• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formulasi Indeks Kerentanan Untuk Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Pulau Pulau Kecil; Kasus Di Provinsi Nusa Tenggara Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Formulasi Indeks Kerentanan Untuk Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Pulau Pulau Kecil; Kasus Di Provinsi Nusa Tenggara Timur"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

FORMULASI INDEKS KERENTANAN UNTUK PEMENUHAN

KEBUTUHAN AIR BERSIH PULAU-PULAU KECIL

KASUS DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

FX. HERMAWAN KUSUMARTONO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul ”Formulasi Indeks Kerentanan untuk Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Pulau-Pulau Kecil; Kasus di Provinsi Nusa Tenggara Timur” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(3)

RINGKASAN

FX. HERMAWAN KUSUMARTONO. Formulasi Indeks Kerentanan untuk Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Pulau-Pulau Kecil; Kasus di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh ASEP SAPEI, ARYA HADI DHARMAWAN dan ZUZY ANNA.

Masyarakat yang bermukim di pulau-pulau kecil mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan air bersih. Kesulitan tersebut dipengaruhi oleh keterbatasan sumber daya air yang disebabkan oleh karakteristik hidrologi, topografi, jenis tanah, dan iklim. Kondisi kualitas air yang kurang baik dan volume air yang terbatas merupakan fenomena umum ditemukan di pulau-pulau kecil. Untuk mengetahui tingkat kerentanan sumber daya air di pulau-pulau kecil, telah dilakukan kajian pengembangan berbagai formulasi indeks. Akan tetapi, sebagian besar indeks kerentanan tersebut cenderung bersifat parsial dan terfokus pada satu aspek atau dimensi tertentu. Penelitian ini menyusun indeks kerentanan pemenuhan kebutuhan air bersih pulau-pulau kecil secara komprehensif. Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) mengetahui tingkat konsumsi, ketersediaan serta potensi kekurangan air bersih di pulau-pulau kecil; (2) menganalisis status keberlanjutan pemenuhan kebutuhan air bersih pulau-pulau kecil secara berkelanjutan; (3) memformulasikan indeks kerentanan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih di pulau-pulau kecil; (4) menganalisis pola adaptasi masyarakat pulau-pulau kecil dalam menghadapi krisis air.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif yang bersifat positivistik-deduktif. Namun, dalam ragamnya termasuk ke dalam penelitian penjelasan (explanatory confirmatory research). Formulasi indeks kerentanan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih di pulau-pulau kecil dilakukan dengan literatur review, analisis hubungan fungsional dimensi dan parameter terpilih, serta menilai kerentanan. Sebelum merumuskan indeks kerentanan, dilakukan analisis Rapid Appraisal Water (RAP-Water) untuk menilai keberlanjutan pemenuhan kebutuhan air bersih di pulau-pulau kecil. Data yang dipergunakan untuk analisis indeks kerentanan dan analisis keberlanjutan meliputi data primer dan sekunder. Untuk data primer, unit analisisnya adalah masyarakat di daerah krisis air pulau kecil, sedangkan unit observasinya adalah kepala rumah tangga. Dengan menggunakan teknik pengambilan sampel multi-stage random sampling didapatkan responden sebanyak 257. Adapun data sekunder diperoleh dari dinas dan instansi terkait, seperti data curah hujan, ketersediaan air, jumlah bencana, kepadatan penduduk, data penduduk miskin, tutupan lahan dan sebagainya. Lokasi penelitian berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebagai sampel lokasi, 3 pulau terpilih, yaitu: Pulau Ende, Pulau Solor dan Pulau Semau.

(4)

sensitif adalah catchment area/tutupan lahan, proximasi geografis terhadap sumber air, dan curah hujan. Sementara itu, pada dimensi ekonomi diantara empat atribut, yang paling sensitif adalah harga air bersih, tingkat kemiskinan, dan WTP masyarakat terhadap air bersih. Demikian pula, pada dimensi sosial diantara empat atribut, yang paling sensitif adalah konflik pemanfaatan sumber daya air dan peran CSR dalam penyediaan air bersih. Selanjutnya, pada dimensi institusi diantara empat atribut, yang paling sensitif adalah perencanaan pengelolaan air bersih dan peraturan pengelolaan (tata kelola). Sedangkan pada dimensi infrastruktur/ teknologi, di antara tiga atribut yang paling sensitif adalah teknologi pengelolaan air.

Dalam formulasi indeks kerentanan dalam pemenuhan kebutuhan air bersih ditemukan 14 parameter dengan dimensi masing-masing (1) tujuh parameter kapasitas adaptif, (2) tiga parameter sensivitas, dan (3) empat parameter ketersingkapan. Hasil penerapan pada tiga pulau kecil ditemukan bahwa indeks kerentanan yang tertinggi adalah pulau Solor (0,60), kemudian pulau Ende (0,46), dan terendah pulau Semau (0,39). Namun, tidak semua dimensi mengalami tingkat kerentanan yang tinggi pada setiap pulau. Dimensi kapasitas adaptif merupakan yang paling rentan di pulau Solor, dimensi sensivitas yang paling rentan di pulau Semau, dan dimensi singkapan merupakan yang paling rentan di pulau Ende.

Pola adaptasi masyarakat dalam menghadapi krisis air adalah membuat bak atau memanfaatkan bak penampungan air hujan (PAH), baik secara swadaya maupun yang berasal dari bantuan pihak luar. Temuan yang menarik adalah semakin bantuan tersebut bersifat komunal semakin mampu memupuk modal sosial masyarakat dalam mengatasi krisis air, sebaliknya bantuan yang bersifat individual justru melemahkan modal sosial masyarakat. Terdapat pola daya lenting masyarakat pulau-pulau kecil dalam pemenuhan kebutuhan air bersih yaitu daya lenting yang berbasis modal sosial dan berbasis modal ekonomi. Masing-masing daya lenting tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Ditemukan juga daya lenting yang berbasis modal sosial tinggi cenderung berasal dari mereka yang tergolong pada modal ekonomi yang rendah.

Pendekatan community based water resilience dilakukan untuk merespon kerentanan air pulau-pulau kecil sehingga program-program yang dilaksanakan dapat terintegrasi secara berkelanjutan. Juga diperlukan kebijakan yang komprehensif dan holistik dengan melibatkan berbagai stakeholder.

(5)

SUMMARY

FX. HERMAWAN KUSUMARTONO. Formulation a vulnerability index of fresh water fulfillment in small islands; Case Study in West Nusa Tenggara Province. Supervised by ASEP SAPEI, ARYA HADI DHARMAWAN dan ZUZY ANNA.

The societies that live in small islands are experiencing difficultiy in fulfilling water needs. Such problems are affected by the characteristics of hydrology, topography, type of soil, and climate. Poor water condition and limited water volume are common pehomenon in small islands. To get a better understanding on water vulnerability level in small islands, development of various vulnerability indexes has been carried out. However, most of said indexes tend to only be partially done and focused on one specific aspect or dimension. This research formulate a vulnerability index of fresh water fulfillment in small islands comprehensively. The aim of the research are: (1) To determine the level of consumption, availability and the potential lack of freshbwater in small islands; (2) To analize sustainability status fulfilling fresh water needs in small islands; (3) To formulate a vulnerability index to fulfill water needs in small islands; (4) To analize the adaptive pattern of the community in small islands in healing with water crisis. This research applied a deductive-positivist approach which makes it a quantitative study. However, it is also a type of explanatory confirmatory research. The formulation of vulnerability index for fresh water fulfillment in small islands is carried out through literature review, functional relation of a selected dimension and parameter, as well as measuring vulnerability. Before formulating vulnerability index is conducted Rapid Appraisal Water (RAP-Water) analysis to determine the sustainability of fresh water fulfillment in small islands. The data used for the analysis of vulnerability index and their sustainability consisted of primary and secondary data. For the primary data, the unit of analysis is community in water scarce-small islands, and the unit of observation is head of household. Using multi-stage random sampling technique, as much as 257 samples were drawn. The secondary data are obtained from related istitutions, such as data on rain fall, water availability, disaster occurrence, population density, poverty, land coverage, and so on. This research is located in the Province of Nusa Tenggara Timur. This province is selected because of its natural dry climate with limited availability of water. This province belongs to Pulau Nusa Tenggara archipelago whose records low water availability compared to other islands in Indonesia. As sample of location, three islands were selected, that are: Ende Island, Solor Island, and Semau Island.

(6)

area/land coverage, geographical poximation over water resources, and rainfall. Meanwhile on the economic dimension, the four attributes, the most sensitive is the price of raw water, poverty, and people's WTP fresh water. Similarly, the social dimension, among the four attributes, the most sensitive is the conflict utilization of water resources and the role of CSR in fresh water provision. Furthermore, the dimensions of the institution, among the four attributes, the most sensitive is the raw water management planning and regulatory management (governance). Whereas on the dimensions of infrastructure/technology, among the three most sensitive attribute is ai management technologies.

In the formulation of vulnerability index on fresh water fulfillment it was discovered 14 parameters which belongs to three dimensions; (1) seven parameters on adaptive capacity, (2) three parameters on sensitivity. (3) four parameters on exposureness. On the application in the three small islands, it can be found that island with the highest vulnerability is Solor island (0,60), followed by Ende (0,46), and the lowest is Semau island (0,39). However, not all dimensions experiencing high vulnerability in each island. Adaptive capacity is the most vulnerable dimension in Solor island, while in Semau island it is sensitivity, and in Ende island it is exposureness.

