• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Spasial Deforestasi Periode 2000-2013 Di Kphp Poigar, Provinsi Sulawesi Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Spasial Deforestasi Periode 2000-2013 Di Kphp Poigar, Provinsi Sulawesi Utara"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL SPASIAL DEFORESTASI PERIODE 2000-2013 DI

KPHP POIGAR, PROVINSI SULAWESI UTARA

AFANDI AHMAD

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar, Provinsi Sulawesi Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016

Afandi Ahmad

(4)

RINGKASAN

AFANDI AHMAD. Model Spasial Deforestasi Periode 2000-2013 di KPHP Poigar, Provinsi Sulawesi Utara. Dibimbing oleh MUHAMMAD BUCE SALEH dan TEDDY RUSOLONO.

Hutan merupakan bagian dari ekosistem yang menyediakan jasa lingkungan bagi satu kesatuan ekosistem. Penurunan fungsi hutan dalam suatu ekosistem terjadi salah satunya karena deforestasi. Penelitian ini bertujuan menganalisis deforestasi dan faktor yang mempengaruhi deforestasi di KPHP Poigar. Metode analisis deforestasi yaitu dengan analisis perubahan tutupan hutan menjadi tutupan bukan hutan dengan teknik post classification comparison. Analisis faktor

penyebab deforestasi dilakukan dengan pembangunan model spasial deforestasi menggunakan model regresi logistik biner.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa total penurunan luas kelas tutupan hutan dari periode 2000 sampai 2007 yakni sebesar 7 918.41 hektar (19 %), kemudian pada 2013 penurunan luas kelas tutupan hutan sebesar 4 735.19 hektar (11 %) sehingga total penurunan luas tutupan hutan sampai periode 2013 sebesar 12 668.2 hektar. Perubahan tutupan hutan sebagian besar terjadi akibat konversi hutan menjadi lahan perkebunan.

Hasil analisis penyebab deforestasi di KPHP Poigar dipengaruhi oleh enam faktor yaitu jarak dari jalan, jarak dari pemukiman, jarak dari sungai, kepadatan penduduk, ketinggian tempat dan kemiringan lereng. Faktor kepadatan penduduk merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap deforestasi dengan nilai V sebesar 0.674. Model spasial deforestasi dengan regresi logistik dibangun menggunakan lima peubah penjelas yaitu jarak dari jalan, jarak dari sungai, kepadatan penduduk, ketinggian tempat dan kemiringan lereng. Persamaan regresi logistik yang dihasilkan adalah Logit (Deforestasi) = 0.6054 – 0.000787(ketinggian tempat) – 0.448363(jarak dari jalan) – 0.231288(jarak dari sungai) + 0.001038(kemiringan lereng) + 0.001692(kepadatan penduduk). Hasil analisis model spasial deforestasi menunjukkan bahwa kepadatan penduduk dan infrastruktur jaringan jalan merupakan faktor kunci yang mempengaruhi deforestasi di KPHP Poigar.

Model spasial deforestasi mampu memprediksi kejadian deforestasi di KPHP Poigar dengan tingkat akurasi sebesar 58 % secara spasial. Kajian mengenai deforestasi di kawasan hutan dapat membantu dalam perumusan opsi pengelolaan kawasan pada blok/petak pengelolaan. Rekomendasi pengelolaan blok di kawasan KPHP Poigar yang diusulkan dalam penelitian ini terdiri atas HTI (1 blok), HTR (2 blok), HKM (1 blok) dan H-mitra (4 blok) serta kegiatan rehabilitasi dan perlindungan pada kawasan lindung.

(5)

SUMMARY

AFANDI AHMAD. Spatial Modeling of Deforestation Period 2000-2013 at FMU of Poigar, North Sulawesi Province. Supervised by MUHAMMAD BUCE SALEH and TEDDY RUSOLONO.

Forest is a part of the ecosystem that provides environmental services.

Deforestation may decreased forest function in an ecosystem. This study aimed to analyze deforestation and driving forces of deforestation in forest management unit (FMU) of Poigar. Deforestation analysis carried out by analyze change of forest cover into non-forest cover with post classification comparison technique. Driving forces of deforestation carried out by analyze of spatial modeling using binary logistic regression models (LRM).

Results of deforestation analysis showed that loss of forest cover during 2000 to 2007 amounted to 7 918.41 hectares (19 %), then at the 2013 forest loss amounted to 4 735 hectares (11 %). Total of forest lost during 2000 to 2013 amounted to 12 668.2 hectares. Change in forest cover mostly occur due to conversion of forest to coconut, quarrel or cocoa plantation.

Deforestation in FMU of Poigar caused by six factors there are distance forest cover from the road, distance from the settlement, distance from the river, population density, altitude and slope. Logistic regression model was built using five explanatory variables there are the distance from the road, distance from the river, population density, elevation and slope. The resulting regression logistic equation is Logit (Deforestation) = 0.6054 – 0.000787(elevation) – 0.448363(distance from road) – 0.231288(distance from river) + 0.001038(slope) + 0.001692(population density). Population density and accessibility founded as the most influented factor caused deforestation in FMU of Poigar.

Prediction of deforestation could explained about 58 % of actual deforestation spatially. Study of deforestation in forest areas could help in the formulation of management options in the area of the block management. Recommendations for FMU of Poigar proposed in this study consisted of forest plantation (1 block), community plantation forest (2 blocks), the state owned commmunity forest (1 block) and forest partnership (4 blocks) as well as the rehabilitation and protection of the protected area.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

MODEL SPASIAL DEFORESTASI PERIODE 2000-2013 DI

KPHP POIGAR, PROVINSI SULAWESI UTARA

AFANDI AHMAD

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Model Spasial Deforestasi Periode 2000–2013 di KPHP Poigar, Provinsi Sulawesi Utara

Nama : Afandi Ahmad

NIM : E151130051

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Muhammad Buce Saleh, MS Ketua

Dr Ir Teddy Rusolono, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

Dr Tatang Tiryana S Hut MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

(10)

PRAKATA

Alhamdulillahi Rabbil’alamin. Tuhan seru sekalian alam, puji syukur hanya untuk Allah Subhanahu wata’ala, karena atas nikmat dan karunia-Nya yang masih memberikan kesempatatan bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini, dengan Model Spasial Deforestasi Periode 2000-2013 di KPHP Poigar, Provinsi Sulawesi Utara yang dilaksanakan mulai bulan Mei sampai September 2015. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada makhluk seru sekalian alam sebagai teladan bagi kehidupan kita yakni Nabi Muhammad Shalallahu ’alaihi wasallam, kepada keluarga serta sahabatnya. Semoga dengan selalu bershalawat bisa menjadikan hidup lebih dekat dengan akhlak yang beliau ajarkan kepada umatnya di dunia.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Muhammad Buce Saleh, MS dan Bapak Dr Ir Teddy Rusolono, MS selaku komisi pembimbing yang dengan sabarr memberikan arahan dan motivasi kepada penulis. Kepada Bapak Dr Ir Omo Rusdiana, MSc F Trop selaku dosen penguji pada ujian tertutup atas waktu serta saran dan masukan untuk hasil penelitian ini. Disamping itu, terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa selama penulis menempuh studi Magister di Sekolah Pascasarjana IPB, serta Kepala dan staf unit KPHP Poigar, Provinsi Sulawesi Utara yang telah membantu selama proses penelitian lapangan di kawasan KPHP Poigar. Ucapan terima kasih juga untuk teman-teman Program Studi Ilmu pengelolaan Hutan angkatan 2013 untuk kebersamaan dan kekompakan kita selama menempuh studi di IPB.

Ungkapan terima kasih dan penghagaan penulis sampaikan kepada orang tua, istri dan anak yang telah sabar dan tanpa henti memanjatkan doa serta memberikan dukungan selama penulis menempuh studi di IPB.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2016

(11)

DAFTAR ISI

Pengolahan Citra Digital dan Deteksi Deforestasi 7

Faktor Pemicu Deforestasi 7

Model Spasial Deforestasi KPHP Poigar 15

Validasi Model Spasial Deforestasi 18

1 Jenis data yang digunakan dalam penelitian 5

2 Analisis peubah penjelas model spasial deforestasi 9

3 Keeratan hubungan antara peubah penjelas dan variabel terikat 13

4 Korelasi sederhana peubah penjelas 15

5 Parameter statistik model hasil regresi logistik biner 15

6 Koefisien regresi model spasial deforestasi 16

7 Perbandingan luas hutan aktual dan hasil prediksi 19

(12)

DAFTAR GAMBAR

1 Kawasan hutan KPHP Poigar Provinsi Sulawesi Utara 5

2 Bagan alur penelitian 6

3 Tutupan lahan di KPHP Poigar periode 2000, 2007 dan 2013 11

4 Deforestasi periode 2000–2007 di KPHP Poigar 12

5 Faktor pendorong deforestasi untuk pembangunan model 14

6 Sebaran peluang deforestasi periode 2000–2007 16

7 Peluang deforestasi 2000–2013 19

8 Prediksi deforestasi (a) dan deforestasi aktual periode 2000–2013 (b) 20 9 Luas tutupan lahan yang menggantikan hutan (%) tahun 2000–2007 (a),

2007–2013 (b) 21

(13)
(14)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengelolaan hutan saat ini telah berkembang dari pengelolaan ekosistem hutan menjadi pengelolaan hutan berbasis ekosistem. Hutan menciptakan kondisi ekosistem yang mampu menyediakan jasa lingkungan untuk ekosistem yang ada disekitarnya. Penurunan fungsi hutan menjadi ancaman bagi sebuah ekosistem. Salah satu penyebab menurunnya fungsi hutan adalah deforestasi. Deforestasi merupakan kegiatan perubahan tutupan hutan menjadi bukan hutan yang berdampak pada penurunan fungsi ekosistem hutan (Turner et al. 2007). Definisi

deforestasi menurut FAO (2000) adalah konversi hutan menjadi penggunaan lain dengan penutupan tajuk di bawah 10 persen. Deforestasi telah menjadi masalah nasional karena berdampak terhadap kondisi perekonomian nasional, kesejahteraan masyarakat dan ancaman keanekaragaman hayati yang terkandung di dalam hutan (Nawir dan Rumboko 2008). Deforestasi menyebabkan terjadinya degradasi lahan sehingga menurunkan kualitas dan produktivitas lahan tersebut. Selain itu, deforestasi menyebabken hilangnya habitat alami flora dan fauna endemik.

