PERBEDAAN KEMANDIRIAN BELAJAR PADA ANAK TK DITINJAU DARI
GAYA KELEKATAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi)
Program Studi Psikologi
Oleh: Sri Lestari NIM : 039114085
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
MOTTO
Tidak selalu bintang bersinar di waktu malam,
Tetapi itu tidak membuktikan bahwa
bintang itu tidak ada.
Pada saat kita tidak melihat
pertolongan Tuhan dalam hidup kita,
itupun tidak membuktikan bahwa
pertolonganNya tidak ada.
Tetapi selalu tepat pada waktuNya.
Kita tidak tahu kapan,
Tetapi siapa yang terus menantiNya
Mendapat kekuatan baru.
Jadi jangan pernah berhenti berharap
Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. ( Pengkotbah, 3:11)
Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengaihi Dia.
v
TAK PERNAH CUKUP
Kadang aku tahu harus mengucapkan apa,
Berterima kasih atas semua yang kaulakukan,
Tapi semua kata terbang entah kemana,
Secepat datangnya ke ribaan.
Bagaimana aku bisa cukup berterima kasih,
Pada orang yang membuat hidupku lengkap,
Pada orang yang memberikan anugerah,
Yang membuat jiwaku terbentuk mantap.
Orang yang menyelimutiku tiap malam,
Orang yang menghentikan tangisanku,
Orang yang sangat ahli dalam,
Menelanjangi semua kebohonganku.
Orang yang selalu berkorban
Untuk selalu mendahulukanku,
Yang membiarkanku menguji sayap patahku,
Meski menyakitkan bagimu.
Adakah kata-kata yang tepat?
Bagiku pertanyaan ini tak mudah
Apapun yang ingin kukatakan -sangat sarat,,
Terasa tak pernah sudah.
Cara apa yang ada untuk berterima kasih,
Bagi hatimu, keringatmu, air matamu,
Bagi sepuluh ribu hal kecil,,
Bagi tak terhitung banyaknya usiamu.
Bagi kerelaanmu berubah bersamaku,
Menerima semua kelemahanku,
Tidak mencintai karena terpaksa,,
vi
Dan karena itu aku sadar,
Satu-satunya cara mengatakan,
Satu-satunya terima kasih yang bukan sekadar,
Hanya jelas dalam semua ungkapan.
Tataplah aku di depanmu
Lihat aku telah menjadi apa,
Apa kaulihat dirimu dalam diriku?
Tugas yang telah kaulakukan?
Semua harapan dan mimpimu,
Kekuatan yang tak terlihat siapapun,
Peralihan selama bertahun-tahun,
Yang terbaik darimu ada dalam diriku.
Terima kasih atas semua anugerahmu,,
Untuk semua yang kaulakukan,
Tapi TERIMA KASIH mama, papa, terutama,
Karena membuat mimpi jadi kenyataan.
Chicken
soup.
KARYA SEDERHANA INI KUPERSEMBAHKAN UNTUK
:
vii
ABSTRAK
Sri Lestari (2008). Perbedaan Kemandirian Belajar Pada Anak TK Ditinjau Dari
Gaya Kelekatan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kemandirian
belajar pada anak TK ditinjau dari gaya kelekatan. Gaya kelekatan dibagi menjadi
tiga jenis yaitu: gaya kelekatan aman, menghindar dan cemas. Hipotesis dalam
penelitian ini adalah ada perbedaan kemandirian belajar pada anak TK ditinjau
dari gaya kelekatan.
Subyek dalam penelitian ini adalah anak-anak kelas TK A Mater Dei
Marsudirini Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 yang berjumlah 112 anak. Alat
pengumpulan data menggunakan skala tingkat kemandirian belajar yang memiliki
reliabilitas sebesar 0, 903 dan skala tiga gaya kelekatan yang masing-masing
memiliki nilai reliabilitas untuk skala kelekatan aman sebesar 0, 878, skala gaya
kelekatan menghindar 0, 723 dan gaya kelekatan cemas 0, 834.. Perbedaan tingkat
kemandirian belajar antara tiga kelompok gaya kelekatan dianalisis dengan
menggunakan analisis varians satu jalur (
one way anova
).
viii
ABSTRACT
Sri Lestari. (2008). The Difference Level of Learning Autonomy Kindergarten
Children Observed From Attachment Style. Yogyakarta: Faculty of Psychology,
Sanata Dharma University.
The aim of this research was to find out the differences level of learning
autonomy Kindergarten children observed from attachment style. Attachment
style was classified into three types, i.e secure, avoidant and anxious attachment.
The hypothesis in this research was there is a difference level of learning
autonomy Kindergarten children observed from attachment style.
The subjects were 112 children from Mater Dei Marsudirini Kindergarten
class A Yogyakarta, attended 2007/2008. The data was collected by using level of
learning autonomy scale reliability 0,903 and three attachment style scale with
reliability amount 0,878 for secure attachment, 0,723 for avoidant attachment and
reliability amount 0,834 for anxious attachment. The difference level of learning
autonomy between three attachment style group was analyzed by one way anova.
The result was showed that F count amount of 44,052 which means that it’s
bigger than F table (3,276) with significant level was 0.00 (p>0,05). This result
showed that there was significant differences level of learning autonomy
kindergarten children observed from attachment style. Beside that, was known
that mean for secure attachment amount of 113,38, for avoidant attachment
amount of 98,7 and for anxious attachment amount of 95,26. It’s mean that there
was differences level of learning autonomy between secure attachment and
avoidant attachment. Beside that, there was differences level of learning
autonomy between secure attachment and anxious attachment. This research also
showed that children with secure attachment have the highest level of learning
autonomy
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa di surga atas kasih
dan karunia-Nya yang berlimpah, sehingga penulis dapat menyeleaikan penulisan
skripsi dengan judul
Perbedaan Kemandirian Belajar pada Anak TK Ditinjau
dari Gaya Kelekatan
.
Penyusunan skripsi ini merupakan syarat untuk
mendapatkan gelar Sarjana Psikologi (S.Psi) di Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
Semua yang tertuang dalam skripsi ini diperoleh dengan kerja keras dan
tidak lain karena peran, bantuan, bimbingan, motivasi, dukungan, dan doa dari
beberapa pihak, dan karenanya penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1.
Bapak Paulus Edy Suhartanto, S.Psi., M.Si, selaku Dekan Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan izin
penelitian.
2.
Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., Psi., M.Si, selaku dosen pembimbing
skripsi dan dosen pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu
dan perhatian, serta banyak membantu selama diskusi dan bimbingan
sehingga akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
3.
Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, MS. sebagai penguji 1 yang telah
memberikan kritik, masukan dan saran kepada penulis.
4.
Bapak YB. Cahya Widiyanto, S.Psi., yang telah memberikan kritik, saran
dan masukan kepada penulis.
5.
Ibu Ratri Sunar Astuti, S.Psi., M.Si selaku dosen pembimbing akademik
xi
6.
Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S.PSi., M.Si yang dengan sabar berkenan
memberikan masukan dan diskusi kepada penulis.
7.
Segenap dosen-dosen Fakultas Psikologi yang telah memberikan
pengetahuan, ilmu dan wawasan kepada penulis.
8.
Ibu Rina Sutanti, selaku Kepala Sekolah TK Kanisius Demangan Baru
Yogyakarta yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan
uji coba.
9.
Sr. Francisia, OSU., selaku Kepala Sekolah TK Mater Dei Marsudirini
Yogyakarta yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan
penelitian.
10.
Guru-guru wali kelas TK A Kanisius Demangan baru dan Mater Dei
Marsudirini yang telah berkenan meluangkan waktu dan sedikit
‘direpotkan’ untuk membantu penulis dalam melaksanakan penelitian.
11.
Mas Gandung, Pak Gie, dan Mbak Nanik yang telah membantu kelancaran
dan kemudahan pada penulis dalam mengurus kepentingan akademik.
12.
Mas Muji selaku laboran yang udah banyak membantu selama kegiatan
praktikum dan Mas Doni yang memberi kemudahan dalam peminjaman
buku. Matur nuwun sanget
☺
13.
Papa dan mama tersayang, Matius Eman S dan Anselma Engkan K atas
kesabaran dan kepercayaan yang mungkin sedikit terkikis, tulusnya doa
dan cinta, dukungan moral dan material, serta semangat yang mengiringi
langkah penulis. Makasih ya mah pa, maaf kalau ‘
teteh
’ tidak bisa
xii
14.
