• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan kemandirian belajar pada anak TK ditinjau dari gaya kelekatan - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Perbedaan kemandirian belajar pada anak TK ditinjau dari gaya kelekatan - USD Repository"

Copied!
214
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN KEMANDIRIAN BELAJAR PADA ANAK TK DITINJAU DARI

GAYA KELEKATAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi)

Program Studi Psikologi

Oleh: Sri Lestari NIM : 039114085

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

MOTTO

Tidak selalu bintang bersinar di waktu malam,

Tetapi itu tidak membuktikan bahwa

bintang itu tidak ada.

Pada saat kita tidak melihat

pertolongan Tuhan dalam hidup kita,

itupun tidak membuktikan bahwa

pertolonganNya tidak ada.

Tetapi selalu tepat pada waktuNya.

Kita tidak tahu kapan,

Tetapi siapa yang terus menantiNya

Mendapat kekuatan baru.

Jadi jangan pernah berhenti berharap

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. ( Pengkotbah, 3:11)

Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengaihi Dia.

(5)

v

TAK PERNAH CUKUP

Kadang aku tahu harus mengucapkan apa,

Berterima kasih atas semua yang kaulakukan,

Tapi semua kata terbang entah kemana,

Secepat datangnya ke ribaan.

Bagaimana aku bisa cukup berterima kasih,

Pada orang yang membuat hidupku lengkap,

Pada orang yang memberikan anugerah,

Yang membuat jiwaku terbentuk mantap.

Orang yang menyelimutiku tiap malam,

Orang yang menghentikan tangisanku,

Orang yang sangat ahli dalam,

Menelanjangi semua kebohonganku.

Orang yang selalu berkorban

Untuk selalu mendahulukanku,

Yang membiarkanku menguji sayap patahku,

Meski menyakitkan bagimu.

Adakah kata-kata yang tepat?

Bagiku pertanyaan ini tak mudah

Apapun yang ingin kukatakan -sangat sarat,,

Terasa tak pernah sudah.

Cara apa yang ada untuk berterima kasih,

Bagi hatimu, keringatmu, air matamu,

Bagi sepuluh ribu hal kecil,,

Bagi tak terhitung banyaknya usiamu.

Bagi kerelaanmu berubah bersamaku,

Menerima semua kelemahanku,

Tidak mencintai karena terpaksa,,

(6)

vi

Dan karena itu aku sadar,

Satu-satunya cara mengatakan,

Satu-satunya terima kasih yang bukan sekadar,

Hanya jelas dalam semua ungkapan.

Tataplah aku di depanmu

Lihat aku telah menjadi apa,

Apa kaulihat dirimu dalam diriku?

Tugas yang telah kaulakukan?

Semua harapan dan mimpimu,

Kekuatan yang tak terlihat siapapun,

Peralihan selama bertahun-tahun,

Yang terbaik darimu ada dalam diriku.

Terima kasih atas semua anugerahmu,,

Untuk semua yang kaulakukan,

Tapi TERIMA KASIH mama, papa, terutama,

Karena membuat mimpi jadi kenyataan.

Chicken

soup.

KARYA SEDERHANA INI KUPERSEMBAHKAN UNTUK

:

(7)

vii

ABSTRAK

Sri Lestari (2008). Perbedaan Kemandirian Belajar Pada Anak TK Ditinjau Dari

Gaya Kelekatan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kemandirian

belajar pada anak TK ditinjau dari gaya kelekatan. Gaya kelekatan dibagi menjadi

tiga jenis yaitu: gaya kelekatan aman, menghindar dan cemas. Hipotesis dalam

penelitian ini adalah ada perbedaan kemandirian belajar pada anak TK ditinjau

dari gaya kelekatan.

Subyek dalam penelitian ini adalah anak-anak kelas TK A Mater Dei

Marsudirini Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 yang berjumlah 112 anak. Alat

pengumpulan data menggunakan skala tingkat kemandirian belajar yang memiliki

reliabilitas sebesar 0, 903 dan skala tiga gaya kelekatan yang masing-masing

memiliki nilai reliabilitas untuk skala kelekatan aman sebesar 0, 878, skala gaya

kelekatan menghindar 0, 723 dan gaya kelekatan cemas 0, 834.. Perbedaan tingkat

kemandirian belajar antara tiga kelompok gaya kelekatan dianalisis dengan

menggunakan analisis varians satu jalur (

one way anova

).

(8)

viii

ABSTRACT

Sri Lestari. (2008). The Difference Level of Learning Autonomy Kindergarten

Children Observed From Attachment Style. Yogyakarta: Faculty of Psychology,

Sanata Dharma University.

The aim of this research was to find out the differences level of learning

autonomy Kindergarten children observed from attachment style. Attachment

style was classified into three types, i.e secure, avoidant and anxious attachment.

The hypothesis in this research was there is a difference level of learning

autonomy Kindergarten children observed from attachment style.

The subjects were 112 children from Mater Dei Marsudirini Kindergarten

class A Yogyakarta, attended 2007/2008. The data was collected by using level of

learning autonomy scale reliability 0,903 and three attachment style scale with

reliability amount 0,878 for secure attachment, 0,723 for avoidant attachment and

reliability amount 0,834 for anxious attachment. The difference level of learning

autonomy between three attachment style group was analyzed by one way anova.

The result was showed that F count amount of 44,052 which means that it’s

bigger than F table (3,276) with significant level was 0.00 (p>0,05). This result

showed that there was significant differences level of learning autonomy

kindergarten children observed from attachment style. Beside that, was known

that mean for secure attachment amount of 113,38, for avoidant attachment

amount of 98,7 and for anxious attachment amount of 95,26. It’s mean that there

was differences level of learning autonomy between secure attachment and

avoidant attachment. Beside that, there was differences level of learning

autonomy between secure attachment and anxious attachment. This research also

showed that children with secure attachment have the highest level of learning

autonomy

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa di surga atas kasih

dan karunia-Nya yang berlimpah, sehingga penulis dapat menyeleaikan penulisan

skripsi dengan judul

Perbedaan Kemandirian Belajar pada Anak TK Ditinjau

dari Gaya Kelekatan

.

Penyusunan skripsi ini merupakan syarat untuk

mendapatkan gelar Sarjana Psikologi (S.Psi) di Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

Semua yang tertuang dalam skripsi ini diperoleh dengan kerja keras dan

tidak lain karena peran, bantuan, bimbingan, motivasi, dukungan, dan doa dari

beberapa pihak, dan karenanya penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1.

Bapak Paulus Edy Suhartanto, S.Psi., M.Si, selaku Dekan Fakultas

Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan izin

penelitian.

2.

Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., Psi., M.Si, selaku dosen pembimbing

skripsi dan dosen pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu

dan perhatian, serta banyak membantu selama diskusi dan bimbingan

sehingga akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

3.

Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, MS. sebagai penguji 1 yang telah

memberikan kritik, masukan dan saran kepada penulis.

4.

Bapak YB. Cahya Widiyanto, S.Psi., yang telah memberikan kritik, saran

dan masukan kepada penulis.

5.

Ibu Ratri Sunar Astuti, S.Psi., M.Si selaku dosen pembimbing akademik

(11)

xi

6.

Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S.PSi., M.Si yang dengan sabar berkenan

memberikan masukan dan diskusi kepada penulis.

7.

Segenap dosen-dosen Fakultas Psikologi yang telah memberikan

pengetahuan, ilmu dan wawasan kepada penulis.

8.

Ibu Rina Sutanti, selaku Kepala Sekolah TK Kanisius Demangan Baru

Yogyakarta yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan

uji coba.

9.

Sr. Francisia, OSU., selaku Kepala Sekolah TK Mater Dei Marsudirini

Yogyakarta yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan

penelitian.

10.

Guru-guru wali kelas TK A Kanisius Demangan baru dan Mater Dei

Marsudirini yang telah berkenan meluangkan waktu dan sedikit

‘direpotkan’ untuk membantu penulis dalam melaksanakan penelitian.

11.

Mas Gandung, Pak Gie, dan Mbak Nanik yang telah membantu kelancaran

dan kemudahan pada penulis dalam mengurus kepentingan akademik.

12.

Mas Muji selaku laboran yang udah banyak membantu selama kegiatan

praktikum dan Mas Doni yang memberi kemudahan dalam peminjaman

buku. Matur nuwun sanget

13.

Papa dan mama tersayang, Matius Eman S dan Anselma Engkan K atas

kesabaran dan kepercayaan yang mungkin sedikit terkikis, tulusnya doa

dan cinta, dukungan moral dan material, serta semangat yang mengiringi

langkah penulis. Makasih ya mah pa, maaf kalau ‘

teteh

’ tidak bisa

(12)

xii

14.