Deforestasi terjadi karena faktor alami berupa perubahan iklim atau bencana alam atau faktor aktivitas/gangguan manusia (antropogenik). Deforestasi yang terjadi akibat peristiwa alam dapat berupa kejadian cuaca ekstrim, kekeringan dan kebakaran hutan (Eckert et al. 2015). Aktivitas manusia menjadi penyebab yang

paling berkontribusi terhadap terjadinya deforestasi dan dapat berkaitan langsung dengan aktor atau pelakunya (Geist dan Lambin 2002). Penyebab deforestasi oleh aktivitas manusia tidak dapat dilihat hanya berdasarkan agen/pelaku tunggal melainkan cenderung terdapat keterkaitan antar pelaku dan adanya penyebab yang mendasari (Sunderlin dan Resosudarmo 1997; Angelsen dan Kaimowitz 1999; Geist dan Lambin 2002). Lebih rinci Sunderlin dan Resosudarmo (1997) meyatakan bahwa penyebab deforestasi terbagi atas tiga tingkatan penyebab yaitu tingkat pertama adalah pelaku (actor) yang merupakan pihak yang melakukan

deforestasi (petani/perambah hutan, HTI atau perusahaan HPH dan perkebunan), kedua penyebab langsung yakni parameter yang mempengaruhi keputusan atau perilaku pelaku (harga komoditi, aksesibilitas, pasar, perkembangan teknologi dan kebudayaan) dan tingkatan ketiga adalah penyebab yang mendasari (underlying causes) adalah kekuatan pada tingkat nasional, regional maupun global yang

berpengaruh terhadap penyebab langsung (parameter). Penyebab yang mendasari (underlying causes) terjadinya deforestasi dapat berupa kondisi penduduk

(demografi), kondisi ekonomi, teknologi, kebijakan/kelembagaan dan faktor sosial-politik dan kebudayaan (Geist dan Lambin 2002; Entwisle et al. 2008).

Deforestasi yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh faktor penyebab langsung berupa perambahan kawasan hutan, penebangan liar dan kebakaran hutan, selain itu deforestasi juga terjadi karena adanya penyebab tidak langsung yaitu kegagalan kebijakan, kegagalan pasar berupa rendahnya harga kayu dan persoalan sosial ekonomi dan politik dalam negeri (Nawir dan Rumboko 2008).

Deforestasi bervariasi berdasarkan sebaran, luas, pola dan laju terjadinya (Kumar et al. 2014). Kajian mengenai deforestasi penting dilakukan untuk

(15)

2

menyebabkan terjadinya deforestasi (Turner et al. 2007). Selain itu, dengan

memahami laju deforestasi dan faktor-faktor penyebabnya maka dapat direncanakan bentuk pengelolaan hutan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari (Panta et al. 2008). Salah satu kajian deforetasi yang terus

berkembang adalah pemodelan spasial yaitu pembangunan sebuah model deforestasi dengan peubah-peubah yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab terjadinya deforestasi. Penggabungan antara model deforestasi dan analisis spasial menghasilkan sebuah model spasial deforestasi yang memberikan gambaran mengenai lokasi dan sebaran terjadinya deforestasi serta faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya deforestasi (Kumar et al. 2014). Beberapa teknik

pemodelan yang telah digunakan dalam studi deforestasi antara lain model regresi logistik (Mulyanto dan Jaya 2004; Prasetyo et al. 2009; Kumar et al. 2014;

Shehzad et al. 2014), cellular automata (Entwisle et al. 2008) dan ordinary least square regression (Romijn et al. 2013).

Pemanfaatan data penginderaan jauh (remote sensing) berupa citra satelit

multitemporal dapat membantu dalam melakukan analisis deforestasi. Penelitian sebelumnya dengan menggunakan data citra satelit tahunan (annual) untuk

menganalisis laju deforestasi dan degradasi hutan serta melakukan pemantauan perubahan tutupan hutan (Eckert et al. 2015). Penelitian lain digunakan data

multiwaktu dengan titik waktu tertentu untuk membangun sebuah model spasial deforestasi kemudian melakukan prediksi dan validasi hasil pemodelan deforestasi (Wyman dan Stein 2010; Kumar et al. 2014; Shehzad et al. 2014). Selain data

multiwaktu, analisis deforestasi dibedakan berdasarkan unit analisis yang secara umum terbagi atas dua yaitu pixel based dan object based analysis (vektor).

Pendekatan ini berkaitan dengan teknik pemodelan yang digunakan dan variabel-variabel dalam model. Romijn et al. (2013) menggunakan pendekatan vektor

untuk menganalisis pengaruh perbedaan definisi hutan dan deforestasi terhadap besarnya laju deforestasi di Indonesia. Sedangkan, pendekatan dengan pixel based

digunakan untuk menganalisis deforestasi dengan teknik pemodelan berbasis piksel seperti cellular automata (Entwisle et al. 2008) dan regresi logistik (Kumar et al. 2014; Shehzad et al. 2014) untuk melihat pengaruh faktor-faktor yang

mendorong terjadinya deforestasi.

Pemodelan spasial deforestasi menggunakan regresi logistik perlu memperhatikan faktor-faktor penyebab deforestasi yang menjadi peubah-peubah dari sebuah model spasial yaitu penyebab terdekat dan penyebab yang mendasari (Ludeke et al. 1990; Prasetyo et al. 2009; Siles 2009; Getahun et al. 2013; Kumar et al. 2014; Shehzad et al. 2014). Regresi logistik digunakan untuk menilai tingkat

pengaruh dari variabel penjelas tentang perubahan hutan dan untuk memprediksi kemungkinan deforestasi (Kumar et al. 2014). Analisis deforestasi yang

disebabkan oleh aktivitas manusia (antropogenik) dipengaruhi oleh peubah-peubah dari faktor terdekat antara lain jarak hutan dari jalan (aksesibilitas), jarak dari rumah dan pusat-pusat pemukiman, infrastruktur transportasi berupa jalan dan jaringan sungai dan karakter biofisik lahan meliputi tingkat kesuburan tanah, topografi, ketersediaan sumber air dan kondisi vegetasi (Ludeke et al. 1990; Geist

dan Lambin 2002; Mulyanto dan Jaya 2004; Wyman dan Stein 2010).

(16)

3

6/2007 untuk membentuk unit pengelolaan hutan tingkat tapak dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Menurut Kartodihardjo et al. (2011) KPH

menjadi lembaga pengelola kawasan hutan di tingkat tapak untuk meningkatkan pembangunan kehutanan melalui pengelolaan yang intensif dan memantapkan kawasan hutan. KPHP Poigar adalah salah satu KPH yang dibentuk di Provinsi Sulawesi Utara melalui surat keputusan Menteri Kehutanan nomor SK. 788/Menhut-II/2009 tanggal 7 Desember 2009 dalam bentuk lembaga UPTD di bawah pemerintah Provinsi Sulawesi Utara. Kawasan hutan yang merupakan areal kerja KPHP Poigar terdiri atas kawasan dengan status hutan lindung (HL), hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan produksi (HP). Luas kawasan hutan KPHP Poigar adalah 41 597 ha yang terletak di dua kabupaten yaitu Kabupaten Minahasa Selatan dan Kabupaten Bolaang Mongondow. Kawasan hutan KPHP Poigar merupakan kawasan yang terpecah-pecah (fragmented area) serta memiliki

tingkat akesibilitas yang tinggi. Aksesibilitas tersebut berupa jalan bekas perusahaan HPH PT. Tembaru Budi Pratama yang pernah beroperasi di kawasan KPHP Poigar. Selain itu kondisi open access dan tekanan terhadap keberadaan

hutan di KPHP Poigar sangat tinggi sehingga memungkinkan terjadinya deforestasi. Oleh karena itu penelitian ini akan dilaksanakan di kawasan hutan KPHP Poigar menggunakan model regresi logistik dengan variabel berupa faktor terdekat dan faktor yang mendasari terjadinya deforestasi.

