BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di
darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta
pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan
pelestarian alam terdiri dari taman nasional, taman wisata alam, dan taman hutan
raya. Pengertian dari taman hutan raya sendiri yaitu kawasan pelestarian alam
yang tujuan utamanya adalah untuk koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami
ataupun buatan, jenis asli atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya,
pariwisata, dan rekreasi (Undang-Undang No. 5 tahun 1990).
Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo adalah kawasan pelestarian alam
yang terletak di lima wilayah yaitu Kab. Malang, Kota Batu, Kab. Jombang, Kab.
Mojokerto, dan Kab. Pasuruan pada ketinggian kurang lebih 1600 m di atas
permukaan laut. Pengelolaan Tahura R. Soerjo berada di bawah Balai Taman
Hutan Raya milik Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur. Kawasan Tahura R.
Soerjo perlu mendapatkan perhatian berkaitan dengan peningkatan kerusakan
yang terjadi pada kawasan tersebut. Kerusakan lingkungan terjadi terutama di
wilayah Kota Batu, hal ini merupakan dampak dari berbagai aktivitas masyarakat
yang dilakukan di sekitar kawasan tahura seperti pembukaan industri dan
perluasan lahan pertanian. Kondisi di sekeliling Tahura R. Soerjo juga sudah
mulai berubah menjadi lahan hortikultura. Pembukaan areal hutan yang terus
menerus dapat mempercepat laju air ke dalam tanah sehingga akan memperlemah
daya rekat akar ke tanah. Selain itu, hal ini juga akan berdampak terhadap
berkurangnya spesies-spesies tumbuhan tertentu. Apabila hal ini terjadi dalam
waktu yang lama maka akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan yaitu
punahnya spesies tumbuhan terutama yang rentan terhadap gangguan yang terjadi
Salah satu fungsi dari Tahura R. Soerjo adalah sebagai koleksi tumbuhan.
Jika terjadi kepunahan spesies tumbuhan yang ada di dalam kawasan taman hutan
raya maka akan terjadi pergeseran fungsi dari taman hutan raya tersebut. Untuk
mengantisipasi terjadinya kepunahan maka perlu dilakukan pemantauan secara
berkala terhadap kondisi vegetasi di Tahura R. Soerjo. Keinginan untuk
melestarikan kawasan tahura akan semakin tinggi jika diketahui manfaat atau
kegunaan dari spesies-spesies tumbuhan yang ada di dalamnya. Oleh karena itu,
penelitian mengenai potensi tumbuhan berguna di Tahura R. Soerjo ini perlu
dilakukan. Diharapkan spesies tumbuhan yang teridentifikasi memiliki
kegunaan/manfaat dan dapat dibudidayakan bersama-sama dengan masyarakat
sehingga dapat memberikan manfaat dan meningkatkan perekonomian masyarakat
sekitar kawasan Tahura R. Soerjo.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data dan informasi
secara ilmiah tentang :
1) Komposisi vegetasi dan keanekaragaman spesies tumbuhan yang ada di
Tahura R. Soerjo.
2) Potensi tumbuhan berguna yang ada di Tahura R. Soerjo.
1.3 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak pengelola
dalam menyusun kebijakan pengelolaan dan program pemanfaatan berkelanjutan
sumberdaya alam hayati yang ada di dalam kawasan Tahura R. Soerjo khususnya
2.1 Taman Hutan Raya
Menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Hutan Raya (Tahura)
dikategorikan sebagai kawasan pelestarian alam. Pengertian kawasan pelestarian
alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan
yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam dibagi
menjadi tiga yaitu taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam.
Tahura merupakan kawasan pelestarian alam yang tujuan utamanya adalah untuk
koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami ataupun buatan, jenis asli atau bukan
asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.
Kawasan taman hutan raya dikelola oleh pemerintah dan dikelola dengan
upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya. Menurut Napitu (2007) kriteria penunjukkan dan penetapan suatu
kawasan menjadi taman hutan raya adalah sebagai berikut :
1. Merupakan kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan baik pada
kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang ekosistemnya
sudah berubah.
2. Memiliki keindahan alam atau gejala alam.
3. Mempunyai luasan yang cukup sehingga memungkinkan untuk pembangunan
koleksi tumbuhan dan atau satwa baik jenis asli dan atau bukan asli.
Beberapa kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi kawasan
taman hutan raya adalah : 1) Merusak kekhasan potensi sebagai pembentuk
ekosistem. 2) Merusak keindahan dan gejala alam. 3) Mengurangi luas kawasan
yang telah ditentukan. 4) Melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan
rencana pengelolaan dan atau rencana pengusahaan yang telah mendapat
2.2 Tumbuhan Berguna
Sumberdaya tumbuhan telah dimanfaatkan secara turun-temurun dalam
suatu komunitas masyarakat. Menurut Purwanto dan Waluyo (1992) penggunaan
tumbuhan dikelompokkan menjadi tumbuhan sebagai bahan sandang, pangan,
bangunan, alat rumah tangga dan pertanian, tali-temali, anyaman, perlengkapan
upacara adat, obat-obatan dan kosmetik, kegiatan sosial dan lain sebagainya.
2.2.1 Tumbuhan Obat
Bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman
berkhasiat obat sebagai salah satu bahan untuk mengatasi masalah kesehatan.
Pengetahuan tentang tanaman berkhasiat obat berdasar pada pengalaman dan
ketrampilan yang secara turun temurun telah diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
Definisi tumbuhan obat menurut Departemen Kesehatan RI sebagaimana
tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.
149/SK/Menkes/IV/1978 adalah sebagai berikut :
1) Tanaman atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan obat tradisional
atau jamu.
2) Tanaman atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan pemula bahan
baku obat (prokursor).
3) Tanaman atau bagian tanaman yang diekstraksi dan ekstrak tanaman tersebut
digunakan sebagai obat.
Menurut Zuhud et al. (1994) tumbuhan obat adalah seluruh spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercaya mempunyai khasiat obat. Tumbuhan obat
dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu :
1. Tumbuhan obat tradisional adalah spesies tumbuhan yang diketahui atau
dipercayai masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai
bahan baku obat tradisional.
2. Tumbuhan obat modern adalah spesies tumbuhan obat yang secara ilmiah
telah dibuktikan mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat
3. Tumbuhan obat potensial adalah spesies tumbuhan yang diduga mengandung
senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat tetapi belum dibuktikan secara
ilmiah medis atau penggunaannya sebagai bahan obat tradisional sulit
ditelusuri.
Tumbuhan obat tidak hanya dikonsumsi oleh manusia tetapi juga
dikonsumsikan kepada satwa yang ada di penangkaran. Hal ini dikarenakan
khasiat tumbuhan obat yang telah lama dikenal oleh manusia karena memiliki
banyak khasiat sehingga tumbuhan obat diyakini dapat juga digunakan sebagai
aditif pakan alami multi fungsi untuk satwa di penangkaran (Ulfah 2006).
Penggunaan obat tradisional (tumbuhan obat) secara umum dinilai lebih aman
daripada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional
memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern (Sari
2006).
Menurut Sitepu & Sutigno (2001) tanaman obat mempunyai hubungan yang
erat dengan masyarakat, baik sebagai sumber mata pencaharian dan pendapatan
petani sekitar hutan maupun sebagai peluang yang menjanjikan bagi petani mulai
dari pra sampai pasca budidaya. Keuntungan majemuk yang dihasilkan oleh
pengembangan tanaman obat dalam pengembangan hutan tanaman meliputi :
(1) Keberhasilan pengelolaan hutan tanaman melalui penyediaan sumber
pendapatan yang berkelanjutan.
(2) Penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat yang bekerja pada bidang
pertanian, industri rumah tangga/kecil atau menengah, perdagangan.
(3) Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.
(4) Peningkatan pendapatan asli daerah.
(5) Pengembangan usaha regional.
2.2.2 Tumbuhan hias
Tanaman hias adalah tanaman yang memiliki karakteristik morfologi
bernilai estetika dan eksotik terdiri atas tanaman anggrek, tanaman penghasil
bunga, tanaman hias berdaun, dan tanaman hias perdu dan pohon. Penggolongan tanaman hias terdiri empat bagian yaitu berdasarkan umur, struktur batang,
tanaman semusim, dua musim, dan tahunan. Berdasarkan struktur batang tanaman
hias terdiri dari tanaman berbatang basah, berbatang keras, dan berbatang
merambat. Penggolongan tanaman hias berdasarkan penggunaan terdiri dari
tanaman hias potong, pot, dan tanaman. Penggolongan terakhir yaitu tanaman hias
berdasarkan penempatan terdiri dari indoor dan outdoor (Rukmana 1997 diacu dalam Susiarti et al. 2000).
2.2.3 Tumbuhan penghasil pangan
Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, selain sandang dan
papan. Ada dua macam bahan pangan, yaitu bahan pangan hewani dan nabati
(tumbuh-tumbuhan). Bahan pangan nabati ada yang berasal dari tumbuhan rendah
dan tumbuhan tingkat tinggi. Bahan pangan yang berasal dari tumbuhan tingkat
tinggi dapat diperoleh dari hasil hutan yang berupa buah-buahan,dedaunan, dan
biji-bijian (Sunarti et al. 2007). Pangan merupakan kebutuhan utama untuk manusia. Sebagian besar bahan pangan berasal dari tumbuh-tumbuhan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia tumbuhan pangan adalah segala sesuatu yang
tumbuh, hidup, berbatang, berakar, berdaun, dan dapat dimakan atau dikonsumsi
oleh manusia (jika dapat dikonsumsi oleh ternak maka disebut sebagai pakan.