Kedua adikku, Uju dan Iman, untuk kebersamaan dan keceriaan yang telah

dilewati. Makasih atas doa, dukungan, dan ‘semangat’ yang diberikan

pada ‘

teteh

’.

15.

Keluarga besar Kartaatmadja dan Manggar, atas doa serta dukungan moriil

dan materiil kepada penulis.

16.

Kakak-kakakku, Aa Andi untuk motivasi, dukungan dan doa yang

diberikan. Teh Vivi untuk semua nasihat dan saran bagi penulis agar bisa

menjadi lebih dewasa. Teh Susi, Teh Yesi, Teh Lia “Enok”, Aa Indra

untuk semua dukungan baik moral maupun materiil.

Hatur nuhun

nya aa,

teteh!!!

17.

Kedua Sahabatku, Susan dan Thian untuk keceriaaan, canda tawa dan

kebersamaan yang udah terjalin. Makasih untuk sindirannya yang pelan

tapi dalem juga. “Fuihh…..akhirnya, bosen juga aku kuliah, hehe

.

tunggu aku di Jakarta ya!!”

18.

Teman, sahabat, dan saudara terbaikku Dwi Sadela Maharangitha atas

seluruh

moment

yang terjadi dan segala pengalaman yang membuat kita

lebih kaya dalam memaknai hidup. Makasih juga untuk semua

support

dan

dukungan di saat aku merasa ‘jatuh’ dalam hidupku.

19.

Sahabat-sahabat hatiku: Tina & Dek Siska,

thanks

ya untuk persahabatan

dan persaudaraan yang dah terjalin.

Sorry

, kalo aku sering ngerepotin

kalian

. Mbak Dewi, yang dah jadi ‘mama’ buatku selama di jogja..

Mbak Ria, Wati, Mas Bowo, Rickie. Y

ou make me standing still with

(13)

xiii

20.

Teman-teman yang udah dengan setia nungguin sidang: Risa, Suci, Nice,

Dek siska, Dek Esti, Mbak Dewi, Mbak Shary, Mbak Iant, Christa, Monik,

Abhe, Arif, Benny’04, Mas Dedi’02, Nanang. Kehadiran kalian

memberikan kekuatan buatku, matur nuwun

21.

Teman-temanku: Netly, Nice yang dah berbagi pengetahuan dan diskusi.

Sr. Hedwig, Itha, Okky, Sadewo untuk supportnya. Mbak Dewi ‘Ndut’

yang udah pinjemin buku.

22.

Every single guy in

: Wisma Rosari (khususnya anak-anak atas: makasih

buat bantuan kalian dalam latihan presentasi

), Psikologi angkatan 2003,

P2TKP, kelp. KKN Ceporan angkatan XXXIII, atas untaian cerita yang

mengisi hari-hariku,

23.

Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang secara

langsung ataupun tidak langsung sudah membantu dalam penyusunan

skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis

dengan rendah hati mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, dan

bersedia menerima segala kritik maupun saran yang membangun.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu

pengetahuan pada umumnya dan semua orang yang membaca skripsi ini pada

khususnya. Tuhan memberkati.

Yogyakarta, Maret 2008

(14)
(15)

xv

DAFTAR

ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PUBLIKASI KARYA ILMIAH... ix

KATA PENGANTAR ... x

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... xiv

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR TABEL ...xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.

Latar Belakang ... 1

B.

Rumusan Masalah ... 7

C.

Tujuan Penelitian ... 7

D.

Manfaat Penelitian ... 8

1.

Manfaat Teoretis ... 8

2.

Manfaat Praktis ... 8

BAB II LANDASAN TEORI ... 9

A.

Anak Pra Sekolah ... ... 9

1.

Pengertian Anak Pra Sekolah ... 9

2.

Ciri-Ciri Anak Pra Sekolah ... 12

3.

Tugas-Tugas Perkembangan Anak Pra Sekolah ... 13

B.

Kemandirian Belajar ... 14

1.

Pengertian Kemandirian ... 14

(16)

xvi

3.

Aspek-aspek Kemandirian... 20

4.

Kemandirian Belajar Anak Pra Sekolah ... 22

C.

Kelekatan ... 25

1.

Pengertian Kelekatan ... 25

2.

Teori Kelekatan ... 26

3.

Gaya Kelekatan ...28

a.

Kelekatan Aman (

Secure Attachment

) ...28

b.

Kelekatan Tidak Aman (

Insecure Attahment

) ... 31

1)

Kelekatan menghindar (

Avoidant attachment

) ... 31

2)

Kelekatan Cemas (

Anxious Attachment

) ...34

D.

Perbedaan Kemandirian Belajar Ditinjau Dari Gaya Kelekatan ... 39

E.

Hipotesis Penelitian ... 45

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46

A.

Jenis Penelitian ... 46

B.

Identifikasi Variabel Penelitian ... 46

C.

Definisi Operasional ... 46

1.

Kemandirian Belajar ... 46

2.

Gaya Kelekatan ... 48

a.

Kelekatan Aman ... 49

b.

Kelekatan Manghindar ... 50

c.

Kelekatan Cemas ... 51

D.

Subjek Penelitian ... 52

E.

Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 53

1.

Skala Tingkat Kemandirian Belajar ... 54

2.

Skala Gaya Kelekatan ... 56

F.

Prosedur Penelitian ... 57

G.

Pertangung Jawaban Alat ... 58

1.

Uji Validitas ... 59

2.

Analisis Aitem ... 59

3.

Uji Reliabilitas ... 59

(17)

xvii

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61

A.

Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 61

1.

Tahap Persiapan ... 61

2.

Tahap Penelitian ... 61

B.

Orientasi Kancah ... 62

C.

Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 63

1.

Uji Validitas ... 63

2.

Analisis Aitem ... 64

3.

Uji Reliabilitas ... 67

D.

Hasil Penelitian ... 68

1.

Deskripsi Data Penelitian ... .... 68

a.

Data Subyek Penelitian berdasarkan Gaya Kelekatan.…………. 68

b.

Kategorisasi Skor Kemandirian Belajar ………... 71

c.

Data Kemandirian Belajar Ditinjau Dari Gaya Kelekatan ……... 71

2. Uji Asumsi Penelitian ……….. 74

a.

Uji Normalitas Sebaran ……….. 74

b.

Ui Homogenitas Varians ………....… 75

3.

Uji Hipotesis ………. 76

a.

Pengujian Hipotesis Mayor ………... 76

b.

Pengujian Hipotesis Minor ………..………... 77

E.

Pembahasan ... 79

BAB V KESIMPULAN dan SARAN ... 90

A.

Kesimpulan ... 90

B.

Saran ... 90

C.

Kelemahan Penelitian ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 84

(18)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel I Aspek Gaya Kelekatan ... 37

Tabel II

Penjelasan Mengenai Komponen

Skala Kemandirian Belajar

(sebelum uji coba) ... 55

Tabel III Penjelasan Mengenai Komponen

Skala Gaya Kelekatan

(Sebelum uji coba) ... 57

Tabel IV Skala Kemandirian Belajar

(Setelah uji coba) ……… 64

Tabel V

Skala Gaya Kelekatan

(Setelah uji coba) ……….. 65

Tabel VI

Skala Kemandirian Belajar

(penelitian) ……… ... 66

Tabel VII

Skala Gaya Kelekatan

(penelitian)………... 67

Tabel VIII

Jumlah subyek penelitian berdasarkan

gaya kelekatan ……….………. 70

Tabel IX Data tingkat kemandirian belajar

ditinjau dari gaya kelekatan ………

72

Tabel X Hasil Perhitungan

One-Sample Kolmogorov-Smirnov

……... 74

Tabel XI Ringkasan Levene Test ……… 75

Tabel XII Hasil ANOVA ……….. 76

(19)

xix

DAFTAR GAMBAR

(20)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Skala

Try Out

Lampiran Koefisien Reliabilitas Skala

Try Out

Kemandirian Belajar

Lampiran Koefisien Reliabilitas Skala

Try Out

Kelekatan

Lampiran Skala Penelitian

Lampiran Koefisien Reliabilitas Skala Penelitian Kemandirian Belajar

Lampiran Koefisien Reliabilitas Skala Penelitian Kelekatan

Lampiran Hasil Uji Normalitas Data Hasil Penelitian

Lampiran Hasil Uji Homogenitas Data Hasil Penelitian

Lampiran Hasil Uji Hipotesis Data Hasil Penelitian

(21)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Taman Kanak-Kanak (Child-Centered Kindergarten) atau yang lebih

dikenal dengan istilah TK, merupakan persiapan dasar bagi anak-anak

memulai pendidikan formalnya. Sebagai persiapan untuk melanjutkan

pendidikan berikutnya, tentu saja aktivitas yang dilakukan di TK harus

mampu membimbing dan mengasuh anak agar mampu belajar secara

mandiri. Di sini, TK harus berpusat pada anak maksudnya adalah

pendidikan yang dilaksanakan melibatkan seluruh anak dan mencakup

kepedulian akan perkembangan fisik, kognitif, dan sosial anak. Penekanan

adalah pada proses belajar dan bukan pada apa yang dipelajari (Ballenger

dalam Santrock, 2002). Setiap anak mengikuti pola perkembangan yang

unik dan anak-anak kecil paling baik belajar melalui pengalaman pertama

(langsung) dengan manusia dan benda-benda. Akan tetapi, yang menjadi

permasalahan dewasa ini adalah kurikulum di kebanyakan Taman

Kanak-Kanak memberikan pengajaran secara langsung melalui kegiatan yang

bersifat abstrak dan melalui kertas-dan-pensil yang diberikan kepada

sejumlah besar anak kecil serta lebih banyak menekankan pada prestasi dan

keberhasilan yang dapat menyebabkan anak menjadi tidak mandiri

(22)