The adaptation pattern of the community in dealing with water crisis is through building or utilizing rain water storage (RWS) tank, either by self financing or from external source. The finding that is interesting is that the more communal the facility is, the more it is able to strengthen community’s social capital in overcoming water crisis, and in contrast individual assistance turns out to weaken social capital. There are two types of community’s resilience pattern; resilience based on social capital and based on economic capital. Each of the resilience is having its own superiority as well as drawback. We also found out that social capital based resilience tends to come from those having low economic capital.

Community based water resilience is chosen as a response to water vulnerability in small islands. This approach is proven to create sustainable and integrated programs. A comprehensive policy is also required to ensure stakeholder participation during implementation.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

FORMULASI INDEKS KERENTANAN UNTUK PEMENUHAN

KEBUTUHAN AIR BERSIH PULAU-PULAU KECIL

KASUS DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(9)

Penguji Luar Komisi pada Ujian

Tertutup : 1. Dr.Ir. M.Yanuar J. Purwanto, MS

2. Dr.Ir. Ruchyat Deni Djakapermana, M.Eng Sidang Promosi : 1. Dr.Ir. M.Yanuar J. Purwanto, MS

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah indeks kerentanan, dengan judul Formulasi Indeks Kerentanan Untuk Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Pulau-Pulau Kecil; Kasus di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Topik ini dipilih, mengingat pengukuran kerentanan dengan membuat formulasi indeks kerentanan pulau kecil krisis air menjadi penting untuk dilakukan agar mengetahui sejauh mana kondisi krisis air suatu daerah sehingga dapat dipilih tindakan yang paling sesuai dengan merancang model pemenuhan kebutuhan air pada masyarakat di pulau-pulau kecil yang mengalami krisis air. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada:

1. Prof.Dr.Ir. Asep Sapei, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Dr.Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr dan Dr.Dra. Zuzy Anna, M.Si sebagai anggota Komisi Pembimbing atas dedikasinya dalam membimbing dan mendukung sejak awal hingga penyelesaian disertasi ini.

2. Prof.Dr.Ir. Cecep Kusmana, MS selaku Ketua Program Studi PSL dan Dr.Ir. Widiatmaka, DEA selaku Sekretaris Program Studi PSL, serta seluruh staf sekretariat PSL atas bantuannya selama masa perkuliahan sampai selesainya disertasi ini.

3. Dr.Ir. M.Yanuar J. Purwanto, MS dan Dr.Ir. Ruchyat Deni Djakapermana, M.Eng selaku Penguji Luar Komisi yang telah memberi masukan substansial, komentar, saran yang membangun sehingga meningkatkan kualitas disertasi ini.

4. Rekan-rekan mahasiswa S-3 Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL). Khususnya Angkatan IX yang telah menjadi teman diskusi selama penelitian dan penulisan disertasi ini.

5. Istriku (Noni) dan anak-anakku (Ganes dan Farel) atas dukungan, motivasi, inspirasi dan doanya sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi ini.

6. Rekan-rekan Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi (PKPT), khususnya yang ada di Bidang Kajian dan Kerjasama (K3) atas dukungan sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi ini.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna, karena itu adanya kritik dan saran senantiasa diharapkan. Akhirnya, semoga karya ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan khalayak luas.

(12)

DAFTAR ISI

Hal

RINGKASAN iv

LEMBAR PENGESAHAN xi

PRAKATA xii

DAFTAR ISI xiii

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Kerangka Penelitian 5

Kajian Terdahulu 7

Kebaharuan (Novelty) 10

2 KAJIAN PUSTAKA 11

Indeks Kerentanan 11

Pengertian Pulau-Pulau Kecil 12

Kerentanan Pulau-Pulau Kecil 13

Dinamika Kerentanan Sebagai Fungsi Ketersingkapan, Sensitivitas dan Kapasitas Adaptif

15

3 METODE PENELITIAN 22

Tempat dan Waktu Penelitian 22

Pendekatan Penelitian 23

Metode Pengumpulan Data 23

Parameter yang Diamati 25

Metode Analisis 33

Pemetaan Proses Penelitian (Research Mapping) 42

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 43

Kondisi Pulau-Pulau Kecil Krisis Air di Lokasi Penelitian 43 Analisis Situasi Pulau-Pulau Kecil Dilokasi Penelitian 48 Ketersediaan dan Kebutuhan Air Bersih Masyarakat Pulau Kecil 54 Status Keberlanjtan Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Pulau-Pulau

Kecil 59

Formulasi Indeks Kerentanan Untuk Pemenuhan Kebutuhan Air

Bersih di Pulau-Pulau Kecil 75

Pola Adaptasi Masyarakat Pulau-Pulau Kecil Dalam Menghadapi

Krisis Air: Bak Penampung Air Hujan (PAH) Berbasis Modal Sosial 87 Pola Adaptasi Masyarakat Pulau-Pulau Kecil Dalam Menghadapi

Krisis Air: Daya Leting Modal Sosial dan Modal Ekonomi 91 Gagasan Konseptual Untuk Kebijakan Penanganan Pemenuhan

(13)

Implikasi Kebijakan Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih di Pulau

Kecil Krisis Air 103

5 SIMPULAN DAN SARAN 105

Simpulan 105

Saran 106

DAFTAR PUSTAKA 107

LAMPIRAN 113

(14)

DAFTAR TABEL

Hal

1 Ketersediaan Air di Indonesia 15

2 Parameter Dimensi/ Komponen Ketersingkapan 17

3 Parameter Dimensi/ Komponen Sensitivitas 18

4 Pemahaman Kapasitas Adaptif (Adaptive Capacity) dan Daya Lenting

(Resilience) 20

5 Parameter Dimensi/ Komponen Kapasitas Adaptif 21

6 Metode Pengumpulan Data 24

7 Teknik Penarikan Sampel Kajian (Multistage Sampling) 25

8 Operasionalisasi Konsep Kerentanan 31

9 Metode Analisis Yang Digunakan 33

10 Dimensi dan Atribut Analisis Keberlanjutan Pemenuhan Kebutuhan Air

Masyarakat Pupau-Pulau Kecil 38

11 Matriks Indikator 38

12 Ketersediaan dan Kebutuhan Air Bersih Masyarakat Pulau Kecil 54 13 Debit Rata-Rata per Bulan Masing-Masing Pulau 55 14 Kebutuhan Air Bersih Perorang Masing-Masing Pulau 55 15 Ketersediaan dan Kebutuhan Air Bersih Pulau Ende 56 16 Ketersediaan dan Kebutuhan Air Bersih Pulau Solor 56 17 Ketersediaan dan Kebutuhan Air Bersih Pulau Semau 57

18 Dimensi, Atribut dan Skoring Rap-Water 59

19 Parameter Statistik (goodness of fit) Rap-Water 62 20 Skor Indeks Keberlanjutan per Dimensi Masing-Masing Pulau 63

21 Analisis Monte Carlo Dimensi Ekologi 65

22 Analisis Monte Carlo Dimensi Ekonomi 68

23 Analisis Monte Carlo Dimensi Sosial 70

24 Analisis Monte Carlo Dimensi Institusional 72

25 Analisis Monte Carlo Dimensi Infrastruktur dan Teknologi 74 26 Fungsi Variabel/Indikator Terhadap Kerentanan Sumber Daya Air 76 27 Rekap Nilai Setiap Parameter Untuk Perhitungan Indeks 77 28 Normalisasi Data Berdasarkan Hubungan Fungsional Variabel dan

Kerentanan 81

29 Standar Deviasi dan Bobot dari Masing-Masing Variabel 82 30 Skor Masing-Masing Indikator/Variabel setelah Pembobotan 82 31 Indeks Kerentanan Krisis Air Pulau-Pulau Kecil Perdimensi 83 32 Indeks Kerentanan Krisis Air Pulau-Pulau Kecil dan Peringkatnya 84

33 Uji Spearman’s Rank Correlation Coefficien 86

34 Hasil Analisis Regresi Linier Berganda 88

(15)

DAFTAR GAMBAR

Hal 1 Kerangka Penelitian Formulasi Indeks Kerentanan Untuk Pemenuhan

Kebutuhan Air Bersih Pulau-Pulau Kecil 7

2 Dinamika Kerentanan Pulau-Pulau Kecil (Preston dan Smith 2009) 15

3 Lokasi Penelitian 22

4 Elemen Proses Aplikasi RAP-Water (Modifikasi Alder et al.2000) 36 5 Pemetaan Proses Penelitian (Research Mapping) 42 6 Peta Sebaran dan Kepadatan Penduduk di Lokasi Penelitian 49 7 Mata Pencaharian Penduduk di Lokasi Penelitian 50

8 Komoditas Pertanian di Lokasi Penelitian 51

9 Sebaran Keluarga Miskin di Lokasi Penelitian 52

10 Waktu Tempuh ke Sumber Air Pulau Ende, Semau dan Solor 53 11 Diagram Indeks Keberlanjutan per Dimensi di Lokasi Penelitian 63