Perumusan Masalah

Kondisi kawasan hutan di KPHP Poigar yang terpisah-pisah (fragmented area) serta memiliki aksesibilitas tinggi menjadi peluang terjadinya aktivitas

ilegal di dalam kawasan hutan. Selain itu, 80% kawasan hutan di KPHP Poigar adalah hutan produksi (HP). Berbagai kondisi ini semakin memungkinkan terjadinya deforestasi di dalam kawasan hutan KPHP Poigar.

Pemodelan spasial deforestasi sebagai upaya untuk melakukan analisis dan penilaian deforestasi akan memberikan informasi mengenai sebaran spasial dan penyebab yang mendorong terjadinya deforestasi di kawasan hutan yang dikelola oleh KPHP Poigar. Model spasial regresi logistik digunakan untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi deforestasi dan dapat dilakukan untuk prediksi kejadian deforestasi. Panta et al. (2008) mengemukakan bahwa dengan

mengetahui laju deforestasi dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya deforestasi maka dapat dirancang bentuk pengelolaan yang mampu mewujudkan pengelolaan hutan dan sumber daya alam hayati yang lestari. Diharapkan hasil penelitian ini mampu memberikan informasi deforestasi yang terjadi di KPHP Poigar.

Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis deforestasi yang terjadi di kawasan hutan KPHP Poigar. Kajian analisis deforestasi yang akan dilakukan antara lain laju deforestasi dan faktor-faktor penyebab baik penyebab terdekat atau penyebab yang mendasari terjadinya deforestasi. Pertanyaan penelitian ini adalah:

1. Bagaimana deforestasi yang terjadi di KPHP Poigar selama periode 2000-2013?

(17)

4

Tujuan

Berdasarkan permasalahan di atas maka tujuan utama penelitian ini adalah membangun model deforestasi di kawasan hutan KPHP Poigar. Untuk memenuhi tujuan utama tersebut maka terdapat beberapa tujuan khusus yang ingin dicapai antara lain:

1. Menganalisis deforestasi di KPHP Poigar selama periode 2000-2013 2. Membangun model spasial deforestasi di areal KPHP Poigar.

3. Menganalisis faktor-faktor pendorong terjadinya deforestasi di KPHP Poigar.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian model spasial deforestasi di KPHP Poigar diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai fenomena deforestasi dan faktor-faktor yang menyebabkan deforestasi di tingkat KPH. Hasil penelitian juga dapat memberikan masukan terhadap pengelolaan kawasan hutan KPHP Poigar di masa yang akan datang.

2

METODE

Kerangka Pemikiran

Aktivitas ilegal penyebab deforestasi di KPHP Poigar mengancam kelestarian dan fungsi ekosistem hutan di DAS Poigar. Kondisi ini memerlukan usaha untuk menekan laju deforestasi agar kelestarian hutan dapat terjaga. Analisis deforestasi memberikan informasi mengenai laju deforestasi dan faktor-faktor penyebabnya. Deforestasi akan dianalisis pada periode 2000-2013 menggunakan data citra digital Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8 OLI. Terjadinya deforestasi disebabkan oleh dua faktor yaitu penyebab terdekat yang merupakan penyebab langsung deforestasi dan penyebab yang mendasari.

Penelitian ini akan menganalisis deforestasi yang terjadi selama periode 2000-2013 di kawasan hutan KPHP Poigar serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya deforestasi. Meskipun organisasi KPHP Poigar baru terbentuk pada tahun 2009 melalui SK Menteri Kehutanan nomor SK. 788/Menhut-II/2009 tanggal 7 Desember 2009 namun deforestasi yang akan dianalisis adalah periode 2000-2013 agar dapat diketahui tren deforestasi yang terjadi di kawasan tersebut. Analisis deforestasi menggunakan metode change detection yaitu dengan teknik post classification comparison. Menurut Singh

(1989) post classification comparison adalah teknik untuk menganalisis

(18)

5

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam dua tahapan penelitian, pertama pengamatan jenis tutupan lahan di kawasan KPHP Poigar, Kabupaten Minahasa Selatan dan Bolaang Mongondow selama bulan Maret sampai April 2015. Tahap kedua yaitu analisis deforestasi dan pembangunan model spasial pada bulan Mei sampai Agustus 2015 di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan SIG Fakultas Kehutanan IPB.

Gambar 1 Kawasan hutan KPHP Poigar Provinsi Sulawesi Utara

Data dan Perangkat Analisis

Jenis data yang digunakan dalam penelitian terdiri atas data primer dan sekunder (Tabel 1). Data primer berupa citra digital Landsat yang digunakan yakni citra Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8 OLI serta citra DEM untuk data lereng. Data sekunder berupa data batas areal KPHP Poigar, data jaringan jalan, data jaringan sungai, data batas administrasi dan data kependudukan Kabupaten Minahasa Selatan dan Bolaang Mongondow.

Tabel 1 Jenis data yang digunakan dalam penelitian

Jenis Data Sumber

Citra Landsat 7 ETM+ tahun 2000,

2007 dan OLI tahun 2013 Portal Earth Explorer http://earthexplorer.usgs.gov/

Digital Elevation Model (DEM)

Layer batas areal KPHP Poigar Peta Batas Kawasan KPHP Poigar berdasarkan SK. 788/Menhut-II/2009

Layer jaringan jalan Badan Informasi Geospasial Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:50 000 tahun 2000 dan 2008

Layer jaringan sungai

Data spasial desa Kabupaten

Minahasa dan Bolaang Mongondow Data Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik tahun 2010 Data Kependudukan Kabupaten

Minahasa dan Minahasa Selatan Kecamatan Dalam Angka Kabupaten Minahasa dan Minahasa Selatan tahun 2000, 2007 dan 2013 Data Kependudukan Kabupaten

(19)

6

Alat yang digunakan dalam penelitian terdiri atas peralatan untuk survey lapangan berupa GPS receiver, kamera, tallysheet. Sedangkan perangkat analisis

dan pengolahan citra digital yakni perangkat lunak ERDAS Imagine 9.1 untuk

pengolahan citra digital, ArcGIS 9.3 untuk analisis tutupan lahan dan deforestasi, IDRISI Selva untuk pembangunan model spasial deforestasi dan perangkat lunak spreadsheet.

Analisis Data

Analisis data diawali dengan interpretasi visual citra digital. Hasil interpretasi citra selanjutnya dianalisis untuk melihat deforestasi pada masing-masing periode. Hasil analisis deforestasi periode 2000 dan 2007 digunakan dalam pembangunan model spasial deforestasi. Alur penelitian tersaji pada Gambar 2.

(20)

7

Pengolahan Citra Digital dan Deteksi Deforestasi

Analisis citra digital Landsat dilakukan untuk analisis deforestasi yang terjadi pada tahun 2000, 2007 dan 2013. Klasifikasi tutupan lahan untuk analisis deforestasi yang digunakan adalah klasifikasi visual (on screen digitation).

Klasifikasi visual dilakukan berdasarkan hasil pengamatan lapangan. Citra rekaman tahun 2013 diinterpretasi terlebih dahulu untuk dijadikan data refrensi dalam interpretasi citra tahun 2007 dan 2000. Sensor Scan Line Corrector (SLC)

Citra Landsat 7 ETM+ mengalami kegagalan operasi sejak tahun 2003 sehingga menyebabkan terjadinnya stripping pada produk Citra Landsat 7 ETM+ yang dihasilkan. Data citra Landsat 7 ETM+ tahun 2007 dilakukan perbaikan strip

yakni dengan menambahkan data citra Landsat 7 ETM+ tahun 2007 rekaman bulan Oktober.

Hasil klasifikasi terdiri atas dua kelas tutupan lahan yaitu hutan dan bukan hutan. Hutan didefiniskan sebagai suatu areal yang didominasi pepohonan yang memiliki tutupan tajuk mencapai 10 persen dari luas minimal 0.5 hektar dengan definisi ini maka areal dengan tutupan berupa belukar masuk dalam kelas hutan (FAO 2000). Deteksi deforestasi perlu dibatasi dengan menetapkan definisi deforestasi. Definisi deforestasi yang digunakan dalam penelitian ini yakni mengacu pada definisi FAO (2000) yaitu konversi tutupan hutan menjadi penggunaan lahan selain hutan dengan penutupan tajuk di bawah 10 persen dari luas 0.5 hektar secara permanen sedangkan penurunan atau perubahan penutupan hutan di atas 10 persen didefinisikan sebaga degradasi.

Analisis deforestasi dengan metode deteksi perubahan yaitu dengan teknik

post classification comparison yaitu dengan melakukan analisis perubahan

tutupan hutan menjadi bukan hutan yang berasal dari hasil klasifikasi citra tahun 2000 dan 2007. Hasil deteksi deforestasi akan menghasilkan data deforestasi dengan nilai biner yaitu nilai 0 (tidak terjadi deforestasi) dan nilai 1 (terjadi deforestasi) yang akan digunakan sebagai variabel terikat pada model regresi logistik.

Faktor Pemicu Deforestasi

Faktor pemicu deforestasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang tergolong sebagai faktor tidak langsung (proximity causes).

Identifikasi faktor pemicu deforestasi didasari terhadap dugaan awal, studi literatur dan kaitannya dengan ketersediaan data khususnya data spasial.