Padahal menurut Masrun dkk (1986), kemandirian secara psikologis

dianggap penting, karena seseorang berusaha untuk menyesuaikan diri

secara aktif dengan lingkungannya. Tanpa kemandirian, seseorang tidak

mungkin mempengaruhi atau menguasai lingkungan dan dikuasai

lingkungan. Dengan kata lain, kemandirian merupakan modal dasar bagi

manusia dalam menentukan sikap dan perbuatan terhadap lingkungannya

serta mendorong seseorang untuk berusaha dan berprestasi.

Begitu pula halnya dengan anak-anak yang belajar di TK, dimana

disini juga anak diajar untuk bersikap mandiri serta kreatif dalam memasuki

lingkungan yang baru. Dengan belajar mandiri, maka anak akan mudah

menyesuaikan diri terhadap lingkungannya serta meningkatkan rasa percaya

diri anak. Akan tetapi, jika anak tidak mampu untuk belajar secara mandiri

maka dia akan sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Menurut Kristiyani (dalam Sumarsih, 2006), kemandirian sangat berguna

dan perlu dimiliki oleh anak, karena sangat menentukan perkembangan

hidup anak sampai dewasa. Kemandirian perlu dibina sejak masa

kanak-kanak agar hasilnya lebih maksimal. Individu yang tidak belajar mandiri

sejak masa kanak-kanak akan mengalami kesulitan ketika menghadapi

masalah terutama dalam mengambil keputusan bagi dirinya sendiri. Sikap

mandiri yang diajarkan sejak masa kanak-kanak akan membuat individu

memiliki rasa percaya diri yang kuat dalam memutuskan sesuatu bagi

(23)

Salah satu kemandirian yang dikembangkan oleh anak adalah

kemandirian belajar di kelas. Kemandirian belajar dapat diartikan sebagai

suatu keadaan atau kondisi aktivitas belajar dengan kemampuan sendiri,

tanpa selalu bergantung kepada orang lain (Abas, 2007). Kemandirian

belajar pada anak TK dalam penelitian ini lebih pada kemandirian anak

untuk mengikuti kegiatan belajar ketika berada di sekolah. Karena di TK

aktivitas belajar lebih banyak mengandalkan motorik kasar (Sujiono dalam

Hartono, 2005), maka kemandirian belajar yang diungkap lebih pada

kemampuan anak untuk bereksplorasi, berani mengekspresikan dirinya,

memiliki inisiatif, mau berusaha menyelesaikan tugas yang diberikan.

Anak yang mandiri, biasanya akan mudah bergaul dengan

teman-teman sebayanya. Namun, tidak semua anak dapat belajar mandiri di dalam

kelas. Adapula anak yang tidak mau ikut serta secara aktif mengikuti

kegiatan di dalam kelas, dan hanya duduk diam di kursinya. Bahkan apabila

diberi tugas oleh gurunya, anak yang kurang mandiri akan cenderung

meminta pertolongan kepada orang lain, bahkan mereka tidak mau

mengerjakan apabila tidak dibantu. Keadaan tersebut, tentu saja dapat

disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang menyebabkan anak

tidak mampu belajar secara mandiri adalah kurang memiliki rasa aman

sehingga dia tidak memiliki kepercayaan diri dan kurang mampu

menyesuaikan diri ketika menghadapi lingkungan baru. Berbeda dengan

anak yang mandiri dimana dia memiliki rasa aman. Rasa aman pada anak

(24)

disekitarnya terutama orang tua (pengasuh). Rasa nyaman tersebut diperoleh

ketika pengasuh dapat memberikan kasih sayang yang konsisten dan tepat

dalam memberikan respon terhadap kebutuhan anak serta mampu

melindungi anak (C, Wenar & P, Kerig, 2000). Keadaan tersebut erat

kaitannya dengan kelekatan.

Pada dasarnya, kelekatan merupakan hal yang wajar terjadi pada anak,

karena tingkah laku lekat merupakan kecenderungan dasar pada anak yang

sudah ada sebelum proses-proses belajar dapat terjadi (Hartup dalam

Hurlock, 1973). Namun kelekatan akan menjadi masalah bila menimbulkan

ketergantungan. Kelekatan terjadi sejak masa bayi, namun akan

berpengaruh terhadap perkembangan di masa depannya Adapun yang

dimaksud dengan kelekatan adalah ikatan yang bersifat afeksional pada

seseorang yang ditunjukkan pada orang-orang tertentu atau yang disebut

figur lekat dan berlangsung secara terus- menerus (Ainsworth dalam Pelawi,

2004). Menurut C. Wenar & P. Kerig, kelekatan dibagi menjadi 2 jenis yaitu

kelekatan aman (secure attachment) dan kelekatan tidak aman (insecure

attachment).

Anak yang memiliki kelekatan yang aman pada masa bayi, maka dia

akan cenderung mudah menjalankan perannya sesuai tahap

perkembangannya, karena kelekatan yang aman memungkinkan

terpenuhinya afeksi anak. Dengan terpenuhinya afeksi anak, maka anak

(25)

Secara umum anak yang mengalami kelekatan tidak aman, biasanya

disebabkan ketika pengasuh yang utama tidak merespon secara konsisten

dalam cara memberi kehangatan, kasih, cinta, kepercayaan dan kepekaan

terhadap anak yang terjadi semenjak anak masih bayi (C, Wenar & P, Kerig,

2000). Anak-anak yang mengalami kelekatan tidak aman cenderung kurang

bisa bekerja sama, menarik diri dengan teman-teman sebayanya (peer-nya),

bahkan mengalami ketergantungan terhadap figur lekatnya.

Kelekatan tidak aman dibagi lagi menjadi dua yaitu, kelekatan

menghindar dan kelekatan cemas. Kelekatan menghindar terjadi karena

pengasuh cenderung menjaga jarak bahkan terkesan mengabaikan

kebutuhan anak Akibatnya, anak akan merasa tidak nyaman dan

mengembangkan model mental sebagai orang yang bebas, suka menentang,

tertutup, dan tidak mudah percaya pada orang lain. Berbeda dengan gaya

kelekatan cemas, dimana pengasuh cenderung terlalu ikut campur semua

kebutuhan anak. Akibatnya anak memiliki ketergantungan, kurang asertif

dan kurang memiliki kepercayan diri (C, Wenar & P, Kerig, 2000). .

Keadaan tersebut tentu saja dapat mempengaruhi kemandirian belajar

anak ketika berada di dalam kelas. Pada saat anak mengembangkan citra diri

sebagai orang yang positif dan percaya diri, maka dia akan cenderung

memiliki sikap mandiri, memiliki kompetensi sosial, memiliki sikap

empatik dan mampu diajak bekerja sama (laurent dkk, 2004). Berbeda

dengan anak yang mengalami kelekatan menghindar, karena dia

(26)

tidak mudah percaya pada orang lain. Dengan begitu, maka anak akan

cenderung kurang memiliki sikap kooperatif, tidak disiplin ketika berada di

kelas, dan.kurang memiliki kompetensi sosial dengan teman sebayanya

(Shulman, Elicker, & Sroufe, 1983)..Lain halnya anak dengan kelekatan

cemas yang mengembangkan model mental sebagai orang kurang asertif,

kurang percaya diri serta terlalu lekat dengan figur lekatnya, maka anak

cenderung kurang memiliki kompetensi sosial dengan teman-teman

sebayanya sehingga anak menjadi kurang kooperatif. Selain itu, dia juga

kurang memilki kemampuan untuk mengeksplorasi lingkungannya, dan

karena terlalu lekat dengan pengasuhnya maka anak cenderung mengalami

ketergantungan kepada orang lain termasuk kepada guru (Sroufe, Fox, &

Pancake, 1983). Serta tidak mau mengikuti aktivitas yang dilaksanakan di

kelas, jika tidak didampingi oleh orang-orang terdekatnya Akan tetapi,

ketika anak didampingi oleh figur lekatnya, maka dia akan cenderung

meminta pertolongan kepada figur lekatnya untuk melaksanakan tugas yang

di berikan kepadanya. Akibatnya, anak menjadi malas dan tidak mau

berusaha dengan sendirinya, dan hal ini tentu saja menghambat proses anak

dalam belajar secara mandiri.

