• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Pemakaian Cangkang Kapsul Alginat sebagai Sediaan Floating dari Metronidazol

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Studi Pemakaian Cangkang Kapsul Alginat sebagai Sediaan Floating dari Metronidazol"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PEMAKAIAN CANGKANG KAPSUL ALGINAT

SEBAGAI SEDIAAN FLOATING DARI METRONIDAZOL

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

OLEH:

ERIC REANDY FREMARD SIMAMORA NIM 101501160

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

STUDI PEMAKAIAN CANGKANG KAPSUL ALGINAT

SEBAGAI SEDIAAN FLOATING DARI METRONIDAZOL

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

OLEH:

ERIC REANDY FREMARD SIMAMORA NIM 101501160

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

STUDI PEMAKAIAN CANGKANG KAPSUL ALGINAT

SEBAGAI SEDIAAN FLOATING DARI METRONIDAZOL

OLEH:

ERIC REANDY FREMARD SIMAMORA NIM 101501160

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 26 Agustus 2014

Pembimbing I,

Drs. David Sinurat, M.Si., Apt. NIP 194912281978031002

Pembimbing II,

Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt. NIP 195201171980031002

Panitia Penguji,

Dra. Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt. NIP 195111021977102001

Drs. David Sinurat, M.Si., Apt. NIP 194912281978031002

Drs. Agusmal Dalimunthe, M.S., Apt. NIP 195406081983031005

Dra. Fat Aminah, M.Sc., Apt. NIP 195011171980022001

Medan, Oktober 2014 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan kasih karunia dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Studi Pemakaian Cangkang Kapsul Alginat sebagai Sediaan Floating dari Metronidazol”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat bagi penulis guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

(5)

Secara khusus penulis mengucapkan rasa terima kasih serta penghargaan yang tulus kepada kedua orangtua tersayang Ayahanda Edward Simamora dan Ibunda Rosmaida Sianturi, S.Pd., yang tidak pernah berhenti mendoakan dan memberikan dukungan kepada penulis baik moril maupun materil. Kepada kedua adik penulis, Mely Cindy Yolanda Simamora dan Indra Wesly Simamora yang selalu mendukung, mendoakan dan memberikan semangat. Kepada teman-teman stambuk 2010 terkasih yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang selalu memberikan doa, dorongan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2014 Penulis,

(6)

STUDI PEMAKAIAN CANGKANG KAPSUL ALGINAT

SEBAGAI SEDIAAN FLOATING DARI METRONIDAZOL

ABSTRAK

Waktu tinggal obat yang singkat dari sediaan konvensional menjadi masalah utama dalam pengobatan tukak lambung yang disebabkan oleh bakteri

Helicobacter pylori, yang mengakibatkan terapi yang diberikan tidak maksimal. Maka perlu dikembangkan sistem penghantaran obat yang dapat bertahan lebih lama di lambung seperti sediaan floating. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat sediaan kapsul keras yang dapat bertahan lebih lama di lambung dengan menggunakan cangkang kapsul alginat.

Pada penelitian ini cangkang kapsul alginat dibuat dari natrium alginat 80 - 120 cP dan natrium alginat 500 - 600 cP. Cangkang kapsul yang telah dibuat selanjutnya dilakukan uji spesifikasi meliputi pengukuran panjang, diameter, volume dan ketebalan. Uji kerapuhan cangkang kapsul menggunakan Capsule shell impact tester. Floating lag time dan floating time diukur pada beaker glass

berisi medium lambung buatan pH 1,2. Uji disolusi dilakukan pada cangkang kapsul alginat berisi metronidazol dengan menggunakan alat disolusi metode dayung dalam medium lambung buatan pH 1,2. Kemudian diukur konsentrasi metronidazol dengan menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 277 nm dalam medium lambung buatan pH 1,2.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa cangkang kapsul alginat yang dibuat dari natrium alginat 500 - 600 cP (0,12 mm) lebih tebal daripada cangkang kapsul alginat yang dibuat dari natrium alginat 80 - 120 cP (0,07 mm). Kedua cangkang kapsul ini juga tidak rapuh. Dari pengukuran floating lag time, kedua cangkang kapsul tersebut langsung mengapung dalam medium lambung buatan pH 1,2 dan

floating time kedua cangkang kapsul alginat ini lebih dari 12 jam. Uji pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat dalam medium lambung buatan pH 1,2 menunjukkan pelepasan sustained release diatas 12 jam. Kinetika pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat mendekati kinetika pelepasan orde nol. Dari hasil penelitian ini menunjukkan cangkang kapsul alginat memiliki potensi untuk digunakan sebagai sediaan sustained release gastroretentive drug delivery system dari metronidazol.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis Penelitian ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Penyakit Peptic Ulcer ... 6

2.1.1 Gambaran umum ... 6

2.1.2 Etiologi penyakit Peptic Ulcer ... 6

(8)

2.1.4 Helicobacter pylori ... 7

2.1.5 Sawar mukosa lambung ... 8

2.2 Drug Delivery System ... 9

2.2.1 Uraian Drug Delivery System ... 9

2.3 Sustained Release Drug Delivery System ... 10

2.4 Gastroretentive Drug Delivery System ... 11

2.4.1 Lambung ... 12

2.5 Floating Drug Delivery System ... 15

2.5.1 Pembagian sistem Floating ... 16

2.5.2 Kandidat obat untuk sediaan Floating ... 17

2.5.3 Keuntungan Floating Drug Delivery System ... 19

2.5.4 Kekurangan Floating Drug Delivery System ... 19

2.6 Metronidazol ... 20

2.6.1 Uraian bahan ... 20

2.6.2 Farmakologi metronidazol ... 21

2.6.3 Farmakokinetik metronidazol ... 21

2.6.4 Efek samping metronidazol ... 22

2.7 Kapsul ... ... 23

2.8 Natrium Alginat ... 24

2.9 Uji Disolusi ... 28

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

3.1 Alat-alat ... 32

3.2 Bahan-bahan ... 32

(9)

3.3.1 Pembuatan pereaksi ... 33

3.3.1.1 Larutan kalsium klorida 0,15 M ... 33

3.3.1.2 Medium cairan lambung buatan tanpa enzim (medium pH 1,2) ... 33

3.3.2 Pembuatan kurva serapan dan kurva kalibrasi metronidazol ... 33

3.3.2.1 Pembuatan larutan induk baku metronidazol 33 3.3.2.2 Pembuatan kurva serapan larutan metronidazol dalam medium cairan lambung buatan (medium pH 1,2) ... 33

3.3.2.3.Pembuatan kurva kalibrasi larutan metronidazol dalam medium cairan lambung buatan (medim pH 1,2) ... 33

3.3.3 Pembuatan cangkang kapsul alginat ... 34

3.3.3.1 Pembuatan larutan alginat ... 34

3.3.3.2 Pembuatan badan cangkang kapsul alginat ... 35

3.3.3.3 Pembuatan tutup cangkang kapsul alginat ... 36

3.3.3.4 Pengeringan cangkang kapsul alginat ... 36

3.3.4 Penentuan spesifikasi cangkang kapsul alginat ... 36

3.3.4.1.Pengukuran panjang dan diameter cangkang kapsul alginat ... 36

3.3.4.2.Pengukuran ketebalan cangkang kapsul alginat 37 3.3.4.3 Penimbangan berat cangkang kapsul alginat ... 37

3.3.4.4 Pengamatan warna cangkang kapsul alginat ... 37

3.3.4.5 Pengukuran volume cangkang kapsul alginat .. 37

3.3.5 Pengisian metronidazol dalam cangkang kapsul alginat ... 37

(10)

3.3.6.1.Cangkang kapsul kosong ... 38

3.3.6.2.Cangkang kapsul berisi (uji ketahanan terhadap tekanan) ... 38

3.3.7 Uji disolusi ... 38

3.3.8 Uji waktu Floating ... 39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

4.1 Penentuan Spesifikasi Cangkang Kapsul Alginat ... 40

4.2 Uji Kerapuhan ... 41

4.2.1 Cangkang kapsul kosong ... 41

4.2.2 Cangkang kapsul berisi (uji ketahanan terhadap tekanan) ... 43

4.3 Uji Pelepasan Metronidazol dari Cangkang Kapsul Alginat . 44 4.4 Kinetika Orde Pelepasan ... 48

4.5 Uji Waktu Floating ... 52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

5.1 Kesimpulan ... 55

5.2 Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Berbagai contoh formulasi bentuk sediaan Floating ... 18

Tabel 2.2 Sediaan Floating yang telah tersedia di pasaran ... 18

Tabel 2.3 Perbandingan asam uronat dalam berbagai spesies alga ... 25

Tabel 4.1 Spesifikasi cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP ... 40

Tabel 4.2 Spesifikasi cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP ... 41