2.2.4 Tumbuhan aromatik
Tumbuhan aromatik disebut juga sebagai tumbuhan penghasil minyak atsiri.
Minyak atsiri merupakan campuran kompleks dari senyawa alkohol yang mudah
menguap (volatile), dan dihasilkan sebagai metabolit sekunder pada tumbuhan.
Minyak atsiri biasanya menentukan aroma khas tanaman. Minyak atsiri yang
dihasilkan dari tanaman aromatik merupakan komoditas ekspor non migas yang
dibutuhkan di berbagai industri seperti dalam industri parfum, kosmetika, industri
farmasi/obat-obatan, industri makanan dan minuman. Di dalam dunia
perdagangan, komoditas ini dipandang punya peran strategis dalam menghasilkan
produk primer maupun sekunder, baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor
(Sukamto 2009). Hampir seluruh tumbuhan aromatik yang tumbuh di Indonesia
sudah dikenal oleh masyarakat. Beberapa diantaranya merupakan tumbuhan yang
gondopuro, minyak daun cengkeh, minyak adas, minyak kayu lawang, vanili, dan
kurkumin (Matsjeh 2004).
Menurut Praptiwi et al. (2002) minyak atsiri mempunyai berbagai manfaat dalam kehidupan sehari-hari antara lain sebagai bahan aromatherapi, bahan
flavouring, kosmetika, dan obat-obatan. Minyak atsiri dari satu tumbuhan memilliki aroma yang berbeda dengan minyak atsiri dari tumbuhan lain karena
setiap minyak atsiri memiliki komponen kimia yang berbeda (Agusta 2000 diacu
dalam Praptiwi et al. 2002).
2.2.5 Tumbuhan penghasil kayu bakar
Kayu bakar merupakan sumber energy yang masih digunakan sampai saat
ini terutama di kawasan pedesaan dan daerah pedalaman. Pada dasarnya semua
tumbuhan berkayu atau berbentuk pohon dapat dijadikan sebagai kayu bakar.
Kayu bakar merupakan sumber energi yang mudah diperoleh, murah dan mudah
terjangkau oleh masyarakat kalangan ekonomi lemah serta merupakan
sumberdaya yang dapat diperbaharui (Setyowati 2005).
Menurut Nasendi (1978) yang diacu dalam Sylviani dan Widiarti (2001)
menyebutkan bahwa jenis-jenis tanaman kayu bakar harus memenuhi persyaratan
antara lain:
1. Jenis yang mempunyai daur pendek.
2. Mudah untuk tumbuh.
3. Dapat ditanam disembarang lokasi.
4. Mempunyai manfaat ganda.
2.2.6 Tumbuhan penghasil bahan bangunan
Di dalam masyarakat adat yang pada umumnya masih menggantungkan
kehidupan sehari-harinya dari hutan memanfaatkan tumbuhan penghasil bahan
bangunan sebagai bahan untuk membangun rumah. Menurut Kartikawati (2004)
masyarakat suku Dayak Meratus menggunakan bahan bangunan utama yang
berasal dari pohon-pohon di hutan, rotan, dan bambu. Spesies pohon yang
2.2.7 Tumbuhan penghasil tali, anyaman dan kerajinan
Anyaman telah dikenal oleh nenek moyang kita dulu. Hal tersebut dimulai
oleh nenek moyang kita dengan membuat keranjang yang digunakan untuk
membawa barang-barang. Selanjutnya, nenek moyang kita mulai membuat alat
penutup tubuh mereka. Hal ini masih terdapat pada beberapa suku yang ada di
Indonesia contohnya yaitu suku di Irian jaya yang membuat baju wanita dari
sejenis teki-tekian yang dianyam. Di Indonesia cukup banyak tersedia
keanekaragaman tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk
industri kerajinan, antara lain anyaman. Ciri tumbuhan yang biasanya digunakan
sebagai bahan anyaman adalah yang memiliki serat panjang dan kuat (Rahayu et al. 2008).
2.2.8 Tumbuhan penghasil bahan pewarna dan tanin
Sebelum kita mengenal pewarna sintetis dari bahan kimia, manusia pada
zaman dahulu telah mengenal berbagai jenis tumbuhan yang digunakan sebagai
bahan pewarna. Tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan pewarna alami
antara lain kunyit (Curcuma domestica), daun suji, dan lain sebagainya. Menurut Hidayat dan Saati (2006) sejumlah tanaman mempunyai kemampuan untuk
menghasilkan pigmen dalam jumlah yang tinggi. Tanaman-tanaman tersebut
diantaranya adalah bunga mawar, bunga kana, bunga gladiol, kunyit, ubi jalar, dan
kayu secang.
Menurut Pitojo dan Zumiati (2009) pewarna nabati adalah pewarna alami
yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan atau tanaman. Secara teknis pewarna
nabati dapat diperoleh dengan cara yaitu ekstraksi, fermentasi, perebusan, atau
melalui perlakuan kimiawi. Pewarna alami dapat diperoleh dengan cara yang
sederhana yaitu melalui ekstraksi (pelarutan pewarna dengan air dingin atau
melalui perebusan). Namun, cara tersebut hanya dapat dilakukan pada pewarna
nabati yang mudah larut dalam air. Adapan kekurangan dalam penggunaan
pewarna nabati yaitu:
1. Bahan baku pewarna berjumlah banyak
Untuk mendapatkan pewarna nabati dalam jumlah yang relatif banyak, maka
memberikan hasil yang kuranng maksimal karena pewarna alami di dalam
bahan tidak dapat terekstraksi secara keseluruhan.
2. Hasil biasanya tidak eksak
Penggunaan pewarna alami sebagai bahan pewarna tidak dapat memberikan
hasil warna yang secara pasti. Dapat dikatakan hasil dari penggunaan pewarna
alami akan sangat beragam atau tidak konsisten.
3. Peka terhadap pemanasan
Perlakuan pemanasan (pengeringan atau perebusan) pada bahan makanan dapat
mengubah sifat fisika dan kimia dari bahan makanan. Perubahan-perubahan
tersebut dapat mempengaruhi warna bahan makanan yang sedang diolah.
4. Peka terhadap keasaman larutan
Terdapat beberapa zat pewarna nabati yang dapat terpengaruh oleh kondisi
keasaman larutan. Misalnya, yaitu karotenoid yang dapat memberikan warna
yang berbeda pada berbagai tingkat keasaman.
5. Kurang ekonomis
Pewarna nabati jika dinilai dengan satuan harga mempunyai harga yang lebih
mahal dibandingkan dengan pewarna sintetis. Namun, bahan pewarna alami
tersedia di lingkungan sekitar kita atau dapat diperoleh dengan mudah.
Tanin nabati merupakan bahan dari tumbuhan, memiliki rasa yang pahit dan
kelat, seringkali tanin berasal dari ekstrak pepagan atau bagian lain terutama daun,
buah dan puru (galls). Tanin nabati dapat digunakan untuk proses penyamakan dengan cara pengunaan langsung atau dipekatkan dengan cara mengekstrak
kembali bahan taninnya (Lemmens & Soetjipto 1999).
2.2.9 Tumbuhan penghasil pestisida nabati
Pestisida nabati adalah pestisida yang menggunakan senyawa sekunder
tanaman sebagai bahan bakunya. Beberapa senyawa sekunder tanaman yang telah
berhasil diidentifikasi adalah eugenol, azadirachtin, geraniol, sitronelol, dan tanin.
Senyawa ini mampu mengendalikan berbagai jenis hama dan penyakit tanaman
sehingga berpotensi untuk dikembangkan (Wiratno 2010).
Menurut Sudarmo (2005) pestisida nabati adalah pestisida yang bahan
mengurangi pencemaran lingkungan dan memiliki harga yang realtif lebih murah
dan aman jika dibandingkan dengan pestisida kimia. Pembuatan pestisida nabati
dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi tinggi dan dikerjakan dalam
skala industri. Namun, dapat dijuga dibuat dengan cara yang sederhana dapat
berupa larutan hasil perasan, rendaman, ekstrak, dan rebusan bagian tumbuhan
atau tanaman. Bahan pembuatan pestisida nabati dapat berasal dari bagian
tumbuhan seperti akar, umbi, batang, daun, biji dan buah. Contoh tanaman yang
yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati adalah pacar cina (Aglaia odorata), tembakau (Nicotiana tabacum), sirsak (Annona glabra), dan jarak (Ricinus communis).
Pestisida nabati bekerja sangat spesisfik yaitu (1) merusak perkembangan
telur, karva dan pupa, (2) menghambat pergantian kulit, (3) menganggu
komunikasi serangga, (4) menyebabkan serangga menolak makanan, (5)
menghambat reproduksi serangga betina, (6) mengurangi nafsu makan, (7)
memblokir kemampuan makan serangga, (8) mengusir serangga, (9) menghambat
patogen penyakit (Sudarmo 2005).