Kedua adikku, Uju dan Iman, untuk kebersamaan dan keceriaan yang telah
dilewati. Makasih atas doa, dukungan, dan ‘semangat’ yang diberikan
pada ‘
teteh
’.
15.
Keluarga besar Kartaatmadja dan Manggar, atas doa serta dukungan moriil
dan materiil kepada penulis.
16.
Kakak-kakakku, Aa Andi untuk motivasi, dukungan dan doa yang
diberikan. Teh Vivi untuk semua nasihat dan saran bagi penulis agar bisa
menjadi lebih dewasa. Teh Susi, Teh Yesi, Teh Lia “Enok”, Aa Indra
untuk semua dukungan baik moral maupun materiil.
Hatur nuhun
nya aa,
teteh!!!
17.
Kedua Sahabatku, Susan dan Thian untuk keceriaaan, canda tawa dan
kebersamaan yang udah terjalin. Makasih untuk sindirannya yang pelan
tapi dalem juga. “Fuihh…..akhirnya, bosen juga aku kuliah, hehe
☺
.
tunggu aku di Jakarta ya!!”
18.
Teman, sahabat, dan saudara terbaikku Dwi Sadela Maharangitha atas
seluruh
moment
yang terjadi dan segala pengalaman yang membuat kita
lebih kaya dalam memaknai hidup. Makasih juga untuk semua
support
dan
dukungan di saat aku merasa ‘jatuh’ dalam hidupku.
19.
Sahabat-sahabat hatiku: Tina & Dek Siska,
thanks
ya untuk persahabatan
dan persaudaraan yang dah terjalin.
Sorry
, kalo aku sering ngerepotin
kalian
☺
. Mbak Dewi, yang dah jadi ‘mama’ buatku selama di jogja..
Mbak Ria, Wati, Mas Bowo, Rickie. Y
ou make me standing still with
xiii
20.
Teman-teman yang udah dengan setia nungguin sidang: Risa, Suci, Nice,
Dek siska, Dek Esti, Mbak Dewi, Mbak Shary, Mbak Iant, Christa, Monik,
Abhe, Arif, Benny’04, Mas Dedi’02, Nanang. Kehadiran kalian
memberikan kekuatan buatku, matur nuwun
☺
21.
Teman-temanku: Netly, Nice yang dah berbagi pengetahuan dan diskusi.
Sr. Hedwig, Itha, Okky, Sadewo untuk supportnya. Mbak Dewi ‘Ndut’
yang udah pinjemin buku.
22.
Every single guy in
: Wisma Rosari (khususnya anak-anak atas: makasih
buat bantuan kalian dalam latihan presentasi
☺
), Psikologi angkatan 2003,
P2TKP, kelp. KKN Ceporan angkatan XXXIII, atas untaian cerita yang
mengisi hari-hariku,
23.
Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang secara
langsung ataupun tidak langsung sudah membantu dalam penyusunan
skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis
dengan rendah hati mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, dan
bersedia menerima segala kritik maupun saran yang membangun.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu
pengetahuan pada umumnya dan semua orang yang membaca skripsi ini pada
khususnya. Tuhan memberkati.
Yogyakarta, Maret 2008
xv
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
LEMBAR PUBLIKASI KARYA ILMIAH... ix
KATA PENGANTAR ... x
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... xiv
DAFTAR ISI ... xv
DAFTAR TABEL ...xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A.
Latar Belakang ... 1
B.
Rumusan Masalah ... 7
C.
Tujuan Penelitian ... 7
D.
Manfaat Penelitian ... 8
1.
Manfaat Teoretis ... 8
2.
Manfaat Praktis ... 8
BAB II LANDASAN TEORI ... 9
A.
Anak Pra Sekolah ... ... 9
1.
Pengertian Anak Pra Sekolah ... 9
2.
Ciri-Ciri Anak Pra Sekolah ... 12
3.
Tugas-Tugas Perkembangan Anak Pra Sekolah ... 13
B.
Kemandirian Belajar ... 14
1.
Pengertian Kemandirian ... 14
xvi
3.
Aspek-aspek Kemandirian... 20
4.
Kemandirian Belajar Anak Pra Sekolah ... 22
C.
Kelekatan ... 25
1.
Pengertian Kelekatan ... 25
2.
Teori Kelekatan ... 26
3.
Gaya Kelekatan ...28
a.
Kelekatan Aman (
Secure Attachment
) ...28
b.
Kelekatan Tidak Aman (
Insecure Attahment
) ... 31
1)
Kelekatan menghindar (
Avoidant attachment
) ... 31
2)
Kelekatan Cemas (
Anxious Attachment
) ...34
D.
Perbedaan Kemandirian Belajar Ditinjau Dari Gaya Kelekatan ... 39
E.
Hipotesis Penelitian ... 45
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46
A.
Jenis Penelitian ... 46
B.
Identifikasi Variabel Penelitian ... 46
C.
Definisi Operasional ... 46
1.
Kemandirian Belajar ... 46
2.
Gaya Kelekatan ... 48
a.
Kelekatan Aman ... 49
b.
Kelekatan Manghindar ... 50
c.
Kelekatan Cemas ... 51
D.
Subjek Penelitian ... 52
E.
Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 53
1.
Skala Tingkat Kemandirian Belajar ... 54
2.
Skala Gaya Kelekatan ... 56
F.
Prosedur Penelitian ... 57
G.
Pertangung Jawaban Alat ... 58
1.
Uji Validitas ... 59
2.
Analisis Aitem ... 59
3.
Uji Reliabilitas ... 59
xvii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61
A.
Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 61
1.
Tahap Persiapan ... 61
2.
Tahap Penelitian ... 61
B.
Orientasi Kancah ... 62
C.
Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 63
1.
Uji Validitas ... 63
2.
Analisis Aitem ... 64
3.
Uji Reliabilitas ... 67
D.
Hasil Penelitian ... 68
1.
Deskripsi Data Penelitian ... .... 68
a.
Data Subyek Penelitian berdasarkan Gaya Kelekatan.…………. 68
b.
Kategorisasi Skor Kemandirian Belajar ………... 71
c.
Data Kemandirian Belajar Ditinjau Dari Gaya Kelekatan ……... 71
2. Uji Asumsi Penelitian ……….. 74
a.
Uji Normalitas Sebaran ……….. 74
b.
Ui Homogenitas Varians ………....… 75
3.
Uji Hipotesis ………. 76
a.
Pengujian Hipotesis Mayor ………... 76
b.
Pengujian Hipotesis Minor ………..………... 77
E.
Pembahasan ... 79
BAB V KESIMPULAN dan SARAN ... 90
A.
Kesimpulan ... 90
B.
Saran ... 90
C.