Tabel 4.3 Spesifikasi cangkang kapsul ukuran No. 0 menurut Capsugel Division ... ... 41

Tabel 4.4 Kinetika pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP ... 48

Tabel 4.5 Kinetika pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP ... 49

Tabel 4.6 Kinetika pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP menggunakan ring ... 51

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian ... 5

Gambar 2.1 Gambaran penyakit Peptic Ulcer ... 8

Gambar 2.2 Berbagai metode pendekatan sediaan Gastro Retentive ... 11

Gambar 2.3 Anatomi lambung ... 13

Gambar 2.4 Pola motilitas saluran pencernaan ... 14

Gambar 2.5 Mekanisme Floating ... 16

Gambar 2.6 Struktur alginat ... 26

Gambar 2.7 Tahap-tahap disintegrasi, deagregasi, dan disolusi ketika obat di dalam tubuh ... 29

Gambar 4.1 Uji kerapuhan cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP ... 42

Gambar 4.2 Uji kerapuhan cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP ... 42

Gambar 4.3 Uji kerapuhan cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP berisi metronidazol ... 43

Gambar 4.4 Uji kerapuhan cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP berisi metronidazol ... 44

Gambar 4.5 Grafik pengaruh perbedaan kapsul alginat terhadap pelepasan dari metronidazol dalam medium lambung buatan pH 1,2 ... 44

Gambar 4.6 Grafik pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP dengan atau tanpa ring dalam medium lambung buatan pH 1,2 ... 46

Gambar 4.7 Grafik kinetika orde nol pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP dalam medium lambung buatan pH 1,2 ... 50

(13)
(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Gambar alat pencetak kapsul dan pengering kapsul ... 59

Lampiran 2 Gambar alat-alat uji spesifikasi cangkang kapsul ... 60

Lampiran 3 Gambar alat-alat disolusi ... 61

Lampiran 4 Gambar alat uji kerapuhan ... 62

Lampiran 5 Kurva serapan larutan metronidazol dalam medium lambung buatan pH 1,2 pada konsentrasi 12 mcg/ml ... 63

Lampiran 6 Kurva kalibrasi larutan metronidazol dengan berbagai konsentrasi pada panjang gelombang 277 nm dalam medium lambung buatan pH 1,2 ... 64

Lampiran 7 Data pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP dalam medium lambung buatan pH 1,2 ... 65

Lampiran 8 Data pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP dalam medium lambung buatan pH 1,2 ... 71

Lampiran 9 Data pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP dengan menggunakan ring dalam medium lambung buatan pH 1,2 ... 77

Lampiran 10 Data % kumulatif pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP ... 83

Lampiran 11 Data % kumulatif pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP ... 84

Lampiran 12 Data % kumulatif pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP dengan menggunakan ring ... 85

Lampiran 13 Data AUC pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP ... 86

Lampiran 14 Data AUC pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP ... 87

Lampiran 15 Data AUC pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP menggunakan ring ... 88

(15)

Lampiran 17 Uji Independent Sample T Test AUC pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat dalam medium lambung buatan pH 1,2 ... 90 Lampiran 18 Uji Independent Sample T Test AUC pelepasan

(16)

STUDI PEMAKAIAN CANGKANG KAPSUL ALGINAT

SEBAGAI SEDIAAN FLOATING DARI METRONIDAZOL

ABSTRAK

Waktu tinggal obat yang singkat dari sediaan konvensional menjadi masalah utama dalam pengobatan tukak lambung yang disebabkan oleh bakteri

Helicobacter pylori, yang mengakibatkan terapi yang diberikan tidak maksimal. Maka perlu dikembangkan sistem penghantaran obat yang dapat bertahan lebih lama di lambung seperti sediaan floating. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat sediaan kapsul keras yang dapat bertahan lebih lama di lambung dengan menggunakan cangkang kapsul alginat.

Pada penelitian ini cangkang kapsul alginat dibuat dari natrium alginat 80 - 120 cP dan natrium alginat 500 - 600 cP. Cangkang kapsul yang telah dibuat selanjutnya dilakukan uji spesifikasi meliputi pengukuran panjang, diameter, volume dan ketebalan. Uji kerapuhan cangkang kapsul menggunakan Capsule shell impact tester. Floating lag time dan floating time diukur pada beaker glass

berisi medium lambung buatan pH 1,2. Uji disolusi dilakukan pada cangkang kapsul alginat berisi metronidazol dengan menggunakan alat disolusi metode dayung dalam medium lambung buatan pH 1,2. Kemudian diukur konsentrasi metronidazol dengan menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 277 nm dalam medium lambung buatan pH 1,2.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa cangkang kapsul alginat yang dibuat dari natrium alginat 500 - 600 cP (0,12 mm) lebih tebal daripada cangkang kapsul alginat yang dibuat dari natrium alginat 80 - 120 cP (0,07 mm). Kedua cangkang kapsul ini juga tidak rapuh. Dari pengukuran floating lag time, kedua cangkang kapsul tersebut langsung mengapung dalam medium lambung buatan pH 1,2 dan

floating time kedua cangkang kapsul alginat ini lebih dari 12 jam. Uji pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat dalam medium lambung buatan pH 1,2 menunjukkan pelepasan sustained release diatas 12 jam. Kinetika pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat mendekati kinetika pelepasan orde nol. Dari hasil penelitian ini menunjukkan cangkang kapsul alginat memiliki potensi untuk digunakan sebagai sediaan sustained release gastroretentive drug delivery system dari metronidazol.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyampaian obat secara oral merupakan rute pemberian obat yang paling sering digunakan. Hal ini disebabkan kemudahan dalam penggunaan dan formulasi bentuk sediaannya, serta tingkat kepatuhan pasien yang tinggi. Penyampaian obat secara oral dimaksudkan untuk efek sistemik dari obat, yang dihasilkan setelah terjadi absorpsi pada berbagai permukaan di sepanjang saluran cerna. Beberapa obat ditelan untuk kerja lokal pada daerah yang tertentu dalam saluran cerna (Ansel, 2008). Jadi masing-masing sediaan obat memiliki kemampuan untuk memberikan efek baik bekerja secara sistemik maupun lokal. Sebagai contoh untuk obat-obat yang bekerja lokal di lambung, dalam berbagai pengobatan pada lambung salah satunya pengobatan peptic ulcer.

Peptic ulcer merupakan kerusakan lokal pada mukosa lambung atau duodenum dengan kerusakan jaringan yang dalam pada dinding mukosa. Hal ini dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara faktor agresif (seperti: Infeksi

(18)

infeksi kronis pada bagian ujung mukosa lambung dan bagian awal mukosa duodenum akibat infeksi yang paling sering disebabkan oleh bakteri Helicobacter pylori. Sekali infeksi ini dimulai, infeksi dapat berlangsung seumur hidup kecuali bila kuman diberantas dengan pengobatan antibakteri (Guyton dan Hall, 2012).

Penggunaan metronidazol sebagai antibakteri dalam terapi peptic ulcer

terutama yang disebabkan oleh bakteri Helicobacter pylori saat ini menjadi salah satu pilihan. Hal ini dikarenakan metronidazol merupakan senyawa nitro-imidazol yang memiliki spektrum anti-protozoa dan antibakterial yang luas. Berkhasiat kuat terhadap semua bentuk entamoeba, juga terhadap protozoa patogen anaerob lainnya. Obat ini juga aktif terhadap semua cocci dan basil anaerob gram-positif dan gram-negatif, tetapi tidak aktif terhadap kuman aerob (Tan dan Rahardja, 2002).

Keberhasilan dalam terapi pengobatan ini pada kenyataanya berhubungan erat dengan waktu tinggal obat di lambung dan waktu pengosongan lambung, karena dengan demikian absorpsi obat dan kerja lokal obat di lambung terpengaruhi. Maka Peningkatan waktu tinggal obat di lambung menguntungkan untuk obat yang bekerja secara lokal pada bagian atas saluran pencernaan (Nayak, et al., 2010). Pada umumnya waktu pengosongan lambung normal berkisar antara 3 - 4 jam. Sehingga peningkatan waktu tinggal obat di lambung akan meningkatkan bioavailabilitas, meningkatkan efek terapi, dan mengurangi dosis penggunaan obat yang diberikan (Shah, et al., 2009).

(19)

(expansion), dan sistem modifikasi bentuk atau dengan pemberian bahan tertentu, yang menunda pengosongan lambung. Dengan berbagai mekanisme ini dapat mempertahankan sediaan yang akan diformulasikan tetap bertahan di lambung dalam jangka waktu tertentu (Sharma dan Garg, 2003).

