Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Bernadete Adeline Muliawan NIM: 06 9114 044
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
“Kiranya diberikanNya kepadamu apa yang kau
hendaki dan dijadikanNya berhasil apa yang kau
rancangkan”
{Mazmur 20:5}
“Life for nothing or Die for something?”
(
Rambo
)
Sukses itu 98%-nya dibentuk oleh kesalahan, karena itu jika ingin
sukses, jangan takut salah!
-
SOICHIRO HONDA-
“Gitu aja kok repot?”
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
Tuhan Yesusku Yang Maha Besar,
Kedua Orangtuaku terkasih,
Kakak dan adikku tersayang,
t
d
Saya
tidak memu
dalam kutipa
PE
a menyataka
uat karya ata
an dan dalam
RNYATAA
an dengan se
au bagian ka
m daftar pust
vi AN KEASLI
esungguhnya
arya orang la
taka, sebaga
IAN KARY
a bahwa skri
ain, kecuali
aimana layak
Yogyak
Bernad YA
ipsi yang sa
yang telah
knya karya il
karta, 4 Juni
Penulis
dete Adeline
aya tulis ini
disebutkan
lmiah.
2010
menurut wanita Jawa yang menikah di tahun 1960-an dan 2000-an
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perubahan apa saja yang terjadi dalam pernikahan Jawa yang dijalani oleh wanita Jawa di era tahun 1960-an dan era tahun 2000-an yang berkaitan dengan usia ideal menikah, inisiatif menikah, makna pernikahan, dan relasi suami isteri. Informan dalam penelitian ini adalah lima wanita Jawa yang menikah di tahun 1960-an dan lima wanita Jawa yang menikah di tahun 2000-an. Metode pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara semi terstuktur. Metode analisis data yang digunakan adalah metode fenomenologi interpretatif. Dari hasil penemuan dan pembahasan, perubahan yang terjadi dalam pernikahan di tahun 1960-an dan 2000-an yaitu, wanita pada masa kini bersikap tidak peduli terhadap pembicaraan dari masyarakat sekitar mengenai kapan mereka akan menikah, sementara wanita pada zaman dahulu mananggapinya dengan segera menikah dengan usia yang tergolong masih muda. Perjodohan pada masa kini sudah tidak terjadi, sementara pada zaman dahulu masih terjadi. Tujuan pernikahan pada wanita di zaman dahulu adalah untuk lepas dari tanggungan orangtuanya, sementara tujuan pernikahan masa kini lebih cenderung untuk belajar membangun rumah tangga yang mandiri dengan peranannya sebagai seorang isteri dan ibu. Namun, wanita masa kini merasa lebih terikat setelah menikah, sementara wanita yang menikah di zaman dahulu tidak merasa terikat. Upaya pencapaian keharmonisan keluarga diupayakan oleh suami dan isteri, sementara dahulu keharmonisan dicapai jika isteri menurut pada suaminya.
viii ABSTRACT
Bernadete Adeline Muliawan
Ideal age, initiative, and marriage meaning, also relation of husband and wife by Javanese women who marriage in the 1960s and 2000s
This research aimed to describe any changes that occur in Java marriages undertaken by the Javanese women in the era of 1960s and 2000s be related to ideal marriage age, marriage initiative, marriage meaning, and relation of husband and wife. Informants in this research were five women who married in Java by 1960s and five women who married in the 2000s. The data collection method in this research using semi-structured interviews. Data analysis methods used the interpretative phenomenological. From the findings and discussion, the changes that occur in marriages in the 1960s and 2000s, women in the present are also ignore to the conversation from the surrounding community about when they would marry, while women in 1960s concern to marry in young ages. Arranged marriages are not happening in modern era, while in the past was still happening. The purpose of marriages for women in 1960s was to escape the burden of her parents, while the purpose of marriages today are more likely to learn to build an independent household with its role as a wife and mother. However, women today feel more bound after getting married, while married women in olden times did not feel bound. Mainly efforts to achieve family harmony sought by a husband and wife, while in 1960s harmony achieve if wife follow her husband.
D
Saya yang b
Nam lain untuk k memberikan penulis.
Demikian pe
Dibuat di Yo
Pada tangga ia ideal, inis enurut wani angkat yang erpustakaan
n dalam ben kepentingan n royalti Kep
ernyataan in
ogyakarta
al: 4 Juni 201
atakan,
Adeline Mul
an di bawah
e Adeline M 4
lmu pengeta rma, karya il siatif, dan m ita Jawa ya
diperlukan ( Universitas ntuk media l akademis, pada saya se
ni saya buat d
10
liawan)
h ini, mahasis
Muliawan
ahuan, saya lmiah saya y makna pern ng menikah (bila ada). D s Sanata D lain, dan me
tanpa perlu elama tetap m
dengan seben u meminta i mencantumk
narnya.
itas Sanata D
n kepada Pe ul:
ta relasi sua 960-an dan ikian saya m k untuk m di internet a zin dari say kan nama sa
Dharma:
erpustakaan
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya
yang telah dikaruniakan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Penelitian ini memberikan gambaran mengenai
usia ideal, menikah, dan makna pernikahan, serta relasi suami isteri menurut
wanita Jawa yang menikah di tahun 1960-an dan 2000-an. Penelitian ini diajukan
untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan di Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma.
Terselesaikannya penelitian ini tidak terlepas dari dukungan dan kritik
yang membangun dari orang-orang disekitar penulis. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani. M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi dan
selaku dosen pembimbing sebelumnya yang telah memberikan masukan yang
sangat berarti dalam proses awal penelitian ini.
2. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Si., selaku dosen pembimbing
skripsi yang telah memberikan waktu, kritik yang membangun, dukungan, dan
dengan penuh kesabaran membimbing selama proses penyelesaian skripsi ini.
3. Dosen penguji Ibu Dr.Tjipto Susana, M.Si., dan P. Henrietta PDADS., S.Psi.,
M.A yang telah memberikan masukan dan koreksi yang sangat berharga untuk
5. Semua dosen Fakultas Psikologi, terima kasih telah membantu penulis dalam
memperluas wawasan dan pengetahun.
6. Karyawan Fakultas Psikologi : Mas Muji, Mas Doni, Mas Gandung, Mbak
Nanik, dan Pak Gie, atas segala bentuannya dan fasilitas selama proses
perkuliahan.
7. Papa, Mama, Kakak-kakak dan adikku (Ce Yuyun, Ce Vivi, Ce Thing, dan
Sella), terima kasih atas perhatian, dukungan, dan doanya selama perkuliahan
dan proses penelitian ini.
8. Laurensius Riasko, terima kasih untuk setiap dukungan, semangat, dan
motivasi yang diberikan selama penyelesaian skripsi ini.
9. Semua teman-teman kuliah, khususnya: Vivin, Clare, Nessya, Yaya, Jean,
Kak Maria, Liem, dan Herman untuk kebersamaan dan semangat kalian ☺☺
10.Teman-teman KKN: Winny, Dewi, Nita, Vina, Rena, Jati, dan Nico untuk
kebersamaan kita selama 2 bulan dalam masyarakat.
