• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI PADA REMAJA DIFABEL CACAT FISIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI PADA REMAJA DIFABEL CACAT FISIK"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh :

Nama : Enadhor Nisita Childa

NIM : 049114009

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

i

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh :

Nama : Enadhor Nisita Childa

NIM : 049114009

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

Inginku menjadi seperti mereka…

Bukan sebesar mereka, namun sekuat mereka…

Karna hidup tak selalu mudah…

Jika dirimu mempunyai mimpi dan ingin mewujudkannya…

Janganlah kamu tidur kembali…tapi bangunlah…

dan lakukanlah…

Maka yang kamu impikan akan terwujud…

Skripsi ini kupersembahkan untuk :

Bapa, Tuhan Yesus dan Bunda Maria di Surga…

Papa, Mama, Kakakku Eldista

“Someone special” and Syaiful

Dan untuk diriku sendiri, Dora…

(6)

v

memuat karya atau bagian karaya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 25 Juni 2009 Penulis

(7)

vi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

2009

Penelitian ini bertujuan untuk menguji ada tidaknya hubungan antara konsep diri dengan motivasi berprestasi pada remaja difabel cacat fisik. Aspek aspek konsep diri dalam penelitian ini meliputi physical self, social self, moral self

dan psychological self. Remaja yang memiliki konsep diri positif maka akan memiliki motivasi berprestasi yang tinggi serta akan berusaha mendapatkan keberhasilan dalam hidupnya.

Subyek penelitian adalah remaja yang tinggal dan menjalani rehabilitasi di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (BBRSBD) Prof. Dr. Soeharso Surakarta sebanyak 50 orang. Alat pengumpulan data yang digunakan berupa skala yang terdiri dari 45 aitem skala konsep diri (dengan reliabilitas sebesar 0.949) dan 42 aitem skala motivasi berprestasi (dengan reliabilitas sebesar 0.928). Proses pengambilan data menggunakan model try out terpakai sehingga pengambilan data hanya dilakukan satu kali. Metode statistik yang digunakan untuk menganalisis data adalah Pearson Product Moment.

Hasil penelitian ini adalah ada hubungan positif yang signifikan antara konsep diri dengan motivasi berprestasi. Ditunjukkan dengan hasil r = 0.720 pada taraf signifikasi 1% (p < 0.01). Artinya, semakin positif konsep diri yang dimiliki remaja difabel cacat fisik, maka akan semakin tinggi pula motivasi berprestasinya dan sebaliknya semakin negatif konsep diri yang dimiliki remaja difabel cacat fisik, maka akan semakin rendah motivasi berprestasinya.

(8)

vii

Sanata Dharma University Yogyakarta

2009

Current research is aimed to examine the correlation between self concept and achievement motivation in adolescents with physical disabilities. Aspects of self concept in this research were physical self, social self, moral self and psychological self. Adolescents who had positive self concept will also have higher achievement motivation and then they will try to get success in their life.

The subject of current research were 50 adolescents who lived and received rehabilitation in Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (BBRSBD) Prof. Dr. Soeharso, Surakarta. Data collecting were scales composed of 45 self-concept scale items (the reliability is 0.949) and 42 achievement motivation scale items (the reliability is 0.928). Process of collecting data used applied try out model, so collecting data was held once for estimating psychometric quality and also for data analysis. Statistical method which used to analyze the data was

Pearson Product Moment.

Result of this research was a significant positive correlation between the self-concept with achievement motivation. The correlation was showed by yield r=0.720 on the significant level 1% (p<0.01). It means, if adolescents with physical disabilities had more positive self-concept, and then their achievement motivation will higher and conversely if adolescents with physical disabilities had more negative self-concept, then their achievement motivation will lower.

(9)

viii

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Enadhor Nisita Childa

Nomor Mahasiswa : 049114009

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Motivasi Berprestasi

Pada Remaja Difabel Cacat Fisik

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta, pada tanggal 25 Juni 2009

Yang menyatakan

(10)

ix

Kristus dan Bunda Maria atas segala penyertaan, perlindungan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas Sanata Dharma.

Penulis menyadari banyak kesulitan dan kendala yang mengiringi penulisan skripsi ini. sulit rasanya menyelesaikan penulisan skripsi ini tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan ungkapan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang memberikan ijin penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., Psi., M.Si., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan, waktu dan perbaikan yang amat berharga dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini. Terimakasih juga untuk kesabaran ibu. Trimakasih banyak ya bu.

3. Dra. Lusia Pratidarmanastiti, MS. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis secara akademik selama penulis menempuh kuliah. Terimakasih atas kesabaran ibu membimbing.

(11)

x

Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (BBRSBD) Prof. Dr. Soeharso Surakarta. Terimakasih teman-teman atas waktu kesediaan kalian dalam membantu penulis melakukan penelitian sehingga skripsi ini dapat selesai. Tanpa bantuan teman-teman, skripsi ini tidak akan selesai.

6. Ibu Ratna. Terimakasih atas segala bantuan selama penelitian di BBRSBD Prof. Dr. Soeharso sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. 7. Bapak Y. Heri Widodo, M.Psi., selaku pembimbing di Divisi Training

Universitas Sanata Dharma. Terimakasih atas dorongan bapak sehingga skripsi ini dapat selesai.

8. Seluruh bapak dan ibu dosen fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma ang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terimakasih ya pak, terimakasih ya bu.

9. Pak Gie, Mas Gandung dan Mbak Nanik di Sekretariat Psikologi Universitas Sanata Dharma yang banyak membantu kelancaran selama penulis menempuh kuliah dan proses skripsi.

(12)

xi

menyelesaikan tugasku dengan baik. Thank’s mom, thank’s dad, I LOVE U.

12.Kakakku satu-satunya, Eldista. Thank’s atas dukungan, doa dan semuanya. Tetap semangat ya!

13.Untuk “matahariku” yang selalu menyinari hariku dengan sesuatu yang baru, makasih ya huny atas semua yang telah kamu berikan. Makasih atas dorongan, omelan yang bisa membuat aku sadar untuk menyelesaikan skripsi ini. Makasih kesetiaanmu saat aku susah dan senang.

14.Untuk “syaiful” yang setiap hari tak pernah pergi dariku. Walau kamu hanya seekor kucing, tapi kamu berharga untuk aku, karna apapun tingkahmu, selalu bisa bikin aku tertawa. Makasih ya pul, setiap aku ngetik, kamu selalu menemaniku di depan komputer.

15.Mas Totok dan Pak P, kalian memang pasangan serasi…hehehe…thank’s ya buat dukungannya dan kepedulian kalian. Terimakasih kakak-kakakku yang cakep.

16.Bayu Edvra, makasih banyak atas sindiran dan ejekan buat kakakkmu ini, karna akhirnya kelar juga dek…hehehe

(13)

xii sampai di sini. Hehehe…thank’s guys…

19.Teman-teman Divisi Training dan Biro Alumni yang juga selalu mendukung aku untuk cepat menyelesaikan skripsi ini. Mungkin aku nggak bisa ucapin terimakasih ke kalian satu per satu tapi aku menemukan keluarga baru di dalam kalian. Trimakasih teman-teman.

20.Vespa dan motorku yang setia mengantarkanku ke kampus. Tanpa kalian, aku pasti ke kampus by foot…hehehe

21.Laptop dan komputerku yang setia on sampai pagi menemaniku menyelesaikan skripsi ini. Thank’s yah…

22.Semua pihak yang telah banyak mendukung dan membantu penulis selama kuliah dan dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Makasiiiiiihhh banyaaaaakkk yaaa…

(14)

xiii

Isi Hal :

