• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN. Para Sarjana Hukum di Indonesia memakai istilah yang berbeda-beda untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN. Para Sarjana Hukum di Indonesia memakai istilah yang berbeda-beda untuk"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Para Sarjana Hukum di Indonesia memakai istilah yang berbeda-beda untuk perjanjian. Menurut Munir Fuady, istilah perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah overeenkomst dalam bahasa Belanda atau agreement dalam bahasa Inggris.5 Achmad Ichsan memakai istilah verbintenis untuk perjanjian, sedangkan Utrecht dalam bukunya Pengantar dalam Hukum Indonesia memakai istilah overeenkomst untuk perjanjian. 6

Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang selanjutnya disebut KUH Perdata menyebutkan: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Ada beberapa kelemahan dari pengertian perjanjian yang diatur dalam ketentuan di atas, seperti yang dinyatakan oleh Mariam Darus Badrulzaman (dkk) dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan bahwa:

Definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas, tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan-perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III,

5

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 2

6

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, 2008, hal. 197

(2)

perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.7

Abdul Kadir Muhammad Menyatakan kelemahan pasal tersebut adalah sebagai berikut:8

1. Hanya menyangkut sepihak saja.

Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu orang atau lebih”. Kata “mengikatkan diri“ sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak seharusnya dirumuskan saling mengikatkan diri, jadi ada consensus antara pihak-pihak.

2. Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa consensus.

Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus, seharusnya digunakan kata persetujuan

3. Pengertian perjanjian terlalu luas.

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, yaitu janji kawin yang yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksudkan adalah hubungan antara kreditur dengan debitor dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh buku III KUH Perdata sebenarnya adalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.

4. Tanpa menyebut tujuan mangadakan perjanjian.

Tanpa menyebut tujuan mangadakan perjanjian sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.

Berdasarkan alasan yang dikemukan di atas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Menurut Kamus Hukum, perjanjian adalah persetujuan, permufakatan antara dua orang/pihak untuk melaksanakan sesuatu. Kalau diadakan tertulis juga dinamakan kontrak.9

Menurut doktrin (teori lama), yang disebut perjanjian adalah hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dari definisi di atas,

7

Mariam Darus Badrulzaman, dkk, (1), Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hal. 65

8

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung , 1990, hal.78

9

(3)

telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban).

Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan-perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. 10

Beberapa Sarjana Hukum juga memberikan defenisi mengenai perjanjian antara lain sebagai berikut: Menurut Sri Soedewi Masychon Sofyan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana seorang atau lebih mengkatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.

11

Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah:

12

Suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Dalam definisi tersebut, secara jelas terdapat konsensus antara para pihak, yaitu persetujuan antara pihak satu dengan pihak lainnya. Selain itu juga, perjanjian yang dilaksanakan terletak pada lapangan harta kekayaan.

Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian maksudnya adalah hubungan hukum yang menyangkut hukum kekayaan antara 2 (dua) orang atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.13

Menurut Subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling

10

Salim (1), Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 161

11

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan (1), Hukum Perjanjian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1982, hal. 8

12

Abdul Kadir Muhammad, Op.cit., hal.4

13

(4)

berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peritiwa ini timbul suatu hubungan perikatan.14

Menurut Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

15

Menurut Wirjono Prodjodikoro, perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai benda antara dua pihak dalam mana salah satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.

16

Menurut Syahmin AK, dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.17

Dari beberapa pengertian di atas, tergambar adanya beberapa unsur perjanjian, antara lain:

1. Adanya pihak-pihak yang sekurang-kurangnya dua orang.

Pihak-pihak yang dimaksudkan di sini adalah subyek perjanjian yang dapat berupa badan hukum dan manusia yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum menurut undang-undang. Dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).

14

Subekti (2), Pokok-Pokok Hukum Perdata Cetakan ke-31, Intermasa, Jakarta, 2003, hal. 5

15

Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1979, hal. 4

16

Wirjono Prodjodikoro (1), Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Jakarta, 1981, hal. 11

17

(5)

Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu orang atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut juga dapat terdiri dari satu atau lebih badan hukum.18

2. Adanya persetujuan atau kata sepakat.

Persetujuan atau kata sepakat yang dimaksudkan adalah konsensus antara para pihak terhadap syarat-syarat dan obyek yang diperjanjikan.

3. Adanya tujuan yang ingin dicapai.

Tujuan yang ingin dicapai dimaksudkan di sini sebagai kepentingan para pihak yang akan diwujudkan melalui perjanjian. 19

4. Adanya prestasi atau kewajiban yang akan dilaksanakan.

Dengan membuat perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian, secara “sukarela” mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah berjanji atau mengikatkan diri, dengan jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang membuat perjanjian atau yang telah mengikatkan diri tersebut. Dengan sifat sukarela, perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian.

Prestasi yang dimaksud adalah sebagai kewajiban bagi pihak-pihak untuk melaksanakannya sesuai dengan apa yang disepakati. Perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain, ini berarti

18

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 92

19

Wirjono Prodjodikoro (2), Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Jakarta, 1979, hal. 84

(6)

dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu orang atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut.20

5. Adanya bentuk tertentu.

Bentuk tertentu yang dimaksudkan adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus jelas bentuknya agar dapat menjadi alat pembuktian yang sah bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Untuk beberapa perjanjian tertentu, undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu, yaitu bentuk tertulis sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian, bentuk tertulis tidaklah hanya semata-mata hanya merupakan pembuktian saja, tetapi juga syarat untuk adanya perjanjian itu.21

6. Adanya syarat-syarat tertentu.

Syarat-syarat tertentu yang dimaksud adalah substansi perjanjian sebagaimana yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian.22

B. Asas-Asas Perjanjian

Dalam hukum dikenal tiga belas asas perjanjian, akan tetapi menurut para sarjana perdata terdapat lima asas yang penting di antaranya yaitu:

1. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)

Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini merupakan perwujudan dari kehendak bebas,

20

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., hal. 2

21

Mariam Darus Badrulzaman (1), Op.cit., hal. 66

22

(7)

pancaran hak asasi manusia.23 Dengan kebebasan berkontrak berarti orang dapat menciptakan hak-hak perseorangan yang tidak diatur dalam Buku III KUH Perdata, tetapi diatur sendiri dalam perjanjian. Pasal-pasal di dalam Buku III KUH Perdata baru mengikat terhadap mereka, jika mereka tidak mengatur sendiri kepentingannya atau mengaturnya dalam perjanjian, tetapi tidak lengkap sehingga soal-soal yang tidak diatur tersendiri itu diberlakukan pasal-pasal hukum perikatan. Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, di antaranya: 24

a. bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak; b. bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian; c. bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;

d. bebas menentukan bentuk perjanjian; dan

e. kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

2. Asas konsensualisme (persesuaian kehendak)

Pada mulanya, suatu perjanjian atau kesepakatan harus ditegaskan dengan sumpah, namun pada abad ke-13 pandangan tersebut telah dihapus oleh gereja kemudian terbentuklah paham bahwa dengan adanya kata sepakat di antara para pihak, suatu perjanjian sudah memiliki kekuatan mengikat. Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mensyaratkan adanya kesepakatan sebagai syarat sahnya suatu perjanjian, meskipun demikian perlu

