• Tidak ada hasil yang ditemukan

USIA IDEAL, INISIATIF, DAN MAKNA PERNIKAHAN, SERTA RELASI SUAMI ISTERI MENURUT WANITA JAWA YANG MENIKAH DI TAHUN 1960-AN DAN 2000-AN Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "USIA IDEAL, INISIATIF, DAN MAKNA PERNIKAHAN, SERTA RELASI SUAMI ISTERI MENURUT WANITA JAWA YANG MENIKAH DI TAHUN 1960-AN DAN 2000-AN Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
281
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Bernadete Adeline Muliawan NIM: 06 9114 044

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

“Kiranya diberikanNya kepadamu apa yang kau

hendaki dan dijadikanNya berhasil apa yang kau

rancangkan”

{Mazmur 20:5}

“Life for nothing or Die for something?”

(

Rambo

)

Sukses itu 98%-nya dibentuk oleh kesalahan, karena itu jika ingin

sukses, jangan takut salah!

-

SOICHIRO HONDA

-

“Gitu aja kok repot?”

(5)

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

Tuhan Yesusku Yang Maha Besar,

Kedua Orangtuaku terkasih,

Kakak dan adikku tersayang,

(6)

t

d

Saya

tidak memu

dalam kutipa

PE

a menyataka

uat karya ata

an dan dalam

RNYATAA

an dengan se

au bagian ka

m daftar pust

vi AN KEASLI

esungguhnya

arya orang la

taka, sebaga

IAN KARY

a bahwa skri

ain, kecuali

aimana layak

Yogyak

Bernad YA

ipsi yang sa

yang telah

knya karya il

karta, 4 Juni

Penulis

dete Adeline

aya tulis ini

disebutkan

lmiah.

2010

(7)

menurut wanita Jawa yang menikah di tahun 1960-an dan 2000-an

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perubahan apa saja yang terjadi dalam pernikahan Jawa yang dijalani oleh wanita Jawa di era tahun 1960-an dan era tahun 2000-an yang berkaitan dengan usia ideal menikah, inisiatif menikah, makna pernikahan, dan relasi suami isteri. Informan dalam penelitian ini adalah lima wanita Jawa yang menikah di tahun 1960-an dan lima wanita Jawa yang menikah di tahun 2000-an. Metode pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara semi terstuktur. Metode analisis data yang digunakan adalah metode fenomenologi interpretatif. Dari hasil penemuan dan pembahasan, perubahan yang terjadi dalam pernikahan di tahun 1960-an dan 2000-an yaitu, wanita pada masa kini bersikap tidak peduli terhadap pembicaraan dari masyarakat sekitar mengenai kapan mereka akan menikah, sementara wanita pada zaman dahulu mananggapinya dengan segera menikah dengan usia yang tergolong masih muda. Perjodohan pada masa kini sudah tidak terjadi, sementara pada zaman dahulu masih terjadi. Tujuan pernikahan pada wanita di zaman dahulu adalah untuk lepas dari tanggungan orangtuanya, sementara tujuan pernikahan masa kini lebih cenderung untuk belajar membangun rumah tangga yang mandiri dengan peranannya sebagai seorang isteri dan ibu. Namun, wanita masa kini merasa lebih terikat setelah menikah, sementara wanita yang menikah di zaman dahulu tidak merasa terikat. Upaya pencapaian keharmonisan keluarga diupayakan oleh suami dan isteri, sementara dahulu keharmonisan dicapai jika isteri menurut pada suaminya.

(8)

viii ABSTRACT

Bernadete Adeline Muliawan

Ideal age, initiative, and marriage meaning, also relation of husband and wife by Javanese women who marriage in the 1960s and 2000s

This research aimed to describe any changes that occur in Java marriages undertaken by the Javanese women in the era of 1960s and 2000s be related to ideal marriage age, marriage initiative, marriage meaning, and relation of husband and wife. Informants in this research were five women who married in Java by 1960s and five women who married in the 2000s. The data collection method in this research using semi-structured interviews. Data analysis methods used the interpretative phenomenological. From the findings and discussion, the changes that occur in marriages in the 1960s and 2000s, women in the present are also ignore to the conversation from the surrounding community about when they would marry, while women in 1960s concern to marry in young ages. Arranged marriages are not happening in modern era, while in the past was still happening. The purpose of marriages for women in 1960s was to escape the burden of her parents, while the purpose of marriages today are more likely to learn to build an independent household with its role as a wife and mother. However, women today feel more bound after getting married, while married women in olden times did not feel bound. Mainly efforts to achieve family harmony sought by a husband and wife, while in 1960s harmony achieve if wife follow her husband.

(9)

D

Saya yang b

Nam lain untuk k memberikan penulis.

Demikian pe

Dibuat di Yo

Pada tangga ia ideal, inis enurut wani angkat yang erpustakaan

n dalam ben kepentingan n royalti Kep

ernyataan in

ogyakarta

al: 4 Juni 201

atakan,

Adeline Mul

an di bawah

e Adeline M 4

lmu pengeta rma, karya il siatif, dan m ita Jawa ya

diperlukan ( Universitas ntuk media l akademis, pada saya se

ni saya buat d

10

liawan)

h ini, mahasis

Muliawan

ahuan, saya lmiah saya y makna pern ng menikah (bila ada). D s Sanata D lain, dan me

tanpa perlu elama tetap m

dengan seben u meminta i mencantumk

narnya.

itas Sanata D

n kepada Pe ul:

ta relasi sua 960-an dan ikian saya m k untuk m di internet a zin dari say kan nama sa

Dharma:

erpustakaan

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya

yang telah dikaruniakan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Penelitian ini memberikan gambaran mengenai

usia ideal, menikah, dan makna pernikahan, serta relasi suami isteri menurut

wanita Jawa yang menikah di tahun 1960-an dan 2000-an. Penelitian ini diajukan

untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan di Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma.

Terselesaikannya penelitian ini tidak terlepas dari dukungan dan kritik

yang membangun dari orang-orang disekitar penulis. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang

sedalam-dalamnya kepada:

1. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani. M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi dan

selaku dosen pembimbing sebelumnya yang telah memberikan masukan yang

sangat berarti dalam proses awal penelitian ini.

2. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Si., selaku dosen pembimbing

skripsi yang telah memberikan waktu, kritik yang membangun, dukungan, dan

dengan penuh kesabaran membimbing selama proses penyelesaian skripsi ini.

3. Dosen penguji Ibu Dr.Tjipto Susana, M.Si., dan P. Henrietta PDADS., S.Psi.,

M.A yang telah memberikan masukan dan koreksi yang sangat berharga untuk

(11)

5. Semua dosen Fakultas Psikologi, terima kasih telah membantu penulis dalam

memperluas wawasan dan pengetahun.

6. Karyawan Fakultas Psikologi : Mas Muji, Mas Doni, Mas Gandung, Mbak

Nanik, dan Pak Gie, atas segala bentuannya dan fasilitas selama proses

perkuliahan.

7. Papa, Mama, Kakak-kakak dan adikku (Ce Yuyun, Ce Vivi, Ce Thing, dan

Sella), terima kasih atas perhatian, dukungan, dan doanya selama perkuliahan

dan proses penelitian ini.

8. Laurensius Riasko, terima kasih untuk setiap dukungan, semangat, dan

motivasi yang diberikan selama penyelesaian skripsi ini.

9. Semua teman-teman kuliah, khususnya: Vivin, Clare, Nessya, Yaya, Jean,

Kak Maria, Liem, dan Herman untuk kebersamaan dan semangat kalian ☺☺

10.Teman-teman KKN: Winny, Dewi, Nita, Vina, Rena, Jati, dan Nico untuk

kebersamaan kita selama 2 bulan dalam masyarakat.

Penulis menyadari akan banyaknya kekurangan dan kelemahan dalam

skripsi ini. Oleh sebab itu itu, dengan hati terbuka penulis menerima segala

kritik dan saran demi hasil yang lebih baik. Semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi yang membacanya.