Sejak tahun 1950 penggunaan insektisida nabati tergeser oleh insektisida
sintetik. Alasan yang mendasari antara lain insektisida sintetis lebih efektif dan
biaya produksinya lebih rendah dibandingkan dengan insektisida alami. Faktor
yang lain yaitu insektisida sintetis mudah didapat, praktis aplikasiannya, tidak
perlu membuat sediaan sendiri, tersedia dalam jumlah banyak dan tidak perlu
membudidayakan sendiri tanaman penghasil insektisida (Kardinan 2002).
2.2.10 Tumbuhan penghasil pakan ternak
Menurut Tillman et al. (1989) diacu di dalam Syamsu (2006) pakan atau makanan ternak dalah bahan yang dapat dimakan, dicerna dan digunakan oleh
ternak. Simbaya (2002) diacu di dalam Syamsu (2006) membagi sumberdaya
pakan ternak ke dalam empat golongan yaitu hijauan (forages), limbah pertanian, limbah industri pertanian, dan pakan non konvensional. Forages adalah semua jenis hijaun pakan, baik yang sengaja ditanam ataupun yang tidak. Di dalamnya
termasuk rumput dan leguminosa, baik leguminosa menjalar, perdu maupun
mengemukakan bahwa hijauan pakan adalah bagian tanaman terutama rumput dan
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di
Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur
(Gambar 1). Akses untuk menuju ke lokasi Tahura R. Soerjo dapat ditempuh
dengan menggunakan kendaraan motor roda dua maupun kendaraan roda empat
atau lebih dari kota/kabupaten malang kemudian ke kota batu yang selanjutnya
menuju ke Desa Sumber brantas. Jarak yang ditempuh dari kota/kab. Malang
menuju ke lokasi Tahura R. Soerjo ± 38 km.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian
Kegiatan penelitian ini menggunakan bahan dan alat yaitu :
1. Kamera : digunakan untuk dokumentasi penelitian seperti foto spesies-spesies
tumbuhan yang ada di lokasi penelitian.
2. Kertas koran : alat untuk membungkus spesies tumbuhan yang akan dibuat
herbariumnya.
3. Kantong plastik : alat untuk membungkus spesies herbarium yang
sebelumnya telah di bungkus menggunakan koran koran.
4. Tally sheet : daftar data yang akan dicari pada saat dilakukan penelitian/pengambilan data.
5. Meteran gulung : alat yang digunakan untuk mengukur tali tambang
6. Haga : alat yang digunakan untuk mengukur tinggi pohon.
7. Kompas : alat yang digunakan untuk menentukan arah jalur dibuatnya
petak/plot penilitian.
8. Tali tambang : alat yang digunakan untuk membuat jalur dan plot penelitian.
9. Meteran jahit : alat yang digunakan untuk mengukur keliling batang pohon
yang berada di dalam plot penelitian.
10. Label gantung : alat yang digunakan untuk memberikan label pada spesies
11. Gunting : alat yang digunakan untuk memotong spesies tumbuhan yang akan
dijadikan herbarium.
12. Selotip dan double tip : alat yang digunakan untuk menempelkan tulisan berisi tanda batas antara plot-plot kecil yang berukuran 2m x 2m, 5 m x 5 m,
10 m x 10 m, dan 20 m x 20 m sehingga dapat mempermudah melihat batas
antar plot pada saat dilakukan penelitian.
13. Alkohol 70% : digunakan untuk mengawetkan spesies tumbuhan yang akan
dijadikan herbarium agar tidak cepat busuk atau rusak struktur tumbuhannya.
14. Alat tulis : digunakan untuk mencatat data-data yang berkaitan dengan
penelitian.
15. Komputer beserta perlengkapannya : digunakan untuk mengolah data yang
telah didapat dari penelitian dan digunakan untuk proses penyusunan skripsi.
3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan
Data yang dikumpulkan adalah potensi tumbuhan berguna yang ada di
Taman Hutan Raya R. Soerjo meliputi nama spesies lokal dan nama ilmiah,
famili, habitus, dan kegunaan. Data pendukung yang dikumpulkan yaitu kondisi
umum lokasi penelitian meliputi sejarah kawasan, letak dan luas, geologi dan
tanah, topografi, iklim, vegetasi dan satwa.
3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data yang dikumpulkan
3.4.1.1 Komposisi dan keanekaragaman tumbuhan
Kegiatan pengambilan data tumbuhan dilakukan dengan cara analisis
vegetasi menggunakan metode kombinasi jalur dan garis berpetak. Ukuran jalur
20 m x 200 m sebanyak 10 buah dengan arah memotong garis kontur. Penentuan
jalur dilakukan dengan cara systematic sampling yaitu penentuan jalur yang dilakukan secara sistematik dengan jarak antara jalur satu dengan yang lainnya
sepanjang 100 m. Kemudian jalur dibagi menjadi petak ukur yang berukuran 20 m
14
Tahura R. Soerjo
Sumber : http//www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/1311
20 m
10 m
Gambar 2 Desain plot contoh dalam analisis vegetasi dengan menggunakan metode kombinasi jalur berpetak.
Data yang dikumpulkan meliputi nama spesies, jumlah individu setiap
spesies untuk tingkat semai dan pancang sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon
yaitu nama spesies, jumlah individu, dan diameter batang. Tumbuhan dikatakan
semai apabila tinggi < 1,5 m dan diameter < 3 cm dengan petak ukur 2 m x 2 m
(a), tingkat pancang tinggi > 1,5 m dan diameter < 10 cm diukur dengan petak
ukur berukuran 5 m x 5 m (b), tingkat tiang memiliki diameter 10 cm - < 20 cm
diukur dengan petak ukur berukuran 10 m x 10 m (c), dan tingkat pohon memiliki
diameter ≥ 20 cm diukur dengan petak ukur berukuran 20 m x 20 m (d). Ukuran
petak untuk masing tingkat pertumbuhan dapat dilihat pada Gambar 1.
3.4.1.2 Pembuatan herbarium
Herbarium adalah koleksi spesimen tumbuhan yang terdiri dari
bagian-bagian tumbuhan (ranting lengkap dengan daun, kuncup yang utuh, serta kalau
ada bunga dan buahnya). Tujuan dibuatnya herbarium adalah untuk memudahkan
identifikasi dari spesies yang belum dapat diketahui. Pembuatan herbarium
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Mengumpulkan contoh-contoh herbarium dengan panjang maksimal 40 cm.
2) Memberikan label pada spesimen herbarium tersebut. Label gantung berisi
keterangan tentang nomor spesies, tanggal pengambilan, nama lokal, lokasi
pengumpulan, dan nama pengumpul/kolektor.
3) Spesimen herbarium tersebut dimasukkan ke dalam kertas koran lalu
dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disemprot dengan menggunakan
alkohol 70%.
4) Spesimen herbarium tersebut dibawa dan dikeringkan dengan menggunakan
panas matahari.
5) Spesimen herbarium yang sudah kering diidentifikasi nama ilmiahnya oleh
praktisi dari Herbarium Bogoriense yaitu Bapak Ismail.
3.4.1.3 Identifikasi spesies tumbuhan berguna
Proses identifikasi spesies-spesies tumbuhan berguna dikerjakan dengan
melakukan cek silang dengan berbagai literatur/buku, antara lain: Heyne (1987)
dan Lemmens & Soetjipto (1999). Data-data yang dikumpulkan dari
masing-masing spesies tumbuhan pada setiap lokasi meliputi : nama lokal, nama ilmiah,
famili, kegunaan, dan bagian yang digunakan.
3.4.1.4 Kondisi umum kawasan
Pengumpulan data berupa kondisi umum lokasi penelitian dilakukan dengan
studi pustaka atau studi literatur. Kegiatan pengumpulan data dilakukan di kantor
Balai Taman Hutan Raya R. Soerjo. Data yang dikumpulkan meliputi sejarah
kawasan, letak dan luas, geologi dan tanah, topografi, iklim, vegetasi dan satwa.
3.4.2 Analisis Data
3.4.2.1 Indeks Nilai Penting (INP)
Menurut Soerianegara dan Indrawan (1998) untuk mengetahui struktur dan
komposisi vegetasi, maka pada masing-masing petak ukur dilakukan analisis
kerapatan, frekuensi, dan dominansi untuk setiap jenis tumbuhan. Nilai INP
(Indeks Nilai Penting) merupakan parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk
menyatakan tingkat dominansi/tingkat penguasaan (Mukrimin 2011). Perhitungan
dilakukan dengan menggunakan rumus-rumus sebagai berikut :
- Kerapatan (K) (Ind/ha)
K =
Frekuensi (F)
- Dominansi (D)
D =
- Kerapatan Relatif (KR)
KR =
- Frekuensi Relatif (FR )
FR =
- Dominansi Relatif (DR)
DR=
- Indeks Nilai Penting (INP) untuk tingkat pancang, semai, dan tumbuhan bawah adalah KR + FR
- Indeks Nilai Penting (INP) untuk tingkat tiang dan pohon adalah KR + FR +
DR
3.4.2.2 Tingkat keanekaragaman spesies
Menurut Odum (1998) diacu dalam Abdiyani (2008) untuk menghitung
tingkat keanekaragaman spesies digunakan Shannon-wienner index ( H’ ) dengan persamaannya sebagai berikut :
H' =
dimana pi = ni / N
Keterangan :
H’ : Indeks keanekaragaman spesies N : Total INP seluruh spesies Ni : INP suatu spesies
3.4.3.3 Tingkat kemerataan Spesies
Untuk menghitung tingkat kemerataan individu di dalam spesies digunakan
indeks kemertaan spesies Evenness (E). Indeks kemerataan ini menunjukkan penyebaran individu di dalam spesies. Menurut Ludwig dan Reynolds (1988)
indeks ini dapat dihitung dengan rumus :
E = Keterangan :
E = Indeks kemerataan spesies H’= Indeks Shannon
S = Jumlah Spesies
3.4.2.4 Persentase habitus
Habitus atau perawakan tumbuhan meliputi: pohon, liana, semak dan herba.