23

Mariam Darus Badrulzaman (1), Op.cit. ,hal. 86

24

(8)

diperhatikan bahwa terhadap asas konsensualisme terdapat pengecualian, yaitu dalam perjanjian riil dan perjanjian formil yang mensyaratkan adanya penyerahan atau memenuhi bentuk tertentu yang disyaratkan oleh undang-undang.25

3. Asas kepastian hukum (pacta sunt servanda)

Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH perdata, yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.26 Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.27

4. Asas iktikad baik (geode trouw)

Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Dengan rumusan iktikad baik adalah bahwa suatu perjanjian yang dibuat hendaknya dari sejak perjanjian ditutup, perjanjian tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk merugikan kepentingan debitor maupun kreditor, maupun

25

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariata, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2010, hal. 29

26

Salim (2), Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 9

27

(9)

pihak lain atau pihak ketiga lainnya di luar perjanjian.28

a. Iktikad baik dalam pengertian yang subyektif, dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang, yaitu apa yang terletak pada seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum.

Di dalam hukum perjanjian, itikad baik mempunyai dua pengertian, yaitu:

b. Itikad baik dalam pengertian obyektif adalah bahwa pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatuhan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang patut dalam masyarakat.29

5. Asas kepribadian (personalia)

Asas personalia diatur dan dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata, yang berbunyi: “Pada umumya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu perjanjian daripada untuk dirinya sendiri”. Suatu perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang membuatnya dan tidak mengikat orang lain (pihak ketiga).30

Selain kelima asas di atas, Mariam Darus Badrulzaman (dkk) dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan mengemukakan beberapa asas lain yang diatur dalam KUH Perdata yaitu:31

6. Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel)

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak 28

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., hal. 80

29

A. Qiram Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 19

30

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., hal. 15 31

(10)

mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

7. Asas persamaan hukum

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.

8. Asas keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik. Kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan iktikad baik sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

9. Asas kepastian hukum

Perjanjian sebagai suuatu fitur hukum harus mengandung kepastian

hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

10. Asas moral

Asas ini terlihat dalam perikatan wajar dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak debitur juga hal ini terlihat di zaman zaakwarneming dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunya kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan dari hati nuraninya.

11. Asas kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata, asas kepatutan di sini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Asas kepatutan ini harus dipertahankan karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

Munir Fuady juga menyebutkan beberapa asas lainnya dalam hukum perjanjian, yaitu:

12. Asas kebiasaan

Pasal 1339 KUH Perdata menentukan bahwa suatu kontrak tidak hanya mengikat terhadap isi kontrak tersebut, melainkan mengikat dengan

(11)

hal-hal yang merupakan kebiasaan. Suatu kontrak dagang misalnya juga mengikat dengan kebiasaan dagang, termasuk kebiasaan menafsirkan kata-kata dalam kontrak dagang (trade usage), seperti apabila kontrak jual beli satu rim kertas dimana satu rim kertas berisikan 400 lembar kertas, akan tetapi jika ada pembelian satu rim kertas dan satu rim tersebut berisikan 395 lembar, hal tersebut belum bisa dikatakan bahwa pihak penjual telah melakukan wanprestasi dengan mengirim 395 lembar kertas (bukan 400 lembar) sebab menurut kebiasaan dagang (trade usage), kelebihan atau kekurangan 10 lembar dalam satu rim dapat ditoleransi dan biasa dalam bisnis semacam itu.

13. Asas tidak melanggar prinsip kepentingan umum

Sutu pembuatan dan pelaksanaan kontrak tidaklah boleh melanggar prinsip kepentingan umum (openbaar orde) karena sesuai dengan prinsip hukum yang universal dan sangat mendasar bahwa kepentingan umum tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan pribadi. Oleh karena itu, jika ada kontrak yang bertentangan dengan kepentingan/ketertiban umum, maka kontrak tersebut sudah pasti bertentangan dengan undang-undang yang berlaku yang menurut Pasal 1339 KUH Perdata, hal tersebut tidak dibenarkan. Contoh kontrak yang bertentangan dengan kepentingan/ketertiban umum adalah kontrak jual beli obat bius.32

C. Jenis – Jenis Perjanjian

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut menurut C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil adalah sebagai berikut: 33

1. Dilihat dari segi prestasi, perjanjian dapat dibedakan dalam: a. Perjanjian timbal-balik

Dalam perjanjian timbal-balik, kedua belah pihak masing-masing harus memenuhi kewajiban utama atau prestasi.

Contoh, seperti perjanjian jual-beli (Pasal 1457 KUH Perdata), perjanjian sewa-menyewa, dan perjanjian kredit.

b. Perjanjian timbal-balik tidak sempurna atau perjanjian timbal-balik kebetulan (onvolmaakt wederkerige of toevallig wederkeriege overeenkomst)

Dalam perjanjian ini, pihak yang satu memenuhi kewajiban yang tidak seimbang dengan kewajiban pihak pertama. Dari perjanjian timbal-balik tidak sempurna bagi satu pihak senantiasa timbul suatu kewajiban pokok, sedangkan mungkin pihak yang lainnya juga wajib untuk sesuatu tanpa dapat dikatakan dengan pasti bahwa di situ terdapat prestasi-prestasi yang saling seimbang.

32

Munir Fuady, Op.cit., hal. 82-83

33

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata (Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata), Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, hal. 207-209

(12)

Contoh, perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1792 jo 1808 KUH Perdata), yang memberi kuasa (lastgever) harus mengganti hanya ongkos-ongkos yang betul-betul telah dikeluarkan oleh yang menerima kuasa (lasthebber).

c. Perjanjian sebelah (eenzijddige overeenkomst)

Perjanjian sebelah (eenzijddige overeenkomst) yaitu perjanjian dalam mana hanya satu pihak mempunyai kewajiban atau prestasi. Contoh: (1) Perjanjian pinjam ganti (verbruiklening) Pasal 1754 KUH Perdata

dalam mana yang meminjam mempunyai kewajiban membayar kembali apa yang telah dipinjamnya.