Sistem mengapung (floating) merupakan sistem dengan densitas rendah yang memiliki kemampuan mengapung dan tetap berada di lambung tanpa dipengaruhi kecepatan pengosongan lambung dalam periode waktu tertentu. Ketika sistem ini mangapung, obat akan dilepaskan secara perlahan dengan kecepatan pelepasan yang dapat dikendalikan. Dengan cara ini akan meningkatkan waktu tinggal obat dan fluktuasi kadar obat dalam plasma dapat terkontrol dengan baik, sehingga sistem penghantaran untuk obat-obat tertentu menjadi lebih baik (Dwivedi dan Kumar, 2011).

Dengan maksud untuk mempertahankan obat tetap berada di lambung sehingga dapat meningkatkan waktu tinggal obat di lambung, maka dalam penelitian ini dibuat sediaan dalam bentuk kapsul yang tahan atau tidak pecah dalam lambung. Kapsul ini dibuat dengan menggunakan natrium alginat yang merupakan polisakarida yang berasal dari rumput laut (alga coklat), yang tidak bersifat toksis (Draget, et al., 2005).

(20)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Apakah cangkang kapsul alginat dapat digunakan untuk sediaan floating

dari metronidazol yang dapat bertahan di lambung?

b. Apakah sediaan floating dari metronidazol dapat memberikan pelepasan obat yang optimal dalam medium pH 1,2?

1.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut:

a. Cangkang kapsul alginat dapat digunakan untuk sediaan floating dari metronidazol yang dapat bertahan di lambung.

b. Sediaan floating dari metronidazol dapat memberikan pelepasan yang optimal.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah:

a. Meneliti pembuatan cangkang kapsul alginat sebagai sediaan floating dari metronidazol yang dapat bertahan di lambung.

a. Meneliti pelepasan metronidazol dari sediaan floating yang terbuat dari cangkang kapsul alginat.

1.5 Manfaat Penelitian

(21)

digunakan sebagai masukan terhadap pemakaian cangkang kapsul alginat sebagai sediaan floating yang dapat bertahan di lambung, sehingga dapat menjadi salah satu bentuk penyampaian obat baru.

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Secara skematis kerangka pikir penelitian ditunjukkan pada Gambar

Variabel bebas Variabel terikat

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Peptic Ulcer 2.1.1 Gambaran umum

Penyakit peptic ulcer adalah putusnya kontinuitas mukosa lambung yang meluas sampai di bawah epitel. Gambaran klinis utamanya adalah rasa nyeri yang terjadi pada bagian lambung dan akan mereda setelah makan atau sesudah menelan antasida. Nyeri biasanya timbul 2 - 3 jam setelah makan atau pada malam hari sewaktu lambung kosong. Nyeri ini seringkali digambarkan sebagai nyeri teriris, terbakar, atau rasa tidak enak. Sekitar seperempat dari penderita mengalami perdarahan, walaupun hal ini lebih lazim terjadi pada ulkus duodenum. Gejala dan tanda penyakit ini adalah muntah, muntahan berwarna merah atau “seperti kopi”, mual, anoreksia, dan penurunan berat badan (Price dan Wilson, 2005).

Peptic ulcer dapat terjadi disetiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu esofagus, lambung, duodenum, dan setelah gastroenterostomi, juga jejunum (Price dan Wilson, 2005).

2.1.2 Etiologi penyakit Peptic Ulcer

(23)

2.1.3 Patofisiologi

Penyebab terjadinya peptic ulcer saat ini masih sering diperdebatkan. Namun dipercaya bahwa penyebab terjadinya peptic ulcer dikarenakan ketidakseimbangan antara faktor agresif (Helicobacter pylori, NSAIDs, asam lambung) dan faktor pertahanan (mucin, bikarbonat, prostaglandin), yang menyebabkan gangguan pada jaringan mukosa (Sunil, et al., 2012).

Banyak faktor yang berperan dalam hal terjadinya peptic ulcer. Bakteri

Helicobacter pylori dijumpai pada sekitar 90% penderita peptic ulcer (Price dan Wilson, 2005).

2.1.4 Helicobacter pylori

Helicobacter pylori berbentuk spiral, pH sensitif, gram negatif, bakteri mikroaerofilik yang terletak antara lapisan mukus dan permukaan sel ephitel di lambung, atau pada berbagai lokasi lapisan sel ephitel dapat ditemukan. Kombinasi antara bentuk tubuh spiral dan flagel dari bakteri yang membantunya berpindah-pindah disekitar lumen dalam lambung (Berardi dan Welage, 2005).

(24)

2.1.5 Sawar mukosa lambung

Lapisan mukosa lambung yang tebal merupakan garis depan pertahanan terhadap trauma mekanis dan agen kimia. Prostaglandin terdapat dalam jumlah berlebihan dalam mukus lambung dan tampaknya berperan penting dalam pertahanan mukosa lambung. Sawar mukosa penting untuk perlindungan lambung dan duodenum (Price dan Wilson, 2005).

Ketika lapisan mukosa mengalami kerusakan, maka dengan segera sel-sel pertahanan mukosa beregenerasi membentuk sistem pertahanan yang baru. Pemeliharaan lapisan mukosa ini berkaitan dengan produksi prostaglandin, yang membantu dalam pemulihan kerusakan mukosa dan pertahanan mukosa (Berardi dan Welage, 2005).

Destruksi sawar mukosa diduga merupakan faktor penting dalam patogenesis peptic ulcer. Aspirin, alkohol, garam empedu, dan zat-zat lain yang dapat merusak mukosa lambung. Kerusakan yang terjadi dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

(25)

2.2 Drug Delivery System 2.2.1 Uraian Drug Delivery System

Pemberian obat secara oral telah lama dikenal sebagai rute pemberian obat yang paling banyak digunakan jika dibandingkan dengan rute pemberian obat lainnya dan telah dikembangkan untuk penyampaian obat secara sistemik dengan berbagai bentuk sediaan dengan formulasi yang berbeda. Saat ini para ilmuwan farmasi berusaha mengembangkan sistem pemberian obat “Drug Delivery System” yang ideal. Sistem pemberian obat yang ideal ini harus memiliki kemampuan untuk satu dosis pemberian obat dapat digunakan selama pengobatan dan harus menyampaikan obat langsung di lokasi tertentu yang diinginkan dalam pengobatan. Para ilmuwan ini telah berhasil mengembangkan sistem penyampaian obat yang mendekati sistem penyampaian yang ideal tersebut dan mendorong para ilmuwan untuk mengembangkan sistem penyampaian obat yang terkontrol atau “Controlled Release System” (Kumar, et al., 2012).

(26)

obat langsung di lokasi tempat kerjanya atau lokasi target (Neetika dan Manish, 2012).

2.3 Sustained Release Drug Delivery System

Sistem penyampaian obat ini menyediakan pelepasan obat yang diperlambat selama jangka waktu tertentu dan juga pelepasan obat dikontrol di dalam tubuh. Dengan cara demikian sistem penyampaian obat ini berhasil mempertahankan tingkat konsentrasi obat yang konstan dalam jaringan target atau sel. Sistem penyampaian obat dengan cara ini dikelompokkan ke dalam dua sistem penyampaian obat yaitu “Controlled Release” dan “Extended Release” (Lee , 1987).

a. Controlled Release

(27)

memformulasikan bentuk sediaan obat yang diinginkan, sehingga dapat diterima oleh pasien (Narang, 2010).

b. Extended Release

Sistem penyampaian obat ini melepaskan obat lebih lambat dari pelepasan obat secara normal pada umumnya dan dapat mengurangi frekuensi dosis obat (Lee , 1987).

2.4 Gastro Retentive Drug Delivery System

Sistem penyampaian obat yang bertahan di lambung atau yang lebih dikenal “Gastro Retentive Delivery System” ini dapat mempertahankan obat tetap berada di dalam lambung selama beberapa jam dan karenanya dapat memperpanjang waktu tinggal obat di lambung secara signifikan. Peningkatan waktu tinggal di lambung dapat meningkatkan bioavailabilitas atau ketersediaan hayati, mengurangi residu obat, dan meningkatkan kelarutan obat yang kurang larut dalam lingkungan pH tinggi. Sistem ini juga diaplikasikan dalam pengobatan lokal untuk bagian perut dan bagian atas usus kecil. Motilitas saluran cerna yang melambat dengan pemberiaan bersamaan dengan obat ini juga meningkatkan waktu tinggal obat di dalam lambung (Neetika dan Manish, 2012).

(28)

Berbagai pendekatan dari sistem Gastroretentive dapat dilihat pada Gambar 2.2. Retensi lambung dapat dikendalikan dari berbagai bentuk sediaan dengan mekanisme mukoadhesif, mengapung, sedimentasi, ekspansi, dan sistem modifikasi bentuk atau dengan pemberian bahan tertentu, yang menunda pengosongan lambung (Neetika dan Manish, 2012).

