat, asam amino, taurin, asam lemak, mineral, dan astaxanthin. Asam amino non essensial tertinggi adalah glutamat pada udang dengan sistem aquapod (Bali) sebesar 3668 mg/100 g. Total asam lemak tertinggi pada udang sistem tambak (Karawang) sebesar 109213 mg/100 g. Taurin tertinggi yakni udang sistem aquapod (Bali) sebesar 109,69 mg/100 g. Mineral makro tertinggi adalah kalsium udang sistem KJA (Kepulauan Seribu) sebesar 2109 mg/kg, sedangkan mineral mikro terbesar adalah seng (Zn) yakni udang sistem aquapod (Bali) sebesar 59,01 mg/kg. Komposisi astaxanthin tertinggi pada udang sistem Aquapod (Bali) sebesar 2,36 mg/kg. Perbedan sistem budidaya memberi pengaruh terhadap karakteristik gizi udang vannamei yaitu asam amino, taurin, asam lemak, mineral dan astaxanthin.

Kata kunci : Astaxanthin, karakteristik gizi, mineral, sistem budidaya, udang vannamei (Litopenaeus vannamei)

ABSTRACT

MUHAMMAD GIGIH WIJAYA. Nutritional Characteristics of White Shrimp (Litopenaeus vannamei) from Different Aquaculture System. Supervised by MALA NURILMALA and IRZAL EFFENDI.

This study was aimed to determine the nutritional characteristics of white shrimp reread in aquapod, floating net and pond system at Sangsit Bali, Thousand Island Jakarta, and pond Karawang respectively. The analysis includes proximate analysis, amino acid, taurine, fatty acids, minerals, and astaxanthin. The highest non essential amino acid of white shrimp was glutamic acid from aquapod system at 3668 mg/100 g. The highest total fatty acid shrimp from pond system was 109213 mg/100 g. The highest taurine was shrimp from Aquapod system 109.69 mg/100 g. The highest content of macro minerals was calcium from shrimp with floating net system (2109 mg / kg), while the largest micro mineral was zinc from shrimp with Aquapod system (59.01 mg/kg). The highest level of astaxanthin was shrimp from Aquapod system is 2.36 mg/kg. In conclusion, the difference of aquaculture system gave significant effect to nutritional characteristics such as amino acid, fatty acid, taurine, mineral and astaxanthin.

(6)
(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(8)
(9)

KARAKTERISTIK KANDUNGAN GIZI

UDANG VANNAMEI (

Litopenaeus vannamei

) DARI SISTEM

BUDIDAYA YANG BERBEDA

MUHAMMAD GIGIH WIJAYA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(10)
(11)
(12)
(13)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak September sampai Juli 2015 ini ialah Karakteristik Gizi Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) dari Sistem Budidaya yang Berbeda.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan karya ilmiah ini, terutama kepada:

1 Dr Mala Nurilmala SPi MSi dan Ir Irzal Effendi MSi selaku dosen pembimbing, atas segala bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis.

2 Dr Asadatun Abdullah SPi MSi sebagai dosen penguji dan Prof Dr Ir Nurjanah MS sebagai dosen perwakilan komisi pendidikan THP,

yang telah memberikan saran dan bimbingan untuk menyelesaikan tugas akhir.

3 Prof Dr Ir Joko Santoso MSi selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.

4 Dr Ir Iriani Setyaningsih MS selaku Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan.

5 Orang tua (Bapak Kunto Widarjono dan Ibu Hilda Widaningsih) dan keluarga tercinta terutama kedua adik saya (Devina Novita Lestari dan Muh Satrio Wibowo) yang tak pernah berhenti memberikan doa serta dukungan baik moril maupun materil kepada penulis.

6 Perusahaan PT. Kemilau Bintang Timur sebagai sponsor Beasiswa Utusan Daerah (BUD)

7 Perusahaan Tropical Ocean Prawn (TOP) yang menyediakan sampel udang di aquapod, Bali dan membiayai pengujian analisis

8 Prof Dr Ir Kadarwan Soewardi yang menyediakan sampel udang dari tambak di Karawang

9 Mas Widi, Qustam dan Harbin sebagai teknisi KJA di Kepulauan Seribu yang membantu pengambilan sampel udang

10 Ir Ali Ibrahim sebagain teknisi sistem budidaya aquapod yang membantu dalam transportasi udang vannamei

11 Teman satu bimbingan yang selalu memberikan semangat (Fitria, Aisyah, Bram, Navisa, Asya, Ayur, Pipit, ka Lita, ka Medal, ka Yustin, ka Deden, ka Andra, mba Nuring, mba Hilda)

12 Mas Ipul, Paqih, Mba Dilla, Mas Tio yang mebantu dalam pengujian sampel udang

13 Keluarga besar THP 48 atas kebersamaan dan kekompakannya selama ini. 14 Sahabat Terbaik (Konita Rahman, Arif Tanugraha, Tri Ramdhani)

Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk perbaikan penelitian ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Agustus 2015

(14)
(15)

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

Ruang Lingkup Penelitian ... 2

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 2

Sistem Budidaya ... 3

Bahan dan Alat ... 3

Prosedur Penelitian ... 4

HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Air Lokasi Sistem Budidaya ... 11

Komposisi Proksimat Udang Vannamei ... 11

Komposisi Asam Amino dan Taurin Udang Vannamei ... 12

Komposisi Asam Lemak Udang Vannamei ... 15

Komposisi Mineral Makro dan Mikro Udang Vannamei ... 18

Komposisi Astaxanthin Udang Vannamei ... 19

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 20

Saran ... 20

DAFTAR PUSTAKA ... 20

LAMPIRAN ... 23

(16)

DAFTAR TABEL

1 Karakteristik kondisi lingkungan di setiap sistem budidaya ... 11

2 Komposisi proksimat udang vannamei ... 12

3 Komposisi asam amino udang vannamei ... 13

4 Komposisi taurin udang vannamei ... 14

5 Komposisi asam lemak udang vannamei ... 16

6 Komposisi mineral makro dan mikro udang vannamei ... 18

7 Komposisi astaxanthin udang vannamei ... 19

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir penelitian ... 4

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis statistik ANOVA data penelitian ... 23

2 Tabel uji lanjut Duncan data penelitian ... 24

3 Kurva standar analisis mineral ... 31

4 Dokumentasi penelitian ... 33

5 Perhitungan proksimat ... 34

6 Kromatogram standar asam amino udang vannamei aquapod ... 35

7 Kromatogram standar asam amino udang vannamei KJA ... 36

8 Kromatogram standar asam amino udang vannamei tambak ... 37

9 Kromatogram standar asam lemak udang vannamei aquapod ... 38

10 Kromatogram standar asam taurin udang vannamei aquapod, KJA dan tambak ... 40

11 Kromatogram asam amino udang vannamei aquapod ... 41

12 Kromatogram asam amino udang vannamei KJA ... 42

13 Kromatogram asam amino udang vannamei tambak ... 43

14 Kromatogram asam lemak udang vannamei aquapod ... 44

15 Kromatogram asam lemak udang vannamei KJA ... 45

16 Kromatogram asam lemak udang vannamei tambak ... 46

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Potensi perikanan di Indonesia yang tinggi dipengaruhi oleh wilayah Indonesia yang sebagian besar adalah lautan. Kegiatan penangkapan tidak mampu memenuhi kebutuhan produksi perikanan sehingga dibutuhkan adanya kegiatan budidaya dalam rangka memenuhi permintaan konsumen. Salah satu hasil budidaya yang banyak diminati di Indonesia adalah udang vannamei. Hal ini dapat ditunjukkan dengan produksi udang tahun 2010 sebesar 206.578 ton yang meningkat 20,49 % di tahun 2014 menjadi 411.729 ton (DJPB-KKP 2015). Selama ini budidaya udang banyak dilakukan di tambak. Kecenderungan yang terjadi dalam budidaya tambak udang, khususnya yang menerapkan teknologi semi intensif dan intensif adalah kondisi lahan yang sempit, penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang tinggi untuk memutar kincir dan aerator, dan rendah oksigen. Dampak dari kekurangan oksigen dan lahan yang sempit menyebabkan kondisi udang mudah mengalami stress dan akan memperlemah kondisi udang, sehingga mudah terserang penyakit (Maulina et al. 2012). Selain menurunnya daya dukung lahan dan serangan penyakit pada udang, belum adanya teknologi yang menjamin kelangsungan kualitas produk dan yang paling utama adalah penebangan hutan mangrove (Setyawan dan Winarno. 2006).