(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ...ii

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PENGUJI... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ...viii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ...xii

DAFTAR TABEL ...xvii

DAFTAR LAMPIRAN ...xix

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

(13)

3. Pengertian dan karakteristik keluarga Jawa ... 12

4. Agama sebagai landasan hukum yang mengatur pernikahan ... 14

5. Perkembangan pernikahan dalam masyarakat Jawa ... 16

B. Wanita dalam kebudayaan Jawa ... 18

1. Gambaran wanita Jawa dalam etimologi dan jarwa dosok ... 18

2. Gambaran ideal wanita Jawa ... 20

3. Peranan suami dan isteri dalam keluarga Jawa ... 21

4. Pergeseran peranan isteri dalam keluarga Jawa ... 25

C. Perubahan pola pikir masyarakat Jawa mengenai pernikahan akibat faktor ekonomi seriring terjadinya pergeseran sistem pendidikan ... 26

1. Pendidikan pada zaman Belanda, Jepang dan kemerdekaan ... 26

2. Dampak peningkatan pendidikan terhadap pola pikir masyarakat .. 29

D. Gambaran usia ideal, inisiatif, dan makna pernikahan, serta relasi suami isteri menurut wanita Jawa yang menikah di tahun 1960-an dan tahun 2000-an ... 31

E. Kerangka Penelitian ... 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 35

A. Jenis Penelitian ... 35

B. Fokus Penelitian ... 35

(14)

xiv

D. Metode Pengambilan Data ... 44

E. Prosedur Pengambilan Data ... 45

F. Analisis Data ... 47

1. Penentuan Unit makna ... 49

2. Pemberian Tema sentral ... 49

3. Pengelompokkan Tema umum ... 50

4. Pemberian Struktur umum ... 50

G. Kredibilitas Penelitian ... 51

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52

A. Pandangan subyektif peneliti ... 52

B. Deskripsi hasil temuan ... 54

1. Usia ideal menikah ... 54

a. Gambaran usia ideal menikah di tahun 1960-an ... 54

b. Gambaran usia ideal menikah di tahun 2000-an ... 63

2. Inisiatif pernikahan ... 70

a. Inisiatif pernikahan di tahun 1960-an ... 70

b. Inisiatif pernikahan di tahun 2000-an ... 75

3. Makna Pernikahan ... 77

a. Makna pernikahan di tahun 1960-an ... 77

b. Makna pernikahan di tahun 2000-an ... 80

4. Relasi suami dan isteri ... 84

a. Relasi suami dan isteri pada tahun 1960-an ... 84

(15)

2. Pendidikan menjadi alasan untuk menunda pernikahan di tahun

2000-an ... 92

D. Kesimpulan umum gambaran pernikahan di tahun 1960-an ... 93

E. Kesimpulan umum gambaran pernikahan di tahun 2000-an ... 95

F. Persamaan dan perubahan yang terjadi dalam gambaran pernikahan

di tahun 1960-an dan tahun 2000-an ... 96

1. Persamaan gambaran pernikahan di tahun 1960-an dan tahun

2000-an ... 96

2. Perubahan yang terjadi dalam gambaran pernikahan di tahun 1960-an

dan tahun 2000-an ... 101

G. Pembahasan ... 104

1. Persamaan gambaran pernikahan di tahun 1960-an dan tahun

2000-an ... 104

a. Usia ideal wanita dan laki-laki untuk menikah 104

b.Tingkat pendidikan menjadi alasan ekonomis berkaitan dengan

inisiatif pernikahan ... 107

c. Pernikahan dimaknai sebagai sarana untuk beribadah dan belajar

berumah tangga ... 109

2. Perubahan yang terjadi dalam gambaran pernikahan di tahun 1960-an

(16)

xvi

a. Respon terhadap tekanan sosial dan keterikatan setelah

menikah ... 110

b. Inisiatif pernikahan dan tujuan pernikahan ... 114

c. Relasi suami dan isteri ... 117

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 120

A. Kesimpulan ... 120

B. Keterbatasan Penelitian ... 121

C. Saran ... 122

DAFTAR PUSTAKA ... 123

(17)

Tabel 3 : Pengelompokkan Tema umum...50

Tabel 4 : Pengelompokkan Struktur umum ...50

Tabel 5 : Usia ideal wanita dan laki-laki untuk menikah

(tahun 1960-an)...54

Tabel 6 : Laki-laki di zaman dahulu menikah dengan wanita yang lebih muda

usianya (tahun 1960-an)...57

Tabel 7 : Usia wanita untuk menikah dibatasi oleh tekanan biologis

(tahun 1960-an) ………...59

Tabel 8 : Usia wanita untuk menikah dibatasi oleh tekanan sosial

(tahun 1960-an)………...60

Tabel 9 : Usia ideal wanita dan laki-laki untuk menikah (tahun 2000-an) ...63

Tabel 10 : Usia ideal laki-laki untuk menikah lebih tua dibandingkan usia

Wanita (tahun 2000-an) ...66

Tabel 11 : Usia ideal wanita untuk menikah dibatasi oleh tekanan biologis

(tahun 2000-an) ...68

Tabel 12 : Usia ideal wanita untuk menikah dibatasi oleh tekanan sosial

(tahun 2000-an) ...69

Tabel 13 : Menikah atas inisiatif orangtua (tahun 1960-an) ...72

Tabel 14 : Menikah atas inisiatif sendiri dan lebih bebas di masa sekarang

(18)

xviii

Tabel 15 : Inisiatif untuk menikah pada tahun 2000-an lebih dibebaskan ...75

Tabel 16 : Makna pernikahan bertujuan untuk meringankan beban orangtua

(tahun 1960-an) ...77

Tabel 17 : Makna pernikahan agar dapat beribadah (tahun 1960-an) ...78

Tabel 18 : Pernikahan sebagai sarana pembelajaran berumah tangga (1960-an)..79

Tabel 19 : Tujuan pernikahan sebagai sarana untuk belajar menjalani

kehidupan rumah tangga (tahun 2000-an) ...81

Tabel 20 : Merasa terikat setelah menikah (tahun 2000-an) ...82

Tabel 21 : Menikah sebagai suatu kewajiban beribadah (tahun 2000-an) ...83

Tabel 22 : Keharmonisan keluarga dicapai jika isteri menuruti suaminya

(tahun 1960-an) ... 85

Tabel 23 : Keharmonisan keluarga diusahakan oleh suami dan isteri

(tahun 2000-an) ...87

Tabel 24 : Menikah karena tidak melanjutkan sekolah (tahun 1960-an) ...89

Tabel 25 : Pendidikan menjadi alasan untuk menunda pernikahan

(tahun 1960-an) ...90

Tabel 26 : Pendidikan menjadi alasan untuk menunda pernikahan

(tahun 2000-an) ...92

Tabel 27 : Perubahan gambaran pernikahan di tahun 1960-an dan

(19)

Lampiran 2 : Transkrip verbatim dan unit makna, serta pemberian Tema sentral

dari unit makna informan pertama (menikah di tahun

1960-an)...128

Lampiran 3 : Transkrip verbatim dan unit makna, serta pemberian tema sentral

dari unit makna informan kedua (menikah di tahun

1960-an)...139

Lampiran 4 : Transkrip verbatim dan unit makna, serta pemberian tema sentral

dari unit makna informan ketiga (menikah di tahun

1960-an)...153

Lampiran 5 : Pengelompokkan Tema umum dari kelima informan (menikah di

tahun 1960-an)……… 169

Lampiran 6 : Transkrip verbatim dan unit makna, serta pemberian tema sentral

dari unit makna informan pertama (menikah di tahun

2000-an)…...197

Lampiran 7 : Transkrip verbatim dan unit makna, serta pemberian tema sentral

dari unit makna informan kedua (menikah di tahun

2000-an)……...201

Lampiran 8 : Transkrip verbatim dan unit makna, serta pemberian tema sentral

dari unit makna informan ketiga (menikah di tahun

(20)

xx

Lampiran 9 : Pengelompokkan tema umum dari kelima informan (menikah di

tahun 2000-an)...221

Lampiran 10: verbatim informan ke-4 dan ke-5 tahun 1960-an dan tahun

(21)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan bagi orang Jawa pada umumnya merupakan sesuatu yang

penting, suatu detik tatkala hubungan persaudaraan diperluas dan berubah. Di

Jawa, perkawinan menjadi pertanda terbentuknya sebuah somah baru yang

segera akan memisahkan diri, baik secara ekonomi maupun tempat tinggal,

lepas dari kelompok orangtua dan membentuk sebuah basis untuk sebuah

rumah tangga baru (Geertz, 1983). Geertz juga menemukan bahwa

perkawinan di Jawa tidak dipandang semata-mata sebagai penggabungan dua

jaringan keluarga yang luas, tetapi yang dipentingkan bagi orang Jawa ialah,

pembentukan sebuah rumah tangga yang baru dan mandiri.

Menurut Herusatoto (2009), dalam masyarakat Jawa, perkawinan/

pernikahan merupakan sesuatu hal yang sakral. Perkawinan yang suci

terlaksana melalui proses pembicaraan yang panjang, perencanaan yang

matang, dan program pelaksanaan yang rumit, sarat dengan segala macam

upacara khusus, curahan doa restu dari para sepuh, semua handai tolan,

sahabat, dan kenalan dekat kedua belah pihak. Limpahan segala kasih dan

sayang itu menunjukkan betapa tinggi nilai harkat perkawinan/ pernikahan itu

sendiri.

Pada zaman dahulu, bagi seorang anak perempuan, perkawinan

(22)

 

 

2

baginya diusahakan terutama jika ia telah mulai menunjukkan minat nyata

terhadap laki-laki. Hal tersebut karena, orangtuanya khawatir bahwa anak

gadisnya akan terkenal sebagai perempuan bermoral cabul (Geertz, 1983).

Dalam keluarga tradisional masalah ini dipecahkan dengan mengawinkan

anak perempuan sebelum akil balig, ketika masih berumur 9 atau 10 tahun.

Gadis-gadis cilik ini akan diboyong ke rumah suami mereka, diasuh olehnya,

ibu mertuanya, dan akan menjadi tanggungan bagi keluarga barunya serta

bukan lagi menjadi tanggungan orangtuanya sendiri, dengan maksud untuk

menjauhkannya dari laki-laki lain. Geertz juga menemukan bahwa saat ini

praktik demikian telah jarang terjadi, dan usia perkawinan bagi anak-anak

perempuan pun telah tampak meningkat berangsur-angsur pada saat kira-kira

berusia 16 atau 17 tahun. Sedikit sekali yang tidak pernah menikah sama

sekali.