2.4.1 Lambung

Lambung memiliki fungsi utama untuk memproses dan mengangkut makanan. Selain itu lambung sebagai tempat penyimpanan makanan dalam jangka waktu singkat, yang memungkinkan untuk mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang banyak secara cepat. Proses pencernaan secara enzimatik berlangsung di dalam lambung (Narang, 2011).

(29)

sampai anus, dengan beberapa variasi untuk masing-masing bagian tertentu (Neetika dan Manish, 2012).

Lambung merupakan organ tubuh dengan kapasitas tertentu untuk tempat penyimpanan dan pencampuran makanan. Di dalam lambung makanan mengalami proses pencernaan kompleks. Rata-rata panjang lambung pada umumnya sekitar 0,2 meter (m) dan luas permukaan penyerapannya sekitar 0,1 meter persegi (m2). Gambaran anatomi lambung dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Anatomi lambung (Arunachalam, et al., 2011)

(30)

Dalam siklus ini dibagi dalam 4 tahapan:

1. Tahap I (fase basal) yang berlangsung selama 30 sampai 60 menit dengan terjadinya awal motilitas kontraksi.

2. Tahap II (fase preburst) yang berlangsung selama 20 sampai 40 menit dengan potensial aksi dan motilitas kontraksi. Dalam fase ini berlangsung dengan intensitas dan frekuensi motilitas kontraksi yang meningkat secara bertahap.

3. Tahap III (fase burst) yang berlangsung 10 sampai 20 menit. Fase ini mencakup kontraksi intens dan rutin yang terjadi dalam waktu singkat. Hal ini dikarenakan seluruh bahan tercerna dalam lambung diteruskan menuju usus kecil. Hal ini dikenal dengan “Housekeeper wave”.

4. Tahap IV berlangsung selama 0 sampai 5 menit dan terjadi diantara fase III dan fase I yang terjadi motilitas kontraksi secara terus-menerus (Washington, et al., 2001).

Tahapan siklus kontraksi ini dapat dilihat pada Gambar 2.4.

(31)

Motilitas lambung dikendalikan oleh susunan sistem saraf dan sistem hormonal. Kontrol dari sistem saraf ini berasal dari sistem saraf enterik yang juga sebagai sistem saraf parasimpatis (terutama saraf vagus) dan sistem saraf simpatis. Pengaruh hormonal telah terbukti mempengaruhi motilitas lambung seperti adanya gastrin dan kolesistokinin yang bertindak dalam membantu relaksasi bagian proksimal lambung dan meningkatkan kontraksi pada bagian distal lambung (Sharma, et al., 2011).

Motilitas atau kontraksi otot polos lambung memiliki dua fungsi dasar yaitu: (a) Menghancurkan, mencampurkan, mencairkan makanan yang ditelan

untuk membentuk chyme (kimus).

(b) Chyme (kimus) didorong melalui saluran pilorus ke dalam usus kecil, proses ini disebut pengosongan lambung (Sharma, et al., 2011).

Volume cairan lambung pada saat berpuasa atau dalam keadaan lambung kosong adalah 25 - 50 ml. Terdapat perbedaan sekresi asam lambung pada individu normal dengan yang memiliki masalah terhadap sekresi asam lambung atau achlorhydric individu. Pengaruh pH lambung terhadap penyerapan obat sangatlah berarti terutama untuk sistem penghantaran obat secara oral, pH cairan lambung dalam keadaan berpuasa berkisar antara 1,2 – 2,0 dan dalam keadaan makan 2,0 – 6,0 (Sharma, et al., 2011).

2.5 Floating Drug Delivery System

(32)

Sementara dalam sistem mengapung ini, obat dilepaskan perlahan pada tingkatan yang diinginkan dari sistem ini. Setelah pelepasan obat, sistem residual ini dikosongkan dari lambung. Hal ini menyebabkan peningkatan waktu retensi lambung yang lebih baik sehingga terjadi peningkatan konsentrasi obat dalam plasma (Gopalakrishnan dan Chenthilnathan, 2011).

2.5.1 Pembagian sistem Floating

Sistem penghantaran obat floating diklasifikasikan dalam dua variabel formulasi yaitu sistem Effervescent dan sistem Non-effervescent.

a. Effervescent Floating

Sistem ini dibuat dalam bentuk matriks dengan menggunakan polimer yang dapat mengembang seperti HPMC, senyawa polisakarida lain, kitosan, dan berbagai komponen effervescent seperti natrium bikarbonat, kalsium karbonat, asam sitrat atau asam tartrat. Sediaan ini dirancang sedemikian rupa, sehingga ketika kontak dengan cairan lambung, maka gas karbondioksida (CO2) akan terlepas dan terperangkap dalam sistem hidrokoloid yang mengembang. Hal ini membantu sediaan untuk mengapung (Goyal, et al., 2011).

(33)

b. Non-effervescent Floating

Sistem Non-effervescent ini bekerja dengan mekanisme pengembangan polimer, bioadhesif dari polimer pada lapisan mukosa saluran pencernaan. Pada umumnya dalam formulasi sistem non-effervescent ini menggunakan bahan yang mampu membentuk gel atau memiliki kemampuan mengembang yang baik seperti senyawa hidrokoloid, polisakarida. Juga biasa digunakan bentuk matriks dari polimer seperti polimetakrilat, poliakrilat, polistiren, dan bioadhesif polimer yaitu kitosan dan karbopol (Goyal, et al., 2011).

2.5.2 Kandidat obat untuk sediaan Floating

Dalam sistem penghantaran obat ini dimaksudkan untuk obat-obat dengan tujuan pemakaian tertentu, dengan maksud untuk penghantaran dan aktivitas kerja obat yang lebih baik. Berbagai macam kandidat obat yang tepat untuk diformulasikan dalam sistem penghantaran obat floating diantaranya:

a. Obat-obat yang aktif bekerja secara lokal di lambung. Seperti: Misoprostol, antasida.

b. Obat-obat yang memiliki tapak absorpsi yang sempit dalam saluran pencernaan. Seperti: L-DOPA, p-aminobenzoic acid, furosemid, riboflavin.

c. Obat-obat yang tidak stabil dalam lingkungan basa di bagian usus atau kolon. Seperti: Captopril, ranitidine HCl, metronidazol.

d. Obat-obat yang mengganggu aktivitas kerja mikroba di kolon.

Seperti: Antibiotik yang digunakan dalam pengobatan Helicobacter Pylori, diantaranya tetracyclin, clarithromycin, amoxicilin.

(34)

Berikut beberapa contoh sediaan obat yang diformulasikan dalam bentuk sediaan Floating ditunjukkan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 2.1 Berbagai contoh formulasi bentuk sediaan Floating (Gopalakrishnan dan Chenthilnathan, 2011).

No Bentuk Sediaan Nama Obat

1 Tablet Chlorpheniramin maleat, Theophyllin, Furosemid, Ciprofloxacin, Captopril, Asam Asetilsalisilat, Nimodipin, Amoxicillin, Verapamil HCl, Isosorbide dinitrate, Isosorbide mononitrate, Acetaminophen, Dilitiazem, Florouracil, Prednisolon.

2 Kapsul Nicardipin, Chlordiazepoxide HCl, Furosemid, Misoprostol, Diazepam, Propanolol, Urodeoxycholic.

3 Mikrosper Aspirin, Griseofulvin, p-nitroanilline, Ketoprofen, Ibuprofen, Terfenadin.

4 Granul Indometasin, Na-Diklofenak, Prednisolon. 5 Film Cinnarizine

Tabel 2.2 Sediaan Floating yang telah tersedia di pasaran (Gopalakrishnan dan Chenthilnathan, 2011).

No Bentuk Sediaan Nama Obat Brand Name Perusahaan, Negara Produsen) 1 Floating Controlled

Release Capsule

Levodopa, Benserazide

MODAPAR Roche, USA

2 Floating Capsule Diazepam VALRELEASE Hoffman-LaRoche, USA 3 Effervescent Floating

Liquid Alginate

4 Floating Liquid Alginate Preparation

Auminium-Magnesium antacid

TOPALKAN Pierre Fabre Drug, FRANCE

5 Colloidal gel forming FDDS

Ferrous sulphate

CONVIRON Ranbaxy, INDIA

6 Gas-generating floating Tablets

Ciprofloxacin CIFRAN OD Ranbaxy, INDIA

7 Bilayer floating Capsule

(35)

2.5.3 Keuntungan FloatingDrug Delivery System

Sistem penghantaran obat melalui sistem floating ini merupakan teknologi penghantaran obat dengan retensi lambung yang lebih lama dan memiliki beberapa keuntungan dalam pemberian obat dengan sistem ini. Keuntungan ini meliputi:

a. Peningkatan penyerapan obat, karena peningkatan waktu tinggal di lambung dan peningkatan waktu kontak obat dengan daerah penyerapan.

b. Penghantaran obat yang dapat dikendalikan pelepasannya. c. Penghantaran obat secara lokal untuk daerah kerja di lambung.

d..Meminimalkan terjadinya iritasi pada mukosa lambung karena obat-obatan tertentu, dengan cara melepaskan obat secara lambat pada tingkat terkendali. e. Digunakan untuk pengobatan gangguan pencernaan.

f. Menggunakan peralatan yang sederhana dan konvensional dalam formulasinya. g. Kemudahan dalam penggunaannya dan meningkatkan faktor kepatuhan pasien

menjadi lebih baik.

h. Penghantaran obat pada daerah tertentu (Sharma, et al., 2011).