(2) Perjanjian pemberian atau hibah (schenking) pada Pasal 1666 KUH Perdata, hanya pihak pemberi (penghibah) saja yang memberikan prestasi.

2. Dilihat dari segi pembebanan, perjanjian dapat dibedakan dalam: a. Perjanjian dengan cuma-cuma (om niet)

Perjanjian dengan cuma-cuma (om niet) yaitu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima sesuatu manfaat bagi dirinya sendiri.

Contoh, suatu hibah (schenking), Pasal 1666 KUH Perdata dan suatu pinjam-pakai (bruiklening), Pasal 1740 KUH Perdata.

b. Perjanjian atas beban (onder bezwarenden)

Perjanjian atas beban (onder bezwarenden) yaitu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu dan berbuat sesuatu. Dalam Pasal 1314 KUH Perdata, pembentuk undang-undang tidak memberi suatu definisi, baik untuk suatu perjanjian dengan cuma-cuma maupun untuk suatu perjanjian atas beban. Suatu perjanjian timbal-balik selalu merupakan suatu perjanjian atas beban, akan tetapi tidak selalu perjanjian atas beban merupakan suatu perjanjian timbal-balik, contoh: suatu perjanjian pinjam-ganti dengan bunga (verbruiklening op interessen).

3. Dilihat dari segi kesepakatan, perjanjian dapat dibedakan dalam: a. Perjanjian konsensual

Perjanjian konsensual yaitu perjanjian yang tercipta dengan tercapainya persetujuan kehendak pihak-pihak.

b. Perjanjian rieel

Perjanjian rieel yaitu perjanjian yang baru tercipta apabila di samping persetujuan kehendak antara pihak-pihak secara obligatoire, diikuti pula dengan penyerahan barang (levering). Perjanjian rieel adalah umpama suatu perjanjian penitipan kredit, pinjam-pakai, pinjam ganti, dan gadai, apabila barang yang bersangkutan belum diserahkan, maka hanya terdapat suatu perjanjian pendahuluan (pactum de contrahendo voorovereenkomst).

4. Dilihat dari segi hasil perjanjian itu dapat dibedakan dalam:

a. Perjanjian comutatif atau perjanjian membalas (vergeldende overeenkomst)

(13)

Perjanjian comutatif atau perjanjian membalas (vergeldende overeenkomst) yaitu perjanjian dimana terdapat keuntungan yang dinikmati oleh yang berhak atau atas nama yang menjanjikan prestasi itu.

b. Perjanjian aleatoir (seperti perjanjian asuransi) atau perjanjian untung-untungan (kansovereenkomst)

Perjanjian aleatoir (seperti perjanjian asuransi) atau perjanjian untung-untungan (kansovereenkomst) yaitu perjanjian dalam mana terhadap suatu prestasi yang dijanjikan dengan atau tanpa syarat terdapat hanya suatu keuntungan dengan syarat, sedangkan dipenuhinya syarat itu tidak bergantung pada pokok-pokok yang bersangkutan, sedangkan perjanjian-perjanjian itu diadakan justru berhubungan dengan kemungkinan dipenuhinya syarat itu.

5. Dilihat dari segi pokok kelanjutan, pembagian ini dibedakan:

a. Perjanjian principal (dalam perjanjian jual-beli, ialah untuk melever barang perjanjian jual-beli).

b. Perjanjian accessoir

Perjanjian accessoir yaitu perjanjian untuk menjamin cacat tersembunyi, perjanjian hipotik, perjanjian gadai, perjanjian penanggungan (borgtocht), dan penyerahan hak milik atas kepercayaan (fiduciaire eigendom-overdacht).

6. Dilihat dari urutan utama, perjanjian dapat dibedakan dalam: a. Perjanjian primair

Perjanjian primair maksudnya perjanjian utama atau pokok. b. Perjanjian secundair

Perjanjian secundair maksudnya menggantikan perjanjian yang asli (oorspronkelijk), apabila ini tak dipenuhi, umpama pembayaran ganti kerugian.

7. Dilihat dari segi pengaturannya, perjanjian dapat dibedakan dalam: a. Perjanjian yang lahir dari undang-undang.

b. Perjanjian yang lahir dari persetujuan.

8. Dilihat dari segi luas lingkungan, perjanjian dibagi dalam:

a. Perjanjian dalam arti sempit ialah yang terjadi dengan kespakatan perjanjian.

b. Perjanjian dalam arti luas ialah termasuk juga yang terjadi dengan tanpa kesepakatan.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman (dkk) dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan, pembedaan tersebut adalah sebagai berikut:34

1. Perjanjian timbal-balik

Perjanjian timbal-balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Perjanjian timbal-balik ini disebut juga

34

(14)

perbuatan hukum bersegi dua, oleh karena akibat-akibat hukum yang timbul dalam perbuatan dipandang sebagai kehendak kedua belah pihak. Contoh: jual-beli, pinjam-meminjam, tukar-menukar, dan sebagainya. 2. Perjanjian cuma-cuma

Pasal 1314 ayat (2) KUH Perdata berbunyi: “Suatu perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri”. Berdasarkan ketentuan tersebut, perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja, sering disebut sebagai perjanjian bersegi satu yaitu suatu perjanjian yang menimbulkan suatu hak di satu pihak tanpa kewajiban di pihak lain. Contoh: perjanjian hibah.

3. Perjanjian atas beban

Pasal 1314 ayat (3) KUH Perdata berbunyi: “Suatu perjanjian atas beban adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu”. Berdasarkan ketentuan tersebut, perjanjian atas beban adalah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain dan di antara kedua prestasi tersebut ada hubungannya menurut hukum.

4. Perjanjian bernama (benoemd)

Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V s/d bab XVIII KUH Perdata yaitu:

a. Bab V tentang Jual-Beli (Pasal 1457-1540)

b. Bab VI tentang Tukar-Menukar (Pasal 1541-1546) c. Bab VII tentang Sewa-Menyewa (Pasal 1548-1617) d. Bab VIII tentang Persekutuan (Pasal 1618-16520 5. Perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst)

Di luar perjanjian bernama, tumbuh pula perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur di dalam KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, lahirnya perjanjian ini berdasarkan asas kebebasan berkontrak atau partij otonomi yang berlaku dalam hukum perjanjian, seperti perjanjian sewa beli, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaan, dan lain-lain.

6. Perjanjian obligatoir

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak sepakat mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain. Menurut KUH Perdata, perjanjian jual-beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik atas suatu benda dari penjual kepada pembeli. Fase ini baru merupakan kesepakatan (konsensual) dan harus diikuti dengan perjanjian penyerahan (perjanjian kebendaan).