12 Ordinasi Rap Water Dimensi Ekologi 64

13 Leverage Dimensi Ekologi 65

14 Monte Carlo Analisis Dimensi Ekologi 66

15 Ordinasi Rap Water Dimensi Ekonomi 67

16 Leverage Dimensi Ekonomi 67

17 Monte Carlo Analisis Dimensi Ekonomi 68

18 Ordinasi Rap Water Dimensi Sosial 69

19 Leverage Atribut Keberlanjutan Untuk Dimensi Sosial 70

20 Monte Carlo Analisis Dimensi Sosial 70

21 Ordinasi Rap Water Dimensi Institusional 71

22 Leverage Atribut Keberlanjutan Untuk Dimensi Intitusional 72

23 Monte Carlo Analisis Dimensi Institusional 72

24 Ordinasi Rap Water Dimensi Infrastruktur/Teknologi 73 25 Leverage Atribut Keberlanjutan Untuk Dimensi Infrastruktur/

Teknologi 73

26 Monte Carlo Dimensi Infrastruktur/Teknologi 74

27 Potensi dan Distribusi Sumber Daya Air di Indonesia 99 28 Merubah Vicious Circle Menjadi Virtous Circle: Gagasan Konseptual

Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih di Pulau-Pulau Kecil Krisis Air 100 29 Tipologi Resilience dan Strategi Merespon Kerentanan Air 102 30 Kerangka Implikasi Kebijakan (Policy Options) 104

DAFTAR LAMPIRAN

Hal 1 Kuesioner – Indeks Kerentanan untuk Pemenuhan Kebutuhan Air

Bersih Pulau-Pulau Kecil 114

2 Hasil Perhitungan - Indeks Kerentanan untuk Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Pulau-Pulau Kecil

(16)
(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kurang lebih 17 ribu pulau. Dari jumlah tersebut, 13 ribu di antaranya termasuk dalam kategori pulau-pulau kecil (Hehanussa dan Bakti, 2005). Besarnya persentase pulau-pulau kecil menyebabkan pentingnya menaruh perhatian terutama karena adanya berbagai karakteristik yang berdampak pada munculnya permasalahan spesifik dibanding dengan pulau-pulau besar.

Ada berbagai karakteristik dimiliki pulau-pulau kecil yang dapat dilihat, baik dari sisi bio-fisik, geografi, penduduk yang mendiami, budaya, maupun daya dukung lingkungannya (Beller dan D’Ayala 1990). Secara bio-fisik, pulau-pulau kecil memiliki kesamaan dalam hal ukuran fisik; secara geografi memiliki keterbukaan yang ekstrim; secara sosial masyarakatnya memiliki kapasitas yang rendah terhadap dinamika perubahan lingkungan yang terjadi seperti terjadinya badai, tsunami, dan semacamnya; secara budaya adanya perilaku pemanfaatan air yang seringkali kurang tepat; dan daya dukung lingkungan yang semakin rendah akibat pertumbuhan penduduk. Selain itu, pulau-pulau kecil memiliki aspek keterisolasian yang terjadi karena minimnya perkembangan pembangunan infrastruktur dan berdampak pada buruknya kualitas kehidupan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Demikian pula pada aspek ekonomi yaitu terbatasnya luasan lahan dan sumber daya yang menjadikan terbatasnya kegiatan ekonomi untuk menopang kehidupan masyarakat di pulau-pulau kecil dan sangat bergantung pada kondisi lingkungan.

Karakteristik pulau-pulau kecil tersebut merefleksikan adanya permasalahan spesifik yang dialami oleh masyarakat. Salah satu permasalahan yang dialami oleh pulau-pulau kecil adalah terdapat kerentanan sumber daya air, yakni adanya kondisi kesulitan mendapatkan air bersih (Arsadi dan Ruslan 2007; Dellinom dan Lubis 2007; Hadi 2007; Hartanto dan Saifudin 2007; Soenarto et al. 2010).

Hubungan antara kerentanan sumber daya air dengan karakteristik pulau-pulau kecil telah dijelaskan oleh berbagai pakar. Parry et al. (2007) menyebutkan terdapat enam dampak kerentanan yang dimiliki pulau-pulau kecil yaitu: a) sumber daya air yang terbatas karena sedikitnya curah hujan; b) sistem dan sumber daya pesisir yang rentan terjadinya kerusakan baik oleh tindakan manusia atau pun secara alami; c) keterbatasan sumber daya untuk ketahanan pangan dari bidang agrikultur dan perikanan; d) keberagaman hayati baik di daratan dan di air; e) pemukiman manusia dan kesejahteraan dari meningkatnya jumlah penduduk yang mengurangi daya dukung lingkungan; dan f) minimnya infrastruktur dan transportasi melalui penggunaan sumber daya yang tak terbarukan.

(18)

mengalirnya air ke laut juga relatif lebih cepat. Terlebih pulau kecil mempunyai curah hujan yang relatif lebih rendah sekitar 20% dibandingkan daratan lain dan memiliki angka penguapan yang lebih besar terutama untuk wilayah tropis seperti Negara Indonesia (Dellinom dan Lubis 2007).

Hahenussa (2005) menyebutkan kondisi topografi pulau kecil yang didominasi perbukitan agak curam atau kemiringan yang relatif besar hingga curam lebih memperkecil peluang air hujan untuk masuk mengimbuh ke dalam tanah. Kendala ini ditambah dengan batuan penyusun pulau, antara lain karena minimnya batuan yang pourus maupun kondisi penutup lahan yang minim dengan didominasi oleh batuan malihan dan sedikit batu gamping sehingga terjadinya aliran permukaan (runoff) yang besar sedangkan infiltrasi sangat kecil. Faktor yang juga mempengaruhi keterbatasan sumber air di pulau kecil adalah iklim dan penggunaan lahan yang dilakukan oleh manusia baik dalam pembangunan konstruksi ataupun pemanfaatan lahan. Oleh karena itu, karakteristik pulau-pulau kecil menyebabkan tergolong lebih rentan terhadap dampak ekologis perubahan terhadap sumber daya air.

Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya keterbatasan sumber air pada pulau kecil yang bersumber dari alam yaitu karateristik hidrologi, topografi, jenis tanah dan iklim. Perilaku manusia yang bersumber dari pengetahuan yang menjadi nilai-nilai pada suatu masyarakat merupakan refleksi dari kemampuan sumber daya manusia berpengaruh pada terjadinya krisis air seperti pada pengetahuan cara pengambilan, penggunaan air, dan hal lainnya terkait dengan; pengelolaan air oleh suatu masyarakat (Hadi 2007; Soenarto et al. 2010). Faktor yang dapat memperburuk terjadinya krisis air pada nilai dan perilaku manusia seperti penggunaan sumber air baik menampung atau pun mengambil air yang disebutkan oleh Delinom dan Lubis (2007) terefleksi pada cara pengambilan air yang kurang tepat akan berdampak pada penurunan muka air sehingga menyebabkan terjadinya penyusupan air asin.

Buruknya sarana dan prasarana air secara umum di Indonesia disebabkan lemahnya water governence, lemahnya kemampuan kelembagaan masyarakat dan kemampuan sumber daya manusia untuk mengelola sumber daya air, disertai dengan keterbatasan pendanaan mengelola sumber daya air. Aspek-aspek tersebut merupakan cerminan adanya kerentanan di pulau-pulau kecil yang disebabkan oleh faktor-faktor yang bersumber dari manusia sehingga mempengaruhi keterbatasan sumber air hingga terjadinya krisis air.

Krisis air di pulau-pulau kecil merupakan karakteristik kerentanan yang ada di pulau-pulau kecil (Lewis 2009, Cahyadi et al. 2013). Lokasi yang sangat kecil menyebabkan seluruh kegiatan di pulau kecil tersebut, baik karena pengaruh dari luar maupun pengaruh internal dari sistem pulau-pulau kecil, akan berinteraksi satu sama lainnya di pulau tersebut. Kondisi krisis air yang didasarkan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar akan air untuk manusia yaitu pada kebutuhan air untuk minum 5 liter/hari, kebutuhan untuk sanitasi 20 liter/hari, kebutuhan untuk mandi 15 liter/hari dan kebutuhan air untuk penyediaan makanan minimal 10 liter/hari (Brown dan Matlock 2011).

(19)

ketahanan masyarakat di pulau kecil terhadap kondisi krisis air. Penelitian tentang keterbatasan air tidak hanya dapat dilihat dari aspek perilaku hidrologi, tetapi juga penting untuk melihat pada aspek sosial, ekonomi dan budaya seperti aturan informal bahkan kebijakan (Soenarto et al. 2010; Hamilton 2010). Pentingnya melihat aspek sosial, ekonomi dan lingkungan dikarenakan setelah adanya program yang berupaya untuk mengurangi krisis air masyarakat yang akan melakukan pengoperasian dan pemeliharaan upaya tersebut (Soenarto et al. 2010). Aspek sosial, ekonomi dan budaya tersebut diturunkan menjadi tradisi pada perilaku pengambilan dan penampungan air setempat, teknologi pengambilan dan penampungan air, pola pemanfaatan sumber daya air dan tradisi cocok tanam. Pada aspek lingkungan dapat dilihat pada dimensi koservasi sumber daya air dan tanah yang dilakukan oleh masyarakat.