Kebanyakan perkawinan diatur oleh orangtua dari pihak laki-laki dan

pihak wanita. Orangtualah yang mencarikan calon jodoh dan memutuskan hari

perkawinan, terutama apabila merupakan perkawinan pertama untuk

anak-anak mereka. Orang Jawa yakin bahwa demikianlah jalan yang seyogyanya

untuk memasuki perkawinan, dan bahwa anak seharusnya menyetujui

keputusan orangtua (Geertz, 1983).

Gambaran yang dikemukakan oleh Geertz semakin memperjelas

kenyataan yang terjadi pada gadis-gadis di tahun 1950 sampai 1960-an.

Gadis-gadis pada masa itu sudah secara langsung maupun tidak langsung mendapat

(23)

dinyatakan oleh salah seorang responden (DM, wawancara, 10 April, 2009).

Banyak di antara mereka yang tidak memilih langsung pasangannya,

melainkan menerima perjodohan dengan pria yang belum dikenalnya.

Menurut Pranoto (2009), dalam masyarakat Jawa pada zaman dahulu, ijab

atau pertemuan antara kedua insan adalah karena dijodohkan oleh kedua

orangtua. Oleh karena itu, sang calon pengantin belum tentu saling mengenal

satu sama lain. Terlebih mengenal sifat atau watak satu sama lain. Tetapi pada

zaman sekarang, biasanya si calon pengantin sudah saling mengenal satu sama

lain.

Menurut Murray (1973), memilih teman hidup perkawinan secara

tidak bijaksana adalah satu tragedi karena perkawinan berarti memilih kawan

dan teman serumah seumur hidup, maka haruslah dilakukan dengan

pertimbangan dan perundingan mendalam. Pilihan kawan hidup harus

dilakukan dengan teliti.

Menurut Soemardjan (2009), dengan pesatnya perkembangan

pendidikan telah menimbulkan perbedaan kepentingan-kepentingan

intelektual antara generasi tua dan generasi muda. Perbedaan tersebut terlihat

dalam perbedaan ruang lingkup minat. Akibatnya berpengaruh pada

sikap-sikap yang ada dalam diri anggota-anggota tiap generasi. Generasi tua lebih

senang kalau anak-anaknya kawin dengan pasangan dari lingkungan desa

sendiri sedangkan generasi muda tidak peduli darimana asal calon jodohnya.

(24)

 

 

4

Pada beberapa tahun terakhir, usia pernikahan wanita semakin

bertambah berkisar di antara rata-rata usia 24-26 tahun (Biro Pusat Statistik,

2009). Memasuki tahun 2000, badan Survei Statistik Indonesia mendapatkan

data proporsi wanita di daerah perkotaan khususnya di Daerah Istimewa

Yogyakarta (DIY) menikah pada usia rata-rata 26,2 tahun, sementara itu, di

daerah pedesaan rata-rata usia pernikahan wanita, yaitu 22,9 tahun.

Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa wanita yang tinggal di daerah

perkotaan (DIY) memiliki usia pernikahan yang lebih tua dibandingkan usia

pernikahan yang dimiliki oleh wanita di daerah pedesaan. Data statistik

menunjukkan meskipun di daerah pedesaan usia pernikahan para wanita

tergolong muda tetapi tetap mengalami peningkatan usia pernikahan sejak

tahun 1971 hingga tahun 2000. Dengan membandingkan fenomena

perkawinan dini di masa tahun 1950 sampai 1960-an dan data statistik

perkawinan di tahun 2000, dapat diindikasikan adanya perubahan usia

pernikahan pada wanita di masa sekarang.

Data statistik menunjukkan bahwa pada tahun 1971 rata-rata usia

pernikahan pada wanita di daerah perkotaan di DIY berkisar 24 tahun,

sedangkan di daerah pedesaan berkisar rata-rata pada usia 21,2 tahun. Hal

tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan usia pernikahan di DIY

dalam rentang tahun 1971-2000. Usia pernikahan di pedesaan dalam rentang

tahun 1971-2000 mengalami peningkatan sebanyak 1,7 tahun, sedangkan usia

(25)

dan meningkat sebanyak 2,2 tahun menjadi 26,2 tahun pada tahun 2000 (Biro

Pusat Statistik, 2009).

Hal ini cukup menarik, karena pada tahun 1950-an dan 1960-an, para

gadis di usia 16-17 tahun sudah dijodohkan seandainya belum menikah.

Peneliti belum dapat menemukan data statistik untuk usia pernikahan di tahun

1950 sampai 1960-an, meskipun demikian, dari data hasil wawancara awal

yang didapat oleh peneliti, peneliti mendapat kesimpulan bahwa telah terjadi

peningkatan usia pernikahan dari tahun 1950-1960 sampai memasuki tahun

2000-an saat ini. Melihat perubahan usia pernikahan yang semakin meningkat

sejak tahun 1971 sampai dengan tahun 2000 dari data statistik, peneliti tertarik

untuk mengetahui perubahan lain yang terjadi dalam pernikahan di Jawa

selain perubahan usia pernikahan pada wanita di zaman tahun 2000-an.

Berdasarkan survei awal yang telah dilakukan peneliti (MD,

wawancara pribadi, 12 April, 2009), wanita pada masa kini seolah lebih

memikirkan karier untuk masa depannya dibandingkan memutuskan untuk

menikah. Beberapa wanita yang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan kariernya

memiliki kesulitan waktu untuk memikirkan pendamping hidupnya. Hal

tersebut terungkap dalam komentar wanita berusia di atas 30 tahun yang

belum menikah di rubrik konsultasi dan diskusi. Beberapa di antaranya

menjelaskan bahwa mereka sejak kecil dituntut untuk hidup mandiri oleh

orangtuanya (Almilia, 2007). Melihat kenyataan tersebut, peneliti juga tertarik

untuk mendeskripsikan lebih dalam mengenai perubahan tersebut pada wanita

(26)

 

 

6

mereka jalani seiring dengan adanya perubahan pola pikir dalam masyarakat

di zaman mereka masing-masing.

B. Rumusan Masalah

Perubahan apa saja yang terjadi dalam pernikahan di masyarakat Jawa

menurut wanita Jawa yang menikah di tahun 1960-an dan 2000-an berkaitan

dengan usia ideal menikah, inisiatif menikah, makna pernikahan, dan relasi

suami isteri seiring dengan adanya peningkatan usia untuk menikah dan

perubahan pola pikir masyarakat?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perubahan apa saja

yang terjadi dalam pernikahan di masyarakat Jawa menurut wanita Jawa yang

menikah di tahun 1960-an dan 2000-an berkaitan dengan usia ideal menikah,

inisiatif menikah, makna pernikahan, dan relasi suami isteri seiring dengan

adanya peningkatan usia untuk menikah dan perubahan pola pikir masyarakat.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis:

a.Penelitian ini bermanfaat untuk mendapatkan informasi guna menambah

pengetahuan dalam bidang psikologi keluarga mengenai peranan wanita

Jawa seiring dengan perubahan yang terjadi dalam pernikahan Jawa di

(27)

b. Penelitan ini bermanfaat juga untuk memperluas pengetahuan kita tentang

kehidupan rumah tangga dalam budaya Jawa yang mengalami beberapa

perubahan sejalan dengan perubahan pola pikir akibat meningkatnya

pendidikan dalam masyarakat Jawa.

c. Dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya di masa mendatang

mengenai perubahan dalam pernikahan di masyarakat Jawa pada tahun

selanjutnya serta aspek-aspek yang mempengaruhinya

2. Manfaat Praktis:

a. Bagi para wanita Jawa yang berumah tangga, penelitian ini bermanfaat

agar mereka dapat lebih memahami perubahan yang terjadi khususnya

dalam relasi suami dan isteri sehingga dapat merefleksikannya dalam

kehidupan sehari-hari.

b. Bermanfaat untuk memberikan refleksi bagi para pria Jawa yang sedang

menjalani pernikahannya agar dapat lebih memahami kebutuhan isterinya

dalam hal komunikasi dan dapat menjalani perannya sebagai seorang

(28)

 

 

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pernikahan dan keluarga Jawa

1. Pengertian pernikahan dalam masyarakat Jawa dan posisi pernikahan dalam budaya Jawa

Koentjaraningrat (2007) berpendapat bahwa, orang Jawa adalah

orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa yang sebenarnya. Bahasa

Jawa dalam arti yang sebenarnya dijumpai di Jawa tengah dan Jawa Timur.

Jadi, orang Jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa

yang berbahasa Jawa. Sementara itu, di mata orang Jawa, menjadi orang

Jawa berarti menjadi manusia berbudaya, manusia beradab, yang

mengetahui tatanan Jawa (Mulder, 1985).

Perkawinan/ pernikahan dalam masyarakat Jawa merupakan sebuah

fase kehidupan manusia dari masa remaja ke masa berkeluarga (Hadiatmaja

& Endah, 2009). Peristiwa tersebut sangat penting dalam proses

pengintegrasian manusia di dalam alam semesta ini. Oleh sebab itu,

perkawinan disebut juga taraf kehidupan baru bagi manusia.