(15)

7. Perjanjian kebendaan (zakelijk)

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain yang membebankan kewajiban (oblige) kepada pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (levering, transfer). Penyerahannya sendiri merupakan perjanjian kebendaan. Dalam hal perjanjian jual-beli benda tetap, maka perjanjian jual belinya disebutkan juga perjanjian jual-beli sementara (voorlopig koopcontract). Untuk perjanjian jual-jual-beli benda-benda bergerak, maka perjanjian obligatoir dan perjanjian kebenda-bendaannya jatuh bersama-sama.

8. Perjanjian konsensual

Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana di antara kedua belah pihak telah tercapai persesuain kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUH Perdata, perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338 KUH Perdata).

9. Perjanjian riil

Di dalam KUH Perdata ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan barang, misalnya perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUH Perdata) dan pinjam pakai (Pasal 1740 KUH Perdata). Perjanjian yang terakhir ini dinamakan perjanjian riil yang merupakan peninggalan hukum Romawi.

10. Perjanjian liberatoir

Perjanjian liberatoir adalah perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan utang (kwitjschelding) Pasal 1384 KUH Perdata.

11. Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst)

Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst) yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka. 12. Perjanjian untung-untungan

Perjanjian untung-untungan yaitu perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian, misalnya perjanjian asuransi (Pasal 1774 KUH Perdata).

13. Perjanjian publik

Perjanjian publik yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah dan pihak lainnya adalah pihak swasta. Di antara keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan (subordinated) jadi tidak berada dalam kedudukan yang sama (coordinate), misalnya perjanjian ikatan dinas, perjanjian pengadaan barang pemerintah, dan lain-lain.

14. Perjanjian campuran (contractus sui generis)

Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa-menyewa) tetapi juga menyajikan makanan (jual-beli), dan juga memberikan pelayanan. Terhadap perjanjian campuran itu, ada berbagai paham antara lain:

(16)

a. Paham pertama menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada (contractus sai generalis).

b. Paham kedua menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang dipakai adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan (teori absorbsi).

c. Paham ketiga menyebutkan bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang yang diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah ketentuan undang-undang yang berlaku untuk itu (teori kombinasi).

D. Syarat – Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat umum maupun syarat khusus. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata berbunyi:

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. cakap untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tetentu;

4. suatu sebab yang halal.

Syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata merupakan syarat umum, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak anatara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.35 Menurut Subekti, yang dimaksud dengan sepakat adalah kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. 36

35

Salim (1), Op.cit., hal. 162

Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.

36

(17)

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan, dan penipuan. Persetujuan mana dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam.37

Sehubungan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, terdapat beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacad pada kesepakatan tersebut yang dicantumkan dalam Pasal 1321 KUH Perdata yang berbunyi: “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.38

a. Kekhilafan

Berdasarkan ketentuan tersebut, perjanjian dikatakan tidak memenuhi syarat kesepakatan kehendak apabila terdapat unsur-unsur antara lain:

Kekhilafan dapat terjadi mengenai orang atau mengenai barang yang menjadi tujuan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Kekhilafan mengenai orang terjadi misalnya jika seorang direktur opera membuat kontrak dengan orang yang dikiranya sebagai penyanyi tersohor, tetapi kemudian ternyata bukan orang yang dimaksud, hanya namanya saja yang kebetulan sama. Kekhilafan mengenai barang terjadi misalnya jika orang membeli sebuah lukisan yang dikiranya lukisan Basuki Abdullah tetapi kemudian hanya turunan saja. 39

b. Paksaan

37

Riduan Syahrani, Op.cit., hal. 205

38

Mariam Darus Badrulzaman (2), KUH Perdata Buku III (Hukum Perikatan dengan Penjelasan), Alumni, Bandung, 1993, hal. 99

39

(18)

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, yang dimaksud dengan paksaan ialah: kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan pada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. Jadi, bukanlah paksaan dalam arti absolut, misalnya seseorang yang lebih kuat memegang tangan seseorang yang lebih lemah dan membuat ia mencantumkan tanda tangan pada sebuah perjanjian sebab dalam hal yang demikian itu perjanjian sama sekali tidak terjadi.40 Sedangkan menurut Subekti, paksaan yang dimaksud adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psysicis), jadi bukan paksaan badan (fisik).41 Paksaan terjadi apabila pihak yang dipaksakan itu tidak punya pilihan lain selain menyetujui persetujuan itu dan paksaan itu mungkin saja dilakukan oleh pihak ketiga.42

c. Penipuan

Yang dimaksud dengan penipuan dalam suatu kontrak adalah suatu tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak sehingga menyebabkan pihak lain dalam kontrak tersebut telah menandatangani kontrak tersebut, tipu muslihat yang dimaksud di sini haruslah bersifat substansial.43

Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa satu macam pembohongan saja tidak cukup untuk adanya penipuan ini, melainkan harus serangkaian pembohongan yang di dalamnya hubungan satu dengan yang lainnya merupakan suatu tipu muslihat. Penipuan hanya dilakukan oleh pihak lawan.44

Dalam penipuan itu pihak yang menipu bertindak aktif untuk menjerumuskan lawan baik dengan keterangan palsu maupun tipu muslihat lainnya. Dan pihak

40

Mariam Darus Badrulzaman (1), Op.cit., hal. 76

41

Subekti (3), Op.cit., hal. 23

42

Wirjono Prodjodikoro (2), Op.cit., hal. 31

43

Munir Fuady, Op.cit., hal. 38

44

(19)

yang merasa tertipu harus mampu membuktikannya untuk pembatalan perjanjian.45

2. Cakap untuk membuat suatu perikatan

Yang dimaksud dengan cakap untuk membuat suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1329 KUH Perdata adalah: “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”. Menurut Abdul Kadir Muhammad, pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.46

Sedangkan yang dimaksud dengan tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata adalah:

“Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah: 1. Orang-orang yang belum dewasa;

2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu”.

Orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian berdasarkan ketentuan tersebut adalah:

a. Orang-orang yang belum dewasa

Kriteria dari orang-orang yang belum dewasa diatur di dalam Pasal 330 KUH Perdata dimana ditentukan: “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin”. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.47

45

Setiawan, Op.cit., hal. 57

46

Abdul Kadir Muhammad, Op.cit., hal. 93

47

(20)

Dengan keluarnya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka ketentuan umur dewasa diubah sehingga menjadi 18 tahun (sudah pernah kawin) dan sebagai suatu undang-undang, maka ketentuan ini berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia. Umur dewasa 18 tahun ini juga telah dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam putusannya No. 477 K/Sip/1976 tanggal 13 Oktober 1976. Di samping itu, banyak pula perkecualian terhadap umur dewasa ini karena dalam hal-hal tertentu, seseorang sudah dianggap berwenang untuk melakukan perbuatan tertentu sungguhpun dia belum dewasa, misalnya:

(1) Dalam hal melakukan kontrak-kontrak (transaksi) sehari-hari seperti berbelanja di pasar.