Perumusan Masalah

Masyarakat yang mendiami pulau-pulau kecil sudah sekian lama menghadapi kondisi krisis air. Dengan demikian, pada umumnya mereka sudah memiliki cara adaptasi tersendiri. Tanpa kemampuan adaptasi yang baik, masyarakat di pulau kecil akan lebih rentan dibandingkan masyarakat di wilayah mainland, mengingat upaya pihak ketiga seperti program pemerintah, maupun NGO juga lebih sulit untuk menjangkau pulau-pulau kecil. Hal tersebut dikarenakan faktor keterbatasan biaya, akses yang sulit secara geografis seperti yang disebutkan dalam Soenarto et al. (2010) dimana letak pulau kecil di Indonesia umumnya berada pada kondisi yang terisolasi karena minimnya sarana transportasi umum sehingga harga pun tinggi untuk membangun sarana dan prasarana sumber air. Selain itu, juga terdapat keterbatasan sarana kapal yang tidak dapat setiap saat digunakan karena perlu melihat kondisi musim. Minimnya akses untuk mobilitas masyarakat menjadikan semakin rendahnya perkembangan teknologi yang dapat digunakan untuk mengatasi keterbatasan sumber air. Paparan tersebut menunjukkan terdapatnya permasalahan umum yaitu pada kondisi keterbatasan sumber daya air yang merupakan aspek penting kehidupan bagi masyarakat di pulau-pulau kecil sebagai refleksi dari kerentanan sumber daya air yang dimiliki pulau-pulau kecil di Indonesia. Kawasan yang rentan terhadap perubahan iklim terkait dengan kondisi krisis air adalah pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil (small islands) yang sebagian besar wilayahnya merupakan daerah pesisir adalah salah satu daerah yang paling rentan terhadap kenaikan muka laut (Mimura 1999). Fenomena ini telah terlihat pada pulau-pulau kecil di beberapa negara SIDS (small island development state) di kawasan Pasifik. Kondisi krisis air pada masyarakat di pesisir pulau-pulau kecil semakin memprihatinkan dan menjadi perhatian banyak pihak.

(20)

Program-program dan kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan pihak luar sudah banyak sekali dilakukan, namun belum juga mampu mengatasi masalah tersebut. Disebutkan bahwa persentase warga NTT dalam kemudahan mendapatkan air bersih di Indonesia berada di angka 40-an persen dari target Indonesia di sektor penyedian air bersih sekitar 68%. Kondisi ini menunjukkan ada gap yang besar antara kebutuhan air bersih masyarakat dan intervensi program yang dilakukan. Dalam konteks yang lebih luas, akses terhadap air bersih merupakan salah satu fokus yang harus dientaskan dalam program Millenium Development Goals (MDG’s). Adanya gap tersebut merefleksikan terdapat ketidaksesuaian antara target pemerintah Indonesia dengan yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Namun pada kenyataannya mereka mampu bertahan dalam segala kondisi tersebut hingga saat ini dengan strategi adaptasi mereka sendiri. Cara adaptasi mereka juga sangat mungkin terus berkembang seiring dinamika perubahan tekanan lingkungan fisik pada kehidupan sosial mereka. Secara sosial masyarakat memiliki struktur dan kultur dalam kehidupan mereka yang mengatur fungsi yang mereka butuhkan (Ritzer dan Goodman 2011), struktur dan kultur ini dalam perspektif fungsional akan terus berevolusi sesuai dengan perubahan fungsi yang dibutuhkan. Kapasitas adapatif masyarakat yang semakin baik sangat menentukan ketahanan mereka dalam menghadapi kondisi krisis air yang rentan mereka alami. Seperti yang terjadi pada kondisi krisis air di Pulau Palue yang disiasati dengan dilakukannya penyulingan air laut, di Pulau Solor masyarakat menyiasati krisis air dengan mencari sumber air hingga harus menempuh beberapa jam untuk sampai ke sumber air dengan berjalan kaki, pada Pulau Ende kondisi tersebut disiasati dengan adanya penampungan air individual. Untuk itu, penting melihat bagaimana gambaran kapasitas adaptif masyarakat dari kondisi krisis daya air yang juga melihat aspek kearifan lokal di suatu masyarakat yang dilihat dari dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Beberapa kajian kerentanan pulau-pulau kecil Indonesia memang telah dilakukan di beberapa tempat, namun metode dan hasil kajian kerentanan ini belum dijadikan rujukan untuk pengkajian kerentanan pulau-pulau kecil Indonesia dari aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Dari beberapa kajian kerentanan yang telah dilakukan, terdapat banyak metode dan atribut kerentanan yang digunakan. Sebagian besar indeks kerentanan pulau-pulau kecil yang dikembangkan saat ini cenderung parsial terfokus pada satu aspek (dimensi) saja. Hingga saat ini belum ada penelitian yang menghasilkan indeks kerentanan dengan menggabungkan sejumlah aspek (dimensi) seperti sosial, ekonomi, dan lingkungan secara terintegrasi, sebagai dasar untuk suatu pembangunan berkelanjutan seperti yang disebutkan oleh Soenarto et al. (2010).

(21)

Kerentanan dapat diukur pada tingkat yang berbeda untuk masalah yang berbeda. Artinya, dapat digunakan untuk melihat satu masalah saja, maupun untuk menilai sebuah entitas kompleks seperti sebuah negara. Ide kerentanan dan kapasitas adaptif berlaku sama baik untuk entitas fisik (orang, ekosistem, garis pantai) dan konsep-konsep abstrak (sistem sosial, sistem ekonomi, dan negara). Faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan yang dikenal sebagai bahaya, masing-masing akan terkait dengan beberapa tingkat risiko, atau kemungkinan terjadi. Pengukuran kerentanan dengan membuat formulasi indeks kerentanan pulau kecil krisis air menjadi penting untuk dilakukan agar mengetahui sejauh mana kondisi krisis air suatu daerah sehingga dapat dipilih tindakan yang paling sesuai dengan merancang model pemenuhan kebutuhan air pada masyarakat di pulau-pulau kecil yang mengalami krisis air.

Dari penjabaran permasalahan yang muncul terkait masalah krisis air pada pulau-pulau kecil maka dirumuskan pertanyaan penelitian, sebagai berikut:

1. Seberapa besar tingkat konsumsi, ketersediaan serta potensi kekurangan air bersih di pulau-pulau kecil ?

2. Bagaimana status keberlanjutan pemenuhan kebutuhan air bersih di pulau-pulau kecil ?

3. Bagaimana formulasi indeks kerentanan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih di pulau-pulau kecil ?

4. Bagaimana pola adaptasi masyarakat pulau-pulau kecil dalam menghadapi krisis air ?

Tujuan Penelitian

Atas dasar pertanyaan penelitian di atas, maka penelitian ini secara umum bertujuan: menyusun indeks kerentanan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih pulau-pulau kecil. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui tingkat konsumsi, ketersediaan serta potensi kekurangan air bersih di pulau-pulau kecil.

2. Menganalisis status keberlanjutan pemenuhan kebutuhan air bersih di pulau-pulau kecil.

3. Memformulasikan indeks kerentanan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih di pulau-pulau kecil.

4. Menganalisis pola adaptasi masyarakat pulau-pulau kecil dalam menghadapi krisis air.

Kerangka Penelitian

(22)

pulau-pulau kecil, sehingga pengembangan pulau-pulau-pulau-pulau kecil harus dilakukan dengan memperhatikan aspek permasalahan dan daya dukung sumberdaya air yang ada pada setiap pulau. Kerentananan masyarakat di pulau-pulau kecil terlihat dalam aspek sosial, ekonomi maupun lingkungan. Kondisi pulau-pulau kecil yang rentan air, menyebabkan kebutuhan akan solusinya menjadi suatu hal yang penting. Dengan terlebih dahulu melakukan penelitian mengenai kerentanan (vulnerability assessment) ini diharapkan akan memberikan kontribusi terhadap upaya pengelolaan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan nantinya. Dengan adanya pendugaan kerentanan yang ada dalam suatu indeks, maka akan didapatkan pendekatan yang berbeda dalam menyusun alternatif kebijakan pemenuhan kebutuhan air masyarakat pulau-pulau kecil. Kebutuhan akan pemahaman mengenai keberlanjutan dari ketersediaan air di pulau-pulau kecil juga menjadi suatu perhatian tersendiri, sebagai dasar solusi perbaikan ke depan. Analisis keberlanjutan ini menggunakan pendekatan rapid appraisal, yang kelak dapat digunakan secara general di lokasi lainnya di Indonesia.

(23)

Gambar 1 Kerangka Penelitian Formulasi Indeks Kerentanan Untuk Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Pulau-Pulau Kecil

Kajian Terdahulu

Beberapa penelitian sebelumnya menghasilkan kumpulan indikator (parameter) yang cukup holistik dan komprehensif untuk mengukur kerentanan dari krisis air di pulau kecil. Parameter tersebut secara umum meliputi berbagai parameter kerentanan fisik (biologis) maupun kerentanan sosial yang dikemas dalam tiga dimensi yakni: 1) ketersingkapan; 2) kapasitas adaptif; dan 3) sensitivitas. Parameter yang dihasilkan dalam studi-studi ini merupakan parameter umum untuk mengukur kerentanan (Hahn et al. 2009; Polsky at al. 2007; Preston dan Smith 2009). Ada kemungkinan tidak semua parameter tersebut relevan untuk mengukur kerentanan di wilayah pulau-pulau kecil. Namun parameter yang sudah berhasil diidentifikasi ini dapat menjadi modal awal bagi studi ini untuk menginventarisasi dan memilah berbagai parameter yang relevan dengan karakteristik pulau kecil.