Landasan pembangunan model prediksi deforestasi adalah asumsi bahwa terdapat hubungan antara deforestasi dengan sejumlah faktor pemicu. Beberapa peubah yang diduga menjadi pemicu deforestasi di KPHP Poigar antara lain: 1. Kepadatan Penduduk

Faktor kepadatan penduduk suatu wilayah mempunyai pengaruh terhadap potensi kerusakan lingkungan. Semakin tinggi kepadatan penduduk maka semakin tinggi kebutuhan masyarakat terhadap ketersediaan lahan. Beberapa hasil penelitian terkait kepadatan penduduk terhadap deforestasi yaitu oleh Entwisle et al. (2008) dan Prasetyo et al. (2009) yang menyatakan bahwa

faktor penduduk berpengaruh terhadap terjadinya deforestasi. 2. Jarak Dari Jaringan Jalan

(21)

8

Mulyanto dan Jaya (2004); Perez-Verdin et al. (2009); Wyman dan Stein

(2010); Kumar et al. (2014) menunjukkan bahwa faktor kedekatan areal hutan

dari jaringan jalan berpengaruh terhadap deforestasi. 3. Jarak Dari Jaringan Sungai

Jaringan sungai juga termasuk dalam faktor aksesibilitas. Jaringan sungai berfungsi sebagai sumber air namun di beberapa lokasi, jaringan sungai dapat berfungsi sebagai jaringan jalan. Wyman dan Stein (2010); Chen et al. (2015)

menyatakan bahwa deforestasi dan degradasi hutan terjadi karena faktor kedekatan jarak areal hutan dengan jaringan sungai.

4. Jarak Dari Pemukiman

Salah satu faktor yang menjadi pendorong kejadian deforestasi adalah faktor yang dikategorikan sebagai faktor antropogenik atau akibat aktivitas manusia. Faktor jarak hutan dari pemukiman menjadi salah satu peubah penjelas yang digunakan dalam penelitian ini untuk pembangunan model spasial deforestasi. Arekhi (2011) menyatakan bahwa perubahan tutupan hutan dipengaruhi oleh kedekatan jarak dengan pusat pemukiman

5. Ketinggian Tempat

Faktor ketinggian tempat berpengaruh terhadap deforestasi dengan asumsi bahwa semakin rendah ketinggian suatu areal hutan maka akan mingkatkan peluang terjadinya deforestasi. Hal ini didasarkan atas beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa faktor ketinggian tempat berbanding terbalik terhadap kejadian deforestasi (Arekhi 2011; Kumar et al. 2014)

6. Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng berkaitan dengan kondisi biofisik lahan. Areal hutan yang memiliki kemiringan lereng kemungkinan kecil untuk terdeforestasi. Hasil penelitian Kumar et al. (2014) menyatakan bahwa peluang deforestasi akan

meningkat pada areal yang relatif landai. Model Spasial Deforestasi

Model spasial untuk mengetahui faktor-faktor penyebab deforestasi menggunakan model regresi logistik. Analisis regresi logistik digunakan untuk menguji apakah probabilitas terjadinya variabel deforestasi dapat diprediksi dengan peubah penjelasnya. Penelitian ini menggunakan variabel tidak bebas berupa nilai biner (0 = tidak terjadi deforestasi dan 1 = terjadi deforestasi) yang merupakan hasil analisis deforestasi berupa data raster sebaran kejadian deforestasi periode 2000 sampai 2007. Peubah penjelas berupa faktor-faktor penyebab deforestasi dianalisis menggunakan euclidean distance untuk variabel

jarak dari jalan, pemukiman, dan sungai. Analisis grid map pada variabel

kepadatan penduduk didapatkan dari data vektor kemudian dikonversi menjadi data raaster dengan ukuran piksel 30 m (Tabel 2).

Pembangunan model spasial melibatkan lebih dari satu peubah penjelas. Menard (2002) menyatakan bahwa perlu dilakukan uji multikolinieritas untuk melihat hubungan linier yang terjadi antar peubah penjelas. Pengujian multikolinieritas dilihat berdasarkan korelasi linier antar peubah penjelas. Penelitian ini menggunakan ambang batas koefisien korelasi yaitu 0.65, nilai korelasi lebih besar dari ambang batas menunjukkan adanya korelasi antar peubah (Aguayo et al. 2007).

(22)

9

penjelas dan variabel terikat (Eastman 2012; Kumar et al. 2014). Hasil uji derajat

keeratan hubungan antara peubah penjelas dan terikat menghasilkan nilai Cramer’s V yang berkisar antara 0 sampai 1, peubah penjelas dikatakan berpengaruh signifikan apabila nilai p value sebesar 0.00 (Eastman 2012).

Meskipun analisis Cramer’s V menunjukkan derajat keeratan hubungan antara peubah penjelas dan terikat namun untuk menganalisis pengaruh peubah penjelas terhadap variabel terikat dilakukan dengan analisis regresi logistik biner.

Selanjutnya akan dilakukan pembangunan model spasial deforestasi menggunakan regresi logistik. Persamaan regresi logistik yang menggambarkan peubah terikat dengan peubah penjelas adalah sebagai berikut (Menard 2002):

p E e pe p Persamaan 1

Nilai p merupakan peluang terjadinya deforestasi dimana ≤ p ≥ , E(Y) adalah nilai harapan peubah Y, adalah konstanta dan adalah koefisien regresi Persamaan 1 kemudian ditransformasi sebagai berikut:

logit p log e p-p Persamaan 2

Hasil transformasi Persamaan 2 menjadi sebagai berikut:

logit p Persamaan 3

Tabel 2 Analisis peubah penjelas model spasial deforestasi

Variabel Analisis Satuan

X1 = jarak dari jalan Euclidean distance kilometer (km)

X2 = jarak dari pemukiman Euclidean distance kilometer (km)

X3 = jarak dari sungai Euclidean distance kilometer (km)

X4 = kepadatan penduduk Grid map 30 m jiwa/km2

X5 = ketinggian tempat Grid map 30 m mdpl

X6 = kemiringan lereng Grid map 30 m persen (%)

Regresi logistik menggunakan modul LOGISTICREG pada perangkat lunak IDRISI versi 17. Metode yang digunakan untuk membangun model menggunakan modul LOGISTICREG yaitu dengan metode stepwise. Tahap pertama

pembangunan model menggunakan satu variabel. Tahap berikutnya menggunakan dua variabel hingga tahap akhir (tahap ke-6) menggunakan enam variabel yang diproses secara bersamaan untuk membangun model regresi logistik biner. Parameter statistik hasil model menggunakan LOGISTICREG antara lain:

a. -2logL0 : model regresi logistik dengan hanya menggunakan nilai konstanta tanpa peubah penjelas

b. -2logL(likelihood) : model regresi logistik yang menggunakan nilai konstanta

dan peubah penjelas

Berdasarkan dua parameter tersebut maka akan dihitung nilai pseudo R2 yaitu

dengan persamaan (Menard 2002):

(23)

10

Ayalew dan Yamagishi (2005) menyatakan bahwa pemilihan model terbaik dapat dilihat berdasarkan nilai model chi-square yang merupakan selisih antara -2logL

dengan nilai -2logL0, nilai goodness of fit terkecil, pseudo R2 lebih besar dari 0.2 dan nilai ROC (Relative Operating Characteristic) semakin mendekati nilai 1

(nilai ROC antara 0 sampai 1) maka model tersebut dapat dikatakan baik.

Model deforestasi yang dibangun dengan menggunakan data pada periode periode 2000 sampai 2007 digunakan untuk memprediksi deforestasi yang terjadi pada periode 2007 sampai 2013. Prediksi dilakukan dengan mengganti peubah penjelas yang bersifat dinamis (berubah-ubah) yang memicu kejadian deforestasi di KPHP Poigar yaitu peubah jarak dari jalan (X1) dan kepadatan penduduk (X4). Hasil prediksi deforestasi akan divalidasi dengan deforestasi aktual periode 2000 sampai 2013 hasil analisis deforestasi berdasarkan citra dijital dan diuji tingkat akurasinya.

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Wilayah Penelitian

Wilayah KPHP Poigar secara administrasi terletak di Kabupaten Minahasa Selatan dan Kabupaten Bolaang Mongondow. Total luas unit pengelolaan KPHP Poigar adalah 41 597 hektar. Luas kawasan yang masuk dalam Kabupaten Bolaang Mongondow sebesar 25.014 hektar (60,1%) dan Kabupaten Minahasa Selatan sebesar 16 583 hektar (39.9 %). Kawasan KPHP Poigar memiliki areal yang terpecah–pecah dan dipisahkan oleh jaringan jalan trans Sulawesi dan jalan provinsi yang menghubungkan kabupaten Bolaang Mongndow dan Minahasa Selatan. Daerah sekitar kawasan KPHP Poigar juga banyak terdapat jaringan jalan lokal yang menjadi penghubung antar desa serta akses menuju areal perkebunan masyarakat.

Status kawasan yang berbatasan dengan kawasan KPHP Poigar terdiri atas status cagar alam dan area penggunaan lain (DEPHUT 2007). Kawasan cagar alam merupakan bagian dari Cagar Alam Gunung Ambang yang dikelola oleh BKSDA Provinsi Sulawesi Utara. Sementara itu, areal penggunaan lain (APL) disekitar KPHP telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai areal pemukiman, sawah serta lahan pertanian dan perkebunan.