Penulis menyadari akan banyaknya kekurangan dan kelemahan dalam
skripsi ini. Oleh sebab itu itu, dengan hati terbuka penulis menerima segala
kritik dan saran demi hasil yang lebih baik. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi yang membacanya.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ...ii
HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PENGUJI... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ...viii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ...xii
DAFTAR TABEL ...xvii
DAFTAR LAMPIRAN ...xix
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8
3. Pengertian dan karakteristik keluarga Jawa ... 12
4. Agama sebagai landasan hukum yang mengatur pernikahan ... 14
5. Perkembangan pernikahan dalam masyarakat Jawa ... 16
B. Wanita dalam kebudayaan Jawa ... 18
1. Gambaran wanita Jawa dalam etimologi dan jarwa dosok ... 18
2. Gambaran ideal wanita Jawa ... 20
3. Peranan suami dan isteri dalam keluarga Jawa ... 21
4. Pergeseran peranan isteri dalam keluarga Jawa ... 25
C. Perubahan pola pikir masyarakat Jawa mengenai pernikahan akibat faktor ekonomi seriring terjadinya pergeseran sistem pendidikan ... 26
1. Pendidikan pada zaman Belanda, Jepang dan kemerdekaan ... 26
2. Dampak peningkatan pendidikan terhadap pola pikir masyarakat .. 29
D. Gambaran usia ideal, inisiatif, dan makna pernikahan, serta relasi suami isteri menurut wanita Jawa yang menikah di tahun 1960-an dan tahun 2000-an ... 31
E. Kerangka Penelitian ... 33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 35
A. Jenis Penelitian ... 35
B. Fokus Penelitian ... 35
xiv
D. Metode Pengambilan Data ... 44
E. Prosedur Pengambilan Data ... 45
F. Analisis Data ... 47
1. Penentuan Unit makna ... 49
2. Pemberian Tema sentral ... 49
3. Pengelompokkan Tema umum ... 50
4. Pemberian Struktur umum ... 50
G. Kredibilitas Penelitian ... 51
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52
A. Pandangan subyektif peneliti ... 52
B. Deskripsi hasil temuan ... 54
1. Usia ideal menikah ... 54
a. Gambaran usia ideal menikah di tahun 1960-an ... 54
b. Gambaran usia ideal menikah di tahun 2000-an ... 63
2. Inisiatif pernikahan ... 70
a. Inisiatif pernikahan di tahun 1960-an ... 70
b. Inisiatif pernikahan di tahun 2000-an ... 75
3. Makna Pernikahan ... 77
a. Makna pernikahan di tahun 1960-an ... 77
b. Makna pernikahan di tahun 2000-an ... 80
4. Relasi suami dan isteri ... 84
a. Relasi suami dan isteri pada tahun 1960-an ... 84
2. Pendidikan menjadi alasan untuk menunda pernikahan di tahun
2000-an ... 92
D. Kesimpulan umum gambaran pernikahan di tahun 1960-an ... 93
E. Kesimpulan umum gambaran pernikahan di tahun 2000-an ... 95
F. Persamaan dan perubahan yang terjadi dalam gambaran pernikahan
di tahun 1960-an dan tahun 2000-an ... 96
1. Persamaan gambaran pernikahan di tahun 1960-an dan tahun
2000-an ... 96
2. Perubahan yang terjadi dalam gambaran pernikahan di tahun 1960-an
dan tahun 2000-an ... 101
G. Pembahasan ... 104
1. Persamaan gambaran pernikahan di tahun 1960-an dan tahun
2000-an ... 104
a. Usia ideal wanita dan laki-laki untuk menikah 104
b.Tingkat pendidikan menjadi alasan ekonomis berkaitan dengan
inisiatif pernikahan ... 107
c. Pernikahan dimaknai sebagai sarana untuk beribadah dan belajar
berumah tangga ... 109
2. Perubahan yang terjadi dalam gambaran pernikahan di tahun 1960-an
xvi
a. Respon terhadap tekanan sosial dan keterikatan setelah
menikah ... 110
b. Inisiatif pernikahan dan tujuan pernikahan ... 114
c. Relasi suami dan isteri ... 117
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 120
A. Kesimpulan ... 120
B. Keterbatasan Penelitian ... 121
C. Saran ... 122
DAFTAR PUSTAKA ... 123
Tabel 3 : Pengelompokkan Tema umum...50
Tabel 4 : Pengelompokkan Struktur umum ...50
Tabel 5 : Usia ideal wanita dan laki-laki untuk menikah
(tahun 1960-an)...54
Tabel 6 : Laki-laki di zaman dahulu menikah dengan wanita yang lebih muda
usianya (tahun 1960-an)...57
Tabel 7 : Usia wanita untuk menikah dibatasi oleh tekanan biologis
(tahun 1960-an) ………...59
Tabel 8 : Usia wanita untuk menikah dibatasi oleh tekanan sosial
(tahun 1960-an)………...60
Tabel 9 : Usia ideal wanita dan laki-laki untuk menikah (tahun 2000-an) ...63
Tabel 10 : Usia ideal laki-laki untuk menikah lebih tua dibandingkan usia
Wanita (tahun 2000-an) ...66
Tabel 11 : Usia ideal wanita untuk menikah dibatasi oleh tekanan biologis
(tahun 2000-an) ...68
Tabel 12 : Usia ideal wanita untuk menikah dibatasi oleh tekanan sosial
(tahun 2000-an) ...69
Tabel 13 : Menikah atas inisiatif orangtua (tahun 1960-an) ...72
Tabel 14 : Menikah atas inisiatif sendiri dan lebih bebas di masa sekarang
xviii
Tabel 15 : Inisiatif untuk menikah pada tahun 2000-an lebih dibebaskan ...75
Tabel 16 : Makna pernikahan bertujuan untuk meringankan beban orangtua
(tahun 1960-an) ...77
Tabel 17 : Makna pernikahan agar dapat beribadah (tahun 1960-an) ...78
Tabel 18 : Pernikahan sebagai sarana pembelajaran berumah tangga (1960-an)..79
Tabel 19 : Tujuan pernikahan sebagai sarana untuk belajar menjalani
kehidupan rumah tangga (tahun 2000-an) ...81
Tabel 20 : Merasa terikat setelah menikah (tahun 2000-an) ...82
Tabel 21 : Menikah sebagai suatu kewajiban beribadah (tahun 2000-an) ...83
Tabel 22 : Keharmonisan keluarga dicapai jika isteri menuruti suaminya
(tahun 1960-an) ... 85
Tabel 23 : Keharmonisan keluarga diusahakan oleh suami dan isteri
(tahun 2000-an) ...87
Tabel 24 : Menikah karena tidak melanjutkan sekolah (tahun 1960-an) ...89
Tabel 25 : Pendidikan menjadi alasan untuk menunda pernikahan
(tahun 1960-an) ...90
Tabel 26 : Pendidikan menjadi alasan untuk menunda pernikahan
(tahun 2000-an) ...92
Tabel 27 : Perubahan gambaran pernikahan di tahun 1960-an dan
Lampiran 2 : Transkrip verbatim dan unit makna, serta pemberian Tema sentral
dari unit makna informan pertama (menikah di tahun
1960-an)...128
Lampiran 3 : Transkrip verbatim dan unit makna, serta pemberian tema sentral
dari unit makna informan kedua (menikah di tahun
1960-an)...139
Lampiran 4 : Transkrip verbatim dan unit makna, serta pemberian tema sentral
dari unit makna informan ketiga (menikah di tahun
1960-an)...153
Lampiran 5 : Pengelompokkan Tema umum dari kelima informan (menikah di
tahun 1960-an)……… 169
Lampiran 6 : Transkrip verbatim dan unit makna, serta pemberian tema sentral
dari unit makna informan pertama (menikah di tahun
2000-an)…...197
Lampiran 7 : Transkrip verbatim dan unit makna, serta pemberian tema sentral
dari unit makna informan kedua (menikah di tahun
2000-an)……...201
Lampiran 8 : Transkrip verbatim dan unit makna, serta pemberian tema sentral
dari unit makna informan ketiga (menikah di tahun
xx
Lampiran 9 : Pengelompokkan tema umum dari kelima informan (menikah di
tahun 2000-an)...221
Lampiran 10: verbatim informan ke-4 dan ke-5 tahun 1960-an dan tahun
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan bagi orang Jawa pada umumnya merupakan sesuatu yang
penting, suatu detik tatkala hubungan persaudaraan diperluas dan berubah. Di
Jawa, perkawinan menjadi pertanda terbentuknya sebuah somah baru yang
segera akan memisahkan diri, baik secara ekonomi maupun tempat tinggal,
lepas dari kelompok orangtua dan membentuk sebuah basis untuk sebuah
rumah tangga baru (Geertz, 1983). Geertz juga menemukan bahwa
perkawinan di Jawa tidak dipandang semata-mata sebagai penggabungan dua
jaringan keluarga yang luas, tetapi yang dipentingkan bagi orang Jawa ialah,
pembentukan sebuah rumah tangga yang baru dan mandiri.
Menurut Herusatoto (2009), dalam masyarakat Jawa, perkawinan/
pernikahan merupakan sesuatu hal yang sakral. Perkawinan yang suci
terlaksana melalui proses pembicaraan yang panjang, perencanaan yang
matang, dan program pelaksanaan yang rumit, sarat dengan segala macam
upacara khusus, curahan doa restu dari para sepuh, semua handai tolan,
sahabat, dan kenalan dekat kedua belah pihak. Limpahan segala kasih dan
sayang itu menunjukkan betapa tinggi nilai harkat perkawinan/ pernikahan itu
sendiri.
Pada zaman dahulu, bagi seorang anak perempuan, perkawinan
2
baginya diusahakan terutama jika ia telah mulai menunjukkan minat nyata
terhadap laki-laki. Hal tersebut karena, orangtuanya khawatir bahwa anak
gadisnya akan terkenal sebagai perempuan bermoral cabul (Geertz, 1983).
Dalam keluarga tradisional masalah ini dipecahkan dengan mengawinkan
anak perempuan sebelum akil balig, ketika masih berumur 9 atau 10 tahun.
Gadis-gadis cilik ini akan diboyong ke rumah suami mereka, diasuh olehnya,
ibu mertuanya, dan akan menjadi tanggungan bagi keluarga barunya serta
bukan lagi menjadi tanggungan orangtuanya sendiri, dengan maksud untuk
menjauhkannya dari laki-laki lain. Geertz juga menemukan bahwa saat ini
praktik demikian telah jarang terjadi, dan usia perkawinan bagi anak-anak
perempuan pun telah tampak meningkat berangsur-angsur pada saat kira-kira
berusia 16 atau 17 tahun. Sedikit sekali yang tidak pernah menikah sama
sekali.