Tingginya masalah yang terjadi pada tambak menuntut adanya upaya untuk tetap memproduksi udang. Salah satu upaya yang dilakukan dalam budidaya udang yaitu dengan kegiatan akuakultur yang dilakukan di laut atau disebut marikultur (marine aquaculture). Marine aquaculture merupakan aktivitas akuakultur yang dilakukan di laut lepas yang berfungsi sebagai penyedia sumberdaya perikanan. Upaya yang dilakukan dalam budidaya udang di laut yakni dengan sistem keramba jaring apung (KJA) dimana udang dibudidayakan di atas permukaan laut dan sistem aquapod yakni udang dibudidayakan di laut dengan kedalaman 15 meter. Keuntungan budidaya udang di laut yakni memiliki lahan yang luas, efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam, ketersediaan oksigen yang melimpah, mengurangi penggunaan BBM untuk memutar kincir, mengurangi konflik pemanfaatan hutan mangrove dan menciptakan lapangan pekerjaan baru (PKSPL-IPB 2006). Keuntungan dari sistem marikultur diharapkan mampu menghasilkan udang bermutu tinggi untuk memenuhi permintaan pasar terhadap produk perikanan.

Penelitian mengenai komposisi nutrisi udang yang dibudidayakan di tambak telah banyak dilakukan seperti Sriket et al. (2006) mengenai perbandingan kualitas udang windu (Penaeus monodon) dan udang putih (Penaeus vannamei) yang dibudidayakan di tambak dan penelitian Karuppasamy et al. (2013) tentang

perbandingan komposisi proksimat, asam amino, dan asam lemak Penaeus monodon, Fenneropenaeus indicus dan Aristeus virilis, akan tetapi

(18)

2

(Kepulauan Seribu) dan tambak (Karawang) belum pernah dilakukan, sehingga penelitian ini dilakukan untuk menentukan karakteristik gizi udang yang dibudidayakan pada sistem budidaya yang berbeda.

Rumusan Masalah

Prospek budidaya udang vannamei cukup bagus, baik untuk pasar dalam negeri maupun untuk ekspor. Salah satu kendala yang umum dihadapi dalam sistem produksi yaitu menurunnya daya dukung lahan tambak yang terus berkurang. Peluang pasar yang masih terbuka tersebut perlu mendapat dukungan, salah satunya dengan pengembangan teknologi budidaya udang di laut dengan sistem aquapod dan keramba jaring apung (KJA) untuk memanfaatkan lahan laut dan meningkatkan nilai jual terhadap udang. Kegiatan budidaya udang di laut diharapkan mampu menghasilkan udang dengan kualitas tinggi baik dari segi kenampakan maupun nilai gizinya.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan karakteristik kandungan gizi udang vannamei dari sistem budidaya yang berbeda. Sistem dan lokasi budidaya udang meliputi sistem aquapod di Bali, sistem keramba jaring apung (KJA) di Kepulauan Seribu, dan sistem tambak di Karawang. Parameter yang diuji dalam penelitian ini meliputi analisis proksimat, asam amino, asam lemak, taurin, mineral, dan astaxanthin.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi, membandingkan kualitas dan karakteristik gizi udang vannamei dari sistem budidaya yang berbeda.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian adalah preparasi dan pengujian karakteristik udang vannamei yang terdiri dari analisis proksimat, asam amino, asam lemak, taurin, mineral, astaxanthin, analisis data, dan penulisan laporan.

METODE PENELITIAN

Waktu dan tempat

(19)

Preparasi sampel dan analisis kandungan gizi udang dilakukan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Laboratorium Terpadu Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Terpadu Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Sistem Budidaya

Sampel udang pada penelitian ini diperoleh dari tiga sistem budidaya yang berbeda yakni sistem aquapod, KJA, dan tambak. Udang dengan sistem aquapod berasal dari Sangsit Kecamatan Tabunan, Bali, udang dengan sistem keramba jaring apung berasal dari Semak daun, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dan udang dengan sistem tambak dari Karawang, Jawa Barat. Sistem aquapod memiliki karakteristik yaitu berupa wadah berbentuk bola dengan ukuran diameter 20 meter berkapasitas 3600 m3 di kedalaman 15-20 meter dalam permukaan laut, serta pada

alat tersebut terdapat panel yang digunakan untuk memberikan pakan dan mampu menahan predator yang akan memangsa biota. Sistem keramba jaring apung adalah sarana pemeliharaan ikan atau biota air yang mengapung diatas air. Budidaya yang dilakukan di permukaan laut dengan ukuran kantong jaring 3 x 3 meter dan disimpan pada permukaan laut sehingga mengambang dan berbentuk kolam dengan kedalaman 1,5-2 meter. Tambak adalah kolam buatan yang berada di kawasan pantai dan dimanfaatkan untuk sarana akuakultur. Komponen tambak terdiri dari aerator, kincir, petak air pemasok, petak treatment dan petak tandon.

Udang yang diperoleh dari sistem budidaya aquapod, KJA dan tambak memiliki ukuran, umur, jenis pakan, frekuensi pemberian pakan dan ukuran yang seragam, yang membedakan hanya sistem budidaya pemiliharaan pada udang Sistem budidaya aquapod, KJA dan tambak memiliki karakteristik lokasi, arus, gelombang dan tekanan yang berbeda.

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan yaitu udang vannamei dengan ukuran rata-rata 15-17 cm. Bahan yang digunakan untuk analisis proksimat meliputi aquades, H2SO4, NaOH, HCl 0,1 N, H3BO4, kertas saring, dan pelarut heksana. Bahan yang

digunakan untuk analisis asam lemak adalah NaOH 0,5 N, metanol (Merck), BF3,

NaCl jenuh, n-heksana, dan Na2SO4. Bahan yang digunakan untuk analisis asam

amino adalah natrium hidroksida, asam borat, larutan brij, Na-EDTA, metanol (Merck), THF, Na-asetat, dan, 2-merkaptoetanol. Analisis kandungan mineral menggunakan asam nitrat (HNO3), aquades, asam asetat, kertas saring Whatman

no 42, H2SO4, H3BO3, HCl dan garam (NaCl) 1%. Analisis astaxanthin

(20)

4

performance liquid chromatography (Waters Coorporation, Massachusetts, USA), (GC) Gas chromatograpgy (Hitachi 263-50 GC, Tokyo, Japan) dan (AAS) atomic absorption spektroscopy (Shimadzu tipe AA-7000, Kyoto, Japan).

Prosedur Penelitian

Penelitian ini terdiri atas beberapa analisis meliputi analisis proksimat, asam amino, taurin, asam lemak, mineral, dan astaxanthin. Sampel diperoleh dari Bali, Kepulauan Seribu dan Karawang ditransportasikan menggunakan sistem basah. Penyipanan udang dilakukan dalam freezer pada suhu -80 oC. Diagram alir

proses penelitian tahap pertama mengenai karakteristik gizi udang vannamei dari laut dan tambak dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram alir prosedur penelitian

Analisis Proksimat

Analisis proksimat meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak.