Penduduk yang berada di sekitar kawasan KPHP Poigar mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Teknik pengolahan lahan secara tradisional seringkali belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga masih masyarakat memerlukan alternatif sumber pendapatan lain. Kondisi tersebut menjadikan masyarakat desa sekitar hutan memilih menjadi buruh penebang kayu atau perambah hutan. Namun, produktivitas yang rendah serta lemahnya pemasaran mengakibatkan rendahnya pendapatan masyarakat sekitar kawasan.

Deforestasi di KPHP Poigar

(24)

11

tutupan lahan menunjukkan terdapat enam tutupan lahan yang berada di kawasan KPHP Poigar (Gambar 3).

(25)

12

Gambar 4 Deforestasi periode 2000–2007 di KPHP Poigar

Berdasarkan Gambar 4, deforestasi terjadi sebagian besar pada areal yang berstatus hutan produksi (HP) dan hutan produksi terbatas (HPT) yang lokasinya dekat dengan batas kawasan hutan KPHP Poigar. Operasional perusahaan HPH di kawasan KPHP Poigar yang telah berhenti menyebabkan beberapa area menjadi mudah diakses. Deforestasi menyebabkan perubahan tutupan hutan menjadi perkebunan, pemukiman, pertanian, semak dan tanah terbuka. Hasil analisis perubahan tutupan lahan di kawasan KPHP Poigar menunjukkan bahwa pada periode 2000 sampai 2007 telah terjadi penurunan luas tutupan hutan seluas 5 156.5 hektar (12 %). Selain itu, penurunan luas tutupan berupa belukar seluas 2 776.6 hektar (6.7 %) sehingga total penurunan areal hutan mencapai luas 7 933.05 hektar (19 %). Persentase deforestasi yang terjadi di kawasan KPHP Poigar pada periode 2000 sampai 2007 lebih besar jika dibandingkan dengan yang terjadi di kawasan KPH Malinau yang hanya sebesar 1.44 persen pada periode 2000–2005 hasil kajian Navratil (2013).

(26)

13

tanah terbuka terjadi pada areal yang sudah di lakukan land clearing namun

belum digarap oleh masyarakat dan dapat juga berupa tempat pengumpulan kayu. Faktor yang menyebabkan tingginya aktivitas masyarakat ke dalam kawasan hutan adalah aksesibilitas berupa jalan setapak yang masih bisa dilalui oleh kendaraan roda dua atau kendaraan tradisional. Bahkan areal KPHP Poigar yang masuk dalam daerah administrasi Kabupaten Minahasa Selatan, terdapat jalan lintas provinsi yang melintasi kawasan hutan KPHP Poigar. Hasil pengamatan lapangan juga menunjukkan di beberapa tempat terdapat pemukiman yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan bahkan terdapat pemukiman yang masuk ke kawasan hutan.

Faktor pemicu deforestasi

Pembentukan model spasial deforestasi di KPHP Poigar periode 2000–2007 dilakukan dengan menggunakan enam faktor yang terdiri dari aspek aksesibilitas (jarak dari jalan, pemukiman dan sungai), aspek biofisik (kemiringan lereng dan elevasi) dan aspek sosial (kepadatan penduduk). Hasil analisis spasial terhadap faktor-faktor pendorong terjadinya deforestasi seperti pada Gambar 5.

Faktor pemicu deforestasi di KPHP Poigar terdiri atas enam faktor yakni aspek aksesibilitas (jarak dari jalan, pemukiman dan sungai), aspek biofisik (kemiringan lereng dan elevasi) dan aspek sosial (kepadatan penduduk). Tahap awal untuk menjalankan model spasial deforestasi adalah melakukan analisis derajat keeratan hubungan antara peubah penjelas terhadap deforestasi untuk pembentukan model (Tabel 3). Hasil analisis Cramer’s V tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Keeratan hubungan antara peubah penjelas dan variabel terikat

Peubah penjelas Cramer’s V p value

Jarak dari jalan 0.598 0.000

Jarak dari pemukiman 0.585 0.000

Kepadatan penduduk 0.674 0.000

Jarak dari sungai 0.506 0.000

Kemiringan lereng 0.536 0.000

Ketinggian tempat 0.418 0.000

Hasil analisis Cramer’s V pada Tabel 3 terlihat bahwa rentang nilai V yaitu

0.4 sampai 0.6 dengan p value 0.00 hal ini menunjukkan bahwa semua peubah

penjelas berpengaruh terhadap variabel terikat. Variabel kepadatan penduduk memiliki derajat hubungan yang paling tinggi dengan nilai V sebesar 0.674

sedangkan hubungan yang kurang erat yaitu peubah ketinggian tempat (elevasi) yakni dengan nilai V sebesar 0.418. Eastman (2012) menyatakan bahwa analisis

(27)

14

Gambar 5 Faktor pendorong deforestasi untuk pembangunan model

(28)

15

jaringan jalan berupa jalan provinsi hingga jalan desa yang telah dibangun pusat pemukiman. Geist dan Lambin (2002) menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur jalan akan diikuti dengan pembangunan pusat-pusat pemukiman dan kondisi ini dapat menjadi pemicu terjadinya deforestasi (proximity causes).

Tabel 4 Korelasi sederhana peubah penjelas

Peubah Penjelas X1 X2 X3 X4 X5 X6

Hasil analisis regresi logistik biner dengan metode stepwise menghasilkan

enam persamaan yang masing-masing dibedakan oleh jumlah variabel yang digunakan dalam model spasial. Tabel 5 menyajikan statistik masing-masing model yang dihasilkan oleh regresi logistik biner.

Tabel 5 Parameter statistik model hasil regresi logistik biner

Statistik model Persamaan

1 2 3 4 5 6

-2logL0 1107950.2 1107950.2 1107950.2 1107950.2 1107950.29 1107950.2 -2log(likelihood) 579293.41 579214.43 524186.40 524021.25 519911.16 517530.42 Pseudo R2 0.477 0.477 0.526 0.527 0.531 0.532 Goodness of Fit 461630.62 461650.53 455116.83 453677.85 450317.92 445605.88 ChiSquare 528656.87 528735.85 583763.88 583929.03 588039.12 590419.86 ROC 0.90 0.90 0.95 0.95 0.95 0.95

Berdasarkan kriteria pemilihan model, hasil analisis Cramer’s V dan uji korelasi maka model terpilih yaitu persamaan menggunakan lima peubah penjelas. Meskipun pada Tabel 5 menunjukkan bahwa persamaan 6 memiliki nilai chi square terbesar dan nilai goodness of fit terkecil namun model ini tidak dipilih

karena terjadi multikolinieritas antar peubah penjelas. Luaran hasil analisis regresi logistik biner menunjukkan nilai chi square sebesar 588 039.12, nilai goodness of fit 450 317.92 serta nilai pseudo R square 0.53 lebih besar dari 0.2 yang

menunjukkan model layak digunakan. Selain itu, nilai ROC model persamaan 5 juga baik yaitu sebesar 0.95. Koefisien regresi untuk model terpilih tersaji pada Tabel 6.

Nilai koefisien ( ) menunjukkan hubungan peubah penjelas terhadap peluang kejadian deforestasi (log odds). Sedangkan tanda positif dan negatif pada

koefisien regresi menunjukkan arah hubungan peubah penjelas terhadap peluang kejadian deforestasi. Mahapatra dan Kant (2005) menyatakan bahwa transformasi nilai koefisien menjadi Exp (odd ratio) untuk memudahkan interpretasi hasil

(29)

16

Tabel 6 Koefisien regresi model spasial deforestasi

Peubah Penjelas Koefisien Exp

Konstanta 0.6054 1.831985

Jarak dari jalan -0.448363 0.638673

Jarak dari sungai -0.231288 0.793511

Kepadatan penduduk 0.001692 1.001693

Ketinggian tempat -0.000787 0.999213

Kemiringan lereng 0.001038 1.001039

Berdasarkan koefisien regresi pada Tabel 6 maka persamaan regresi logistik untuk model spasial deforestasi adalah:

logit p . . . . . .

atau

p e pe p . . . . . . . . . .

. .

Model regresi logistik biner yang dihasilkan menunjukkan bahwa peluang terjadinya deforestasi di KPHP Poigar berkisar antara 0 sampai 0.91 (Gambar 6). Area yang berwarna merah (mendekati nilai 1) menunjukkan tingginya peluang deforestasi pada area tersebut. Luaran analisis model regresi logistik juga menghasilkan nilai ambang batas (threshold) sebesar 0.43 yang artinya bahwa

nilai peluang deforestasi < 0.43 merupakan areal yang tidak terjadi deforestasi sedangkan nilai peluang deforestasi > 0.43 merupakan areal yang terdeforestasi.