Kelemahan Penelitian ... 92
DAFTAR PUSTAKA ... 84
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel I Aspek Gaya Kelekatan ... 37
Tabel II
Penjelasan Mengenai Komponen
Skala Kemandirian Belajar
(sebelum uji coba) ... 55
Tabel III Penjelasan Mengenai Komponen
Skala Gaya Kelekatan
(Sebelum uji coba) ... 57
Tabel IV Skala Kemandirian Belajar
(Setelah uji coba) ……… 64
Tabel V
Skala Gaya Kelekatan
(Setelah uji coba) ……….. 65
Tabel VI
Skala Kemandirian Belajar
(penelitian) ……… ... 66
Tabel VII
Skala Gaya Kelekatan
(penelitian)………... 67
Tabel VIII
Jumlah subyek penelitian berdasarkan
gaya kelekatan ……….………. 70
Tabel IX Data tingkat kemandirian belajar
ditinjau dari gaya kelekatan ………
72Tabel X Hasil Perhitungan
One-Sample Kolmogorov-Smirnov
……... 74
Tabel XI Ringkasan Levene Test ……… 75
Tabel XII Hasil ANOVA ……….. 76
xix
DAFTAR GAMBAR
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Skala
Try Out
Lampiran Koefisien Reliabilitas Skala
Try Out
Kemandirian Belajar
Lampiran Koefisien Reliabilitas Skala
Try Out
Kelekatan
Lampiran Skala Penelitian
Lampiran Koefisien Reliabilitas Skala Penelitian Kemandirian Belajar
Lampiran Koefisien Reliabilitas Skala Penelitian Kelekatan
Lampiran Hasil Uji Normalitas Data Hasil Penelitian
Lampiran Hasil Uji Homogenitas Data Hasil Penelitian
Lampiran Hasil Uji Hipotesis Data Hasil Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Taman Kanak-Kanak (Child-Centered Kindergarten) atau yang lebih
dikenal dengan istilah TK, merupakan persiapan dasar bagi anak-anak
memulai pendidikan formalnya. Sebagai persiapan untuk melanjutkan
pendidikan berikutnya, tentu saja aktivitas yang dilakukan di TK harus
mampu membimbing dan mengasuh anak agar mampu belajar secara
mandiri. Di sini, TK harus berpusat pada anak maksudnya adalah
pendidikan yang dilaksanakan melibatkan seluruh anak dan mencakup
kepedulian akan perkembangan fisik, kognitif, dan sosial anak. Penekanan
adalah pada proses belajar dan bukan pada apa yang dipelajari (Ballenger
dalam Santrock, 2002). Setiap anak mengikuti pola perkembangan yang
unik dan anak-anak kecil paling baik belajar melalui pengalaman pertama
(langsung) dengan manusia dan benda-benda. Akan tetapi, yang menjadi
permasalahan dewasa ini adalah kurikulum di kebanyakan Taman
Kanak-Kanak memberikan pengajaran secara langsung melalui kegiatan yang
bersifat abstrak dan melalui kertas-dan-pensil yang diberikan kepada
sejumlah besar anak kecil serta lebih banyak menekankan pada prestasi dan
keberhasilan yang dapat menyebabkan anak menjadi tidak mandiri
Padahal menurut Masrun dkk (1986), kemandirian secara psikologis
dianggap penting, karena seseorang berusaha untuk menyesuaikan diri
secara aktif dengan lingkungannya. Tanpa kemandirian, seseorang tidak
mungkin mempengaruhi atau menguasai lingkungan dan dikuasai
lingkungan. Dengan kata lain, kemandirian merupakan modal dasar bagi
manusia dalam menentukan sikap dan perbuatan terhadap lingkungannya
serta mendorong seseorang untuk berusaha dan berprestasi.
Begitu pula halnya dengan anak-anak yang belajar di TK, dimana
disini juga anak diajar untuk bersikap mandiri serta kreatif dalam memasuki
lingkungan yang baru. Dengan belajar mandiri, maka anak akan mudah
menyesuaikan diri terhadap lingkungannya serta meningkatkan rasa percaya
diri anak. Akan tetapi, jika anak tidak mampu untuk belajar secara mandiri
maka dia akan sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Menurut Kristiyani (dalam Sumarsih, 2006), kemandirian sangat berguna
dan perlu dimiliki oleh anak, karena sangat menentukan perkembangan
hidup anak sampai dewasa. Kemandirian perlu dibina sejak masa
kanak-kanak agar hasilnya lebih maksimal. Individu yang tidak belajar mandiri
sejak masa kanak-kanak akan mengalami kesulitan ketika menghadapi
masalah terutama dalam mengambil keputusan bagi dirinya sendiri. Sikap
mandiri yang diajarkan sejak masa kanak-kanak akan membuat individu
memiliki rasa percaya diri yang kuat dalam memutuskan sesuatu bagi
Salah satu kemandirian yang dikembangkan oleh anak adalah
kemandirian belajar di kelas. Kemandirian belajar dapat diartikan sebagai
suatu keadaan atau kondisi aktivitas belajar dengan kemampuan sendiri,
tanpa selalu bergantung kepada orang lain (Abas, 2007). Kemandirian
belajar pada anak TK dalam penelitian ini lebih pada kemandirian anak
untuk mengikuti kegiatan belajar ketika berada di sekolah. Karena di TK
aktivitas belajar lebih banyak mengandalkan motorik kasar (Sujiono dalam
Hartono, 2005), maka kemandirian belajar yang diungkap lebih pada
kemampuan anak untuk bereksplorasi, berani mengekspresikan dirinya,
memiliki inisiatif, mau berusaha menyelesaikan tugas yang diberikan.
Anak yang mandiri, biasanya akan mudah bergaul dengan
teman-teman sebayanya. Namun, tidak semua anak dapat belajar mandiri di dalam
kelas. Adapula anak yang tidak mau ikut serta secara aktif mengikuti
kegiatan di dalam kelas, dan hanya duduk diam di kursinya. Bahkan apabila
diberi tugas oleh gurunya, anak yang kurang mandiri akan cenderung
meminta pertolongan kepada orang lain, bahkan mereka tidak mau
mengerjakan apabila tidak dibantu. Keadaan tersebut, tentu saja dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang menyebabkan anak
tidak mampu belajar secara mandiri adalah kurang memiliki rasa aman
sehingga dia tidak memiliki kepercayaan diri dan kurang mampu
menyesuaikan diri ketika menghadapi lingkungan baru. Berbeda dengan
anak yang mandiri dimana dia memiliki rasa aman. Rasa aman pada anak
disekitarnya terutama orang tua (pengasuh). Rasa nyaman tersebut diperoleh
ketika pengasuh dapat memberikan kasih sayang yang konsisten dan tepat
dalam memberikan respon terhadap kebutuhan anak serta mampu
melindungi anak (C, Wenar & P, Kerig, 2000). Keadaan tersebut erat
kaitannya dengan kelekatan.
Pada dasarnya, kelekatan merupakan hal yang wajar terjadi pada anak,
karena tingkah laku lekat merupakan kecenderungan dasar pada anak yang
sudah ada sebelum proses-proses belajar dapat terjadi (Hartup dalam
Hurlock, 1973). Namun kelekatan akan menjadi masalah bila menimbulkan
ketergantungan. Kelekatan terjadi sejak masa bayi, namun akan
berpengaruh terhadap perkembangan di masa depannya Adapun yang
dimaksud dengan kelekatan adalah ikatan yang bersifat afeksional pada
seseorang yang ditunjukkan pada orang-orang tertentu atau yang disebut
figur lekat dan berlangsung secara terus- menerus (Ainsworth dalam Pelawi,
2004). Menurut C. Wenar & P. Kerig, kelekatan dibagi menjadi 2 jenis yaitu
kelekatan aman (secure attachment) dan kelekatan tidak aman (insecure
attachment).
Anak yang memiliki kelekatan yang aman pada masa bayi, maka dia
akan cenderung mudah menjalankan perannya sesuai tahap
perkembangannya, karena kelekatan yang aman memungkinkan
terpenuhinya afeksi anak. Dengan terpenuhinya afeksi anak, maka anak
Secara umum anak yang mengalami kelekatan tidak aman, biasanya
disebabkan ketika pengasuh yang utama tidak merespon secara konsisten
dalam cara memberi kehangatan, kasih, cinta, kepercayaan dan kepekaan
terhadap anak yang terjadi semenjak anak masih bayi (C, Wenar & P, Kerig,
2000). Anak-anak yang mengalami kelekatan tidak aman cenderung kurang
bisa bekerja sama, menarik diri dengan teman-teman sebayanya (peer-nya),
bahkan mengalami ketergantungan terhadap figur lekatnya.
Kelekatan tidak aman dibagi lagi menjadi dua yaitu, kelekatan
menghindar dan kelekatan cemas. Kelekatan menghindar terjadi karena
pengasuh cenderung menjaga jarak bahkan terkesan mengabaikan
kebutuhan anak Akibatnya, anak akan merasa tidak nyaman dan
mengembangkan model mental sebagai orang yang bebas, suka menentang,
tertutup, dan tidak mudah percaya pada orang lain. Berbeda dengan gaya
kelekatan cemas, dimana pengasuh cenderung terlalu ikut campur semua
kebutuhan anak. Akibatnya anak memiliki ketergantungan, kurang asertif
dan kurang memiliki kepercayan diri (C, Wenar & P, Kerig, 2000). .
