• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TERJEMAHAN UNGKAPAN EUFEMISME DAN DISFEMISME PADA TEKS BERITA ONLINE BBC TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS TERJEMAHAN UNGKAPAN EUFEMISME DAN DISFEMISME PADA TEKS BERITA ONLINE BBC TESIS"

Copied!
301
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Linguistik

Minat Utama Linguistik Penerjemahan

Oleh:

PRISKA MEILASARI S131408002

PROGRAM STUDI LINGUISTIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2016

(2)

i

TESIS

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Linguistik

Minat Utama Linguistik Penerjemahan

Oleh:

PRISKA MEILASARI S131408002

PROGRAM STUDI LINGUISTIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

vi

1. Tuhan Yesus Kristus sebagai penolong dalam kesesakan. Apa yang terkadang tidak dapat penulis ungkapkan kepada orang lain, selalu dapat terselesaikan lewat doa dan permohonan padaNya.

2. Bapak Daniel Wahono dan Ibu Rimba Wahjuningsih, orangtua sekaligus sahabat yang tidak pernah henti berdoa untuk segala yang terbaik bagiku. Menjadi putri kalian adalah kebanggaan dan kebahagiaan yang tiada tara. 3. Adikku tercinta, Immanuela Desvianasari. Terimakasih untuk selalu

menjadi pendengar yang baik dari cerita dan curahan hati mbakmu ini. 4. Sahabat-sahabat tersayang, Oktarina Putri Pradani, Andrena Monica

Widyawati, Anindia Ayu, Maftuchah Dwi Agustina, Hanifa Pascarina, Ambhita Dianingrum, Ester Fetiana, Arin Ariananda Adisty, Yusita Astriana, dan Nia Enggar Prestiasari. Terimakasih telah menjadi sahabat-sahabat terbaik dalam suka maupun duka.

(8)

vii

 Tetaplah merasa bodoh agar kita belajar. Tetaplah merasa lapar agar kita berusaha – Steve Jobs

(9)

viii

menyadari bahwa tanpa kasih dan rahmatNya serta dukungan doa dan motivasi dari berbagai pihak, penulis tidak akan berhasil dalam penulisan dan penyelesaian tesis ini.

Oleh sebab itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus kepada:

1. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., selaku direktur Pascasarjana UNS yang memberi kesempatan pada penulis untuk belajar di UNS. 2. Prof. Drs. M. R. Nababan, M. Ed, MA, Ph. D selaku kepala Program Studi

Linguistik Pascasarjana UNS dan pembimbing utama atas segala dukungan, bimbingan, masukan serta arahan demi kemajuan dan kebaikan tesis ini.

3. Prof. Dr. Djatmika, MA selaku pembimbing kedua yang dengan penuh kesabaran telah membimbing, memberi masukan dan mengarahkan penulis dalam penulisan tesis.

4. Seluruh dosen dan karyawan program studi Linguistik Pascasarjana UNS atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan pada penulis.

5. Para rater, Prof. Nababan dan Pak Dion, yang telah dengan sepenuh hati bersedia untuk membantu penulis melalui kesediaannya berpartisipasi dalam penelitian.

6. John Turner, validator data penelitian, yang telah bersedia menjelaskan secara rinci setiap hal yang penulis tanyakan.

7. Petugas perpustakaan Pascasarjana UNS yang secara langsung maupun tidak langsung telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.

(10)

ix

memotivasi dan mendoakan demi keberhasilan penulisan. Tanpa dukungan, motivasi, dan doa yang tiada henti dari kalian lah, penulis mendapat kekuatan baru setiap harinya untuk selalu memberikan yang terbaik.

10. Mas Firman yang selalu memberi semangat, mendoakan dan memotivasi penulis untuk penyelesaian tesis ini.

11. Andrena Monica dan Oktarina, sahabat-sahabat penulis yang selalu menjadi best supporter ever.

12. Thesis Fighter Team, Bu Ayu, Ifa, Mbak Dii, dan Mba Dwi yang menjadi teman dalam suka dan duka selama masa perkuliahan dan dalam proses penulisan tesis. Perpisahan itu pasti namun semoga persahabatan kita dapat tetap terjalin. You guys are the best!

13. Mbak Arin, Mbak Ester, Miss Nia, dan Miss Yusita, sahabat sekaligus keluarga kedua yang tidak pernah lelah memberi dukungan dalam segala hal pada penulis

14. Teman-teman Linguistik Penerjemahan ’14, Mbak Ayu, Mbak Mita, Mbak Intan, Mbak Chai, Mbak Ozi, Mbak Desi, Mbak Alifa, Mas Bayu, Mas Dhanu, Mas Rudi, Mas Rifki, Mas Dika, Mas Dian, Mbak Inda, dan Putri atas kebersamaan yang indah dan pelajaran-pelajaran hidup yang berharga selama ini.

15. Semua pihak yang telah membantu dan memberi dukungan namun mungkin belum penulis sebutkan.

Akhirnya, meskipun masih memiliki banyak kekurangan, penulis berharap tesis ini akan mendatangkan manfaat bagi siapa pun yang membacanya.

Surakarta, April 2016 Penulis

(11)

ix

Lembar Pengesahan ... ii

Pernyataan ... iv

Persembahan ...v

Motto ... vi

Kata Pengantar ... vii

Daftar Isi ... ix

Daftar Gambar ... xiii

Daftar Tabel ... xiv

Daftar Lampiran ...xv

Daftar Singkatan ... xvi

Abstrak ... xvii Abstract ... xix BAB I: PENDAHULUAN ...1 A. Latar Belakang ...1 B. Batasan Masalah ...12 C. Rumusan Masalah ...12 D. Tujuan Penelitian ...13 E. Manfaat Penelitian...13

BAB II: KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR ...15

(12)

x

1.3.Teknik Penerjemahan ...19

1.4.Penilaian Kualitas Terjemahan ...28

2. Semantik ...32

2.1.Disfemisme, Eufemisme, dan Ortofemisme ...34

2.1.1. Eufemisme ...37

2.1.2. Disfemisme ...43

3. Kategori Sintaksis Eufemisme dan Disfemisme...47

B. Kerangka Pikir ...60

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN ...63

A. Jenis Penelitian ...63

B. Lokasi Penelitian ...65

C. Sumber Data dan Data ...65

D. Sampling ...66

E. Teknik Pengumpulan Data ...67

F. Validitas Data ...70

G. Teknik Analisis Data ...72

BAB IV: TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...76

A. Temuan Penelitian ...77

1. Penerjemahan Ungkapann Eufemisme dan Disfemisme dalam Teks Berita BBC ...77

(13)

xi

1.4 Disfemisme Diterjemahkan menjadi Eufemisme ...101

1.5 Eufemisme tidak Diterjemahkan...107

1.6 Disfemisme tidak Diterjemahkan ...109

2. Teknik Penerjemahan Ungkapan Eufemisme dan Disfemisme ...112

2.1 Padanan Lazim ...114 2.2 Generalisasi...117 2.3 Amplifikasi ...119 2.4 Reduksi...122 2.5 Modulasi...123 2.6 Partikularisasi ...124 2.7 Penghilangan ...126 2.8 Transposisi ...127 2.9 Variasi ...129 2.10 Penerjemahan Harfiah ...130 2.11 Peminjaman...131

3. Kualitas Terjemahan Ungkapan Eufemisme dan Disfemisme dalam Teks Berita BBC ...133

3.1 Keakuratan ...134

3.1.1 Terjemahan Akurat ...135

(14)

xii

2. Teknik Penerjemahan Ungkapan Eufemisme dan Disfemisme ...151

3. Pengaruh Teknik Penerjemahan pada Keakuratan Terjemahan Ungkapan Eufemisme dan Disfemisme...156

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ...161

A. Kesimpulan ...161

B. Saran ...166

DAFTAR PUSTAKA ...169

(15)

xiii

Gambar 2.2 Hubungan antara Ortofemisme, Eufemisme, dan Disfemisme … 36

Gambar 2.3 Kerangka Pikir Penelitian ……… 62

Gambar 3.1 Triangulasi Sumber ………. 71

Gambar 3.2 Triangulasi Metode ………. 71

(16)

xiv

Tabel 2.2 Instrumen Penilaian Keberterimaan Terjemahan ……… 30

Tabel 2.3 Instrumen Penilaian Keterbacaan Terjemahan ……… 31

Tabel 3.1 Penilaian Keakuratan Terjemahan ……….. 69

Tabel 3.2 Contoh Data dalam Analisis Domain ………. 73

Tabel 3.3 Contoh Data dalam Analisis Taksonomi ……… 74

Tabel 3.4 Contoh Data dalam Analisis Komponensial ……….. 75

Tabel 4.1 Frekuensi Ungkapan Eufemisme dan Disfemisme dalam Teks Berita BBC ……….. 78

Tabel 4.2 Penerjemahan Ungkapan Eufemisme daan Disfemisme dalam Teks Berita BBC ………... 79

Tabel 4.3 Teknik Penerjemahan Ungkapan Eufemisme dan Disfemisme...112

Tabel 4.4 Ungkapan Eufemisme dan Disfemisme yang Diterjemahkan dengan Teknik Penghilangan ……….126

Tabel 4.5 Keakuratan Terjemahan Ungkapan Eufemisme dan Disfemisme ………135

Tabel 4.6 Teknik Penerjemahan yang Menghasilkan Terjemahan Akurat ………136

Tabel 4.7 Teknik Penerjemahan yang Menghasilkan Terjemahan Kurang Akurat ………141

(17)

xv

Lampiran 2 Analisis Taksonomi ………...229 Lampiran 3 Analisis Komponensial ………...278