(30)

17

Hasil model regresi logistik biner menggunakan lima peubah penjelas menunjukkan pengaruh terhadap variabel terikat. Faktor pertama yang mempengaruhi terjadinya deforestasi adalah faktor ketinggian tempat (elevasi). Hasil analisis regresi logistik biner menunjukkan bahwa semakin rendah elevasi maka peluang deforestasi akan meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien -0.000787). Elevasi pada kawasan KPHP Poigar berkisar antara -5– 1402 mdpl. Nilai ketinggian tempat terdapat nilai yang negatif. Hal ini disebabkan karena kawasan KPHP Poigar terdapat areal berupa hutan mangrove. Faktor ketinggian tempat ditunjang dengan ketersediaan sarana aksesibilitas berupa jalan setapak untuk menjangkau lokasi yang berada di daerah ketinggian. Hasil tinjauan lapangan menunjukkan bahwa areal yang berada didaerah ketinggian cukup sulit dijangkau karena kurangnya akses untuk menuju daerah tersebut. Oleh karena itu, daerah yang berada di ketinggian sebagian besar masih berupa tutupan hutan. Faktor elevasi berpengaruh terhadap kejadian deforestasi dinyatakan juga oleh Agarwal et al. (2005) melalui hasil penelitiannya di Madagaskar.

Faktor yang mempengaruhi deforetasi di KPHP Poigar selanjutnya adalah faktor jarak hutan dari jaringan jalan. Koefisien peubah jarak dari jalan dihasilkan yakni -0.448363 artinya bahwa semakin dekat jarak hutan dengan jaringan jalan maka peluang deforestasi akan semakin besar. Variabel jarak dari jaringan jalan memiliki nilai antara 0 sampai 7.2 kilometer. Kondisi di lapangan juga ditemukan terdapat beberapa jaringan jalan di dalam kawasan hutan yang digunakan oleh masyarakat untuk akses ke dalam kawasan hutan. Jaringan jalan dapat berupa jaringan jalan desa atau jalan setapak yang sering dilalui oleh masyarakat. Keberadaan saran jaringan jalan di dalam kawasan hutan KPHP Poigar dapat menjadi saran untuk melakukan patroli pengamanan kawasan hutan. Sarana jaringan jalan yang sudah ada juga dapat dimanfaatkan oleh KPHP Poigar untuk menjalin kerja sama dengan masyarakat untuk kegiatan pengelolaan hutan kolaboratif.

Temuan penelitian ini sesuai dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya terkait faktor jaringan jalan. Hasil penelitian Mahapatra dan Kant (2005); Arekhi (2011); Kumar et al. (2014) menyatakan bahwa semakin dekat jarak hutan dari

jaringan jalan maka akan meningkatkan peluang deforestasi. Sementara itu, hasil penelitian Deng et al. (2011) menyatakan bahwa jaringan jalan di Jiangxi, Cina

cukup aman dan tidak berpengaruh terhadap deforestasi yang terjadi.

(31)

18

Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan penelitian oleh Wyman dan Stein (2010) yang menyatakan bahwa jaringan sungai berbanding terbalik dengan kejadian deforestasi. Artinya bahwa semakin dekat jarak hutan dengan jaringan sungai maka peluang deforestasi akan meningkat. Wyman dan Stein (2010) juga menyatakan bahwa masyarakat di Belize, Guatemala memilih areal yang dekat dengan jaringan sungai karena memiliki kualitas tanah yang cukup subur sehingga cocok untuk areal budidaya tanaman pertanian.

Peubah penjelas lain dalam membangun model spasial deforestasi yaitu faktor kemiringan lereng. Sebaran kemiringan lereng di KPHP Poigar berkisar antara 0 sampai 246 persen. Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa peluang deforestasi meningkat di areal yang relatif curam. Kondisi ini cukup sesuai karena sebagian besar lahan di KPHP Poigar memiliki kemiringan lereng yang curam dan cukup sulit ditemukan lahan yang landai. Meskipun hasil model menunjukkan bahwa peluang deforestasi terjadi pada lahan yang curam tetapi hal tersebut perlu didukung dengan faktor lain. Hasil temuan dalam penelitian ini terkait dengan faktor kemiringan lereng (slope) tidak sesuai dengan hasil penelitian Kumar et al. (2014) yang menyatakan bahwa peluang deforestasi akan

berkurang pada areal yang memiliki kemiringan lereng yang curam.

Peubah terakhir yang digunakan dalam pembuatan model adalah peubah kepadatan penduduk. Tingkat kepadatan penduduk tergolong dalam aspek sosial penyebab terjadinya deforestasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel ini berbanding lurus dengan kejadian deforestasi di KPHP Poigar. Hal ini terlihat pada koefisien . 01692 yang bernilai positif. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat dinyatakan bahwa pertambahan jumlah penduduk di daerah yang berbatasan langsung dengan KPHP Poigar akan meningkatkan peluang terjadinya deforestasi. Kepadatan penduduk tertinggi pada tahun 2000 terdapat di Desa Mobuya, Kabupaten Bolaang Mongondow yakni sebesar 1 189.89 jiwa/km2 (BPS 2010). Namun, penelitian ini tidak menggunakan peubah kepadatan profesi petani karena keterbatasan data berkala (inkonsistensi). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa kepadatan penduduk suatu daerah akan meningkatkan peluang terjadinya deforestasi (Mahapatra dan Kant 2005; DeFries et al. 2010). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan

penelitian Gorenflo et al. (2011); Getahun et al. (2013) yang menyatakan bahwa

kepadatan penduduk tidak berpengaruh signifikan terhadap deforestasi. Kepadatan penduduk erat kaitannya dengan aktivitas masyarakat di sekitar kawasan hutan. Müller et al. (2011) dan Grecchi et al. (2014) dalam penelitiannya menyatakan

bahwa aktivitas pertanian modern menjadi ancaman bagi eksistensi tutupan hutan. Oleh karena itu, pengelola KPHP Poigar perlu merumuskan program-program pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan agar deforestasi dapat dikendalikan.

Validasi Model Spasial Deforestasi

(32)

19

Kawasan KPHP Poigar terdapat banyak jaringan jalan dan pada beberapa daerah berbatasan langsung dengan kawasan pemukiman.

Gambar 7 Peluang deforestasi 2000–2013

Hasil peta sebaran peluang deforestasi pada Gambar 7 selanjutnya disusun menjadi peta prediksi deforestasi. Sesuai dengan luaran model regresi logistik yaitu ambang batas (threshold) peluang deforestasi sebesar 0.43 maka dapat

dinyatakan bahwa nilai peluang 0<P<0.43 adalah areal yang tidak tedeforestasi dan nilai peluang 0.43<P<1 adalah areal yang tedeforestasi (Gambar 8).

Hasil prediksi deforestasi menunjukkan bahwa luas areal bukan hutan akibat deforestasi lebih kecil dibandingkan luas areal bukan hutan hasil interpretasi citra dijital yakni dengan selisih sebesar 6 037.09 hektar (Tabel 7). Luas total hasil prediksi deforestasi dipengaruhi oleh nilai ambang batas yang digunakan untuk pemisahan antara areal terdeforestasi dan areal yang masih berupa hutan.

Tabel 7 Perbandingan luas hutan aktual dan hasil prediksi

Kelas Tutupan Hutan Luas (Ha)

2000 2007 2013 Prediksi 2013

Hutan 35 842.71 27 909.65 23 174.46 29 212.35

Non Hutan 5 755.89 13 688.95 18 424.14 12 386.25

(33)

20

Gambar 8 Prediksi deforestasi (a) dan deforestasi aktual periode 2000–2013 (b)

Analisis akurasi antara prediksi deforestasi dengan deforestasi sktual menunjukkan bahwa hasil prediksi deforestasi hanya mampu menjelaskan 58 % dari deforestasi aktual. Secara sebaran spasial, hasil prediksi deforestasi dibeberapa areal ditemukan pendugaan deforestasi yang overestimate dan diareal

(34)

21

masuk dalam pembangunan model spasial antara lain faktor mata pencaharian, kondisi ekonomi masyarakat, status kepemilikan lahan.

Analisis penyebab deforestasi dengan pendekatan model spasial yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan tiga faktor penyebab deforestasi yaitu faktor aksesibilitas, faktor biofisik dan faktor sosial. Penyebab deforestasi di lokasi lain dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain selain yang digunakan dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan oleh karakteristik suatu lokasi yang tidak persis sama dengan kondisi di KPHP Poigar. Geist dan Lambin (2002) menyatakan bahwa faktor penyebab deforestasi dapat berasal dari faktor ekonomi, politik dan kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Penelitian ini tidak mengakomodir faktor-faktor tersebut dalam pembangunan model dan analisis faktor penyebab deforestasi karena keterbatasan ketersediaan data.

Arahan Pengelolaan KPHP Poigar

Kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP) Poigar dibentuk dengan tujuan antara lain pengelolaan hutan yang intensif pada tingkat tapak, pemanfaatan hasil hutan secara adil khususnya bagi daerah Kabupaten Boolang Mongondow dan Minahasa Selatan serta peningkatan kemampuan dan kinerja SDM untuk pelayanan publik dibidang kehutanan (DEPHUT 2007). Pencapaian tujuan pengelolaan KPHP Poigar diimplementasikan dalam pembagian 14 blok pengelolaan sesuai dengan fungsi kawasan hutan yang tersebar di KPHP Poigar. Blok atau zonasi pengelolaan KPHP Poigar selanjutnya dianalisis kaitannya dengan kejadian deforestasi di kawasan KPHP Poigar untuk menjadi rekomendasi mengenai opsi manajemen yang tepat diterapkan pada masing-masing blok pengelolaan.