Geertz (1983) menyatakan, perkawinan bagi orang Jawa merupakan

pelebaran menyamping ikatan antara dua kelompok himpunan yang tak

bersaudara atau pengukuhan keanggotaan di dalam satu kelompok. Geertz

menemukan pada praktiknya kebebasan sebenarnya secara ekonomi dan

tempat tinggal dari rumah orangtua mereka bagi pasangan yang baru

 

(29)

menikah mungkin tertunda untuk satu tahun atau lebih sesudah pernikahan,

kecuali hanya apabila pada akhirnya pemisahan itu benar-benar telah terjadi,

maka pasangan yang baru menikah tersebut secara sosial dipandang

benar-benar telah menikah.

Raffles (1817/  2008) mengungkapkan bahwa pernikahan pada

masyarakat Jawa mengikat tanpa terkecuali. Bukan hanya pada pasangan

pengantin saja, tetapi juga orangtua dan kerabat-kerabat dekat. Campur

tangan para kerabat penting dilakukan di masa-masa awal ketika pasangan

pengantin belum mampu mengambil keputusan secara berhati-hati dan

bijaksana. Masa campur tangan teman-teman pria kepada orangtua atau

penjaga sang gadis disebut tetakon (bertanya tentang).

Lebih jauh lagi, perkawinan bagi masyarakat Jawa, diyakini sebagai

sesuatu yang sakral. Pengertian sakral diartikan sebagai upacara suci atau

upacara yang kudus, tidak bercela, tidak bernoda, murni. Perkawinan atau

pernikahan yang kita saksikan itu adalah gebyar (pancaran sinar) lahiriah

(Herusatoto, 2009). Herusatoto juga menyatakan bahwa, kawin atau nikah

adalah perjanjian luhur antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami

isteri dengan resmi, yang sah di hadapan Tuhan dan sah di hadapan hukum

sosial dengan segala kewajiban dan tanggung jawabnya di hadapan

keduanya.

Hadiatmaja dan Endah (2009) berpendapat bahwa dengan adanya

pernikahan yang sakral, diharapkan kedua mempelai pengantin dapat

(30)

 

 

10

melatarbelakangi pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat Jawa yang

sangat selektif dan hati-hati baik saat pemilihan calon menantu, maupun

penentuan hari pelaksanaan perkawinan. Selain itu, karena sakralnya

pernikahan dalam masyarakat Jawa, Pemberton (2003) berpendapat bahwa

tahun 1950-an upacara perkawinan dalam masyarakat Jawa dilakukan

dengan teliti dan sungguh-sungguh, terutama upacara mandi sampai ijab

kabul sampai upacara adat.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat dilihat bahwa

karakteristik pernikahan dalam masyarakat Jawa, yaitu peralihan fase remaja

ke masa berkeluarga, pelebaran menyamping dua kelompok himpunan yang

tidak mempunyai hubungan saudara, setelah menikah tinggal terpisah dari

orangtua dan membentuk keluarga secara mandiri, serta pernikahan

merupakan sesuatu yang dianggap sakral.

2. Usia ideal pada laki-laki dan perempuan untuk menikah

Menurut Geertz (1983), anak laki-laki biasanya tidak menikah sampai

sesudah benar-benar dewasa dan dapat menyangga sebuah keluarga dengan

layak. Biasanya laki-laki menikah pada usia antara 18-30 tahun, sangat

jarang yang menikah di atas usia 30 tahun. Berbeda dengan anak perempuan

yang telah dinikahkan pada usia 16 atau 17 tahun. Dibandingkan anak

perempuan, anak laki-laki mempunyai kuasa yang lebih besar atas nasibnya

(31)

Gambaran Geertz tersebut mirip dengan hasil penelitian Jacoby dan

Bernard (dalam Suryani, 2007), pada masa kini dibandingkan dengan pria

setelah usia tertentu, umumnya sekitar usia 30 tahun, wanita mendapat

tekanan yang lebih besar untuk menikah dari orangtua, sahabat, dan bahkan

teman sekerjanya. Bila hingga usia 30 tahun sang wanita tidak kunjung

mendapatkan pasangan, maka biasanya orangtua, sahabat, dan teman

kerjanya mulai merancang suatu pertemuan dengan seorang pria atau

mencarikan jodoh melalui rubrik biro jodoh di surat kabar.

Pada umumnya, orangtua menunggu sampai anak laki-lakinya merasa

telah siap menikah dan menyampaikan hal tersebut kepada orangtuanya

untuk meminta bantuan. Sering kali orangtua memberikan kesempatan

kepada anak laki-lakinya untuk menunjukkan gadis yang diinginkannya,

atau untuk memveto saran-sarannya. Namun, orangtuanyalah yang

mengadakan segala perundingan dengan orangtua si gadis serta membuat

persiapan untuk pernikahan (Geertz, 1983).

Sikap orangtua terhadap anak laki-laki berbeda dengan sikap orangtua

terhadap anak gadis. Orangtua cenderung takut anak gadisnya dibicarakan

melakukan ”kumpul kebo” jika tidak segera menikah. Oleh karena tidak ada

jalan melembaga untuk mengawasi anak perempuan kecuali dengan cara

selalu memasang mata terhadap anaknya, maka pemecahan yang paling

gampang dari masalah ini adalah mencarikan baginya seorang suami

(32)

 

 

12

Tampaknya terdapat pendapat umum bahwa jika seorang anak

perempuan dibiarkan terlalu lama tidak menikah, dia akan menyerah pada

gelora, dan sebagai akibatnya akan hamil. Ini bukannya terlalu tak bermoral,

melainkan semata-mata merupakan peristiwa yang tak diinginkan dan

merepotkan, karena kemudian timbullah kesulitan di dalam menikahkannya,

lalu ayah pun mungkin harus membayar pengantin lelaki untuk

mengawininya (Geertz, 1983).

Berdasarkan pemaparan tersebut, terlihat bahwa usia ideal anak

perempuan untuk menikah lebih dibatasi dibandingkan usia ideal pada anak

laki-laki untuk menikah. Selain itu, pada masa kini telah terjadi peningkatan

usia wanita untuk menikah, yaitu sampai usia 30 tahun. Meskipun demikian,

tekanan untuk menikah dari orang-orang sekitar masih terjadi.

3. Pengertian dan karakteristik keluarga Jawa

Menurut Koentjaraningrat (2007), sebagai kelanjutan dari adanya

peristiwa perkawinan, timbul keluarga batih atau kaluwarga. Keluarga batih

dalam masyarakat Jawa merupakan suatu kelompok sosial yang berdiri

sendiri, serta memegang peranan dalam proses sosialisasi anak-anak yang

menjadi anggotanya. Adapun kepala keluarga disebut kepala somah. Ia bisa

seorang laki-laki, tetapi bisa juga seorang wanita, kalau si suami meninggal

dunia. Bilamana ibu tidak ada lagi, maka diangkatnya sebagai kepala somah

baru dari salah seorang anak atas persetujuan lainnya. Bentuk suatu keluarga

sempurna terdiri dari suami, isteri, dan anak-anak sedangkan keluarga yang

(33)

Menurut Jay (1969), keluarga Jawa adalah sarang keamanan dan sumber

perlindungan, karena di dalam keluarga, orangtua merupakan sumber

pertama kesejahteraan rohani dan jasmani bagi anak.

Terdapat dua tipe keluarga dalam keluarga Jawa, antara lain:

a. Keluarga Inti, disebut juga keluarga batih. Keluarga batih dalam

masyarakat Jawa merupakan suatu kelompok sosial yang berdiri

sendiri, serta memegang peranan dalam proses sosialisasi anak-anak

yang menjadi anggotanya. Adapun seorang kepala keluarga disebut

kepala somah (Koentjaraningrat, 1979, h. 333). Menurut

koentjaraningrat (dalam Taryati, Harnoko, Mudjijono & Suhatno,

1994/1995), keluarga inti yang berdasarkan monogami terdiri atas,

seorang suami, seorang isteri sebagai ayah dan ibu dari anak.

Keluarga inti yang lebih kompleks bila berdasar pada poligami, yaitu

apabila dalam keluarga ada lebih dari seorang isteri, sebaliknya

disebut keluarga inti dimana ada seorang isteri, tetapi lebih dari

seorang suami disebut keluarga inti yang berdasarkan poliandri.

b. Keluarga luas, yaitu kelompok kekerabatan yang terdiri dari lebih

dari satu keluarga inti, tetapi seluruhnya merupakan suatu kesatuan

sosial yang amat erat, dan hidup tinggal bersama pada satu tempat,

dalam satu rumah atau pada satu pekarangan (Koentjaraningrat,

dalam Taryati, dkk. 1994/1995). Meskipun mereka tinggal bersama,

namun masing-masing mewujudkan suatu kelompok sosial yang

(34)

 

 

14

maupun dapurnya. Harus diperhatikan bahwa suatu keluarga luas

tetap dikepalai oleh satu kepala somah, yaitu somah yang terdahulu

(Koentjaraningrat, 2007).

Geertz (1983) mengatakan, bentuk dasar sistem terminologi Jawa

ialah bilateral dan generasional, bersisi dua dan turun-temurun. Arti

bilateral, yaitu prinsip keturunan dengan memperhitungkan keanggotaan

kelompok kekerabatan melalui garis laki-laki maupun wanita. Generasional

adalah semua anggota generasi sendiri, misalnya saudara seayah-ibu dan

saudara sepupu, disebut dalam istilah-istilah yang sama atau mirip.