(18)

xvi BSu : Bahasa Sumber

BSa : Bahasa Sasaram

D* : Disfemisme tidak diterjemahkan

DD : Disfemisme diterjemahkan menjadi Disfemisme DE : Disfemisme diterjemahkan menjadi Eufemisme Del : Penghilangan

E* : Eufemisme tidak diterjemahkan

ED : Eufemisme diterjemahkan menjadi Disfemisme EE : Eufemisme diterjemahkan menjadi Eufemisme Gen : Generalisasi KD : Peminjaman Murni Mod : Modulasi Part : Partikularisasi PH : Penerjemahan Harfiah PL : Padanan Lazim PN : Peminjaman Naturalisasi Red : Reduksi Tran : Transposisi Var : Variasi

(19)

xvii

I: Prof. Drs. M. R. Nababan, M. Ed., M. A., Ph. D. Pembimbing II: Prof. Dr. Djatmika, M. A. Program Studi S2 Linguistik, Minat Utama Linguistik Penerjemahan. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerjemahan ungkapan eufemisme dan disfemisme dalam teks berita BBC, teknik yang digunakan dalam penerjemahan dan akibat pemilihan teknik tersebut pada kualitas terjemahan.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif terpancang untuk kasus tunggal. Data yang berupa dokumen diambil dari teks berita online BBC beserta terjemahannya. Data yang berasal dari informan terkumpul dari rater yang menilai keakuratan terjemahan. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan analisis dokumen dan focus group discussion.

Hasil analisis pada 156 data ungkapan eufemisme dan disfemisme menunjukkan bahwa teks berita lebih sering menggunakan ungkapan disfemisme (59,6%) daripada eufemisme (40,4%). Sebanyak 78 ungkapan disfemisme tersebut (50%) diterjemahkan menjadi disfemisme juga dalam bahasa sasaran. Sisanya, sebanyak 13 data (8,3%) disfemisme diterjemahkan menjadi eufemisme dan 2 data (1,3%) tidak diterjemahkan. Sementara itu, ungkapan eufemisme dari teks sumber yang diterjemahkan menjadi eufemisme berjumlah 39 data (25%). Sedangkan 21 data (13,5%) eufemisme lainnya diterjemahkan menjadi disfemisme pada teks sasaran dan 3 data (1,9%) tidak diterjemahkan. Analisis pada teknik penerjemahan ungkapan eufemisme dan disfemisme mengidentifikasi 11 teknik berikut ini: padanan lazim, generalisasi, amplifikasi, reduksi, modulasi, partikularisasi, penghilangan, transposisi, variasi, penerjemahan harfiah, dan peminjaman. Kesebelas teknik tersebut masing-masing memberikan dampak positif dan negatif pada kualitas terjemahan. Terjemahan akurat berjumlah 117

(20)

xviii

dipengaruhi oleh penggunaan teknik padanan lazim, amplifikasi, partikularisasi, reduksi, generalisasi, transposisi, dan variasi. Sementara itu, terjemahan tidak akurat pada 5 ungkapan eufemisme dan disfemisme (2,9%) dipengaruhi oleh teknik penghilangan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ungkapan eufemisme dan disfemisme dari bahasa sumber akan menjadi terjemahan yang akurat apabila diterjemahkan dengan kata atau frasa yang bernilai rasa sama. Artinya, ungkapan eufemisme harus diterjemahkan menjadi eufemisme dan disfemisme menjadi disfemisme untuk menghasilkan terjemahan akurat. Teknik yang paling tepat untuk menerjemahkan jenis ungkapan tersebut adalah padanan lazim.

Kata Kunci: penerjemahan, eufemisme, disfemisme, teknik penerjemahan, kualitas terjemahan

(21)

xix

Prof. Drs. M. R. Nababan, M. Ed., M. A., Ph. D. Supervisor II: Prof. Dr. Djatmika, M.A. Postgraduate Program in Linguistics, majoring in Translation Studies. Sebelas Maret University of Surakarta.

This research is aimed at analysing the translation of euphemism and dysphemism expressions in BBC online news text, the techniques used in translating those expressions and the translation quality affected by the techniques chosen.

This research is descriptive qualitative in nature with single embedded case. The data in the form of document were taken from BBC online news texts together with their translations. The data from the informant were taken from raters who assessed the translation accuracy. This research uses purposive sampling technique. The data collecting techniques used in this research are document analysis and focus group discussion.

The analysis on 156 euphemism and dysphemism expressions shows that news texts often use dysphemism expressions (59,6%) than euphemism ones (40,4%). There are 78 dysphemisms (50%) translated into dysphemism in target text. The other dysphemism expressions, 13 data (8,3%), are translated into euphemism and the other 2 data (1,3%) are deleted. On the other hand, euphemism expressions from the source text which are translated into euphemism in target text are 39 data in number (25%). The other 21 euphemism data (13,5%) are translated into dysphemism in the target text and the 3 euphemisms (1,9%) are not translated. The 11 translation techniques used in translating euphemism and dysphemism are as follows: established equivalent, generalization, amplification, reduction, modulation, particularization, deletion, transposition, variation, literal translation and borrowing. Each of the eleven techniques gives either positive or negative effects to translation quality. The accurate translation, 117 data (75%) of

(22)

xx

affected by the use of established equivalent, amplification, particularization, reduction, generalization, transposition, and variation. Then, 5 euphemism and dysphemism translations (2,9%) are found not accurate due to the use of deletion technique.

So, it can be concluded that euphemism and dysphemism expressions in source language will be included into accurate translation if they are replaced by target language’s words or phrases with the same connotation. It means that, euphemism should be translated to euphemism and dysphemism to dysphemism to produce the accurate translation. The most appropriate technique for euphemism and dysphemism translation is established equivalent.

Keywords: translation, euphemism, dysphemism, translation techniques, translation quality

(23)
(24)

1 A. Latar Belakang

Berita sebagai salah satu penyedia informasi sudah menjadi bagian yang penting dalam kehidupan masyarakat. Setiap harinya, masyarakat membutuhkan pembaharuan informasi tentang apa saja yang terjadi disekitarnya. Informasi seputar masalah ekonomi, sosial, maupun budaya akan selalu menarik perhatian masyarakat di berbagai kalangan. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi itulah, berbagai program berita disiarkan melalui stasiun televisi, radio, koran, dan media online.

Seiring dengan perkembangan zaman, saat ini berita tidak hanya menyediakan informasi dari dalam negeri. Informasi-informasi dari mancanegara juga menjadi perhatian banyak kalangan. Hal ini terlihat dari banyaknya program berita di televisi, radio, koran, dan media online yang menyisipkan berita internasional di dalam programnya. Berita-berita internasional yang ditayangkan itu dapat berasal dari investigasi jurnalis secara langsung di tempat kejadian berita atau dapat pula diperoleh dari sumber-sumber penyedia berita mancanegara. Daripada mengirim wartawan langsung untuk wawancara dengan narasumber, misalnya, penyedia berita lebih memilih untuk men-download berita jadi berbahasa asing dari situs penyedia berita internasional. Dalam hal inilah, terjemahan diperlukan.

(25)

Tantangan yang dihadapi penerjemah dalam menerjemahkan berita tentunya berbeda dengan yang harus mereka hadapi saat menerjemahkan jenis teks lain. Hal ini disebabkan bahasa dalam berita, yang sering pula disebut bahasa jurnalistik memiliki karakteristik tersendiri. Menurut Rosihan Anwar (dalam jurnalistikpraktis.blogspot.com), bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan wartawan yang sifat-sifatnya antara lain adalah: singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, dan menarik. Dalam rangka mengakomodasi sifat-sifat bahasa jurnalistik tersebut, wartawan seringkali menggunakan berbagai ungkapan maupun gaya bahasa. Salah satu gaya bahasa yang sering ditemukan dalam teks berita adalah eufemisme dan disfemisme.

Eufemisme dan disfemisme adalah bentuk perubahan makna dalam bahasa. Selain eufemisme (penghalusan makna) dan disfemisme (pengasaran makna), perubahan makna dapat pula berupa perluasan makna dan penyempitan makna. Perubahan dalam bahasa mungkin terjadi dalam rangka mengakomodasi perkembangan sosial, budaya, serta teknologi di masyarakat tuturnya. Gomez (2012: 43) mengawali tulisannya dengan pernyataan mengenai eufemisme dan disfemisme sebagai berikut:

Euphemism and dysphemism are two cognitive processes of conceptualisation, with countervalent effects (having the same base and resources but different aims and purposes), of a certain forbidden reality. Menurut Gomez (2012), eufemisme dan disfemisme adalah sebuah proses konseptualisasi kognitif yang memiliki efek countervalent, memiliki satu asal kata yang sama namun memiliki tujuan yang berbeda. Keduanya dipakai untuk menyatakan suatu realitas yang dianggap tabu di masyarakat. Dengan demikian,

(26)

dapat dikatakan bahwa baik eufemisme maupun disfemisme digunakan untuk menyatakan tabu bahasa yang berlaku di masyarakat. Eufemisme digunakan untuk menghaluskan tabu bahasa dan disfemisme mempertajam tabu bahasa dengan tujuan tertentu.