(2) Terhadap hal-hal tertentu yang diatur dengan undang-undang tersendiri, misalnya:

(a) Untuk memilih dalam pemilihan umum yang diatur dalam undang-undang tentang Pemilihan Umum;

(b) Untuk membuat perjanjian kawin (asal dia sudah cukup usia kawin) dan dibantu oleh orang yang harus member persetujuan untuk kawin berdasarkan Pasal 151 KUH perdata;

(c) Untuk membuat kontrak perburuhan sepanjang dikuasakan oleh wakilnya (Pasal 1601 g KUH Perdata).48

(d) Untuk menghadap notaris yang diatur dalam undang-undang tentang Jabatan Notaris.

b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan

48

(21)

Salah satu golongan orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan. Menurut Pasal 443 KUH Perdata, orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah: “Setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaandungu, sakit otak atau mata gelap, dan boros”. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dank arena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian. Apabila seseorang yang belum dewasa dan mereka yang diletakkan di bawah pengampuan itu mengadakan perjanjian, maka yang mewakilinya masing-masing adalah orang tua dan pengampunya.49

c. Perempuan-perempuan bersuami

KUH Perdata juga menempatkan perempuan-perempuan bersuami sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. Hal yang menunjukkan i perempuan-perempuan bersuami tidak cakap bertindak dalam hukum, misalnya Pasal 108 ayat (2) KUH Perdata berbunyi:

“Seorang istri, biar ia telah dikuasakan oleh suaminya, untuk membuat suatu akta, atau untuk mengangkat sesuatu perjanjian sekalipun, namun tidaklah ia karena itu berhak, menerima sesuatu pembayaran, atau member perlunasan atas itu, tanpa izin yang tegas dari suaminya”.

Pasal 108 KUH Perdata menyatakan istri harus memperoleh izin yang tegas dari suami untuk membuat suatu akta. Demikian pula Pasal 110 KUH Perdata yang berbunyi:

“Seorang istri, biar ia kawin diluar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisahan dalam hal itu, biar ia melakukan sesuatu mata pencaharian atas usaha

49

(22)

sendiri sekalipun, namun tak bolehlah ia menghadap di muka Hakim tanpa bantuan suaminya”.

Pasal 110 KUH Perdata menyatakan bahwa istri tidak boleh menghadap di muka pengadilan tanpa bantuan suami.

Dalam perkembangannya, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia ternyata, Mahkamah Agung menganggap Pasal 108 dan 110 KUHPerdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi. Demikian juga dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 31 ayat (1) menyatakan hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dengan masyarakat. Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.50

d. Orang yang dilarang oleh undang-undang unruk melakukan perbuatan tertentu

Ada juga orang-orang tertentu yang oleh undang-undang tertentu dianggap tidak wenang membuat kontrak tertentu dengan cara tertentu atau dengan pihak tertentu (Pasal 1330 ayat (3) KUH Perdata). Sebagai contoh dalam kontrak jual-beli, ada pihak tertentu yang dilarang oleh undang-undang untuk mengadakan perjanjian, antara lain:

50

(23)

(1) Pada prinsipnya antara suami dan istri tidak boleh melakukan kontrak jual-beli (Pasal 1467 KUH Perdata).

(2) Hakim, jaksa, panitera, advokat, pengacara, jurusita, dan notaris tidak boleh menerima penyerahan untuk menjadi pemilik untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain atas hak dan tuntutan yang menjadi pokok perkara. (3) Pegawai dalam suatu jabatan umum dilarang membeli untuk dirinya

sendiri atau untuk perantara atas barang-barang yang dijual oleh atau di hadapan mereka.51

3. Suatu hal tertentu

Salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya unsur suatu hal tertentu. Yang dimaksudkan dengan suatu hal tertentu adalah objek dari suatu perjanjian. Suatu perjanjian haruslah mempunyai objek (bepaald onderwerp) tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan.52

Beberapa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang (in casu KUH Perdata) terhadap objek tertentu dari perjanjian, khususnya jika objek perjanjian tersebut berupa barang adalah:

a. Barang yang merupakan objek perjanjian tersebut haruslah barang yang dapat diperdagangkan

Dalam Pasal 1332 KUH Perdata ditentukan bahwa: “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”. Barang-barang yang dapat dijadikan obyek perjanjian hanyalah Barang-barang-Barang-barang yang dapat diperdagangkan karena lazimnya barang-barang yang dipergunakan untuk

51

Munir Fuady, Op.cit., hal. 71

52

(24)

kepentingan umum dianggap sebagai barang-barang di luar perdagangan, sehingga tidak bisa dijadikan obyek perjanjian.53

b. Pada saat perjanjian dibuat, minimal barang tersebut sudah dapat ditentukan jenisnya

Dalam Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata dinyatakan bahwa: “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya”.

c. Jumlah barang tersebut boleh tidak tertentu, asal saja jumlah tersebut kemudian dapat ditentukan atau dihitung

Menurut Pasal 1333 ayat (2) KUH Perdata bahwa: “Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

d. Barang tersebut dapat juga barang yang baru akan ada di kemudian hari Dalam Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata, ditentukan bahwa: “Barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian”. 54

e. Tetapi tidak dapat dibuat perjanjian terhadap barang yang masih dalam warisan yang belum terbuka

Menurut Wirjono Prodjodikoro, barang yang belum ada yang dijadikan obyek perjanjian tersebut bisa dalam pengertian mutlak (absolut) dan bisa dalam pengertian relatif (nisbi).

Menurut Pasal 1334 ayat (2) KUH Perdata bahwa:

53

Riduan Syahrani, Op.cit., hal 210

54

(25)

“Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, atau pun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu, sekali pun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu; dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan pasal 169, 176, dan 178”.

Yang dilarang oleh undang-undang untuk dijadikan pokok perjanjian adalah benda-benda yang berada di luar perdagangan dan warisan yang belum terbuka, adanya larangan ini karena menjadikan barang yang akan diwarisi sebagai obyek perjanjian bertentangan dengan kesusilaan, lain halnya jika barang yang akan diwarisi itu dihibahkan oleh calon suami kepada calon isteri dalam perjanjian kawin atau oleh pihak ketiga kepada calon suami atau calon isteri, ini diperkenankan.55

4. Suatu sebab yang halal

Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai sebab (causa), tetapi menurut Yurisprudensi yang ditafsirkan dengan causa adalah isi atau maksud dari perjanjian. Dalam Pasal 1335 KUH Perdata, dinyatakan bahwa: “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”.