Berbagai keuntungan ini yang menjadikan sistem lebih dikembangkan lagi untuk menghasilkan sistem penghantaran yang ideal (Sharma, et al., 2011).

2.5.4 Kekurangan Floating Drug Delivery System

Disamping memiliki banyak keuntungan dalam sistem floating ini, terdapat pula kekurangan dari sistem ini. Kekurangan ini meliputi:

(36)

b. Obat-obatan yang menyebabkan iritasi dan lesi pada mukosa lambung tidak cocok untuk sistem pemberian obat ini.

c. Variabilitas tinggi dalam waktu pengosongan lambung serta membutuhkan cairan lambung yang cukup untuk mempertahankan sediaan tetap berada di lambung.

d. Pengosongan lambung untuk pasien dalam keadaan tidur tidak dapat diprediksi dan bergantung pula pada diameter dan ukuran sediaan floating

tersebut. Oleh karena itu sebaiknya tidak diberikan sediaan ini saat pasien akan tidur (Sharma, et al., 2011).

2.6 Metronidazol 2.6.1 Uraian bahan

Rumus Bangun :

Rumus Molekul : C6H9N3O3

Nama Kimia : 2-(2-methyl-5-nitro-1H-imidazol-1-yl)ethanol Berat Molekul : 171,16

Pemerian : Serbuk hablur;putih atau kuning gading; bau lemah;rasa pahit dan agak asin.

Kelarutan : Larut dalam 100 bagian air, dalam 200 bagian etanol

(37)

2.6.2 Farmakologi metronidazol

Metronidazol mempunyai aktivitas antibakteri yang mampu melawan semua cocci anaerobik positif dan anaerobik gram negatif (termasuk Bacteroides

spp.) serta basil anaerobik gram positif penghasil spora (Brunton, et al., 2008).

Metronidazol memperlihatkan daya amubasid langsung. Pada biakan

E. histolytica dengan kadar metronidazol 1 - 2 mcg/ml, semua parasit musnah dalam 24 jam. Sampai saat ini belum ditemukan amuba yang resisten terhadap metronidazol. Metronidazol juga menunjukkan daya trikomoniasid langsung pada biakan Trichomonas vaginalis (Syarif dan Elysabeth., 2007).

Mekanisme kerjanya yakni berinteraksi dengan DNA menyebabkan perubahan struktur helik DNA dan putusnya rantai sehingga sintesa protein dihambat dan kematian sel. (Sukandar, dkk., 2008).

2.6.3 Farmakokinetik metronidazol

Metronidazol adalah suatu prodrug yang diaktivasi dengan cara reduksi gugus nitro oleh organisme yang suseptibel. Berbeda dengan patogen aerobik, patogen anaerobik dan mikroaerofilik seperti T. vaginalis, E. hystolitica, dan G. lamblia serta bakteri anaerobik mempunyai komponen transpor elektron untuk mendonorkan elektron kepada metronidazol. Transpor elektron menghasilkan anion nitro radikal yang sangat reaktif yang membunuh bakteri yang suseptibel melalui mekanisme radical-mediated yang merusak DNA (Brunton, et al., 2008).

(38)

berkisar antara 8 - 10 jam. Pada beberapa kasus terjadi kegagalan karena rendahnya kadar sistemik. Ini mungkin disebabkan oleh absorpsi yang buruk atau metabolisme yang terlalu cepat (Syarif dan Elysabeth, 2008).

Metronidazol dieksresi melalui urin dalam bentuk asal dan bentuk metabolit hasil oksidasi dan glukuronidasi. Urin mungkin berwarna coklat kemerahan karena mengandung pigmen tak dikenal yang berasal dari obat. Metronidazol juga dieksresi melalui air liur, air susu, cairan vagina, dan cairan seminal dalam kadar yang rendah (Syarif dan Elysabeth, 2008).

2.6.4 Efek samping metronidazol

Efek samping hebat yang memerlukan penghentian pengobatan jarang ditemukan. Efek samping yang paling sering dikeluhkan ialah sakit kepala, mual, mulut kering dan rasa kecap logam. Muntah, diare dan spasme usus jarang dialami. Lidah berselaput, glositis dan stomatitis dapat terjadi selama pengobatan dan ini mungkin berkaitan dengan moniliasis. Efek samping lain dapat berupa pusing, vertigo, ataksia, parestesia pada ekstremitas, urtikaria, flushing, pruritus, disuria, sistitis, rasa tekan pada pelvik, juga kering pada mulut, vagina dan vulva. Metronidazol ialah suatu nitroimidazol, sehingga ada kemungkinan dapat menimbulkan gangguan darah. Pada pasien dengan riwayat penyakit darah atau dengan gangguan SSP, pemberian obat ini tidak dianjurkan (Syarif dan Elysabeth, 2008).

(39)

Sedangkan simetidin dapat menghambat metabolisme metronidazol di hati (Syarif dan Elysabeth, 2008).

2.7 Kapsul

Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat, dimana satu macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam cangkang atau wadah kecil yang umumnya dibuat dari gelatin bisa lunak dan bisa juga keras. Kebanyakan kapsul-kapsul yang diedarkan di pasaran adalah kapsul yang semuanya dapat ditelan oleh pasien, untuk keuntungan dalam pengobatan. Kapsul gelatin yang keras merupakan jenis yang digunakan oleh ahli farmasi masyarakat dalam menggabungkan obat-obat secara mendadak dan di lingkungan para pembuat sediaan farmasi dalam memproduksi kapsul pada umumnya (Ansel, 2008).

(40)

lingkungan dengan kelembapan yang tinggi, penambahan uap air akan diabsorbsi oleh kapsul dan kapsul keras ini akan rusak dari bentuk kekerasannya. Sebaliknya dalam lingkungan udara yang sangat kering, sebagian dari uap air yang terdapat dalam kapsul gelatin mungkin akan hilang, dan kapsul ini menjadi rapuh serta mungkin akan remuk bila dipegang (Ansel, 2008). Laju pengeringan kapsul juga mempengaruhi kekerasan dan kerapuhan kapsul, kemampuan pelarutan, dan kecenderungan untuk melekat satu sama lain. Kondisi penyimpanan yang direkomendasikan untuk bentuk sediaan kapsul berkisar 15 - 30oC dan 30 - 60% kelembaban relatif (Margareth, et. al., 2009).

Cangkang kapsul keras gelatin harus dibuat dalam dua bagian yaitu badan kapsul dan bagian tutupnya yang lebih pendek. Kedua bagian saling menutupi bila dipertemukan, bagian tutup akan menyelubungi bagian tubuh secara tepat dan ketat (Ansel, 2008).

2.8 Natrium Alginat

Alginat sangatlah berlimpah dialam indonesia karena alginat ini sebagai kompoenen struktural yang terdapat dalam alga coklat (Phaeophyceae), yang komponennya mencapai 40% dari bahan keringnya (Draget, et al., 2005)

Natrium Alginat merupakan produk pemurnian karbohidrat yang diekstraksi dari alga coklat (Phaeophyceae) dengan menggunakan basa lemah. Natrium alginat larut dengan lambat dalam air, membentuk larutan kental, tidak larut dalam etanol dan eter. Alginat ini diperoleh dari spesies Macrocystis pyrifera, Laminaria, Aschophyllum dan Sargassum (Belitz, et. al., 2009).

(41)

japonica, Edonia maxima, Lessonia nigrescens, Durvillea antarctica, dan

Sargassum sp (Draget, et al., 2005).

Tabel dibawah ini menunjukkan perbandingan asam uronat dalam berbagai spesies alga yang berasal dari alam dan ditentukan dengan spektroskopi NMR high-field.

Tabel 2.3 Perbandingan asam uronat dalam berbagai spesies alga (Draget, et al., 2005).