Keadaan ini pula yang terjadi pada salah satu TK swasta. Pada saat

peneliti melakukan observasi pada anak TK, nampak terlihat bahwa ada

beberapa anak yang tidak mau belajar, karena pengasuhnya (entah ibu, baby

sitter, ataupun orang-orang terdekatnya) meninggalkannya berada dalam

(27)

luar kelas. Akibatnya anak tersebut tidak mau belajar, dan bahkan

mengganggu anak yang lainnya yang sedang belajar. Selain itu, kasus lain

yang cukup menarik adalah yang terjadi pada seorang anak laki-laki. Ketika

dia diantar ke sekolah oleh nenek atau pamannya, dia mau belajar sendiri di

dalam kelas dan mau ditinggalkan oleh neneknya. Tetapi ketika, dia diantar

oleh kakeknya, anak tersebut tidak mau ditinggal oleh kakeknya.

Maka dari kejadian tersebut, memunculkan penelitian yang bertujuan

untuk meneliti perbedaan kemandirian belajar pada anak TK yang ditnjau

dari gaya kelekatannya, yang dibedakan menjadi gaya kelekatan aman,

cemas dan menghindar. Adapun yang menjadi judul dalam penelitian ini

adalah: Perbedaan Kemandirian Belajar pada Anak TK Ditinjau dari Gaya

Kelekatan.

B. RUMUSAN MASALAH

Dalam penelitian ini, yang menjadi rumusan masalahnya adalah :

apakah ada perbedaan kemandirian belajar pada anak TK ditinjau dari gaya

kelekatan yang dialami oleh anak?

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk

mengetahui perbedaan kemandirian belajar pada anak TK ditinjau dari gaya

(28)

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat teoritis

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan tambahan

pengetahuan baru bagi ilmu psikologi pendidikan khususnya dalam hal

perkembangan dan pendidikan masa pra sekolah anak.

2. Manfaat praktis

a. Apabila penelitian ini menghasilkan perbedaan, maka diharapkan

dapat memberikan sumbangan kepada masyarakat luas terutama orang

tua tentang pemahaman dan pengetahuan mengenai pentingnya

penerapan gaya kelekatan tertentu dalam rangka mengembangkan

sikap mandiri di masa awal kanak-kanak.

b. Penelitian ini juga diharapkan memberikan sumbangan pengetahuan

kepada para pengajar atau guru agar memahami dinamika psikologis

yang berbeda-beda pada setiap anak didiknya, sehingga dalam

memberikan pendidikan memperhatikan juga perkembangan identitas

(29)

9

BAB II

LANDASAN

TEORI

A.

ANAK PRA SEKOLAH

1.

Pengertian Anak Pra Sekolah

Salah satu bentuk pendidikan pra sekolah adalah taman kanak-kanak.

Oleh karena itu, anak-anak yang duduk di bangku taman kanak-kanak

sering juga disebut dengan anak usia pra sekolah dan bukan anak sekolah.

Karena pendidikan di taman kkanak merupakan persiapan bagi

anak-anak untuk memasuki sekolah. Dalam Peraturan pemerintah no. 27 tahun

1990, yang dimaksud dengan anak pra sekolah adalah peserta didik yang

berada pada jalur pendidikan pra sekolah. Pada umumnya anak yang berada

dalam pendidikan pra sekolah terutama taman kanak-kanak berada pada

usia 4-6 tahun, sehingga dalam tahap perkembangan berada dalam masa

awal anak-anak.

Usia pra sekolah merupakan usia transisi antara masa bayi dan masa

sekolah. Pada masa ini, anak sudah mulai mempunyai otonomi, tidak

sepenuhnya tergantung pada otang tua, tetapi masih belum bisa dilepas

untuk sepenuhnya belajar formal di sekolah.

Zaporozhets dan Elkonin (dalam Suprapti, 1999) menggolongkan anak

usia pra sekolah menurut tiga kategori: usia pra sekolah awal (3-4 tahun),

usia pra sekolah menengah (5 tahun) dan usia pra sekolah akhir (6-7 tahun).

(30)

dalam tahapan pra operasional dalam perkembangan kognitif. Akan tetapi,

usia dalam suatu perkembangan tidak harus dilihat sebagai suatu prediktor

yang pasti, melainkan sebagai gambaran kasar atau umum yang variasinya

amat ditentukan oleh karakteristik khusus dari individu anak.

Menurut Sujiono (dalam Hartono, 2005), ada beberapa faktor yang

harus diperhatikan oleh orang tua sebelum memasukkan anaknya ke dalam

pendidikan TK. Faktor-faktor tersebut antara lain:

a.

Kesiapan Fisik

Aspek fisik meliputi motorik halus dan motorik kasar. Pada motorik

kasar, dapat terlihat misalnya dengan mampu menggerakan seluruh

anggota tubuhnya untuk melakukan gerakan-gerakan seperti berlari,

memanjat, naik-turun tangga, mlempar bola, bahkan melakukan dua

gerakan sekaligus misalnya melompat sambil melempar bola. Aktivitas

belajar di TK memang banyak mengandalkan motorik kasar. Oleh karena

itu, apabila anak aktif bergerak justru yang diharapkan. Semua aspek fisik

yang menjadi bagian motorik anak, selanjutnya harus dikembangkan di

TK. Motorik halus akan sejalan dengan pembelajaran yang diberikan di

TK. Anak akan belajar menggunting, melipat, memasukkan bola, serta

memilih biji-bijian. Itu semua akan berjalan bila ditunjang dengan fisik

yang bagus.

b.

Kesiapan Sosial

Di TK, anak berkumpul bersama teman-teman yang baru dikenalnya.

(31)

baru. Anak pun akan mengenal aturan-aturan baru hidup bersama dan

menyimak “pelajaran” dari guru-guru sambil belajar bersama

teman-temannya. Dengan begitu, kesiapan sosial dilihat dari kemampuan anak

untuk menghadapi orang asing, berani memasuki lingkungan baru dan

tidak ragu diajak berkomunikasi.

c.

Kesiapan Kognitif

Salah satu bentuk kesiapan kognitif anak dapat ditunjukkan dengan

kemampuan bahasa anak karena di TK anak diharapkan mampu

memahami instruksi yang diberikan oleh guru. Anak pun diharapkan

mampu menyampaikan pendapat, perasaan serta isi pikirannya meski

belum runtut. Dengan demikian, anak juga harus mempunyai

perbendaharaan kosakata yang cukup untuk anak seusianya.

d.

Kesiapan Emosional

Kesiapan emosional yang paling penting adalah menyangkut

kemandirian. Setidaknya anak ketika berada di kelas, dia sudah duduk di

bangku sendiri, tidak tergantung pada siapa-siapa, dan mau mengikuti

perintah. Kesiapan emosional lainnya ditunjukkan dengan kesiapan anak

menerima situasi baru.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan anak pra sekolah adalah anak yang menjadi peserta didik

dalam jalur pendidikan pra sekolah. Faktor-faktor yang harus dimiliki anak

ketika mulai memasuki Taman Kanak-kanak adalah kesiapan fisik,

(32)

2.

Ciri-ciri Anak Pra Sekolah

Menurut Freeman dan Munandar (1997), pada masa usia pra sekolah

anak memiliki beberapa perilaku yang tampak menonjol. Perilaku-perilaku

tersebut adalah:

a.

Mengamati segala sesuatu. Menjelajahi segala macam tempat

(lingkungannya), dan haus akan pengalaman.

b.

Memiliki rasa ingin tahu yang besar, sering bertanya dan terkadang tidak

puas akan jawaban yang diberikan sehingga terkadang membuat orang

dewasa menjadi kewalahan.

c.

Memiliki sifat spontan dan cenderung menyatakan pikiran, perasaan

sebagaimana adanya tanpa merasa ada hambatan.

d.