4. Agama sebagai landasan hukum yang mengatur pernikahan

Menurut Sujarno, dkk. (1999/2000) agama adalah suatu kepercayaan

kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang

bertalian dengan kepercayaan itu sendiri. Taryati dkk. (1994/1995) juga

menjelaskan bahwa agama merupakan tuntunan hidup atau jalan hidup yang

dapat membina mental atau rohani, agar berkeyakinan kepada Tuhan dengan

cara menjalankan atau mengamalkan ajaran agama dan menjauhi

larangan-larangan agama.

Nashir (dalam Sujarno dkk., 1999/2000) mengemukakan, ajaran

agama menunjukkan bahwa perlunya keseimbangan manusia dalam

usahanya mencari keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Aktualisasi

dan mewujudkan keseimbangan itu, yaitu manusia harus mampu

(35)

Sementara dalam kehidupan di dunia ini, diwujudkan dengan hubungan

suami dan isteri, mengasuh anak, hubungan sosial dengan tetangga,

hubungan antar keluarga, berteman dengan orang lain, dan bermasyarakat

dengan baik.

Bagi umat Islam di Indonesia, perkawinan menjadi persoalan sejak

masa penjajahan. Mereka menghendaki agar Pemerintah dan Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) secepat mungkin merampungkan sebuah

undang-undang tentang perkawinan. Seperti dimaklumi, sebelum lahirnya UU No.1

tahun 1974, di Indonesia berlaku berbagai macam hukum perkawinan

sebagai peraturan pokok dalam melaksanakan perkawinan, yaitu :

a. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum Islam

yang telah diterima atau diresepsi kedalam hukum adat. Hal ini sangat

dipengaruhi oleh teori Receptio in Complexu yang dikemukakan oleh

L.W.C.van den Berg dan Salmon Keyzer (dalam Triwidodowu, 2009).

Teori ini menyatakan bahwa hukum agama baru menjadi hukum

apabila telah diterima kedalam Hukum Adat.

b. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Ordonanci

Perkawinan Indonesia Kristen (HOCI) Stb. 1933 no. 74 juncto Stb.

1936 no. 247. Untuk pencatatannya diatur dengan Stb 1933 no. 75

juncto Stb. 1936 no. 607

Dengan melihat uraian tersebut jelaslah bahwa pengaturan

perkawinan sebelum era UU No.1 tahun 1974 dilaksanakan berdasarkan

(36)

 

 

16

dengan berpedoman pada peraturan yang berlaku bagi golongannya, bukan

golongan orang lain. Kecuali, ia menundukkan diri terhadap suatu hukum

tertentu. Dalam hal penundukan diri, misalnya orang Indonesia asli yang

beragama Islam menundukkan diri pada KUH Perdata, maka baginya

berlaku hukum yang baru, sedang hukum Islam tidak lagi berlaku baginya

(Triwidodowu, 2009).

Dalam pernikahan masyarakat Jawa yang beragama Islam,

Koentjaraningrat (1985) menyatakan bahwa bagian ijab saat pernikahan

merupakan bagian yang paling penting dalam agama islam yang dianut oleh

sebagian besar masyarakat Jawa. Hardjowirogo (1980), juga berpendapat

bahwa, dari seluruh rangkaian upacara perkawinan, akad nikahlah yang

terpenting. Dengan akad nikah, maka suatu perkawinan menurut agama

Islam sudah dianggap sah.

Dalam agama Kristen, soal perkawinan sudah jadi aturan baku yang

harus ditaati. Demikian juga dalam agama Katolik karena para penganutnya

berpegang pada salah satu ayat Kitab Suci yang menyebut “Apa yang sudah

disatukan oleh Tuhan, tidak boleh diceraikan oleh manusia (Albha, 2008).

5. Perkembangan pernikahan dalam masyarakat Jawa

Menurut Taryati dkk.(1994/1995), masyarakat Jawa menganggap

bahwa pernikahan yang ideal adalah bila dilakukan dengan orang yang

berasal dari luar sanak saudara agar menghindari perpecahan saudara jika

(37)

orang memiliki kesamaan agama dan saling mencintai. Hal tersebut berbeda

dengan pernikahan di zaman dahulu yang belum meyakini bahwa perasaan

saling mencintai merupakan hal yang penting dalam pemilihan calon

pasangan.

Berdasarkan hasil penelitian Sadarjoen (2007), selain perasaan saling

mencintai, faktor lain yang menentukan keharmonisan sebuah pernikahan

adalah faktor keuangan. Sejauh mana status sosial ekonomi pasangan dapat

menggambarkan harapan dan mimpi pasangan kedepannya, serta sejauh

mana karier masing-masing pasangan dapat saling membanggakan.

Soemardjan (2009), mengatakan bahwa dewasa ini orangtua terpaksa

setuju jika orang muda tidak bersedia lagi dijodohkan dalam pernikahan.

Meskipun demikian, mereka tidak mengizinkan anak-anaknya yang telah

mendapatkan pendidikan formal mendapatkan pasangan yang tidak

berpendidikan. Pada waktu sebelumnya, status sosial atau kekayaan di

bidang pertanian orangtua memainkan peranan penting dalam memilih

pasangan. Namun, pada saat ini kualifikasi pendidikan dari calon pasangan

itu sendiri lebih dipentingkan. Maka perbedaaan antara orang-orang yang

terpelajar dan tidak terpelajar menjadi penting.

Pandangan lainnya tentang pernikahan masa kini, Herusatoto (2009),

menyebutkan bahwa pada zaman modern saat ini, pernikahan hanya

dipandang sebagai sebuah perjanjian lahiriah untuk hidup bersama dan

mempunyai keturunan sebagai penerus generasinya. Generasi muda banyak

(38)

 

 

18

si muda dan si mudi. Bukan urusan pihak keluarga pria maupun pihak

keluarga wanita. Tampaknya perkembangan zaman membuat generasi muda

juga memiliki sifat individualis.

B. Wanita dalam kebudayaan Jawa

1. Gambaran wanita Jawa dalam etimologi dan jarwa dosok

Berdasarkan Old Javanese English Dictionary (Zoetmulder, 1982),

kata wanita berarti ’yang diinginkan’. Arti ’yang dinginkan’ dari wanita ini

sangat relevan. Maknanya, jelas bahwa wanita adalah ”sesuatu yang

diinginkan pria”. Wanita baru diperhitungkan karena (dan bila) bisa

dimanfaatkan pria. Sudut pandangnya selalu sudut pandang ”lawan

mainnya”, yaitu pria. Jadi, eksistensinya sebagai makhluk Tuhan menjadi

nihil. Dengan demikian, kata ini berarti hanya menjadi objek (bagi lelaki)

belaka (Sudarwati & Jupriono, 1997).

Makna wanita sebagai ’sasaran keinginan pria’ juga dipaparkan oleh

Slametmuljana dalam bukunya Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara (1964).

Kata wanita, dalam bahasa aslinya (Sanskerta), tulisnya, bukan pemarkah

marked jenis kelamin. Dari bahasa Sanskerta vanita, kata ini diserap oleh

bahasa Jawa Kuno (Kawi) menjadi wanita, ada perubahan labialisasi dari

labiodental ke labial: [v]-->[w]; dari bahasa Kawi, kata ini diserap oleh

bahasa Jawa (Modern); lalu, dari bahasa Jawa, kata ini diserap ke dalam

bahasa Indonesia. Setelah diadopsi bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, kata

(39)

dalam Kamus Linguistik (1993) yaitu, arti kata ”wanita” sekarang lebih

tinggi daripada arti dahulu. Kata kewanitaan, yang diturunkan dari kata

wanita, berarti ’keputrian’ atau ’sifat-sifat khas wanita’. Sebagai putri

(wanita di lingkungan keraton), setiap wanita diharapkan masyarakatnya

untuk meniru sikap laku, gaya tutur, para putri keraton, yang senantiasa

lemah gemulai, sabar, halus, tunduk, patuh, mendukung, dan mendampingi.

Dengan kata lain, kata wanita dapat terhindar dari nuansa memprotes,

memimpin, menuntut, menyaingi, memberontak, menentang, dan melawan

(Sudarwati & Jupriono, 1997).

Menurut Suryadi (1993), dalam jarwa dosok Jawa, yaitu permainan

kata yang mengandalkan othak-athik ghatik dan othak-athuk ghatuk, konon

kata wanita diartikan sebagai wani ditata alias mesti berani diatur (h.

155-156). Berdasarkan hal tersebut, kata ”wanita” memang lebih dekat dengan

kesadaran praktis masyarakat Jawa. Kata ”wanita” berasal dari kata wani

(berani) dan ditata (diatur). Hal ini berati bahwa, seorang wanita adalah

sosok yang berani ditata atau diatur (Handayani & Novianto, 2004).