HALAMAN JUDUL ……… i

Lembar Persetujuan ……… ii

Lembar Pengesahan ……… iii

Lembar Motto dan Persembahan ………... iv

Lembar Keaslian Karya ……… v

Abstrak ……… vi

Abstract ……… vii

Lembar Persetuuan Publikasi ……… viii

Kata Pengantar ……….. ix

Daftar Isi ……… x

Daftar Tabel ……… xvi

Daftar Skema ……… xviii

Daftar Lampiran ……… xix

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Rumusan Masalah ……… 6

C. Tujuan Penelitian ……… 6

D. Manfaat Penelitian ……… 7

1. Manfaat Praktis ………... 7

(15)

xiv

2. Faktor-faktor yang memperngaruhi motivasi berprestasi …… 9

3. Ciri-ciri motivasi berprestasi tinggi …….……… 10

B. Konsep Diri ………. 12

1. Pengertian konsep diri ………. 12

2. Pembentukan konsep diri ………. 13

3. Jenis-jenis Konsep Diri ………. 15

4. Aspek-aspek konsep diri ………. 16

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep diri ……….. 19

C. Remaja ……… 20

1. Pengertian remaja ……….. 20

2. Karakteristik remaja ……….. 20

D. Difabel Cacat Fisik ……….. 27

1. Pengertian Difabel Cacat Fisik ……….. 27

2. Sebab dan Jenis Difabel Cacat Fisik ………. 30

3. Dampak Psikologis dari Difabel Cacat Fisik ………...………. 32

E. Hubungan ……….. 33

F. Hipotesis ………. 36

BAB III METODE PENELITIAN ……… 38

A. Jenis Penelitian ……… 38

(16)

xv

F. Metode Analisis Data ……….. 54

G. Prosedur Penelitian ……….. 55

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 57

A. Pelaksanaan Penelitian ……….. 57

B. Hasil Penelitian ………. 57

C. Analisis Hasil Penelitian ………. 59

D. Pembahasan ………. 62

BABV KESIMPULAN DAN SARAN ……… 69

A. Kesimpulan ………. 69

B. Saran ………. 69

Daftar Pustaka ………. 71

(17)

xvi

Blueprint Skala Konsep Diri Sebelum Uji Coba ……… 45

Tabel 3.2

Blueprint Skala Motivasi Berprestasi Sebelum Uji Coba ……… 47

Tabel 3.3

Hasil Analisis Aitem Skala Konsep Diri ……… 50

Tabel 3.4

Hasil Analisis Aitem Skala Motivasi Berprestasi ……… 51

Tabel 3.5

Distribusi Aitem Skala Konsep Diri setelah try out ……… 52

Tabel 3.6

Distribusi Aitem Skala Motivasi Berprestasi ……….. 53

Tabel 4.1

Deskripsi Data Hasil Penelitian ………. 57

Tabel 4.2

Hasil Pengujian Normalitas ……… 60

Tabel 4.3

(18)

xvii

Tabel 4.5

Uji Mean Empirik dan Mean Hipotetik

Aspek physical self, social self dan psychological self ……….. 65

Tabel 4.6

Uji Mean Empirik dan Mean Hipotetik Aspek moral self ………... 66

Tabel 4.7

Uji Mean Empirik dan Mean Hipotetik

(19)

xviii

Skema hubungan antara konsep diri

(20)

xix Lampiran 1

Kuisioner try out dan kuisioner penelitian ……….. 75

Lampiran 2

Data hasil try out dan data hasil penelitian ……….. 85

Lampiran 3

Analisis aitem (korelasi aitem total) ……….. 102

Lampiran 4

Uji asumsi (uji normalitas dan uji linearitas) ……….. 107

Lampiran 5

(21)

A. LATAR BELAKANG

Remaja adalah suatu masa yang selalu menarik untuk dibicarakan karena periode remaja adalah masa transisi dari periode anak-anak ke periode dewasa. Menurut Bukatko (2008), dalam perkembangannya, remaja mengalami suatu krisis identitas. Krisis identitas ini menunjuk pada gagasan bahwa remaja, faktanya mengalami suatu periode ketidaktentuan tentang siapakah mereka dan peranan apa yang akan mereka penuhi dalam hubungannya dengan masyarakat (Bukatko, 2008).

(22)

Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai remaja-remaja lain yang kurang beruntung, dengan terlahir cacat atau mengalami suatu hal yang menyebabkan mereka menyandang cacat. Dengan kemampuan fisik mereka yang berbeda dari remaja normal, mereka terpaksa mengembangkan kemampuan lain untuk menjalani kehidupan. Misalnya dengan berjalan menggunakan tangan atau menggunakan tongkat untuk menggantikan penglihatan mereka. Kemampuan yang berbeda ini disebut dengan difabel (different ability).

Terkadang peran difabel ini menjadi kurang jelas karena mereka membutuhkan bantuan orang lain dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Mereka menjadi bergantung kepada orang lain yang lebih kuat, misalnya dalam keseharian mereka membutuhkan bantuan untuk bergerak, membersihkan badan, dan lain-lain. Terlebih lagi para difabel ini dianggap kurang produktif untuk berperan aktif dalam masyarakat.

Ahmad (dalam Kedaulatan Rakyat, 2008) mengemukakan bahwa para difabel harus bejuang terus dan pantang putus asa untuk meraih dunia kerja yang diharapkan. Selain itu, secara proaktif juga menyampaikan ke semua pihak bahwa mereka memiliki potensi yang bisa diandalkan pula. Oleh karena itu pemberdayaan difabel dapat dimulai dari diri mereka sendiri.

(23)

keberhasilan pada saat remaja. Menurut Santrock (1998), keberhasilan pada saat remaja sangat terkait dengan keberhasilan pada prestasi belajar di sekolah. Dalam hal ini prestasi belajar merupakan hasil yang dicapai seorang siswa dalam usaha belajarnya sebagaimana dicantumkan di dalam nilai rapornya. Melalui prestasi belajar seorang siswa dapat mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dalam belajar (Wirawan, dalam Sawitri, 2004)

Keberhasilan remaja dalam mendapatkan prestasi sangat dipengaruhi oleh faktor motivasi. Motive adalah suatu alasan atau dorongan yang menyebabkan individu melakukan sesuatu atau melakukan tindakan tertentu (Handoko, dalam Ninawati, 2002). Motif-motif tersebut pada saat tertentu akan menjadi aktif bila kebutuhan untuk mencapai kebutuhan sangat dirasakan (Ninawati, 2002).

(24)

mampu sehingga memungkinkan dirinya termotivasi untuk meraih prestasi. Begitupun sebaliknya, apabila remaja memandang negatif kemampuan yang dimilikinya, maka remaja akan merasa bahwa dirinya tidak mampu untuk mencapai suatu prestasi sehingga di dalam dirinya tidak ada lagi motivasi untuk meraih prestasi.

Konsep diri merupakan semua perasaan dan pemikiran seseorang mengenai dirinya sendiri. Hal ini meliputi kemampuan, karakter diri, sikap, tujuan hidup, kebutuhan dan penampilan diri. Gambaran pribadi remaja terhadap dirinya meliputi penilaian diri dan penilaian sosial (Mahendratto, 2007). Remaja dengan konsep diri positif lebih akan mengembangkan alternatif yang menguntungkan sehingga lebih berpeluang menampilkan tingkah laku yang lebih produktif. Remaja dengan konsep diri negatif biasanya takut untuk mencoba. Kondisi ini tentu saja menghambat pengembangan diri.

(25)

Perasaan-perasaan inferiorotas tersebut bukan suatu pertanda abnormalitas melainkan justru penyebab segala bentu penyempurnaan dalam kehidupan manusia. Kendatipun rasa rendah diri itu membawa penderitaan, namun hilangnya rasa rendah diri tidak mesti berarti datangnya kenikmatan. Bagi Adler tujuan manusia bukanlah mendapatkan kenikmatan, akan tetapi mencapai kesempurnaan (Hasibuan, 2007).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Harter (dalam Santrock, 2003), menyatakan bahwa penampilan fisik secara konsisten berkorelasi paling kuat dengan rasa percaya diri dan penerimaan sosial remaja. Remaja yang memiliki cacat fisik menjadi tidak percaya diri, tidak memiliki keberanian, serta merasa kurang mampu menghadapi kehidupannya (Awisol, dalam Funny 2008). Mereka seringkali menganggap dirinya sebagai orang yang gagal dan tidak berguna (Hall&Linsey, dalam Funny, 2008). Cacat fisik tersebut yang menyebabkan remaja mengalami “inferiority complex”, yaitu perasaan kekurangan dan kegelisahan yang berasal dari kekurangan fisik atau psikologis, baik yang nyata ataupun tidak nyata, yang menyebabkan munculnya ekspresi tingkah laku mulai dari menarik diri, kompensasi berlebihan dan juga agresi (Vanden Bos, dalam Funny, 2008).

(26)

pada masa tersebut. Namun jika remaja yang memiliki cacat fisik dapat memandang dirinya secara positif maka mereka juga akan merasa yakin bahwa mereka dapat menyelesaikan setiap tugas yang diberikan kepada mereka sehingga secara perlahan mereka dapat mencapai prestasi mereka. Dengan demikian jelas bahwa prestasi merupakan sarana dalam melatih kesempatan yang pada akhirnya makin membuka peluang dalam dunia pekerjaan, begitupun sebaliknya (Gunarsa&Gunarsa, 2002).

Uraian permasalahan di atas mendorong peneliti untuk berusaha mengkaji tentang hubungan antara konsep diri dengan motivasi berprestasi pada remaja difabel cacat fisik.

B. RUMUSAN MASALAH

Dalam penelitian ini, permasalahan pokok yang ingin diungkap peneliti adalah “Apakah ada hubungan antara konsep diri dengan motivasi berprestasi pada remaja difabel cacat fisik?”