Pembentuk undang-undang mempunyai pandangan bahwa perjanjian-perjanjian mungkin juga diadakan tanpa sebab atau dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang. Yang dimaksud dengan sebab yang terlarang dalam Pasal 1337 KUH Perdata adalah: “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau

55

(26)

ketertiban umum”. Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang demikian tidak mempunyai kekuatan. 56

Keempat syarat di atas merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian, artinya setiap perjanjian harus memenuhi keempat syarat ini bila ingin menjadi perjanjian yang sah. Keempat syarat pokok ini dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu kelompok syarat subjektif dan kelompok syarat objektif.57

Para ahli hukum Indonesia, umumnya berpendapat syarat subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari pihak yang berjanji dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan perjanjian, sedangkan syarat obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum, tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat syarat tersebut mengakibatkan cacat dalam perjanjian dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap syarat subyektif) maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya syarat obyektif).58

Sehubungan dengan pembedaan syarat-syarat sahnya perjanjian oleh banyak ahli hukum dalam dua kelompok di atas, Hardijan Rusli berpendapat bahwa:

59

“Pasal 1320 KUH Perdata secara jelas menyatakan untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat sah. Jadi, secara analogi dapat dikatakan bahwa dalam hal tidak terpenuhinya salah satu dari empat syarat yang ada

56

Mariam Darus Badrulzaman (2), Op.cit., hal. 106-107

57

Hardijan Rusli (1), Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hal. 44

58

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., hal. 93

59

(27)

dalam Pasal 1320 itu, maka perjanjian menjadi tidak sah atau batal demi hukum (void ab initio) bukannya dpaat dimintakan pembatalannya (voidable).

Sedangkan syarat sah yang khusus perjanjian antara lain menurut Munir Fuady adalah:

1. Syarat tertulis untuk perjanjian-perjanjian tertentu

Secara umum dapat dikatakan bahwa undang-undang tidak mensyaratkan suatu perjanjian tertulis untuk sahnya suatu perjanjian, tetapi untuk perjanjian tertentu diperlukan syarat khusus agar perjanjian itu dapat mulai berlaku/mengikat, misalnya perjanjian perdamaian yang memerlukan syarat khusus berupa bentuk tertulis. Menurut hukum yang berlaku, kedudukan syarat tertulis bagi suatu perjanjian adalah:

a. Ketentuan umum tidak mempersyaratkan.

b. Dipersyaratkan untuk perjanjian-perjanjian tertentu.

c. Dipersyaratkan untuk perjanjian atas barang-barang tertentu. d. Dipersyaratkan karena kebutuhan praktek.

2. Syarat pembuatan perjanjian di hadapan pejabat tertentu

Selain dari syarat tertulis terhadap perjanjian-perjanjian tertentu, untuk perjanjian-perjanjian tertentu dipersyaratkan pula bahwa perjanjian tertulis tersebut harus dibuat oleh/di hadapan pejabat tertentu (dengan ancaman batal), misalnya:

a. Perjanjian hibah yang harus dibuat di hadapan notaris (Pasal 1682 KUH Perdata), untuk perjanjian hibah bagi benda tetap memerlukan syarat tambahan berupa bentuk akta otentik, sedangkan bagi benda bergerak berwujud memerlukan syarat tambahan berupa penyerahan langsung bendanya.

b. Perjanjian jual beli tanah yang harus dibuat oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan di bidang pertanahan.

3. Syarat mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang

Pada prinsipnya suatu perjanjian hanyalah urusan para pihak semata-mata, artinya terserah dari para pihak apa yang mau dianutnya dalam kontrak tersebut, sehingga campur tangan pihak ketiga pada prinsipnya tidak diperlukan. Akan tetapi terhadap kontrak tertentu, campur tangan pihak ketiga diperlukan dalam bentuk keharusan mendapatkan izin, misalnya:

a. Perjanjian peralihan objek tertentu, seperti perjanjian peralihan hak guna usaha atau perjanjian peralihan hak penguasaan hutan, dalam hal ini diperlukan izin dari pihak yang berwenang untuk itu.

b. Perjanjian penitipan barang yang sejati yang memerlukan syarat tambahan berupa penyerahan barangnya secara sungguh-sungguh atau secara dipersangkakan.60

60

Munir Fuady, Op.cit., hal. 84-85

(28)

E. Saat Lahir dan Berakhirnya Suatu Perjanjian

Dalam ilmu hukum, dikenal beberapa ajaran mengenai kapan suatu perjanjian dianggap lahir. Menurut Setiawan saat terjadinya perjanjian yaitu: 61

1. Teori kehendak (wilstheorie)

Teori ini adalah yang tertua dan menekankan kepada faktor kehendak. Menurut teori ini jika kita mengemukakan suatu pernyataan yang berbeda dengan apa yang dikehendaki, maka kita tidak terikat kepada pernyataan tersebut.

2. Teori pernyataan (Verklaringstheorie)

Menurut teori ini, kebutuhan masyarakat menghendaki bahwa kita dapat berpegang kepada apa yang dinyatakan.

3. Teori kepercayaan (Vetrouwenstheorie)

Teori yang sekarang dianut, juga oleh yurisprudensi adalah teori kepercayaan, di mana menurut teori ini kata sepakat terjadi jika ada pernyataan yang secara objektif dapat dipercaya.

4. Teori ucapan (Uitingstheorie)

Menurut teori ini bahwa persetujuan terjadi pada saat orang yang menerima penawaran telah menyiapkan surat jawaban bahwa ia menyetujui penawaran tersebut. Kelemahan teori ini adalah bahwa sulit untuk menentukan saat terjadinya persetujuan dan selain itu jawabannya setiap saat masih dapat berubah.

5. Teori pengiriman (Verzendingstheorie)

Menurut beberapa sarjana, terjadinya persetujuan adalah pada saat dikirimkannya surat jawaban. Diterangkan selanjutnya bahwa dengan dikirimkannya surat tersebut si pengirim kehilangan kekuasaan atas surat tersebut dan lagi pula saat pengiriman dapat ditentukan secara tepat. 6. Teori pengetahuan (Vernemeningstheorie)

Teori ini mengemukakan bahwa persetujuan terjadi setelah orang yang menawarkan mengetahui bahwa penawarannya disetujui. Kelemahan teori ini adalah sulit untuk menentukan saat diketahuinya isi surat tersebut. 7. Teori penerimaan (Ontvangstheorie)

Menurut teori ini, bahwa persetujuan terjadi pada saat diterimanya surat jawaban penerimaan penawaran oleh orang yang menawarkan.