Senang terhadap pengalaman baru. Suka bereksperimen, berpetualang,

dan terbuka terhadap rangsangan-rangsangan baru.

e.

Memiliki daya imajinasi yang tinggi, yang tampak jika orang dewasa

menyempatkan untuk mendengarkan ungkapan-ungkapannya dan

mencermati perilakunya.

Perilaku-perilaku tersebut diatas merupakan ciri khas yang hampir

dimiliki oleh anak usia pra sekolah. Ciri-ciri tersebut memperlihatkan

perilaku kemandirian dan kreativitas anak yang alamiah, karena disini anak

tidak memiliki batasan untuk melakukan apapun sehingga anak dapat bebas

mengeksplorasi dan mengekspresikan dirinya sendiri. Setiap perkembangan

individu memiliki tahap-tahap perkembangan yang berpotensi untuk

(33)

merupakan pelajar yang aktif. Pada masa usia pra sekolah, dengan melihat

perilaku-perilaku yang ditonjolkannya, merupakan masa yang efektif untuk

mulai memberikan rangsangan-rangsangan yang dapat meningkatkan

kemandirian anak.

Menurut pendirian ilmu jiwa modern (Kartono, 1982), beberapa ciri

khas pada masa anak-anak adalah sebagai berikut;

a.

Bersifat egosentrisme-naif

b.

Mempunyai relasi sosial dengan benda-benda dan manusia yang

sifatnya primitif dan sederhana.

c.

Kesatuan jasmani dan rohani yang hampir-hampir tidak terpisahkan

sebagai satu totalitas

d.

Sikap hidup yang fisiognomis.

Berdasarkan uaraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa anak pra

sekolah memiliki beberapa ciri-ciri khas yang cukup menonjol. Ciri-ciri

khas tersebut antara lain mengamati segala sesuatu, memiliki rasa ingin

tahu yang besar, spontan, senang terhadap pengalaman baru, dan daya

imajinasi yang tinggi.

3.

Tugas-tugas Perkembangan Anak Pra Sekolah

Pada setiap tahapan perkembangan, setiap individu memiliki tugas

yang harus dilakukannya agar dapat melewati tahap tersebut. Anak usia pra

sekolah berada dalam tahap perkembangan masa awal anak-anak. Oleh

(34)

perkembangan pada masa awal anak-anak Adapun tugas-tugas

perkembangan yang harus dilakukan oleh anak-anak pada masa ini menurut

Havighurst (dalam Hurlock, 1982) antara lain sebagi berikut;

a.

Belajar memakan makanan padat.

b.

Belajar berjalan.

c.

Belajar berbicara.

d.

Belajar mengendalikan pembuangan kotoran tubuh.

e.

Mempelajari perbedaan seks dan tata caranya

f.

Mempersiapkan diri untuk membaca

g.

Belajar membedakan benar dan salah, dan mulai mengembangkan hati

nurani.

B.

KEMANDIRIAN BELAJAR

1.

Pengertian Kemandirian

Kemandirian merupakan salah satu unsur kepribadian yang dianggap

penting dalam kehidupan manusia. Dengan kemandirian, maka manusia

dapat mengembangkan sendiri kemampuan yang dimilikinya, serta mampu

memecahkan masalahnya sendiri. Sebagai unsur yang dianggap penting,

maka kemandirian perlu dikembangkan karena perkembangan kualitas

manusia sangat erat kaitannya dengan kemandirian dan faktor- fakor yang

mempengaruhinya. Karena manusia yang ingin berkembang adalah manusia

yang mampu berusaha untuk mandiri. Selain itu, kemandirian juga tidak

(35)

tingkatannya berbeda karena masing-masing tahapan perkembangan

memiliki ciri tersendiri. Dengan demikian kemandirian anak balita, anak

usia pra sekolah, anak usia sekolah, serta remaja sangatlah berbeda

(Sumarsih, 2006)

Menurut Lindzey dan Aronson (dalam Pelawi, 2004) mengemukakan

bahwa orang yang mandiri menunjukkan inisiatif dan berusaha untuk

mengejar prestasi, menunjukkan rasa percaya diri yang besar, serta secara

relatif jarang mencari perlindungan kepada orang lain dan mempunyai rasa

ingin menonjol. Lie dan Prasasti (dalam Sumarsih, 2006) mengatakan

bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk melakukan kegiatan atau

tugas sehari-hari sendiri atau dengan sedikit bimbingan, sesuai dengan

tahapan perkembangan dan kapasitasnya. Kemandirian adalah sikap yang

harus dikembangkan seorang anak untuk bisa menjalani keidupan tanpa

ketergantungan kepada orang lain. Kemandirian pada anak sangat penting

karena merupakan salah satu

life skill

yang perlu dimiliki (Astuti dalam

Sumarsih, 2006).

Masa kritis bagi perkembangan kemandirian anak berlangsung pada

usia 2-3 tahun. Karena pada usia ini, tugas utama perkembangan anak

adalah untuk mengembangkan kemandirian (Erikson, 1950). Kebutuhan

untuk mengembangkan kemandirian yang tidak terpenuhi pada usia sekitar

2-3 tahun akan menimbulkan terhambatnya kemandirian yang maksimal.

Kemandirian baru akan tercapai secara penuh pada akhir masa remaja,

(36)

sebagian jika perkembangan pada masa awal anak-anak tidak memberi

dasar yang baik (Wall, 1975). Kemandirian bukanlah keterampilan yang

muncul tiba-tiba tetapi perlu diajarkan pada anak. Tanpa diajarkan,

anak-anak tidak tahu bagaimana harus membantu dirinya sendiri. Kemampuan

bantu diri inilah yang dimaksud dengan mandiri (Nakita, 2005).

Anak-anak yang tidak dilatih mandiri sejak usia dini, akan menjadi

individu yang tergantung sampai remaja bahkan sampai dewasa nanti. Bila

kemampuan yang seharusnya sudah dikuasai anak pada usia tertentu dan

anak belum mau melakukan, maka si anak bisa dikategorikan sebagai anak

yang tidak mandiri. Kemandirian anak ditandai dengan adanya kemauan

untuk melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya: makan tanpa harus disuapi,

mampu memakai kaos kaki dan sepatunya sendiri, dan kegiatan-kegiatan

lain tanpa tergantung pada orang lain. Kemandirian akan dicapai oleh anak

melalui proses belajar atau pendidikan (Nakita, 2005). Faktor yang

mendasari perkembangan kemandirian anak adalah faktor pendidikan orang

tua serta hubungan orang tua-anak.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan kemandirian adalah kemampuan untuk melakukan

kegiatan atau tugas sehari-hari sendiri atau dengan sedikit bimbingan,

sesuai dengan tahapan perkembangan dan kapasitasnya, sehingga mampu

(37)

2.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian seseorang,

antara lain yaitu:

a.

Faktor-faktor Kodrati

1)

Usia

Keinginan yang kuat untuk mandiri berkembang pada awal masa

remaja dan mencapai puncaknya menjelang periode berahir (Hurlock,

1979). Menurut Sumarsih (2006), bahwa kemandirian ada di semua

rentang usia, hanya tingkatannya berbeda karena masing-masing

tahapan perkembangan memiliki ciri tersendiri. Dengan demikian,

kemandirian anak balita, anak usia pra sekolah, anak sekolah, serta

remaja sangatlah berbeda.

Sutton menjelaskan bahwa ada peningkatan perilaku mandiri

sesuai dengan usia artinya semakin bertambah usia seseorang,

perilaku mandri akan semakin berkembang dan perilaku tergantung

akan semakin berkurang (dalam Masrun dkk, 1986).

2)

Jenis Kelamin

Perbedaan sifat-sifat yang dimilki oleh pria dan wanita bisa

disebabkan oleh perbedaan perlakuan yang diberikan pada

pengalaman sewaktu kecil. Hurlock (1974) menyatakan bahwa ada

perbedaan sifat kemandirian pada laki dan perempuan. Anak

(38)

menangung resiko serta banyak dituntut untuk menunjukkan inisiatif

dan originalitas daripada perempuan.

3)

Urutan Kelahiran

Adler (dalam pelawi, 2004) mencoba menjelaskan adanya

perbedaan kepribadian pada anak dari urutan kelahiran yang berbeda.

Anak dihadapkan pada masalah bagaimana bersaing untuk

mendapatkan perhatian dan kasih sayang orang tua.

Masrun dkk (1986), mengatakan bahwa peranan faktor urutan

kelahiran dalam mepengaruhi kemandirian, bekerja secara tidak

langsung yaitu melalui kebutuhan seeorang akan perhatian dari

lingkungannya. Pada masa anak-anak perhatian dari lingkungan

khusunya orang tua sangat berarti bagi anak.

b.