Kebanyakan perkawinan diatur oleh orangtua dari pihak laki-laki dan
pihak wanita. Orangtualah yang mencarikan calon jodoh dan memutuskan hari
perkawinan, terutama apabila merupakan perkawinan pertama untuk
anak-anak mereka. Orang Jawa yakin bahwa demikianlah jalan yang seyogyanya
untuk memasuki perkawinan, dan bahwa anak seharusnya menyetujui
keputusan orangtua (Geertz, 1983).
Gambaran yang dikemukakan oleh Geertz semakin memperjelas
kenyataan yang terjadi pada gadis-gadis di tahun 1950 sampai 1960-an.
Gadis-gadis pada masa itu sudah secara langsung maupun tidak langsung mendapat
dinyatakan oleh salah seorang responden (DM, wawancara, 10 April, 2009).
Banyak di antara mereka yang tidak memilih langsung pasangannya,
melainkan menerima perjodohan dengan pria yang belum dikenalnya.
Menurut Pranoto (2009), dalam masyarakat Jawa pada zaman dahulu, ijab
atau pertemuan antara kedua insan adalah karena dijodohkan oleh kedua
orangtua. Oleh karena itu, sang calon pengantin belum tentu saling mengenal
satu sama lain. Terlebih mengenal sifat atau watak satu sama lain. Tetapi pada
zaman sekarang, biasanya si calon pengantin sudah saling mengenal satu sama
lain.
Menurut Murray (1973), memilih teman hidup perkawinan secara
tidak bijaksana adalah satu tragedi karena perkawinan berarti memilih kawan
dan teman serumah seumur hidup, maka haruslah dilakukan dengan
pertimbangan dan perundingan mendalam. Pilihan kawan hidup harus
dilakukan dengan teliti.
Menurut Soemardjan (2009), dengan pesatnya perkembangan
pendidikan telah menimbulkan perbedaan kepentingan-kepentingan
intelektual antara generasi tua dan generasi muda. Perbedaan tersebut terlihat
dalam perbedaan ruang lingkup minat. Akibatnya berpengaruh pada
sikap-sikap yang ada dalam diri anggota-anggota tiap generasi. Generasi tua lebih
senang kalau anak-anaknya kawin dengan pasangan dari lingkungan desa
sendiri sedangkan generasi muda tidak peduli darimana asal calon jodohnya.
4
Pada beberapa tahun terakhir, usia pernikahan wanita semakin
bertambah berkisar di antara rata-rata usia 24-26 tahun (Biro Pusat Statistik,
2009). Memasuki tahun 2000, badan Survei Statistik Indonesia mendapatkan
data proporsi wanita di daerah perkotaan khususnya di Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) menikah pada usia rata-rata 26,2 tahun, sementara itu, di
daerah pedesaan rata-rata usia pernikahan wanita, yaitu 22,9 tahun.
Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa wanita yang tinggal di daerah
perkotaan (DIY) memiliki usia pernikahan yang lebih tua dibandingkan usia
pernikahan yang dimiliki oleh wanita di daerah pedesaan. Data statistik
menunjukkan meskipun di daerah pedesaan usia pernikahan para wanita
tergolong muda tetapi tetap mengalami peningkatan usia pernikahan sejak
tahun 1971 hingga tahun 2000. Dengan membandingkan fenomena
perkawinan dini di masa tahun 1950 sampai 1960-an dan data statistik
perkawinan di tahun 2000, dapat diindikasikan adanya perubahan usia
pernikahan pada wanita di masa sekarang.
Data statistik menunjukkan bahwa pada tahun 1971 rata-rata usia
pernikahan pada wanita di daerah perkotaan di DIY berkisar 24 tahun,
sedangkan di daerah pedesaan berkisar rata-rata pada usia 21,2 tahun. Hal
tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan usia pernikahan di DIY
dalam rentang tahun 1971-2000. Usia pernikahan di pedesaan dalam rentang
tahun 1971-2000 mengalami peningkatan sebanyak 1,7 tahun, sedangkan usia
dan meningkat sebanyak 2,2 tahun menjadi 26,2 tahun pada tahun 2000 (Biro
Pusat Statistik, 2009).
Hal ini cukup menarik, karena pada tahun 1950-an dan 1960-an, para
gadis di usia 16-17 tahun sudah dijodohkan seandainya belum menikah.
Peneliti belum dapat menemukan data statistik untuk usia pernikahan di tahun
1950 sampai 1960-an, meskipun demikian, dari data hasil wawancara awal
yang didapat oleh peneliti, peneliti mendapat kesimpulan bahwa telah terjadi
peningkatan usia pernikahan dari tahun 1950-1960 sampai memasuki tahun
2000-an saat ini. Melihat perubahan usia pernikahan yang semakin meningkat
sejak tahun 1971 sampai dengan tahun 2000 dari data statistik, peneliti tertarik
untuk mengetahui perubahan lain yang terjadi dalam pernikahan di Jawa
selain perubahan usia pernikahan pada wanita di zaman tahun 2000-an.
Berdasarkan survei awal yang telah dilakukan peneliti (MD,
wawancara pribadi, 12 April, 2009), wanita pada masa kini seolah lebih
memikirkan karier untuk masa depannya dibandingkan memutuskan untuk
menikah. Beberapa wanita yang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan kariernya
memiliki kesulitan waktu untuk memikirkan pendamping hidupnya. Hal
tersebut terungkap dalam komentar wanita berusia di atas 30 tahun yang
belum menikah di rubrik konsultasi dan diskusi. Beberapa di antaranya
menjelaskan bahwa mereka sejak kecil dituntut untuk hidup mandiri oleh
orangtuanya (Almilia, 2007). Melihat kenyataan tersebut, peneliti juga tertarik
untuk mendeskripsikan lebih dalam mengenai perubahan tersebut pada wanita
6
mereka jalani seiring dengan adanya perubahan pola pikir dalam masyarakat
di zaman mereka masing-masing.
B. Rumusan Masalah
Perubahan apa saja yang terjadi dalam pernikahan di masyarakat Jawa
menurut wanita Jawa yang menikah di tahun 1960-an dan 2000-an berkaitan
dengan usia ideal menikah, inisiatif menikah, makna pernikahan, dan relasi
suami isteri seiring dengan adanya peningkatan usia untuk menikah dan
perubahan pola pikir masyarakat?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perubahan apa saja
yang terjadi dalam pernikahan di masyarakat Jawa menurut wanita Jawa yang
menikah di tahun 1960-an dan 2000-an berkaitan dengan usia ideal menikah,
inisiatif menikah, makna pernikahan, dan relasi suami isteri seiring dengan
adanya peningkatan usia untuk menikah dan perubahan pola pikir masyarakat.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis:
a.Penelitian ini bermanfaat untuk mendapatkan informasi guna menambah
pengetahuan dalam bidang psikologi keluarga mengenai peranan wanita
Jawa seiring dengan perubahan yang terjadi dalam pernikahan Jawa di
b. Penelitan ini bermanfaat juga untuk memperluas pengetahuan kita tentang
kehidupan rumah tangga dalam budaya Jawa yang mengalami beberapa
perubahan sejalan dengan perubahan pola pikir akibat meningkatnya
pendidikan dalam masyarakat Jawa.
c. Dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya di masa mendatang
mengenai perubahan dalam pernikahan di masyarakat Jawa pada tahun
selanjutnya serta aspek-aspek yang mempengaruhinya
2. Manfaat Praktis:
a. Bagi para wanita Jawa yang berumah tangga, penelitian ini bermanfaat
agar mereka dapat lebih memahami perubahan yang terjadi khususnya
dalam relasi suami dan isteri sehingga dapat merefleksikannya dalam
kehidupan sehari-hari.
b. Bermanfaat untuk memberikan refleksi bagi para pria Jawa yang sedang
menjalani pernikahannya agar dapat lebih memahami kebutuhan isterinya
dalam hal komunikasi dan dapat menjalani perannya sebagai seorang
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pernikahan dan keluarga Jawa
1. Pengertian pernikahan dalam masyarakat Jawa dan posisi pernikahan dalam budaya Jawa
Koentjaraningrat (2007) berpendapat bahwa, orang Jawa adalah
orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa yang sebenarnya. Bahasa
Jawa dalam arti yang sebenarnya dijumpai di Jawa tengah dan Jawa Timur.
Jadi, orang Jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa
yang berbahasa Jawa. Sementara itu, di mata orang Jawa, menjadi orang
Jawa berarti menjadi manusia berbudaya, manusia beradab, yang
mengetahui tatanan Jawa (Mulder, 1985).
Perkawinan/ pernikahan dalam masyarakat Jawa merupakan sebuah
fase kehidupan manusia dari masa remaja ke masa berkeluarga (Hadiatmaja
& Endah, 2009). Peristiwa tersebut sangat penting dalam proses
pengintegrasian manusia di dalam alam semesta ini. Oleh sebab itu,
perkawinan disebut juga taraf kehidupan baru bagi manusia.