Rumus yang digunakan dalam menghitung persentase habitus, yaitu sebagai
berikut :
3.4.2.5 Persentase potensi tumbuhan berguna
Potensi tumbuhan berguna dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Sejarah dan Dasar Hukum
Menurut UPT TAHURA R. Soerjo (2010) kawasan Taman Hutan Raya R.
Soerjo ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 29 tahun 1992 dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
1128/Kpts-II/1992 dengan luas 25.000 ha. Taman Hutan Raya R. Soerjo terdiri
dari Hutan Lindung Gunung Anjasmoro, Gunung Gede, Gunung Biru, dan
Gunung Limas seluas 20.000 ha. Selain itu kawasan Tahura R. Soerjo juga terdiri
dari kawasan Cagar Alam Arjuno Lalijiwo sesuai dengan Surat Keputusan
Menteri Pertanian No. 250/Kpts/Um/5/1972 tanggal 25 Mei 1972 dengan luas
4.940 ha dan tanah kebun penelitian Universitas Brawijaya seluas 40 ha.
Setelah ditetapkan sebagai kawasan taman hutan raya pada tahun 1992 maka
dilakukan penataan batas ulang oleh kanwil kehutanan pada tahun 1997.
Dilakukannya penataan ulang batas kawasan Tahura maka terjadi penambahan
luas kawasan menjadi 27.868,30 ha. Rincian kawasan Tahura R. Soerjo setelah
dilakukan penataan batas ulang adalah Kawasan Hutan Lindung 22.908,3 ha, dan
kawasan Cagar Alam Arjuno Lalijiwo (PHPA) 4. 960 ha. Penataan batas tersebut
juga telah ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
80/Kpts-II/2001 pada tanggal 15 Maret 2001.
4.2. Keadaan Fisik Kawasan 4.2.1. Letak dan luas kawasan
Menurut UPT TAHURA R. Soerjo (2010) kawasan Taman Hutan Raya R.
Soerjo secara geografis berada di 70 40’ 10’’- 70 49’ 31’’ LS dan 1120 22’
13’’-1120 46’ 30’’ BT. Kawasan Tahura R. Soerjo memiliki luas 27.868, 30 ha. Secara
administratif kawasan Tahura R. Soerjo terletak di lima kabupaten yaitu
Kabupaten Malang, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten
Jombang dan Kota Batu. Untuk lebih jelasnya tersaji pada Gambar 1 mengenai
peta provinsi jawa timur dan letak Taman Hutan Raya R. Soero. Batas-batas
• Batas sebelah barat : Kawasan hutan Perum Perhutani KPH Malang dan
KPH Jombang
• Batas sebelah utara : Kawasan Hutan Perum Perhutani KPH Pasuruan
• Batas sebelah timur : Kawasan Hutan Perum Perhutani KPH Pasuruan
• Batas sebelah selatan : Kawasan Hutan Perum Perhutani KPH Malang dan
APL Kota Batu
4.2.2. Topografi
Menurut UPT TAHURA R. Soerjo (2010) kawasan Taman Hutan Raya R.
Soerjo merupakan sebuah dataran tinggi yang membentang dari barat ke timur dan
selatan ke utara dengan konfigurasi topografi yang bervariasi yaitu antara datar,
berbukit dan bergunung . Ketinggian kawasan Tahura R. Soerjo mulai dari 1000 –
3339 meter di atas permukaan laut.
4.2.3. Iklim
Menurut klasifikasi iklim Schmid dan Ferguson Tahura R. Soerjo termasuk
tipe iklim C dan D dengan curah hujan rata-rata 2.500 - 4.500 mm per tahun. Suhu
udara di Taman Hutan Raya R. Soerjo berkisar antara 5 0C – 10 0C (UPT
TAHURA R. Soerjo 2010).
4.2.4. Hidrologi
Menurut UPT TAHURA R. Soerjo (2010) kawasan Taman Hutan Raya R.
Soerjo termasuk dalam wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. Terdapat
beberapa sumber mata air di kawasan Taman hutan Raya R. Soerjo yaitu sumber
mata air sungai brantas yang terletak di Gunung Anjasmoro (wilayah desa Sumber
Brantas), sumber mata air yang terdapat di kompleks Gunung Arjuno (sumber
mata air di pondok welirang dan di pondok lalijiwo), dan Sumber mata air panas
cangar (Gunung Arjuno bagian barat). Terdapat tiga sumber air di sumber mata air
panas cangar dan dua diantaranya telah dimanfaatkan sebagai tempat
4.3. Aksesibilitas
Menurut UPT TAHURA R. Soerjo (2010) kawasan Taman Hutan Raya R.
Soerjo dapat dicapai melalui beberapa alternatif, antara lain:
1. Malang - Batu - Sumber Brantas, berjarak ± 38 km dan dapat dicapai dengan
kendaraan umum maupun kendaraan pribadi.
2. Mojokerto – Pacet, berjarak ± 30 km dan hanya dapat dicapai dengan
kendaraan pribadi.
3. Surabaya - Pandaan - Priden – Tretes, berjarak ± 74 km dan dapat dicapai
dengan kendaraan umum, lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju
Pondok Welirang, Padang rumput Lalijiwo terus ke Gunung Welirang
selanjutnya turun ke lokasi dengan waktu perjalanan 14 jam.
Kondisi jalan menuju lokasi sangat baik dengan kondisi aspal yang masih
baik. Namun jalan tersebut pada saat hujan rawan longsor dan jalannya licin serta
jalannya yang menanjak dan turunan.
4.4. Keadaan Biologi
Menurut UPT TAHURA R. Soerjo (2010) di Tahura R. Soerjo terdapat tiga
tipe vegetasi dengan kondisi yang masih baik yaitu :
1. Hutan alam cemara (Casuarina junghuhniana) pada ketinggian 1800 m dpl yang terdapat di gunung Arjuno lalijiwo
2. Padang rumput dengan luas 200 ha yang terdapat di bagian bawah pondok
Welirang dengan dominasi tanaman jenis padi-padian dan kolonjono
(Panicum repens)
3. Daerah hutan hujan tengah yang terdapat pada ketinggian 2000 – 2700 m dpl
yang merupakan hutan campuran tiga tingkatan vegetasi yaitu pohon, semak
dan tumbuhan bawah dengan dominasi jenis pasang (Quercus sp.), pohon nyampuh, Sumbung, dan gempur gunung.
4. Jenis-jenis flora yang terdapat di taman hutan raya R. Soerjo berjumlah 136
jenis yang terdiri dari pohon dan tumbuhan bawah. Jenis pohon yang terdapat
(Tabernemontana sphaercarpa), putihan (Buddleja asiantica Lour). Sedangkan untuk jenis tumbuhan bawahnya antara lain anggrek (Cymbidium simulans Rofle), Bambu (Bambusa sp), ciplukan (Physalis peruviana), lempuyangan (Globba marantina L), meniran merah (Phyllanthus urinaria), paku gunung (Pteris sp.), Wedusan (Ageratum conyzoides), dan edelweis (Analpalis javanica).
Fauna yang terdapat di Taman Hutan Raya R. Soerjo antara lain monyet
ekor panjang (Macaca fascicularis), elang jawa (Spizaetus bartelesi), kera hitam (Trachypitthesus auratus), landak (Histryx brachura), ular sawa (Python reticulatus), ayam hutan (Gallus Verius), Kutilang (Pycnonotus aurigaster), tupai (Sejuridae), alap-alap jambul (Accipiter trivigatus), dan alap-alap tikus/putih (Elanus hypoleuscus).
4.5 Keadaan Sosial Budaya Masyarakat
Tahura R. Soerjo di wilayah kota Batu berdekatan dengan sebuah desa yaitu
Desa Sumberbrantas yang memiliki luas 541,1364 ha. Desa Sumberbrantas
merupakan sebuah desa baru yang berasal dari pemekaran wilayah Desa
Tulungrejo dan dulunya adalah sebuah dusun yang merupakan bagain dari
wilayah Desa Tulungrejo. Jumlah penduduk yang ada di Desa Sumberbrantas
berjumlah 4542 jiwa dengan rincian penduduk laki-laki berjumlah 2352 jiwa dan
perempuan berjumlah 2190 jiwa. Penduduk yang ada di Desa Sumberbrantas
mayoritas memeluk agama Islam dengan jumlah 4435 jiwa, kemudian agama
Kristen sebanyak 102 jiwa, dan agama Khatolik sebanyak 5 jiwa. Mayoritas
penduduk di Desa Sumberbrantas memiliki pendidikan terakhir yaitu Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Masyarakat di Desa Sumberbrantas mayoritas
berprofesi sebagai petani dengan komoditas pertanian yang ditanam yaitu kentang
wortel dan gubis (kol). Namun ada juga yang berprofesi sebagai buruh, pegawai
negeri sipil, pegawai swasta, dan pedagang. Selain itu masyarakat juga memiliki
ternak yang dipelihara di masing-masing rumah dengan komoditas peternakan
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Komposisi Vegetasi di Tahura R. Soerjo 5.1.1 Komposisi famili
Komposisi vegetasi yang terdapat di Tahura R. Soerjo berdasarkan famili
dapat dilihat pada Gambar 6 .