Secara teoretis, Allan dan Burridge (dalam Allan, 2012: 3) mendefiniskan eufemisme dan disfemisme dengan lebih jelas sebagai berikut:

A euphemism is used as an alternative to a dispreferred expression, in order to avoid possible loss of face: either one’s own face or, through giving offence, that of the audience, or some third party. A dysphemism is an expression with connotations that are offensive either about the denotatum or to the audience, or both, and it is substituted for a neutral or euphemistic expression for just that reason.

Seperti penjelasan Allan dan Burridge diatas, eufemisme digunakan untuk menghindari tuturan yang menyakitkan hati seseorang atau tuturan yang tidak layak diucapkan. Disfemisme, sebaliknya, adalah ungkapan yang kasar dan menyakitkan tentang sesuatu atau yang ditujukan pada seseorang. Disfemisme dipilih untuk menggantikan ungkapan yang bernilai rasa netral dan eufemisme karena alasan tertentu. Allan dan Burridge pada bagian lain juga menyatakan bahwa eufemisme dan disfemisme hampir tidak dapat dibedakan tanpa adanya konteks tuturan yang jelas. Misalnya saja kata ‘cina’, yang sama sekali tidak bermuatan nilai rasa negatif, akan menjadi disfemisme bila, misalnya, warga keturunan Cina di Indonesia dipanggil dengan sebutan ‘cina’ untuk mengolok-olok karena latar belakang rasnya. Sehingga, untuk menentukan nilai rasa suatu ungkapan, entah itu eufemisme maupun disfemisme, konteks tuturan harus diperhatikan.

(27)

Dalam teks berita, eufemisme dan disfemisme seringkali ditemukan sebagai bentuk penekanan terhadap suatu hal. Misalnya saja, sebuah headline berita berbunyi: Taliban capture key Helmand district of Musa Qala. Dalam kalimat ini ditemukan ungkapan yang mengandung pengasaran makna yaitu capture. Kata capture ini menunjuk pada tindakan Taliban yang menguasai wilayah penting di Helmand yaitu Kota Musa Qala. Dibanding menggunakan kata take over yang maknanya lebih netral, jurnalis lebih memilih menggunakan kata capture yang berkonotasi negatif. Dengan kata lain, capture dipilih sebagai bentuk disfemisme dari take over yang sama-sama berarti ‘menguasai’ untuk memberi penggambaran negatif mengenai Taliban. Selain menunjukkan gambaran negatif suatu pihak, disfemisme yang terletak pada headline sebuah berita juga dapat diartikan sebagai usaha jurnalis dalam menarik perhatian pembaca.

Berhubungan dengan penerjemahan berita, penerjemahan kalimat-kalimat yang mengandung eufemisme dan disfemisme belum banyak mendapat perhatian peneliti terdahulu. Padahal, apabila dicermati, teks berita banyak menggunakan gaya bahasa baik eufemisme maupun disfemisme untuk lebih menarik pembaca. Karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji penerjemahan berita khususnya ungkapan eufemisme dan disfemisme. Melalui kajian ini, penulis ingin mengetahui cara yang ditempuh penerjemah dalam mentransfer gaya bahasa semacam ini, apakah eufemisme diterjemahkan dengan eufemisme dan disfemisme dengan disfemisme ataukah eufemisme diterjemahkan dengan disfemisme dan disfemisme dengan eufemisme.

(28)

Dengan menyadari kompleksnya bahasa jurnalistik, penelitian mengenai penerjemahan teks berita perlu memperhatikan gaya bahasa yang digunakan dalam berita yang diantaranya adalah eufemisme dan disfemisme. Untuk itu, penulis menggunakan pendekatan semantik untuk mengetahui makna ungkapan eufemisme dan disfemisme yang digunakan dalam teks berita. Pendekatan semantik digunakan dalam penelitian ini mengingat penghalusan makna atau eufemisme dan pengasaran makna atau disfemisme adalah wujud perubahan makna yang dipelajari dalam semantik.

Berikut adalah contoh kalimat berita yang mengandung eufemisme sekaligus disfemisme beserta terjemahannya.

BSu: Three US air strikes on Saturday around Musa Qala reportedly killed up to 40 Taliban fighters but the militants regrouped to push Afghan ground forces back.

BSa: Tiga serangan udara AS pada hari Sabtu (22 Agustus) di sekitar Musa Qala dilaporkan menewaskan sampai 40 milisi Taliban. Tetapi kelompok tersebut kemudian menghimpun kembali kekuatan dan memukul mundur pasukan darat Afghanistan.

Kalimat berita BSu mengandung frasa yang bernilai rasa negatif yaitu the militants. Kata militants sebagai kata sifat didefiniskan oleh Oxford English Dictionary (Elevent Edition) sebagai ‘favouring confrontational methods in support of a cause’ sehingga the militants yang merupakan frasa benda bermakna ‘sekelompok orang yang militan, yang seringkali melakukan sesuatu dengan kekerasan’. Jurnalis yang melaporkan berita ini lebih memilih menggunakan kata militants untuk merujuk pada kelompok Taliban. Ini berarti bahwa jurnalis ingin menunjukkan penggambaran negatif tentang suatu kelompok yang dikenal dengan nama Taliban. Kata militants bila dibandingkan dengan sinonimnya fighters (yang

(29)

disebutkan pada kalimat yang sama), memiliki konotasi yang dirasa lebih negatif dibanding set sinonimnya. Dalam kalimat terjemahan di BSa, nilai rasa negatif yang ditekankan pada frasa the militants tidak ditemukan. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa militants adalah ungkapan disfemisme dan fighters adalah ungkapan eufemisme. Penerjemah menerjemahkan ‘the militants’ dengan menggeneralisasi frasa ini sehingga dalam BSa menjadi ‘kelompok tersebut’ yang memiliki nilai rasa lebih netral. Padahal, nilai rasa negatif yang tersirat dalam BSu dapat dipertahankan dalam BSa bila penerjemah melakukan peminjaman naturalisasi. Dalam hal ini, nilai rasa frasa benda disfemisme dalam BSu ternyata bergeser menjadi frasa benda non-disfemisme dengan nilai rasa netral. Sementara itu, untuk menerjemahkan ungkapan eufemisme fighters, penerjemah memilih teknik partikularisasi dan menyebabkan kata eufemsime bergeser menjadi kata disfemisme, militan, dalam BSa. Hal ini menarik untuk dikaji lebih lanjut, apakah pergeseran tersebut berpengaruh pada kualitas terjemahan atau tidak.

Penelitian terkait penerjemahan berita sudah banyak menarik perhatian para peneliti. Bahkan, Karoly (2012: 888) menyebutkan bahwa sejauh ini terdapat empat sudut pandang yang digunakan peneliti dalam kajian penerjemahan berita. Penelitian pada penerjemahan berita dari sudut pandang pasangan bahasanya, sudut pandang peran penerjemah dan strategi yang diterapkan penerjemah, sudut pandang struktur wacana berita seperti judul atau teras berita, dan sudut pandang aspek teks berita yang lengkap yang diasosiasikan dengan perbedaan ideologi BSu dan BSa. Dari keempat sudut pandang yang dirumuskan Karoly, penelitian ini termasuk dalam sudut pandang pertama yaitu penelitian yang mengkaji

(30)

penerjemahan berita dari perbandingan pasangan bahasanya. Penelitian ini mengkaji pasangan Bahasa Inggris sebagai bahasa sumber teks berita dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran dengan berfokus pada gaya bahasa eufemisme dan disfemisme.

Penelitian mengenai eufemisme telah lebih banyak dilakukan dibanding disfemisme (Greene, 2000; Sari, 2004; Hammad, 2007; Al-Hussaini, 2007; Jackova, 2010; Pujaningrat, 2011; Bakhtiar, 2012; Hormingo, 2012; Sari, 2013; Albarakati, 2014; Shehab, dkk., 2014). Penelitian-penelitian itu antara lain mengkaji bentuk, tipe, dan fungsi eufemisme pada berbagai teks (Yuwan Diana Sari, 2004; Sangkawentar Pujaningrat, 2011; Dita Sukma Sari, 2013). Selain kajian mengenai bentuk, tipe, dan fungsi, penelitian eufemisme lain meneliti masalah persamaan kata (Jackova, 2010), proses pembentukan kata baru khususnya eufemisme (Hormingo, 2012), nilai rasa yang terkandung dalam eufemisme (Hammad, 2007), fungsi eufemisme dalam komunikasi di Persia (Bakhtiar, 2012), perbandingan penggunaan eufemisme antara kalangan muda di Rusia dan Inggris (Greene, 2000), perbandingan antara eufemisme Bahasa Inggris dan Bahasa Arab serta penerjemahan ekspresi eufemisme (Albakatiri, 2014 & Shehab, dkk., 2014).