Handayani dan Novianto juga mengemukakan bahwa dalam kehidupan

praktis masyarakat Jawa, wanita adalah sosok yang selalu mengusahakan

keadaan tertata, sehingga untuk itu pula dia harus menjadi sosok yang berani

ditata. Dalam hal ini, akan tampak bahwa berani ditata tidak berarti wanita

(40)

 

 

20

2. Gambaran ideal wanita Jawa

Menurut Handayani dan Novianto (2004), wanita Jawa sangat identik dengan kultur Jawa, seperti bertutur kata halus, tenang, diem/

kalem, tidak suka konflik, mementingkan harmoni, menjunjung tinggi

nilai keluarga, mampu mengerti dan memahami orang lain, sopan,

pengendalian diri tinggi/ terkontrol, daya tahan untuk menderita tinggi,

memegang peranan secara ekonomi dan setia/ loyalitas tinggi.

Karakter tersebut berkaitan dengan beberapa sikap hidup orang

Jawa dalam Jong (1976), yaitu rila, narima, dan sabar. Bersikap rila

merupakan langkah pertama ke arah hidup sempurna. Lambat laun orang

harus belajar menyerahkan segala milik, kemampuan dan hasil kerjanya

dengan segala keikhlasan hati. Narima artinya, merasa puas dengan

nasibnya, tidak memberontak, menerima dengan rasa terima kasih. Sikap

rila mengarahkan pada segala sesuatu yang telah kita capai dengan upaya

sendiri, sedangkan sikap narima menekankan pada ”apa adanya” faktualis

dalam hidup kita, menerima segala sesuatu yang masuk ke dalam hidup

kita, baik sesuatu yang bersifat materiil, maupun suatu kewajiban atau

beban yang diletakkan atas bahu kita oleh sesama manusia. Sikap hidup

yang ketiga, yaitu sabar. Kata ”sabar” sering dijumpai bersama-sama

dengan kedua istilah tadi dan memang merupakan akibatnya. Hanya orang

yang menjalankan rila dan narima yang akan menjadi sabar. Seorang yang

dengan rela hati menyerahkan diri dan yang menerima dengan senang hati

(41)

Menurut Soedarsono dan Murniatmo (1986), sifat-sifat seperti di

atas merupakan kepribadian wanita Jawa dan gambaran ideal dari wanita

Jawa. Kepribadian itu dibentuk dalam lingkungan keluarga yang telah

dipengaruhi oleh sistem nilai budaya. Kepribadian wanita Jawa akan

tercermin dalam sistem sosialnya, yaitu bersifat conform atau berusaha

menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku supaya dapat

memenuhi harapan-harapan lingkungannya, meskipun tindakan-tindakan

tersebut tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Pembentukan

kepribadian tersebut diperoleh dari proses sosialisasi dan enkulturasi

3. Peranan suami dan isteri dalam keluarga Jawa

Soedarsono dan Murniatmo (1986) berpendapat mengenai peranan

wanita setelah menikah, yaitu pada umumnya masyarakat Jawa masih

menilai tinggi bahwa wanita setelah menikah sebaiknya tinggal di rumah,

mengurus rumah tangga, mendidik anak-anak, karena hal tersebut sudah

merupakan suatu kodrat bagi wanita yaitu, menikah, melahirkan, dan

merawat anak-anak.

Menurut Taryati dkk. (1994/1995), dalam suatu rumah tangga

Jawa, kedudukan suami dengan isteri tidaklah sama. Suami adalah

pelindung bagi isteri dan anak-anaknya. Sebaliknya, isteri adalah pusat

kedamaian bagi keluarganya, dan ia juga teman berbincang-bincang bagi

suami. Seorang isteri mempunyai fungsi dan peranan mengatur dan

(42)

 

 

22

mengasuh anak dan membina anak dalam pendidikan. Mewakili suami,

membina kerukunan rumah tangga, singkatnya mengurusi kehidupan

rumah tangga, kesehatan anak dan suami, dan banyak pula yang bekerja

untuk membantu mencari nafkah bagi keluarganya, seperti berdagang,

bekerja di kantor, atau menjadi buruh.

Gambaran peranan suami dan isteri dalam keluarga Jawa yang

dikemukakan oleh Taryati dkk. (1994/1995) sangat mirip dengan

Undang-undang no.1 tahun 1974 dalam Pasal 31 ayat 3. Pasal tersebut mengatur

tentang peran istri dan suami, suami adalah kepala keluarga sementara istri

adalah ibu rumah tangga. Pasal berikutnya, yaitu Pasal 34 menyebutkan

tugas istri adalah wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya,

sementara tugas suami adalah melindungi istri dan memberikan segala

sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuannya

(Wijayanti, 2008).

Sarwono (dalam Handayani & Novianto, 2004), menyatakan

bahwa, wanita dalam konteks budaya Jawa sering disebut sebagai konco

wingking (teman di dapur) oleh suaminya yang nasibnya tergantung pada

suaminya. Swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka pun

terbawa).

Terdapat pula pola hubungan sosial antara suami-isteri-anak dalam

(43)

a. Hubungan sosial antara suami dan isteri

Komunikasi sehari-hari dilakukan oleh suami kepada isterinya

menggunakan bahasa Jawa ngoko, sebaliknya isteri dengan

menggunakan bahasa Jawa kromo. Akan tetapi isteri seringkali

menggunakan bahasa Jawa ngoko. Termasuk di dalamnya ketika suami

akan menyuruh isterinya, terlebih dahulu akan didahului dengan kata

minta tolong. Apabila dalam kesempatan bertemu ternyata ada

beberapa masalah, maka mereka akan bersama-sama mencari jalan

untuk menyelesaikannya. Dari berbagai kemungkinan jalan keluar,

pertimbangan suamilah yang pada akhirnya akan menentukan

keputusan. Kemungkinan ini dapat terjadi karena, status suami sebagai

ayah dalam satu keluarga merupakan figur seorang pelindung dan

pengayom keluarganya.

b. Hubungan sosial antara Ibu dengan anak pria

Bahasa yang digunakan ibu berbicara dengan anak pria adalah

dengan bahasa Jawa ngoko. Sebaliknya anak pria menggunakan bahasa

Jawa kromo tetapi ada beberapa anak pria yang menggunakan bahasa

Jawa ngoko. Saat ibu memberi tugas kepada anak pria, ibu memanggil

anaknya dengan panggilan le atau tole. Kesempatan anak pria bertemu

dengan ibunya dapat setiap saat jika anak ada di rumah, karena

walaupun ada ibu rumah tangga yang bekerja, akan tetapi frekuensi

waktu di rumah relatif lebih banyak. Kesempatan bertemu tersebut

(44)

 

 

24

pekerjaan. Apabila muncul permasalahan, ibu akan membicarakan

dengan anak prianya untuk mencari kemungkinan penyelesaiannya.

Walaupun demikian, ibu akan membawa permasalahan pada ayah

untuk dimintakan pendapat atau pertimbangan.

c. Hubungan sosial antara Ibu dengan anak wanita

Dalam berkomunikasi ibu dengan anak wanitanya, tidak jauh

berbeda dengan anak prianya yakni dengan menggunakan bahasa Jawa

ngoko. Sebaliknya anak wanita tersebut dalam berbicara dengan

ibunya menggunakan bahasa Jawa kromo. Apabila ibu menyuruh anak

wanitanya, bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa ngoko, dengan

menyebut nama anak atau dengan ndhuk, baru menyebut apa yang

akan diperintahkannya. Sikap ibu terhadap anak wanitanya

melindungi, sangat sayang atau dekat dan membimbing. Jika

menghadapi permasalahan, ibu akan membicarakan dengan anak

wanitanya untuk mencari kemungkinan penyelesaiannya secara

bersama. Kalau ada kesulitan dalam mengatasinya, ibu akan selalu

minta pertimbangan ayah. Pada saat ibu dan anak wanitanya

bepergian, merupakan waktu yang paling baik untuk berkumpul.

Pembicaraan di antara mereka sekitar pekerjaan, pendidikan, dan

(45)

4. Pergeseran peranan isteri dalam keluarga Jawa

Wanita dalam konteks budaya Jawa tradisional sering diibaratkan

dengan istilah suwarga nunut naraka katut (ke surga ikut ke neraka pun

ikut terbawa). Ungkapan ini menggambarkan bahwa dalam kehidupan

masyarakat Jawa yang tradisional, kedudukan isteri berada dibawah suami.

Isteri kurang berperan dalam kehidupan rumah tangga, lebih-lebih dalam

hal memutuskan perkara yang penting (Reksodihardjo, Sudibyo, &

Soetomo, 1984).

Ungkapan tersebut bertolak belakang dengan keadaan keluarga

modern sejak zaman kemerdekaan. Soemardjan (2009) mengungkapkan

bahwa sejak zaman kemerdekaan, tata pemerintahan demokratislah yang

menggantikan pemerintahan Belanda dan Jepang. Tata pemerintahan

demokratis tersebut meliputi pengambilan keputusan secara kolektif, tidak

lagi satu arah dari atas ke bawah. Pengambilan keputusan secara kolektif

ini, berdampak juga pada satuan masyarakat terkecil, yaitu keluarga.

Bentuk ideal keluarga demokratis ini sebagai lawan dari konsep keluarga

patrialkal, yaitu bapak atau kepala keluarga diharapkan memiliki

kelebihan dalam kecakapan dan semangat untuk mengatur keluarganya.