Analisis Kadar Air (AOAC 2005)

Tahap pertama yang dilakukan adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 102-105 oC hingga diperoleh berat konstan selama 15 menit. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 30 menit) dan dibiarkan sampai suhu ruang kemudian ditimbang. Sampel udang vannamei ditimbang seberat 5 g, selanjutnya cawan yang telah diisi sampel dimasukkan ke dalam oven pada suhu 102-105 oC selama 6 jam. Cawan tersebut dimasukkan ke

Tambak (Karawang) Udang vannamei (L. vannamei)

Aquapod (Bali) KJA (Kep Seribu)

(21)

dalam desikator dan dibiarkan sampai suhu ruang kemudian ditimbang. Perhitungan kadar air sebagai berikut.

Kadar air % = BB--CA x 100%

Keterangan :

A = Berat cawan porselen kosong (g)

B = Berat cawan porselen dengan sampel (g)

C = Berat cawan porselen dengan sampel setelah dikeringkan (g)

Analisis Kadar Abu (AOAC 2005)

Cawan porselen dibersihkan kemudian dikeringkan dalam oven bersuhu sekitar 105 oC selama 30 menit. Cawan porselen tersebut dimasukkan ke dalam desikator (30 menit) dan ditimbang. Sampel udang vannamei yang sudah dicacah ditimbang sebanyak 5 g, kemudian dimasukkan ke dalam cawan porselen, selanjutnya dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan pada suhu 600 oC selama 6 jam. Cawan dimasukkan ke dalam desikator dibiarkan sampai suhu ruang kemudian ditimbang. Perhitungan kadar abu sebagai berikut.

Kadar abu % = CB--AA x100 %

Keterangan :

A = Berat cawan porselen kosong (g)

B = Berat cawan porselen dengan sampel (g)

C = Berat cawan porselen dengan sampel setelah dikeringkan (g)

Analisis Kadar Protein (AOAC 2005)

Analisis kadar protein dilakukan dengan metode mikro Kjeldahl. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Sampel ditimbang sebanyak 0,25 g serta 0,25 g tablet kjeltab selenium dan 3 mL H2SO4 pekat dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 mL. Sampel udang

didestruksi pada suhu 410 oC selama kurang lebih 1 jam sampai larutan jernih lalu

didinginkan. Setelah dingin, ke dalam labu Kjeldahl ditambahkan 50 mL akuades dan 20 mL NaOH 40%, kemudian dilakukan proses destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer 125 mL yang berisi campuran 10 mL asam borat (H3BO3) 2 % dan 2 tetes indikator bromcherosol green-methyl red yang

berwarna merah muda. Setelah volume destilat mencapai 10 mL dan berwarna hijau kebiruan, maka proses destilasi dihentikan. Destilat selanjutnya dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda. Volume HCl terpakai dalam titrasi dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti sampel. Kadar protein dihitung dengan persamaan sebagai berikut.

(22)

6 dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam soxhlet Labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) disambungkan dengan soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak heksana. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 80 oC menggunakan pemanas listrik selama 6 jam. Pelarut

didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap.

Proses destilasi akan menyebabkan pelarut tertampung di soxhlet dan dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak. Labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 15 menit, setelah itu labu

didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Kadar protein dihitung dengan persamaan sebagai berikut.

W3 = Berat labu lemak dengan lemak (g)

Analisis Asam Amino (AOAC 2005)

Komposisi asam amino ditentukan dengan HPLC. Perangkat HPLC dibilas terlebih dahulu dengan eluen yang akan digunakan selama 2-3 jam dan syringe yang akan digunakan harus dibilas dengan akuades. Analisis asam amino menggunakan HPLC terdiri dari 4 tahap, yaitu preparasi sampel, pengeringan, derivatisasi dan injeksi.

a. Preparasi sampel

Preparasi sampel dilakukan dengan menimbang sebanyak 1 g sampel dan

dihancurkan, selanjutnya ditambahkan dengan larutan HCl 6 N sebanyak 5-10 mL. Larutan tersebut dipanaskan dalam oven pada suhu 100 °C selama 24

jam. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan gas atau udara yang ada pada sampel agar tidak mengganggu kromatogram yang dihasilkan. Sampel disaring menggunakan milipore berukuran 45 mikron.

b. Pengeringan

Hasil saringan diambil sebanyak 10 μL dan ditambahkan 30 μL larutan

pengering. Larutan pengering dibuat dari campuran antara metanol, natrium asetat, dan trimetilamin dengan perbandingan 2:2:1. Sampel dikeringkan dengan alat pompa vakum yaitu untuk mempercepat proses dan mencegah terjadinya oksidasi.

c. Derivatisasi

(23)

dilakukan agar detektor mudah untuk mendeteksi senyawa yang ada pada sampel. Selanjutnya dilakukan pengenceran dengan cara menambahkan 10 mL asetonitril 60 % dan natrium asetat 1 M lalu dibiarkan selama 20 menit. Hasil pengenceran disaring kembali dengan menggunakan milipore berukuran 45 mikron. Larutan

derivatisasi sebanyak 30 μL ditambahkan pada hasil pengeringan.

d. Injeksi ke HPLC

Hasil saringan diambil sebanyak 20 μL untuk diinjeksikan ke dalam HPLC.

Penghitungan konsentrasi asam amino pada bahan dilakukan dengan pembuatan kromatogram standar menggunakan asam amino standar yang telah siap pakai yang mengalami perlakuan yang sama dengan sampel. Kondisi alat HPLC saat berlangsungnya analisis asam amino.

Merek : Waters Coorporation, Massachusetts, USA Temperatur kolom : 38°C

Jenis kolom : Pico tag 3.9 x 150 nm colum Kecepatan alir eluen : 0,5 mL/menit

Program : Gradien

Tekanan : 3000 psi

Fase gerak : Asetonitril 60% dan natrium asetat 1 M 40% Detektor : UV / 272 nm

Kandungan asam amino pada bahan dapat dihitung dengan rumus yaitu persentase asam amino dalam 100 gram sampel.

Asam amino (%) = AC x C x BM x FPAS x BC x 100%

Keterangan :

AC = Luas area sampel AS = Luas area standar BC = Bobot sampel (g)

BM = Bobot molekul dari masing-masing asam amino C = Konsentrasi standar asam amino

Fp = Faktor pengenceran.

Analisis Taurin (AOAC 2005)

(24)

8

Taurin % = Luas area sampelLuas area standarxC x faktor pengenceranbobor sampel (g)

Keterangan : C = konsentrasi standar taurin (µg/mL)

Analisis Asam Lemak (AOAC 2005)

Metode analisis yang digunakan memiliki prinsip memisahkan asam lemak (gliserida dan pospolipida) dengan cara penyabunan dan akan esterifikasi dengan adanya BF3 sebagai katalis. Senyawa yang tidak tersabunkan tidak

dipisahkan dan akan menggangu hasil analisis. Hasil analisis akan terekam dalam suatu lembaran yang terhubung dengan rekorder dan ditunjukan melalui beberapa puncak pada waktu retensi tertentu sesuai dengan karakter masing-masing asam lemak. Analisis asam lemak dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap ekstraksi, metilasi, dan identifikasi dengan kromatografi gas.

a. Ekstraksi asam lemak

Tahap pertama dilakukan ekstraksi soxletasi untuk asam lemak, dan ditimbang sebanyak 200 mg lemak dalam bentuk minyak.

b. Pembentukan metil ester (metilasi)

Lemak dalam bentuk minyak yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam tabung 10 mL, ditambah 2-5 mL NaOH 0,5 N kemudian ditutup rapat dan direfluks selama 20 menit menggunakan water bath pada suhu 80 oC.

Tabung lalu diangkat dan dibiarkan sampai dingin pada suhu ruang. Sebanyak 2-5 mL BF3 ditambahkan, kemudian dipanaskan kembali selama

20 menit dan dinginkan pada suhu ruang. NaCl 2 mL ditambahkan dengan 2 mL heksana sambil dikocok. Tahap proses pemisahan lapisan heksana yang berada di lapisan atas dan masukan kedalam botol eppendorf dengan ditambahkan 0,1 g Na-sulfat, dibiarkan sampai 15 menit. Fase cair dipisahkan dan selanjutnya diinjeksikan kedalam kromatografi gas.

c. Identifikasi asam lemak dilakukan dengan menginjeksikan metil ester pada alat kromatografi gas dengan kondisi alat sebagai berikut.