Geertz (1983) menyatakan, perkawinan bagi orang Jawa merupakan
pelebaran menyamping ikatan antara dua kelompok himpunan yang tak
bersaudara atau pengukuhan keanggotaan di dalam satu kelompok. Geertz
menemukan pada praktiknya kebebasan sebenarnya secara ekonomi dan
tempat tinggal dari rumah orangtua mereka bagi pasangan yang baru
menikah mungkin tertunda untuk satu tahun atau lebih sesudah pernikahan,
kecuali hanya apabila pada akhirnya pemisahan itu benar-benar telah terjadi,
maka pasangan yang baru menikah tersebut secara sosial dipandang
benar-benar telah menikah.
Raffles (1817/ 2008) mengungkapkan bahwa pernikahan pada
masyarakat Jawa mengikat tanpa terkecuali. Bukan hanya pada pasangan
pengantin saja, tetapi juga orangtua dan kerabat-kerabat dekat. Campur
tangan para kerabat penting dilakukan di masa-masa awal ketika pasangan
pengantin belum mampu mengambil keputusan secara berhati-hati dan
bijaksana. Masa campur tangan teman-teman pria kepada orangtua atau
penjaga sang gadis disebut tetakon (bertanya tentang).
Lebih jauh lagi, perkawinan bagi masyarakat Jawa, diyakini sebagai
sesuatu yang sakral. Pengertian sakral diartikan sebagai upacara suci atau
upacara yang kudus, tidak bercela, tidak bernoda, murni. Perkawinan atau
pernikahan yang kita saksikan itu adalah gebyar (pancaran sinar) lahiriah
(Herusatoto, 2009). Herusatoto juga menyatakan bahwa, kawin atau nikah
adalah perjanjian luhur antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami
isteri dengan resmi, yang sah di hadapan Tuhan dan sah di hadapan hukum
sosial dengan segala kewajiban dan tanggung jawabnya di hadapan
keduanya.
Hadiatmaja dan Endah (2009) berpendapat bahwa dengan adanya
pernikahan yang sakral, diharapkan kedua mempelai pengantin dapat
10
melatarbelakangi pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat Jawa yang
sangat selektif dan hati-hati baik saat pemilihan calon menantu, maupun
penentuan hari pelaksanaan perkawinan. Selain itu, karena sakralnya
pernikahan dalam masyarakat Jawa, Pemberton (2003) berpendapat bahwa
tahun 1950-an upacara perkawinan dalam masyarakat Jawa dilakukan
dengan teliti dan sungguh-sungguh, terutama upacara mandi sampai ijab
kabul sampai upacara adat.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat dilihat bahwa
karakteristik pernikahan dalam masyarakat Jawa, yaitu peralihan fase remaja
ke masa berkeluarga, pelebaran menyamping dua kelompok himpunan yang
tidak mempunyai hubungan saudara, setelah menikah tinggal terpisah dari
orangtua dan membentuk keluarga secara mandiri, serta pernikahan
merupakan sesuatu yang dianggap sakral.
2. Usia ideal pada laki-laki dan perempuan untuk menikah
Menurut Geertz (1983), anak laki-laki biasanya tidak menikah sampai
sesudah benar-benar dewasa dan dapat menyangga sebuah keluarga dengan
layak. Biasanya laki-laki menikah pada usia antara 18-30 tahun, sangat
jarang yang menikah di atas usia 30 tahun. Berbeda dengan anak perempuan
yang telah dinikahkan pada usia 16 atau 17 tahun. Dibandingkan anak
perempuan, anak laki-laki mempunyai kuasa yang lebih besar atas nasibnya
Gambaran Geertz tersebut mirip dengan hasil penelitian Jacoby dan
Bernard (dalam Suryani, 2007), pada masa kini dibandingkan dengan pria
setelah usia tertentu, umumnya sekitar usia 30 tahun, wanita mendapat
tekanan yang lebih besar untuk menikah dari orangtua, sahabat, dan bahkan
teman sekerjanya. Bila hingga usia 30 tahun sang wanita tidak kunjung
mendapatkan pasangan, maka biasanya orangtua, sahabat, dan teman
kerjanya mulai merancang suatu pertemuan dengan seorang pria atau
mencarikan jodoh melalui rubrik biro jodoh di surat kabar.
Pada umumnya, orangtua menunggu sampai anak laki-lakinya merasa
telah siap menikah dan menyampaikan hal tersebut kepada orangtuanya
untuk meminta bantuan. Sering kali orangtua memberikan kesempatan
kepada anak laki-lakinya untuk menunjukkan gadis yang diinginkannya,
atau untuk memveto saran-sarannya. Namun, orangtuanyalah yang
mengadakan segala perundingan dengan orangtua si gadis serta membuat
persiapan untuk pernikahan (Geertz, 1983).
Sikap orangtua terhadap anak laki-laki berbeda dengan sikap orangtua
terhadap anak gadis. Orangtua cenderung takut anak gadisnya dibicarakan
melakukan ”kumpul kebo” jika tidak segera menikah. Oleh karena tidak ada
jalan melembaga untuk mengawasi anak perempuan kecuali dengan cara
selalu memasang mata terhadap anaknya, maka pemecahan yang paling
gampang dari masalah ini adalah mencarikan baginya seorang suami
12
Tampaknya terdapat pendapat umum bahwa jika seorang anak
perempuan dibiarkan terlalu lama tidak menikah, dia akan menyerah pada
gelora, dan sebagai akibatnya akan hamil. Ini bukannya terlalu tak bermoral,
melainkan semata-mata merupakan peristiwa yang tak diinginkan dan
merepotkan, karena kemudian timbullah kesulitan di dalam menikahkannya,
lalu ayah pun mungkin harus membayar pengantin lelaki untuk
mengawininya (Geertz, 1983).
Berdasarkan pemaparan tersebut, terlihat bahwa usia ideal anak
perempuan untuk menikah lebih dibatasi dibandingkan usia ideal pada anak
laki-laki untuk menikah. Selain itu, pada masa kini telah terjadi peningkatan
usia wanita untuk menikah, yaitu sampai usia 30 tahun. Meskipun demikian,
tekanan untuk menikah dari orang-orang sekitar masih terjadi.
3. Pengertian dan karakteristik keluarga Jawa
Menurut Koentjaraningrat (2007), sebagai kelanjutan dari adanya
peristiwa perkawinan, timbul keluarga batih atau kaluwarga. Keluarga batih
dalam masyarakat Jawa merupakan suatu kelompok sosial yang berdiri
sendiri, serta memegang peranan dalam proses sosialisasi anak-anak yang
menjadi anggotanya. Adapun kepala keluarga disebut kepala somah. Ia bisa
seorang laki-laki, tetapi bisa juga seorang wanita, kalau si suami meninggal
dunia. Bilamana ibu tidak ada lagi, maka diangkatnya sebagai kepala somah
baru dari salah seorang anak atas persetujuan lainnya. Bentuk suatu keluarga
sempurna terdiri dari suami, isteri, dan anak-anak sedangkan keluarga yang
Menurut Jay (1969), keluarga Jawa adalah sarang keamanan dan sumber
perlindungan, karena di dalam keluarga, orangtua merupakan sumber
pertama kesejahteraan rohani dan jasmani bagi anak.
Terdapat dua tipe keluarga dalam keluarga Jawa, antara lain:
a. Keluarga Inti, disebut juga keluarga batih. Keluarga batih dalam
masyarakat Jawa merupakan suatu kelompok sosial yang berdiri
sendiri, serta memegang peranan dalam proses sosialisasi anak-anak
yang menjadi anggotanya. Adapun seorang kepala keluarga disebut
kepala somah (Koentjaraningrat, 1979, h. 333). Menurut
koentjaraningrat (dalam Taryati, Harnoko, Mudjijono & Suhatno,
1994/1995), keluarga inti yang berdasarkan monogami terdiri atas,
seorang suami, seorang isteri sebagai ayah dan ibu dari anak.
Keluarga inti yang lebih kompleks bila berdasar pada poligami, yaitu
apabila dalam keluarga ada lebih dari seorang isteri, sebaliknya
disebut keluarga inti dimana ada seorang isteri, tetapi lebih dari
seorang suami disebut keluarga inti yang berdasarkan poliandri.
b. Keluarga luas, yaitu kelompok kekerabatan yang terdiri dari lebih
dari satu keluarga inti, tetapi seluruhnya merupakan suatu kesatuan
sosial yang amat erat, dan hidup tinggal bersama pada satu tempat,
dalam satu rumah atau pada satu pekarangan (Koentjaraningrat,
dalam Taryati, dkk. 1994/1995). Meskipun mereka tinggal bersama,
namun masing-masing mewujudkan suatu kelompok sosial yang
14
maupun dapurnya. Harus diperhatikan bahwa suatu keluarga luas
tetap dikepalai oleh satu kepala somah, yaitu somah yang terdahulu
(Koentjaraningrat, 2007).
Geertz (1983) mengatakan, bentuk dasar sistem terminologi Jawa
ialah bilateral dan generasional, bersisi dua dan turun-temurun. Arti
bilateral, yaitu prinsip keturunan dengan memperhitungkan keanggotaan
kelompok kekerabatan melalui garis laki-laki maupun wanita. Generasional
adalah semua anggota generasi sendiri, misalnya saudara seayah-ibu dan
saudara sepupu, disebut dalam istilah-istilah yang sama atau mirip.