Hasil dari analisis vegetasi seperti pada Gambar 3 diketahui 39 famili yang
berhasil diidentifikasi di lokasi penelitian Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo.
Famili yang paling banyak spesiesnya jika dibandingkan dengan famili lainnya
adalah dari Euphorbiaceae dengan 4 spesies yang ditemukan yaitu ketupuk
(Claoxylon longifolium), kopian (Glochidion macrocarpum), tutup (Macaranga
sp.), dan patikan emas (Euphorbia hirta). Menurut Partomihardjo (1999) diacu dalam Purwaningsih dan Yusuf (2008) sistem pemencaran biji atau buah dari
banyak spesies dalam suku Euphorbiaceae ini memiliki efektivitas yang tinggi dan
pada umumnya dapat dipencarkan oleh angin, burung dan mamalia. Selain itu,
menurut Riswan (1987) diacu dalam Purwaningsih dan Yusuf (2008) famili
Euphorbiaceae merupakan salah satu famili yang memiliki kemampuan yang
tinggi dalam beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan.
Famili selanjutnya yaitu Moraceae teridentifikasi 3 spesies yang terdiri dari
dampul (Ficus lepicarpa), kebek (Ficus padana), dan tritih (Ficus sp.). Selain itu famili Rosaceae juga teridentifikasi sebanyak 3 spesies yang terdiri dari spesies
baros (Prunus cf. arborea ), ri bandel (Rubus chrysophyllus), dan sebra (Rubus fraxinifolius).
5.1.2 Komposisi spesies
Komposisi spesies tumbuhan yang diperoleh dari hasil analisis vegetasi
tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1 Daftar komposisi spesies berdasarkan tingkatan tumbuhan
No. Tingkat tumbuhan Jumlah spesies
1. Pohon 22
2. Tiang 22
3. Pancang 18
4. Semai 23
5. Tumbuhan bawah 25
Berdasarkan hasil analisis vegetasi seperti yang tersaji pada Tabel 1 tersebut
diperoleh hasil 50 spesies dari 39 famili. Namun, hanya 40 spesies (80 %) yang
berhasil diketahui sampai dengan spesiesnya sedangkan 10 spesies (20 %) belum
berhasil teridentifikasi. Menurut keterangan tabel 1 di atas jumlah spesies yang
spesies. Kemudian secara berurutan adalah semai 23 spesies, Tiang dan Pohon 22
spesies,dan pancang 18 spesies.
5.1.3 Komposisi tumbuhan berdasarkan habitus
Komposisi tumbuhan yang terdapat di Tahura R. Soerjo berdasarkan
habitusnya tersaji pada Gambar 4.
Gambar 4 Komposisi Tumbuhan Berdasarkan Habitusnya di lokasi penelitian Tahura R. Soerjo.
Berdasarkan hasil analisis vegetasi tumbuhan yang paling mendominasi di
dalam kawasan Tahura R. Soerjo adalah spesies yang berhabitus pohon dengan
jumlahnya sekitar 25 spesies (50 %). Spesies tumbuhan selanjutnya adalah
berhabitus semak dengan jumlah sekitar 12 spesies (24 %). Kemudian spesies
berhabitus terna dengan jumlah sekitar 13 spesies (26 %).
5.1.4 Dominansi vegetasi
Dominansi adalah proporsi antara luas bidang dasar yang ditempati oleh
spesies tumbuhan dengan total luas habitat. Nilai dari dominansi spesies
ditunjukkan dengan nilai INP (Indeks Nilai Penting) yang merupakan parameter
kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi tingkat
penguasaan (Mukrimin 2011). Menurut Soegianto (1994) diacu dalam Maisyaroh
(2010) Indeks Nilai Penting (INP) digunakan untuk menggambarkan tingkat
penguasaan yang diberikan oleh suatu spesies terhadap komunitas, semakin besar
nilai INP suatu spesies semakin besar tingkat penguasaan terhadap komunitas dan
suatu spesies dalam kawasan. Spesies yang memiliki nilai INP paling besar, maka
spesies tersebut mempunyai peranan yang penting di dalam kawasan tersebut.
Selain itu, spesies ini juga mempunyai pengaruh paling dominan terhadap
perubahan kondisi lingkungan maupun keberadaan spesies lainnya dalam
kawasan.
Semakin tinggi INP suatu spesies maka spesies tersebut adalah yang paling
dominan dari spesies yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan
yang berkaitan dengan persaingan antar spesies yang lain. Persaingan akan
meningkatkan daya juang untuk mempertahankan hidup, spesies yang kuat akan
menang dan menekan yang lain sehingga spesies yang kalah menjadi kurang
adaptif dan menyebabkan tingkat reproduksi rendah dan jumlahnya juga sedikit
(Syamsuri 1993 diacu dalam Maisyaroh 2010). INP tertinggi pada spesies
tumbuhan tingkat pohon, tiang, pancang, dan semai tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2 Nilai INP tertinggi pada masing-masing tingkat tumbuhan
No. Nama jenis INP (%)
4. Nyampuh gunung (Neonauclea
excels) - - - -
5. Endog-endogan (Fagraea blumei) - - - -
6. Tritih (Ficus sp.) - - - -
Berdasakan data pada Tabel 2 spesies yang memiliki nilai INP tertinggi
pada tingkat pohon adalah pasang (Quercus sundaica) yaitu sebesar 78,86 %. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat pohon spesies yang mendominasi adalah
pasang (Quercus sundaica). Sedangkan, spesies yang memliki nilai INP terendah pada tingkat pohon adalah cemara gunung (Casuarina junghuhniana) 1,66 %; tutup (Macaranga sp.) 2,20 %; nangkan (Litsea diversifolia) 1,53 %; putihan (Buddleja asiantica) 1,81 %, dan katesan (Macropanax dispermus) 2,11 %.
Pada spesies tumbuhan tingkat tiang yang mendominasi adalah dampul
sebesar 0,78 %; anggrung (Trema Orientalis) 0,79 %; baros (Prunus cf. arborea) 0,87 %; putihan (Buddleja asiantica) 0,87 %; tutup (Macaranga sp.) 1,68 %.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai INP untuk tingkat pancang
yang tertinggi yaitu kopian (Glochidion macrocarpum) dengan nilai sebesar 34,3 %. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat pancang, spesies kopian (Glochidion macrocarpum) adalah spesies yang paling dominan. Spesies yang memiliki nilai INP terendah yaitu tutup (Macaranga sp.) 1 %, genitri (Elaeocarpus sphaericus) 1 %, kukrup (Engelhardia spicata) 2 %, kupu ketek (Astronia spectabilis) 4 %, dan ketupuk (Claoxylon longifolium) dengan nilai INP 4,4 %. Menurut Kade et al.
(2006) tingkat pancang dapat dikatakan sebagai komponen permudaan yang
sangat penting karena kunci sukses tidaknya proses permudaan tersebut
berlangsung dapat dilihat pada fase ini. Banyak jenis pohon sangat sukses dalam
memproduksi semai namun secara lambat-laun semai tersebut akan mati karena
kondisi lingkungan yang tidak mendukung.
Nilai INP tertinggi untuk tingkat semai dimiliki oleh spesies kopian
(Glochidion macrocarpum) dengan nilai 51,40 %, hal ini menunjukkan bahwa spesies tersebut yang mendominasi pada tingkat semai. Selain itu, hal tersebut
juga berarti bahwa frekuensi perjumpaan yang sering serta jumlah individu yang
lebih banyak dibandingkan spesies yang lain. Berdasarkan data pada Tabel 2
diketahui dominansi spesies pada tingkat semai berbeda dengan tingkat pohon.
Spesies yang dominan pada tingkat pohon adalah pasang (Quercus sundaica) sedangkan pada tingkat semai adalah kopian (Glochidion macrocarpum). Keadaan ini dikhawatirkan akan berdampak buruk terhadap regenerasi dari spesies pasang
(Q. Sundaica) karena jumlah semainya yang sedikit. Hal tersebut akan mengakibatkan kelangkaan spesies pasang (Q. Sundaica) di Tahura R. Soerjo.
Spesies tumbuhan yang mempunyai nilai INP terendah pada tingkat semai
adalah kukrup (Engelhardia spicata) dengan nilai 0,9 %. Menurut Abdurrohim et al. (2004) permudaaan untuk spesies kukrup (Engelhardia spicata) di alam jarang dan tersebar jauh dari pohon induknya oleh karena itu dapat dilakukan permudaan
buatan dengan cara menyemaikan biji-biji dari spesies ini. Selanjutnya, spesies
Selanjutnya, putihan (Buddleja asiantica) dan baros (Prunus cf. arborea) dengan nilai 1,9 %.
Hasil analisis vegetasi tingkat tumbuhan bawah berhabitus semak dan terna
diketahui bahwa spesies yang mempunyai nilai INP tertinggi adalah seperti yang
tercantum pada Tabel 6.