Merk : Hitachi 263-50 GC, Tokyo, Japan Detektor : FID (Flame Ionization Detector) Jenis kolom : Dietilen Glikol Sukcianat (DEGS)

(25)

kromatogram asam lemak standar yang telah diketahui jenis dan konsentrasinya, kemudian dihitung kadar asam lemaknya. Kadar asam lemak dihitung dengan rumus sebagai berikut.

Asam lemak % =konsentrasi total asam lemakkonsentrasi puncak sampel x 100%

Analisis Mineral (AOAC 2005)

Proses pengabuan basah pada pengujian mineral Mg, Ca, K, Zn, Cu dan Fe dilakukan dengan penimbangan sampel sebanyak 1 g, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer dengan ukuran 125 mL. HNO3 5 mL ditambahkan ke dalam

labu dan dibiarkan selama 1 jam pada suhu ruang di ruang asam. Labu dipanaskan diatas hotplate selama 4 - 6 jam dengan temperatur rendah dan dibiarkan selama semalam dalam keadaan sampel tertutup dalam ruang asam. H2SO4 pekat

sebanyak 0,4 mL ditambahkan dan dipanaskan di atas hotplate sampai larutan lebih pekat selama ± 1 jam. HClO4 dan HNO3 ditambahkan (2:1) sebanyak 2-3

tetes, sampel tetap berada di atas hotplate hingga terjadi perubahan warna dari coklat, kuning tua ke kuning muda selama ± 1 jam. Setelah terdapat perubahan warna, pemanasan dilanjutkan 10-15 menit. Sampel dipindahkan, didinginkan dan ditambahkan 2 mL akuades dan 0,6 mL HCl pekat. Larutan dipanaskan kembali agar sampel larut (± 15 menit) kemudian dimasukan ke dalam labu takar 100 mL. Apabila terdapat endapan, larutan disaring dalam glass wool. Hasil pengabuan basah dianalisis menggunakan dalam Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) (Shimadzu tipe AA-7000, Kyoto, Japan) untuk analisis berbagai mineral. Larutan standar, blanko dan contoh dialirkan ke AAS, kemudian diukur absorbansinya atau tinggi puncak dari standar blanko dan contoh pada panjang gelombang dan parameter yang sesuai untuk masing-masing mineral dengan spektrofotometer. Setelah diperoleh absorbansi standar, antara konsentrasi standar (sebagai sumbu Y) dihubungkan dengan absorban standar (sebagai sumbu X)

sehingga diperoleh kurva standar mineral dengan persamaan garis linier y = ax + b yang digunakan untuk perhitungan konsentrasi larutan sampel.

Konsentrasi larutan sampel dihitung dengan mengalikan dengan absorbansi contoh. Kadar mineral dihitung dengan rumus sebagai berikut.

Kadar mineral ( mg 100g basis kering (bk))⁄ % = Kadar mineral basis basah(100%

-%kadar air) x 100%

Keterangan :

a = konsentrasi larutan sampel (ppm) b = konsentrasi larutan blanko (ppm) fp = faktor pengenceran

w = berat sampel (g).

Analisis Astaxanthin (Takeungwongtrakul et al. 2013)

(26)

10

dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm pada suhu 4 oC selama 5

menit. Pisahkan antara natan dan supernatan kemudian dimasukan kedalam corong pisah dan ditambahkan 40 ml petroleum eter dan 100 ml aqades. Hasil sampel didiamkan selama 20 menit agar terbentuk dua lapisan antara pelarut dan astaxanthin. Lapisan petroleum eter dipindahkan ke tabung reaksi kemudian dilakukan analisis absorbansi sampel. Absorbansi sampel dilakukan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 448 nm. Konsentrasi astaxanthin ditentukan dengan metode Saito dan Regeir (1971) dengan modifikasi sebagai berikut.

C ug/g lipid = A0448 x volume ekstraksi x dilusi

,2 x bobot sampel dalam gram

(0,2 adalah standar astaxanthin 1 µg/mL A448)

Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan perbedaan sistem budidaya yakni aquapod, KJA dan tambak. Analisis menggunakan 3 ulangan. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan microsoft excel, perangkat lunak Statistical Package for Social Science (SPSS) dengan analisis ragam ANOVA menggunakan selang kepercayaan 95% (α = 0,05). Model matematika rancangan acak lengkap sebagai berikut:

Yij

= µ + τ

i +

ε

ij

Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j.

μ = Nilai rata-rata umum peubah yang diamati.

τi = pengaruh perlakuan ke-i.

εij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

i = {1,2,3} j = {1,2,3}

Data komposisi kimia udang vannamei yang menunjukkan pengaruh nyata, akan dilakukan uji lanjut Duncan. Hipotesis percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

H0 : Perbedaan sistem budidaya tidak memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap komposisi kimia udang vannamei

H1 : Perbedaan sistem budidaya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap

(27)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Air Lokasi Sistem Budidaya

Kondisi perairan berperan langsung terhadap segala bentuk kehidupan biota perairan didalamnya. Setiap sistem budidaya terdapat di tiga lokasi yang berbeda, sistem budidaya aquapod berlokasi di Bali, sistem KJA berlokasi di Kepulauan Seribu, dan sistem tambak berlokasi di Karawang. Setiap lokasi budidaya memiliki karakteristik kondisi lingkungan yang berbeda. Karakteristik kondisi lingkungan setiap sistem budidaya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik kondisi lingkungan di setiap sistem budidaya

Parameter Sistem budidaya

Tabel 1 menunjukkan karakteristik kondisi lingkungan pada sistem budidaya aquapod, KJA dan tambak. Nilai suhu, salinitas, DO dan pH lingkungan budidaya aquapod berturut-turut adalah 29-31 oC, 32-34o/oo, 7,5-7,9 mg/ L, dan

8,2-8,5. Nilai suhu, salinitas, DO dan pH lingkungan budidaya KJA berturut-turut adalah 30-31 oC, 31-32o/

oo, 7,4-7,7 mg/ L, dan 7,4-7,8. Nilai suhu, salinitas, DO

dan pH lingkungan budidaya tambak berturut-turut adalah 30-32 oC, 21-25o/oo,

7,0-7,2 mg/ L, dan 7,5-7,9. Kondisi kecepatan arus arus di lingkungan tambak cenderung tenang, sedangkan kondisi arus di pada sistem aquapod dan tambak memiliki kecepatan 0,16-0,20 m/s. Setiap sistem budidaya memiliki kondisi lingkungan yang berbeda, hal tersebut dipengaruhi lokasi yang berbeda. Sistem budidaya aquapod dan KJA memiliki kandungan oksigen terlaut tinggi dibandingkan dengan sistem tambak. Hal ini disebabkan karena di laut terjadi pencampuran dan pengadukan air laut oleh angin sehingga menyebabkan tingginya kandungan oksigen dalam air serta suhu air laut akan berfluktuasi akibat proses tersebut, namun berbeda dengan di tambak, oksigen pada tambak diperoleh dari putaran kincir dan aerator yang menyebabkan kandungan oksigen dalam air terbatas dan suhu pada tambak tidak berubah signifikan. Suhu air berfluktuasi sesuai siklus matahari, pasang surut dan angin laut sehingga akan mempengaruhi suhu dan oksigen terlarut yang terdapat pada air laut (Sachoermar. 2008).