Laminaria hyperborea, outer cortex 0.75 0.25 0.66 0.16 0.09

Lessonia nigrescens 0.38 0.62 0.19 0.43 0.19

Ecklonia maxima 0.45 0.55 0.22 0.32 032

Macrocystis pyrifera 0.39 0.61 0.16 0.38 0.23

Durvillea antarctica 0.29 0.71 0.15 0.57 0.14

Ascophyllum nodosum, fruiting body 0.10 0.90 0.04 0.84 0.06

Ascophyllum nodosum, old tissue 0.36 0.64 0.16 0.44 0.20

Asam alginat merupakan kopolimer biner yang terdiri dari residu β -D-mannuronat (M) dan α-L-asam guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang

membentuk rantai linier (Grasdalen, et al., 1979). Kedua unit tersebut berikatan pada atom C1 dan C4 dengan susunan homopolimer dari masing-masing residu (MM dan GG) dan suatu blok heteropolimer dari dua residu (MG) (Thom, et al., 1980).

(42)

dari natrium alginat adalah mempunyai kemampuan membentuk gel dengan penambahan larutan garam-garam kalsium seperti kalsium glukonat, kalsium tartrat dan kalsium sitrat. Pembentukan gel dengan ion kalsium, disebabkan oleh adanya ikatan silang membentuk khelat antara ion kalsium dan anion karboksilat pada blok G-G melalui mekanisme antar rantai. Natrium alginat mempunyai rantai poliguluronat yang menunjukkan sifat pengikatan ion kalsium yang lebih besar (Morris, et al., 1980).

Gambar 2.6 Struktur Alginat (a) monomer alginat (b) ikatan antar monomer (c) gambaran blok monomer alginat

(43)

konsentrasi 1% sampai 5%, sedangkan natrium alginat digunakan antara 2,5% sampai 10%. Asam alginat dan garamnya merupakan suatu kombinasi yang baik dengan pengembangan yang cukup dengan kelekatan minimal dan konsentrasi serendah mungkin antara 4% sampai 5% sudah memadai dalam memberikan sifat pengembangan tersebut (Siregar dan Wikarsa, 2010).

Kelarutan alginat dalam air ditentukan dan dibatasi oleh tiga parameter berikut, antara lain:

(i) pH pelarut merupakan parameter penting karena akan menentukan adanya muatan elektrostatik pada residu asam uronat.

(ii) Kekuatan ionik total zat terlarut juga berperan penting (terutama efek

salting-out kation-kation non-gelling), dan

(iii) Kandungan dari ion-ion pembentuk gel dalam pelarut membatasi kelarutan (Draget, et al., 2005).

Kegunaan alginat dan kemampuannya mengikat air bergantung pada jumlah ion karboksilat, berat molekul dan pH. Kemampuan mengikat air meningkat bila jumlah ion karboksilat semakin banyak dan jumlah residu kalsium alginat kurang dari 500, sedangkan pH dibawah 3 terjadi pengendapan. Secara umum, alginat dapat mengabsorpsi air dan dapat digunakan sebagai pengemulsi dengan viskositas yang rendah (Zhanjiang, 1990).

(44)

(pH 1,2). Utuhnya cangkang kapsul alginat di dalam medium lambung buatan pH 1,2 disebabkan komponen penyusun cangkang kapsul alginat yaitu kalsium guluronat masih utuh (Bangun, dkk., 2005).

2.9 Uji Disolusi

Pelepasan obat dari bentuk sediaan dan absorbsi dalam tubuh dikontrol oleh sifat fisika kimia dari obat dan bentuk yang diberikan, serta sifat-sifat fisika kimia dan fisiologis dari sistem biologis. Konsentrasi obat, kelarutan dalam air, ukuran molekul, bentuk kristal, ikatan protein, dan pKa adalah faktor-faktor fisiko kimia yang harus dipahami untuk mendesain sediaan pelepasan terkontrol (controlled release) atau terkendali (sustained release). Lepasnya suatu obat dari bentuk sediaan meliputi faktor disolusi atau difusi (Martin, dkk., 2008).

Disolusi merupakan percobaan secara in vitro yang mengukur kecepatan dan tingkat kelarutan suatu obat di dalam medium air dimana di dalam obat mengandung satu atau lebih bahan tambahan lainnya. Masalah bioavailabilitas dapat ditemukan dalam metode disolusi ini. Akan tetapi, dalam percobaan disolusi dapat dinyatakan masalah bioavailabilitas yang berbeda untuk setiap formulasi obat (Shargel dan Yu, 1998).

(45)

Faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi dibagi atas 3 kategori yaitu: a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat fisikokimia obat, meliputi:

i. Efek kelarutan obat. Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama dalam menentukan laju disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan laju disolusi yang cepat.

ii. Efek ukuran parrtikel. Ukuran partikel berkurang dapat memperbesar luas permukaan obat yang berhubungan dengan medium, sehingga laju disolusi akan meningkat.

b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sediaan obat, meliputi:

i. Efek formulasi. Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila dicampur dengan bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan penghancur yang bersifat hidrofil dapat memberikan sifat hidrofil pada bahan obat yang hidrofob, oleh karena itu disolusi bertambah. Sedangkan bahan tambahan yang hidrofob dapat mengurangi laju disolusi. Hal ini kaitannya dengan kelarutan bahan tambahan yang digunakan.

(46)

ii. Efek faktor pembuatan sediaan. Metode granulasi dapat mempercepat laju disolusi obat-obat yang kurang larut. Penggunaan bahan pengisi yang bersifat hidrofil seperti laktosa dapat menambah hidrofilisitas bahan aktif dan dapat menambah laju disolusi.

c. Faktor-faktor yang berhubungan dengan uji disolusi, meliputi:

i. Tegangan permukaan medium disolusi. Tegangan permukaan mempunyai pengaruh nyata terhadap laju disolusi bahan obat. Surfaktan dapat menurunkan sudut kontak, oleh karena itu dapat meningkatkan proses penetrasi medium disolusi ke matriks. Formulasi tablet dan kapsul konvensional juga menunjukkan penambahan laju disolusi obat-obat yang sukar larut dengan penambahan surfaktan ke dalam medium disolusi. ii. Viskositas medium. Semakin tinggi viskostas medium, semakin kecil laju

disolusi bahan obat.

iii. pH medium disolusi. Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit lebih cepat dibandingkan dengan air, oleh karena itu akan mempercepat laju disolusi (Gennaro, 2000).

United States Pharmacopeia (USP) XXI memberi beberapa metode resmi untuk melaksanakan uji pelarutan yaitu:

a. Metode Keranjang (Basket)

(47)

kalibrasi pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat operasi telah dipenuhi.

b. Metode Dayung (Paddle)

Metode dayung terdiri dari suatu dayung yang dilapisi bahan khusus, yang berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode basket dipertahankan pada suhu 37oC. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam USP. Metode dayung sangat peka terhadap kemiringan dayung. Pada beberapa produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat mempengaruhi hasil pelarutan. Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan.

c. Metode Disintegrasi yang Dimodifikasi

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pencetak kapsul yang terbuat dari batang stainless steel berbentuk silindris dengan panjang 10 cm serta berdiameter 5,5 mm untuk bagian badan cangkang kapsul dan berdiameter 6,0 mm untuk bagian tutup cangkang kapsul, alat disolusi metode dayung (Erweka), beker glass (Pyrex), buret (Pyrex), capsule shell impact tester, gelas ukur (Pyrex), jangka sorong (Tricle), labu tentukur (Pyrex), lemari pengering, mikrometer (Delta), neraca analitis (Ohaus Pioneer), penunjuk waktu (Stopwatch), pH meter (Hanna), pipet mat (MBL), pipet volum (MBL), spektrofotometer (Shimadzu UV 1800), termometer, termostat dan waterbath.

3.2 Bahan-bahan

(49)

3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Pembuatan pereaksi

3.3.1.1 Larutan kalsium klorida 0,15 M

Kalsium klorida dihidrat (CaCl2.2H2O) sebanyak 22,05 gram dilarutkan dalam akuades bebas CO2 hingga 1000 ml (Ditjen POM, 1995).

3.3.1.2 Medium cairan lambung buatan tanpa enzim (medium pH 1,2)

Larutkan 2 gram natrium klorida dalam 7 ml asam klorida pekat dan akuades secukupnya hingga 1000 ml (Ditjen POM, 1995).

3.3.2 Pembuatan kurva serapan dan kurva kalibrasi metronidazol 3.3.2.1 Pembuatan larutan induk baku metronidazol

Ditimbang sebanyak 25 mg metronidazol. Kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml dan dilarutkan dengan medium cairan lambung buatan pH 1,2. Dicukupkan dengan medium cairan lambung buatan pH 1,2 sampai garis tanda dan dikocok homogen. Diperoleh konsentrasi 250 mcg/ml (250 ppm).