Tabel 3 Nilai INP tertinggi pada tingkat tumbuhan bawah di lokasi penelitian
No Nama Spesies Nama Ilmiah INP (%)
1 Remejun Euphatorium riparium 74,91
2 Urang-rangan merah Elatostema latifolium 36,78
3 Paku-pakuan Pteris sp. 14,23
4 Jengkon merah Pilea sp. 14,04
5 Suruhan Piper miniatum 12,26
Spesies remejun (Euphatorium riparium) yang berhabitus semak memiliki nilai INP yang paling tinggi yaitu sebesar 74,91 %. Hal ini menunjukkan bahwa
spesies tersebut adalah yang paling dominan dengan jumlah individu lebih banyak
dibandingkan spesies tumbuhan bawah lainnya. Setiap spesies tumbuhan
mempunyai suatu kondisi minimum, maksimum dan optimum terhadap faktor
lingkungan yang ada. Spesies yang mendominasi berarti memiliki batasan kisaran
yang lebih luas jika dibandingkan dengan spesies yang lainnya terhadap faktor
lingkungan, sehingga kisaran toleransi yang luas pada faktor lingkungan
menyebabkan spesies ini akan memiliki sebaran yang luas. Adanya spesies yang
mendominasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain persaingan antara
tumbuhan yang ada yaitu berkaitan dengan iklim dan mineral yang diperlukan.
Apabila iklim dan mineral yang dibutuhkan mendukung maka spesies tersebut
akan lebih unggul dan lebih banyak ditemukan (Syafei (1990) diacu dalam
Maisyaroh (2010)).
Tumbuhan bawah yang memiliki nilai INP terendah adalah temu ireng
(Curcuma aeruginosa), codo (Elaeagnus latifolia), anggrek (Macodes sp.) dengan nilai INP sebesar 0,32%. Selanjutnya yaitu piji (Pinanga sp.) dengan nilai INP
0,67% dan patikan emas (Euphorbia hirta) dengan nilai INP 0,96 %.
5.5 Keanekaragaman spesies (H’)
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh keanekaragaman spesies untuk
Gambar 5 Keanekaragaman spesies pada semua tingkat tumbuhan di lokasi penelitian Tahura R. Soerjo.
Berdasarkan Gambar 5, menunjukkan besarnya nilai keanekaragaman
spesies tumbuhan pada tingkat pohon sebesar 2,5; tiang dengan keanekaragaman
spesies sebesar 2,7; pancang dengan keanekaragaman spesies sebesar 2.6; semai
yang mempunyai nilai keanekaragaman sebesar 2,6 dan tumbuhan bawah dengan
keanekaragaman spesies sebesar 2,2. Apabila derajat keanekaragaman (H’) dalam
suatu komunitas <1 maka keanekaragamanya rendah, 1≤ H’ ≤3
keanekaragamannya sedang, dan H’>3 maka keanekaragamannya tinggi
(Shannon-Wiener (1963) diacu dalam Fachrul (2008)). Berdasarkan keterangan
tersebut, maka keanekaragaman spesies yang terdapat pada lokasi penelitian
tergolong memiliki tingkat keanekaragaman spesies yang sedang.
Tingkat keanekaragaman spesies menunjukkan tingkat kestabilan suatu
komunitas hutan. Semakin tinggi tingkat keanekaragaman tersebut maka semakin
tinggi pula tingkat kestabilan suatu komunitas (Whitmore 1990 diacu dalam Kade
et al. 2006). Kestabilan yang tinggi juga menunjukkan kompleksitas yang tinggi. Hal ini terjadi akibat adanya interaksi yang tinggi sehingga akan mempunyai
kemampuan yang lebih tinggi dalam menghadapi gangguan yang terjadi. Menurut
Odum (1993) diacu dalam Maisyaroh (2010) keanekaragaman spesies penyusun
komunitas tumbuhan pada suatu tempat merupakan hasil interaksi dari beberapa
faktor. Faktor yang pertama adalah waktu, keanekaragaman spesies dalam suatu
komunitas tumbuhan merupakan hasil dari evolusi sehingga keanekaragaman
spesies tergantung pada panjang waktu. Faktor kedua adalah heterogenitas ruang,
ada. Semakin heterogen dan kompleks suatu lingkungan maka keanekaragaman
spesies penyusun komunitas semakin meningkat. Faktor yang ketiga adalah
adanya persaingan diantara individu dalam suatu komunitas yang merupakan
salah satu bagian dari seleksi alam. Oleh karena itu, spesies penyusun komunitas
yang ada pada suatu waktu merupakan spesies yang mampu bersaing. Faktor yang
keempat adalah predasi, adanya spesies tertentu yang dimakan oleh herbivora
berarti akan mengurangi persaingan. Pemangsaan dan parasitisme dalam
lingkungan akan cenderung untuk membatasi kelimpahan spesies tertentu dan
dengan demikian akan mempersulit spesies untuk menambah kerapatan
populasinya. Faktor yang kelima adalah stabilitas lingkungan, pada lingkungan
yang stabil akan menghasilkan spesies yang lebih banyak. Oleh karena itu, pada
daerah tropis yang mempunyai iklim lebih stabil memiliki keanekaragaman
spesies yang lebih tinggi daripada daerah yang berilklim sedang dan kutub. Faktor
yang keenam adalah produktivitas, faktor ini berhubungan dengan stabilitas iklim.
Pada daerah yang mempunyai iklim stabil maka akan mempunyai produktivitas
yang tinggi dengan keanekaragaman yang tinggi pula.
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa keanekaragaman spesies di
Tahura R. Soerjo khusunya di lokasi penelitian memiliki keanekaragam spesies
yang sedang. Kondisi tersebut memungkinkan pada masa yang akan datang
Tahura R. Soerjo masih memiliki ketersediaan plasma nutfah. Hal ini dikarenakan
pohon-pohon yang ada sekarang masih mempunyai semai yang dapat berguna
bagi regenerasi spesies untuk masa kedepannya.
Disisi lain, tumbuhan pada tingkat semai mempunyai kerentanan yang
cukup tinggi terhadap gangguan baik dari manusia maupun alam. Gangguan dari
alam seperti angin, longsor, dan tumbangnya pohon sehingga menimpa semai
yang dapat menyebabkan semai mati. Masyarakat yang tinggal berdekatan dengan
kawasan Tahura R. Soerjo sering memanfaatkan rumput dan tumbuh-tumbuhan
lain sebagai pakan ternak. Hal ini akan berdampak buruk terhadap kondisi semai
di dalam kawasan karena kebanyakan masyarakat dalam mengambil rumput tidak
mengerti tentang tumbuhan yang mereka ambil. Oleh karena itu, diperlukan
5.6 Kemerataan individu spesies (Evenness)
Nilai indeks kemerataan individu di dalam spesies (Evenness) untuk
masing-masing tingkatan tumbuhan tersaji pada Gambar 6.
Gambar 6 Kemerataan spesies di lokasi penelitian Taman Hutan Raya R. Soerjo.
Indeks kemerataan digunakan untuk mengetahui kemerataan penyebaran
individu suatu spesies dalam komunitas. Berdasarkan hasil perhitungan seperti
yang tersaji pada Gambar 6 di atas diketahui nilai indeks kemerataan spesies pada
setiap tingkat tumbuhan di lokasi penelitian yaitu untuk tingkat pohon sebesar
0.809, tiang sebesar 0.873, pancang 0.899, semai sebesar 0.829, dan tingkat
tumbuhan bawah sebesar 0.683. Menurut Krebs (1978) nilai indeks kemerataan
yang mendekati satu menunjukkan bahwa suatu komunitas tumbuhan semakin
merata, sementara apabila semakin mendekati nol, maka semakin tidak merata.
Berdasarkan hal tersebut maka nilai indeks kemerataan yang paling tinggi terdapat
pada tingkat pancang sedangkan untuk indeks kemerataan yang paling rendah
yaitu pada tingkat tumbuhan bawah. Indeks kemerataan yang paling tinggi
menunjukkan bahwa individu-individu spesiesnya lebih merata dibandingkan
dengan tingkat tumbuhan yang lain. Sedangkan untuk tingkat tumbuhan yang
memiliki nilai indeks kemerataan rendah menunjukkan bahwa penyebaran
individu-individu spesiesnya kurang merata dan terkonsentrasi pada beberapa
5.2 Potensi Tumbuhan Berguna di Taman Hutan Raya R. Soerjo
Berdasarkan hasil analisis vegetasi teridentifikasi 37 (74 %) spesies dari 28
famili yang telah diketahui kegunaannya yaitu sebagai tumbuhan obat; tumbuhan
penghasil pangan; tumbuhan penghasil bahan bangunan; tumbuhan penghasil
pakan ternak; tumbuhan hias; tumbuhan penghasil pewarna dan tanin; tumbuhan
sebagai tali, anyaman dan kerajinan; tumbuhan penghasil pestisida nabati; dan
tumbuhan penghasil kayu bakar seperti yang tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil rekapitulasi kelompok kegunaan
No. Kelompok Kegunaan Tumbuhan Jumlah
(Spesies) Habitus Famili
1. Tumbuhan penghasil obat 16 3 15
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa spesies yang ditemukan paling
banyak berguna sebagai tumbuhan obat yaitu sebanyak 16 spesies dari 15 famili
dan dengan 3 habitus. Sedangkan, spesies yang paling sedikit diketahui
kegunaannya yaitu sebagai kayu bakar dengan 2 spesies dari 2 famili dan dari 2
habitus. Hasil dari rekapitulasi ditemukan tumbuhan yang potensial yaitu suatu
spesies tumbuhan yang memiliki berbagai macam kegunaan (manfaat) yaitu
anggrung (Trema orientalis) dari famili Ulmaceae yang memiliki kegunaan untuk bahan obat, bahan bangunan, pewarna dan tanin, bahan pangan, kayu bakar, untuk
anyaman, tali dan kerajinan. anggrung (T. orientalis) juga potensial untuk dikembangkan karena tumbuhan ini merupakan salah satu spesies yang dapat
tumbuh dengan cepat.