C. TUJUAN PENELITIAN

(27)

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Secara Praktis

a.Bagi pendidik atau pendamping remaja difabel cacat fisik, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dalam pendampingan, terutama dalam pendampingan sosial psikologis sehingga remaja difabel cacat fisik menjadi memiliki pandangan positif terhadap dirinya, serta pendampingan dalam bidang akademis dan skill agar para remaja difabel cacat fisik dapat termotivasi untuk meraih prestasi.

2. Secara Teoritis

(28)

A. MOTIVASI BERPRESTASI

1. Pengertian Motivasi Berprestasi

Mc Clelland (dalam Robin, 1996) mengartikan motivasi berprestasi sebagai dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar dan berusaha untuk mendapatkan keberhasilan. Jadi dapat dikatakan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi adalah individu yang berorientasi pada tugas, suka bekerja dengan tugas-tugas yang menantang. Penampilan individu pada tugas tersebut dapat dievaluasi dengan berbagai cara, bisa dengan cara membandingkan penampilan dengan orang lain atau dengan standar tertentu.

(29)

2. Faktor-faktor yang memperngaruhi motivasi berprestasi

Fernald dan Fernald (1999) mengungkapkan empat faktor yang berpengaruh terhadap motivasi berprestasi seseorang, yaitu :

a. Pengaruh keluarga dan kebudayaan (family and cultural influences). Besarnya kebebasan yang diberikan orang tua kepada anaknya, jenis pekerjaan orang tua dan jumlah serta urutan anak dalam suatu keluarga memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan motivasi berprestasi. Produk-produk kebudayaan pada suatu Negara seperti cerita rakyat sering mengandung tema-tema prestasi yang bisa meningkatkan semangat warganya.

b. Peranan dari konsep diri (role of self concept).

Konsep diri merupakan bagaimana seseorang berpikir mengenai dirinya sendiri. Apabila individu percaya bahwa dirinya mampu untuk melakukan sesuatu, maka individu akan termotivasi untuk melakukan hal tersebut sehingga mempengaruhi dalam bertingkah laku.

c. Pengaruh dari peran jenis kelamin (influence of sex roles).

(30)

yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi tidak selalu menetapkan tujuan yang menantang ketika dirinya diberikan pilihan dan juga tidak selalu bertahan jika menghadapi suatu kegagalan. d. Pengakuan dan prestasi (recognition and achievement).

Individu akan termotivasi untuk bekerja keras jika dirinya merasa dipedulikan oleh orang lain.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa motivasi berprestasi sangat dipengaruhi oleh konsep diri dan peran orang tua atau keluarga. Dengan adanya kepercayaan diri, maka individu menjadi mampu untuk melakukan sesuatu dan dari situlah akan muncul motivasi pada diri individu untuk melakukan hal tersebut. Selain itu, hasil-hasil kebudayaan seperti hikayat-hikayat yang berisi pesan-pesan juga bias mendorong anak untuk meningkatkan prestasinya. Perbedaan jenis kelamin dalam mempengaruhi motivasi berprestasi saat ini masih banyak diperdebatkannamun sepertinya perbedaan tersebut dipengaruhi oleh kebudayaan. Selain itu motivasi berprestasi juga dipengaruhi oleh kepedulian orang lain terhadap individu.

3. Ciri-ciri motivasi berprestasi tinggi

(31)

a. Berprestasi yang dihubungkan dengan seperangkat standar. Seperangkat standar itu bisa dihubungkan dengan orang lain, prestasi diri sendiri yang lampau serta tugas yang harus dilakukannya.

b. Memiliki tanggungjawab pribadi terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan.

c. Adanya kebutuhan untuk mendapatkan umpan balik atas pekerjaan yang dilakukannya sehingga dapat diketahui dengan cepat hasil yang diperoleh dari kegiatannya lebih baik atau lebih buruk.

d. Menghindarkan tugas-tugas yang sulit atau terlalu mudah, tetapi akan memilih tugas-tugas dengan tingkat kesukaran sedang.

e. Inovatif, yaitu dalam melakukan suatu pekerjaan dilakukan dengan cara yang berbeda, efisien dan lebih baik daripada sebelumnya. Hal ini dilakukan agar individu mendapatkan cara-cara yang lebih menguntungkan dalam pencapaian tujuan.

f. Tidak menyukai keberhasilan yang bersifat kebetulan atau karena tindakan orang lain dan ingin merasakan sukses atau kegagalan yang disebabkan oleh individu itu sendiri.

(32)

yang mudah sehingga dirinya yakin akan terhindar dari kegagalan atau mencari tugas yang sangat sulit sehingga kegagalan bukan hal yang negatif karena hampir semua individu akan gagal melakukannya. Individu tentu juga akan menghindari tugas yang tingkat kesulitannya menengah karena mungkin individu akan gagal, sementara yang lain akan berhasil.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi adalah individu yang memiliki standar berprestasi, memiliki tanggungjawab pribadi terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan, individu lebih suka bekerja pada situasi dimana dirinya mendapatkan umpan balik sehingga dapat diketahui seberapa baik tugas yang telah dilakukannya, individu tidak menyukai keberhasilan yang bersifat kebetulan atau karena tindakan orang lain, individu lebih suka bekerja pada tugas yang tingkat kesulitannya menengah dan realistis dalam pencapaian tujuannya serta individu bersifat inovatif dimana dalam melakukan suatu tugas dilakukan dengan cara yang berbeda.

B. KONSEP DIRI

1. Pengertian konsep diri

(33)

pengalamannya berinteraksi dengan orang lain yang memiliki arti penting dalam hidupnya.

Konsep diri memiliki arti yang lebih mendalam dari sekedar gambaran deskriptif. Konsep diri adalah aspek yang penting dari fungsi-fungsi manusia karena sebenarnya manusia sangat memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan dirinya, termasuk siapakah dirinya, seberapa baik mereka merasa tentang dirinya, seberapa efektif fungsi-fungsi mereka atau seberapa besar impresi yang mereka buat terhadap orang lain (Kartikasari, 2002).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa konsep diri merupakan suatu pandangan atau penilaian individu terhadap dirinya sendiri, baik yang bersifat fisik seperti seberapa baik mereka merasa tentang dirinya, serta social maupun psikologis yang didapat dari hasil interaksinya dengan orang lain.

2. Pembentukan konsep diri

(34)

juga mengatakan bahwa konsep diri adalah hasil belajar individu melalui hubungannya dengan orang lain, yang dimaksud ‘orang lain’ di sini adalah:

a.Orang tua

Orang tua adalah kontak sosial yang paling awal dialami seseorang dan paling kuat. Informasi yang diberikan orang tua kepada anaknya lebih mengena daripada informasi yang diberikan oleh orang lain. Oleh sebab itu anak-anak yang tidak memiliki orang tua memperoleh kesukaran dalam mendapatkan informasi tentang dirinya sehingga hal ini akan menjadi penyebab utama anak berkonsep diri negatif.

b. Teman sebaya

Teman sebaya menempati posisi kedua setelah orang tua dalam mempengaruhi konsep diri. Peran yang diukur dalam kelompok sebaya sangat berpengaruh terhadap pandangan individu mengenai dirinya sendiri.

c.Masyarakat

Masyarakat sangat mementingkan fakta-fakta yang ada pada seorang anak, seperti siapa bapaknya, ras, dan lain-lain sehingga hal ini sangat berpengaruh terhadap konsep diri yang dimiliki oleh seorang individu.

(35)

dalam perkembangan konsep diri adalah interaksi individu dengan orang lain, yaitu orang tua, teman sebaya, serta masyarakat.

3. Jenis-jenis Konsep Diri

Menurut Calhoun dan Acocella (1990), dalam perkembangannya konsep diri terbagi dua yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif.

a.Konsep diri positif

Konsep diri positif lebih kepada penerimaan diri bukan sebagai suatu kebanggaan yang besar tentang diri. Konsep diri yang positif bersifat stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang tahu betul tentang dirinya, dapat memahami dan menerima segala fakta tentang dirinya, evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima keberadaan orang lain. Individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk dapat dicapai, mampu menghadapi kehidupan didepannya serta menganggap bahwa hidup adalah suatu proses penemuan.

(36)

b. Konsep diri negatif

Calhoun dan Acocella (1990) membagi konsep diri negatif menjadi dua tipe yaitu:

1) Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur, tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Individu tersebut benar-benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya atau yang dihargai dalam kehidupannya.

2) Pandangan tentang dirinya sendiri terlalu kaku. Hal ini bisa terjadi karena individu dididik dengan cara keras, sehingga menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam pikirannya merupakan cara hidup yang tepat.