3.3.2.2 Pembuatan kurva serapan larutan metronidazol dalam medium cairan lambung buatan (medium pH 1,2)

Dipipet sebanyak 1,2 ml larutan induk baku, kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml. Dicukupkan dengan medium cairan lambung buatan pH 1,2 sampai garis tanda dan dikocok homogen. Serapan diukur dengan menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 200 - 400 nm

3.3.2.3 Pembuatan kurva kalibrasi larutan metronidazol dalam medium cairan lambung buatan (medium pH 1,2)

(50)

sebanyak 0,1; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; 1,0; 1,2; 1,4; dan 1,6 ml. Kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml dan dicukupkan dengan medium cairan lambung buatan pH 1,2 sampai garis tanda. Dikocok homogen, kemudian diukur menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang maksimum yang telah ditentukan sebelumnya.

3.3.3 Pembuatan cangkang kapsul alginat

Cangkang kapsul alginat kosong dibuat sesuai dengan metode pencelupan (Voight, 1994), yaitu dengan mencelupkan alat pencetak kapsul ke dalam larutan alginat.

3.3.4 Penentuan spesifikasi cangkang kapsul alginat

3.3.4.1 Pengukuran panjang dan diameter cangkang kapsul alginat

Pengukuran panjang dan diameter cangkang kapsul alginat dilakukan dengan menggunakan jangka sorong.

3.3.4.2 Pengukuran ketebalan cangkang kapsul alginat

Pengukuran ketebalan cangkang kapsul alginat dilakukan dengan menggunakan mikrometer skrup. Pengukuran dilakukan 5 kali untuk masing-masing sampel, satu kali di pusat dan 4 kali di perimeter sekitarnya, kemudian diambil rata-ratanya.

3.3.4.3 Penimbangan berat cangkang kapsul alginat

Penimbangan berat cangkang kapsul alginat dilakukan dengan menggunakan neraca analitik.

3.3.4.4 Pengamatan warna cangkang kapsul alginat

(51)

3.3.4.5 Pengukuran volume cangkang kapsul alginat

Pengukuran volume cangkang kapsul alginat dilakukan dengan menggunakan buret dimana bagian badan cangkang kapsul diisi dengan air sampai penuh.

3.3.5 Pengisian metronidazol dalam cangkang kapsul alginat

Sebanyak 500 mg metronidazol ditimbang dengan tepat menggunakan neraca analitik, lalu diisikan ke dalam bagian badan cangkang kapsul alginat melalui bagian ujung yang terbuka. Kemudian ditutup dengan bagian tutup cangkang kapsul alginat dengan mendorong bagian tutup ke bagian badan cangkang kapsul alginat yang terbuka sehingga bagian tutup kapsul dengan bagian badan kapsul menyatu dengan baik. Kemudian diberi perekat larutan natrium alginat pada kapsul.

3.3.6 Uji kerapuhan

3.3.6.1 Cangkang kapsul kosong

Cangkang kapsul kosong dijatuhi beban seberat 50 g dari ketinggian 10 cm. Kemudian diamati kerapuhan cangkang kapsul tersebut. Pengujian dilakukan terhadap 6 cangkang kapsul.

3.3.6.2 Cangkang kapsul berisi (uji ketahanan terhadap tekanan)

(52)

3.3.7 Uji disolusi

Medium disolusi : Cairan lambung buatan tanpa enzim pH 1,2 Kecepatan pengadukan : 100 rpm

Volume medium : 900 ml Suhu medium : 37 ± 0,5oC Metode : Dayung

Sampel : 1. Cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP berisi 500 mg metronidazol.

2. Cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP berisi 500 mg metronidazol.

(53)

3.3.8 Uji waktu Floating

Sediaan cangkang kapsul alginat yang dibuat baik cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP maupun cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP dilakukan uji waktu

floating dengan cara menempatkan cangkang kapsul tersebut ke dalam beaker glass berisi medium lambung buatan pH 1,2.

(54)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penentuan Spesifikasi Cangkang Kapsul Alginat

Penentuan spesifikasi cangkang kapsul alginat berupa pengukuran panjang, diameter, berat dan warna dari cangkang kapsul alginat dilakukan untuk bagian badan cangkang kapsul, tutup cangkang kapsul dan cangkang kapsul keseluruhan. Pengukuran ketebalan dilakukan terhadap bagian badan cangkang kapsul dan bagian tutup cangkang kapsul. Sedangkan untuk pengukuran volume dilakukan hanya terhadap bagian badan cangkang kapsul alginat, karena umumnya bahan obat hanya diisikan ke dalam bagian badan cangkang kapsul sebelum ditutup dengan bagian tutup cangkang kapsul. Dalam pengukuran volume digunakan air, air yang digunakan diisi ke bagian badan cangkang kapsul alginat sampai meniskus atas menyentuh ujung kapsul untuk mencegah kelebihan pembacaan volume cangkang kapsul.

Dalam penelitian ini, cangkang kapsul yang dibuat merupakan cangkang kapsul dengan ukuran 0. Hal ini bisa dilihat dari spesifikasi cangkang kapsul alginat pada Tabel 4.1 dan 4.2.

Tabel 4.1 Spesifikasi cangkang kapsul alginat 80 – 120 cP

(55)

Tabel 4.2 Spesifiksi cangkang kapsul alginat 500 – 600 cP

No Spesifikasi Tutup Cangkang

Cangkang kapsul yang dibuat dalam penelitian ini mengikuti spesifikasi cangkang kapsul nomor 0. Menurut Capsugel Division spesifikasi cangkang kapsul No. 0 dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Spesifikasi cangkang kapsul ukuran No. 0 menurut Capsugel Division

Ukuran Kapsul

Tutup Kapsul Badan Kapsul

Cangkang

4.2.1 Cangkang kapsul kosong

Pengujian kerapuhan cangkang kapsul kosong dilakukan dengan menjatuhkan beban seberat 50 g dari ketinggian 10 cm, beban seberat 50 g diibaratkan sebagai tekanan yang terjadi saat membuka kemasan kapsul. Kapsul kosong tersebut dikatakan rapuh apabila setelah dijatuhkan beban, cangkang kapsul kosong tersebut retak atau pecah (Nagata, 2002).

(56)

airnya terlalu banyak, kapsul cenderung akan menjadi melunak. Akan tetapi, kisaran kadar uap air dalam cangkang kapsul agar tidak menjadi rapuh dan tidak melunak berbeda antara satu bahan dengan bahan yang lain.

Pengujian kerapuhan yang dilakukan terhadap 6 cangkang kapsul kosong tersebut tidak menunjukkan kerapuhan yang berarti dari cangkang kapsul. Cangkang kapsul hanya menjadi pipih pada bagian tertentu. Dalam hal ini cangkang kapsul tidak retak atau pecah.

4.2.2 Cangkang kapsul berisi (uji ketahanan terhadap terhadap tekanan)

Dalam pengujian ini cangkang kapsul yang telah diisi metronidazol ditekan dengan beban seberat 2 kg (Nagata, 2002). Metronidazol sebagai bahan pengisi kapsul dan beban seberat 2 kg diibaratkan seperti tekanan yang mungkin terjadi selama proses pengisian kapsul sampai pada tahap pengemasan kapsul. Dalam produksi kapsul skala besar, biasanya antara kapsul satu dengan yang lain saling menekan atau menimpa sehingga kapsul tertekan sebelum masing-masing kapsul dimasukkan kedalam kemasan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kerapuhan kapsul, jika kapsul rapuh akan mengakibatkan isi kapsul dapat keluar dari kapsul tersebut.

(57)

4.3 Uji Pelepasan Metronidazol dari Cangkang Kapsul Alginat

Profil uji pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat dilakukan dalam medium lambung buatan pH 1,2 selama 12 jam. Pada penelitian ini dilakukan uji pelepasan terhadap cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP dan cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP.

Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP pada medium lambung buatan pH 1,2 pada menit ke-60 mencapai 9,78% dan pada menit ke-360 mencapai 55,48%. Bahkan pelepasan metronidazol mencapai 95,27% pada menit ke-600 untuk cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP. Sedangkan untuk cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP pelepasan metronidazol pada menit ke-60 mencapai 6,09% dan pada menit ke-360 mencapai 34,13% serta pelepasan pada menit ke-600 baru mencapai 68,63%. Untuk cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP ini pelepasan mencapai 86,37% pada menit ke-720. Dalam pengujian pelepasan ini menunjukkan bahwa laju pelepasan metronidazol dalam medium lambung buatan pH 1,2 dari cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP lebih cepat jika dibandingkan dengan laju pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP. Hal ini dikarenakan perbedaan karakteristik kedua jenis cangkang kapsul alginat tersebut. Terutama dalam hal ketebalan. Cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP lebih tebal dibandingkan dengan cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP, sehingga pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul lebih lambat.

(58)

(Independent-sample T test statistics) menunjukkan juga perbedaan yang signifikan pelepasan metronidazol dari kapsul alginat 80 - 120 cP dengan kapsul alginat 500 - 600 cP dalam medium lambung buatan pH 1,2.