5.2.1. Tumbuhan obat
Hasil dari analisis vegetasi diperoleh 16 spesies dari 15 famili yang
berpotensi mempunyai khasiat sebagai tumbuhan obat. Spesies-spesies tersebut
terdiri dari 3 habitus yaitu pohon, semak, dan terna. Pada spesies yang berhabitus
kukrup (Engelhardia spicata), genitri (Elaeocarpus sphaericus), pasang abang (Lithocarpus elegans), dan anggrung (Trema orientalis). Spesies yang berhabitus semak berjumlah 3 spesies yaitu remejun (Euphatorium riparium), suruhan (Piper miniatum), dan sebra (Rubus fraxinifolius). Habitus Terna berjumlah 9 spesies yaitu terdiri dari spesies kacang-kacangan (Clitoria ternatea), corok bathok (Bidens pilosa), pakis (Diplazium esculentum), temu ireng (Curcuma aeruginosa), pelapis (Selaginella plana), kecutan (Oxalis corniculata), tebu sawur (Polygonum chinense), patikan emas (Euphorbia hirta) dan lempuyangan (Globba marantina). Contoh mengenai khasiat tumbuhan-tumbuhan tersebut sebagai bahan obat hasil identifikasi berdasarkan Heyne (1987) dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Daftar beberapa spesies tumbuhan berguna sebagai obat
No. Nama Spesies Bagian yang
digunakan Jenis penyakit 1 Anggrung (Trema orientalis) Akar Penyakit saluran kencing
Sakit perut 2 Kacang-kacangan (Clitoria ternatea) Akar
Daun
4 Pelapis (Selaginella plana) Seluruh bagian Pembekuan darah Pembersih darah Menguatkan lambung 5 Sebra (Rubus Fraxinifolius) Daun Disentri
6 Tebu sawur (Polygonum chinense) Batang (cairan) Daun muda
Obat mata
7 Lempuyangan (Globba marantina) Tunas (bulbil) Menambah nafsu makan 8 Temu ireng (Curcuma aeruginosa) Rimpang
Akar
Perawatan setelah Melahirkan, Penyakit kulit
9 Pakis (Diplazium esculentum) Akar Menghilangkan bau keringat 10 Kecutan (Oxalis corniculata) Seluruh bagian Penyakit kulit, Sariawan, Bau
mulut, Obat mata, Sakit perut
Berdasarkan data pada Tabel 5 di atas diketahui spesies yang memiliki
khasiat menyembuhkan banyak penyakit yaitu spesies kecutan (Oxalis corniculata) yang dapat menyembuhkan penyakit kulit, sariawan, bau mulut, sakit mata, dan sakit perut. Cara penggunaan spesies ini untuk menyembuhkan penyakit
mulut dan sakit mata dapat dilakukan dengan cara spesies kecutan (Oxalis corniculata) digerus dengan air dan diperas airnya, kemudian digunakan untuk obat kumur. Menurut Kathiriya et al. (2010) ekstrak etanol dari tumbuhan Oxalis corniculata efektif digunakan untuk menghambat pertumbuhan sel tumor. Selain itu menurut Kathiriya et al. (2010) tanaman Oxalis corniculata mengandung vitamin C dan dapat digunakan dalam pengobatan penyakit kudis.
Remejun (Euphatorium riparium) merupakan salah satu tumbuhan obat yang berkhasiat sebagai peluruh air seni. Menurut Heyne (1987) tumbuhan ini
merupakan spesies eksotik yang berasal dari Meksiko. Pada lokasi penelitian
spesies Euphatorium riparium merupakan spesies yang ditemukan dalam jumlah yang paling banyak. Menurut Shen et al. (2005) spesies Euphatorium riparium
dapat digunakan sebagai obat antimalaria, antifungi, antiinflarmasi, antikanker,
antihistamin, hepatoprotektor, dan immunostimulan. Selanjutnya, menurut
Abdiyani (2008) spesies Euphatorium riparium mempunyai kemampuan beradaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungannya karena tidak memerlukan
syarat kesuburan tanah yang tinggi. Selain itu, persebaran dari spesies ini
dilakukan dengan bantuan angin karena bijinya ringan dan banyak. Namun,
seringkali spesies ini mendesak spesies yang lain karena pertumbuhannya yang
sangat cepat.
Spesies tebu sawur (Polygonum chinense) dapat digunakan dalam pengobatan terhadap gangguan pencernaan seperti diare dan disentri, selain itu
juga dapat digunakan untuk mengobati penyakit pernafasan. Rebusan herba segar
digunakan sebagai obat kumur untuk mengobati penyakit sariawan dan rebusan
akarnya dapat bermanfaat untuk ibu yang sedang menyusui (Patil 2009).
Spesies anggrung (Trema orientalis) telah banyak digunakan sebagai obat oleh rakyat di Afrika untuk penyakit asma, batuk, dysenteria, dan hipertensi (IWU
1993 diacu dalam Tchamo et al. 2001). Selain itu, spesies ini juga telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar Taman Nasional Meru Betiri untuk
mengobati penyakit demam dan sakit perut dengan menggunakan bagian kulit
batang dan akarnya (Heriyanto & Subiandono 2007).
Spesies lain yang berguna sebagai tumbuhan obat yaitu temu ireng
(Curcuma aeruginosa) secara empiris digunakan sebagai obat tradisional yaitu untuk mengobati penyakit rematik, asma, dan batuk. Sedangkan, menurut Balittro
(2006) temu ireng (Curcuma aeruginosa) dapat digunakan mengobati sel-sel hati yang rusak pada penderita demam berdarah. Selain itu juga dapat dimanfaatkan
untuk mengobati luka lambung dan usus, asma, batuk, menambah nafsu makan,
mempercepat pengeluaran lokhia setelah melahirkan, mencegah obesitas, rematik,
antihelmintik, dan sebagai sumber tepung. Selanjutnya, di dalam temu ireng
(Curcuma aeruginosa) mengandung minyak atsiri (turmeron dan zingiberene), kurkuminoid, alkaloid, saponin, pati, damar, dan lemak. Menurut Heyne (1987)
rimpang dari spesies Curcuma aeruginosa dapat digunakan untuk melancarakan pembersihan pada wanita yang sedang nifas. Selain itu juga dapat digunakan
sebagai obat luar atau dalam terhadap penyakit kulit. Dalimartha (2003) juga
menambahkan bahwa rimpang temu ireng (Curcuma aeruginosa) juga dapat digunakan sebagai obat peluruh kentut (karminatif).
Menurut Daisy dan Rajathi (2009) tanaman Clitoria ternatea dapat digunakan untuk mengobati demam berdarah, bronkhitis, asma. Selain itu, spesies
ini juga digunakan sebagai penawar untuk gigitan ular dan kalajengking
menyengat. Selain itu, menurut Kelemu et al. (2004) diacu dalam Salhan et al.
(2011) tanaman Clitoria ternatea memiliki kegunaan sebagai antimikroba dan insektisida, anti-depresan,anti-stres, anti-diabetes, dan penenang. Menurut Heyne
(1987) akar dari Clitoria ternatea dapat digunakan untuk membersihkan darah yaitu dengan cara merebus akaranya kemudian diminum. Daun dan bunga yang
berwarna biru dari Clitoria ternatea dapat digunakan untuk mengobati bengkak dan bisul supaya pecah setelah ditumbuk dan dicampur dengan gula jawa.
Spesies lain yang memiliki manfaat sebagai tumbuhan obat yaitu corok
bathok (Bidens pilosa) yang memiliki manfaat sebagai antiradang, antibiotik, diuretik, dan antidiabetes (Brandão et al. 1998 diacu dalam Chiang et al. 2004). Menurut Heyne (1987) spesies ini dapat digunakan untuk mengobati sakit mata,
digunakan untuk obat tetes mata terhadap konjungtivitis berat. Manfaat lain dari
spesies Globba marantina menurut Heyne (1987) adalah digunakan untuk menambah nafsu makan. Contoh spesies tumbuhan yang memiliki potensi sebagai
tumbuhan obat tersaji pada Gambar 7.
(a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 7. Beberapa spesies tumbuhan obat (a) Tebu sawur (Polygonum chinense), (b) Kecutan (Oxalis corniculata), (c) Remejun (Euphatorium riparium), (d) Suruhan(Piper miniatum).