Keadaan tersebut tentu saja dapat mempengaruhi kemandirian belajar
anak ketika berada di dalam kelas. Pada saat anak mengembangkan citra diri
sebagai orang yang positif dan percaya diri, maka dia akan cenderung
memiliki sikap mandiri, memiliki kompetensi sosial, memiliki sikap
empatik dan mampu diajak bekerja sama (laurent dkk, 2004). Berbeda
dengan anak yang mengalami kelekatan menghindar, karena dia
tidak mudah percaya pada orang lain. Dengan begitu, maka anak akan
cenderung kurang memiliki sikap kooperatif, tidak disiplin ketika berada di
kelas, dan.kurang memiliki kompetensi sosial dengan teman sebayanya
(Shulman, Elicker, & Sroufe, 1983)..Lain halnya anak dengan kelekatan
cemas yang mengembangkan model mental sebagai orang kurang asertif,
kurang percaya diri serta terlalu lekat dengan figur lekatnya, maka anak
cenderung kurang memiliki kompetensi sosial dengan teman-teman
sebayanya sehingga anak menjadi kurang kooperatif. Selain itu, dia juga
kurang memilki kemampuan untuk mengeksplorasi lingkungannya, dan
karena terlalu lekat dengan pengasuhnya maka anak cenderung mengalami
ketergantungan kepada orang lain termasuk kepada guru (Sroufe, Fox, &
Pancake, 1983). Serta tidak mau mengikuti aktivitas yang dilaksanakan di
kelas, jika tidak didampingi oleh orang-orang terdekatnya Akan tetapi,
ketika anak didampingi oleh figur lekatnya, maka dia akan cenderung
meminta pertolongan kepada figur lekatnya untuk melaksanakan tugas yang
di berikan kepadanya. Akibatnya, anak menjadi malas dan tidak mau
berusaha dengan sendirinya, dan hal ini tentu saja menghambat proses anak
dalam belajar secara mandiri.
Keadaan ini pula yang terjadi pada salah satu TK swasta. Pada saat
peneliti melakukan observasi pada anak TK, nampak terlihat bahwa ada
beberapa anak yang tidak mau belajar, karena pengasuhnya (entah ibu, baby
sitter, ataupun orang-orang terdekatnya) meninggalkannya berada dalam
luar kelas. Akibatnya anak tersebut tidak mau belajar, dan bahkan
mengganggu anak yang lainnya yang sedang belajar. Selain itu, kasus lain
yang cukup menarik adalah yang terjadi pada seorang anak laki-laki. Ketika
dia diantar ke sekolah oleh nenek atau pamannya, dia mau belajar sendiri di
dalam kelas dan mau ditinggalkan oleh neneknya. Tetapi ketika, dia diantar
oleh kakeknya, anak tersebut tidak mau ditinggal oleh kakeknya.
Maka dari kejadian tersebut, memunculkan penelitian yang bertujuan
untuk meneliti perbedaan kemandirian belajar pada anak TK yang ditnjau
dari gaya kelekatannya, yang dibedakan menjadi gaya kelekatan aman,
cemas dan menghindar. Adapun yang menjadi judul dalam penelitian ini
adalah: Perbedaan Kemandirian Belajar pada Anak TK Ditinjau dari Gaya
Kelekatan.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam penelitian ini, yang menjadi rumusan masalahnya adalah :
apakah ada perbedaan kemandirian belajar pada anak TK ditinjau dari gaya
kelekatan yang dialami oleh anak?
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk
mengetahui perbedaan kemandirian belajar pada anak TK ditinjau dari gaya
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat teoritis
Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan tambahan
pengetahuan baru bagi ilmu psikologi pendidikan khususnya dalam hal
perkembangan dan pendidikan masa pra sekolah anak.
2. Manfaat praktis
a. Apabila penelitian ini menghasilkan perbedaan, maka diharapkan
dapat memberikan sumbangan kepada masyarakat luas terutama orang
tua tentang pemahaman dan pengetahuan mengenai pentingnya
penerapan gaya kelekatan tertentu dalam rangka mengembangkan
sikap mandiri di masa awal kanak-kanak.
b. Penelitian ini juga diharapkan memberikan sumbangan pengetahuan
kepada para pengajar atau guru agar memahami dinamika psikologis
yang berbeda-beda pada setiap anak didiknya, sehingga dalam
memberikan pendidikan memperhatikan juga perkembangan identitas
9
BAB II
LANDASAN
TEORI
A.
ANAK PRA SEKOLAH
1.
Pengertian Anak Pra Sekolah
Salah satu bentuk pendidikan pra sekolah adalah taman kanak-kanak.
Oleh karena itu, anak-anak yang duduk di bangku taman kanak-kanak
sering juga disebut dengan anak usia pra sekolah dan bukan anak sekolah.
Karena pendidikan di taman kkanak merupakan persiapan bagi
anak-anak untuk memasuki sekolah. Dalam Peraturan pemerintah no. 27 tahun
1990, yang dimaksud dengan anak pra sekolah adalah peserta didik yang
berada pada jalur pendidikan pra sekolah. Pada umumnya anak yang berada
dalam pendidikan pra sekolah terutama taman kanak-kanak berada pada
usia 4-6 tahun, sehingga dalam tahap perkembangan berada dalam masa
awal anak-anak.
Usia pra sekolah merupakan usia transisi antara masa bayi dan masa
sekolah. Pada masa ini, anak sudah mulai mempunyai otonomi, tidak
sepenuhnya tergantung pada otang tua, tetapi masih belum bisa dilepas
untuk sepenuhnya belajar formal di sekolah.
Zaporozhets dan Elkonin (dalam Suprapti, 1999) menggolongkan anak
usia pra sekolah menurut tiga kategori: usia pra sekolah awal (3-4 tahun),
usia pra sekolah menengah (5 tahun) dan usia pra sekolah akhir (6-7 tahun).
dalam tahapan pra operasional dalam perkembangan kognitif. Akan tetapi,
usia dalam suatu perkembangan tidak harus dilihat sebagai suatu prediktor
yang pasti, melainkan sebagai gambaran kasar atau umum yang variasinya
amat ditentukan oleh karakteristik khusus dari individu anak.
Menurut Sujiono (dalam Hartono, 2005), ada beberapa faktor yang
harus diperhatikan oleh orang tua sebelum memasukkan anaknya ke dalam
pendidikan TK. Faktor-faktor tersebut antara lain:
a.
Kesiapan Fisik
Aspek fisik meliputi motorik halus dan motorik kasar. Pada motorik
kasar, dapat terlihat misalnya dengan mampu menggerakan seluruh
anggota tubuhnya untuk melakukan gerakan-gerakan seperti berlari,
memanjat, naik-turun tangga, mlempar bola, bahkan melakukan dua
gerakan sekaligus misalnya melompat sambil melempar bola. Aktivitas
belajar di TK memang banyak mengandalkan motorik kasar. Oleh karena
itu, apabila anak aktif bergerak justru yang diharapkan. Semua aspek fisik
yang menjadi bagian motorik anak, selanjutnya harus dikembangkan di
TK. Motorik halus akan sejalan dengan pembelajaran yang diberikan di
TK. Anak akan belajar menggunting, melipat, memasukkan bola, serta
memilih biji-bijian. Itu semua akan berjalan bila ditunjang dengan fisik
yang bagus.
b.
Kesiapan Sosial
Di TK, anak berkumpul bersama teman-teman yang baru dikenalnya.
baru. Anak pun akan mengenal aturan-aturan baru hidup bersama dan
menyimak “pelajaran” dari guru-guru sambil belajar bersama
teman-temannya. Dengan begitu, kesiapan sosial dilihat dari kemampuan anak
untuk menghadapi orang asing, berani memasuki lingkungan baru dan
tidak ragu diajak berkomunikasi.
c.
Kesiapan Kognitif
Salah satu bentuk kesiapan kognitif anak dapat ditunjukkan dengan
kemampuan bahasa anak karena di TK anak diharapkan mampu
memahami instruksi yang diberikan oleh guru. Anak pun diharapkan
mampu menyampaikan pendapat, perasaan serta isi pikirannya meski
belum runtut. Dengan demikian, anak juga harus mempunyai
perbendaharaan kosakata yang cukup untuk anak seusianya.
d.
Kesiapan Emosional
Kesiapan emosional yang paling penting adalah menyangkut
kemandirian. Setidaknya anak ketika berada di kelas, dia sudah duduk di
bangku sendiri, tidak tergantung pada siapa-siapa, dan mau mengikuti
perintah. Kesiapan emosional lainnya ditunjukkan dengan kesiapan anak
menerima situasi baru.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan anak pra sekolah adalah anak yang menjadi peserta didik
dalam jalur pendidikan pra sekolah. Faktor-faktor yang harus dimiliki anak
ketika mulai memasuki Taman Kanak-kanak adalah kesiapan fisik,
2.