4. Agama sebagai landasan hukum yang mengatur pernikahan
Menurut Sujarno, dkk. (1999/2000) agama adalah suatu kepercayaan
kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang
bertalian dengan kepercayaan itu sendiri. Taryati dkk. (1994/1995) juga
menjelaskan bahwa agama merupakan tuntunan hidup atau jalan hidup yang
dapat membina mental atau rohani, agar berkeyakinan kepada Tuhan dengan
cara menjalankan atau mengamalkan ajaran agama dan menjauhi
larangan-larangan agama.
Nashir (dalam Sujarno dkk., 1999/2000) mengemukakan, ajaran
agama menunjukkan bahwa perlunya keseimbangan manusia dalam
usahanya mencari keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Aktualisasi
dan mewujudkan keseimbangan itu, yaitu manusia harus mampu
Sementara dalam kehidupan di dunia ini, diwujudkan dengan hubungan
suami dan isteri, mengasuh anak, hubungan sosial dengan tetangga,
hubungan antar keluarga, berteman dengan orang lain, dan bermasyarakat
dengan baik.
Bagi umat Islam di Indonesia, perkawinan menjadi persoalan sejak
masa penjajahan. Mereka menghendaki agar Pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) secepat mungkin merampungkan sebuah
undang-undang tentang perkawinan. Seperti dimaklumi, sebelum lahirnya UU No.1
tahun 1974, di Indonesia berlaku berbagai macam hukum perkawinan
sebagai peraturan pokok dalam melaksanakan perkawinan, yaitu :
a. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum Islam
yang telah diterima atau diresepsi kedalam hukum adat. Hal ini sangat
dipengaruhi oleh teori Receptio in Complexu yang dikemukakan oleh
L.W.C.van den Berg dan Salmon Keyzer (dalam Triwidodowu, 2009).
Teori ini menyatakan bahwa hukum agama baru menjadi hukum
apabila telah diterima kedalam Hukum Adat.
b. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Ordonanci
Perkawinan Indonesia Kristen (HOCI) Stb. 1933 no. 74 juncto Stb.
1936 no. 247. Untuk pencatatannya diatur dengan Stb 1933 no. 75
juncto Stb. 1936 no. 607
Dengan melihat uraian tersebut jelaslah bahwa pengaturan
perkawinan sebelum era UU No.1 tahun 1974 dilaksanakan berdasarkan
16
dengan berpedoman pada peraturan yang berlaku bagi golongannya, bukan
golongan orang lain. Kecuali, ia menundukkan diri terhadap suatu hukum
tertentu. Dalam hal penundukan diri, misalnya orang Indonesia asli yang
beragama Islam menundukkan diri pada KUH Perdata, maka baginya
berlaku hukum yang baru, sedang hukum Islam tidak lagi berlaku baginya
(Triwidodowu, 2009).
Dalam pernikahan masyarakat Jawa yang beragama Islam,
Koentjaraningrat (1985) menyatakan bahwa bagian ijab saat pernikahan
merupakan bagian yang paling penting dalam agama islam yang dianut oleh
sebagian besar masyarakat Jawa. Hardjowirogo (1980), juga berpendapat
bahwa, dari seluruh rangkaian upacara perkawinan, akad nikahlah yang
terpenting. Dengan akad nikah, maka suatu perkawinan menurut agama
Islam sudah dianggap sah.
Dalam agama Kristen, soal perkawinan sudah jadi aturan baku yang
harus ditaati. Demikian juga dalam agama Katolik karena para penganutnya
berpegang pada salah satu ayat Kitab Suci yang menyebut “Apa yang sudah
disatukan oleh Tuhan, tidak boleh diceraikan oleh manusia (Albha, 2008).
5. Perkembangan pernikahan dalam masyarakat Jawa
Menurut Taryati dkk.(1994/1995), masyarakat Jawa menganggap
bahwa pernikahan yang ideal adalah bila dilakukan dengan orang yang
berasal dari luar sanak saudara agar menghindari perpecahan saudara jika
orang memiliki kesamaan agama dan saling mencintai. Hal tersebut berbeda
dengan pernikahan di zaman dahulu yang belum meyakini bahwa perasaan
saling mencintai merupakan hal yang penting dalam pemilihan calon
pasangan.
Berdasarkan hasil penelitian Sadarjoen (2007), selain perasaan saling
mencintai, faktor lain yang menentukan keharmonisan sebuah pernikahan
adalah faktor keuangan. Sejauh mana status sosial ekonomi pasangan dapat
menggambarkan harapan dan mimpi pasangan kedepannya, serta sejauh
mana karier masing-masing pasangan dapat saling membanggakan.
Soemardjan (2009), mengatakan bahwa dewasa ini orangtua terpaksa
setuju jika orang muda tidak bersedia lagi dijodohkan dalam pernikahan.
Meskipun demikian, mereka tidak mengizinkan anak-anaknya yang telah
mendapatkan pendidikan formal mendapatkan pasangan yang tidak
berpendidikan. Pada waktu sebelumnya, status sosial atau kekayaan di
bidang pertanian orangtua memainkan peranan penting dalam memilih
pasangan. Namun, pada saat ini kualifikasi pendidikan dari calon pasangan
itu sendiri lebih dipentingkan. Maka perbedaaan antara orang-orang yang
terpelajar dan tidak terpelajar menjadi penting.
Pandangan lainnya tentang pernikahan masa kini, Herusatoto (2009),
menyebutkan bahwa pada zaman modern saat ini, pernikahan hanya
dipandang sebagai sebuah perjanjian lahiriah untuk hidup bersama dan
mempunyai keturunan sebagai penerus generasinya. Generasi muda banyak
18
si muda dan si mudi. Bukan urusan pihak keluarga pria maupun pihak
keluarga wanita. Tampaknya perkembangan zaman membuat generasi muda
juga memiliki sifat individualis.
B. Wanita dalam kebudayaan Jawa
1. Gambaran wanita Jawa dalam etimologi dan jarwa dosok
Berdasarkan Old Javanese English Dictionary (Zoetmulder, 1982),
kata wanita berarti ’yang diinginkan’. Arti ’yang dinginkan’ dari wanita ini
sangat relevan. Maknanya, jelas bahwa wanita adalah ”sesuatu yang
diinginkan pria”. Wanita baru diperhitungkan karena (dan bila) bisa
dimanfaatkan pria. Sudut pandangnya selalu sudut pandang ”lawan
mainnya”, yaitu pria. Jadi, eksistensinya sebagai makhluk Tuhan menjadi
nihil. Dengan demikian, kata ini berarti hanya menjadi objek (bagi lelaki)
belaka (Sudarwati & Jupriono, 1997).
Makna wanita sebagai ’sasaran keinginan pria’ juga dipaparkan oleh
Slametmuljana dalam bukunya Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara (1964).
Kata wanita, dalam bahasa aslinya (Sanskerta), tulisnya, bukan pemarkah
marked jenis kelamin. Dari bahasa Sanskerta vanita, kata ini diserap oleh
bahasa Jawa Kuno (Kawi) menjadi wanita, ada perubahan labialisasi dari
labiodental ke labial: [v]-->[w]; dari bahasa Kawi, kata ini diserap oleh
bahasa Jawa (Modern); lalu, dari bahasa Jawa, kata ini diserap ke dalam
bahasa Indonesia. Setelah diadopsi bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, kata
dalam Kamus Linguistik (1993) yaitu, arti kata ”wanita” sekarang lebih
tinggi daripada arti dahulu. Kata kewanitaan, yang diturunkan dari kata
wanita, berarti ’keputrian’ atau ’sifat-sifat khas wanita’. Sebagai putri
(wanita di lingkungan keraton), setiap wanita diharapkan masyarakatnya
untuk meniru sikap laku, gaya tutur, para putri keraton, yang senantiasa
lemah gemulai, sabar, halus, tunduk, patuh, mendukung, dan mendampingi.
Dengan kata lain, kata wanita dapat terhindar dari nuansa memprotes,
memimpin, menuntut, menyaingi, memberontak, menentang, dan melawan
(Sudarwati & Jupriono, 1997).
Menurut Suryadi (1993), dalam jarwa dosok Jawa, yaitu permainan
kata yang mengandalkan othak-athik ghatik dan othak-athuk ghatuk, konon
kata wanita diartikan sebagai wani ditata alias mesti berani diatur (h.
155-156). Berdasarkan hal tersebut, kata ”wanita” memang lebih dekat dengan
kesadaran praktis masyarakat Jawa. Kata ”wanita” berasal dari kata wani
(berani) dan ditata (diatur). Hal ini berati bahwa, seorang wanita adalah
sosok yang berani ditata atau diatur (Handayani & Novianto, 2004).