Dari beberapa penelitian yang berkonsentrasi pada eufemime, hanya terdapat dua penelitian yang sudah mengaitkan eufemisme dan penerjemahan. Salah satu penelitian itu membandingkan lima penerjemahan Qur’an dan memfokuskan perhatian pada kalimat-kalimat yang mengandung ekspresi eufemisme. Kelimanya kemudian dikaji strategi dan prosedur penerjemahan

(31)

kalimat-kalimat itu serta bagaimana ekspresi eufemisme diterjemahkan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerjemahan literal paling sesuai untuk menerjemahkan eufemisme yang ditemukan dalam Qur’an (Albakatiri, 2014). Sementara, penelitian lainnya mengkaji konteks yang melatarbelakangi eufemisme dan dampaknya pada terjemahan ekspresi eufemisme dari berbagai teks. Penelitian ini menunjukkan bahwa konteks budaya yang berbeda antara Bahasa Arab dan Bahasa Inggris menyebabkan permasalahan dalam penerjemahan ekspresi eufemisme. Peneliti menemukan bahwa yang terpenting dalam penerjemahan ekspresi eufemisme adalah mendahulukan transfer pesan ekspresi eufemisme daripada nilai rasa yang terkandung di dalamnya apabila konteks budaya kedua bahasa menjadi kendala (Shehab, dkk., 2014)

Peneliti-peneliti yang mengangkat eufemisme bersama dengan disfemisme juga sudah dilakukan oleh beberapa peneliti (Fernandez, 2008; Kurniawati, 2011; Allan, 2012; Gomez, 2012; Tawabteh, 2012; Dhika, 2013; Febrianjaya, 2013; Alvestad, 2014; Cellyne & Nyaigoti, 2014 dan Rababah, 2014). Beberapa peneliti yang membicarakan eufemisme mengangkat juga disfemisme dalam penelitiannya sebagai pembanding. Misalnya saja, terdapat dua penelitian yang mengkaji eufemisme dan disfemisme yang berhubungan dengan seksualitas (Fernandez, 2008; Cellyne & Nyaigoti, 2014). Keduanya sama-sama membahas seksual eufemisme dan disfemisme namun dengan pendekatan yang berbeda. Fernandez berfokus pada penggunaan metaphor sebagai salah satu strategi eufemisme sedangkan Cellyne lebih memperhatikan aspek sosiolinguistik dalam penggunaan eufemisme dan disfemisme.

(32)

Penelitian lain mengenai eufemisme dan disfemisme yang telah dilakukan memiliki fokus yang berbeda satu dengan yang lain. Kajian mengenai eufemisme dan disfemisme dari kacamata linguistik murni, misalnya, telah banyak menjadi perhatian peneliti. Beberapa diantaranya adalah eufemisme dan disfemisme yang dilihat dari sudut pandang pragmatik (Gomez, 2012), analisis wacana (Alvestad, 2014) dan semantik (Kurniawati, 2011; Dhika, 2013; Febrianjaya, 2013; Allan, 2012). Gomez dalam penelitiannya mengungkapkan definisi baru tentang eufemisme dan fungsinya dalam komunikasi sosial yang bukan hanya sebagai sarana menunjukkan tingkat kesopanan namun juga sebagai sarana menunjukkan derajat seseorang. Alvestad menemukan bahwa eufemisme dan disfemisme adalah salah satu sarana bagi penulis atau penutur untuk mengungkapkan keberpihakannya dengan bahasa evaluatif (evaluative language) terhadap suatu masalah. Dari sisi semantik, peneliti memandang eufemisme dan disfemisme sebagai perubahan bahasa dan mengkaji proses pembentukkannya (Allan, 2012), latar belakang penggunaannya (Kurniawati, 2011), tipe, bentuk dan fungsinya (Dhika, 2013), serta implikasi penggunaan eufemisme dan disfemisme dalam proses belajar bahasa (Febrianjaya, 2013).

Dari segi penerjemahan, sayangnya, eufemisme dan disfemisme belum mendapat cukup perhatian dari para peneliti terdahulu. Sejauh ini, hanya ditemukan dua penelitian yang mengkaji penerjemahan eufemisme dan disfemisme (Thawabteh, 2012 & Rababah, 2014). Thawabteh adalah salah satu peneliti yang mengkaji terjemahan eufemisme dan disfemisme dalam penelitiannya. Kajian utamanya adalah subtitle film yang mengandung ungkapan

(33)

eufemisme dan disfemisme. Thawabteh menemukan bahwa ungkapan eufemsime dan disfemisme SL dapat diterjemahkan menjadi ungkapan eufemisme dan disfemisme di dalam TL atau menjadi ungkapan bukan eufemisme dan disfemisme. Selain itu, hasil penelitiannya juga menemukan beberapa ungkapan bukan eufemisme dan disfemisme dalam SL yang diterjemahkan menjadi ungkapan eufemisme dan disfemisme dalam TL. Selain Thawabteh, Rababah juga mengkaji penerjemahan x-femisme (set eufemisme, disfemisme dan ortofemisme) dalam bidang medis. Yang sangat disayangkan, penelitian ini hanya menyinggung sedikit masalah penerjemahan dan lebih banyak berbicara mengenai bentuk, gaya penyampaian serta motif penggunaan x-femisme di bidang medis.

Dari berbagai penelitian mengenai perubahan makna, khususnya eufemisme dan disfemisme, peneliti menemukan bahwa penelitian yang hanya berfokus pada ungkapan disfemisme sangat terbatas jumlahnya (Laili, 2009; Harsiwi, 2009; Luxielmi dkk., 2013; Khasan, 2013; Gunawan, 2014). Dalam berbagai penelitian itu, bentuk, fungsi dan makna disfemisme adalah topik yang paling sering diangkat oleh hampir seluruh penelitian mengenai disfemisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan bentuknya, disfemisme dapat berupa kata, frasa, serta kalimat. Sedangkan berdasarkan fungsinya, disfemisme digunakan untuk menunjukkan penilaian negatif tentang seseorang atau sesuatu, menunjukkan ketidaksetujuan, menunjukkan rasa marah, dan lain sebagainya. Selain itu, salah satu penelitian mengenai disfemisme juga mengkaji tipe, sumber, dan gaya pengungkapan disfemisme dalam lirik lagu Greenday dan Slipknot (Laili, 2009). Dari penelitian ini diketahui bahwa terdapat 7 tipe disfemisme

(34)

ditemukan dalam lirik lagu Greenday dan Slipknot, yang antara lain adalah pembandingan manusia dengan hewan, pengungkapan ciri-ciri fisik, dan lain-lain. Berdasarkan sumbernya, ungkapan disfemisme terbentuk melalui 11 cara, antara lain melalui jargon, hiperbola, metonimi dan lain sebagainya.

Dari penelitian-penelitian diatas, penulis menemukan gap atau celah penelitian yang dapat diisi dengan penelitian ini. Pertama, kebanyakan penelitian terdahulu lebih berfokus pada eufemisme dibanding disfemisme yang juga merupakan fenomena kebahasaan. Kedua, penelitian mengenai eufemisme dan disfemisme belum dikaitkan dengan permasalahan dalam penerjemahan. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk mengkaji bentuk-bentuk penerjemahan ungkapan eufemisme dan disfemisme untuk melihat bagaimana ungkapan-ungkapan tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, teknik apa saja yang digunakan dalam penerjemahan serta bagaimana kualitas terjemahannya.

Teks berita yang akan dikaji berasal dari media online BBC pada laman bbc.com dan terjemahannya pada laman bbc.com/Indonesia. Situs bbc.com/Indonesia dipilih sebagai sumber berita terjemahan karena situs ini hanya menerjemahkan berita dari satu sumber yaitu bbc.com. Dengan demikian, terjemahan yang dihasilkan bukanlah hasil clipping atau penerjemahan dari berbagai sumber berita yang disusun menjadi satu teks berita dalam bahasa sasaran. Teks berita yang seperti ini tentunya akan lebih memudahkan peneliti dalam mencari ungkapan eufemisme dan disfemisme serta menelusuri terjemahan ungkapan tersebut dalam teks sasaran.

(35)

B. Batasan Masalah

Penulis merumuskan batasan masalah yang akan ditinjau dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1. Penelitian berfokus pada ungkapan eufemisme dan disfemisme yang terdapat dalam berbagai kategori berita dalam media online BBC dan terjemahannya.

2. Satuan lingual yang akan diteliti ada pada tataran kata dan frasa. 3. Kualitas terjemahan berita akan dikaji dengan Accuracy-rating

Instrument.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang serta batasan masalah yang sudah dijabarkan, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimanakah ungkapan eufemisme dan disfemisme dalam teks berita media online BBC diterjemahkan?

2. Teknik apa yang digunakan penerjemah dalam menerjemahkan ungkapan eufemisme dan disfemisme pada teks berita media online BBC?

3. Bagaimana pengaruh penggunaan teknik penerjemahan terhadap kualitas terjemahan ungkapan eufemisme dan disfemisme dalam teks berita media online BBC?

(36)

D. Tujuan Penelitian

Dari permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan diatas, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menjelaskan cara penerjemahan ungkapan eufemisme dan disfemisme yang ditemukan dalam teks berita media online BBC.

2. Menjelaskan teknik yang digunakan penerjemah dalam menerjemahkan ungkapan eufemisme dan disfemisme pada teks berita media online BBC.

3. Menjelaskan pengaruh teknik penerjemahan terhadap kualitas terjemahan ungkapan eufemisme dan disfemisme dalam teks berita media online BBC.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam dunia penerjemahan khususnya penerjemahan berita. Bagi penerjemah berita, penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran mengenai teknik penerjemahan yang paling sesuai untuk menerjemahkan kalimat-kalimat yang mengandung eufemisme dan disfemisme dalam teks berita. Disamping itu, penilaian kualitas terjemahan juga diharapkan dapat memberi masukan pada penerjemah berita agar lebih jeli dalam memilih teknik penerjemahan untuk menghasilkan terjemahan yang berkualitas. Selain kepada penerjemah berita, penelitian ini juga ditujukan kepada peneliti bidang penerjemahan berikutnya. Penelitian ini diharapkan dapat

(37)

menjadi bahan pertimbangan untuk penelitian bidang penerjemahan berita selanjutnya.