Ringkasnya, individu yang memiliki konsep diri yang negatif terdiri dari dua tipe, tipe pertama yaitu individu yang tidak tahu siapa dirinya dan tidak mengetahui kekurangan dan kelebihannya, sedangkan tipe kedua adalah individu yang memandang dirinya dengan sangat teratur dan stabil sehingga terkesan kaku dan keras.

4. Aspek-aspek konsep diri

(37)

a. Physical self, yaitu penilaian individu terhadap segala sesuatu yang dimiliki individu seperti tubuh, pakaian, benda miliknya, dan sebagainya.

b. Social self, meliputi bagaimana peranan sosial yang dimainkan oleh individu dan sejauh mana penilaian individu terhadap performannya.

c. Moral self, meliputi nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang member arti dan arah bagi kehidupan individu.

d. Psychological self, meliputi pikiran, perasaan dan sikap-sikap individu terhadap dirinya sendiri.

Konsep diri merupakan gambaran mental yang dimiliki oleh seorang individu. Gambaran mental yang dimiliki oleh individu memiliki tiga aspek yaitu pengetahuan yang dimiliki individu mengenai dirinya sendiri, pengharapan yang dimiliki individu untuk dirinya sendirinya serta penilaian mengenai dirinya sendiri (Calhoun & Acocella,1990).

1. Pengetahuan

(38)

Pengetahuan yang dimiliki individu tidaklah menetap sepanjang hidupnya, pengetahuan bisa berubah dengan cara merubah tingkah laku individu tersebut atau dengan cara mengubah kelompok pembanding.

2. Harapan

Dimensi kedua dari konsep diri adalah harapan. Selain individu mempunyai satu set pandangan tentang siapa dirinya, individu juga memiliki satu set pandangan lain yaitu tentang kemungkinan menjadi apa di masa mendatang(Rogers dalam Calhoun dan Acocella,1990). Swingkatnya, setiap individu mempnyai pengharapan bagi dirinya sendiri dan pengharapan tersebut berbeda-beda pada setiap individu. 3. Penilaian

Dimensi terakhir dari konsep diri adalah penilaian terhadap dirinya sendiri. Individu berkedudukan sebagai penilai terhadap dirinya sendiri setiap hari. Penilaian terhadap diri sendiri adalah pengukuran individu tentang keadaannya saat ini dengan apa yang menurutnya dapat dan terjadi pada dirinya. Ditambahkan pula menurut Centi (1993) bahwa penilaian yang dilakukan individu adalah bagaimana individu merasa dirinya sebagai pribadi yang dipikirkannya.

(39)

(1990), konsep diri terdiri dari tiga aspek, yaitu pengetahuan, harapan dan penilaian.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep diri a.Usia

Menurut Grinder (1978), konsep diri pada masa anak-anak akan mengalami peninjauan kembali ketika individu memasuki masa dewasa. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa konsep diri dipengaruhi oleh meningkatnya faktor usia.

b. Tingkat pendidikan

Pengetahuan merupakan bagian dari suatu kajian yang lebih luas dan diyakini sebagai pengalaman yang sangat berarti bagi diri seseorang dalam proses pembentukan konsep dirinya. Pengetahuan dalam diri seseorang tidak dapat dating begitu saja dan diperlukan suetu proses belajar atau adanya suatu mekanisme pendidikan tertentu untuk mendapatkan pengetahuan yang baik sehingga kemampuan kognitif individu dapat dengan sendirinya meningkat (Epstein, 1973).

c.Lingkungan

(40)

Dari uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa konsep diri memiliki tiga faktor, yaitu usia, tingkat pendidikan dan lingkungan.

C. REMAJA

1. Pengertian remaja

Masa remaja adalah usia dimana individu mulai berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Individu tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak, integrasi dalam masyarakat, memiliki banyak aspek afektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber, termasuk di dalamnya juga perubahan intelektual yang mencolok, transformasi yang khas dari cara berpikir remaja memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa (Piaget dalam Hurlock, 1999).

Menurut Bukatko (2008), masa remaja dimulai dari usia 12 tahun dan berakhir di usia 18 tahun.

2. Karakteristik remaja

a. Tahap-tahap perkembangan remaja

(41)

1) Perkembangan Fisik

Menjelang dan pada saat masa remaja, terjadi perubahan fisik yang cukup mencolok. Hurlock (1994) mengatakan bahwa perubahan tubuh pada masa remaja dibagi menjadi dua, yaitu perubahan eksternal dan perubahan internal.

Pada perubahan eksternal, perubahan-perubahan yang terjadi adalah : a) Tinggi badan

b) Berat badan c) Proporsi tubuh d) Organ seks

e) Ciri-ciri seks sekunder

Kemudian pada perubahan internal (Hurlock, 1994), perubahan-perubahan yang terjadi yaitu :

a) Sistem pencernaan b) Sistem peredaran darah c) Sistem pernafasan d) Sistem endokrin e) Jaringan tubuh

(42)

2) Perkembangan Kognitif

Kekuatan pemikiran remaja yang sedang berkembang, membuka cakrawala kognitif dan cakrawala sosial yang baru (Santrock, 2002). Pemikiran remaja menjadi lebih abstrak, logis dan idealistis. Mereka lebih mampu menguji pemikiran diri sendiri, pemikiran orang lain dan apa yang orang lain pikirkan tentang diri mereka, serta cenderung menginterpretasikan dan memantau dunia sosial.

Pemikiran remaja juga idealistik (Santrock, 2002). Dalam hal ini, remaja mulai berpikir tentang ciri-ciri ideal bagi mereka sendiri dan orang lain. Mereka membandingkan diri mereka dan orang lain dengan standar-standar ideal tersebut. Selama masa remaja, penikiran-pemikiran mereka sering berupa fantasi yang mengarah ke masa depan.

Pada saat yang sama, ketika remaja berpikir lebih abstrak dan idealistis, mereka juga berpikir lebih logis (Kuhn, 1991). Remaja mulai menyusun rencana-rencana untuk memecahkan masalah-masalah dan menguji pemecahan masalah-masalah secara sistematis.

(43)

3) Perkembangan Sosio-Emosi

Pola emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi pada masa kanak-kanak. Pola-pola emosi itu berupa marah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira, sedih dan kasih sayang. Perbedaan terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan pengendalian dalam mengekspresikan emosi. Remaja umumnya memiliki kondisi emosi yang labil, pengalaman emosi yang ekstrem dan selalu merasa mendapatkan tekanan (Hurlock, 1999). Bila pada akhir masa remaja mampu menahan diri untuk tidak mengeksperesikan emosi secara ekstrem dan mampu mengekspresikan emosi secara tepat sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan dan dengan cara yang dapat diterima masyarakat, dengan kata lain remaja yang mencapai kematangan emosi akan memberikan reaksi emosi yang stabil (Hurlock, 1999).

(44)

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam perkembangan sosio-emosi remaja terdapat dua perubahan Yang pertama adalah perubahan pengendalian emosi, dari mulai emosi yang labil hingga emosi yang stabil. Perubahan yang kedua, remaja lebih ingin menghabiskan waktu bersama teman sebaya mereka daripada bersama dengan orang tua mereka, karena dengan cara inilah mereka mampu untuk mengekspresikan potensi yang mereka miliki.

b. Tugas-tugas perkembangan remaja

Pada remaja terdapat juga tugas-tugas remaja yang sebaiknya dipenuhi. Menurut Hurlock (1999) semua tugas perkembangan masa remaja dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Adapun tugas perkembangan remaja itu adalah :

1) Mencapai peran sosial pria dan wanita.

2) Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita.

3) Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.

4) Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya.

(45)

6) Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.

7) Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku dan mengembangkan ideologi.

Berdasarkan uraian di atas maka dalam perkembangannya, remaja memiliki tujuh tugas perkembangan yang sebaiknya dicapai.

c. Konsep diri remaja

Menurut Hurlock (1999) pada masa remaja terdapat delapan masa kondisi yang mempengaruhi konsep diri yang dimiliki oleh remaja, yaitu: 1) Usia kematangan

Remaja yang matang lebih awal dan diperlakukan hampir seperti orang dewasa, akan mengembangkan konsep diri yang menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Tetapi apabila remaja matang terlambat dan diperlakukan seperti anak-anak, maka mereka akan merasa bernasib kurang baik sehingga kurang bias menyesuaikan diri.

2) Penampilan diri

Penampilan diri yang berbeda dapat membuat remaja merasa rendah diri. Daya tarik fisik yang dimiliki sangat mempengaruhi dalam pembuatan penilaian tentang ciri kepribadian seorang remaja.