Handayani dan Novianto juga mengemukakan bahwa dalam kehidupan
praktis masyarakat Jawa, wanita adalah sosok yang selalu mengusahakan
keadaan tertata, sehingga untuk itu pula dia harus menjadi sosok yang berani
ditata. Dalam hal ini, akan tampak bahwa berani ditata tidak berarti wanita
20
2. Gambaran ideal wanita Jawa
Menurut Handayani dan Novianto (2004), wanita Jawa sangat identik dengan kultur Jawa, seperti bertutur kata halus, tenang, diem/
kalem, tidak suka konflik, mementingkan harmoni, menjunjung tinggi
nilai keluarga, mampu mengerti dan memahami orang lain, sopan,
pengendalian diri tinggi/ terkontrol, daya tahan untuk menderita tinggi,
memegang peranan secara ekonomi dan setia/ loyalitas tinggi.
Karakter tersebut berkaitan dengan beberapa sikap hidup orang
Jawa dalam Jong (1976), yaitu rila, narima, dan sabar. Bersikap rila
merupakan langkah pertama ke arah hidup sempurna. Lambat laun orang
harus belajar menyerahkan segala milik, kemampuan dan hasil kerjanya
dengan segala keikhlasan hati. Narima artinya, merasa puas dengan
nasibnya, tidak memberontak, menerima dengan rasa terima kasih. Sikap
rila mengarahkan pada segala sesuatu yang telah kita capai dengan upaya
sendiri, sedangkan sikap narima menekankan pada ”apa adanya” faktualis
dalam hidup kita, menerima segala sesuatu yang masuk ke dalam hidup
kita, baik sesuatu yang bersifat materiil, maupun suatu kewajiban atau
beban yang diletakkan atas bahu kita oleh sesama manusia. Sikap hidup
yang ketiga, yaitu sabar. Kata ”sabar” sering dijumpai bersama-sama
dengan kedua istilah tadi dan memang merupakan akibatnya. Hanya orang
yang menjalankan rila dan narima yang akan menjadi sabar. Seorang yang
dengan rela hati menyerahkan diri dan yang menerima dengan senang hati
Menurut Soedarsono dan Murniatmo (1986), sifat-sifat seperti di
atas merupakan kepribadian wanita Jawa dan gambaran ideal dari wanita
Jawa. Kepribadian itu dibentuk dalam lingkungan keluarga yang telah
dipengaruhi oleh sistem nilai budaya. Kepribadian wanita Jawa akan
tercermin dalam sistem sosialnya, yaitu bersifat conform atau berusaha
menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku supaya dapat
memenuhi harapan-harapan lingkungannya, meskipun tindakan-tindakan
tersebut tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Pembentukan
kepribadian tersebut diperoleh dari proses sosialisasi dan enkulturasi
3. Peranan suami dan isteri dalam keluarga Jawa
Soedarsono dan Murniatmo (1986) berpendapat mengenai peranan
wanita setelah menikah, yaitu pada umumnya masyarakat Jawa masih
menilai tinggi bahwa wanita setelah menikah sebaiknya tinggal di rumah,
mengurus rumah tangga, mendidik anak-anak, karena hal tersebut sudah
merupakan suatu kodrat bagi wanita yaitu, menikah, melahirkan, dan
merawat anak-anak.
Menurut Taryati dkk. (1994/1995), dalam suatu rumah tangga
Jawa, kedudukan suami dengan isteri tidaklah sama. Suami adalah
pelindung bagi isteri dan anak-anaknya. Sebaliknya, isteri adalah pusat
kedamaian bagi keluarganya, dan ia juga teman berbincang-bincang bagi
suami. Seorang isteri mempunyai fungsi dan peranan mengatur dan
22
mengasuh anak dan membina anak dalam pendidikan. Mewakili suami,
membina kerukunan rumah tangga, singkatnya mengurusi kehidupan
rumah tangga, kesehatan anak dan suami, dan banyak pula yang bekerja
untuk membantu mencari nafkah bagi keluarganya, seperti berdagang,
bekerja di kantor, atau menjadi buruh.
Gambaran peranan suami dan isteri dalam keluarga Jawa yang
dikemukakan oleh Taryati dkk. (1994/1995) sangat mirip dengan
Undang-undang no.1 tahun 1974 dalam Pasal 31 ayat 3. Pasal tersebut mengatur
tentang peran istri dan suami, suami adalah kepala keluarga sementara istri
adalah ibu rumah tangga. Pasal berikutnya, yaitu Pasal 34 menyebutkan
tugas istri adalah wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya,
sementara tugas suami adalah melindungi istri dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuannya
(Wijayanti, 2008).
Sarwono (dalam Handayani & Novianto, 2004), menyatakan
bahwa, wanita dalam konteks budaya Jawa sering disebut sebagai konco
wingking (teman di dapur) oleh suaminya yang nasibnya tergantung pada
suaminya. Swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka pun
terbawa).
Terdapat pula pola hubungan sosial antara suami-isteri-anak dalam
a. Hubungan sosial antara suami dan isteri
Komunikasi sehari-hari dilakukan oleh suami kepada isterinya
menggunakan bahasa Jawa ngoko, sebaliknya isteri dengan
menggunakan bahasa Jawa kromo. Akan tetapi isteri seringkali
menggunakan bahasa Jawa ngoko. Termasuk di dalamnya ketika suami
akan menyuruh isterinya, terlebih dahulu akan didahului dengan kata
minta tolong. Apabila dalam kesempatan bertemu ternyata ada
beberapa masalah, maka mereka akan bersama-sama mencari jalan
untuk menyelesaikannya. Dari berbagai kemungkinan jalan keluar,
pertimbangan suamilah yang pada akhirnya akan menentukan
keputusan. Kemungkinan ini dapat terjadi karena, status suami sebagai
ayah dalam satu keluarga merupakan figur seorang pelindung dan
pengayom keluarganya.
b. Hubungan sosial antara Ibu dengan anak pria
Bahasa yang digunakan ibu berbicara dengan anak pria adalah
dengan bahasa Jawa ngoko. Sebaliknya anak pria menggunakan bahasa
Jawa kromo tetapi ada beberapa anak pria yang menggunakan bahasa
Jawa ngoko. Saat ibu memberi tugas kepada anak pria, ibu memanggil
anaknya dengan panggilan le atau tole. Kesempatan anak pria bertemu
dengan ibunya dapat setiap saat jika anak ada di rumah, karena
walaupun ada ibu rumah tangga yang bekerja, akan tetapi frekuensi
waktu di rumah relatif lebih banyak. Kesempatan bertemu tersebut
24
pekerjaan. Apabila muncul permasalahan, ibu akan membicarakan
dengan anak prianya untuk mencari kemungkinan penyelesaiannya.
Walaupun demikian, ibu akan membawa permasalahan pada ayah
untuk dimintakan pendapat atau pertimbangan.
c. Hubungan sosial antara Ibu dengan anak wanita
Dalam berkomunikasi ibu dengan anak wanitanya, tidak jauh
berbeda dengan anak prianya yakni dengan menggunakan bahasa Jawa
ngoko. Sebaliknya anak wanita tersebut dalam berbicara dengan
ibunya menggunakan bahasa Jawa kromo. Apabila ibu menyuruh anak
wanitanya, bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa ngoko, dengan
menyebut nama anak atau dengan ndhuk, baru menyebut apa yang
akan diperintahkannya. Sikap ibu terhadap anak wanitanya
melindungi, sangat sayang atau dekat dan membimbing. Jika
menghadapi permasalahan, ibu akan membicarakan dengan anak
wanitanya untuk mencari kemungkinan penyelesaiannya secara
bersama. Kalau ada kesulitan dalam mengatasinya, ibu akan selalu
minta pertimbangan ayah. Pada saat ibu dan anak wanitanya
bepergian, merupakan waktu yang paling baik untuk berkumpul.
Pembicaraan di antara mereka sekitar pekerjaan, pendidikan, dan
4. Pergeseran peranan isteri dalam keluarga Jawa
Wanita dalam konteks budaya Jawa tradisional sering diibaratkan
dengan istilah suwarga nunut naraka katut (ke surga ikut ke neraka pun
ikut terbawa). Ungkapan ini menggambarkan bahwa dalam kehidupan
masyarakat Jawa yang tradisional, kedudukan isteri berada dibawah suami.
Isteri kurang berperan dalam kehidupan rumah tangga, lebih-lebih dalam
hal memutuskan perkara yang penting (Reksodihardjo, Sudibyo, &
Soetomo, 1984).
Ungkapan tersebut bertolak belakang dengan keadaan keluarga
modern sejak zaman kemerdekaan. Soemardjan (2009) mengungkapkan
bahwa sejak zaman kemerdekaan, tata pemerintahan demokratislah yang
menggantikan pemerintahan Belanda dan Jepang. Tata pemerintahan
demokratis tersebut meliputi pengambilan keputusan secara kolektif, tidak
lagi satu arah dari atas ke bawah. Pengambilan keputusan secara kolektif
ini, berdampak juga pada satuan masyarakat terkecil, yaitu keluarga.
Bentuk ideal keluarga demokratis ini sebagai lawan dari konsep keluarga
patrialkal, yaitu bapak atau kepala keluarga diharapkan memiliki
kelebihan dalam kecakapan dan semangat untuk mengatur keluarganya.