Dari perhitungan AUC diperoleh AUC rata-rata % kumulatif metronidazol pada cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP adalah 39595,92% menit, sedangkan perhitungan AUC rata-rata % kumulatif metronidazol pada cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP adalah 27498,09% menit.

Dalam penelitian ini untuk pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP dilakukan pula dengan menggunakan ring, yang membuat keadaan cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP tenggelam saat dilakukan uji pelepasan dalam medium lambung buatan pH 1,2. Perbandingan pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP dengan ring dan cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP tanpa ring dapat dilihat pada Gambar 4.6.

(59)

medium lambung buatan pH 1,2. Sehingga luas permukaan kontak kapsul dengan medium meningkat menghasilkan pelepasan yang lebih cepat jika dibandingkan dengan cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP tanpa ring.

Dari Gambar 4.6 terlihat bahwa terdapat perbedaan pelepasan metronidazol dari kapsul alginat 500 - 600 cP dengan menggunakan ring dan kapsul alginat 500 - 600 cP tanpa menggunakan ring dalam medium lambung buatan pH 1,2. Sedangkan berdasarkan uji statistik (Independent-sample T test statistics) menunjukkan juga perbedaan yang signifikan pelepasan metronidazol dari kapsul alginat 500 - 600 cP dengan atau tanpa menggunakan ring dalam medium lambung buatan pH 1,2. Dari perhitungan AUC diperoleh AUC rata-rata % kumulatif metronidazol pada cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP dengan menggunakan ring adalah 36493,30% menit.

(60)

4.4 Kinetika Orde Pelepasan

Kinetika orde pelepasan dari masing-masing cangkang kapsul alginat baik

cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP maupun cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP dilakukan terhadap empat model kinematika yaitu: orde nol, orde

satu, model Higuchi dan Korsmeyer-peppas. Penentuan kinetika pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat dilakukan untuk mengetahui berapa persen obat yang dilepaskan pada waktu-waktu tertentu.

Dengan memplotkan hasil uji pelepasan metronidazol dalam grafik waktu versus persen kumulatif, logaritma persen kumulatif versus waktu, persen kumulatif versus akar waktu dan logaritma persen kumulatif versus logaritma waktu maka dapat diperoleh nilai koefisien korelasi (R) dari masing-masing cangkang kapsul alginat. Kinetika pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat dapat dilihat pada Tabel 4.4 dan Tabel 4.5.

Tabel 4.4 Kinetika pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP

(61)

Tabel 4.5 Kinetika pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP

Persamaan Regresi R Orde Nol y = 0,117x - 3,654 0,987 Orde Satu y = 0,003x + 0,214 0,650 Higuchi y = 3,418x - 21,42 0,905 Korsmeyer-Peppas y = 1,456x - 2,116 0,964

Data pengujian pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP maupun cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP digunakan untuk menentukan kinetika pelepasan dari masing-masing cangkang kapsul alginat tersebut. Dari Tabel 4.4 dapat dilihat kinetika orde pelepasan cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP, yang menunjukkan pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP mendekati kinetika pelepasan Orde Nol, dengan nilai persamaan regresi y = 0,163x - 2,383 dan nilai R = 0,994. Sedangkan kinetika orde pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP juga

mengikuti kinetika pelepasan Orde Nol, dengan nilai persamaan regresi y = 0,117x - 3,654 dan nilai R = 0,987. Maka pelepasan metronidazol dari kedua

cangkang kapsul alginat baik cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP maupun cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP mendekati kinetika pelepasan Orde Nol. Dengan nilai % kumulatif pelepasan metronidazol sebanding dengan satuan waktu.

(62)

Gambar 4.7 Grafik kinetika orde nol pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP dalam medium lambung buatan pH 1,2.

Gambar 4.8 Grafik kinetika orde nol pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP dalam medium lambung buatan pH 1,2. Sedangkan untuk kinetika pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 500 - 600 dengan menggunakan ring juga dilakukan terhadap empat model kinematika yaitu: orde nol, orde satu, model Higuchi dan Korsmeyer-peppas. Kinetika pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP dengan menggunakan ring dapat dilihat pada Tabel 4.6.

(63)

Tabel 4.6 Kinetika pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP dengan menggunakan ring

Persamaan Regresi R Orde Nol y = 0,156x - 5,132 0,980 Orde Satu y = 0,002x + 0,433 0,717 Higuchi y = 0,092x - 0,184 0,870 Korsmeyer-Peppas y = 2,571x - 1,590 0,983

Grafik kinetika pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP dengan menggunakan ring dapat dilihat pada Gambar 4.9.

Gambar 4.9 Grafik kinetika orde nol pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP dengan menggunakan ring dalam medium lambung buatan pH 1,2.

Kinetika orde pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP menggunakan ring juga mengikuti kinetika pelepasan Orde Nol, dengan nilai persamaan regresi y = 0,156x - 5,132 dan nilai R = 0,980. Maka pelepasan metronidazol mendekati kinetika pelepasan Orde Nol. Dengan nilai % kumulatif pelepasan metronidazol sebanding dengan satuan waktu.

(64)

4.5 Uji Waktu Floating

Sediaan cangkang kapsul alginat yang telah diformulasi ditempatkan dalam beaker glass berisi medium lambung buatan kemudian dicatat floating lag time dan floating time. Hal ini dilakukan terhadap cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP juga cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP. Hasil uji waktu floating

dapat dilihat pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Hasil uji waktu floating dari cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP dan cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP

Formulasi Floating Lag Time Floating Time

Kapsul alginat 80 - 120 cP 0 detik >12 jam

Kapsul alginat 500 - 600 cP 0 detik >12 jam

Dari Tabel 4.7 dapat dilihat waktu floating dari kedua cangkang kapsul alginat baik cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP maupun cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP menunjukkan floating lag time 0 detik. Cangkang kapsul alginat langsung mengapung ketika diletakkan ke dalam medium lambung buatan pH 1,2. Hal ini karena cangkang kapsul alginat memiliki berat jenis yang lebih rendah jika dibandingkan dengan berat jenis medium lambung buatan pH 1,2, sehingga kedua cangkang kapsul alginat tersebut baik cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP dan cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP dapat langsung mengapung.

(65)

tetap mengapung. Cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP dapat mengapung dalam jangka waktu yang lama. Di mana floating time cangkang kapsul tersebut dapat bertahan mulai dari waktu 0 menit, 240 menit, 480 menit dan 720 menit tetap mengapung. Bahkan cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP ini dapat bertahan sampai lebih dari 720 menit untuk tetap mengapung.

(66)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan cangkang kapsul alginat untuk sediaan yang bertahan dilambung dapat digunakan. Hal ini dikarenakan kemampuan cangkang kapsul alginat untuk tetap utuh bila dalam medium lambung buatan pH 1,2. Maka cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP dan cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP dapat dikembangkan untuk penggunaan sebagai sediaan floating dari metronidazol.

Sedangkan pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP menghasilkan pelepasan yang lebih lambat dibanding dengan pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP, hal ini dikarenakan cangkang kapsul alginat 500 - 600 cP lebih tebal dibanding dengan cangkang kapsul alginat 80 - 120 cP. Pelepasan metronidazol dari cangkang kapsul alginat menunjukkan pelepasan sustained release.

5.2 Saran

Disarankan untuk peneliti selanjutnya agar melakukan pemeriksaan secara

Gambar

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian
gambar di bawah ini.
Gambar 2.2 Berbagai metode pendekatan sediaan Gastro Retentive
Gambar 2.3 Anatomi lambung (Arunachalam, et al., 2011)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa cangkang kapsul alginat sebagai kapsul floating yang berisi dispersi padat amoksisilin dapat memberikan

Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa cangkang kapsul alginat sebagai kapsul floating yang berisi dispersi padat amoksisilin dapat memberikan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa cangkang kapsul alginat 80-120 cP lebih sesuai untuk digunakan dalam pembuatan sediaan lepas tunda dari indometasin..

Pengaruh penggunaan alginat dengan viskositas yang berbeda serta pengaruh penambahan PEG 2% terhadap pelepasan obat dari cangkang kapsul dalam sediaan

Ho : Tidak ada pengaruh perbedaan pH medium usus buatan terhadap pelepasan indometasin dari kapsul alginat 80-120 cP.. H 1 : Ada pengaruh perbedaan pH medium usus

Kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan cangkang kapsul alginat yang mengandung PEG 6000 4% dari sediaan floating tetrasiklin memberikan pelepasan yang memenuhi

Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa cangkang kapsul alginat sebagai kapsul floating yang berisi dispersi padat klaritromisin dapat memberikan

Dapat disimpulkan bahwa cangkang kapsul alginat yang dibuat dari natrium alginat 80-120 cP memenuhi persyarata USP sebagai sediaan lepas tunda (delayed release)