Ciri-ciri Anak Pra Sekolah
Menurut Freeman dan Munandar (1997), pada masa usia pra sekolah
anak memiliki beberapa perilaku yang tampak menonjol. Perilaku-perilaku
tersebut adalah:
a.
Mengamati segala sesuatu. Menjelajahi segala macam tempat
(lingkungannya), dan haus akan pengalaman.
b.
Memiliki rasa ingin tahu yang besar, sering bertanya dan terkadang tidak
puas akan jawaban yang diberikan sehingga terkadang membuat orang
dewasa menjadi kewalahan.
c.
Memiliki sifat spontan dan cenderung menyatakan pikiran, perasaan
sebagaimana adanya tanpa merasa ada hambatan.
d.
Senang terhadap pengalaman baru. Suka bereksperimen, berpetualang,
dan terbuka terhadap rangsangan-rangsangan baru.
e.
Memiliki daya imajinasi yang tinggi, yang tampak jika orang dewasa
menyempatkan untuk mendengarkan ungkapan-ungkapannya dan
mencermati perilakunya.
Perilaku-perilaku tersebut diatas merupakan ciri khas yang hampir
dimiliki oleh anak usia pra sekolah. Ciri-ciri tersebut memperlihatkan
perilaku kemandirian dan kreativitas anak yang alamiah, karena disini anak
tidak memiliki batasan untuk melakukan apapun sehingga anak dapat bebas
mengeksplorasi dan mengekspresikan dirinya sendiri. Setiap perkembangan
individu memiliki tahap-tahap perkembangan yang berpotensi untuk
merupakan pelajar yang aktif. Pada masa usia pra sekolah, dengan melihat
perilaku-perilaku yang ditonjolkannya, merupakan masa yang efektif untuk
mulai memberikan rangsangan-rangsangan yang dapat meningkatkan
kemandirian anak.
Menurut pendirian ilmu jiwa modern (Kartono, 1982), beberapa ciri
khas pada masa anak-anak adalah sebagai berikut;
a.
Bersifat egosentrisme-naif
b.
Mempunyai relasi sosial dengan benda-benda dan manusia yang
sifatnya primitif dan sederhana.
c.
Kesatuan jasmani dan rohani yang hampir-hampir tidak terpisahkan
sebagai satu totalitas
d.
Sikap hidup yang fisiognomis.
Berdasarkan uaraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa anak pra
sekolah memiliki beberapa ciri-ciri khas yang cukup menonjol. Ciri-ciri
khas tersebut antara lain mengamati segala sesuatu, memiliki rasa ingin
tahu yang besar, spontan, senang terhadap pengalaman baru, dan daya
imajinasi yang tinggi.
3.
Tugas-tugas Perkembangan Anak Pra Sekolah
Pada setiap tahapan perkembangan, setiap individu memiliki tugas
yang harus dilakukannya agar dapat melewati tahap tersebut. Anak usia pra
sekolah berada dalam tahap perkembangan masa awal anak-anak. Oleh
perkembangan pada masa awal anak-anak Adapun tugas-tugas
perkembangan yang harus dilakukan oleh anak-anak pada masa ini menurut
Havighurst (dalam Hurlock, 1982) antara lain sebagi berikut;
a.
Belajar memakan makanan padat.
b.
Belajar berjalan.
c.
Belajar berbicara.
d.
Belajar mengendalikan pembuangan kotoran tubuh.
e.
Mempelajari perbedaan seks dan tata caranya
f.
Mempersiapkan diri untuk membaca
g.
Belajar membedakan benar dan salah, dan mulai mengembangkan hati
nurani.
B.
KEMANDIRIAN BELAJAR
1.
Pengertian Kemandirian
Kemandirian merupakan salah satu unsur kepribadian yang dianggap
penting dalam kehidupan manusia. Dengan kemandirian, maka manusia
dapat mengembangkan sendiri kemampuan yang dimilikinya, serta mampu
memecahkan masalahnya sendiri. Sebagai unsur yang dianggap penting,
maka kemandirian perlu dikembangkan karena perkembangan kualitas
manusia sangat erat kaitannya dengan kemandirian dan faktor- fakor yang
mempengaruhinya. Karena manusia yang ingin berkembang adalah manusia
yang mampu berusaha untuk mandiri. Selain itu, kemandirian juga tidak
tingkatannya berbeda karena masing-masing tahapan perkembangan
memiliki ciri tersendiri. Dengan demikian kemandirian anak balita, anak
usia pra sekolah, anak usia sekolah, serta remaja sangatlah berbeda
(Sumarsih, 2006)
Menurut Lindzey dan Aronson (dalam Pelawi, 2004) mengemukakan
bahwa orang yang mandiri menunjukkan inisiatif dan berusaha untuk
mengejar prestasi, menunjukkan rasa percaya diri yang besar, serta secara
relatif jarang mencari perlindungan kepada orang lain dan mempunyai rasa
ingin menonjol. Lie dan Prasasti (dalam Sumarsih, 2006) mengatakan
bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk melakukan kegiatan atau
tugas sehari-hari sendiri atau dengan sedikit bimbingan, sesuai dengan
tahapan perkembangan dan kapasitasnya. Kemandirian adalah sikap yang
harus dikembangkan seorang anak untuk bisa menjalani keidupan tanpa
ketergantungan kepada orang lain. Kemandirian pada anak sangat penting
karena merupakan salah satu
life skill
yang perlu dimiliki (Astuti dalam
Sumarsih, 2006).
Masa kritis bagi perkembangan kemandirian anak berlangsung pada
usia 2-3 tahun. Karena pada usia ini, tugas utama perkembangan anak
adalah untuk mengembangkan kemandirian (Erikson, 1950). Kebutuhan
untuk mengembangkan kemandirian yang tidak terpenuhi pada usia sekitar
2-3 tahun akan menimbulkan terhambatnya kemandirian yang maksimal.
Kemandirian baru akan tercapai secara penuh pada akhir masa remaja,
sebagian jika perkembangan pada masa awal anak-anak tidak memberi
dasar yang baik (Wall, 1975). Kemandirian bukanlah keterampilan yang
muncul tiba-tiba tetapi perlu diajarkan pada anak. Tanpa diajarkan,
anak-anak tidak tahu bagaimana harus membantu dirinya sendiri. Kemampuan
bantu diri inilah yang dimaksud dengan mandiri (Nakita, 2005).
Anak-anak yang tidak dilatih mandiri sejak usia dini, akan menjadi
individu yang tergantung sampai remaja bahkan sampai dewasa nanti. Bila
kemampuan yang seharusnya sudah dikuasai anak pada usia tertentu dan
anak belum mau melakukan, maka si anak bisa dikategorikan sebagai anak
yang tidak mandiri. Kemandirian anak ditandai dengan adanya kemauan
untuk melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya: makan tanpa harus disuapi,
mampu memakai kaos kaki dan sepatunya sendiri, dan kegiatan-kegiatan
lain tanpa tergantung pada orang lain. Kemandirian akan dicapai oleh anak
melalui proses belajar atau pendidikan (Nakita, 2005). Faktor yang
mendasari perkembangan kemandirian anak adalah faktor pendidikan orang
tua serta hubungan orang tua-anak.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan kemandirian adalah kemampuan untuk melakukan
kegiatan atau tugas sehari-hari sendiri atau dengan sedikit bimbingan,
sesuai dengan tahapan perkembangan dan kapasitasnya, sehingga mampu
2.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian seseorang,
antara lain yaitu:
a.
Faktor-faktor Kodrati
1)
Usia
Keinginan yang kuat untuk mandiri berkembang pada awal masa
remaja dan mencapai puncaknya menjelang periode berahir (Hurlock,
1979). Menurut Sumarsih (2006), bahwa kemandirian ada di semua
rentang usia, hanya tingkatannya berbeda karena masing-masing
tahapan perkembangan memiliki ciri tersendiri. Dengan demikian,
kemandirian anak balita, anak usia pra sekolah, anak sekolah, serta
remaja sangatlah berbeda.
Sutton menjelaskan bahwa ada peningkatan perilaku mandiri
sesuai dengan usia artinya semakin bertambah usia seseorang,
perilaku mandri akan semakin berkembang dan perilaku tergantung
akan semakin berkurang (dalam Masrun dkk, 1986).