(38)

15

Bab ini membahas teori-teori yang berkaitan dengan penelitian serta kerangka pikir penelitian. Teori-teori yang dikaji adalah teori penerjemahan dan teori semantik. Teori penerjemahan meliputi definisi, proses dan teknik penerjemahan serta penilaian kualitas terjemahan. Sedangkan teori semantik, sebagai pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini, berfokus pada perubahan makna. Perubahan makna yang akan diulas adalah eufemisme dan disfemisme. Namun sebelumnya, perbedaan antara eufemisme, disfemisme dan ortofemisme, sebagai satu set x-femisme, akan dijabarkan untuk memberi keterangan lebih rinci mengenai perbedaan ketiganya. Kategori sintaksis eufemisme dan disfemisme juga akan dipaparkan sebagai dasar penggolongan eufemisme dan disfemisme yang ditemukan dalam berita.

A. Kajian Teori 1. Penerjemahan

1.1 Definisi Penerjemahan

Sesuai dengan pendapat Shuttleworth (dalam Munday, 2009: 6) yang menyebutkan bahwa penerjemahan adalah an incredibly broad notion which can be understood in many different ways, penerjemahan memang memiliki makna yang luas. Jacobson (dalam Munday, 2009: 13) menggolongkan penerjemahan menjadi tiga. Yang pertama adalah intralingual translation

(39)

atau penerjemahan intralingual, penginterpretasian makna dalam satu bahasa yang dapat juga disebut parafrase. Yang kedua adalah intersemiotic translation yang dimaknai sebagai penerjemahan teks menjadi, misalnya, film, lukisan atau lagu. Yang ketiga adalah interlingual translation yang didefinisikan Jacobson sebagai an interpretation of verbal signs by means of some other languages. Penerjemahan yang merupakan proses pemaknaan verbal sign dalam satu bahasa (BSu) menggunakan sarana bahasa lain (BSa) inilah yang akan dibahas lebih lanjut pada bagian ini.

Para pakar penerjemahan sudah banyak memberikan deskripsi tentang penerjemahan interlingual (selanjutnya disebut ‘penerjemahan’ saja) dengan tujuan memperjelas batasan-batasan pada istilah penerjemahan. Salah satu definisi penerjemahan yang telah disetujui banyak peneliti adalah definisi oleh Nida dan Taber. Dalam bukunya, mereka memberikan definisi penerjemahan sebagai berikut:

Translating consists in reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of the source-language message, first in terms of meaning and secondly in terms of style (1982:12)

Menurut pandangan Nida dan Taber tersebut, hal yang sentral dalam penerjemahan sebagai proses adalah kesepadan makna antara BSu dan BSa. Masalah kesepadanan dalam penerjemahan adalah satu hal mutlak yang tidak dapat ditawar. Namun, seperti diungkapkan Sapir (dalam Bassnett, 2002: 22), tidak ada dua bahasa yang benar-benar sama sehingga dapat merepresentasikan satu realitas sosial yang sama. Oleh karena itu, Nida dan

(40)

Taber menekankan bahwa hal kesepadanan makna harus lebih diutamakan di atas kesepadan bentuk.

Pendapat lain mengenai penerjemahan diberikan oleh Bassnet (2002; 12). Bassnet mengungkapkan bahwa:

Translation involves the rendering of a source language (SL) text into the target language (TL) so as to ensure that (1) the surface meaning of the two will be approximately similar and (2) the structures of the SL will be preserved as closely as possible but not so closely that the TL structures will be seriously distorted.

Bassnet menekankan, seperti halnya Nida dan Taber, bahwa penerjemahan melibatkan perubahan teks dari BSu ke BSa. Bassnet juga menambahkan bahwa pada akhirnya, makna BSa harus sedapat mungkin sama dengan BSu. Selain makna yang harus ditransfer semaksimal mungkin, struktur BSu juga harus diperhatikan dan sebisa mungkin dipertahankan dalam BSa. Namun, satu hal yang harus diperhatikan, dalam mempertahankan struktur BSu di BSa, penerjemah harus berhati-hati agar struktur BSa tidak sampai terdistorsi struktur BSu. Distorsi dalam BSa dapat menyebabkan hasil penerjemahan menjadi tidak natural bagi pembaca BSa.

Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemahan bukan hanya transfer makna dari BSu ke dalam BSa namun juga transfer bentuk. Dalam prosesnya, tujuan utama penerjemahan adalah untuk mencapai kesepadanan makna antara BSu dan BSa yang kemudian diikuti dengan penyesuaian bentuk dalam BSa. Dengan penerjemahan, pembaca diharapkan dapat menikmati teks yang natural dan tidak tampak seperti terjemahan.

(41)

1.2 Proses Penerjemahan

Proses penerjemahan dikenal juga dengan proses kognitif atau proses mental yang hanya ada dalam otak penerjemah. Artinya, proses penerjemahan adalah proses yang kasat mata. Sedangkan proses menerjemahkan adalah proses riil dari penerjemahan yang dapat dilihat dan diamati. Secara garis besar, proses penerjemahan meliputi proses pengambilan keputusan oleh penerjemah untuk menentukan segala hal yang perlu dilakukan dalam menerjemahkan teks.

Untuk memberikan gambaran mengenai proses mental dalam menerjemahkan teks, Nida dan Taber (1982; 33) mengemukakan tiga tahapan yang tertuang dalam diagram berikut ini.

Gambar 2.1 Proses Penerjemahan versi Nida dan Taber

Proses penerjemahan menurut Nida dan Taber meliputi proses analisis, transfer, dan restructuring. Yang pertama, tahap analisis. Dalam tahapan ini, teks BSu dianalisis hubungan gramatika, makna tiap kata, serta makna hubungan antar kata. Proses ini dilakukan dengan membaca teks BSu secara komprehensif untuk memahami makna yang terkandung dalam teks dengan

(42)

baik. Tahap kedua adalah transfer. Pada tahapan ini, teks yang sudah dianalisis kemudian ditransfer isi atau pesannya dari bahasa A ke bahasa B. Proses transfer yang meliputi pencarian padanan yang tepat untuk setiap unit makna ini tentunya masih ada dalam otak penerjemah. Sedangkan tahap yang ketiga dan terakhir adalah restructuring. Pada tahap ini pesan dari A disusun ulang dan diformulasi sesuai dengan struktur B sehingga terjemahan berterima bagi pembaca B.

1.3 Teknik Penerjemahan

Dalam proses transfer pesan dari BSu ke BSa, penerjemah seringkali harus menghadapi permasalah. Untuk itu, penerjemah memerlukan strategi serta teknik penerjemahan yang tepat. Molina dan Albir dalam translation techniques revisited mendefinisikan strategi penerjemahan sebagai ‘an essential element in problem soving’ (2002: 507). Artinya, strategi berperan penting dalam mengatasi masalah penerjemahan. Sementara itu, teknik penerjemahan didefinisikan sebagai ‘procedures to analyse and classify how translation equivalence works’ (2002: 509). Definisi ini menegaskan bahwa teknik penerjemahan adalah prosedur untuk menganalisis dan menggolongkan cara mencapai kesepadanan makna dalam penerjemahan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa teknik adalah realisasi dari strategi yang dipilih penerjemah untuk mengatasi masalah penerjemahan.

Molina dan Albir juga menegaskan bahwa strategi dan teknik berada pada tataran yang berbeda dalam penerjemahan. Menurut mereka, strategi

(43)

adalah bagian dari proses, sedangkan teknik berkaitan langsung dengan produk terjemahan dan dapat diamati melalui produk terjemahan (2002: 508). Untuk membedakan teknik dengan strategi penerjemahan yang seringkali overlap, Molina dan Albir menegaskan bahwa teknik penerjemahan memiliki 5 karakteristik utama, yaitu:

1) mempengaruhi hasil terjemahan

2) hasil perbandingan dengan bahasa sumber dan bahasa sasaran 3) mempengaruhi unik mikro suatu teks

4) bersifat diskursif dan kontekstual 5) bersifat fungsional.

Berikut ini adalah pembahasan singkat mengenai 18 teknik penerjemahan rujukan Molina dan Albir.

1) Adaptation (adaptasi) adalah teknik yang mengganti unsur budaya bahasa BSu dengan unsur budaya BSa. Namun, yang harus diperhatikan, unsur budaya dalam BSu dan BSa harus memiliki konsep yang sama. Hal ini penting untuk menjaga keaslian makna BSu dalam BSa. Berikut ini adalah contoh penggunaan teknik adaptasi dalam terjemahan.

BSu : Its fur is as white as snow. BSa : Bulunya seputih kapas.

‘Kapas’ digunakan untuk mengganti ‘snow’ yang dalam budaya Indonesia kurang berterima. Sebagai negara tropis, Indonesia tidak mengenal konsep ‘snow’. Untuk mengganti ‘snow’ , metafora yang

(44)

mengandung makna ‘putih sekali’, bahasa Indonesia memiliki ‘kapas’ yang juga bermakna ‘putih sekali’. Karena itu, ‘snow’ diterjemahkan dengan diadaptasi dalam BSa.

2) Amplification (Amplifikasi) adalah teknik yang mengeksplisitkan atau memparafrase dalam BSa informasi yang sebenarnya implisit dalam BSu. Teknik ini memungkinkan pembaca memahami konsep BSu yang tidak terdapat dalam BSa secara lebih jelas. Teknik Amplifikasi ini dapat berupa parafrase, penambahan, eksplisitasi, dan pemberian anotasi. Misalnya:

BSu : Malaysian Airlines will become an "entirely new company" its new boss has said.