Sedangkan menurut Munir Fuady, teori yang lainnya mengenai saat lahirnya perjanjian yaitu:

8. Teori penawaran dan penerimaan (offer and acceptance)

Yang dimaksudkan dengan teori penawaran dan penerimaan adalah bahwa pada prinsipnya suatu kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya

61

(29)

penawaran (offer) dari salah satu pihak dan diikuti dengan penerimaan tawaran (acceptance) oleh pihak lain dalam perjanjian tersebut. Teori ini diakui secara umum dalam setiap sistem hukum, namun pengembangan dari teori ini banyak dilakukan di negara-negara yang menganut sistem hukum Common Law.

9. Teori kotak pos (mailbox theory)

Menurut teori ini, suatu penerimaan tawaran dari suatu perjanjian sehingga perjanjian dianggap mulai terjadi adalah pada saat jawaban yang berisikan penerimaan tersebut dimasukkan ke dalam kotak pos (mailbox). Pemikiran di belakang teori ini adalah bahwa perjanjian efektif setelah pihak yang ditawari perjanjian sudah menerimanya dan sudah terlepas dari kekuasaanya, yakni ketika dia membalas surat penawaran dan memasukkannya ke dalam kotak surat.

10. Teori dugaan

Teori dugaan yang bersifat subjektif ini antara lain dianut oleh Pitlo. Menurut teori ini, saat terjadinya suatu perjanjian adalah pada saat pihak yang menerima tawaran telah mengirim surat jawaban dan dia secara patut dapat menduga bahwa pihak lainnya (pihak yang menawarkan) telah mengetahui isi surat itu. 62

Pada Pasal 1381 KUH Perdata diatur berbagai cara hapusnya perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang dengan cara-cara yang ditunjukkan oleh pembentuk undang-undang itu tidaklah membatasi para pihak untuk menciptakan cara yang lain untuk menghapuskan suatu perikatan. Pasal 1381 KUH Perdata berbunyi:

“Perikatan-perikatan hapus: 1. karena pembayaran;

2. karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;

3. karena pembaharuan utang;

4. karena perjumpaan utang atau kompensasi; 5. karena pencampuran utang;

6. karena pembebasan utangnya;

7. karena musnahnya barang yang terutang; 8. karena kebatalan atau pembatalan;

9. karena berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab ke satu buku ini;

10. karena liwatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri.”

62

(30)

Menurut Salim HS dalam bukunya Hukum Kontrak Teori & Penyusunan Kontrak, adapun cara-cara penghapusan perjanjian antara lain sebagai berikut: 63

1. Karena pembayaran (betaling)

Pengertian pembayaran atau betaling dalam hal ini harus dipahami secara luas. Tidak boleh diartikan dalam ruang lingkup yang sempit, seperti yang selalu diartikan hanya terbatas pada masalah yang berkaitan dengan pelunasan hutang semata-mata. Mengartikan pembayaran hanya terbatas pada “pelunasan hutang” semata-mata tidaklah selamanya benar. Karena ditinjau dari segi yuridis teknis, tidak selamanya harus berbentuk sejumlah uang atau barang tertentu, bisa saja dengan pemenuhan jasa atau pembayaran dengan bentuk tak terwujud atau yang immaterial. Pembayaran prestasi dapat dilakukan dengan “melakukan sesuatu” (te doen). Misalkan tukang cukur yang telah melakukan suatu perbuatan jasa dapat saja disebut telah membayar prestasi dengan jasa. Guru privat yang telah memberi pelajaran, termasuk dalam arti “pembayaran”.

Berakhirnya kontrak karena pembayaran dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 1382 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1403 KUH Perdata. Ada dua pengertian pembayaran, yaitu pengertian secara sempit dan yuridis teknis. Pengertian pembayaran dalam arti sempit, adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur. Pembayan seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Namun, pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang atau barang, tetapi juga dalam bentuk jasa, seperti jasa dokter bedah, tukang cukur, atau guru privat.

Orang yang dapat melakukan pembayaran utang, adalah : a. Debitur yang berkepentingan langsung

(1) Penjamin atau borgtocher

(2) Orang ketiga yang bertindak atas nama debitur. b. Orang yang berhak menerima pembayaran, yaitu :

(1) Kreditur

(2) Orang yang menerima kuasa dari kreditur (3) Orang yang telah ditunjuk oleh hakim, dan

(4) Orang-orang yang berhak menurut undang-undang (Pasal 1385 KUH Perdata).

2. Karena penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan (konsignasi)

Pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian sepatutnya dilaksanakan sesuai hal yang diperjanjikan termasuk waktu pemenuhannya, namun tidak jarang prestasi tersebut dapat dipenuhi sebelum waktu yang diperjanjikan. Penawaran dan penerimaan pemenuhan prestasi sebelum waktunya dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian, misalnya perjanjian pinjam meminjam yang pembayarannya dilakukan dengan cicilan, apabila pihak yang berhutang dapat membayar semua jumlah pinjamannya sebelum jatuh

63

(31)

tempo, maka perjanjian dapat berakhir sebelum waktunya. Penawaran pembayaran tunai utang dilakukan saat si berpiutang menolak pembayaran dari si berutang. Penawaran yang demikian diikuti dengan penitipan, membebaskan si berutang, dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu telah dilakukan dengan cara menurut undang-undang.

3. Karena pembaharuan hutang (novasi, schuld verniewing)

Novasi di atur dalam Pasal 1413 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1424 KUH Perdata. Novasi (pembaharuan utang) adalah sebuah persetujuan, di mana suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain harus dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli. Vollmar mengartikan novasi adalah suatu perjanjian karena dimana sebuah perjanjian yang akan dihapuskan, dan seketika itu juga timbul sebuah perjanjian baru. Novasi adalah suatu perjanjian antara debitur dan kreditur, dimana perjanjian lama dan subjeknya yang ada dihapuskan dan timbul sebuah objek dan subjek perjanjian yang baru.