2)
Jenis Kelamin
Perbedaan sifat-sifat yang dimilki oleh pria dan wanita bisa
disebabkan oleh perbedaan perlakuan yang diberikan pada
pengalaman sewaktu kecil. Hurlock (1974) menyatakan bahwa ada
perbedaan sifat kemandirian pada laki dan perempuan. Anak
menangung resiko serta banyak dituntut untuk menunjukkan inisiatif
dan originalitas daripada perempuan.
3)
Urutan Kelahiran
Adler (dalam pelawi, 2004) mencoba menjelaskan adanya
perbedaan kepribadian pada anak dari urutan kelahiran yang berbeda.
Anak dihadapkan pada masalah bagaimana bersaing untuk
mendapatkan perhatian dan kasih sayang orang tua.
Masrun dkk (1986), mengatakan bahwa peranan faktor urutan
kelahiran dalam mepengaruhi kemandirian, bekerja secara tidak
langsung yaitu melalui kebutuhan seeorang akan perhatian dari
lingkungannya. Pada masa anak-anak perhatian dari lingkungan
khusunya orang tua sangat berarti bagi anak.
b.
Faktor Lingkungan
1)
Lingkungan Permanen
Lingkungan permanen meliputi pendidikan dan pekerjaan.
Pendidikan seseorang tidak hanya berasal dari sekolah tetapi juga
dari masyarakat. Pendidikan formal yang didapat oleh seeorang
dapat meningkatkan kemandirian dan perkembangan kesadaran diri.
Pendidikan dari masyarakat atau lebih dikenal dengan pendidikan
informal dialami oleh anak dalam ligkungan sosialnya. Pendidikan
ini diperoleh secara langung ketika mereka berusaha melepaskan diri
dari lingkungan keluarganya dan mengelompok dengan teman
ke arah individualitas yang mantap merupakan aspek penting dalam
perkembangan seseorang untuk mandiri.
Menurut Masrun dkk (1986), pekerjaan bagi seseorang bukan
semata-mata sebagai mata pencaharian, tetapi juga sebagai pengisi
waktu dan merupakan status bagi seseorang. Oleh karena pekerjaan
menuntut pemanfaatan waktu yang khuus dan relatif lama, maka
interaksi yang terjadi dalam lingkungan kerja ikut mempengaruhi
diri seseorang
2)
Lingkungan Tidak Permanen
Robinson dan Shaver (dalam Pelawi, 2004) mengatakan bahwa
faktor lingkungan yang tidak permanen, yaitu peristiwa-peristiwa
penting dalam hidup yang mengakibatkan terganggunya integritas
kepribadian seseorang untuk sementara waktu, contoh; kematian
orang yang dicintai, bencana alam dan lain-lain.
Menurut Kartawijaya dan Kuswanto (2004), kunci kemandirian anak
sebenarnya ada di tangan orang tua. Beberapa hal yang dapat membentuk
kemandirian anak antara lain:
a.
Rasa percaya diri
Rasa percaya diri terbentuk ketika anak memperoleh kepercayaan untuk
melakukan suatu hal yang mampu dikerjakan sendiri oleh anak. Rasa
b.
Kebiasaan
Salah satu peranan orang tua dalam kehidupan sehari-hari adalah
membentuk kebiasaan. Jikalau anak sudah terbiasa dimanja dan selalu
dilayani, anak akan menjadi individu yang selalu tergantung pada orang
lain.
c.
Disiplin
Kemandirian berkaitan erat dengan disiplin. Sebelum seorang anak
dapat mendisiplinkan dirinya sendiri, terlebih dahulu harus
didisiplinkan oleh orang tuanya. Syarat utama dalam hal ini adalah
pengawasan dan bimbingan yang konsisten dan konsekuen dari orang
tua.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian. Faktor-faktor
terebut terdiri dari faktor kodrati dan faktor lingkungan. Faktor kodrati
yang mempengaruhi kemandirian meliputi usia, jenis kelamin dan urutan
kelahiran sedangkan faktor lingkungan meliputi lingkungan permanen
yang terdiri dari pendidikan dan pekerjaan serta lingkungan tidak
permanen misalnya bencana alam, kematian orang yang dicintai, dan
lain-lain. Selain itu, peranan orang tua dalam hal ini pola auh orang tua juga
dapat mempengaruhi kemandirian anak.
3.
Aspek-aspek Kemandirian
Menurut Havighurst (dalam Sumarsih, 2006), kemandirian memiliki
a.
Aspek intelektual, yaitu kemampuan untuk berpikir dan
menyelesaikan masalah sendiri.
b.
Aspek sosial, yaitu kemampuan untuk membina relasi secara aktif.
c.
Aspek emosi, yaitu kemampuan untuk mengelola emosinya sendiri.
d.
Aspek ekonomi, yaitu kemampuan untuk mengatur ekonomi sendiri.
Nashori (1999) menyebutkan bahwa kemandirian mengandung
beberapa aspek. Aspek-aspek yang terdapat dalam kemandirian antara lain:
a.
Bebas
Bebas dapat terlihat dengan tindakan yang disesuaikan dengan keinginan
sendiri tanpa pengaruh dan paksaan dari orang lain.
b.
Mempunyai Inisiatif
Inisiatif dapat ditunjukkan dengan munculnya ide atau gagasan untuk
menghadapi dan memecahkan masalah yang menjadi persoalan dalam
hidupnya
c.
Gigih dan ulet
Gigih dapat berarti berusaha dengan tekun dan tanpa putus asa mengejar
prestasi dan merealisasikan harapan dan keinginan- keinginannya
d.
Percaya pada diri sendiri
Percaya diri artinya dengan mantap dan dengan penuh kepercayaan
e.
Pengendalian diri
Pengendalian diri ditunjukkan dengan adanya kemampuan diri untuk
menyesuaikan keinginan sendiri dan mempengaruhi lingkungan atau
memperhatikan norma-norma yang berlaku.
Kemandirian secara psikologis dianggap penting karena seseorang
berusaha untuk menyesuaikan diri secara aktif dengan lingkungannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa secara
umum kemandirian memiliki beberapa aspek yaitu: aspek percaya diri,
bebas, inisiatif, gigih dan ulet serta pengendalian diri. Percaya diri dapat
ditunjukkan dengan adanya kepercayaan pada diri sendiri untuk melakukan
tindakan dengan usaha sendiri. Bebas dapat ditunjukkan dengan adanya
tindakan yang dilakukan sendiri tanpa adanya paksaan dari orang lain.
Inisiatif dapat ditunjukkan dengan munculnya ide atau gagasan. Gigih dan
ulet dapat ditunjukkan dengan kemampuan untuk bertekun dalam suatu
tugas. Pengendalian diri ditunjukkan dengan adanya kemampuan untuk
memperhatikan lingkungannya.
4.
Kemandirian Belajar Anak Usia Pra Sekolah
Masa pra sekolah merupakan periode yang sangat penting dalam
perkembangan anak, karena interaksi sosial yang terjadi pada masa tersebut
akan menentukan dasar sikap dan tingkah laku yang berhubungan dengan
orang lain, kelompok maupun kehidupan sosial secara luas (Kibtiyah, 2003).
pendidikan pra sekolah adalah pendidikan untuk membantu pertumbuhan
dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik di luar lingkungan
keluarga sebelum memasuki pendidikan dasar yang diselenggarakan di jalur
pendidikan sekolah atau di jalur pendidikan luar sekolah. Tujuan
didirikannya pendidikan pra sekolah adalah untuk membantu meletakan
dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya
cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya.
Taman kanak-kanak merupakan salah satu bentuk pendidikan pra
sekolah. Menurut Bambang (dalam Hartono, 2005) prinsip belajar di TK
adalah bermain. Meski hanya bermain, tetapi banyak manfaatnya yaitu anak
bisa mengembangkan seluruh potensinya lewat bermain sehingga saat terjun
ke sekolah formal sesungguhnya dia bisa memahami keberadaan di
lingkungannya bahwa ia punya tanggung jawab, bisa mengikuti peraturan,
tata tertib, dan disiplin-disiplin yang diberikan. Siskandar (dalam Damayanti,
2005) mengatakan bahwa program kegiatan belajar di sekolah seharusnya
menanamkan dan menumbuhkan pentingnya pembinaan perilaku dan sikap
yang dapat dilakukan melalui pembiasaan yang baik sejak dini agar anak
tumbuh menjadi pribadi yang matang dan mandiri serta melatih anak untuk
hidup bersih dan sehat serta kebiasaan disiplin dalam kehidupan sehari-hari.