BSa : Malaysian Airlines akan berubah menjadi maskapai baru kata direktur utama Malaysian Airlines.

Contoh ini menunjukkan bahwa informasi tentang ‘new boss’ dalam BSu telah diperjelas dengan terjemahannya yang menjadi ‘direktur utama Malaysian Airlines’.

3) Borrowing (Peminjaman). Sesuai dengan namanya, teknik ini meminjam istilah yang terdapat dalam BSu untuk terjemahan dalam BSa. Terdapat dua jenis teknik peminjaman dalam penerjemahan, yaitu peminjaman murni (pure borrowing) dan peminjaman naturalisasi (naturalized borrowing). Peminjaman murni adalah teknik penerjemahan yang meminjam kata atau ungkapan secara langsung dan tanpa perubahan dari BSu. Misalnya, dalam kalimat berikut ini:

(45)

BSu : There’s no internet connection here. BSa : Tidak ada koneksi internet disini.

Teknik peminjaman lainnya adalah peminjaman yang disertai dengan penyesuaian ejaan pada BSa atau sering disebut naturalized borrowing. Contoh peminjaman naturalisasi adalah sebagai berikut: BSu : They need a new strategy if they want to win this game. BSa : Mereka perlu strategi baru bila ingin memenangkan permainan ini.

4) Calque (Kalke). Teknik kalke adalah teknik penerjemahan harfiah dari BSu ke BSa secara leksikal atau struktural. Penerjemahan ini masih mempertahankan struktur BSu dalam BSa. Contoh penggunakan teknik kalke adalah sebagai berikut:

BSu : vice president BSa : wakil presiden

5) Compensation (Kompensasi) adalah teknik yang memindahkan unsur stilistika bahasa sumber di tempat lain dalam bahasa sasaran karena unsur ini tidak mungkin diletakkan pada posisi yang sama. Misalnya, BSu : It is hard though to be a woman

BSa : Bagaimanapun, menjadi wanita itu hal yang sulit.

Konstruksi bahasa Inggris memungkinkan konjungsi ‘though’ untuk diletakkan ditengah kalimat. Namun, konstruksi bahasa Indonesia meletakkan konjungsi diawal atau akhir kalimat. Oleh karena itu,

(46)

teknik kompensasi adalah teknik yang paling sesuai untuk menerjemahkan konjungsi ‘though’.

6) Description (deksripsi). Teknik ini mengganti suatu kata atau frasa dalam BSu dengan deskripsi tentang bentuk atau fungsi kata tersebut dalam BSa. Teknik ini memiliki kemiripan dengan teknik amplifikasi. Bedanya, teknik amplifikasi hanya mengeksplisitkan informasi yang tersirat sedangkan teknik deskripsi menjelaskan sesuatu diluar suatu kata itu yang berkaitan dengan bentuk atau fungsi kata yang dimaksud. Misalnya,

BSu : Sate kambing adalah makanan favoritnya.

BSa : Lamb satay, grilled marinated lamb on skewer served

with rice cake and sweet chilli soy sauce, is his favourite

food.

‘Sate kambing’ adalah makanan khas Indonesia yang tidak dimiliki negara lain. Karena itu, untuk memberi gambaran yang jelas mengenai seperti apa sate kambing itu, penerjemah memberi deskripsi mengenai bentuk sate kambing itu.

7) Discursive creation (kreasi diskursif) adalah teknik yang menampilkan kesepadanan yang keluar dari konteks serta bersifat sementara. Teknik ini biasa dipakai dalam penerjemahan judul buku atau film. Contohnya:

BSu : Ronggeng Dukuh Paruk BSa : The Dancer

(47)

Ronggeng Dukuh Paruk adalah judul sebuah novel karya Ahmad Tohari yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Dancer.

8) Established equivalent (kesepadanan lazim) adalah penggunaan istilah atau ekspresi yang lazim dikenal sebagai padanan suatu istilah atau ekspresi dari BSu (biasanya dapat ditemukan dalam kamus atau penggunaan bahasa sehari-hari). Contohnya,

BSu : She does not consume rice during her diet. BSa : Dia tidak makan nasi selama diet.

Kata ‘rice’ yang diterjemahkan menjadi ‘nasi’ dalam BSa menunjukkan bahwa penerjemah menggunakan istilah yang biasa digunakan dalam BSa dan dapat ditemukan dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia.

9) Generalization (generalisasi) adalah teknik yang mengganti suatu istilah dalam BSu dengan istilah yang lebih umum atau netral dalam BSa. Misalnya,

BSu : They found a forget-me-not in that forest.

BSa : Mereka menemukan sekuntum bunga di hutan itu.

‘forget-me-not’ adalah sejenis bunga dari Jerman yang tumbuh dihutan. Jenis bunga ini tidak dikenal di dalam budaya Indonesia, karena itu, penerjemah menerapkan teknik generalisasi untuk penerjemahan nama bunga ini.

(48)

10) Linguistic amplification (amplifikasi linguistik). Teknik ini menambahkan elemen linguistik dalam BSa. Teknik amplifikasi linguistik banyak digunakan dalam penerjemahan sulih suara (dubbing). Teknik ini bertolak belakang dengan teknik kompresi linguistik yang akan dibahas selanjutnya. Contoh penggunaan teknik ini adalah:

BSu : Marry me?

BSa : Maukah kau menikah denganku?

11) Linguistic compression (kompresi linguistik). Seperti sudah disinggung sebelumnya, kompresi linguistic berkebalikan dengan amplifikasi linguistik. Teknik ini memadatkan unsur linguistik dalam BSa. Teknik ini sering digunakan dalam proses subtitling yang merupakan penerjemahan berbatas ruang dan waktu. Misalnya:

BSu : let me tell you something. BSa : kuberitahu kau.

Terjemahan dalam BSa menjadi lebih padat karena adanya kompresi pada kata ‘let me’ dan ‘something’.

12) Literal translation (penerjemahan harfiah) adalah teknik menerjemahkan kata demi kata namun dengan penyesuaian struktur bahasa sasaran. Misalnya:

BSu : to kill two birds with one stone

(49)

Teknik ini sudah mengikuti struktur bahasa sasaran tetapi masih terlepas dari konteks.

13) Modulation (modulasi) adalah teknik yang mengubah sudut pandang, fokus, atau kategori kognitif BSu baik secara literal maupun struktural. Contohnya:

BSu : Get moving or I’ll be doing the firing. BSa : keluar atau kau yang akan ku pecat.

Dalam contoh ini, klausa aktif ‘I’ll be doing the firing’ berubah menjadi klausa pasif ‘kau yang akan ku pecat’.

14) Particularization (partikularisasi) menekankan pada penggunaan istilah yang lebih spesifik dan konkret pada BSa. Misalnya:

BSu : artistic manifestation BSa : lukisan

Teknik ini adalah kebalikan dari teknik generalisasi.

15) Reduction (reduksi) adalah teknik yang memadatkan informasi dari bahasa sumber. Teknik ini adalah kebalikan dari teknik amplifikasi. Contohnya:

BSu : Nothing and nobody can stop me from speaking. BSa : Tidak ada yang bisa menghentikanku berbicara.

‘Nothing and nobody’ yang bermakna ‘tidak ada satu pun dan tidak seorang pun’ hanya diterjemahkan menjadi ‘tidak ada’. Artinya, terdapat beberapa lagian dari frasa ini yang direduksi.

(50)

16) Substitution (substitusi) dilakukan dengan cara mengganti elemen linguistik dalam BSu menjadi elemen paralinguistik (berupa intonasi atau gestur) dalam BSa atau sebaliknya. Misalnya:

BSu : Dia menyapanya dari jendela itu.

BSa : She waves her hand at him from the window.

Elemen linguistik ‘menyapa’ diterjemahkan menjadi elemen paralinguistik yang menunjukkan gestur ‘wave her hand’.

17) Transposition (transposisi) adalah teknik yang mengubah kategori gramatikal suatu kata atau frasa dari BSu ke dalam BSa. Perubahan dapat berupa pengubahan bentuk jamak atau tunggal, fungsi kata, maupun struktur kalimat secara keseluruhan. Contohnya:

BSu : I congratulate her.

BSa : aku memberinya ucapan selamat.

Dalam contoh kalimat BSu diatas terdapat verba ‘congratulate’ yang diterjemahkan dalam BSa menjadi nomina ‘ucapan selamat’. Dengan demikian, terjadi perubahan kategori kata (part of speech).

18) Variation (variasi). Teknik yang mengubah elemen linguistik maupun paralinguistik yang berpengaruh pada variasi linguistik yang meliputi perubahan tona tekstual, gaya bahasa, dialek sosial, dialek geografis dan lain-lain. Contohnya:

BSu : What do you say? BSa : apa lo bilang?

(51)

Teknik variasi digunakan dalam penerjemahan kata ‘you’ menjadi ‘lo’ sesuai dengan dialek betawi.