Hasil analisis spasial deforestasi di kawasan KPHP Poigar menunjukkan terjadinya penurunan luas tutupan hutan selama periode 2000–2013 yang dikonversi menjadi tutupan perkebunan monokultur, semak belukar dan tanah terbuka (Gambar 9).

a b

(35)

22

Sebaran spasial deforestasi menunjukkan bahwa kejadian deforestasi banyak tersebar pada kawasan produksi yakni antara lain HP Poigar-Inobonto 1, HP Poigar Inobonto 4, HP Poigar-Inobonto 5, HPT Gunung Lolombulan dan HPT Gunung Sinonsayang. Beberapa blok tersebut terjadi deforestasi di atas 50 persen dari luas masing-masing blok. Sedangkan deforestasi pada kawasan lindung terjadi di HL Gunung Popotelu dan HL Gunung Lolombulan (Gambar 10).

Gambar 10 Deforestasi aktual pada blok pengelolaan KPHP Poigar

Berdasarkan hasil analisis spasial deforestasi serta identifikasi penutupan lahan yang menggantikan tutupan hutan. Selanjutnya akan disusun rekomendasi mengenai opsi-opsi manajemen yang tepat untuk diterapkan di blok-blok pengelolaan KPHP Poigar. Rekomendasi opsi manajemen dikaitkan dengan kejadian deforestasi aktual dan peluang terjadinya deforestasi pada masing-masing blok. Tabel 8 menyajikan rekomendasi opsi pengelolaan yang tepat untuk diterapkan. Opsi tersebut dipilih dari beberapa alternatif yang telah disusun oleh pihak KPHP Poigar.

Tabel 8 Rekomendasi pengelolaan KPHP Poigar

Zonasi Luas

(Ha)

Opsi pengelolaan

Produk Rekomendasi

HL Gunung Bumbungon 1 1 078.22 Rehabilitasi

lahan Jasa lingkungan dan HHBK Rehabilitasi lahan HL Gunung Bumbungon 2 1 587.45 Rehabilitasi

lahan HHBK nira dan enau, sumber air Rehabilitasi lahan HL Gunung Lolombulan 1 205.52 Rehabilitasi

lahan Sumber air dan HHBK Rehabilitasi lahan HL Gunung Popotelu 434.24 Rehabilitasi

lahan

Sumber air dan HHBK

Rehabilitasi lahan HL Torout 524.04 Rehabilitasi

lahan Sumber air dan HHBK Rehabilitasi lahan HLB Tanjung Walinatu 377.67 Rehabilitasi dan

(36)

23

Zonasi Luas

(Ha) pengelolaanOpsi Produk Rekomendasi

hutan bakau perlindungan daerah pesisir

perlindungan HP Inobonto-Poigar 1 6 471.46 IUPHHK

terbatas, HTI,

HPT Gunung Bumbungon 12 327.85 HTI, HTR, HKm dan H-mitra

Kayu bulat dan

HHBK HTI HPT Gunung Lolombulan 491.90 HTR, HKm,

H-mitra Kayu bulat dan HHBK H-mitra HPT Gunung Sinonsayang 3 832.51 HTI, HTR,

HKm, H-mitra kemasyarakatan (HKM), hutan mitra (H-mitra) dan kegiatan rehabilitasi lahan serta perlindungan kawasan. Kawasan HTI diusulkan sebagai opsi pengelolaan blok HPT Gunung Bumbungon karena blok ini merupakan blok yang sangat luas dan masih memiliki areal hutan yang cukup baik. Hasil analisis deforestasi menunjukkan bahwa areal ini masih memiliki tutupan hutan yang baik. Selain itu, zona ini juga memiliki peluang deforestasi yang kecil. Terdapat beberapa jenis lokal yang dapat dibudidayakan untuk pembangunan hutan tanaman yakni cempaka, jabon merah, dan nantu.

Opsi kedua yang menjadi rekomendasi hasil penelitian ini adalah pengelolaan blok dengan hutan kemasyarakatan. Opsi ini tepat untuk diterapkan pada blok HPT Gunung Sinonsayang. Pola hutan kemasyarakatan (HKM) tepat untuk diterapkan karena blok HPT Gunung Sinonsayang merupakan blok yang terpisah (fragmented) dari kawasan KPHP Poigar. Selain itu banyak terdapat

pusat-pusat pemukiman masyarakat yang berada disekitar blok HPT Gunung Sinonsayang. Hasil analisis peluang dan deforestasi aktual juga menunjukkan bahwa blok ini memiliki peluang defoestasi yang tinggi. Hal yang sama juga ditunjukkan pada kejadian defoestasi aktual di HPT Gunung Sinonsayang yakni sebesar 52 persen dari luas blok.

(37)

24

dengan pusat pemukiman dan aktivitas perkebunan masyarakat. Selain itu aksesibilitas dan jangkauan masyarakat sekitar pada blok ini cukup mudah terjangkau karena ditunjang dengan saran jaringan jalan. Faktor pendukung lain untuk menerapkan pengelolaan dengan HTR adalah tersedianya sumber benih unggulan lokal di blok HP Inobonto-Poigar 4 salah satunya yaitu jenis jabon merah.

Rekomendasi selanjutnya yang diusulkan adalah pengelolaan blok dengan hutan kemitraan (H-mitra). Opsi pengelolaan dengan hutan kemitraan dapat diterapkan pada blok HPT Gunung Lolombulan, HP Inobonto-Poigar 1, HP Inobonto-Poigar 2 dan HP Inobonto-Poigar 5. Pengelolaan dengan hutan kemitraan dapat diterapkan salah satunya dengan pola perkebunan agroforestri. Hal ini ditujukan untuk areal-areal yang sudah menjadi areal perkebunan masyarakat. Pengelolaan dengan hutan kemitraan diusulkan karena hasil analisis spasial deforestasi menunjukkan bahwa blok-blok tersebut memiliki kejadian deforestasi aktual yang sangat besar. Selain itu blok pengelolaan ini juga memiliki peluang deforestasi yang tinggi. Oleh karena itu, untuk mengurangi dan upaya mitigasi deforestasi pada blok pengelolaan ini.

Opsi pengelolaan selanjutnya adalah pengelolaan blok yang berfungsi sebagai kawasan lindung. Meskipun kawasan ini ditujukan sebagai kawasan lindung namun blok-blok pengelolaan pada kawasan ini masih ditemukan kejadian deforestasi yang cukup tinggi. Rekomendasi yang diusulkan untuk pengelolaan kawasan lindung di KPHP Poigar adalah rehabilitasi lahan dan perlindungan areal hutan. Kegiatan rehabilitasi ditujukan untuk meningkatkan dan mengoptimalkan fungsi jasa lingkungan kawasan hutan KPHP Poigar. Kegiatan rehabilitasi dapat dilakukan dengan penanaman jenis multi purpose trees (durian,

manggis dan matoa) sehingga pemanfaatannya dapat berupa buah-buahan (HHBK). Target produk yang dihasilkan dari kawasan lindung ini dapat berupa jasa lingkungan perlindungan dan tata air, ekowisata dan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Produk barang dan jasa yang dihasilkan dari kawasan lindung dapat dimaknai oleh masyarakat dan diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan di KPHP Poigar

Rekomendasi pengelolaan kawasan lindung dan produksi di KPHP Poigar disusun berdasarkan potensi dan analisis kerawanan deforestasi. Diharapkan dengan adanya rekomendasi opsi pengelolaan tersebut maka tujuan pengelolaan hutan lestari di KPHP Poigar dapat terwujud. Selain itu, kesejahteraan masyarakat sekitar KPHP Poigar dapat meningkat seiring dengan keberadaan unit KPHP Poigar.

4

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hal yang dapat disimpulkan dalam penelitian ini antara lain:

(38)

25

2. Faktor pendorong deforestasi disebabkan oleh enam faktor yaitu kepadatan penduduk, jarak dari jaringan jalan, jarak dari jaringan sungai, jarak dari pemukiman, ketinggian tempat dan kemiringan lereng

3. Model spasial deforestasi dibentuk menggunakan lima peubah penjelas dengan persamaaan logit (p) = 0.6054 – 0.448363 (x1) – 0.231288 (x3) + 0.001692 (x4) – 0.000787 (x5) + 0.001038 (x6) dan cukup baik untuk digunakan prediksi kejadian deforestasi

4. Opsi pengelolaan yang tepat untuk diterapkan di KPHP Poigar diantaranya adalah HTI (1 blok), HTR (2 blok), HKM (1 blok) dan H-mitra (4 blok) serta kegiatan rehabilitasi dan perlindungan pada kawasan lindung.

Saran

Model spasial deforestasi perlu dicoba menggunakan metode cellular automata. Selain itu faktor–faktor penyebab deforestasi perlu ditambahkan untuk

meningkatkan keterandalan model. Penambahan faktor penyebab deforestasi diharapkan mampu meningkatkan kemampuan model untuk menggambarkan kondisi di lapangan.