Komposisi Proksimat Udang Vannamei

(28)

12

protein yang cukup tinggi. Hasil analisis proksimat udang vannamei dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi proksimat udang vannamei

Komposisi

Udang vannamei (L. vannamei)

Aquapod (Bali)

Hasil yang diperoleh menunjukkan kadar air dalam udang vannamei sistem budidaya Aquapod, KJA dan tambak berturut-turut adalah 77,19 ± 0,12 %, 76,68 ± 0,44 % dan 78,27 ± 0,39 %. Hasil kadar air penelitian sebelumnya yakni 81,35 % dan 77,21 % (Sriket et al. 2006; Santoso et al. 2008). Tingginya komposisi kadar air pada daging disebabkan oleh kemampuan bahan untuk mengikat air yang disebut water holding capacity (WHC). Hal ini menunjukkan

bahwa udang vannamei merupakan bahan pangan yang bersifat mudah rusak (high perishable food). Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan

daya terima, kesegaran dan daya simpan bahan tersebut. Hasil yang didapatkan kadar abu dalam udang vannamei sistem budidaya aquapod, KJA dan tambak berturut-turut adalah 1,00 ± 0,24 %, 1,14 ± 0,18 % dan 0,85 ± 0,11 %. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yakni 1,47% dan 0,64 % (Sriket et al. 2006; Santoso et al. 2008).

Perbedaan kadar abu dipengaruhi oleh kandungan mineral yang terdapat pada udang vannamei terutama pada udang yang dibudidaya di Kepulauan Seribu dengan sistem KJA yang memiliki kadar abu tinggi dibandingkan udang vannamei sistem tambak. Komposisi mineral yang terpadat pada setiap udang vannamei dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan pada setiap sistem budidaya. Wu RSS (1995) menyatakan bahwa tingginya kondisi kelarutan mineral dipengaruhi oleh kondisi suatu lingkungan perairan. Hasil komposisi kadar protein udang vannamei sistem budidaya aquapod, KJA dan tambak berturut-turut adalah 18,84 ± 0,47 %, 17,91 ± 0,56 % dan 18,07 ± 0,46 %. Hasil penelitian

Komposisi Asam Amino dan Taurin Udang Vannamei

(29)

Tabel 3 Komposisi asam amino udang vannamei

No. Asam Amino

(mg/100 g)

Udang vannamei (Litopenaeus vannamei)

Aquapod (Bali) KJA (Kep Seribu) Tambak (Karawang)

Keterangan : Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).

Hasil analisis asam amino udang vannamei menunjukkan bahwa terdapat 17 asam amino yang terdiri dari 9 asam amino non essesial dan 8 asam amino essensial. Asam amino essensial yang terdapat pada udang vannamei meliputi histidina, arginina, treonina, valina, methionina, leusina, isoleusina dan phenilalanina. Asam amino non essensial yang terdapat pada udang vannamei meliputi asam aspartat, asam glutamat, serina, glisina, alanina, tirosina, lisina, sisteina dan prolina. Hasil tersebut menunjukkan bahwa udang vannamei mempunyai kandungan asam amino non esensial yang tinggi dan sangat diperlukan oleh tubuh karena tubuh manusia tidak dapat menghasilkan asam amino tersebut.

(30)

14

aquapod memiliki rasa yang lebih manis dibandingakan udang yang dibudidayakan dengan sisten KJA dan tambak karean memiliki komposisi asam glutamat dan aspartat lebih tinggi dibandingkan udang KJA dan tambak. Perbedaan komposisi asam amino dapat disebabkan oleh umur, musim penangkapan, habitat serta tahapan dalam daur hidup organisme (Litaay 2005).

Kandungan prolina pada setiap udang berbeda nyata. Udang yang dibudidayakan dengan sistem aquapod memiliki kandungan prolina terbesar dengan nilai 1741 mg/100 g, sedangkan udang yang dibudiayakan dengan sistem KJA dan tambak memiliki nilai 1304 mg/100 g dan 1099 mg/100 g. Perbedaan komposisi prolina udang vannamei dipengaruhi sistem budidaya yang berbeda, sehingga mempengaruhi sistem osmoregulasi udang tersebut. Udang yang dibudidayakan dengan sistem aquapod dibudidayakan di laut dengan kedalaman 15-20 meter, sehingga udang memerlukan energi yang lebih besar untuk hidup dibawah tekanan air, arus dan salinitas air laut untuk sistem osmoregulasi. Kondisi salinitas suatu perairan akan mempengaruhi sistem osmoregulasi pada udang (Bishop dan Burton 1993).

Komposisi asam amino pada setiap udang vannamei dipengaruhi juga oleh pakan yang dikonsusi oleh udang. Jenis pakan dan frekuensi pemberian pakan yang diberikan kepada udang bersifat homogen, namun komposisi asam amino udang vannamei yang dibudidayakan di laut memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan udang vannamei yang dibudidayakan di tambak terutama pada serina dan histidina. Hal tersebut dipengaruhi oleh jenis pakan alami yang terdapat pada setiap sistem budidaya. Udang yang dibudidayakan pada sistem aquapod berlokasi di laut dengan kedalaman 15 meter, sehingga keragaman pakai alami seperti fitoplankton dan zooplankton akan lebih banyak dibandingkan udang vannamei yang dibudidayakan dengan sistem KJA dan tambak. Hal ini yang menyebabkan komposisi asam amino pada udang vannamei sistem aquapod lebih tinggi dibandingkan komposisi asam amino udang vannamei yang dibudidayakan pada sistem tambak. Sachoermar dan Hendiarti (2006) menyatakan bahwa keragaman fitoplankton dan zooplankton pada suatu perairan dipengaruhi oleh temperatur, nitrat-nitrit, silikat dan kecerahan suatu perairan.

Taurin adalah asam amino non esensial yang mengandung sulfur, tetapi tidak termasuk kelompok protein karena tidak memiliki gugus karboksil (-COOH) yang diperlukan untuk membentuk ikatan peptida. Pangan yang berasal dari perairan adalah sumber utama taurin. Taurin banyak terdapat pada hewan, terutama telur, daging dan makanan laut. Taurin pada manusia berfungsi mempertahankan keseimbangan sel membran pada jaringan yang aktif, yakni pada jaringan otak dan jantung. Kandungan taurin pada udang vannamei yang dibudidayakan di lokasi yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi taurin udang vannamei

Taurin (mg/100 g) Sistem budidaya

Aquapod (Bali) KJA (Kep Seribu) Tambak (Karawang)

Udang vannamei 109,69 ± 3,77a 121,53 ± 2,55b 6,14 ± 0,11c

(31)

Data Tabel 4 menunjukkan bahwa udang vannamei dengan sistem KJA memiliki komposisi taurin terbesar yaitu 121,53 ± 2,55 mg/100 g, sedangkan udang vannamei dengan sistem aquapod dan tambak memiliki nilai 109,69 ± 3,77 dan 6,14 ± 0,11 mg/100 g. Perbedaan komposisi taurin pada setiap udang dipengaruhi karena sistem budidaya yang berbeda. Udang yang dibudidayakan di laut memiliki tingkat salinitas yang berbeda dibandingkan udang yang dibudidayakan di tambak. Perbedaan salinitas perairan dari setiap sistem budidaya akan mempengaruhi kondisi fisiologis udang vanname, sehingga perbedaan salinitas tersebut akan berpengaruh terhadap sistem osmoregulasi udang.

Udang yang dibudidayakan di laut dengan sistem aquapod memiliki tekanan yang tinggi karena udang hidup dikedalaman 15 meter, sedangkan udang yang dibudidayakan dengan sistem KJA memiliki gelombang dan arus yang tinggi berkisar 0,16-0,18 m/s. Akibat dari kondisi perairan yang memiliki tekanan dan arus yang tinggi menyebabkan udang akan menghasilkan energi yang besar untuk mampu bertahan dan bergerak melawan tekanan, arus dan gelombang yang terdapat pada lingkungan lokasi sistem budidaya. Udang yang dibudidayakan di tambak tidak membutuhkan energi yang tinggi karena udang berada dalam kondisi air yang tenang dan arus yang rendah, sehingga tubuh udang akan sedikit mengeluarkan energi untuk bertahan hidup. Hal tersebut yang menyebabkan udang yang dibudidayakan di laut memiliki komposisi taurin yang lebih besar dibandingkan udang yang dibudidayakan di tambak.