Selain kedelapanbelas teknik Molina dan Albir, teknik lain yang juga dapat dijadikan acuan dalam penerjemahan adalah dua teknik yang diajukan Delisle (1993, dalam Molina dan Albir). Kedua teknik yang diajukan Delisle adalah teknik addition dan omission. Keduanya, menurut Delisle, termasuk dalam translation error. Addition atau penambahan adalah teknik yang menambahkan unsur stilistika atau informasi kedalam BSa yang sama sekali tidak terdapat dalam BSu. Sedangkan omission adalah penghilangan informasi yang ada BSu di dalam BSa. Teknik addition dan omission ini seringkali menyebabkan tumpang tindih dengan teknik amplification dan reduction milik Molina dan Albir. Faktor pembeda antara addition dan amplification adalah pada pesan yang disampaikan. Addition menambahkan informasi yang sama sekali tidak muncul dalam BSu sedangkan amplification hanya memperjelas informasi yang tersirat dalam BSu. Begitu pula dengan omission dan reduction. Omission menghilangkan informasi atau pesan yang ada di BSu ke dalam BSa sedangkan reduction hanya memadatkan pesan BSu ke dalam BSa.

1.4 Penilaian Kualitas Terjemahan

Hasil penerjemahan suatu teks perlu diperiksa dari segi mutu terjemahannya. Nababan (2004) menyatakan bahwa fungsi terjemahan adalah sebagai alat komunikasi antara penulis teks bahasa sumber dengan pembaca

(52)

teks bahasa sasaran. Oleh sebab itu, untuk mengetahui mutu terjemahan, diperlukan adanya evaluasi terhadap kualitas terjemahan itu.

Menurut Nababan, dkk. (2012), penerjemahan yang berkualitas harus memenuhi tiga aspek, yaitu aspek keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan. Ketiganya akan diuraikan secara singkat, sebagai berikut:

1) Aspek Keakuratan

Keakuratan adalah sebuah istilah yang digunakan dalam mengevaluasi kesepadanan antara teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran. Konsep kesepadanan ini mengacu pada kesamaan isi atau pesan bahasa sumber yang disampaikan dalam bahasa sasaran. Suatu teks dianggap sebagai terjemahan yang baik bila memiliki kesamaan pesan dengan teks asli dalam bahasa sumber. Berikut ini adalah instrumen yang digunakan dalam menilai keakuratan terjemahan (Nababan dkk, 2012; 50):

Tabel 2.1 Instrumen Penilaian Keakuratan Terjemahan

Kategori Terjemahan

Skor Parameter Kualitatif

Akurat 3 Makna kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat atau teks bahasa sumber dialihkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; sama sekali tidak terjadi distorsi makna.

Kurang Akurat 2 Sebagian besar makna kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat atau teks bahasa sumber sudah dialihkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran. Namun, masih terdapat distorsi makna atau terjemahan makna ganda (taksa) atau ada makna yang dihilangkan, yang mengganggu keutuhan pesan.

Tidak Akurat 1 Makna kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat atau teks bahasa sumber dialihkan secara tidak akurat ke dalam bahasa sasaran atau dihilangkan (deleted).

(53)

2) Aspek Keberterimaan

Keberterimaan mengacu pada kesesuaian terjemahan dengan kaidah, norma, dan budaya bahasa sasaran, baik pada tataran makro maupun mikro. Selain konsep keakuratan, konsep keberterimaan ini juga harus diperhatikan dengan seksama. Suatu terjemahan tidak cukup hanya dengan menyampaikan pesan BSu secara akurat kedalam BSa. Penerjemah harus juga memperhatikan cara penyampaian pesan itu, kesesuaiannya dengan kaidah, norma, dan budaya bahasa sasaran, untuk dapat diterima pembaca bahasa sasaran. Untuk menilai keberterimaan terjemahan di BSa, instrument berikut ini akan dijadikan acuan (Nababan dkk, 2012; 51).

Tabel 2.2 Instrumen Penilaian Keberterimaan Terjemahan

Kategori Terjemahan

Skor Parameter Kualitatif

Berterima 3 Terjemahan terasa alamiah; istilah teknik yang digunakan lazim digunakan dan akrab bagi pembaca; frasa, klausa, dan kalimat yang digunakan sudah sesuai dengan kaidah-kaidah Bahasa Indonesia.

Kurang Berterima 2 Pada umumnya terjemahan sudah terasa alamiah; namun ada sedikit masalah pada penggunaan istilah teknis atau terjadi sedikit kesalahan gramatikal.

Tidak Berterima 1 Terjemahan tidak alamiah atau terasa seperti karya terjemahan; istilah teknis yang digunakan tidak lazim digunakan dan tidak akrab bagi pembaca; frasa, klausa dan kalimat yang digunakan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah Bahasa Indonesia.

(54)

3) Aspek Keterbacaan

Aspek yang juga harus menjadi perhatian adalah aspek keterbacaan. Aspek keterbacaan ini menyangkut tidak hanya keterbacaan teks bahasa sasaran, namun juga teks bahasa sumber. Penerjemahan akan menghasilkan teks terjemahan yang baik bila penerjemah menguasai konsep keterbacaan bahasa sumber dan bahasa sasaran dengan baik. Instrumen penilaian tingkat keterbacaan terjemahan (Nababan dkk, 2012; 51) adalah sebagai berikut:

Tabel 2.3 Instrumen Penilaian Keterbacaan Terjemahan

Kategori Terjemahan

Skor Parameter Kualitatif

Tingkat Keterbacaan

Tinggi

3 Kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat atau teks terjemahan dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca.

Tingkat Keterbacaan

Sedang

2 Pada umumnya terjemahan dapat dipahami oleh pembaca; namun ada bagian tertentu yang harus dibaca lebih dari satu kali untuk memahami terjemahan.

Tingkat Keterbacaan

Rendah

1 Terjemahan sulit dipahami oleh pembaca.

Aspek penilaian kualitas terjemahan di atas memiliki bobot nilai yang berbeda-beda. Aspek keakuratan memiliki bobot tertinggi, yaitu 3, karena keakuratan pesan adalah konsep dasar penerjemahan. Pada urutan kedua, aspek keberterimaan memiliki bobot 2 karena berhubungan langsung dengan kaidah, norma, serta budaya yang berlaku di BSa (Nababan dkk, 2012; 52). Sedangkan aspek keterbacaan menempati urutan ketiga dengan bobot nilai 1 karena penerjemahan, menurut Nababan, tidak berhubungan

(55)

langsung dengan mudah atau tidaknya terjemahan itu dipahami oleh pembaca sasaran.

2. Semantik

Lyons mendefinisikan semantik sebagai the study of meaning. Pengertian sederhana mengenai semantik ini kemudian diperjelas oleh Pateda. Pateda berpendapat bahwa semantik adalah studi tentang makna sebagai unsur bahasa baik dalam wujud morfem, kata, atau kalimat (2001: 25). Hal ini berarti bahwa semantik mengkaji makna pada berbagai tataran kebahasaan, mulai dari tataran morfem, kata hingga tataran yang lebih besar yaitu kalimat. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Chaer bahwa semantik dengan makna sebagai objeknya berada di dalam tataran fonologi, morfologi dan sintaksis (2012: 284). Parera, selanjutnya, memberikan batasan bagi kajian semantik yang disebutnya dengan istilah batas liput semantik. Batas liput semantik menurut Parera merupakan tujuan sebuah teori semantik. Menurutnya, semantik harus berhubungan dengan semua ujaran dalam bahasa yang bermakna dan hubungan-hubungan makna yang dikandung oleh ujaran itu (2004: 51). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semantik sebagai salah satu cabang ilmu linguistik mengangkat makna sebagai kajian utamanya dan makna yang dipelajari semantik itu berada pada tataran morfem, kata, hingga kalimat.

Makna yang dikaji dalam semantik telah banyak menjadi perhatian para bahasawan. Salah satu pandangan yang paling terkemuka mengenai makna

(56)

adalah pandangan Ferdinan de Saussure. Saussure menjelaskan makna dengan teori tanda linguistik. Menurutnya, setiap tanda linguistik memiliki dua komponen yang berupa signifian, yang mengartikan, dan signifie, yang diartikan. Keduanya kemudian berwujud pengertian atau konsep. Misalnya, tanda linguistik <mobil> terdiri dari komponen signifian yang berupa fonem /m/, /o/, /b/, /i/ dan /l/ dan komponen signifie yang berupa konsep atau makna ‘alat transportasi beroda empat’. Kedua komponen itu merujuk pada sebuah referen diluar bahasa, yaitu “sebuah mobil”. Jadi, menurut Saussure, makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki sebuah tanda linguistik (dalam Chaer, 2012: 287).

Namun, sesuai dengan perkembangan zaman, pengertian atau konsep yang dimiliki tanda linguistik itu dapat mengalami pergeseran dan perubahan. Parera dalam Teori Semantik membedakan pergeseran dan perubahan. Menurut Parera (2004: 107), dalam pergeseran makna, rujukan awal tidak berubah atau diganti namun hanya mengalami perluasan atau penyempitan rujukan. Sedangkan dalam perubahan makna terjadi pergantian rujukan yang menyebabkan rujukan baru berbeda dari rujukan awal. Namun, menurut pandangan Chaer, baik pergeseran maupun perubahan makna tidak dibedakan, keduanya dianggap fenomena kebahasaan yang mengubah makna. Perubahan itu mungkin dalam bentuk penyempitan, perluasan, perubahan total, serta usaha penghalusan makna, eufemisme, dan pengasaran makna, disfemisme (2012: 313-315). Pendapat Chaer ini senada dengan Bloomfield yang menuturkan bahwa perubahan makna atau perubahan semantik adalah

(57)

inovasi-inovasi yang mengubah makna leksikal, dan bukan fungsi gramatikal suatu bentuk (1995: 411). Karena itu, dapat disimpulkan bahwa perubahan makna sebagai akibat perubahan sosial dan budaya masyarakat pengguna bahasa hanya mempengaruhi makna leksikal tanpa mengubah fungsi gramatikalnya. Perubahan bahasa dapat berupa perluasan makna, penyempitan makna, perubahan total, eufemisme dan disfemisme.