Pada penelusuran pustaka, juga ditemukan sejumlah studi yang secara umum menjelaskan tentang kerentanan-kerentanan di pulau-pulau kecil dan daerah pesisir. Salah satu studi tersebut yang menjelaskan solusi dari kerentanan pada terjadinya krisis air di pulau-pulau kecil dengan dilakukannya kerjasama antara badan

Kerentanan Pulau-Pulau Kecil

Rawan bencana

Keterisolasian Krisis air Kemiskinan Keterbatasan infrastruktur

Analisis Kerentanan Analisis

Neraca Air

Analisis Keberlanjutan

Ketersingkapan

Kapasitas Sensitivitas

Indeks Kerentanan

Alternatif Kebijakan

(24)

internasional dan masyarakat yang mengindahkan nilai-nilai sosial komunitas sehingga merubah perilaku manusia pada perubahan alam (White et al. 2008). Studi lainnya yang mengkaji tentang kerentanan di pulau kecil mempunyai hasil bahwa pulau kecil memiliki kerentanan terhadap terjadinya banjir, erosi, interupsi air laut sehingga terjadinya kerusakan infrastruktur. Namun Mimura (1999) juga menjelaskan bahwa terdapat pengaruh manusia pada terjadinya perubahan alam yang seperti kegiatan manusia terhadap hutan mangrove yang secara tidak langsung menjelaskan aspek ekonomi memiliki pengaruh pada kerentanan air di pulau kecil. Lewis (2009) juga menjelaskan bahwa pulau kecil memiliki kerentanan pada terjadinya penyakit, gempa bumi, kebakaran, banjir, badai, erosi meningkatnya air laut yang merupakan gangguan eksternal terhadap kehidupan manusia. Lalu Lewis (2009) menjelaskan bahwa nilai budaya dan perilaku manusia menjadi aspek penting dalam pemberdayaan guna mengurangi terjadinya perubahan alam.

Terdapat pembahasan-pembahasan mengenai kerentanan yang dilakukan dengan menggunakan suatu indeks, sehingga penting untuk mengulas indeks-indeks yang mengkaji tentang kerentanan agar dapat menjadi pijakan hingga munculnya indeks kerentanan sumber daya air di pulau kecil. Beberapa studi yang digunakan penulis sebagai pijakan yang dimulai dari indeks kerentanan secara umum hingga indeks kerentanan sumber daya air. Salah satu studi terdahulu yang mengkaji tentang indeks kerentanan secara umum dilakukan oleh Hahn et al. (2009) yang menggunakan Livelihood Vulnerability Index (LVI). Penggunaan indeks LVI tersebut memiliki tujuan untuk melihat secara komprehensif karakteristik kerentanan di dalam suatu komunitas. Terdapat 7 aspek yang digunakan oleh Hahn et al. (2009) dari LVI yaitu a) profil sosio-demografik; b) Mata pencaharian; c) kesehatan; d) jaringan sosial; e) makanan; f) air dan g) bencana alam.

Pengkajian kerentanan secara umum yang menggunakan indeks kerentanan juga dilakukan pada aspek yang lebih spesifik seperti pada aspek sosial yang dilakukan oleh Cutter et al. (2009) dengan Social Vulnerability Index (SVI). Tujuan dari adanya SVI untuk mengetahui kerentanan secara komprehensif dari berbagai bidang khususnya aspek sosial. SVI memiliki beberapa dimensi yaitu: a) status sosio-ekonomik; b) gender; c) etnis; d) umur; e) kepemilikan rumah; f) pekerjaan; g) struktur keluarga; h) tingkat pendidikan; i) pertumbuhan penduduk; j) akses ke layanan kesehatan; dan k) tingkat kebergantungan sosial. Terdapat juga studi yang secara spesifik mengkaji tentang kerentanan khusus pada aspek lingkungan yang dilakukan oleh Kaly et al. (1999) menggunakan Environmental Vulnerability Index (EVI). Adanya pengkajian menggunakan EVI bertujuan untuk menggambarkan secara utuh dan penilaian dari kerentanan lingkungan sehingga dapat membedakan dan mengidentifkasi sumber dari kerentanan itu sendiri. EVI sendiri menggunakan 2 variabel yaitu resiko (kemungkinan dan intensitas) dan pihak yang terkena dampak untuk melihat daya lenting dari suatu komunitas.

(25)

kerentanan dan variabel-variabel yang digunakan. Khusus untuk penelitian yang dilakukan Tahir mengkaji kerentanan di wilayah pulau-pulau kecil.

Penelitian tentang kerentanan di pulau-pulau kecil secara khusus dilakukan oleh Turvey et al. (2007) meskipun tetap menggunakan CVI namun terdapat variabel yang berbeda yaitu: a) coastal index; b) peripherality index; c) urbanization index; dan d) vulnerability to natural disasters. Lalu didapatkan juga studi yang menggunakan indeks kerentanan lingkungan (EVI) yang diterapkan pada pulau-pulau kecil oleh Pukkalanun et al. (2013) dengan variabel yaitu intrinsic resilience (IRI), environmental degradation index (EDI) dan risk exposure sub-index (REI).

Terakhir didapatkan studi-studi yang mengkaji tentang kerentanan menggunakan indeks yang khusus pada konteks ketersediaan air baik secara umum pada suatu wilayah yang luas maupun secara khusus pada suatu wilayah yang memiliki karakteristik tertentu. Studi-studi kerentanan terhadap ketersediaan air ini memiliki tujuan untuk menggambarkan kerentanan air pada aspek ketersediaan air yang dibutuhkan oleh manusia. Studi-studi tentang indeks kerentanan air secara umum dilakukan oleh Sullivan et al. (2007), Brown et al. (2011) dan Gober & Kirkwood (2010) namun memiliki istilah dan variabel yang berbeda-beda di dalam pengukurannya. Sullivan menggunakan istilah Water Poverty Index (WPI), Brown dengan istilah Water Resource Vulnerability Index (WRVI) dan Water Sustainability Index (WSI), serta Gober dengan istilah Water Integrated Simulation Model (WaterSim). Lalu penilaian kerentanan yang menggunakan indeks kerentanan sumber daya air pada wilayah yang memiliki karakteristik khusus dilakukan oleh Kliskey et al. (2008) pada daerah artik dengan sebutan Artic Water Resource Vulnerability Index (AWRVI). AWRVI tersebut diturunkan menjadi beberapa variabel yaitu indeks fisik dan indeks sosial.

Kemudian terdapat penelitian serupa yang mengkaji tentang sumber kerentanan sumber daya air meskipun bukan dalam bentuk indeks yang dilakukan oleh Babel et al. (2011) dengan indikator a) intensitas hujan, b) ketersediaan air per kapita, c) total penggunaan air secara efektif, d) jumlah air buangan, e) persentase lahan hijau sekitar sungai, f) jumlah air yang digunakan untuk minum, g) jumlah air untuk irigasi, h) persentase melek huruf, i) jumlah angkatan kerja, j) indeks GDP, dan k) pekerja di bidang non-agrikultur. Kerentanan air juga dikaji oleh Gain et al. (2012) meskipun dilakukan bukan pada pulau kecil dengan menggunakan empat variabel yaitu a) ketersingkapan, b) sensitifitas, c) daya lenting dan d) kapasitas adaptif. Kliskey et al. (2008) juga mengkaji tentang pengelolaan air di wilayah pegunungan yang dilakukan oleh Hill (2013) namun lebih ditekankan pada kapasitas adaptif dengan indikator yaitu a) pengetahuan, b) jaringan, c) tingkat pembuat keputusan, d) integrasi, e) fleksibelitas dan prediksionalitas, f) sumber daya, g) pengalaman dan h) kepemimpinan.

(26)

Seperti contoh studi yang dilakukan oleh Pukkalanun (2013) yang mengkaji kerentanan pulau kecil dengan menggunakan indeks kerentanan lingkungan (EVI). Kajian tersebut tidak membahas mengenai indeks kerentanan masyarakat pada dimensi secara komprehensif pada dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan dengan kondisi krisis air yang merupakan hal yang umum terjadi di pulau-pulau kecil di Indonesia (Mawardi 2006; Mulya dan Samson 2006; Fatimah dan Sobriyah 2006), sebagaimana yang ingin dikembangkan pada studi ini. Hasil penelusuran pustaka pada studi-studi kerentanan sumber daya air pulau-pulau kecil di Indonesia pun masih tergolong langka. Dengan demikian menarik untuk mengkaji krisis air di pulau-pulau kecil dengan menggunakan indeks kerentanan air di pulau-pulau kecil pada aspek sosial, ekonomi dan lingkungan yang berpijak dari studi-studi terdahulu yang akan dilakukan oleh peneliti. Studi ini merupakan sesuatu terobosan yang tergolong baru untuk memperkaya studi mengenai kerentanan di wilayah pesisir, khususnya pada pulau-pulau kecil di Indonesia.

Kebaharuan (Novelty)

(27)

2 KAJIAN PUSTAKA

Indeks Kerentanan

Kerentanan memiliki banyak pengertian, baik ditinjau dari aspek maupun dari sisi cakupan. Pengertian kerentanan mengandung dua aspek, yaitu yang terkait dengan sifatnya (relative nature) dan terkait dengan cakupan atau skalanya. Terkait dengan sifatnya, kerentanan adalah suatu entitas dari sistem yang menggambarkan kondisinya (Ford 2002). Sementara dilihat dari skalanya, kerentanan digunakan dalam berbagai skala yang berbeda, seperti rumah tangga, komunitas, ataupun negara.