Soemardjan juga mengungkapkan bahwa tugas bapak dalam sebuah
keluarga bukan untuk memerintah keluarganya, melainkan untuk menjaga
kesejahteraannya. Hal ini harus dilakukan sedemikian rupa agar
keluarganya mengikuti bukan karena takut atau tunduk, tetapi karena cinta
26
menyatakan pendapatnya dan membantu bapak dalam mengambil
keputusan, sehingga setiap anggota keluarga dapat turut serta dalam usaha
mencapai tujuan-tujuan keluarga yakni kebahagiaan dan kesejahteraan.
Friedan (dalam Agger, 2009) berpandangan bahwa perempuan dapat
menaikkan posisinya dalam keluarga dan masyarakat melalui kombinasi
inisiatif dan prestasi individual (pendidikan tinggi).
C. Perubahan pola pikir masyarakat Jawa mengenai pernikahan akibat faktor ekonomi seiring terjadinya perkembangan sistem pendidikan 1. Pendidikan pada zaman Belanda, Jepang, dan Kemerdekaan a. Pendidikan pada zaman Belanda
Sistem pendidikan pada masa Hindia-Belanda memiliki
pokok-pokok sebagai berikut (Soemardjan, 2009):
1. Pendidikan yang dibiayai oleh Belanda di sekolah-sekolah umum
yang netral terhadap agama.
2. Pendidikan tidak terlalu memikirkan bagaimana caranya hidup
secara harmonis dalam dunia, tetapi menekankan tentang bagaimana
memperoleh penghidupan
3. Pendidikan diselenggarakan berdasarkan perbedaan kelompok etnis
dalam masyarakat
4. Pendidikan diselenggarakan untuk mempertahankan perbedaan
kelas dalam masyarakat Indonesia, terutama di kalangan orang
5. Pendidikan sebagian besar diarahkan pada pembentukan kelompok
elite masyarakat. Oleh sebab itu, pendidikan bisa dipergunakan
untuk mempertahankan supremasi politik dan ekonomi Belanda di
daerah jajahannya.
Menurut Surjomihardjo (2008), terdapat dua tipe sekolah pada
zaman Belanda, yaitu pertama, sekolah bagi murid-murid para pembesar
dan berasal dari status ekonomi yang kuat. Kedua, sekolah bagi kaum
priyayi rendahan. Namun, belum semua anak-anak dari keluarga
makmur yang dapat menanggung biaya pendidikan tertampung dalam
sekolah tersebut. Keadaan ini dikarenakan, orangtua belum melihat
manfaat pendidikan dan orangtua lebih memerlukan anak-anak untuk
kerja di rumah, kebun atau sawah. Soemardjan (2009) juga mengatakan
bahwa pada zaman Belanda, orangtua di daerah pedesaan cenderung
memandang anak-anaknya sebagai suatu modal ekonomi yang harus
dimanfaatkan dalam kegiatan-kegiatan usaha tani. Berdasarkan keadaan
demikian, masih banyak anak-anak yang tidak meneruskan sekolahnya
di masa itu. Akibatnya, para orangtua mendorong anak-anaknya untuk
segera menikah.
b. Pendidikan pada zaman Jepang
Jepang mengeluarkan kebijakan pendidikan selama masa
pendudukannya di Indonesia. Kebijakannya ditandai oleh tiga prinsip
28
1. Pendidikan ditata kembali atas dasar keseragaman dan kesamaan
untuk seluruh kelompok etnis dan kelas sosial.
2. Pengaruh Belanda dihapuskan secara sistematis dari sekolah-sekolah,
sedangkan unsur-unsur kebudayaan Indonesia dijadikan landasan
utama
3. Semua lembaga pendidikan dijadikan alat untuk mengindoktrinasi
gagasan kemakmuran bersama Asia Tenggara di bawah pimpinan
Jepang.
Jepang memberlakukan kurikulum yang seragam, seperti lagu-lagu
Jepang dan Indonesia. Semuanya dipelajari di semua sekolah dan
dinyanyikan di pusat-pusat latihan gabungan pemuda semi-militer. Hal
ini sangat membantu terhapusnya jarak sosial dan menciptakan
kesadaran akan kesamaan di kalangan para siswa dari semua kelas sosial
di seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Walaupun pemerintah
Militer Jepang berhasil mendemonstrasikan sistem sekolah, mereka tidak
mampu meningkatkan jumlah sekolah untuk memenuhi tuntutan
penduduk pedesaan yang makin besar. Jumlah sekolah masih tetap
langka jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang tinggal di
Daerah Istimewa Yogyakarta.
c. Pendidikan pada zaman kemerdekaan
Soemardjan (2009) menjelaskan bahwa kebutuhan akan
pendidikan di pihak orangtua dan anak-anaknya meningkat selama tahun
gerilya melawan tentara Belanda. Ketika pertempuran berakhir pada
tahun 1950, anak muda dalam jumlah yang luar biasa membanjiri
sekolah-sekolah. Maka, timbul masalah besar bagi pemerintah untuk
menyediakan ruangan belajar, peralatan dan guru-guru.
Pada tahun 1950, ke- 491 sekolah dasar negeri dan swasta yang
ada di Daerah Istimewa Yogyakarta harus menampung 153.205 murid.
Maka, setiap guru mengajar 85 murid yang dibagi menjadi sekolah pagi
dan sore hari dengan guru yang sama dan murid yang berbeda.
Meskipun demikian, masih ada ribuan anak yang tidak bisa masuk
sekolah dan terpaksa menunggu tahun berikutnya.
Soemardjan juga mengungkapkan bahwa pada penghujung tahun
1957, jumlah sekolah dasar meningkat menjadi 830 dan jumlah guru
meningkat menjadi 4393. Walaupun pemerintah berhasil menyediakan
lebih banyak guru dalam waktu yang relatif singkat, tetapi pemerintah
kekurangan dana untuk membangun gedung-gedung sekolah baru dan
menyediakan perabot serta peralatan sekolah lainnya.
2. Dampak peningkatan pendidikan terhadap pola pikir masyarakat Menurut Soemardjan (2009), pertumbuhan sekolah dasar di
Yogyakarta tidak akan terjadi bila tidak ada dukungan sukarela dari
kalangan masyarakat sendiri, terutama di daerah pedesaan. Soemardjan
mengungkapkan bahwa sesudah revolusi, orangtua di desa cenderung
30
bisa dipetik manfaatnya pada masa depan setelah orangtua membiayai
pendidikannya. Dengan kata lain, orangtua di desa telah meninggalkan
sikap tradisional menyuruh anak-anak membantu pekerjaannya, tidak
memberi pendidikan atau pilihan lain selain menjadi petani seperti
orangtuanya. Sebaliknya, kini mereka menyekolahkan anak-anaknya
untuk memperoleh keterampilan yang lebih banyak dan lebih baik di
luar pertanian. Maka mereka akan lebih siap dalam menghadapi
persaingan kerja di masa mendatang.
Penelitian yang dilakukan oleh Kasniyah, dkk. (1984) dalam suatu
pedesaan di Yogyakarta, menjelaskan bahwa akibat dari intensifikasi
lahan pertanian, membuat penduduk desa melakukan urbanisasi.
Urbanisasi yang terjadi sebagian disebabkan oleh tingkat pendidikan
yang semakin meningkat. Seseorang yang berpendidikan tinggi memilih
untuk bekerja atau menerapkan disiplin ilmunya di kota besar.
Soedarsono dan Murniatmo (1986) mengungkapkan bahwa
sekitar tahun 70-an sampai 80-an, terjadi kemajuan zaman yang ditandai
dengan peningkatan teknologi, pendidikan, transportasi, ekonomi dan
komunikasi semakin memperluas cakrawala wanita. Proses
pembangunan yang semakin meningkat juga merupakan proses
perubahan sosial budaya yang akan meliputi pula perubahan nilai.
Berdasarkan penjelasan tersebut, tampaknya alasan ekonomi tetap
menjadi prioritas yang dipentingkan dibalik dari adanya perubahan sikap
Anak-anak tetap dipandang sebagai modal ekonomis oleh orangtuanya.
Perkembangan zaman khususnya dalam bidang pendidikan juga telah
memperluas cakrawala wanita.
D. Usia ideal, inisiatif menikah, makna pernikahan, dan relasi suami isteri menurut wanita Jawa yang menikah di tahun 1960-an dan 2000-an
Pernikahan dalam kebudayaan Jawa selain sebagai pelebaran
menyamping dari ikatan antara dua kelompok himpunan yang tak bersaudara
(Geertz, 1983), pernikahan dalam masyarakat Jawa juga diposisikan sebagai
peristiwa yang sakral (Herusatoto, 2009). Sakralnya pernikahan yang diakui
masyarakat Jawa, diharapkan kedua mempelai dapat menjalaninya cukup
sekali seumur hidup. Dalam upacara pernikahan Jawa, ijab kabul merupakan
bagian terpenting dalam agama Islam yang dianut oleh sebagian besar
masyarakat Jawa (Koentjaraningrat, 1985). Ijab kabul yang dilakukan kedua
mempelai membuat pernikahan dianggap sah secara agama.