Smith et al. (1987) menyatakan bahwa udang akan menghasilkan taurin yang dimanfaatkan sebagai sumber energi dan tumbuh kembang udang pada saat juvenile serta digunakan sebagai energi untuk beradaptasi dengan lingkungan. Udang yang dibudidayakan di laut memiliki tingkat salinitas yang berbeda dibandingkan udang yang dibudidayakan di tambak. Perbedaan salinitas pada setiap sistem budidaya akan mempengaruhi kondisi fisiologis udang, sehingga akan berpengaruh terhadap sistem osmoregulasi pada udang yang menyebabkan perbedaan komposisi taurin pada udang. Taurin digunakan oleh invertebrata laut untuk sistem osmoregulasi di lingkungan salinitas tinggi (Schoffeniels 1976).

Taurin banyak terdapat pada hewan, terutama telur, daging dan seafood. Taurin berfungsi mempertahankan keseimbangan sel membran pada jaringan yang aktif, yakni pada jaringan otak dan jantung serta berfungsi membantu metabolisme kolesterol dan mengemulsi asam empedu sehingga

meringankan beban kerja dari hati, pankreas dan kantong empedu (Abebe dan Mozaffari 2011).

Komposisi Asam Lemak Udang Vannamei

Jenis asam lemak yang dianalisis pada udang vannamei dari sistem budidaya aquapod, KJA dan tambak terdiri atas asam lemak laurat, miristat, palmitat, stearat, oleat, linoleat, linolenat dan arahidonat. Hasil komposisi asam lemak pada sampel udang yang dibudidayakan dengan sistem aquapod, KJA dan tambak dapat dilihat pada Tabel 5.

(32)

16

Tabel 5 Komposisi asam lemak udang vannamei

Asam Lemak

(mg/100 g)

Udang vannamei (Litopenaeus vannamei)

(Aquapod) Bali KJA (Kep. Seribu) Tambak (Karawang)

Total asam lemak 73484 58052 109213

Keterangan : Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).

Hasil analisis asam lemak yang terdeteksi pada udang vannamei terdapat 8 jenis asam lemak. Data Tabel 5 menunjukkan bahwa asam lemak yang terkandung dalam setiap udang vannamei terdiri dari asam lemak jenuh (SAFA) yaitu laurat, miristat, palmitat dan stearat. Asam lemak tak jenuh (PUFA), yaitu linoleat, linolenat dan arakidonat, serta asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) yaitu oleat. Perbedaan sistem budidaya menyebabkan kandungan asam lemak udang vannamei berbeda. Kandungan asam lemak tertinggi terdapat pada udang vannamei yang dibudidayakan dengan sistem tambak yakni 109213 mg/100 g, sedangkan udang vannamei yang dibudidayakan dengan sistem aquapod dan KJA memilili nilai 73484 dan 58052 mg/100 g. Komposisi asam palmitat dan asam

stearat adalah komponen lemak yang paling banyak pada udang (Sriket et al. 2006). Perbedaan rasio asam lemak yang terdapat pada setiap spesies

udang dipengaruhi oleh umur, siklus hidup, salinitas, temperatur, musim dan lokasi geografis (Karuppasamy et al. 2013).

(33)

sistem aquapod, KJA dan tambak berturut-turut adalah 5954 mg/100 g, 4850 mg/100 g dan 15026 mg/100 g. Komposisi palmitat dan stearat pada setiap udang mendominasi nilai SAFA pada setiap udang. Asam palmitat dan asam stearat merupakan komponen lemak yang paling banyak pada udang (Sriket et al. 2006).

Asam lemak tak jenuh tunggal yang terdeteksi pada udang vannamei yaitu asam oleat. Komposisi asam oleat udang vannamei sistem aquapod, KJA dan tambak berturut-turut adalah 11432 mg/100 g, 11553 mg/100 g dan 34645 mg/100 g. Perbedaan komposisi asam oleat pada setiap udang dipengaruhi oleh sistem budidaya yang berbeda. Perbedaan sistem budidaya akan mempengaruhi suhu, tekanan, arus, salinitas, kekeruhan, lingkungan dan pakan alami yang dikonsumsi oleh udang. Udang sistem aquapod yakni hidup di kedalaman 10-15 m akan membutuhkan energi lebih besar untuk hidup dikarenakan udang harus bertahan dalam kondisi suhu, tekanan, salinitas dan arus air laut yang tidak menentu, sedangkan sistem KJA udang hidup di permukaan air laut, sehingga udang akan membutuhkan energi yang besar pula untuk bertahan hidup dari kondisi suhu, salinitas dan aruh permukaan air laut.

Udang dengan sistem tambak memiliki komposisi asam oleat yang tinggi. Hal ini disebabkan karena pada udang sistem tambak dimana kondisi lingkungan, pakan, salinitas dan arus sudah diatur sedemikian rupa agar udang selalu dalam kondisi baik serta adanya akumulasi pakan yang terdapat pada tambak, terutama pada pakan yang tidak dikonsumsi oleh udang, sehingga udang tidak membutuhkan energi yang besar untuk hidup. Tinggi rendahnya asam oleat pada setiap udang diduga karena dipakai sebagai energi untuk tumbuh dan survive dalam kondisi tertentu. Ikan membutuhkan asam lemak omega 6 dan omega 3 sebagai asam lemak esensial dalam pakannya untuk menghasilkan pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi agar mampu bertahan hidup dalam kondisi perairan yang tidak nyaman (Mokoginta et al. 2003).

Asam oleat adalah asam lemak tak jenuh yang paling umum dan merupakan prekursor untuk produksi sebagian besar PUFA. Asam oleat di dalam tubuh adalah sebagai sumber energi, sebagai zat antioksidan untuk menghambat kanker, menurunkan kadar kolesterol dan media pelarut vitamin A, D, E, dan K. Kekurangan asam oleat dapat menyebabkan terjadinya gangguan salah satunya seperti penglihatan, menurunnya daya ingat serta gangguan pertumbuhan sel otak pada janin dan bayi (Iskandar et al. 2010).

Asam lemak tak jenuh jamak yang terdeteksi pada udang vannamei yaitu linoleat, linolenat dan arakidonat. Data Tabel 5 menunjukkan bahwa total PUFA pada setiap udang vannamei menujukkan hasil yang berbeda. Total PUFA udang

vannamei sistem aquapod, KJA dan tambak berturut-turut adalah 35897 mg/100 g, 26133 mg/100 g dan 17044 mg/100 g. Asam linoleat merupakan

(34)

18

udang dipengaruhi oleh ukuran, umur, siklus hidup, salinitas, temperatur, musim, lokasi geografis dan ketersediaan pakan.