Soemardjan juga mengungkapkan bahwa tugas bapak dalam sebuah

keluarga bukan untuk memerintah keluarganya, melainkan untuk menjaga

kesejahteraannya. Hal ini harus dilakukan sedemikian rupa agar

keluarganya mengikuti bukan karena takut atau tunduk, tetapi karena cinta

(46)

 

 

26

menyatakan pendapatnya dan membantu bapak dalam mengambil

keputusan, sehingga setiap anggota keluarga dapat turut serta dalam usaha

mencapai tujuan-tujuan keluarga yakni kebahagiaan dan kesejahteraan.

Friedan (dalam Agger, 2009) berpandangan bahwa perempuan dapat

menaikkan posisinya dalam keluarga dan masyarakat melalui kombinasi

inisiatif dan prestasi individual (pendidikan tinggi).

C. Perubahan pola pikir masyarakat Jawa mengenai pernikahan akibat faktor ekonomi seiring terjadinya perkembangan sistem pendidikan 1. Pendidikan pada zaman Belanda, Jepang, dan Kemerdekaan a. Pendidikan pada zaman Belanda

Sistem pendidikan pada masa Hindia-Belanda memiliki

pokok-pokok sebagai berikut (Soemardjan, 2009):

1. Pendidikan yang dibiayai oleh Belanda di sekolah-sekolah umum

yang netral terhadap agama.

2. Pendidikan tidak terlalu memikirkan bagaimana caranya hidup

secara harmonis dalam dunia, tetapi menekankan tentang bagaimana

memperoleh penghidupan

3. Pendidikan diselenggarakan berdasarkan perbedaan kelompok etnis

dalam masyarakat

4. Pendidikan diselenggarakan untuk mempertahankan perbedaan

kelas dalam masyarakat Indonesia, terutama di kalangan orang

(47)

5. Pendidikan sebagian besar diarahkan pada pembentukan kelompok

elite masyarakat. Oleh sebab itu, pendidikan bisa dipergunakan

untuk mempertahankan supremasi politik dan ekonomi Belanda di

daerah jajahannya.

Menurut Surjomihardjo (2008), terdapat dua tipe sekolah pada

zaman Belanda, yaitu pertama, sekolah bagi murid-murid para pembesar

dan berasal dari status ekonomi yang kuat. Kedua, sekolah bagi kaum

priyayi rendahan. Namun, belum semua anak-anak dari keluarga

makmur yang dapat menanggung biaya pendidikan tertampung dalam

sekolah tersebut. Keadaan ini dikarenakan, orangtua belum melihat

manfaat pendidikan dan orangtua lebih memerlukan anak-anak untuk

kerja di rumah, kebun atau sawah. Soemardjan (2009) juga mengatakan

bahwa pada zaman Belanda, orangtua di daerah pedesaan cenderung

memandang anak-anaknya sebagai suatu modal ekonomi yang harus

dimanfaatkan dalam kegiatan-kegiatan usaha tani. Berdasarkan keadaan

demikian, masih banyak anak-anak yang tidak meneruskan sekolahnya

di masa itu. Akibatnya, para orangtua mendorong anak-anaknya untuk

segera menikah.

b. Pendidikan pada zaman Jepang

Jepang mengeluarkan kebijakan pendidikan selama masa

pendudukannya di Indonesia. Kebijakannya ditandai oleh tiga prinsip

(48)

 

 

28

1. Pendidikan ditata kembali atas dasar keseragaman dan kesamaan

untuk seluruh kelompok etnis dan kelas sosial.

2. Pengaruh Belanda dihapuskan secara sistematis dari sekolah-sekolah,

sedangkan unsur-unsur kebudayaan Indonesia dijadikan landasan

utama

3. Semua lembaga pendidikan dijadikan alat untuk mengindoktrinasi

gagasan kemakmuran bersama Asia Tenggara di bawah pimpinan

Jepang.

Jepang memberlakukan kurikulum yang seragam, seperti lagu-lagu

Jepang dan Indonesia. Semuanya dipelajari di semua sekolah dan

dinyanyikan di pusat-pusat latihan gabungan pemuda semi-militer. Hal

ini sangat membantu terhapusnya jarak sosial dan menciptakan

kesadaran akan kesamaan di kalangan para siswa dari semua kelas sosial

di seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Walaupun pemerintah

Militer Jepang berhasil mendemonstrasikan sistem sekolah, mereka tidak

mampu meningkatkan jumlah sekolah untuk memenuhi tuntutan

penduduk pedesaan yang makin besar. Jumlah sekolah masih tetap

langka jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang tinggal di

Daerah Istimewa Yogyakarta.

c. Pendidikan pada zaman kemerdekaan

Soemardjan (2009) menjelaskan bahwa kebutuhan akan

pendidikan di pihak orangtua dan anak-anaknya meningkat selama tahun

(49)

gerilya melawan tentara Belanda. Ketika pertempuran berakhir pada

tahun 1950, anak muda dalam jumlah yang luar biasa membanjiri

sekolah-sekolah. Maka, timbul masalah besar bagi pemerintah untuk

menyediakan ruangan belajar, peralatan dan guru-guru.

Pada tahun 1950, ke- 491 sekolah dasar negeri dan swasta yang

ada di Daerah Istimewa Yogyakarta harus menampung 153.205 murid.

Maka, setiap guru mengajar 85 murid yang dibagi menjadi sekolah pagi

dan sore hari dengan guru yang sama dan murid yang berbeda.

Meskipun demikian, masih ada ribuan anak yang tidak bisa masuk

sekolah dan terpaksa menunggu tahun berikutnya.

Soemardjan juga mengungkapkan bahwa pada penghujung tahun

1957, jumlah sekolah dasar meningkat menjadi 830 dan jumlah guru

meningkat menjadi 4393. Walaupun pemerintah berhasil menyediakan

lebih banyak guru dalam waktu yang relatif singkat, tetapi pemerintah

kekurangan dana untuk membangun gedung-gedung sekolah baru dan

menyediakan perabot serta peralatan sekolah lainnya.

2. Dampak peningkatan pendidikan terhadap pola pikir masyarakat Menurut Soemardjan (2009), pertumbuhan sekolah dasar di

Yogyakarta tidak akan terjadi bila tidak ada dukungan sukarela dari

kalangan masyarakat sendiri, terutama di daerah pedesaan. Soemardjan

mengungkapkan bahwa sesudah revolusi, orangtua di desa cenderung

(50)

 

 

30

bisa dipetik manfaatnya pada masa depan setelah orangtua membiayai

pendidikannya. Dengan kata lain, orangtua di desa telah meninggalkan

sikap tradisional menyuruh anak-anak membantu pekerjaannya, tidak

memberi pendidikan atau pilihan lain selain menjadi petani seperti

orangtuanya. Sebaliknya, kini mereka menyekolahkan anak-anaknya

untuk memperoleh keterampilan yang lebih banyak dan lebih baik di

luar pertanian. Maka mereka akan lebih siap dalam menghadapi

persaingan kerja di masa mendatang.

Penelitian yang dilakukan oleh Kasniyah, dkk. (1984) dalam suatu

pedesaan di Yogyakarta, menjelaskan bahwa akibat dari intensifikasi

lahan pertanian, membuat penduduk desa melakukan urbanisasi.

Urbanisasi yang terjadi sebagian disebabkan oleh tingkat pendidikan

yang semakin meningkat. Seseorang yang berpendidikan tinggi memilih

untuk bekerja atau menerapkan disiplin ilmunya di kota besar.

Soedarsono dan Murniatmo (1986) mengungkapkan bahwa

sekitar tahun 70-an sampai 80-an, terjadi kemajuan zaman yang ditandai

dengan peningkatan teknologi, pendidikan, transportasi, ekonomi dan

komunikasi semakin memperluas cakrawala wanita. Proses

pembangunan yang semakin meningkat juga merupakan proses

perubahan sosial budaya yang akan meliputi pula perubahan nilai.

Berdasarkan penjelasan tersebut, tampaknya alasan ekonomi tetap

menjadi prioritas yang dipentingkan dibalik dari adanya perubahan sikap

(51)

Anak-anak tetap dipandang sebagai modal ekonomis oleh orangtuanya.

Perkembangan zaman khususnya dalam bidang pendidikan juga telah

memperluas cakrawala wanita.

D. Usia ideal, inisiatif menikah, makna pernikahan, dan relasi suami isteri menurut wanita Jawa yang menikah di tahun 1960-an dan 2000-an 

Pernikahan dalam kebudayaan Jawa selain sebagai pelebaran

menyamping dari ikatan antara dua kelompok himpunan yang tak bersaudara

(Geertz, 1983), pernikahan dalam masyarakat Jawa juga diposisikan sebagai

peristiwa yang sakral (Herusatoto, 2009). Sakralnya pernikahan yang diakui

masyarakat Jawa, diharapkan kedua mempelai dapat menjalaninya cukup

sekali seumur hidup. Dalam upacara pernikahan Jawa, ijab kabul merupakan

bagian terpenting dalam agama Islam yang dianut oleh sebagian besar

masyarakat Jawa (Koentjaraningrat, 1985). Ijab kabul yang dilakukan kedua

mempelai membuat pernikahan dianggap sah secara agama.