Dewasa ini, semakin banyak masyarakat yang menggunakan tumbuhan obat
sebagai bahan untuk mengobati penyakit. Hal ini merupakan prospek yang sangat
baik untuk mengembangkan industri pembuatan obat dari tumbuhan obat. Namun,
sampai saat ini kendalanya adalah bahan bakunya yang masih mengambil dari
alam. Jika hal ini berlangsung secara terus menerus maka besar kemungkinan
akan terjadi kesulitan mencari bahan baku karena persediaan di alam semakin
sedikit. Oleh karena itu, untuk pengembangan produksi pembuatan obat herbal
perlu dilakukan upaya budidaya tumbuhan obat. Menurut Hasanah dan Rusmin
1. Menggunakan benih yang berasal dari biji (true seed) seperti pada tanaman sambiloto (Andrographis paniculata), mahkota dewa (Phaleria macrocarpa), dan lain-lain.
2. Menggunakan rimpang seperti pada jahe (Zingiber officinale), kunyit (Curcuma domestica), kencur (Kaempheria galanga), dan lain-lain.
3. Menggunakan setek seperti pada sirih (Piper betle), katuk (Sauropus androgynus), dan lain-lain.
4. Menggunakan anakan dan stolon seperti pada serai wangi (Andropogon nardus) dan pegagan (Centella asiatica).
Spesies tumbuhan obat yang terdapat di Tahura R. Soerjo dapat diperbanyak
(dibudidayakan) dan kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan,
hal ini dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sehingga masyarakat tidak
hanya mendapatkan pendapatan dari bercocok tanam di lahan yang lebih layak
dijadikan sebagai areal hutan. Namun, masyarakat juga bisa memproduksi obat
dari bahan tanaman obat yang sudah dibudidaya tersebut.
5.2.2 Tumbuhan penghasil pangan
Menurut Saparinto dan Hidayati (2006) pengertian pangan adalah segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang
tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
manusia. Berdasarkan hasil analisis vegetasi di lokasi penelitian ditemukan 14
spesies terdiri dari 12 famili yang berpotensi sebagai bahan pangan.
Spesies-spesies yang telah teridentifikasi sebagai tumbuhan penghasil pangan terdiri dari
habitus yaitu pohon sebesar 35,71 %, terna 35,71 %, dan semak 28,58 %. Contoh
spesies yang memiliki potensi sebagai tumbuhan penghasil pangan hasil dari
identifikasi berdasarkan Heyne (1987) tercantum pada Tabel 6.
Tabel 6 Daftar spesies tumbuhan penghasil pangan
No. Nama Lokal Nama Spesies Bagian yang
digunakan Keterangan 1 Ketupuk Claoxylon longifolium Daun
tangkai muda
Diolah 2 Anggrung Trema orientalis Daun Diolah
Tabel 6 Lanjutan
No. Nama Lokal Nama Spesies Bagian yang
digunakan Keterangan 5 Codo Elaeagnus latifolia Buah Dikonsumsi langsung 6 Sebra Rubus Fraxinifolius Buah Dikonsumsi langsung 7 Tebu sawur Polygonum chinense. Batang Dikonsumsi langsung 8 Patikan emas Euphorbia hirta Daun muda Dikonsumsi langsung 9 Pakis Diplazium esculentum Daun muda Diolah
10 Ri bandel Rubus chrysopyllus Buah Dikonsumsi langsung
Di dalam pemanfaatan spesies tumbuhan penghasil bahan pangan di atas
dapat di konsumsi secara langsung (tanpa pengolahan) atau dengan cara diolah
terlebih dahulu. Spesies yang dalam pemanfaatannya dapat langsung dikosumsi
adalah tebu sawur (Polygonum chinense) yang menurut French (2006) mengandung vitamin c di dalam daunnya, gebut (Aneilema nodiflorum), corok bathok (Bidens pilosa), patikan emas (Euphorbia hirta), codo (Elaeagnus latifolia), sebra (Rubus Fraxinifolius), dan ri bandel (Rubus chrysopyllus). Sedangkan spesies yang jika dikonsumsi diolah terlebih dahulu menjadi sayur
adalah ketupuk (Claoxylon longifolium), pakis (Diplazium esculentum), dan anggrung (Trema orientalis). Menurut Heyne (1927) diacu dalam Setyawan (2009) di wilayah Jawa Barat tunas muda dari spesies Selaginella plana dapat dimakan sebagai sayuran dan untuk tujuan pengobatan.
Menurut Irawan et al. (2006) pakis (Diplazium esculentum) merupakan sumber protein yang baik. Sedangkan menurut Handique (1993) diacu dalam
Irawan et al. (2006) daun muda Diplazium esculentum memilliki kandungan vitamin C yang tinggi. Selain itu, daun muda dari spesies ini juga memiliki
kandungan lemak yang sangat rendah. Namun, kekurangan dari spesies ini adalah
kondisinya yang cepat rusak selama proses transportasi oleh karena itu dibutuhkan
pengemasan yang baik sehingga tidak terjadi kerusakan pada saat proses
transportasi .
Spesies ri bandel (Rubus chrysophyllus) memiliki rasa yang paling enak jika dibandingan spesies dari famili Rosaceae lainnya. Hal ini membuat ri bandel
memiliki rasa yang tidak begitu manis. Namun, buah tersebut telah dimanfaatkan
oleh masyarakat Indonesia sehingga spesies ini juga potensial untuk
dikembangkan, spesies ini juga dapat sebagai bahan obat (Surya 2009).
Tumbuhan penghasil bahan pangan selanjutnya adalah anggrung (Trema orientalis). Menurut Heyne (1987) daunnya dapat digunakan sebagai bahan pangan. Selain itu, menurut Orwa et al. (2009) daun dan buah dari Trema orientalis digunakan untuk makanan di Republik Demokratik Kongo. Selanjutnya, di dalam daun Trema orientalis terdapat kandungan protein.
Spesies yang potensial dijadikan penghasil bahan pangan lainnya adalah
codo (Elaeagnus latifolia) dengan bagian yang digunakan adalah buah. Menurut Patel et al. (2008) masyarakat di Meghalaya memanfaatkan buah dari Elaeagnus latifolia sebagai buah segar. Selanjutnya, spesies Elaeagnus latifolia memiliki kandungan vitamin, mineral, dan senyawa bioaktif lainnya. Selain itu, spesies ini
juga mengandung asam lemak esensial yang tidak biasa terdapat dalam buah.
Tanaman ini dapat ditanam pada lahan yang mengandung unsur hara yang kurang
baik dan masam. Berikut ini merupakan contoh beberapa tumbuhan yang
memiliki potensi sebagai bahan pangan tersaji pada Gambar 8.
(a) (b)
Gambar 8. Contoh spesies tumbuhan penghasil bahan pangan : (a) Ri bandel (Rubus chrysophyllus), (b) Pelapis(Selaginella plana),
5.2.3 Tumbuhan untuk bahan bangunan
Berdasarkan hasil analisis vegetasi ditemukan 15 spesies dari 13 famili yang
berpotansi sebagai bahan bangunan. Spesies tersebut terdiri dari satu habitus yaitu
pohon. Contoh tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan bahan bangunan hasil
Tabel 7 Daftar spesies tumbuhan penghasil bahan bangunan
No. Nama Lokal Nama Spesies Bagian yang
digunakan Keterangan 1 Pasang Quercus sundaica Batang Bangunan rumah 2 Ketupuk Claoxylon longifolium. Batang Bangunan rumah 3 Cemara Gunung Casuarina junghuhniana Batang Bangunan rumah 4 Anggrung Trema orientalis Batang Digunakan untuk
tiang penyangga atap 5 Nyampuh gunung Neonauclea excelsa Batang Digunakan untuk
pintu dan jendela 6 Katesan Macropanax dispermus Batang Konstruksi rumah
Spesies tumbuhan yang berpotensi sebagai bahan bangunan adalah pasang
(Quercus sundaica). Tumbuhan ini berhabitus pohon, di dalam hutan spesies ini terkadang tumbuh berkelompok dan kadang-kadang tersebar. Spesies ini memiliki
kayu yang agak berat, agak keras dan terkadang digunakan sebagai bahan
pembangunan rumah. Di dalam pengerjaannya spesies pasang (Q. sundaica) memiliki kayu yang agak keras, sukar digergaji dan diserut, namun mudah
dibelah. Kayu dari spesies ini cocok untuk balok pada bangunan perumahan dan
jembatan, selain itu juga cocok digunakan untuk papan dan tiang. Selanjutnya
spesies pasang juga dapat digunakan untuk batang cikar dan tangkai peralatan.
Spesies lain yang masih satu famili dengan spesies Quercus sundaica yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan yaitu pasang abang (Lithocarpus elegans) yang menurut Martawijaya et al. (2005) memiliki kelas awet II-IV. Spesies
Lithocarpus elegans dapat digunakan sebagai balok pada bangunan perumahan dan jembatan dan juga dapat digunakan untuk batang cikar dan tangkai peralatan
(Martawijaya et al. 2005). Menurut Mandang dan Pandit (2002) kayu dari spesies
Quercus sundaica dan Lithocarpus elegans memiliki berat jenis yang sedang sampai berat dengan berat jenis rata-rata 0,83 (0,72-0,96) dan termasuk kayu yang
memiliki kelas awet II serta kelas kuat I-II. Kedua spesies ini dapat digunakan
sebagai bahan bangunan perumahan (tiang dan balok), jembatan, tangkai
peralatan, lantai, dan perabot rumah tangga.
Spesies lainnya adalah cemara gunung (Casuarina junghuhniana) yang sifat kayunya masih baik jika digunakan dalam pertukangan. Kayu dari spesies ini
berwarna coklat mudaatau berwarna daging sampai agak merah tua