(46)

a) Kepatutan seks

Kepatutan seks dalam penampilan diri, minat dan perilaku membantu remaja mencapai konsep diri yang baik. Ketidakpatutan seks membuat remaja sadar diri dan hal ini member akibat buruk pada perilakunya. b) Nama dan julukan

Remaja peka dan merasa malu bila teman-teman sekelompok menilai namanya buruk atau bila mereka memberi nama dan julukan yang bernada cemoohan.

c) Hubungan keluarga

Seorang remaja yang memiliki hubungan yang dekat dengan salah satu anggota keluarga akan mengidentifikasikan dirinya dengan orang tersebut dan juga ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama. d) Teman-teman sebaya

Teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam dua cara. Pertama, konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang konsep teman-teman tentang dirinya. Yang kedua, seorang remaja berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang diakui oleh kelompok.

e) Kreativitas

(47)

didorong untuk mengikuti pola yang sudah diakui akan kurang memiliki perasaan identitas dan individualitas.

f) Cita-cita

Bila seorang remaja tidak memiliki cita-cita yang relistik, maka akan mengalami kegagalan. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak mampu dan reaksi-reaksi bertahan dimana remaja tersebut akan menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Remaja yang realistis pada kemampuannya akan lebih banyak mengalami keberhasilan daripada kegagalan. Hal ini akan menimbulkan kepercayaan diri dan kepuasan diri yang lebih besar yang memberikan konsep diri yang lebih baik.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa konsep diri pada remaja dipengaruhi oleh usia, kematangan, penampilan diri, kepatutan seks, nama dan julukan, hubungan keluarga, teman sebaya, kreativitas, cita-cita serta jenis kelamin.

D. DIFABEL CACAT FISIK

1. Pengertian Difabel Cacat Fisik

(48)

Bahasa Indonesia (2008), difabel disini diartikan pula sebagai penyandang cacat.

Menurut Organisasi Kesehatan Sedunia atau WHO (dalam Evakasim, 2005) penyandang cacat memiliki pengertian setiap orang yang memiliki ketidakmampuan atau keterbatasan sebagai akibat dari adanya kerusakan yang dapat mencegahnya melakukan aktivitas dengan cara yang dianggap normal bagi manusia.

Menurut UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat, Psl. 1 (dalam Evakasim, 2007) menyebutkan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari : penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental , serta penyandang cacat fisik dan mental (ganda).

Difabel cacat fisik yang biasa memiliki pengertian yang luas. Salah satunya dapat diartikan sebagai hilangnya atau tiadanya salah satu atau lebih anggota gerak tubuh atau tidak berfungsinya anggota gerak dengan sempurna. Termasuk ke dalam kelompok ini orang-orang yang menderita

(49)

Cacat tubuh menurut WHO diartikan sebagai kesulitan atau kesukaran dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat, baik di bidang sosial, ekonomi maupun psikologis yang dialami seseorang yang disebabkan oleh ketidaknormalan psikis, fisiologis maupun tubuh dan ketidakmampuannya melaksanakan kegiatan hidup secara normal (Departemen Sosial RI, 1995).

Pada dasarnya, orang-orang yang memiliki cacat fisik biasanya mempunyai organ tubuh lainnya yang lebih kuat atau lebih sensitif (Ridwan, 2007), antara lain, orang yang mengalami kebutaan, memiliki indera peraba dan pendengar yang lebih sensitif dibandingkan orang normal pada umumnya. Selain itu, orang yang lumpuh pada sebelah tangan, memiliki tangan lain yang lebih kuat daripada tangan orang normal. Oleh karena itu, sampai taraf tertentu orang-orang dengan keterbatasan fisik tersebut masih bisa berperan dalam lingkungan sosialnya.

(50)

2. Sebab dan Jenis Difabel Cacat Fisik

Cacat pada tubuh atau fisik dapat menyebabkan terhambatnya pemenuhan peran sesuai dengan fungsi psikis, fisik maupun sosio kultural. Mc Bridge (1953), mengklasifikasikan faktor-faktor penyebab cacat tubuh sebagai berikut:

a) Faktor bawaan, yaitu sebagai akibat kondisi kelahiran. Contohnya kelainan pangkal paha dan kelainan tulang belakang.

b) Pertumbuhan tumor

c) Peradangan atau penyakit yang merusak jaringan tubuh

d) Perubahan perkembangan dan metabolisme tubuh sebagai akibat kekurangan gizi dan kelainan kelenjar. Contohnya kaki pengkar, dada yang tidak simetris, tulang punggung yang melengkung. e) Amputasi atau kelainan struktur tubuh

Menurut Mangunsong (1998 : 145-146), yang termasuk penyandang cacat adalah anak-anak yang lahir dengan cacat fisik bawaan seperti anggota tubuh yang tidak lengkap, amputasi, anak gangguan neuro muskuler (cerebral palsy), anak-anak dengan gangguan sensomotorik (alat-alat penginderaan) dan anak-anak yang menderita penyakit kronis.

Secara umum Mangunsong (1998 : 146) mengkategorikan kecacatan sebagai berikut :

(51)

ketidaknormalan dalam fungsi tulang, otot-otot atau kerjasama otot. Namun kemampuan inteligensi mereka normal.

2) Anak tuna daksa yang tergolong dalam bagian D1 (SLB D1), adalah anak-anak yang memiliki cacat sejak lahir (cerebral palsy) sehingga mengalami cacat jasmani karena tidak berfungsinya tulang, otot sendi dan syaraf-syaraf. Kemampuan inteligensi mereka biasanya di bawah normal atau terbelakang.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa cacat tubuh disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu Faktor bawaan, pertumbuhan tumor, peradangan, perubahan perkembangan dan metabolisme tubuh, amputasi atau kelainan struktur tubuh. Selain itu anak tuna daksa dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu anak tuna daksa yang tergolong bagian D (SLB D) dan anak tuna daksa yang tergolong dalam bagian D1 (SLB D1).

(52)

3. Dampak Psikologis dari Difabel Cacat Fisik

Pada umumnya, sikap orang tua, keluarga, teman sebaya, teman sekolah dan masyarakat sangat berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri anak-anak tuna daksa (Somantri, 2006 : 132). Dengan demikian akan mempengaruhi respon sebagian terhadap lingkungannya sebagaimana dimaklumi bahwa konsep diri seseorang dipengaruhi oleh lingkungan. Seseorang akan menghargai dirinya sendiri apabila lingkungan pun menghargainya. Selain itu, ejekan dan gangguan anak-anak normal terhadap anak tuna daksa akan menimbulkan kepekaan efektif pada anak tuna daksa yang tidak jarang mengakibatkan timbulnya perasaan negatif pada diri mereka terhadap lingkungan sosialnya. Keadaan ini menyebabkan hambatan pergaulan sosial anak tunadaksa (Somantri, 2006 : 132).

Menurut Somantri (2006 : 132), pada jaman sekarang ini yang sudah semakin maju, keberhasilan seseorang sering diukur dari prestasinya, dan di dalam masyarakat dikenal norma tertentu bagi prestasi individu. Keterbatasan kemampuan anak tunadaksa seringkali menyebabkan mereka menarik diri dari pergaulan masyarakat yang mempunyai prestasi yang jauh di luar jangkauannya.

Pada penderita tunadaksa, kekurangan yang mereka miliki menyebabkan beberapa masalah (Somantri, 2006 : 133-134), diantaranya :

(53)

bersamaan juga berusaha untuk memperluas ruang gerak dirinya serta mempertahankan konsep diri yang sudah dimilikinya.

b. Masalah penyesuaian diri semata-mata merupakan gabungan dari kenyataan bahwa keadaan tunadaksa yang bersifat fisik merupakan hambatan yang terletak antara tujuan (goal) dan keinginan untuk mencapai tujuan tersebut.

Dari uraian-uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kecacatan tubuh membawa dampak, antara lain timbulnya perasaan negatif dengan lingkungan yang menyebabkan terhambatnya pergaulan sosial dan penarikan diri dari pergaulan masyarakat yang memiliki prestasi di luar jangkauannya. Sedangkan kecacatan tubuh juga menimbulkan masalah, yaitu masalah penyesuaian diri dan masalah terhambatnya keinginan untuk mencapai tujuan (goal).

E. HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN MOTIVASI

BERPRESTASI PADA REMAJA DIFABEL CACAT FISIK

(54)

Prestasi menjadi sangat penting bagi remaja karena dengan mendapatkan prestasi remaja akan memperoleh status pekerjaan yang lebih besar pada saat dewasa. Dengan demikian, jelas bahwa prestasi merupakan sarana dalam melatih kesempatan yang pada akhirnya makin membuka peluang dalam dunia pekerjaan, begitupun sebaliknya (Gunarsa&Gunarsa, 2002).