Setelah adanya peristiwa pernikahan, maka terbentuklah keluarga yang

disebut keluarga batih. Keluarga batih dalam masyarakat Jawa merupakan

suatu kelompok sosial yang berdiri sendiri, serta memegang peranan dalam

proses sosialisasi anak-anak yang menjadi anggotanya (Koentjaraningrat,

2007). Dalam keluarga batih yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, terdapat

peranan wanita sebagai isteri dan ibu bagi anak-anaknya. Seorang isteri

mempunyai fungsi dan peranan mengatur dan mengelola rumah tangga dan

(52)

 

 

32

dalam pendidikan (Taryati dkk., 1994/1995). Hal tersebut sesuai dengan

gambaran ideal seorang wanita Jawa yang memiliki sikap sangat identik

dengan kultur Jawa, seperti bertutur kata halus, tenang, diem/ kalem, tidak

suka konflik, mementingkan harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga,

mampu mengerti dan memahami orang lain, sopan, pengendalian diri tinggi/

terkontrol, daya tahan untuk menderita tinggi, memegang peranan secara

ekonomi dan setia/ loyalitas tinggi (Handayani & Novianto, 2004).

Terjadinya perubahan sistem pendidikan pada zaman penjajahan

sampai kemerdekaan menjadi salah satu bagian dari adanya perubahan pola

pikir yang terjadi pada masyarakat di era penjajahan dan kemerdekaan.

Dampak dari perubahan sistem pendidikan yang semakin meningkat,

mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam hal pendidikan. Orangtua pada

awalnya memandang bahwa anak-anaknya merupakan modal dalam usaha

kegiatan tani dan tidak melihat manfaat pendidikan untuk anak-anaknya.

Namun, setelah revolusi terjadi perubahan sikap orangtua, yaitu

menyekolahkan anak-anak mereka sampai jenjang pendidikan yang tinggi,

sehingga mereka dapat mempersiapkan masa depan yang lebih baik di dunia

kerja (Soemardjan, 2009). Kesamaan dari adanya perubahan pola pikir

orangtua tersebut adalah anak-anak tetap dipandang sebagai modal ekonomis.

Hal tersebut berkaitan dengan pandangan saat ini mengenai pemilihan calon

pasangan, dimana kualifikasi pendidikan dari calon pasangan menjadi sesuatu

(53)

ini sangat berantusias untuk melanjutkan sekolahnya sampai jenjang

pendidikan tinggi dibandingkan menikah di usia dini.

Geertz (1983) menggambarkan, pada zaman dahulu usia ideal

anak-anak putri untuk menikah terlihat lebih mendapat tekanan dibandingkan anak-anak

laki-laki yang lebih mendapat kebebasan dari kedua orangtuanya. Meskipun

demikian, pada masa kini telah terjadi peningkatan usia anak-anak wanita

untuk menikah berdasarkan hasil penelitian Jacoby dan Bernard (dalam

Suryani, 2007). Berdasarkan pemaparan mengenai pernikahan di masyarakat

Jawa sampai peningkatan pendidikan sebagai salah satu penyebab terjadinya

perubahan pola pikir masyarakat yang berkaitan dengan pernikahan bagi

anak-anak mereka, maka penelitian ini merumuskan satu permasalahan yang

penting dan menarik untuk dibahas, yaitu perubahan apa saja yang terjadi pada

pernikahan Jawa yang dijalani oleh wanita seiring dengan adanya peningkatan

usia untuk menikah dan perubahan pola pikir masyarakat di tahun 1960-an

dan 2000-an?

E. Kerangka Penelitian

Berdasarkan alur pemikiran tersebut, maka disusunlah pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran tentang usia ideal menikah, inisiatif menikah, makna

pernikahan, dan relasi suami isteri dalam pernikahan Jawa yang dijalani

(54)

 

 

34

2. Persamaan apa saja yang terjadi dalam gambaran tentang usia ideal

menikah, inisiatif menikah, makna pernikahan, dan relasi suami isteri

dalam pernikahan Jawa yang dijalani oleh wanita Jawa di tahun1960-an

dan 2000-an?

3. Perubahan apa saja yang terjadi dalam gambaran tentang usia ideal

menikah, inisiatif menikah, makna pernikahan, dan relasi suami isteri

dalam pernikahan Jawa yang dijalani oleh wanita Jawa di tahun1960-an

(55)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian dengan paradigma kualitatif yang

menggunakan tradisi fenomenologi. Penelitian fenomenologi bertujuan

mendeskripsikan makna dari pengalaman-pengalaman yang dihidupi oleh

beberapa individu tentang konsep tertentu untuk diteliti (Creswell, 1998). Data

penelitian ini diperoleh dari pengalaman-pengalaman beberapa informan yang

menikah di tahun 1960-an dan beberapa informan yang menikah di tahun

2000-an. Penelitian ini akan menghasilkan data deskriptif, yang diperoleh

dengan menggunakan metode pengambilan data dengan wawancara semi

terstuktur (Creswell, 1998). Peneliti menggunakan jenis penelitian

fenomenologi ini karena peneliti ingin mengungkap dan menjelaskan

perubahan apa saja yang terjadi dalam pernikahan Jawa berdasarkan

pengalaman yang dijalani wanita Jawa antara tahun 1960-an dan 2000-an.

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian dalam penelitian ini, yaitu menemukan dan

mendeskripsikan perubahan apa saja yang terjadi dalam pernikahan Jawa yang

dijalani oleh wanita Jawa pada tahun 1960-an dan tahun 2000-an. Perubahan

(56)

 

 

36

a. Usia ideal wanita dan laki-laki untuk menikah

Usia ideal wanita dan laki-laki untuk menikah, yaitu usia dimana

wanita dan laki-laki dianggap layak untuk segera menikah. Usia ideal

untuk menikah bagi setiap orang dapat berbeda-beda tergantung dari

bagaimana kesiapan setiap orang untuk memasuki jenjang pernikahan

yang dapat dilihat dari kematangan emosi, kesiapan mental, dan

kemapanannya.

b. Inisiatif untuk menikah

Inisiatif untuk menikah, yaitu inisiatif seseorang untuk memilih

pasangan dan menentukan kapan ia akan menikah. Pasangan yang dipilih

adalah pasangan yang hendak menjadi calon suami atau calon isterinya.

c. Makna pernikahan

Makna pernikahan, yaitu bagaimana individu memaknai

pernikahannya berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah

dirasakannya selama menikah.

d. Relasi suami dan isteri

Relasi suami isteri yaitu hubungan antara suami dan isteri di dalam

rumah tangganya, baik dalam bentuk komunikasi maupun sikap saling

(57)

C. Informan Penelitian

Informan penelitian ini adalah wanita keturunan Jawa yang tinggal di

D.I Yogyakarta dan telah menikah. Hal ini bertujuan agar peneliti tetap fokus

pada konteks penelitian, yaitu masyarakat Jawa yang telah mengalami

langsung pernikahan yang sedang dijalaninya. Informan dalam penelitian ini,

terdiri dari sepuluh informan yang berasal dari dua generasi, yaitu lima wanita

yang menikah di tahun 1960-an dan lima wanita yang menikah di tahun

2000-an. Hal ini dimaksudkan agar peneliti mengetahui perubahan apa yang terjadi

dalam pernikahan Jawa dari kedua generasi tersebut. Berikut data demografi

informan:

1. Informan yang menikah di tahun 1960-an: a. Informan 1

Usia : 67 tahun

Jenis Kelamin : wanita

Agama : Katolik

Tahun menikah : 1960

Pendidikan : SD kelas 4

Latar Belakang

Informan berasal dari keturunan Jawa yang masih tradisional.

Sejak lahir informan sudah tinggal di Yogyakarta. Dalam kesehariannya

informan menggunakan bahasa Jawa dengan suami dan anak-anaknya.

Informan tinggal di daerah pedesaan, sehingga informan masih

(58)

 

 

38

pedesaannya. Informan menikah dengan proses perjodohan yang

dilakukan oleh kedua orangtuanya saat informan berusia 18 tahun.

b. Informan 2

Usia : 65 tahun

Jenis Kelamin : wanita

Agama : Katolik

Tahun menikah : 1963

Pendidikan : SD kelas 4

Latar Belakang

Informan berasal dari keturunan Jawa yang masih tradisional

dan tinggal di daerah pedesaan. Informan sudah tinggal di Yogyakarta

sejak lahir. Orangtua informan tinggal dekat dengan rumah informan.

Dalam kesehariannya, informan masih bertani dan menggunakan bahasa

Jawa saat berkomunikasi dengan orang-orang sekitarnya. Kehidupan

tradisional yang dijalaninya sejak kecil, membuatnya menjalani

nilai-nilai budaya Jawa dalam masyarakat di daerah tempatnya tinggal.

Informan mengalami perjodohan saat ia berusia 19 tahun.

c. Informan 3

Usia : 61 tahun

Jenis Kelamin : wanita

Gambar

Tabel 1  Penentuan unit makna
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 7
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perancangan dalam penelitian ini terdiri dari panel sel surya, solar charger, aki 12V, driver pompa, driver motor, sensor cahaya, sensor suhu, sensor tegangan, sensor

Direksi memuji reformasi penentu atas subsidi energi di tahun 2015, termasuk rencana untuk subsidi listrik sebagai sasaran subsidi yang lebih baik, dan penggunaan ruang fiskal

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

Yang dimaksud dengan “kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik” adalah kondisi dimana kapasitas penyediaan tenaga listrik tidak mencukupi kebutuhan beban di daerah