Istilah kerentanan merujuk pada kemudahan mengalami dampak dari faktor eksternal. Terdapat beberapa definisi mengenai kerentanan yang mengandung pengertian sama. Kerentanan diartikan sebagai kecenderungan suatu entitas mengalami kerusakan (SOPAC 2004). Sedikit berbeda dengan definisi sebelumnya, kerentanan adalah tingkat dimana manusia dan sistem alam akan mengalami kerugian karena gangguan atau tekanan dari luar, serta kemampuan untuk mengatasi atau memulihkan diri terhadap gangguan (Kasperson et al. 2003; Turner et al. 2003). Definisi lain yang lebih menonjolkan aspek sosial yang melihat kerentanan sebagai kondisi individu atau kelompok masyarakat dalam kaitannya dengan kemampuan mengatasi dan beradaptasi terhadap berbagai tekanan eksternal yang mengganggu kehidupan mereka (Mc Charthy et al. 2001; Adger 2006). Dapat disimpulkan bahwa kerentanan adalah kecenderungan kemudahan suatu entitas (baik fisik maupun sosial) mengalami gangguan, kerusakan, kerugian, akibat pengaruh faktor luar dan dalam dari dampak perubahan yang terjadi pada suatu entitas.

Terdapat 3 karakteristik dari kerentanan. Pertama; kerentanan dicirikan oleh ketersingkapan suatu sistem terhadap bencana alam dan bagaimana bencana tersebut mempengaruhi kehidupan manusia dan infrastruktur yang ada di wilayah tersebut. Kedua; dari sudut pandang hubungannya terhadap manusia, kerentanan bukan hanya dilihat sebagai hubungan fisik semata (Dolan dan Walker 2004). Dalam hal ini, kerentanan ditentukan oleh ketidakwajaran dari distribusi dampak/efek negatif dan resiko diantara kelompok masyarakat yang ada di suatu wilayah, dan kerentanan adalah hasil dari proses sosial dan struktur yang memiliki hambatan terhadap akses sumberdaya (sensitifitas) atau dengan kata lain kerenantanan muncul dari interaksi antara gangguan yang berasal dari luar sistem seperti iklim atau dari dalam sistem seperti sosial, ekonomi, budaya dan biofisikal (Preston dan Smith 2009). Ketiga; dari perspektif keterpaduan antara kejadian/peristiwa secara fisik dan fenomena sosial yang menyebabkan ketersingkapan terhadap resiko dan keterbatasan kapasitas masyarakat dalam merespon bencana alam yang muncul.

(28)

Indeks adalah tanda (signal) yang mengukur, menyederhanakan, dan mengkomunikasikan realita yang kompleks dari suatu kondisi (Farel dan Hart 1998). Indeks ini sangat berguna karena dapat membantu dalam menentukan target dan standar untuk memantau perubahan dan membandingkan entitas yang berbeda dalam hal tempat dan waktu (Easter 1999). Indeks dapat juga digunakan sebagai basis modal alokasi sumberdaya. GEF juga mengembangkan indeks kerentanan untuk menentukan alokasi pembiayaan di beberapa negara berkembang. Indeks dapat digunakan sebagai alat adaptive management dalam menilai keberhasilan pemantauan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SOPAC 2004). Indeks umumnya melibatkan sejumlah indikator untuk menghasilkan sebuah indeks tunggal. Untuk menghasilkan sebuah indeks tunggal, keragaan data dan indikator perlu distandarisasi dalam suatu unit yang sama. Hal ini banyak dilakukan dengan mereduksi seluruh komponen ke suatu nilai skoring pada beberapa skala.

Kemampuan sebuah kerangka teori menghasilkan indikator kerentanan secara umum harus mencakup tiga komponen. Pertama, model kerentanan, yaitu mengidentifikasi komponen-komponen model ketergantungan /keterkaitannya dengan komponen lainnya yang berasosiasi dengan komponen kerentanan. Kedua, model sistem yaitu menentukan cara untuk mendekomposisi target sistem yang membuatnya lebih praktis sehingga kerentanan dapat diinterpretasi dengan model yang dapat dibandingkan. Ketiga, model matematik yaitu penggunaan informasi menyeluruh ke dalam sistem model untuk mengorganisasi hirarki dari indikator kerentanan. Dalam kaitannya dengan perbedaan indikator kerentanan dengan lingkungan yang berbeda, ketiga komponen ini harus kompatibel (Villa dan McLeod 2002).

Selain itu secara indeks dapat diturunkan berdasarkan komponen/ dimensi ketersingkapan, sensitivitas, dan kapasitas adaptif. Namun setiap dimensi tersebut terdapat berbagai parameter, baik parameter lingkungan, maupun sosial-ekonomi. Dalam hal ini indeks dapatt dibuat merujuk pada komponen atau dimensi yang secara konseptual sudah ada namun dapat juga diperjelas aspek sosial ekonomi dan lingkungannya sesuai kebutuhan kajian dan kemudahan penggunaan ke depannya.

Pengertian Pulau-Pulau Kecil

Pengertian pulau-pulau kecil lebih cenderung pada bahasan ukuran pulau (Granger 1993). Ada beberapa kriteria tambahan yang menjadi pembatas dalam penentuan definisi pulau seperti remoteness, morfologi, ukuran populasi/jumlah penduduk dan pendapatan domestik bruto. Pulau-pulau juga dapat dikategorikan berdasarkan aspek fisik seperti posisinya terhadap katulistiwa/lintang (pulau tropis, temperate atau artik). Berdasarkan proses geologi atau struktur pulau (pulau kontinental dan oseanik). Sedangkan berdasarkan hidrologi (daerah run-off) dan ketinggian dari permukaan laut (pulau dataran rendah atau pulau berbukit).

(29)

beberapa kata kunci, yaitu: lahan daratan, terbentuk secara alamiah, dikelilingi oleh air/lautan, selalu di atas permukaan pada saat pasang, dan memiliki kemampuan ekonomi untuk menghidupi penduduknya. Ukuran pulau tersebut bervariasi mulai dari pulau yang hanya beberapa meter persegi sampai jutaan kilometer persegi. Berdasarkan ukurannya, pulau dapat dibedakan menjadi pulau besar, pulau kecil dan pulau sangat kecil (Bengen dan Retraubun 2006). Adapun batasan tentang pulau-pulau kecil terus mengalami perkembangan dan berubah-ubah. Kombinasi antara luas dan jumlah penduduk dari suatu pulau merupakan salah satu parameter yang banyak diusulkan dalam menentukan kategori pulau.

Alternatif lain batasan pulau kecil juga dikemukakan pada pertemuan CSC (1984) yang menetapkan luas pulau kecil maksimum 5.000 km2 (Bengen dan Retraubun 2006). Definisi pulau kecil menurut Hehanussa dan Bakti (2005) adalah pulau dengan ukuran kurang dari 2.000 km2, lebih lanjut juga terdapat definisi pulau sangat kecil yaitu dengan ukuran luas pulau kurang dari 200 km2. Menurut Salm et.al dalam Hehanussa dan Bakti (2005) pulau kecil dapat dikelompokan menjadi 4 jenis:

a. Pulau tak berpenghuni dan jarang dikunjungi manusia;

b. Pulau yang tak berpenghuni namun secara teratur di kunjungi oleh manusia;

c. Pulau yang berpenghuni dengan memiliki kegiatan ekonomi yang tradisional; dan

d. Pulau yang berpenghuni dengan kegiatan ekonomi perdagangan sangat bergantung pada kegiatan ekspor.

Batasan pulau kecil sesuai dengan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2 000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. Lebih lanjut terdapat penggolongan luasan teknis berdasarkan luasannya dilakukan Soenarto et al. (2009):

a. Pulau kecil makro atas dengan luasan dari 1.000 km2 - 5.000 km2 seperti Pulau Lombok, Pulau Belitung, Pulau Nias, dst;

b. Pulau kecil makro menengah dengan luasan 500 km2 - 1.000 km2 seperti Pulau Bengkalis, Pulau Ambon, dst;

c. Pulau kecil makro bawah dengan luasan 100 km2 - 500 km2 seperti contoh Pulau Battam, Pulau Pantar, Pulau Tabuan , dst;

d. Pulau kecil mikro atas dengan luasan 50 km2 - 100 km2 seperti Pulau Gag, Pulau Leco, dst;

e. Pulau kecil mikro menengah dengan luasan 5 km2 - 10 km2 seperti Pulau Keramaian, Pulau Fani, Pulau Panjang, dst;

f. Pulau kecil mikro bawah dengan luasan kurang dari 1 km2 - 5 km2 serperti Pulau Krakatau, Pulau Berhala, dst;

g. Pulau kecil mungil dengan luasan 0,5 km2 - 1 km2 seperti Pulau Nipah; h. Pulau kecil mini dengan luasan kurang dari 0,5 km2.

Kerentanan Pulau-Pulau Kecil

(30)

kecil memiliki ukuran yang kecil, rendahnya sumberdaya berbasis daratan, relatif memiliki aksesibilitas yang rendah. White et al. (2008) juga mengemukakan beberapa karakteristik yang menjadi alasan mengapa suatu pulau-pulau kecil rentan, yaitu:

a. Ukuran kecil yang berimplikasi pada keterbatasan sumberdaya berbasis daratan;

b. Insularitas dan remoteness yang berimplikasi pada biaya transportasi yang mahal dan memerlukan waktu yang lebih lama;

c. Masalah faktor lingkungan seperti ketersingkapan terhadap gangguan; d. Kapasitas mitigasi terhadap bencana yang terbatas;

e. Faktor penduduk yang memiliki kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang rendah, tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi; dan

f. Faktor ekonomi seperti ketergantungan pada pembiayaan eksternal, pasar internal yang terbatas.