Chaer dalam bukunya (2012: 315) memaparkan bahwa perubahan makna menyangkut juga usaha menghaluskan dan mengasarkan ungkapan dengan kosakata yang memiliki sifat itu. Usaha menghaluskan sering juga disebut eufemia atau eufemisme. Kata “korupsi” ,misalnya, diperhalus dengan ungkapan “menyalahgunakan uang negara”, “pemecatan” dengan “pemutusan hubungan kerja”, atau “buruh” dengan “pramuwisma”. Sebaliknya, usaha mengasarkan disebut juga disfemia atau disfemisme. Contohnya, kata “mengambil” yang dikasarkan dengan kata “mencaplok”, ungkapan “memasukkan ke penjara” dengan “menjebloskan ke penjara”.

2.1 Disfemisme, Eufemisme, dan Ortofemisme

Perubahan makna dalam bahasa juga meliputi perubahan nilai rasa yang terkandung dalam makna itu. Lyons menyebutkan bahwa the sense of an expression may be defined as set, or network, of sense-relations that hold between it and other expressions of the same language (1995: 80). Artinya, rasa yang dimiliki suatu ungkapan adalah serangkaian hubungan rasa yang dimiliki antara ungkapan itu dengan ungkapan lain dalam satu bahasa yang

(58)

sama. Maksudnya, rasa suatu ungkapan hanya dapat dilihat setelah membandingkan ungkapan itu dengan ungkapan lain dalam bahasa yang sama. Dalam hal ini, konsep cross-varietal synonymy harus dipahami dengan baik. Marsen (2008: 9) mendeskripsikan cross varietal synonymy sebagai

words classified on a continuum according to their level of social appropriateness. Menurut Marsen, serangkaian kata-kata yang bersinonim memiliki tingkat kelayakan sosial yang berbeda-beda. Dalam Bahasa Inggris, misalnya, kata toilet, loo dan shithouse. Ketiga ungkapan tersebut memiliki makna yang sama yaitu a room or building equipped with one or more toilets atau kita sebut saja kamar kecil. Meskipun ketiganya bermakna sama, nilai rasa yang terkandung dalam tiap ungkapan berbeda-beda.

Konsep cross varietal synonymy ini terkait erat dengan disfemisme, eufemisme dan ortofemisme yang selanjutnya disebut x-femisme. Satu rangkaian x-femisme tersusun atas sebuah rangkaian cross varietal synonymy. Dalam contoh rangkaian kata toilet, loo dan shithouse di atas, misalnya, toilet adalah ungkapan yang bernilai rasa paling netral (ortofemisme), loo sudah mengalami penghalusan nilai rasa (eufemisme), dan shithouse adalah ungkapan yang nilai rasanya paling kasar (disfemisme). Contoh lain misalnya disable (ortofemisme), crippled (disfemisme), dan physically challenged (eufemisme).

Sebelum membahas disfemisme lebih lanjut, eufemisme dan ortofemisme serta hubungan antara ketiganya harus pula dipahami dengan

(59)

baik. Allan and Burridge (2006: 33) menjelaskan hubungan antara ketiganya sebagai berikut:

An orthophemism is typically more formal and more direct (or literal) than the corresponding euphemism. A euphemism is typically more colloquial and figurative (or indirect) than the corresponding orthophemism. Like euphemisms, dysphemisms are typically more colloquial and figurative than orthophemisms (but, for instance, to truthfully call someone fat is direct).

Allan dan Burridge menilai bahwa ortofemisme dan eufemisme sama-sama digunakan sebagai pengganti ungkapan disfemisme yang kasar. Ortofemisme bersifat lebih formal dan langsung daripada eufemisme. Eufemisme lebih bersifat kolokuial (bahasa informal) dan figuratif. Sedangkan disfemisme, seperti eufemisme, sifatnya juga kolokuial dan figuratif, kecuali dibeberapa kasus, disfemisme bias bersifat langsung bila digunakan untuk secara jujur mengatakan seseorang itu gemuk. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, Allan dan Burridge (2006: 34) menyatakan hubungan antara rangkaian x-femisme dalam bagan berikut ini:

(60)

Terlihat dalam bagan tersebut bahwa baik ortofemisme maupun eufemisme tergolong sebagai ungkapan yang pantas sedangkan disfemisme adalah ungkapan yang tidak pantas. Selain itu, bagan di atas juga melampirkan contoh ungkapan ortofemisme, eufemisme dan disfemisme. Contoh yang terdapat dalam bagan adalah satu rangaian x-femisme yang maknanya sama namun konotasinya berbeda. Kata feaces, poo dan shit memiliki makna yang sama, yaitu kotoran atau tinja. Meski demikian, ketiganya memiliki konotasi yang berbeda. Kata faeces adalah ungkapan yang paling netral, tidak mengandung penghalusan atau pengasaran nilai rasa. Kata poo adalah ungkapan yang sudah mengalami penghalusan makna. Sedangkan, shit adalah ungkapan berkonotasi negatif dan merupakan bentuk kasar dari kata faeces serta poo. Kata ini bahkan sering dipakai sebagai umpatan yang bernada kasar.

Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa disfemisme ungkapan bernilai rasa kasar yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang ditakuti, tidak disukai, dibenci dan dipandang rendah. Dari sifat maknanya, disfemisme juga merupakan kebalikan dari ortofemisme yang netral dan eufemisme yang lebih bersifat kolokuial.

2.1.1 Eufemisme

Bentuk perubahan bahasa yang paling sering dibicarakan adalah eufemisme. Kata eufemisme atau euphemism dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik” dan pheme yang berarti tuturan.

(61)

Jadi secara terminoligi, eufemisme dapat diartikan sebagai tuturan yang baik. Hal ini diperkuat dengan pendapat Chaer (1994:144) bahwa eufemisme adalah gejala ditampilkannya kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna yang lebih halus, atau lebih sopan daripada yang akan digantikan. Chaer kemudian memberi contoh penggunaan istilah “lembaga pemasyarakatan” sebagai pengganti kata “penjara” atau “bui”. Istilah “lembaga pemasyarakatan” dianggap lebih halus maknanya daripada kata “penjara” atau “bui” yang berkonotasi negatif.

Pendapat serupa diungkapkan oleh Burridge mengenai eufemisme. Berikut ini adalah definisi eufemisme menurut Burridge (2002: 66):

Euphemisms are sweet-sounding, or atleast inoffensive, alternatives for expressions that speakers or writers prefer not to use in executing a particular communicative intention on a given occasion.

Dari pengertian eufemisme oleh Burridge ini, dapat disimpulkan bahwa eufemisme memiliki setidaknya dua ciri-ciri, yaitu enak didengar dan tidak kasar. Eufemisme juga merupakan ungkapan yang menjadi pilihan penutur atau penulis untuk mengungkapkan suatu maksud pada situasi tertentu. Kridalaksana (dalam Sutarman, 2013: 11) menghubungkan eufemisme ini dengan tabu bahasa dan berpendapat bahwa eufemisme adalah pemakaian kata atau bentuk lain untuk menghindari bentuk larangan atau tabu. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa eufemisme adalah ungkapan yang enak didengar dan tidak kasar yang dipilih penulis atau penutur untuk menghindari bentuk larangan atau tabu.

Gambar

Gambar 2.2 Hubungan antara ortofemisme, eufemisme, dan disfemisme
Gambar 2.3 Kerangka Pikir Penelitian Teks BSu SimpulanRaters KeberterimaanKeakuratanTeknikPenerjemahanKategorisintaksisEufemismeDisfemisme
Gambar 3.2 Triangulasi Metode (Sutopo, 2002: 81)
Gambar 3.3 Model analisis isi menurut Spradley
+3

Referensi

Dokumen terkait

Det vi ønsker med denne bacheloroppgaven er å belyse hvor viktig det er for en sykepleier å være bevist sin egen kommunikasjon for dermed å skape en god relasjon i møte med

Pelaksanaan imunisasi dasar lengkap berhubungan secara signifikan dengan faktor pendidikan ibu, paparan edukasi tentang IDL, pengetahuan ibu tentang IDL, sikap ibu

lengkap Sensus Pertanian 2013, jumlah usaha pertanian di Indonesia sebanyak 26,1 juta dikelola oleh rumah tangga, sebanyak 5,5 ribu dikelola oleh perusahaan pertanian

tinggi, jika dibuat dengan metode granulasi basah tidak perlu banyak bahan penolong, yang akan menyebabkan bobot tablet menjadi terlalu besar.. c) Sistem granulasi basah dapat

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) Tahun 2020 59 Jumlah perkara pidana yang mengajukan upaya hukum Banding, Kasasi, dan PK sebanyak 429 perkara dan yang

Penawaran yang baik (untuk dijual) dan isi pesan yang bernilai yang dikirim ke pelanggan akan memiliki efek yang besar. Jadikan mereka merasa senang dan dihargai

Uji statistik menggunakan Uji Mc Nemar menunjukan terdapat pengaruh pada ibu hamil trimester 3 yang melakukan pijat perineum terhadap penurunan tingkat kecemasan, ibu yang

1. Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat Desa Komodo dalam pengembangan ekowisata di Pulau Komodo, di antaranya adalah: 1). Partisipasi masyarakat Desa Komodo dalam