Kemandirian yang harus dikembangkan oleh setiap anak terutama oleh
anak TK banyak jenisnya, salah satunya adalah kemandirian dalam hal
siswa dalam mengembangkan kemampuannya. Dengan belajar secara
mandiri, maka diharapkan anak dapat berkembang sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki.
Adapun pengertian kemandirian belajar menurut Abu Ahmadi (1990)
merupakan belajar secara mandiri, tidak menggantungkan diri kepada orang
lain. Disini siswa dituntut untuk memiliki inisiatif, keaktifan dan keterlibatan
dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan prestasi belajar. Menurut
Tresna sastra Wijaya (dalam Wahyuningtyas, 2004), kemandirian belajar
dapat berarti studi bebas mengatur sendiri atau belajar dengan tenaga sendiri,
belajar memutuskan sendiri, mengatur sendiri atau belajar dengan kecepatan
sendiri. Abas (2007) menjelaskan bahwa kemandirian belajar dapat diartikan
sebagai suatu keadaan atau kondisi aktivitas belajar dengan kemampuan
sendiri, tanpa bergantung kepada orang lain.
Kemandirian anak usia pra sekolah berada pada tahap pra operasional,
yaitu dimana anak sudah mampu melakukan tingkah laku simbolis. Anak
tidak lagi mereaksi begitu saja terhadap stimulus-stimulus melainkan
nampak ada suatu aktivitas internal. Karena pada taman kanak-kanak,
pembelajaran yang diberikan lebih menekankan pada pengalaman langsung
pada benda maupun manusia, maka kemandirian belajar yang dilakukan pun
lebih pada aktivitas fisik/ motorik kasar.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan yang dimaksud
dengan kemandirian belajar adalah kemampuan anak untuk belajar dengan
ciri-ciri kemandirian belajar pada anak TK adalah sebagai berikut: memiliki
sikap bebas, mempunyai inisiatif, gigih dan ulet, memiliki kepercayaan diri,
serta memiliki pengendalian diri.
C.
KELEKATAN
1.
Pengertian Kelekatan
Pada dasarnya, kelekatan merupakan hal yang wajar terjadi pada
anak, karena tingkah laku lekat merupakan kecenderungan dasar pada
anak yang sudah ada sebelum proses-proses belajar dapat terjadi (Hartup
dalam Hurlock, 1973). Kelekatan merupakan salah satu gejala adanya
saling ketertarikan pada manusia.
Adapun yang dimaksud dengan pengertian kelekatan menurut
Ainsworth (dalam Pelawi, 2004) merupakan suatu ikatan yang bersifat
afeksional pada seseorang yang ditunjukkan pada orang-orang tertentu
atau yang disebut figur lekat dan berlangsung secara terus- menerus. C,
Wenar & P, Kerig (2000), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
kelekatan adalah ikatan cinta yang berkembang antara anak dan ibu dalam
tahun pertama kehidupannya.
Menurut Freeney dan Noller (Rachmawatie, 2002) kelekatan
diidentifikasikan dengan mencintai dan memiliki, keinginan atau hasrat
untuk dapat bersama orang-orang tertentu. Kelekatan ditandai dengan
adanya saling ketergantungan yang kuat, ikatan emosional yang timbal
proses berkembangnya ikatan emosional secara resiprokal (timbal balik)
antara bayi/anak dengan pengasuh (orangtua).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan yang dimaksud
dengan kelekatan adalah ikatan yang bersifat emosional dan terjadi secara
intens (terus menerus) dan timbal balik (resiprokal) antara bayi/anak
dengan pengasuh (orang tua).
2.
Teori Kelekatan
Menurut Hartup (dalam Pratidarmanastiti, 2003) kelekatan pada anak
dapat ditinjau dari 2 segi. Segi yang pertama menunjukkan bahwa
kelekatan terjadi karena proses belajar, sedangkan segi yang lain
menyatakan bahwa kelekatan merupakan ciri khas manusia. Manusia
mempunyai ciri khas untuk bercakap-cakap, untuk mengadakan manipulasi
dan eksplorasi benda-benda, untuk mencari kontak dengan manusia lain.
Dari ciri khas tersebut, muncullah kelekatan. Pendapat yang kedua ini
dianggap lebih mendekati kenyataan. Kelekatan merupakan kecenderungan
dasar pada anak yang sudah ada sebelum proses-proses belajar dapat
terjadi.
Ada 2 teori yang mengemukakan mengenai kelekatan:
Teori Differensiasi
Teori ini didasarkan pendapat Bowlby (1951). Dalam teori ini
menjelaskan mengenai perbedaan antara ketergantungan dan
kecenderungan umum pada anak untuk mencari kontak sosial lepas
dari identitas orangnya. Kemudian yang dimaksud dengan
kelekatan dalam teori ini adalah mencari dan mempertahankan
kontak dengan orang- orang tertentu saja. Biasanya orang pertama
yang dipilih dalam kelekatan adalah ibu (pengasuh), ayah atau
saudara-saudaranya.
Menurut teori differensiasi ini, anak dianggap relatif mempunyai
kelekatan dengan ibunya sampai kurang lebih usia 6 tahun. Baru
sesudahnya anak akan mengadakan ikatan-ikatan dengan orang
dewasa lainnya.
Teori Parallel
Teori ini didasarkan pada teori Maccoby dan Masters (1970). Teori
ini berpendapat bahwa anak sesudah umur satu tahun segera akan
menunjukkan kelekatan terhadap orang-orang dewasa maupun
pada anak-anak sebaya lainnya. Sebelum usia satu tahun anak akan
mencari obyek lekatnya pada satu orang saja, biasanya ibunya.
Masih menurut teori ini, kelekatan anak pada anak-anak sebayanya
dapat memberikan banyak pengaruh terhadap pelajaran tingkah
laku anak.
(Pratidarmanastiti, 2003)
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua teori
yang dikemukakan oleh John Bowlby dan teori parallel yang didasarkan
padateori Maccoby dan Masters.
3.
Gaya Kelekatan
Menurut C, Wenar & P, Kerig (2000) , gaya kelekatan terdiri dari 2
macam yaitu gaya kelekatan aman (
secure attachment
) dan gaya kelekatan
tidak aman (
insecure attachment
). Masing-masing gaya kelekatan pada
anak itu, akan mempengaruhi anak dalam menghadapi lingkungannya.
a.
Kelekatan Aman (
Secure Attachment
)
Hubungan kelekatan yang aman antara pengasuh dengan anak
dapat terjadi apabila pengasuh sensitif dan responsif terhadap anak,
merawat serta memenuhi kebutuhan anak secara tepat. Pengasuh yang
memiliki sensitifitas dan responsifitas yang baik biasanya memiliki
ciri-ciri: (1)memiliki respon yang konsisten terhadap kebutuhan anak
misalnya: dengan secara rutin memberi makan, merawat serta
memeluk anak dengan tulus, tidak meninggalkan anak ketika
merengek tetapi secara tepat dapat menenangkan si anak. (2) mampu
menunjukkan kasih sayang secara tepat misalnya: sering melakukan
kontak mata dengan anak, mengasuh dan menjaga anak, mengajak
berbicara, menunjukkan kesabaran dan kehangatan. Sehingga dengan
demikian anak akan merasa aman dan nyaman, dan menganggap
pengasuh sebagai tempat berlindung yang baik Chisholm (1996),.
pengasuh peka terhadap kebutuhan anak serta memberikan perhatian
dan kasih sayang yang tepat, hangat dan konsisten kepada anak.
Menurut Rini (2002), kelekatan yang aman akan dialami oleh
individu yang menerima kasih sayang yang stabil dari kehadiran
orang tua yang konsisten; sehingga bayi atau anak dapat merasakan
sentuhan hangat, gerakan lembut, kontak mata yang penuh kasih dan
senyuman orangtua. Hubungan kelekatan antara orang tua dan anak
tersebut dapat mempengaruhi beberapa hal antara lain rasa percaya
diri, kemampuan membina hubungan yang hangat, mengasihi sesama
dan peduli pada orang lain serta disiplin. Selain itu, kelekatan yang
baik juga akan menumbuhkan perkembangan intelektual dan
psikologis yang sehat.