Pulau-pulau kecil secara ekonomi, sosial dan fisik rentan secara alamiah (Tompkins et al. 2005). Katidakmampuan menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan domestik yang mengacu pada jumlah penduduk, menyebabkan ketergantungan yang tinggi terhadap impor dari luar (Fussel dan Klein 2006). Keterbatasan lahan daratan sebagai karakteristik utama pulau-pulau kecil membuat terbatasnya tempat untuk manusia, lahan untuk pembangunan infrastruktur, lahan untuk pembuangan limbah dan lahan untuk pertanian. Banyak pulau-pulau kecil yang memiliki tingkat resiko yang tinggi terhadap bencana alam seperti banjir, badai tropis dan gelombang laut. Ada dua faktor yang menjadi penghambat pembangunan pulau kecil, yaitu terkait dengan skala dan lokasi pulau-pulau kecil. Ukuran pulau-pulau yang kecil dan pragmentasi dari gugus pulau-pulau merupakan contoh keterbatasan dalam hal skala pulau. Pulau-pulau kecil memiliki keterbatasan dalam hal sumberdaya (darat) dan keterbatasan ruang. Hal ini menjadi hambatan fisik untuk pembangunan infrastrukturnya. Namun demikian, baik skala maupun lokasi sangat tergantung pada posisi pulau-pulau kecil tersebut terhadap alur transportasi laut dan udara.

Banyak kajian yang sudah dilakukan untuk mengkaji kerentanan ekologi dan ekonomi dari suatu sistem pulau pada berbagai skala ruang/lokasi yang berbeda. Hasil kajian tersebut kadang-kadang menunjukkan sesuatu yang berbeda. Banyak peneliti yang menyatakan bahwa isu utama pulau-pulau kecil bukan karena keterisolasian dan smallness semata, tetapi juga masalah pembangunan yang dilakukan di pulau-pulau kecil. Permasalahan esensi yang dihadapi oleh suatu negara kepulauan kecil (small island development stated) adalah keterbatasan atau hanya sedikit hal yang dapat diperbuat karena karakteristiknya yang smallness dari pulau kecil tersebut (Farel dan Hart 1998).

(31)

ketersediaan air, khususnya untuk pulau-pulau kecil. Sebagai gambaran ketersediaan air rata-rata per pulau di Indonesia, dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Ketersediaan Air di Indonesia

No

Kepulauan

Luas Daratan Ketersediaan air rata-rata

Km % mm/

hari

m/s Juta

m/tahun

%

1 Sumatera 473,606 24,87 4.56 26,660 840,737 2221,5 2 Jawa 132,107 6,94 3.62 5,200 164,000 4,2 3 Bali & Nusa

Tenggara

703,137 3,84 1.86 1,573 49,620 1,3

4 Kalimantan 539,640 28,33 6.74 41,667 314,021 33,6 5 Sulawesi 189,216 9,94 4.33 9,488 299,218 7,7 6 Maluku 74,505 3,91 5.43 5,604 176,726 4,5 7 Papua 421,981 22,16 7.07 33,681 1,062,154 27,2

Indonesia 1,904,012 100 5.56 23,874 3,906,476 100

Sumber : Ditjen. Sumber Daya Air, Kementerian PU, 2013 Dinamika Kerentanan

Sebagai Fungsi Ketersingkapan, Sensitivitas dan Kapasitas Adaptif

Dalam batasan yang lebih operasional, kerentanan dalam beberapa studi dibedakan atas kerentanan fisik dan sosial. Kerentanan dapat dibedakan atas kerentanan biofisik dan sosial-ekonomi (McCharthy et al. 2001). Hal senada terlihat pada tulisan (Preston dan Smith 2009) yang melihat bahwa kerentanan memiliki sifat yang dinamis. Perubahan kerentanan terjadi karena perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi seperti faktor-faktor sosial dan biofisik. Pada Gambar 2 disajikan dinamika kerentanan sebagai akibat dari perubahan faktor- faktor yang mempengaruhinya.

(32)

Berbagai literatur dan kajian juga melihat kerentanan dalam beberapa dimensi. Hahn et al. (2009), Preston dan Smith (2009), Polsky et al (2007), melihat bahwa kerentanan terdiri dari tiga dimensi atau komponen yakni: 1) ketersingkapan; 2) sensitivitas; dan 3) kapasitas adaptif. Setiap komponen terdiri dari berbagai indikator atau parameter untuk melihat indikasi kerentanan yang terjadi.

1. Ketersingkapan

Keterkaitan antara kerentanan dengan ketersingkapan merupakan salah satu komponen dari kerentanan, yang memiliki keterkaitan dalam hal tingkatan dan jangka waktu dari suatu sistem berinteraksi dengan gangguan (Adger 2006; Kasperson et. al. 2005). Ketersingkapan ini pada sebagian besar formulasi merupakan salah satu elemen pembangun kerentanan. Ketersingkapan merupakan sebuah atribut dari hubungan antara sistem dan gangguan (system and perturbation). Suatu masyarakat dan sistem alam yang berbeda juga akan mengalami ketersingkapan yang berbeda dalam hal besaran (magnitude) dan frekwensi dari suatu gangguan (Luers et al. 2003; Polsky et al. 2007).

Definisi dari ketersingkapan disebutkan oleh Preston dan Smith (2009) sebagai suatu perubahan yang terjadi dan mempegaruhi suatu sistem, seperti pertambahan penduduk dan terjadinya badai. Lalu Adger et al. (2004) mendefinisikan ketersingkapan sebagai kondisi alam dan derajat pada suatu sistem pada terjadinya resiko. Ketersingkapan digambarkan pada sesuatu kejadian yang berlawanan dengan operasional dari sistem (Allen Consulting Group 2005). Dari paparan beberapa tokoh di atas maka dapat diringkas bahwa ketersingkapan (exposure) adalah suatu kejadian yang menjadi gangguan terhadap sistem baik dari alam (natural) atau dari manusia itu sendiri.

(33)

Tabel 2 Parameter dimensi/komponen ketersingkapan

Dari sejumlah indikator di atas, beberapa indikator di dimensi ketersingkapan relevan untuk kajian ini yakni: a) jumlah kejadian bencana pada periode waktu tertentu; b) curah hujan; c) variasi temperatur atau suhu rata-rata; d) pertumbuhan dan kepadatan penduduk.

2. Sensitivitas

Sensitivitas adalah tingkatan dari suatu sistem yang dipengaruhi atau berhubungan ketersingkapan Pemahaman terhadap sensitivitas dari sistem terhadap tekanan yang berbeda dan mengidentifikasi ambang batas dari sistem manusia yang akan terkena dampak. Dalam pendefinisian kerentanan dari suatu sistem, hal yang pertama diperlukan adalah pemahaman terhadap sensitivitas dari sistem terhadap tekanan yang berbeda dan mengidentifikasi ambang batas dari sistem manusia yang akan terkena dampak (Luers et al. 2003).

(34)

dapat didefinisikan sebagai tingkatan suatu sistem untuk menanggapi gangguan. Luers et al. (2003) juga mengkombinasikan pengertian sensitivitas dan ketersingkapan, dimana mendefinisikan sensitivitas sebagai level dari sistem dalam merespon gangguan eksternal terhadap sistem. Polsky et al.(2007), Hahn et al. (2009) dan Preston & Smith (2009) telah menginventarisir parameter dari dimensi ini dalam Tabel 3.

Tabel 3 Parameter dimensi/komponen sensitivitas

Hahn et al.

Dari sejumlah indikator di atas, beberapa indikator di dimensi sensitivitas relevan untuk kajian ini yakni: a) tingkat diversivikasi ekonomi dan kemiskinan; b) penggunaan lahan; c) Tingkat pendidikan; d) pertumbuhan dan kepadatan penduduk.

3. Kapasitas Adaptif

Kejadian-kejadian yang mengganggu kehidupan manusia memiliki keterkaitan antara sistem ekologi (terjadinya bencana) dan sistem sosial (nilai, kebijakan, aspek ekonomi) (Perman et al. 2003; Dolan dan Walker. 2004; Manatsa 2013, Ross 2008). Untuk mengkaji tentang kerentanan tersebut maka penting untuk melihat keterkaitan antara konsep kapasitas adaptif dan daya lenting.

(35)

menyerap gangguan dan mengetahuinya ketika perubahan terjadi dimana fungsi sistem juga terus berlangsung. Sedikit berbeda SOPAC (2004) mendefinisikan daya lenting sebagai kemampuan suatu entitas untuk pulih dengan cara melakukan perubahan untuk mencapai atau memelihara suatu batas yang dapat diterima agar fungsi sistem dapat tetap berjalan dari suatu kerusakan.

Kemudian definisi yang juga sedikit berbeda tentang daya lenting didefinisikan oleh Elis dan Freeman (2005). Daya lenting adalah kemampuan manusia dalam menghadapi kerentanan (faktor-faktor yang menjadi resiko) dalam bentuk manajemen resiko dengan aktivitas yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan.