Keberhasilan dalam mendaparkan prestasi tentu tidaklah ada tanpa adanya motivasi yang dimiliki oleh remaja tersebut. Menurut Mc Clleland (dalam Robin, 1996), motivasi berprestasi merupakan dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar dan berusaha untuk mendapatkan keberhasilan. Jadi dapat dikatakan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi adalah individu yang berorientasi pada tugas, suka bekerja dengan tugas-tugas yang menantang dimana penampilan individu pada tugas tersebut dapat dievaluasi dengan berbagai cara, bisa dengan cara membandingkan penampilan dengan orang lain atau dengan standar tertentu.

(55)

Konsep diri dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah penempilan fisik (Hurlock, 1999). Penampilan diri yang berbeda dapat membuat remaja merasa rendah diri serta daya tarik fisik yang dimiliki sangat mempengaruhi dalam pembuatan penilaian tentang ciri kepribadian seorang remaja. Salah satu contoh penampilan fisik yang berbeda pada remaja adalah cacat fisik yang dialami. Cacat fisik ini dapat berupa bawaan dari lahir atau juga karena kecelakaan. Cacat fisik pada remaja merupakan sumber memalukan yang mengakibatkan perasaan rendah diri. Karena konsep ‘ideal’ remaja tersebut, remaja yang memiliki cacat fisik akan merasa tidak puas dengan dirinya dan mempunyai konsep diri yang negatif serta kurangnya harga diri selama masa remaja (Hurlock, 1996).

Menurut Soemantri (2006), kekurangan yang dimiliki penderita tunadaksa mempengaruhi penyesuaian diri yang mungkin terjadi pada kemajuan perkembangan yang normal yang dialami individu yang pada saat bersamaan juga berusaha untuk memperluas ruang gerak dirinya serta mempertahankan konsep diri yang sudah dimilikinya. Selain itu keadaan tunadaksa yang bersifat fisik merupakan hambatan yang terletak antara tujuan (goal) dan keinginan untuk mencapai tujuan tersebut.

(56)

Menurut Somantri (2006 : 132), pada jaman sekarang ini yang sudah semakin maju, keberhasilan seseorang sering diukur dari prestasinya, dan di dalam masyarakat dikenal norma tertentu bagi prestasi individu. Keterbatasan kemampuan anak tunadaksa seringkali menyebabkan mereka menarik diri dari pergaulan masyarakat yang mempunyai prestasi yang jauh di luar jangkauannya. Namun jika remaja dapat menerima apapun keadaan fisiknya dan memandang dirinya secara positif maka mereka akan memiliki konsep diri yang positif pula.

Oleh karena itu, jika remaja yang memiliki cacat fisik mempunyai konsep diri positif serta memiliki keyakinan bahwa mereka mampu melakukan pekerjaan layaknya remaja normal maka mereka akan dapat meraih prestasi seperti yang dapat diraih oleh remaja normal pada umumnya.

F. HIPOTESIS

(57)

Skema

Remaja difabel cacat fisik :

- Remaja yang memiliki ketidaknormalan atau kekurangan pada fisik akibat cacat bawaan dari lahir atau karena kecelakaan

Konsep diri negatif Konsep diri positif

-Pandangan tentang diri -pemahaman dan penerimaan

tidak teratur dan terlalu kaku segala fakta tentang diri

memiliki efikasi diri yang memiliki efikasi diri yang

cenderung rendah cenderung tinggi

-tidak memiliki keyakinan akan -memiliki keyakinan akan

kemampuan dirinya kemampuan dirinya

-kurang cepat menghadapi masalah -cepat menghadapi masalah

-tidak mampu bangkit dari kegagalan -mampu bangkit dari kegagalan

dan mudah menyerah dan pantang menyerah

(58)

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif korelasional. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada hubungan antara konsep diri dengan motivasi berprestasi pada remaja difabel cacat fisik. Pada penggunaan jenis penelitian korelasional, kita dapat menyelidiki apakah variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih vareiabel lain berdasarkan koefisien varibel korelasi (Azwar, 1999).

B. Identivikasi Variabel

Variable yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsep diri. 2. Variabel Tergantung

(59)

C. Definisi Operasional

1. Konsep Diri

Konsep diri merupakan pandangan atau persepsi individu terhadap dirinya, baik bersifat fisik, sosial maupun psikologis. Pandangan ini diperoleh dari pengalamannya berinteraksi dengan orang lain yang memiliki arti penting dalam hidupnya (Brooks, dalam Rakhmat, 2002).

Konsep diri seseorang meliputi aspek-aspek sebagai berikut (Berzonsky, 1981) :

a. Physical self

Meliputi penilaian individu terhadap segala sesuatu yang dimiliki (tubuh, pakaian, benda, dll).

b. Social self

Meliputi penilaian individu terhadap performannya dan peranan sosial yang dimainkan

c. Moral self

Meliputi nilai dan prinsip yang memberi arti dan arah bagi kehidupan individu.

d. Psychological self

Meliputi pikiran, perasaan dan sikap-sikap individu.

(60)

tinggi skor total yang diperoleh subjek, semakin positif pula konsep dirinya.

2. Motivasi Berprestasi

Mc Clelland (dalam Robin, 1996) mengartikan motivasi berprestasi sebagai dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar dan berusaha untuk mendapatkan keberhasilan. Dapat dikatakan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi adalah individu yang berorientasi pada tugas, suka bekerja dengan tugas-tugas yang menantang dimana penampilan individu pada tugas tersebut dapat dievaluasi dengan berbagai cara, bisa dengan cara membandingkan penampilan dengan orang lain atau dengan standar tertentu. Orang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi adalah orang yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a. Berprestasi yang dihubungkan dengan seperangkat standar.

b. Memiliki tanggungjawab pribadi terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan.

c. Adanya kebutuhan untuk mendapatkan umpan balik atas pekerjaan yang dilakukannya.

d. Menghindarkan tugas-tugas yang sulit atau terlalu mudah, tetapi akan memilih tugas-tugas dengan tingkat kesukaran sedang.

e. Inovatif.

(61)

Pengukuran tingkat motivasi berprestasi pada subjek penelitian menggunakan skala yang berkaitan dengan dengan keenam indikator tersebut. Tingkat motivasi berprestasi didapat dari skor total penelitian, yang memiliki arti semakin tinggi skor total yang diperoleh subjek, semakin tinggi pula tingkat motivasi berprestasinya.

D. Subyek Penelitian

Dalam penelitian ini, subyek penelitian yang dipakai adalah berdasarkan ciri-ciri atau karakteristik sebagai berikut :

1. Berusia 12 tahun sampai dengan 18 tahun.

Alasan pemilihan subyek dengan rentang usia tersebut adalah mengacu pada rentang usia yang ditulis oleh Bukatko (2008). Peneliti menggunakan rentang usia yang ditulis oleh Bukatko dikarenakan peneliti mengacu pada referensi terbaru mengenai batasan usia perkembangan manusia.

2. Menderita cacat fisik atau termasuk dalam kategori bagian D (SLB D). Subyek tersebut merupakan orang-orang yang memiliki cacat fisik yang memiliki kemampuan inteligensi normal, layaknya orang normal pada umumnya, sehingga dimungkinkan dapat bekerjasama dengan baik dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti.

(62)

yang tinggal di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa tersebut merupakan orang-orang yang menderita cacat fisik yang memiliki kemampuan inteligensi normal seperti orang-orang normal pada umumnya. Selain itu, saat ini BBRSBD Prof. Dr. Soeharso menampung pasien yang usianya berkisar antara remaja sampai dengan dewasa sehingga batasan usia remaja yang digunakan peneliti masuk dalam usia tersebut.

E. Pengumpulan Data

1. Metode Pengumpulan Data

(63)

2. Skoring

Pertama-tama peneliti menyusun skala konsep diri, yang terdiri dari 48 aitem, yaitu 24 aitem bersifat favorabel dan 24 aitem bersifat unfavorabel. Setiap pernyataan terdiri dari empat alternatif jawaban, yaitu ‘SS’ (Sangat Setuju), ‘S’ (Setuju), ‘TS’ (Tidak setuju), dan ‘STS’ (Sangat Tidak Setuju). Pernyataan yang bersifat favorabel untuk jawaban ‘SS’ diberi nilai 4, ‘S’ diberi nilai 3, ‘TS’ diberi nilai 2, dan ‘STS’ diberi nilai 1. Sedangkan pernyataan yang bersifat unfavorable, untuk jawaban ‘SS’ diberi nilai 1, ‘S’ diberi nilai 2, ‘TS’ diberi nilai 3, dan ‘STS’ diberi nilai 4.