Faktor Lingkungan

1)

Lingkungan Permanen

Lingkungan permanen meliputi pendidikan dan pekerjaan.

Pendidikan seseorang tidak hanya berasal dari sekolah tetapi juga

dari masyarakat. Pendidikan formal yang didapat oleh seeorang

dapat meningkatkan kemandirian dan perkembangan kesadaran diri.

Pendidikan dari masyarakat atau lebih dikenal dengan pendidikan

informal dialami oleh anak dalam ligkungan sosialnya. Pendidikan

ini diperoleh secara langung ketika mereka berusaha melepaskan diri

dari lingkungan keluarganya dan mengelompok dengan teman

(39)

ke arah individualitas yang mantap merupakan aspek penting dalam

perkembangan seseorang untuk mandiri.

Menurut Masrun dkk (1986), pekerjaan bagi seseorang bukan

semata-mata sebagai mata pencaharian, tetapi juga sebagai pengisi

waktu dan merupakan status bagi seseorang. Oleh karena pekerjaan

menuntut pemanfaatan waktu yang khuus dan relatif lama, maka

interaksi yang terjadi dalam lingkungan kerja ikut mempengaruhi

diri seseorang

2)

Lingkungan Tidak Permanen

Robinson dan Shaver (dalam Pelawi, 2004) mengatakan bahwa

faktor lingkungan yang tidak permanen, yaitu peristiwa-peristiwa

penting dalam hidup yang mengakibatkan terganggunya integritas

kepribadian seseorang untuk sementara waktu, contoh; kematian

orang yang dicintai, bencana alam dan lain-lain.

Menurut Kartawijaya dan Kuswanto (2004), kunci kemandirian anak

sebenarnya ada di tangan orang tua. Beberapa hal yang dapat membentuk

kemandirian anak antara lain:

a.

Rasa percaya diri

Rasa percaya diri terbentuk ketika anak memperoleh kepercayaan untuk

melakukan suatu hal yang mampu dikerjakan sendiri oleh anak. Rasa

(40)

b.

Kebiasaan

Salah satu peranan orang tua dalam kehidupan sehari-hari adalah

membentuk kebiasaan. Jikalau anak sudah terbiasa dimanja dan selalu

dilayani, anak akan menjadi individu yang selalu tergantung pada orang

lain.

c.

Disiplin

Kemandirian berkaitan erat dengan disiplin. Sebelum seorang anak

dapat mendisiplinkan dirinya sendiri, terlebih dahulu harus

didisiplinkan oleh orang tuanya. Syarat utama dalam hal ini adalah

pengawasan dan bimbingan yang konsisten dan konsekuen dari orang

tua.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian. Faktor-faktor

terebut terdiri dari faktor kodrati dan faktor lingkungan. Faktor kodrati

yang mempengaruhi kemandirian meliputi usia, jenis kelamin dan urutan

kelahiran sedangkan faktor lingkungan meliputi lingkungan permanen

yang terdiri dari pendidikan dan pekerjaan serta lingkungan tidak

permanen misalnya bencana alam, kematian orang yang dicintai, dan

lain-lain. Selain itu, peranan orang tua dalam hal ini pola auh orang tua juga

dapat mempengaruhi kemandirian anak.

3.

Aspek-aspek Kemandirian

Menurut Havighurst (dalam Sumarsih, 2006), kemandirian memiliki

(41)

a.

Aspek intelektual, yaitu kemampuan untuk berpikir dan

menyelesaikan masalah sendiri.

b.

Aspek sosial, yaitu kemampuan untuk membina relasi secara aktif.

c.

Aspek emosi, yaitu kemampuan untuk mengelola emosinya sendiri.

d.

Aspek ekonomi, yaitu kemampuan untuk mengatur ekonomi sendiri.

Nashori (1999) menyebutkan bahwa kemandirian mengandung

beberapa aspek. Aspek-aspek yang terdapat dalam kemandirian antara lain:

a.

Bebas

Bebas dapat terlihat dengan tindakan yang disesuaikan dengan keinginan

sendiri tanpa pengaruh dan paksaan dari orang lain.

b.

Mempunyai Inisiatif

Inisiatif dapat ditunjukkan dengan munculnya ide atau gagasan untuk

menghadapi dan memecahkan masalah yang menjadi persoalan dalam

hidupnya

c.

Gigih dan ulet

Gigih dapat berarti berusaha dengan tekun dan tanpa putus asa mengejar

prestasi dan merealisasikan harapan dan keinginan- keinginannya

d.

Percaya pada diri sendiri

Percaya diri artinya dengan mantap dan dengan penuh kepercayaan

(42)

e.

Pengendalian diri

Pengendalian diri ditunjukkan dengan adanya kemampuan diri untuk

menyesuaikan keinginan sendiri dan mempengaruhi lingkungan atau

memperhatikan norma-norma yang berlaku.

Kemandirian secara psikologis dianggap penting karena seseorang

berusaha untuk menyesuaikan diri secara aktif dengan lingkungannya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa secara

umum kemandirian memiliki beberapa aspek yaitu: aspek percaya diri,

bebas, inisiatif, gigih dan ulet serta pengendalian diri. Percaya diri dapat

ditunjukkan dengan adanya kepercayaan pada diri sendiri untuk melakukan

tindakan dengan usaha sendiri. Bebas dapat ditunjukkan dengan adanya

tindakan yang dilakukan sendiri tanpa adanya paksaan dari orang lain.

Inisiatif dapat ditunjukkan dengan munculnya ide atau gagasan. Gigih dan

ulet dapat ditunjukkan dengan kemampuan untuk bertekun dalam suatu

tugas. Pengendalian diri ditunjukkan dengan adanya kemampuan untuk

memperhatikan lingkungannya.

4.

Kemandirian Belajar Anak Usia Pra Sekolah

Masa pra sekolah merupakan periode yang sangat penting dalam

perkembangan anak, karena interaksi sosial yang terjadi pada masa tersebut

akan menentukan dasar sikap dan tingkah laku yang berhubungan dengan

orang lain, kelompok maupun kehidupan sosial secara luas (Kibtiyah, 2003).

(43)

pendidikan pra sekolah adalah pendidikan untuk membantu pertumbuhan

dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik di luar lingkungan

keluarga sebelum memasuki pendidikan dasar yang diselenggarakan di jalur

pendidikan sekolah atau di jalur pendidikan luar sekolah. Tujuan

didirikannya pendidikan pra sekolah adalah untuk membantu meletakan

dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya

cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan

lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya.

Taman kanak-kanak merupakan salah satu bentuk pendidikan pra

sekolah. Menurut Bambang (dalam Hartono, 2005) prinsip belajar di TK

adalah bermain. Meski hanya bermain, tetapi banyak manfaatnya yaitu anak

bisa mengembangkan seluruh potensinya lewat bermain sehingga saat terjun

ke sekolah formal sesungguhnya dia bisa memahami keberadaan di

lingkungannya bahwa ia punya tanggung jawab, bisa mengikuti peraturan,

tata tertib, dan disiplin-disiplin yang diberikan. Siskandar (dalam Damayanti,

2005) mengatakan bahwa program kegiatan belajar di sekolah seharusnya

menanamkan dan menumbuhkan pentingnya pembinaan perilaku dan sikap

yang dapat dilakukan melalui pembiasaan yang baik sejak dini agar anak

tumbuh menjadi pribadi yang matang dan mandiri serta melatih anak untuk

hidup bersih dan sehat serta kebiasaan disiplin dalam kehidupan sehari-hari.

Kemandirian yang harus dikembangkan oleh setiap anak terutama oleh

anak TK banyak jenisnya, salah satunya adalah kemandirian dalam hal

(44)

siswa dalam mengembangkan kemampuannya. Dengan belajar secara

mandiri, maka diharapkan anak dapat berkembang sesuai dengan

kemampuan yang dimiliki.

Adapun pengertian kemandirian belajar menurut Abu Ahmadi (1990)

merupakan belajar secara mandiri, tidak menggantungkan diri kepada orang

lain. Disini siswa dituntut untuk memiliki inisiatif, keaktifan dan keterlibatan

dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan prestasi belajar. Menurut

Tresna sastra Wijaya (dalam Wahyuningtyas, 2004), kemandirian belajar

dapat berarti studi bebas mengatur sendiri atau belajar dengan tenaga sendiri,

belajar memutuskan sendiri, mengatur sendiri atau belajar dengan kecepatan

sendiri. Abas (2007) menjelaskan bahwa kemandirian belajar dapat diartikan

sebagai suatu keadaan atau kondisi aktivitas belajar dengan kemampuan

sendiri, tanpa bergantung kepada orang lain.