Terakhir definisi kapasitas adaptif itu sendiri, namun sebelum mendefinisikan kapasitas adaptif perlu untuk melihat definisi dari adaptasi dan kapasitas. Definisi adaptasi memiliki esensi pada usaha dalam menanggapi resiko dan kerenantan. Adaptasi adalah ketahanan itu sendiri yaitu usaha untuk mencari kondisi aman untuk keberlanjutan fungsi sistem sampai masa yang akan datang dalam menghadapi perubahan dan melakukan perlawanan dari kerentanan dengan menggunakan apa yang dapat digunakan (kemampuan dan sumber daya) melalui dilakukannya usaha untuk mengurangi kerentanan dan resiko yang muncul (Hulme 2002). Adaptasi juga dapat direncanakan atau terjadi secara otomatis. Perencanaan adaptasi adalah suatu perubahan dalam mengantisipasi suatu variasi dari perubahan yang terjadi. Perencanaan adaptasi ini sudah merupakan suatu ciri dari suatu upaya untuk meningkatkan kapasitas suatu sistem untuk mengatasi konsekuensi perubahan yang terjadi (Allen Consulting Group 2005).

(36)

Tabel 4 Pemahaman kapasitas adaptif (Adaptive Capacity) dan daya lenting (Resilience)

Kapasitas Adaptif (Adaptive Capacity)

Daya Lenting (Resilience)

- Usaha untuk mencari kondisi aman untuk keberlanjutan fungsi sistem sampai masa yang akan datang dalam menghadapi perubahan dan kerentanan dan resiko yang muncul (Hulme 2002).

- Kemampuan untuk beradaptasi dari gangguan yang berasal dari luar agar fungsi sistem dapat terus berjalan (Tahir 2010).

- Penjumlahan dari keberagaman kapasitas dan tindakan terhadap ancamanan yang muncul yang muncul dan pulih dari gangguan (Berkes et al. cepat. (Folke et. al 2004). - Kemampuan dari suatu

(37)

menentukan kapasitas adaptif suatu sistem. Faktor-faktor tersebut menjadi faktor spesifik dan faktor general/umum yang berdasarkan faktor endogenous dan exogenous (Brooks 2003). Faktor penentu yang bersifat umum dalam sistem sosial adalah sumberdaya ekonomi, teknologi, informasi dan keahlian serta infrastruktur. Adapun faktor endogenous merujuk pada karakteristik dari perilaku penduduk atau masyarakat. Polsky et al. (2007), Hahn et al. (2009) dan Preston dan Smith (2009) telah menginventarisir parameter dari dimensi ini seperti disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Parameter dimensi/komponen kapasitas adaptif

Hahn et al.

Dari sejumlah indikator pada tabel atas, beberapa indikator di dimensi kapasitas adaptif relevan untuk kajian ini yakni: a) jumlah kepala rumah tangga perempuan; b) tingkat pendidikan kepala rumah tangga; c) jumlah rumah tangga yang meminjam uang; d) kohesi sosial; e) prioritas kebijakan; serta f) perencanaan dan informasi.

(38)

3 METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian mengambil lokasi pulau-pulau kecil yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Provinsi ini dipilih karena daerahnya kering dengan sumberdaya air yang terbatas. Provinsi Nusa Tenggara Timur termasukdalam gugusan Pulau Nusa Tenggara dengan ketersediaan air rata-rata yang rendah dibandingkan gugusan pulau lainnya di Indonesia.

Dengan kriteria pulau kecil (<2000 km2) yang krisis air, maka ditentukan 3 pulau terpilih, yaitu : Pulau Ende, Pulau Solor dan Pulau Semau. Adapun lokasinya seperti terlihat pada Gambar 3. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei – Agustus 2015.

Gambar 3 Lokasi Penelitian

Pulau Ende

Pulau Solor

(39)

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif yang bersifat positivistik-deduktif. Berangkat dari konsep yang kemudian dioperasionalkan menjadi indikator/parameter dalam kemasan indeks untuk mengukur sebuah kondisi kerentanan. Sesuai kebutuhan, metode penelitian yang digunakan juga berupa metode kuantitatif untuk menemukenali variabel–variabel yang berpengaruh dalam menentukan indeks kerentanan. Dalam ragam penelitian kuantitatif, penelitian ini tergolong penelitian penjelasan (explanatory confirmatory research).

Metode Pengumpulan Data

1. Pengumpulan Data Sekunder

Data sekunder dikumpulkan dalam tahapan awal untuk studi pustaka konsep dan sebagai data untuk memenuhi kebutuhan data setiap indikator pada tahapan implementasi (uji coba) penggunaan indeks. Pada tahap awal data sekunder yang digunakan adalah sejumlah literatur yang relevan berupa karya akademik, buku, artikel jurnal, prosiding seminar, dan sebagainya dengan topik yang relevan dengan topik kajian. Data sekunder pada tahapan implementasi indeks (uji coba) adalah data-data terkait curah hujan, ketersediaan air, jumlah bencana, kepadatan dan proyeksi penduduk, data penduduk miskin, dan sebagainya. Data-data tersebut diperoleh dari dinas-instansi setempat seperti BPS, Dinas PU, dan Bappeda.

2. Pengumpulan Data Primer

(40)

Tabel 6 Metode Pengumpulan data

3. Unit Analisis, Populasi, dan Sampel

(41)

Tabel 7 Teknik Penarikan Sampel Kajian (Multistage Sampling)

No Tingkat Teknik

Penarikan Mekanisme Penarikan Sampel 1 Kecamatan Random • Memilih 1 atau 2 kecamatan

dari sejumlah kecamatan yang ada di pulau tersebut secara acak.

• Apabila seluruh desa dalam kecamatan terpilih

3 Responde Random • Meminta data dari kepala desa dan menyusun

(42)

pengelolaan air dan modal sosial untuk memformulasikan indeks kerentanan pemenuhan kebutuhan air bersih pulau-pulau kecil yang lebih komprehensif. Sedangkan untuk perhitungannya menggunakan rumus dari Asian Development Bank (ADB). Adapun parameter yang dirumuskan adalah sebagai berikut :

Parameter Kapasitas Adaftif

Untuk kapasistas adaftif terdapat 7 (tujuh) parameter yang akan diukur kerentanannya, sebagai berikut :

1. Jumlah Tanggungan Keluarga

Jumlah tanggugan keluarga yang dimaksud adalah jumlah anggota keluarga yang biaya hidupnya ditangung oleh keluarga yang terdiri dari seorang bapak sebagai kepala keluarga, istri, anak-anak, dan orang lain yang menjadi tanggungan lain keluarga ini yang tinggal bersama atau sedapur. Jumlah anggota keluarga yang besar tidak selamanya merupakan modal bagi keluarga tertentu, tetapi dapat juga menjadi beban bagi keluarga, sebab tidak semua anggota keluarga merupakan tenaga kerja yang produktif. Besar kecilnya jumlah anggota keluarga menunjukkan besar kecilnya beban tanggungan yang harus dipikul oleh kepala rumah tangga. Semakin besar jumlah anggota keluarga, dapat menunjang ekonomi keluarga, karena dapat terlibat pada berbagai kegiatan produktif, misalnya terlibat dalam proses produksi. Banyaknya jumlah tanggungan dapat pula mencerminkan jumlah tenaga kerja yang tersedia. Hal ini dapat menjadi faktor pendukung untuk memberikan kontribusinya dalam kegiatan produksi (Thamrin 2005). Pada konteks kerentanan masyarakat yang muncul akibat air sulit didapat dan harga air cukup mahal, maka jumlah anggota keluarga yang ditanggung menjadi bagian penting pengeluaran kepala keluarga dalam hal pemenuhan kebutuhan akan konsumsi air. Semakin banyak tanggungan yang dibebankan kepada kepala keluarga, otomatis semakin banyak pengeluaran, dan kadar kerentanan sebuah keluarga akan ikut meningkat.

2. Tingkat Pendapatan

Jumlah pendapatan yang rendah menyebabkan kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan menjadi rendah. Dengan kata lain, daya beli penduduk yang memiliki pendapatan yang rendah menjadi kecil. Hal ini tentu berbeda jika pendapatan penduduk cukup tinggi, maka kemampuan dan daya belinya juga tinggi.

3. Tingkat Pendidikan

Gambar

Tabel 4  Pemahaman kapasitas adaptif  (Adaptive Capacity) dan daya lenting
Tabel 6 Metode Pengumpulan data
Tabel 7 Teknik Penarikan Sampel Kajian (Multistage Sampling)
Tabel 8 Operasionalisasi Konsep Kerentanan
+7

Referensi

Dokumen terkait

yang terdapat dalam kearifan Dale Esa sebagai modal sosial masyarakat di desa Bokonusan. Dalam penelitian ini peneliti menulis dari semua data yang berhasil di

Leka adalah salah satu tua-tua adat (Lasi Leo) dari kelompok sosial Leo Laha di Pulau Semau, Desa Bokonusan.. Biasanya dalam perseoalan tersebut orang melakukan kesalahan itu

Selain itu juga akan dilakukan uji tabulasi silang dengan beberapa variabel antara lain dengan wilayah (Pulau Jawa dengan Indonesia Bagian Timur), dengan jarak dari rumah

Selain itu juga akan dilakukan uji tabulasi silang dengan beberapa variabel antara lain dengan wilayah (Pulau Jawa dengan Indonesia Bagian Timur), dengan jarak dari rumah