Komposisi Mineral Makro dan Mikro Udang Vannamei

Unsur mineral makro merupakan unsur mineral pada tubuh manusia yang terdapat dalam jumlah yang cukup besar dan kelompok mineral makro terdiri K, Ca, Mg, Na, S, Cl, dan P. Mineral mikro merupakan mineral yang terdapat di dalam tubuh dalam jumlah yang kecil dan secara tetap terdapat dalam sistem biologis (Santoso et al. 2008). Hasil analisis mineral makro dan mikro pada udang vannamei berdasarkan sistem budidaya yang berbeda disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Komposisi mineral makro dan mikro udang vannamei

Komposisi

Udang vannamei (L. vannamei) mg/kg

Aquapod (Bali)

Kalium (K) 12051,27 ± 428,41a 9637,48 ± 186,61b 12280,90 ± 595,58a

Kalsium (Ca) 792,19 ± 28,45a 2109.01 ± 39.79b 652,86 ± 18,67c

Keterangan : Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

(35)

Komposisi mineral mikro tertinggi terdapat pada udang vannamei sistem aquapod yakni seng (Zn) dengan nilai 59,01 ± 5,24 mg/kg diikuti dengan udang sistem tambak dan KJA yakni 55,74 ± 3,44 mg/kg dan 31,85 ± 1,99 mg/kg. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa komposisi seng pada udang memiliki nilai 14,07 ± 0,56 mg/kg (Sriket et al. 2006). Komponen besi (Fe) tertinggi terdapat pada udang vannamei sistem aquapod yakni 4,52 ± 0,10 mg/kg diikuti

oleh udang sistem tambak dan KJA yakni 2,68 ± 0,41 mg/kg dan 1,98 ± 0,75 mg/kg, sedangkan komponen tembaga (Cu) tertinggi terdapat pada

udang sistem KJA yakni 33,94 ± 0,74 mg/kg diikuti oleh udang sistem aquapod dan tambak yakni 28,17 ± 0,92 mg/kg dan 15,12 ± 0,55 mg/kg. Zat besi yang terdapat dalam tubuh manusia berfungsi sebagai pembantu zat darah merah untuk pembawa oksigen ke jaringan paru-paru (Camara et al. 2005). Ion logam transisi, terutama Cu dan Fe, berfungsi sebagai katalis utama untuk oksidasi. Mineral berkontribusi untuk oksidasi otot pada udang selama penanganan, pengolahan dan penyimpanan (Thanonkaew et al. 2006). Sumber utama mineral untuk organisme laut adalah air laut dan pakan (Sriket et al. 2006).

Komposisi Astaxanthin Udang Vannamei

Astaxanthin merupakan kelompok pigmen yang memberikan warna kuning, oranye dan merah yang terdapat pada kulit, cangkang dan kerangka luar hewan air khususnya krustasea. Hasil analisis komposisi astaxanthin pada udang vannamei dari lokasi berbeda dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Komposisi astaxanthin udang vannamei

Astaxanthin

Keterangan : Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).

(36)

20

kedalam tubuh dan mampu dimanfaatkan sebagai energi tumbuh kembang udang (Bjerkeng et al. 2000; Ytrestøyl et al. 2004).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem budidaya yang berbeda mempengaruhi komposisi asam amino, taurin, asam lemak, mineral dan astaxanthin. Udang vannamei sistem aquapod memiliki komposisi asam amino non essensial paling tinggi seperti glutamat, serina, dan prolina yang memberikan rasa manis pada udang, terutama pada serina memiliki perbedaan hingga dua kali lipat. Asam linolenat (PUFA omega 3) dan taurin pada udang sistem budidaya KJA memiliki nilai tertinggi hingga dua kali lipat. Komposisi asam lemak linoleat (PUFA omega 6), mineral dan astaxanthin pada udang sistem aquapod memiliki nilai tertinggi. Udang yang dibudidayakan di laut memiliki komposisi gizi lebih baik dari udang yang dibudidayakan di tambak.

Saran

Penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan analisis kolestrol LDL dan HDL serta analisis profil protein setiap udang dengan sistem dan lokasi budidaya yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Abebe W, Mozaffari MS. 2011. Role of taurine in the vasculature: an overview of experimental and human studies. American Journal Cardiovasc. 1(3): 293-311.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington (US): The Association of Official Analytical Chemist, Inc.

Ariyani F, Murtini JT, Indriati N, Dwiyitno, Yenni Y. 2007. Penggunaan glyroxyl untuk menghambat mutu ikan mas (Cyprinus carpio) Segar. Jurnal Fish. Sciencce. 9(1): 125-133.

Bishop JB, Burton RS. 1993. Amino Acid Synthesis during Hyperosmotic Stress in Penaeus aztecus postlarvae. Comparative Biochemistry and Physiology. 106 (1): 49–56.

(37)

Camara F, Amaro MA, Barbera R, Clemente G. 2005. Comparision between dialysis and solubility methods. Food Chemistry. 92: 481-489.

[DJPB-KKP] Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2015. Pelepasan Ikan Mas Mantap Sebagai Pendukung Produksi Perikanan Budidaya yang Berkelanjutan [internet]. [diunduh 20 Juli 2015]. Tersedia pada: http://www.djpb.kkp.go.id

Iskandar Y, Surilaga S, Musfiroh I. 2010. Penentuan Kadar Asam Linoleat pada Tempe secara Kromatografi Gas. Jurnal Farmasi. 3(2): 15-20.

Karuppasamy PK, Priyadarshini SSR, Ramamoorhty N, Sujatha R, Ganga S, Jayalakshmi T, Santhanam P. 2013. Comparison of proximate, amino and fatty acid composition of Penaeus monodon (Fabricius, 1798), Fenneropenaeus indicus (H. Milne Edwards, 1837) and Aristeus virilis (Bate, 1881) of Nagapattinam landing centre, Tamil Nadu. Journal of the Marine Biological Association of India. 55(2): 5-10.

Litaay M. 2005. Peranan nutrisi dalam siklus reproduksi abalone. Oseana. 3(3): 1-7

Maulina I, Handaka AA, Riyantini I. 2012. Analisis Prospek Budidaya Tambak Udang di Kabupaten Garut. Jurnal Akuatika. 3(1): 49-62

Mokoginta, Jusadi G, Pelawi TL. 2003. Pengaruh pemberian Daphnia sp. yang di perkaya dengan sumber lemak yang berbeda terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan nila (Oreochromis niloticus). Jurnal Akuakultur Indonesia. 2(1): 1-11.

Oksuz A, Ozyilmaz A, Aktas M, Gercek G, Motte J. 2009. A comparative studi on proximate, mineral and fatty acid compositions of deep seawater rose shrimp (Parapenaeus longirostris, Lucas 1846) and red shrimp (Plesioinika martina, A. Milne-Edwards, 1883). Journal of Animal and Veterinary Advances. 8(1): 183-189.

Osman F, Jaswir I, Khaza’ai H, Hashim R. 2007. Fatty acid profiles of fin fish in Langkawi Island, Malaysia. Journal of Oleo Science. 56(3): 107-113. [PKSPL-IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Persisir dan Lautan Institut Pertanian

Bogor. 2006. Konsep Pengembangan Sea Farming di Kabupaten Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Bogor (ID): IPB Press.

Wu RSS. 1995. The environmental impact of marine fish culture: towards a sustainable future. Marine Polution Bulletin. 31. (4-12): 159-166.

Sachoerman IS dan Hendiarti N. 2006. Struktur komunitas dan keragaman plankton antara perairan laut di selatan Jawa Timur, Bali dan Lombok. Jurnal Hidrosfir. 1(1): 21-26.

Sachoerman IS. 2008. Karakteristik lingkungan perairan kepulauan seribu. Jurnal Akuakultur Indonesia. 4(2): 109-114.

Saito A, Regier L. 1971. Pigmentation of brook trout (Salvelinus fontinalis) by feeding dried crustacean waste. Journal of Fisheries Resource Board of Canada. 28(4): 509–512.

Santoso J, Nurjanah, Irawan A. 2008. Kandungan dan kelarutan mineral pada cumi-cumi loligo sp dan udang vannamei L. vanmamei. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 15(1): 7-12.

(38)

22

Setyawan AD, Winarno K. 2006. Permasalahan konservasi ekosistem mangrove di pesisir kabupaten rembang jawa tengah. Jurnal Biodiversitas. 7(2): 159-163.

Sikorski ZE, Kolakowska A, Pan BS. 1990. The Nutritive Composition of The Major Groups of Marine Food Organisms. Florida (US): CRC Press. Siswanti T, Kurniawati N, Hapsariningsih W, Harismah K. 2014. Pembuatan

glukosa mengandung kalsium dari biji jali (Coix lachryma-jobi L) untuk mencegah osteoporosis. Simposium Nasional RAPI XIII. FT UMS.