4. Karena kompensasi atau perjumpaan utang

Kompensasi atau perjumpaan utang diatur dalam Pasal 1425 KUH Perdata sampai Pasal 1435 KUH Perdata. Kompensasi adalah penghapusan masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan utang yang sudah dapat ditagih antara kreditur dan debitur. Syarat-syarat terjadinya kompensasi:

a. Kedua-duanya berpokok pada sejumlah uang; atau

b. Berpokok pada jumlah barang yang dapat dihabiskan dari jenis yang sama; atau

c. Kedua-duanya dapat ditetapkan dan ditagih seketika. Adapun tujuan utama dari kompensasi, yaitu:

a. Penyederhanaan pembayaran yang simpang siur antara pihak kreditur dan debitur;

b. Dimungkinkan terjadinya pembayaran sebagian;

c. Memberikan kepastian pembayaran dalam keadaan pailit. Kompensasi dapat terjadi dengan dua macam cara, yaitu: a. demi hukum

Kompensasi atau perjumpaan hutang demi hukum atau ipso jure compensatur adalah suatu perjumpaan utang yang terjadi tanpa adanya pemberitahuan dan permintaan dari pihak debitur dan kreditur.

b. Batas permintaan kedua belah pihak.

Kompensasi atau perjumpaan hutang kontrakual adalah suatu bentuk kompensasi yang terjadi atas dasar permintaan dan persetujuan antara pihak debitur dan kreditur.

5. Karena konfusi atau percampuran antara utang dan pinjaman

Percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1437 KUH Perdata. Percampuran utang adalah percampuran kedudukan sebagai orang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu. Percampuran utang dapat terjadi dengan dua cara, yaitu: a. Dengan jalan penerusan hak dengan alas hak umum, dan

b. Dengan jalan penerusan hak dibawah alas hak khusus. 6. Karena pembebasan utang

(32)

Pembebasan utang diatur dalam Pasal 1438 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1443 KUH Perdata. Pembebasan utang adalah suatuy pernyataan sepihak dari kreditur kepada debitur, bahwa debitur dibebaskan dari perutangan. Ada 2 cara terjadinya pembebasan utang, yaitu:

a. Cuma-cuma, dan

b. Prestasi dari pihak debitur.

Pembebasan hutang dengan Cuma-cuma harus dipandang sebagai penghadiahan. Sedangkan prestasi dari pihak debitur, artinya sebuah prestasi lain, selain prestasi yang terutang. Pembebasan ini didasarkan pada perjanjian.

7. Karena pernyataan tidak sah atau terhapus

Kebatalan kontrak diatur dalam Pasal 1446 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1456 KUH Perdata. Adanya tiga penyebab timbulnya pembatalan kontrak, yaitu:

a. Adanya perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa dan dibawah pengampuan;

b. Tidak mengindahklan bentuk perjanjian yang di syaratkan undang-undang;

c. Ada cacat kehendak

8. Karena daluarsa atau verjaring

Berakhirnya perjanjian dapat disebabkan oleh lewatnya waktu (daluarsa) perjanjian.

Menurut Suharnoko, brakhirnya perjanjian harus dibedakan dengan perjanjian karena suatu perjanjian dikatakan berakhir apabila segala sesuatu yang menjadi isi perjanjian telah dilaksanakan. Semua kesepakatan diantara para pihak menjadi berakhir setelah apa yang menjadi tujuan diadakannya perjanjian telah tercapai oleh para pihak.64

Menurut Setiawan, adapun beberapa cara hapusnya perjanjian adalah:

Bila X dan Y mengadakan jual beli, perikatan dapat hapus dengan dibayarkannya harga oleh Y selaku pembeli, tetapi mungkin perjanjiannya masih ada. Untuk hapusnya perjanjian, tujuan perjanjiannya (yaitu untuk memiliki barang) harus tercapai dulu. Jadi, bila perjanjian telah hapus seluruhnya barulah perjanjian dinyatakan telah berakhir.

65

64

Suharnoko, Hukum Perjanjian (Teori dan Analisa Kasus), Kencana, Jakarta , 2004, hal. 30

65

(33)

1. Ditentukan dalam perjanjian oleh kedua belah pihak. Misalnya penyewa yang menyewakan bersepakat untuk mengadakan perjanjian sewa menyewa yang akan berakhir selama 3 tahun.

2. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian. Misalnya, menurut Pasal 1066 ayat 3 KUHPerdata bahwa para ahli waris dapat mengadakan perjanjian untuk selama waktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan. Akan tetapi waktu perjanjian tersebut oleh Pasal 1066 ayat 4 KUHPerdata dibatasi berlakunya hanya untuk lima tahun.

3.Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu, maka perjanjian akan hapus. Misalnya, jika salah satu meninggal perjanjian menjadi hapus:

(1) Perjanjian perseroan (Pasal 1646 ayat 4 KUHPerdata) (2) Perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1813 KUHPerdata) (3) Perjanjian kerja (Pasal 1603 j KUHPerdata)

4. Pernyataan menghentikan perjanjian (opzegging). Hal ini dapat dilakukan baik oleh salah satu atau dua belah pihak. Opzegging hanya ada pada perjanjian-perjanjian yang bersifat sementara, misalnya perjanjian kerja dan perjanjian sewa-menyewa.

5. Tujuan perjanjian telah tercapai. Misalnya dalam perjanjian jual beli bila salah satu pihak telah mendapat uang dan pihak lain telah mendapatkan barang maka perjanjian akan berakhir.

6. Perjanjian hapus karena putusan hakim

7. Dengan perjanjian para pihak. Dalam hal ini para pihak masing-masing setuju untuk saling mengentikan perjanjiannya. Misalnya perjanjian pinjam pakai berakhir karena pihak yang meminjam telah mengembalikan barangnya.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal ini, bagaimana strategi bauran pemasaran yang dilakukan oleh masing-masing Lembaga Keuangan syariah, Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) dalam dunia perbankan

Presbiter: (berdoa) Dengarkanlah, ya Tuhan Yesus Kristus, Allah kami, dari tempat kesucian-Mu, dan dari tahta kemuliaan ker- ajaan-Mu, serta datanglah dan sucikanlah kami, Engkau yang

Melalui kegiatan berdiskusi, siswa mampu membuat peta pikiran mengenai urutan peristiwa dengan memperhatikan latar cerita pada teks nonfiksi dengan benar.. Dengan melakukan

Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik di banyak jenis tanah, yang penting tidak kekurangan air pada musim kemarau dan tidak tergenang air pada musim hujan

Urbanisasi dalam arti proses pengkotaan hakekatnya menggam- barkan proses perubahan dan suatu wilayah dengan masyarakatnya yang semula adalah desa atau bersifat

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji indikasi pengaruh negatif dari jumlah saham yang beredar terhadap perusahaan yang sedang mengalami financial distress

Jakarta, melainkan lembaga Badan Pengawasan Pemilu DKI Jakarta. Judul semacam ini membawa otoritas intelektual tertentu, bahwa apa yang dilakukan oleh Ahok tidak melanggar

Hal ini menunjukkan jika budaya organisasi dapat mempengaruhi dan mengarahkan karyawan untuk mencapai tujuan perusahaan maka, maka karyawan akan bekerja dengan baik