Kemandirian anak usia pra sekolah berada pada tahap pra operasional,

yaitu dimana anak sudah mampu melakukan tingkah laku simbolis. Anak

tidak lagi mereaksi begitu saja terhadap stimulus-stimulus melainkan

nampak ada suatu aktivitas internal. Karena pada taman kanak-kanak,

pembelajaran yang diberikan lebih menekankan pada pengalaman langsung

pada benda maupun manusia, maka kemandirian belajar yang dilakukan pun

lebih pada aktivitas fisik/ motorik kasar.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan yang dimaksud

dengan kemandirian belajar adalah kemampuan anak untuk belajar dengan

(45)

ciri-ciri kemandirian belajar pada anak TK adalah sebagai berikut: memiliki

sikap bebas, mempunyai inisiatif, gigih dan ulet, memiliki kepercayaan diri,

serta memiliki pengendalian diri.

C.

KELEKATAN

1.

Pengertian Kelekatan

Pada dasarnya, kelekatan merupakan hal yang wajar terjadi pada

anak, karena tingkah laku lekat merupakan kecenderungan dasar pada

anak yang sudah ada sebelum proses-proses belajar dapat terjadi (Hartup

dalam Hurlock, 1973). Kelekatan merupakan salah satu gejala adanya

saling ketertarikan pada manusia.

Adapun yang dimaksud dengan pengertian kelekatan menurut

Ainsworth (dalam Pelawi, 2004) merupakan suatu ikatan yang bersifat

afeksional pada seseorang yang ditunjukkan pada orang-orang tertentu

atau yang disebut figur lekat dan berlangsung secara terus- menerus. C,

Wenar & P, Kerig (2000), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan

kelekatan adalah ikatan cinta yang berkembang antara anak dan ibu dalam

tahun pertama kehidupannya.

Menurut Freeney dan Noller (Rachmawatie, 2002) kelekatan

diidentifikasikan dengan mencintai dan memiliki, keinginan atau hasrat

untuk dapat bersama orang-orang tertentu. Kelekatan ditandai dengan

adanya saling ketergantungan yang kuat, ikatan emosional yang timbal

(46)

proses berkembangnya ikatan emosional secara resiprokal (timbal balik)

antara bayi/anak dengan pengasuh (orangtua).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan yang dimaksud

dengan kelekatan adalah ikatan yang bersifat emosional dan terjadi secara

intens (terus menerus) dan timbal balik (resiprokal) antara bayi/anak

dengan pengasuh (orang tua).

2.

Teori Kelekatan

Menurut Hartup (dalam Pratidarmanastiti, 2003) kelekatan pada anak

dapat ditinjau dari 2 segi. Segi yang pertama menunjukkan bahwa

kelekatan terjadi karena proses belajar, sedangkan segi yang lain

menyatakan bahwa kelekatan merupakan ciri khas manusia. Manusia

mempunyai ciri khas untuk bercakap-cakap, untuk mengadakan manipulasi

dan eksplorasi benda-benda, untuk mencari kontak dengan manusia lain.

Dari ciri khas tersebut, muncullah kelekatan. Pendapat yang kedua ini

dianggap lebih mendekati kenyataan. Kelekatan merupakan kecenderungan

dasar pada anak yang sudah ada sebelum proses-proses belajar dapat

terjadi.

Ada 2 teori yang mengemukakan mengenai kelekatan:

Teori Differensiasi

Teori ini didasarkan pendapat Bowlby (1951). Dalam teori ini

menjelaskan mengenai perbedaan antara ketergantungan dan

(47)

kecenderungan umum pada anak untuk mencari kontak sosial lepas

dari identitas orangnya. Kemudian yang dimaksud dengan

kelekatan dalam teori ini adalah mencari dan mempertahankan

kontak dengan orang- orang tertentu saja. Biasanya orang pertama

yang dipilih dalam kelekatan adalah ibu (pengasuh), ayah atau

saudara-saudaranya.

Menurut teori differensiasi ini, anak dianggap relatif mempunyai

kelekatan dengan ibunya sampai kurang lebih usia 6 tahun. Baru

sesudahnya anak akan mengadakan ikatan-ikatan dengan orang

dewasa lainnya.

Teori Parallel

Teori ini didasarkan pada teori Maccoby dan Masters (1970). Teori

ini berpendapat bahwa anak sesudah umur satu tahun segera akan

menunjukkan kelekatan terhadap orang-orang dewasa maupun

pada anak-anak sebaya lainnya. Sebelum usia satu tahun anak akan

mencari obyek lekatnya pada satu orang saja, biasanya ibunya.

Masih menurut teori ini, kelekatan anak pada anak-anak sebayanya

dapat memberikan banyak pengaruh terhadap pelajaran tingkah

laku anak.

(Pratidarmanastiti, 2003)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua teori

(48)

yang dikemukakan oleh John Bowlby dan teori parallel yang didasarkan

padateori Maccoby dan Masters.

3.

Gaya Kelekatan

Menurut C, Wenar & P, Kerig (2000) , gaya kelekatan terdiri dari 2

macam yaitu gaya kelekatan aman (

secure attachment

) dan gaya kelekatan

tidak aman (

insecure attachment

). Masing-masing gaya kelekatan pada

anak itu, akan mempengaruhi anak dalam menghadapi lingkungannya.

a.

Kelekatan Aman (

Secure Attachment

)

Hubungan kelekatan yang aman antara pengasuh dengan anak

dapat terjadi apabila pengasuh sensitif dan responsif terhadap anak,

merawat serta memenuhi kebutuhan anak secara tepat. Pengasuh yang

memiliki sensitifitas dan responsifitas yang baik biasanya memiliki

ciri-ciri: (1)memiliki respon yang konsisten terhadap kebutuhan anak

misalnya: dengan secara rutin memberi makan, merawat serta

memeluk anak dengan tulus, tidak meninggalkan anak ketika

merengek tetapi secara tepat dapat menenangkan si anak. (2) mampu

menunjukkan kasih sayang secara tepat misalnya: sering melakukan

kontak mata dengan anak, mengasuh dan menjaga anak, mengajak

berbicara, menunjukkan kesabaran dan kehangatan. Sehingga dengan

demikian anak akan merasa aman dan nyaman, dan menganggap

pengasuh sebagai tempat berlindung yang baik Chisholm (1996),.

(49)

pengasuh peka terhadap kebutuhan anak serta memberikan perhatian

dan kasih sayang yang tepat, hangat dan konsisten kepada anak.

Menurut Rini (2002), kelekatan yang aman akan dialami oleh

individu yang menerima kasih sayang yang stabil dari kehadiran

orang tua yang konsisten; sehingga bayi atau anak dapat merasakan

sentuhan hangat, gerakan lembut, kontak mata yang penuh kasih dan

senyuman orangtua. Hubungan kelekatan antara orang tua dan anak

tersebut dapat mempengaruhi beberapa hal antara lain rasa percaya

diri, kemampuan membina hubungan yang hangat, mengasihi sesama

dan peduli pada orang lain serta disiplin. Selain itu, kelekatan yang

baik juga akan menumbuhkan perkembangan intelektual dan

psikologis yang sehat.

Menurut C, Wenar & P, Kerig (2000), kelekatan memiliki 2 apek

dasar yaitu pengasuhan dan situasi baru (meliputi perpisahan,

pertemuan kembali, eksplorasi dan karakteristik umum). Penerapan

kedua aspek tersebut dalam gaya kelekatan aman:

1)

Pengasuhan

Pengasuh sensitif dan responsif terhadap kebutuhan anak, serta

memberikan perhatian dan kasih sayang yang tepat, hangat dan

konsisten kepada anak.

2)

Situasi Baru

(50)

Anak yang

secure

mungkin atau tidak mungkin merasa

terganggu dengan adanya perpisahan. Mereka akan menjadi

terbatas dalam mengeksplorasi lingkungan ketika pengasuh

tidak ada bersamanya.

b)

Pertemuan kembali

Anak yang

secure

mampu memiliki kemampuan untuk

menerima kembali dan menyambut positif pengasuh, serta

menjadi nyaman.

c)

Eksplorasi

Anak yang

secure

mampu mengeksplorasi lingkungan secara

bebas dan percaya diri dengan adanya pengawasan dari

pengasuh.

d)

Karakteristik Umum

Anak yang

secure

mengembangkan citra diri positif, memiliki

rasa aman, percaya diri serta memiliki ekspresi emosi.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

kelekatan aman dapat terjadi apabila pengasuh sensitif dan responsif

terhadap anak, serta memberikan perhatian dan kasih sayang yang

tepat, hangat dan konsisten kepada anak. Anak yang

secure

memberikan respon yang positif terhadap pengasuh, dan memiliki

keyakinan dalam bertindak. Mereka sebenarnya tidak menyukai

perpisahan dengan pengasuh dan akan menjadi terbatas dalam

(51)

mereka memiliki kemampuan untuk menyambut secara positif

pengauhnya ketika terjadi pertemuan kembali dan merasa tenang.