Smith BR, Miller GC, Mead RW. 1987. Taurine tissue concentrations and salinity effect on taurine in the freshwater prawn Macrobracium rosenbergii (De Man). Comparative Biochemistry and Physiology. 87(4): 907-909. Sriket P, Benjakul S, Visessanguan W, Kijroongrojana K. 2006. Comparative

studies on chemical composition and thermal properties of black tiger shrimp (Penaeus monodon) and white shrimp (Penaeus vannamei) meats. Food Chemistry. 103: 1119-1207.

Takeungwongtrakul S, Benjakul S, Santoso J, Trilaksani W, Nurilmala M. 2013. Extraction and stability of carotenoid-containing lipids from hepatopancreas of Pacific white shrimp (Litopenaeus vannamei). Journal of Food Processing and Preservation. 39: 10-18.

Thanonkaew A, Benjakul S, Visessanguan W. 2006. Chemical composition and thermal property of cuttlefish (Sepia pharaonis) muscle. Journal of Food Composition and Analysis. 19: 127–133.

(39)
(40)
(41)

Lampiran 1. Hasil analisis statistik ANOVA data penelitian

Asam amino Keragaman Jumlah

kuadrat Db

Glutamat Perlakuan 537444.222 2 268722.111 168.701 .000

Error 9557.333 6 1592.889

Total 547001.556 8

Serin Perlakuan 651742.889 2 325871.444 289.435 .000

Error 6755.333 6 1125.889

Tirosin Perlakuan 173438.000 2 86719.000 80.147 .000

Error 6492.000 6 1082.000

Total 179930.000 8

Arginin Perlakuan 337974.889 2 168987.444 96.497 .000

Error 10507.333 6 1751.222

Total 348482.222 8

Sistein Perlakuan 175866.000 2 87933.000 154.268 .000

Error 3420.000 6 570.000

Total 179286.000 8

Prolin Perlakuan 643720.222 2 321860.111 466.689 .000

Error 4138.000 6 689.667

Total 647858.222 8

Histidin Perlakuan 429993.556 2 214996.778 292.557 .000

Error 4409.333 6 734.889

Total 434402.889 8

Lisin Perlakuan 4273402.889 2 2136701.444 2476.537 .000

Error 5176.667 6 862.778

Total 4278579.556 8

Treonin Perlakuan 180428.222 2 90214.111 91.837 .000

Error 5894.000 6 982.333

Total 186322.222 8

Valin Perlakuan 170678.000 2 85339.000 126.804 .000

Error 4038.000 6 673.000

Total 174716.000 8

Metionin perlakuan 2564843.556 2 1282421.778 969.573 .000

Error 7936.000 6 1322.667

(42)

24

Asam amino Keragaman Jumlah

kuadrat db

Kuadrat

tengah F Sig.

Leusin Perlakuan 2468748.222 2 1234374.111 797.228 .000

Error 9290.000 6 1548.333

Total 2478038.222 8

Isoleusin Perlakuan 147949.556 2 73974.778 81.660 .000

Error 5435.333 6 905.889

Total 153384.889 8

Phenilalanin Perlakuan 13094.889 2 6547.444 3.761 .087

Error 10444.667 6 1740.778

Total 23539.556 8

Lampiran 2 Tabel uji lanjut Duncan data penelitian

Asam Amino

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan. a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Glutamat

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan. a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Serin

(43)

Glisin

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan. a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Tirosin

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan. a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Arginin

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan. a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Sistein

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan. a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

(44)

26

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan. a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Lisin

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan. a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Treonin

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan. a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Valin

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan. a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

(45)

Leusin

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan. a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Isoleusin

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan. a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Phenilalanin

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan. a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Asam Lemak

(46)

28

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan. a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000

Palmitat

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan. a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000

Stearat

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan. a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Oleat

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan. a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

(47)

Linolenat

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan. a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Arakidonat

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan. a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Astaxanthin

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan. a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Taruin

(48)

30

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan. a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Magnesium

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan. a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Kalsium

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan. a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Seng

(49)

Tembaga

Rataan untuk kelompok dalam besaran yang homogen ditampilkan. a Menggunakan ukuran sampel rataan yang sama = 3,000.

Besi

Lampiran 3. Kurva standar analisis mineral

(50)

32

Kurva standar seng (Zn)

Kurva standar tembaga (Cu)

Kurva standar besi (Zn)

Perhitungan komposisi mineral

(51)

Lampiran 4. Dokumentasi penelitian

Gambar 1 Sampel udang vannamei Gambar 2 Preparasi sampel

Gambar 3 Alat HPLC Gambar 4 Alat AAS

Gambar 5 Spektrofotometer UV-vis Gambar 6 Sampel astaxanthin

(52)

34

Lampiran 5 Contoh perhitungan proksimat udang vannamei

Perhitungan kadar air

B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (g)

C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (g)

Perhitungan kadar abu

Keterangan: A = Berat cawan porselen kosong (g) B = Berat cawan dengan sampel (g)

C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (g)

Perhitungan kadar protein

Kadar Protein (%) = mg contoh ×faktor koreksi alatmL HCl ×N HCl ×14,007 ×100%

N (%) = 20× 0,1×14×6,25

Keterangan: W1 = Berat sampel (g)

(53)
(54)

36

(55)
(56)

38

Lampiran 9 Kromatogram standar asam lemak udang vannamei

(57)
(58)

40

(59)
(60)

42

(61)
(62)

44

(63)
(64)

46

(65)
(66)

48

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekalongan, pada tanggal 18 Agustus 1993. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Kunto Widarjono dan Ibu Hilda Widaningsih serta mempunyai satu saudara perempuan dan satu saudara laki-laki yang bernama Devina Novita Lestari dan Muhammad Satrio Wibowo.

Pendidikan formal penulis ditempuh di Bogor dimulai dari TK Asri tahun 1998-1999, kemudian dilanjutkan di SDN Pengadilan 5 Bogor tahun 1999 sampai 2005. Pendidikan formal selanjutnya ditempuh di SMPN 1 Bogor hingga tahun 2008. Pendidikan formal selanjutnya ditempuh di SMAN 10 Bogor dan tamat pada tahun 2011.

Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) pada tahun 2011. Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perairan sebagai Wakil Ketua Himasilkan pada 2012-2013 dan Divisi PSDM pada 2013-2014. Penulis peraih PKM-KC didanai Dikti 2013-2014 dan PKM-K 2014-2015.

Gambar

Gambar 1  Diagram alir prosedur penelitian
Tabel 1 Karakteristik kondisi lingkungan di setiap sistem budidaya
Tabel 2 Komposisi proksimat udang vannamei
Tabel 3 Komposisi asam amino udang vannamei
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian keempat bertujuan untuk membandingkan kandungan proksimat, asam amino, asam lemak, taurin, astaksantin dan mineral daging udang vaname yang dibudidayakan di

Penelitian pembuatan bubuk flavor kepala udang vannamei ( Litopenaeus vannamei ) dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu persiapan bahan baku, penelitian utama, dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan sistem biosekuritas di lingkungan budidaya udang vannamei dan pengaruhnya terhadap produksi, mengidentifikasi

Hasil produksi udang vannamei tertinggi ada pada kecamatan lain, maka dari itu perlu dilakukan evaluasi kesesuaian lahan tambak udang vannamei (Litopenaeus vannamei) untuk

Menurut Briggs et al., (2004) udang vannamei dapat tumbuh baik dengan kepadatan penebaran yang tinggi yaitu 60-150 ekor/m 2 sedangkan menurut Strumer et al., (1992)

Praktek Kerja Lapang tentang Aplikasi Probiotik (Bacillus sp.) pada Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) di Tambak Udang Intensif Sidojoyo Group, Banyuwangi, Jawa

Kegiatan pembenihan udang vannamei (Litopenaeus vannamei) meliputi pengelolaan induk, perawatan telur, pengelolaan kualitas air, pemberian pakan, ablasi mata, pemijahan,

pemeliharaan udang vannamei pada kegiatan ini adalah dengan sistem sirkulasi tertutup yaitu tidak melakukan pergantian air tambak, tetapi melakukan penambahan air yang