Setelah itu, peneliti juga menyusun skala motivasi berprestasi yang terdiri dari 60 aitem, yaitu 30 aitem bersifat favorabel dan 30 aitem bersifat unfavorabel. Setiap pernyataan terdiri dari empat alternatif jawaban, yaitu ‘SS’ (Sangat Setuju), ‘S’ (Setuju), ‘TS’ (Tidak setuju), dan ‘STS’ (Sangat Tidak Setuju). Pernyataan yang bersifat favorabel untuk jawaban ‘SS’ diberi nilai 4, ‘S’ diberi nilai 3, ‘TS’ diberi nilai 2, dan ‘STS’ diberi nilai 1. Sedangkan pernyataan yang bersifat unfavorable, untuk jawaban ‘SS’ diberi nilai 1, ‘S’ diberi nilai 2, ‘TS’ diberi nilai 3, dan ‘STS’ diberi nilai 4.

3. Isi

(64)

a. Skala Konsep Diri

Konsep diri merupakan pandangan atau persepsi individu terhadap dirinya, baik bersifat fisik, sosial maupun psikologis, dimana pandangan ini diperoleh dari pengalamannya berinteraksi dengan orang lain yang memiliki arti penting dalam hidupnya (Brooks, dalam Rakhmat, 2002).

Skala konsep diri ini bertujuan untuk mengukur seberapa tinggi konsep diri subyek yang menderita cacat fisik. Aspek-aspek konsep diri meliputi (Berzonsky, 1981) :

1. Physical self

Meliputi penilain individu terhadap segala sesuatu yang dimiliki individu seperti tubuh, pakaian, benda miliknya, dan sebagainya. 2. Social self

Meliputi bagaimana peranan social yang dimainkan oleh individu dan sejauh mana penilaian individu terhadap performannya.

3. Moral self

Meliputi nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang memberi arti dan arah bagi kehidupan individu.

4. Psychological self

(65)

Tabel 3.1

Blueprint Skala Konsep Diri Sebelum Uji Coba

Favorabel Unfavorabel

No. Bentuk Nomor Jumlah Nomor Jumlah Jumlah

1. Physival Self 1, 9, 17, 25,

b. Skala Motivasi Berprestasi

Skala motivasi berprestasi ini disusun berdasarkan definisi motivasi berprestasi dan ciri-ciri motivasi berprestasi menurut Mc Clelland (dalam Robin, 1996) yang dikembangkan oleh peneliti. Ciri-ciri orang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi adalah :

(66)

2. Tanggungjawab pribadi.

Memiliki tanggungjawab pribadi terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan.

3. Adanya kebutuhan untuk mendapatkan umpan balik

Kebutuhan untuk mendapatkan umpan balik atas pekerjaan yang dilakukannya sehingga dapat diketahui dengan cepat hasil yang diperoleh dari kegiatannya lebih baik atau lebih buruk.

4. Menghindarkan tugas-tugas yang sulit atau terlalu mudah, tetapi akan memilih tugas-tugas dengan tingkat kesukaran sedang.

5. Inovatif

Dalam melakukan suatu pekerjaan dilakukan dengan cara yang berbeda, efisien dan lebih baik daripada sebelumnya. Hal ini dilakukan agar individu mendapatkan cara-cara yang lebih menguntungkan dalam pencapaian tujuan.

(67)

Tabel 3.2

Blueprint Skala Motivasi Berprestasi Sebelum Uji Coba

Favorabel Unfavorabel

No. Bentuk Nomor Jumlah Nomor Jumlah Jumlah

1. Berprestasi yang

(68)

4. Pertanggungjawaban mutu alat

Dalam suatu penelitian, dibutuhkan suatu alat tes atau skala pengukuran yang akurat. Oleh sebab itu, alat tes tersebut harus diuji validitas dan reliabilitasnya. Hal ini dimaksudkan agar peneliti mampu membuat suatu kesimpulan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.

Azwar (1999) mengemukakan bahwa untuk mengungkap aspek-aspek atau variable-variabel yang ingin kita teliti diperlukan alat ukur berupa skala atau tes yang reliabel dan valid agar kesimpulan penelitian nantinya tidak keliru dan tidak memberikan gambaran yang jauh berbeda dari keadaan yang sebenarnya.

Pada tahap uji coba, peneliti menyebarkan 50 angket yang terdiri atas identitas subyek, skala konsep diri, skala motivasi berprestasi serta dilengkapi dengan petunjuk pengisian. 50 angket yang diberikan kepada subyek, semuanya dikembalikan dan diisi dengan lengkap dan benar.

a. Validitas

(69)

memiliki validitas rendah. Terkandung di sini pengertian bahwa valid tidaknya suatu alat ukur tergantung pada mampu tidaknya alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat (Azwar, 2003).

Dalam penelitian ini, validitas yang digunakan adalah validitas isi. Validitas isi menunjukkan sejauh mana aitem-aitem dalam tes mencakup keseluruhan kawasan isi yang hendak diukur oleh tes tersebut. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengetahui apakah validitas isi telah dipenuhi adalah dengan melihat apakah aitem-aitem dalam tes tersebut telah sesuai dengan blue-print yaitu sesuai dengan batasan domain ukur yang telah ditetapkan semula (Azwar, 1999). Kesesuaian validitas isi ini dibuat berdasarkan penilaian personal dari ahli yang berkompeten, misalnya dosen pembimbing skripsi.

b. Seleksi Aitem

(70)

baik dan layak digunakan dalam sebuah penelitian. Jadi, jika terdapat aitem yang memiliki koefisien korelasi aitem total kurang dari 0.30, maka aitem tersebut dinyatakan tidak sahih dan harus dibuang (Azwar, 1999).

Kriteria pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem-total dipergunakan batasan rix≥ 0.30. semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0.30, daya pembedanya memuaskan, sedangkan aitem yang memiliki rix < 0.30 diinterpretasikan sebagai aitem yang memiliki daya diskriminasi rendah sehingga dianggap gugur dan tidak diikutsertakan sebagai alat ukur dalam penelitian. Tabel 3.3 dan tabel 3.4 merupakan hasil pengujian rix.

Tabel 3.3

Hasil Analisis Aitem Skala Konsep Diri

rix Aitem Tot

al

≥ 0.30 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48

45

(71)

Tabel 3.4

Hasil Analisis Aitem Skala Motivasi Berprestasi

rix Aitem Total

≥ 0.30 1, 2, 3, 4, 8, 9, 10, 13, 14, 15, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 56, 57, 59

44

< 0.30 5, 6, 7, 11, 12, 16, 17, 27, 33, 34, 46, 47, 54, 55, 58, 60

16

Dalam hasil analisis aitem skala motivasi berprestasi, terdapat dua aitem yang lolos seleksi aitem namun terpaksa peneliti gugurkan karena alasan tertentu, yaitu aitem 8 (dengan rix sebesar 0.420) dan 38 (dengan rIX sebesar 0.448). Hal ini dikarenakan agar jumlah aitem yang lolos dapat seimbang sebelum diolah datanya dan karena kedua aitem tersebut telah diwakili oleh aitem-aitem lain. Untuk hasil lebih jelas dapat dilihat pada lampiran III.

Dalam penelitian ini, aitem yang lolos seleksi adalah aitem-aitem yang memiliki reliabilitas atau rix≥ 0.3.

(72)

Tabel 3.5

Distribusi Aitem Skala Konsep Diri setelah try out

Favorabel Unfavorabel

No. Bentuk Nomor Jumlah Nomor Jumlah Jumlah

1. Physical Self 1, 9, 17, 25,

33, 41 6

7, 15, 31, 39,

47 5 12

2. Sosial Self 2, 10, 18, 26,

34, 42 6

16, 24, 32, 40,

48 5 11

3. Moral Self 5, 13, 21, 29,

37, 45 6

3, 11, 19, 27,

35, 43 6 12

4. Psychological

Self

6, 14, 22, 30,

38, 46 6

4, 20, 28, 36,

44 5 11

(73)

Tabel 3.6

Distribusi Aitem Skala Motivasi Berprestasi

Favorabel Unfavorabel

No. Bentuk Nomor Jumlah Nomor Jumlah Jumlah

1. Berprestasi yang

(74)

c. Reliabilitas

Reliabilitas merupakan terjemahan dari kata reliability.

Pengukuran yang memiliki reliabilitas yang tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel. Walaupun reliabilitas memiliki berbagai nama lain seperti keterpercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan, konsistensi, dan sebagainya, namun ide pokok yang terkandung dalam konsep reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat diprcaya (Azwar, 2003).

Hasil estimasi reliabilitas variabel konsep diri menghasilkan koefisien Alpha Cronbach sebesar 0.949 dan untuk variabel motivasi berprestasi menghasilkan koefisien Alpha Cronbach sebesar 0.928.

F. Metode Analisis Data

(75)

G. Prosedur Penelitian

Prosedur yang diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Peneliti membuat skala konsep diri dan motivasi berprestasi untuk diujicobakan pada kelompok uji coba yang memiliki karakteristik sama dengan subyek sesungguhnya. Data yang diperoleh digunakan untuk mengukur kesahihan butir-butir skala.