Menurut C, Wenar & P, Kerig (2000), kelekatan memiliki 2 apek
dasar yaitu pengasuhan dan situasi baru (meliputi perpisahan,
pertemuan kembali, eksplorasi dan karakteristik umum). Penerapan
kedua aspek tersebut dalam gaya kelekatan aman:
1)
Pengasuhan
Pengasuh sensitif dan responsif terhadap kebutuhan anak, serta
memberikan perhatian dan kasih sayang yang tepat, hangat dan
konsisten kepada anak.
2)
Situasi Baru
Anak yang
secure
mungkin atau tidak mungkin merasa
terganggu dengan adanya perpisahan. Mereka akan menjadi
terbatas dalam mengeksplorasi lingkungan ketika pengasuh
tidak ada bersamanya.
b)
Pertemuan kembali
Anak yang
secure
mampu memiliki kemampuan untuk
menerima kembali dan menyambut positif pengasuh, serta
menjadi nyaman.
c)
Eksplorasi
Anak yang
secure
mampu mengeksplorasi lingkungan secara
bebas dan percaya diri dengan adanya pengawasan dari
pengasuh.
d)
Karakteristik Umum
Anak yang
secure
mengembangkan citra diri positif, memiliki
rasa aman, percaya diri serta memiliki ekspresi emosi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kelekatan aman dapat terjadi apabila pengasuh sensitif dan responsif
terhadap anak, serta memberikan perhatian dan kasih sayang yang
tepat, hangat dan konsisten kepada anak. Anak yang
secure
memberikan respon yang positif terhadap pengasuh, dan memiliki
keyakinan dalam bertindak. Mereka sebenarnya tidak menyukai
perpisahan dengan pengasuh dan akan menjadi terbatas dalam
mereka memiliki kemampuan untuk menyambut secara positif
pengauhnya ketika terjadi pertemuan kembali dan merasa tenang.
Anak yang secure mampu mengeksplorasi lingkungan secara bebas
dan percaya diri dengan adanya pengawasan dari pengauh. Mereka
juga mengembangkan citra diri yang positif dan percaya diri terhadap
kemampuannya.
b.
Kelekatan Tidak Aman (
Insecure Attacment
)
Insecure attachment
berkembang disebabkan karena pengasuh
yang utama tidak merespon secara konsisten dalam cara memberi
kehangatan, kasih, cinta, kepercayaan dan kepekaan terhadap
kebutuhan anak (C, Wenar & P, Kerig, 2000).
Insecure attachment
dibagi lagi menjadi 2 macam, yaitu: gaya
kelekatan menghindar (
Avoidant insecure
) dan gaya kelekatan cemas
(
Anxious insecure
).
1)
Gaya Kelekatan Menghindar (
Avoidant insecure
)
Gaya kelekatan menghindar berkembang disebabkan karena
pengasuh dalam memberikan pengasuhan cenderung menjaga jarak
dengan anak, bahkan cenderung mengabaikan kebutuhan anak.
Disini pengasuh menggabungkan antara perasaan marah dan
jengkel ketika dekat dengan anak. Keadaan ini dapat menyebabkan
hilangnya rasa nyaman pada anak (C, Wenar & P, Kerig, 2000).
memperlihatkan sikap memusuhi serta sering meninggalkan anak,
dan juga terkadang mengabaikan kontak mata dengan anak.
Berdasarkan hasil penelitian Collins dan Read (dalam Pelawi,
2004) terbukti bahwa orang dengan gaya kelekatan menghindar
merasa tidak percaya pada ketersediaan orang lain, merasa tidak
nyaman dengan kedekatan dan keintiman serta tidak takut
ditinggal. Menurut penelitian Kobak dan Sceery (dalam
Bartholomew dan Horowitz, 1991) menunjukkan bahwa orang
dengan gaya kelekatan menghindar sangat percaya diri, tetapi
kurang dapat mengekspresikan emosinya, kurang hangat, kurang
terbuka, tidak dapat menyandarkan diri pada orang lain dan
menggunakan orang lain sebagai tempat yang aman, serta lebih
cenderung mengontrol dalam hubungan persahabatan.
Penerapan aspek kelekatan dalam gaya kelekatan menghindar
adalah sebagai berikut:
1)
Pengasuhan
Pengasuh dalam memberikan pengasuhan cenderung menjaga
jarak dengan anak, bahkan cenderung mengabaikan kebutuhan
anak, memperlihatkan sikap memusuhi serta sering meninggalkan
anak, dan juga terkadang mengabaikan kontak mata dengan anak.
2)
Situasi Baru
Anak yang
avoidant
jarang menunjukkan kesedihan atau
kecemasan ketika terjadi perpisahan dengan pengasuhnya.
b)
Pertemuan Kembali
Anak yang
avoidan
t cenderung mengabaikan atau
menghindari pengasuh ketika terjadi pertemuan
c)
Eksplorasi
Dalam mengekplorasi lingkungan, anak yang
avoidant
cenderung terlihat asyik sendiri, dan mengabaikan kontak
dengan orang lain.
d)
Karakteristik Umum
Anak yang
avoidant
akan mengembangkan diri sebagai anak
yang bebas dan suka menentang
Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan gaya kelekatan menghindar adalah
kelekatan yang terjadi karena pengasuh dalam memberikan
pengasuhan cenderung menjaga jarak dengan anak, bahkan
cenderung mengabaikan kebutuhan anak, memperlihatkan sikap
memusuhi serta sering meninggalkan anak, dan juga terkadang
mengabaikan kontak mata dengan anak. Anak yang
avoidant
jarang menunjukkan kecemasan ketika terjadi perpisahan, dan
cenderung mengabaikan atau menghindari pengasuh ketika terjadi
pertemuan. Dalam mengeksplorasi lingkungan, mereka terlihat
orang lain. Anak
avoidant
menjadi terlalu bebas dan suka
menentang.
2)
Gaya Kelekatan Cemas (
Anxious insecure
)
Gaya kelekatan cemas berkembang karena pengasuh dalam
memberikan pengasuhan ditandai dengan
unpredictability
/ tidak
dapat ditebak. Di satu sisi, pengasuh terlalu dekat dengan anak dan
terlalu cemas pada kebutuhan anak, sehingga dia akan terlalu
mencampuri semua kebutuhan anak. Bahkan pengasuh akan
merasa bersalah dan sedih apabila dirasa tidak mampu untuk
memenuhi kebutuhan si anak (Chisholm, 1996). Tetapi di sisi lain
dia tidak terlibat atau mudah marah pada suatu waktu.
Ketidakstabilan ini berakar dari tingginya harapan yang tidak
realistik dari si ibu atau pengasuh bahwa dia dapat sepenuhnya
mencintai dan melindungi si anak (C, Wenar & P, Kerig, 2000)
Individu dengan gaya kelekatan cemas memiliki ciri
mengembangkan model mental dirinya merupakan orang yang
kurang pengertian, kurang percaya diri dan merasa kurang berharga
serta mengembangkan model mental mengenai orang lain sebagai
orang yang mudah berubah-ubah pendapat dan mempunyai
komitmen yang rendah dalam berhubungan. Menurut Collins dan
Read (1990) individu dengan gaya kelekatan cemas mempunyai
keyakinan negatif mengenai diri sendiri dan orang lain,
atau dicintai orang lain, memandang orang lain sebagai orang yang
kurang menolong dan susah untuk dimengerti.
Lebih lanjut lagi menurut penelitan Ainswoth (dalam Pelawi,
2004) membuktikan bahwa anak-anak yang lekat cemas
menunjukkan tingkah laku ambivalen terhadap kedatangan ibu.
Mereka tampak mengalami konflik, disatu sisi memperlihatkan
kecenderungan untuk dekat dengan ibu, tetapi begitu digendong
ibunya mereka meminta segera diturunkan dengan menunjukkan
ekspresi emosi yang berlebihan.
Penerapan aspek-aspek kelekatan dalam gaya kelekatan cemas
adalah sebagai berikut:
1)
Pengasuhan
pengasuh kurang tepat dalam memberi respon,
unpredictabillity
/
tidak dapat ditebak. Di satu sisi dia terlalu dekat dan cemas
terhadap kebutuhan bayi sehingga dia akan terlalu mencampuri
semua hal mengenai kebutuhan anak, namun disisi lain dia tidak
terlibat dengan anak.
2)
Situasi Baru
a)
Perpisahan