Analisis deforestasi dapat dijadikan salah satu instrumen untuk merumuskan opsi pengelolaan di KPHP Poigar. Selain itu, pengelolaan hutan perlu merumuskan pengelolaan kolaboratif dengan masyarakat sekitar kawasan KPHP Poigar. Opsi pengelolaan untuk pengelolaan hutan dengan tujuan produksi perlu disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar agar tujuan pengelolaan hutan lestari dapat tercapai. Pengelolaan kolaboratif dapat berbentuk pola agroforestri untuk meningkatkan fungsi hutan pada areal perkebunan yang telah dibangun oleh masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Agarwal DK, Silander JA, Gelfand AE, Dewar RE, Mickelson JG. 2005. Tropical deforestation in Madagascar: analysis using hierarchical, spatially explicit, Bayesian regression models. Ecological Modelling. 185(1):105-131.

Aguayo MI, Wiegand T, Azócar GD, Wiegand K, Vega CE. 2007. Revealing the driving forces of mid-cities urban growth patterns using spatial modeling: A case study of Los Ángeles, Chile. Ecology and Society. 12(1).

Angelsen A, Kaimowitz D. 1999. Rethinking the causes of deforestation: Lessons from economic models. The World Bank Research Observer. 14(1):73–98.

Arekhi S. 2011. Modeling spatial pattern of deforestation using GIS and logistic regression: A case study of northern Ilam forests, Ilam province, Iran.

African Journal of Biotechnology. 10(72).

Ayalew L, Yamagishi H. 2005. The application of GIS-based logistic regression for landslide susceptibility mapping in the Kakuda-Yahiko Mountains, Central Japan. Geomorphology. 65(1-2):15-31.

(39)

26

Chen G, Powers RP, de Carvalho LMT, Mora B. 2015. Spatiotemporal patterns of tropical deforestation and forest degradation in response to the operation of the Tucuruí hydroelectric dam in the Amazon basin. Applied Geography. 63:1–8.

DeFries RS, Rudel T, Uriarte M, Hansen M. 2010. Deforestation driven by urban population growth and agricultural trade in the twenty-first century.

Nature Geoscience. 3(3):178-181.

Deng X, Huang J, Uchida E, Rozelle S, Gibson J. 2011. Pressure cookers or pressure valves: Do roads lead to deforestation in China? Journal of Environmental Economics and Management. 61(1):79-94.

[DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2007. Rancangan Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Model Poigar Di Wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow dan Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara.

Manado (ID): DEPHUT.

Eastman JR. 2012. IDRISI Selva Tutorial. Worcester (US): Clark University.

Eckert S, Hüsler F, Liniger H, Hodel E. 2015. Trend analysis of MODIS NDVI time series for detecting land degradation and regeneration in Mongolia.

Journal of Arid Environments. 113:16–28.

Entwisle B, Rindfuss RR, Walsh SJ, Page PH. 2008. Population Growth and Its Spatial Distribution as Factors in the Deforestation of Nang Rong, Thailand. Geoforum; journal of physical, human, and regional geosciences. 39(2):879-897.

[FAO] Food And Agricultural Organization. 2000. Forest resources assessment on definitions of forest and forest change. Rome (IT): FAO.

Geist HJ, Lambin EF. 2002. Proximate causes and underlying driving forces of tropical deforestation. BioScience. 52(2):143–150.

Getahun K, Van Rompaey A, Van Turnhout P, Poesen J. 2013. Factors controlling patterns of deforestation in moist evergreen Afromontane forests of Southwest Ethiopia. Forest Ecology and Management. 304:171–

181.

Gorenflo L, Corson C, Chomitz KM, Harper G, Honzák M, Özler B. 2011. Exploring the Association Between People and Deforestation in Madagascar. Di dalam: Cincottal RP dan Gorenflo J, editor. Human

Population: Its Influences on Biological Diversity. New York Springer.

hlm 197–221.

Grecchi RC, Gwyn QHJ, Bénié GB, Formaggio AR, Fahl FC. 2014. Land use and land cover changes in the Brazilian Cerrado: A multidisciplinary approach to assess the impacts of agricultural expansion. Applied Geography. 55:300–312.

Kartodihardjo H, Nugroho B, Putro HR. 2011. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi. Jakarta (ID): Debut Wahana Sinergi.

Kumar R, Nandy S, Agarwal R, Kushwaha SPS. 2014. Forest cover dynamics analysis and prediction modeling using logistic regression model.

Ecological Indicators. 45:444–455.

(40)

27

Mahapatra K, Kant S. 2005. Tropical deforestation: a multinomial logistic model and some country-specific policy prescriptions. Forest Policy and Economics. 7(1):1-24.

Menard S. 2002. Applied Logistic Regression Analysis (Quantitative Applications In The Social Sciences). California (US): Sage Publications.

Müller R, Müller D, Schierhorn F, Gerold G, Pacheco P. 2011. Proximate causes of deforestation in the Bolivian lowlands: an analysis of spatial dynamics.

Regional Environmental Change. 12(3):445-459.

Mulyanto L, Jaya INS. 2004. Analisis spasial degradasi hutan dan deforestasi: Studi kasus di PT. Duta Maju Timber, Sumatera Barat. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 10(1):29–42.

Navratil P. 2013. Telaah Situasi Penutupan Lahan dan Perubahan Penutupan Lahan di Kabupaten Kapuas Hulu dan Malinau, Indonesia. Jakarta (ID):

FORCLIME.

Nawir AA, Rumboko L. 2008. Sejarah dan kondisi deforestasi dan degradasi lahan. Di dalam: Nawir AA, Murniati dan Rumboko L, editor.

Rehabilitasi hutan di Indonesia akan kemanakah arahnya setelah lebih dari tiga dasawarsa? Bogor (ID): CIFOR. hlm 13–32.

Panta M, Kim K, Joshi C. 2008. Temporal mapping of deforestation and forest degradation in Nepal: Applications to forest conservation. Forest Ecology and Management. 256(9):1587-1595.

Perez-Verdin G, Kim YS, Hospodarsky D, Tecle A. 2009. Factors driving deforestation in common-pool resources in northern Mexico. Journal of environmental management. 90(1):331-340.

Prasetyo LB, Kartodihardjo H, Okarda B, Adiwibowo S, Setiawan Y. 2009. Spatial model approach on deforestation of Java Island, Indonesia. Journal of Integrated Field Science.

Romijn E, Ainembabazi JH, Wijaya A, Herold M, Angelsen A, Verchot L, Murdiyarso D. 2013. Exploring different forest definitions and their impact on developing REDD+ reference emission levels: A case study for Indonesia. Environmental Science & Policy. 33:246–259.

Shehzad K, Qamer FM, Murthy M, Abbas S, Bhatta LD. 2014. Deforestation trends and spatial modelling of its drivers in the dry temperate forests of Northern Pakistan – A case study of Chitral. Journal of Mountain Science.

11(5):1192–1207.

Siles NJS. 2009. Spatial modelling and prediction of tropical forest conversion in the Isiboro Sécure National Park and Indigenous Territory (TIPNIS), Bolivia [Tesis]. Enschede (NL): International Institute For

Geo-Information Science And Earth Observation.

Singh A. 1989. Review Article Digital change detection techniques using remotely-sensed data. International Journal of Remote Sensing.

10(6):989-1003.

Sunderlin WD, Resosudarmo IAP. 1997. Laju dan Penyebab Deforestasi di Indonesia: Penelaahan Kerancuan dan Penyelesaiannya. Bogor (ID):

CIFOR.

(41)

28

(42)

29

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Ujung Pandang (Makassar sekarang) pada tanggal 28 Juni 1989, dari pasangan dari Ansar dan Hj. Fatmawati. Penulis adalah putra pertama dari tiga bersaudara. Pada tahun 2013 penulis menikah dengan Nurlita Indah Wahyuni, S.Hut dan telah dikaruniai seorang putra bernama Arendra Khairan Shiddiq (9 Maret 2014). Pendidikan sarjana kehutanan ditempuh di Program Studi Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi dan lulus pada tahun 2012. Penulis pernah bekerja sebagai staf bidang evaluasi dan pelaporan pada Balai Penelitian Kehutanan Manado (BPK Manado) selama tahun 2012 sampai 20 13.

Gambar

Gambar 1 Kawasan hutan KPHP Poigar Provinsi Sulawesi Utara
Gambar 2.
Gambar 3 Tutupan lahan di KPHP Poigar periode 2000, 2007 dan 2013
Gambar 4 Deforestasi periode 2000–2007 di KPHP Poigar
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari laporan keuangan tersebut baik pihak eksternal maupun pihak internal perusahaan dapat meramalkan, membandingkan, dan menilai dampak keuangan yang timbul dari

Dalam rangka penyusunan skripsi untuk menyelesaikan studi Strata 1 di Universitas Negeri Semarang, dengan judul penelitian “ Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Diklat

Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui adanya hubungan antara gangguan kognitif dengan depresi pada lanjut usia demensia di posyandu lansia1. Manfaat Penelitian: Dapat

Lebih lanjut, Lowental (Junus, 1986:19) mengatakan bahwa untuk melihat reaksi dan penerimaan pembaca terhadap suatu karya sastra diperlukan perhatian terhadap iklim

[r]

Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur (Sugiyono, 20011 : 73) atau interview bebas terpimpin ( Suharsimi Arikunto, 1997 :146), yaitu

Struktur hubungan di atas menunjukkan bahwa kompetensi, motivasi, dan komitmen guru berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja guru, serta kinerja guru

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surat Yusuf ayat 13-25 yaitu: akhlak terhadap diri sendiri meliputi.. nilai Jujur,