2. Melakukan uji coba skala untuk memperoleh uji validitas dan reliabilitas skala untuk mendapatkan skala yang valid dan reliabel.

3. Menentukan subyek penelitian sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. 4. Melakukan try out terpakai, dengan cara membagikan skala konsep diri dan skala motivasi berprestasi yang telah dibuat kepada subyek yang telah ditetapkan. Dalam hal ini peneliti menggunakan tryout terpakai karena subyek penelitian terbatas.

5. Penentuan sampel subyek penelitian dilakukan dengan permohonan ijin kepada Dekan Psikologi Universitas Sanata Dharma, Kepala Balai u.b. Kepala Bidang Program dan Advokasi Balai Besar Rehabilitasi Sosial (BBRSBD) Prof. Dr. Soeharso Surakarta.

(76)

jawaban yang diterima adalah dirahasiakan dan hanya akan digunakan untuk tujuan kajian semata-mata. Kemudian skala ini dibagikan langsung kepada subyek dan langsung ditarik kembali setelah subyek selesai mengisinya.

7. Menganalisis data try out yang memenuhi kriteria sebagai data penelitian dengan uji statistic korelasi product moment untuk melihat ada tidaknya hubungan antara konsep diri dengan motivasi berprestasi pada remaja difabel cacat fisik.

(77)

A. Pelaksanaan Penelitian

Peneliti tidak menggunakan skala konsep diri dan skala motivasi berprestasi dengan aitem yang telah lolos pengujian try out sebagai data penelitian. Try out dilakukan pada tanggal 22-25 Oktober 2008 pada 50 pasien atau siswa di BBRSBD Prof. Dr Soeharso Surakarta, dengan pertimbangan adanya keterbatasan subyek yang didapat peneliti.

B. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Data Penelitian

Deskripsi data penelitian dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.1

Deskripsi Data Hasil Penelitian

Skor Hipotetik Skor Empiris Variable

x Min x Max Mean SD x Min x Max Mean SD Konsep

Diri

45 180 112.5 22.5 105 176 137.50 14.860

Motivasi Berprestasi

(78)

Mean hipotetik merupakan rata-rata skor alat penelitian. Mean hipotetik diperoleh dari angka yang menjadi titik tengah alat pengukuran penelitian. Mean empiris merupakan rata-rata skor data penelitian yang diperoleh dari angka yang merupakan rata-rata data hasil penelitian.

Berdasarkan tabel 3 (tiga) di atas, dapat diketahui bahwa pada skala konsep diri, skor mean empiris 137.50 dan skor mean hipotetik 112.5. Hasil tersebut bila dibandingkan akan menunjukkan bahwa skor mean empiris lebih besar dari daripada skor mean hipotetik, yaitu 137.50 > 112.5. Selisih antara mean empiris dan mean hipotetik adalah 25 yang lebih besar dari nilai SD empiris yaitu 14.860. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata subyek memiliki konsep diri yang positif.

Mean variabel motivasi berprestasi untuk skor empiris menunjukkan angka 124.12 sedangkan untuk skor hipotetik menunjukkan angka 105. Hasil tersebut bila dibandingkan maka akan menunjukkan bahwa skor empiris lebih besar daripada skor hipotetik, yaitu 124.12 > 105. Selisih antara mean empiris dan mean hipotetik adalah 19.12 yang juga lebih besar dari SD empiris yaitu 12.207. Hal ini menunjukkan bahwa subyek memiliki motivasi berprestasi yang tinggi.

(79)

Pada skala motivasi berprestasi, aitem berjumlah 42, dengan skor 1, 2, 3, dan 4, dengan rentang minimum = 42 dan rentang maksimum = 168. Rentang skor untuk skala ini adalah 168 – 42 = 126, sedangkan standar deviasi (σ) = 129 : 6 = 21 dan mean hipotetik (μ) = (42 + 168) : 2 = 105.

C. Analisis Hasil Penelitian

1. Uji Asumsi

Sebelum dilakukan uji hipotesis, peneliti melakukan uji asumsi untuk memeriksa apakah data yang terkumpul memenuhi syarat untuk sebuah korelasi, yaitu adanya normalitas sebaran data penelitian dan linearitas hubungan antar variabel penelitian.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan peneliti untuk mengetahui apakah distribusi sebaran variabel tergantung yaitu motivasi berprestasi dan variabel bebas yaitu konsep diri bersifat normal atau tidak.

Hasil pengujian normalitas untuk variabel konsep diri melalui

One Sample Kolmogorov-Smirnov Test pada program SPSS for windows versi 12.00 menunjukkan bahwa Asymp.Sig (p) sebesar 0.273. Untuk variabel motivasi berprestasi menunjukkan bahwa Asymp.Sig

(80)

menunjukkan nilai 0.273 dan 0.076. Nilai p ini lebih besar dari 0.05, sehingga dapat diketahui bahwa data variabel konsep diri dan variabel motivasi berprestasi pada 50 subyek adalah normal dan memenuhi syarat uji normalitas.

Tabel 4.2

Hasil Pengujian Normalitas

Variable Kolmogorov P Ket.

Konsep Diri 0.997 0.273 Normal Motivasi Berprestasi 1.279 0.076 Normal

b. Uji Linearitas

(81)

Dari hasil pengujian linearitas variabel konsep diri dengan variabel motivasi berprestasi, didapat nilai F hitung sebesar 58.268 dengan probabilitas sebesar 0.000. perolehan ini menunjukkan adanya hubungan linear kedua variabel tersebut, karena probabilitasnya lebih kecil dari 0.05 (p < 0.05).

2. Uji Hipotesis

Penelitian kuantitatif menguji hipotesis yang dikembangkan. Hipotesis merupakan pernyataan yang kebenarannya masih harus dibuktikan lewat bukti empiris dan penelitian. Hipotesis hubungan dalam penelitian dapat diuji dengan menggunakan analisis korelasi, yaitu untuk mengetahui keakuratan dan signifikasi hubungan antara dua variabel (Triton, 2005).

Hipotesis yang diajukan peneliti dalam penelitian ini sudah memiliki arah hubungan yang positif sehingga hipotesis bersifat one-tailed. Uji hipotesis ini menggunakan teknik korelasi pearson’s product moment dalam program SPSS for windows versi 12.00.

(82)

menyatakan ada hubungan positif antara konsep diri dengan motivasi berprestasi pada remaja difabel cacat fisik, diterima.

Tabel 4.3

Hasil Uji Korelasi

konsep diri

motivasi berprestasi Pearson Correlation 1 .720(**)

Sig. (1-tailed) . .000

konsep diri

N 50 50

Pearson Correlation .720(**) 1

Sig. (1-tailed) .000 .

motivasi berprestasi

N 50 50

** Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

D. Pembahasan

Berdasarkan uji hipotesis dengan menggunakan teknik korelasi pearson’s product moment, hipotesis penelitian berbunyi ada hubungan positif antara konsep diri dengan motivasi berprestasi pada remaja difabel cacat fisik, diterima. Hal tersebut diketahui dari koefisien korelasi yang bernilai 0.720 (p < 0.01) dengan taraf signifikasi 1% (one-tailed).

Gambar

Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 3.3 Hasil Analisis Aitem Skala Konsep Diri
Tabel 3.4
+6

Referensi

Dokumen terkait

Sumber: Olahan Data Lapangan, 2017 Tabel di atas dapat di lihat bahwa respon narapidana terhadap sarana olahraga di Rumah Tahanan (RUTAN) Teluk Kuantan adalah 64

RMH Collection Dede Sumarna Konveksi Kerudung Kp. Berkah Abadi Atik Widia Kue Bronis

Berdasrkan tabel di atas dapat diketahui terjadi peningkatan hasil siswa dalam menulis karangan narasi dengan menggunakan model pembelajaran CIRC dengan persentase peningkatan

Dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan ke objek-objek tersebut, maka dapat menjadi stimulus bagi wisatawan yang ingin menikmati jenis wisata sejarah di

Masih banyak tugas dari Dinas Perhubungan, Pariwisata, Kebudayaan, Komunikasi, dan Informatika untuk menarik para wisatawan agar berkunjung ke Kabupaten Blora yang

Dari kelima bagian penilaian tersebut, total nilai yang diperoleh oleh Perseroan adalah sebesar 85,47% dari total nilai maksimal 100% (153 poin dari total 179 poin).

Untuk mengoptimalkan aplikasi sistem agar program aplikasi sistem informasi pembayaran biaya pendidikan tersebut dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan

 Bantuan berupa gerobak usaha yang sebelumnya dilakukan verifikasi oleh pemerintah daerah..  Harus tepat sasaran (tidak ada biaya, usia lanjut, dan