Setelah adanya peristiwa pernikahan, maka terbentuklah keluarga yang
disebut keluarga batih. Keluarga batih dalam masyarakat Jawa merupakan
suatu kelompok sosial yang berdiri sendiri, serta memegang peranan dalam
proses sosialisasi anak-anak yang menjadi anggotanya (Koentjaraningrat,
2007). Dalam keluarga batih yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, terdapat
peranan wanita sebagai isteri dan ibu bagi anak-anaknya. Seorang isteri
mempunyai fungsi dan peranan mengatur dan mengelola rumah tangga dan
32
dalam pendidikan (Taryati dkk., 1994/1995). Hal tersebut sesuai dengan
gambaran ideal seorang wanita Jawa yang memiliki sikap sangat identik
dengan kultur Jawa, seperti bertutur kata halus, tenang, diem/ kalem, tidak
suka konflik, mementingkan harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga,
mampu mengerti dan memahami orang lain, sopan, pengendalian diri tinggi/
terkontrol, daya tahan untuk menderita tinggi, memegang peranan secara
ekonomi dan setia/ loyalitas tinggi (Handayani & Novianto, 2004).
Terjadinya perubahan sistem pendidikan pada zaman penjajahan
sampai kemerdekaan menjadi salah satu bagian dari adanya perubahan pola
pikir yang terjadi pada masyarakat di era penjajahan dan kemerdekaan.
Dampak dari perubahan sistem pendidikan yang semakin meningkat,
mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam hal pendidikan. Orangtua pada
awalnya memandang bahwa anak-anaknya merupakan modal dalam usaha
kegiatan tani dan tidak melihat manfaat pendidikan untuk anak-anaknya.
Namun, setelah revolusi terjadi perubahan sikap orangtua, yaitu
menyekolahkan anak-anak mereka sampai jenjang pendidikan yang tinggi,
sehingga mereka dapat mempersiapkan masa depan yang lebih baik di dunia
kerja (Soemardjan, 2009). Kesamaan dari adanya perubahan pola pikir
orangtua tersebut adalah anak-anak tetap dipandang sebagai modal ekonomis.
Hal tersebut berkaitan dengan pandangan saat ini mengenai pemilihan calon
pasangan, dimana kualifikasi pendidikan dari calon pasangan menjadi sesuatu
ini sangat berantusias untuk melanjutkan sekolahnya sampai jenjang
pendidikan tinggi dibandingkan menikah di usia dini.
Geertz (1983) menggambarkan, pada zaman dahulu usia ideal
anak-anak putri untuk menikah terlihat lebih mendapat tekanan dibandingkan anak-anak
laki-laki yang lebih mendapat kebebasan dari kedua orangtuanya. Meskipun
demikian, pada masa kini telah terjadi peningkatan usia anak-anak wanita
untuk menikah berdasarkan hasil penelitian Jacoby dan Bernard (dalam
Suryani, 2007). Berdasarkan pemaparan mengenai pernikahan di masyarakat
Jawa sampai peningkatan pendidikan sebagai salah satu penyebab terjadinya
perubahan pola pikir masyarakat yang berkaitan dengan pernikahan bagi
anak-anak mereka, maka penelitian ini merumuskan satu permasalahan yang
penting dan menarik untuk dibahas, yaitu perubahan apa saja yang terjadi pada
pernikahan Jawa yang dijalani oleh wanita seiring dengan adanya peningkatan
usia untuk menikah dan perubahan pola pikir masyarakat di tahun 1960-an
dan 2000-an?
E. Kerangka Penelitian
Berdasarkan alur pemikiran tersebut, maka disusunlah pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran tentang usia ideal menikah, inisiatif menikah, makna
pernikahan, dan relasi suami isteri dalam pernikahan Jawa yang dijalani
34
2. Persamaan apa saja yang terjadi dalam gambaran tentang usia ideal
menikah, inisiatif menikah, makna pernikahan, dan relasi suami isteri
dalam pernikahan Jawa yang dijalani oleh wanita Jawa di tahun1960-an
dan 2000-an?
3. Perubahan apa saja yang terjadi dalam gambaran tentang usia ideal
menikah, inisiatif menikah, makna pernikahan, dan relasi suami isteri
dalam pernikahan Jawa yang dijalani oleh wanita Jawa di tahun1960-an
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian dengan paradigma kualitatif yang
menggunakan tradisi fenomenologi. Penelitian fenomenologi bertujuan
mendeskripsikan makna dari pengalaman-pengalaman yang dihidupi oleh
beberapa individu tentang konsep tertentu untuk diteliti (Creswell, 1998). Data
penelitian ini diperoleh dari pengalaman-pengalaman beberapa informan yang
menikah di tahun 1960-an dan beberapa informan yang menikah di tahun
2000-an. Penelitian ini akan menghasilkan data deskriptif, yang diperoleh
dengan menggunakan metode pengambilan data dengan wawancara semi
terstuktur (Creswell, 1998). Peneliti menggunakan jenis penelitian
fenomenologi ini karena peneliti ingin mengungkap dan menjelaskan
perubahan apa saja yang terjadi dalam pernikahan Jawa berdasarkan
pengalaman yang dijalani wanita Jawa antara tahun 1960-an dan 2000-an.
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian dalam penelitian ini, yaitu menemukan dan
mendeskripsikan perubahan apa saja yang terjadi dalam pernikahan Jawa yang
dijalani oleh wanita Jawa pada tahun 1960-an dan tahun 2000-an. Perubahan
36
a. Usia ideal wanita dan laki-laki untuk menikah
Usia ideal wanita dan laki-laki untuk menikah, yaitu usia dimana
wanita dan laki-laki dianggap layak untuk segera menikah. Usia ideal
untuk menikah bagi setiap orang dapat berbeda-beda tergantung dari
bagaimana kesiapan setiap orang untuk memasuki jenjang pernikahan
yang dapat dilihat dari kematangan emosi, kesiapan mental, dan
kemapanannya.
b. Inisiatif untuk menikah
Inisiatif untuk menikah, yaitu inisiatif seseorang untuk memilih
pasangan dan menentukan kapan ia akan menikah. Pasangan yang dipilih
adalah pasangan yang hendak menjadi calon suami atau calon isterinya.
c. Makna pernikahan
Makna pernikahan, yaitu bagaimana individu memaknai
pernikahannya berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah
dirasakannya selama menikah.
d. Relasi suami dan isteri
Relasi suami isteri yaitu hubungan antara suami dan isteri di dalam
rumah tangganya, baik dalam bentuk komunikasi maupun sikap saling
C. Informan Penelitian
Informan penelitian ini adalah wanita keturunan Jawa yang tinggal di
D.I Yogyakarta dan telah menikah. Hal ini bertujuan agar peneliti tetap fokus
pada konteks penelitian, yaitu masyarakat Jawa yang telah mengalami
langsung pernikahan yang sedang dijalaninya. Informan dalam penelitian ini,
terdiri dari sepuluh informan yang berasal dari dua generasi, yaitu lima wanita
yang menikah di tahun 1960-an dan lima wanita yang menikah di tahun
2000-an. Hal ini dimaksudkan agar peneliti mengetahui perubahan apa yang terjadi
dalam pernikahan Jawa dari kedua generasi tersebut. Berikut data demografi
informan:
1. Informan yang menikah di tahun 1960-an: a. Informan 1
Usia : 67 tahun
Jenis Kelamin : wanita
Agama : Katolik
Tahun menikah : 1960
Pendidikan : SD kelas 4
Latar Belakang
Informan berasal dari keturunan Jawa yang masih tradisional.
Sejak lahir informan sudah tinggal di Yogyakarta. Dalam kesehariannya
informan menggunakan bahasa Jawa dengan suami dan anak-anaknya.
Informan tinggal di daerah pedesaan, sehingga informan masih
38
pedesaannya. Informan menikah dengan proses perjodohan yang
dilakukan oleh kedua orangtuanya saat informan berusia 18 tahun.
b. Informan 2
Usia : 65 tahun
Jenis Kelamin : wanita
Agama : Katolik
Tahun menikah : 1963
Pendidikan : SD kelas 4
Latar Belakang
Informan berasal dari keturunan Jawa yang masih tradisional
dan tinggal di daerah pedesaan. Informan sudah tinggal di Yogyakarta
sejak lahir. Orangtua informan tinggal dekat dengan rumah informan.
Dalam kesehariannya, informan masih bertani dan menggunakan bahasa
Jawa saat berkomunikasi dengan orang-orang sekitarnya. Kehidupan
tradisional yang dijalaninya sejak kecil, membuatnya menjalani
nilai-nilai budaya Jawa dalam masyarakat di daerah tempatnya tinggal.
Informan mengalami perjodohan saat ia berusia 19 tahun.
c. Informan 3
Usia : 61 tahun
Jenis Kelamin : wanita