Anak yang secure mampu mengeksplorasi lingkungan secara bebas

dan percaya diri dengan adanya pengawasan dari pengauh. Mereka

juga mengembangkan citra diri yang positif dan percaya diri terhadap

kemampuannya.

b.

Kelekatan Tidak Aman (

Insecure Attacment

)

Insecure attachment

berkembang disebabkan karena pengasuh

yang utama tidak merespon secara konsisten dalam cara memberi

kehangatan, kasih, cinta, kepercayaan dan kepekaan terhadap

kebutuhan anak (C, Wenar & P, Kerig, 2000).

Insecure attachment

dibagi lagi menjadi 2 macam, yaitu: gaya

kelekatan menghindar (

Avoidant insecure

) dan gaya kelekatan cemas

(

Anxious insecure

).

1)

Gaya Kelekatan Menghindar (

Avoidant insecure

)

Gaya kelekatan menghindar berkembang disebabkan karena

pengasuh dalam memberikan pengasuhan cenderung menjaga jarak

dengan anak, bahkan cenderung mengabaikan kebutuhan anak.

Disini pengasuh menggabungkan antara perasaan marah dan

jengkel ketika dekat dengan anak. Keadaan ini dapat menyebabkan

hilangnya rasa nyaman pada anak (C, Wenar & P, Kerig, 2000).

(52)

memperlihatkan sikap memusuhi serta sering meninggalkan anak,

dan juga terkadang mengabaikan kontak mata dengan anak.

Berdasarkan hasil penelitian Collins dan Read (dalam Pelawi,

2004) terbukti bahwa orang dengan gaya kelekatan menghindar

merasa tidak percaya pada ketersediaan orang lain, merasa tidak

nyaman dengan kedekatan dan keintiman serta tidak takut

ditinggal. Menurut penelitian Kobak dan Sceery (dalam

Bartholomew dan Horowitz, 1991) menunjukkan bahwa orang

dengan gaya kelekatan menghindar sangat percaya diri, tetapi

kurang dapat mengekspresikan emosinya, kurang hangat, kurang

terbuka, tidak dapat menyandarkan diri pada orang lain dan

menggunakan orang lain sebagai tempat yang aman, serta lebih

cenderung mengontrol dalam hubungan persahabatan.

Penerapan aspek kelekatan dalam gaya kelekatan menghindar

adalah sebagai berikut:

1)

Pengasuhan

Pengasuh dalam memberikan pengasuhan cenderung menjaga

jarak dengan anak, bahkan cenderung mengabaikan kebutuhan

anak, memperlihatkan sikap memusuhi serta sering meninggalkan

anak, dan juga terkadang mengabaikan kontak mata dengan anak.

2)

Situasi Baru

(53)

Anak yang

avoidant

jarang menunjukkan kesedihan atau

kecemasan ketika terjadi perpisahan dengan pengasuhnya.

b)

Pertemuan Kembali

Anak yang

avoidan

t cenderung mengabaikan atau

menghindari pengasuh ketika terjadi pertemuan

c)

Eksplorasi

Dalam mengekplorasi lingkungan, anak yang

avoidant

cenderung terlihat asyik sendiri, dan mengabaikan kontak

dengan orang lain.

d)

Karakteristik Umum

Anak yang

avoidant

akan mengembangkan diri sebagai anak

yang bebas dan suka menentang

Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka dapat disimpulkan

bahwa yang dimaksud dengan gaya kelekatan menghindar adalah

kelekatan yang terjadi karena pengasuh dalam memberikan

pengasuhan cenderung menjaga jarak dengan anak, bahkan

cenderung mengabaikan kebutuhan anak, memperlihatkan sikap

memusuhi serta sering meninggalkan anak, dan juga terkadang

mengabaikan kontak mata dengan anak. Anak yang

avoidant

jarang menunjukkan kecemasan ketika terjadi perpisahan, dan

cenderung mengabaikan atau menghindari pengasuh ketika terjadi

pertemuan. Dalam mengeksplorasi lingkungan, mereka terlihat

(54)

orang lain. Anak

avoidant

menjadi terlalu bebas dan suka

menentang.

2)

Gaya Kelekatan Cemas (

Anxious insecure

)

Gaya kelekatan cemas berkembang karena pengasuh dalam

memberikan pengasuhan ditandai dengan

unpredictability

/ tidak

dapat ditebak. Di satu sisi, pengasuh terlalu dekat dengan anak dan

terlalu cemas pada kebutuhan anak, sehingga dia akan terlalu

mencampuri semua kebutuhan anak. Bahkan pengasuh akan

merasa bersalah dan sedih apabila dirasa tidak mampu untuk

memenuhi kebutuhan si anak (Chisholm, 1996). Tetapi di sisi lain

dia tidak terlibat atau mudah marah pada suatu waktu.

Ketidakstabilan ini berakar dari tingginya harapan yang tidak

realistik dari si ibu atau pengasuh bahwa dia dapat sepenuhnya

mencintai dan melindungi si anak (C, Wenar & P, Kerig, 2000)

Individu dengan gaya kelekatan cemas memiliki ciri

mengembangkan model mental dirinya merupakan orang yang

kurang pengertian, kurang percaya diri dan merasa kurang berharga

serta mengembangkan model mental mengenai orang lain sebagai

orang yang mudah berubah-ubah pendapat dan mempunyai

komitmen yang rendah dalam berhubungan. Menurut Collins dan

Read (1990) individu dengan gaya kelekatan cemas mempunyai

keyakinan negatif mengenai diri sendiri dan orang lain,

(55)

atau dicintai orang lain, memandang orang lain sebagai orang yang

kurang menolong dan susah untuk dimengerti.

Lebih lanjut lagi menurut penelitan Ainswoth (dalam Pelawi,

2004) membuktikan bahwa anak-anak yang lekat cemas

menunjukkan tingkah laku ambivalen terhadap kedatangan ibu.

Mereka tampak mengalami konflik, disatu sisi memperlihatkan

kecenderungan untuk dekat dengan ibu, tetapi begitu digendong

ibunya mereka meminta segera diturunkan dengan menunjukkan

ekspresi emosi yang berlebihan.

Penerapan aspek-aspek kelekatan dalam gaya kelekatan cemas

adalah sebagai berikut:

1)

Pengasuhan

pengasuh kurang tepat dalam memberi respon,

unpredictabillity

/

tidak dapat ditebak. Di satu sisi dia terlalu dekat dan cemas

terhadap kebutuhan bayi sehingga dia akan terlalu mencampuri

semua hal mengenai kebutuhan anak, namun disisi lain dia tidak

terlibat dengan anak.

2)

Situasi Baru

a)

Perpisahan

Gambar

Gambar 1. Skema Dinamika Psikologis ……………………………….
Tabel I: Aspek Gaya kelekatan
Tabel I1: Penjelasan Mengenai Komponen
Tabel III: Penjelasan Mengenai Komponen
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut selaras dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Brown dan Dacin (1997) dimana reputasi perusahaan sangat penting dari sudut pandang nasabah untuk

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pengetahuan nasabah (X1), kualitas dan layanan (X2), reputasi bank (X3), dan tingkat nilai margin (X4) sebagai variabel

Perkembangan pembangunan Kota Makassar khususnya di Kecamatan Tamalanrea yang semakin pesat ditandai dengan maraknya bangunan komersial di satu sisi menunjukkan

Beberapa transaksi hukum yang menggunakan konsep-konsep nominee di Indonesia, yang paling tegas melarang terdapat di Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu ditetapkan Peraturan Walikota tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Program Jaminan Kesehatan

Latar belakang penelitian ini dilandasi oleh pentingnya pewarisan budaya lokal pada seni rejung. Terkait hal tersebut, maka desain pembelajaran vokal dasar seni rejung harus

Oleh kerana Barat menguasai media komunikasi dunia, segala berita dan maklumat yang disiarkan di seluruh dunia adalah lebih berpihak kepada mereka dan menindas mana-mana

Kolam yang digunakan sebagai demplot ini digunakan untuk kegiatan pembesaran lele organik dimana padat penebaran benih ikan lele yaitu ±333 ekor/m2 dengan ukuran benih 5 cm