• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMURNIAN MINYAK DARI LIMBAH PENGOLAHAN IKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMURNIAN MINYAK DARI LIMBAH PENGOLAHAN IKAN"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

PEMURNIAN MINYAK DARI LIMBAH

PENGOLAHAN IKAN

Oleh :

MUHAMMAD HAVIZH ABDILLAH F34104124

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Muhammad Havizh Abdillah. F34104124. Pemurnian Minyak Dari Limbah Pengolahan Ikan. Dibawah bimbingan Muhammad Romli dan Suprihatin. 2008

RINGKASAN

Ikan lemuru merupakan komoditi perikanan dominan di Selat Bali. Oleh karena itu, ikan lemuru menjadi komoditas yang paling banyak dieksploitasi. Seiring dengan perkembangan industri proses pengolahan ikan, jumlah limbah yang dihasilkan semakin meningkat. Limbah tersebut dapat dimanfaatkan kembali apabila mengalami proses pengolahan lebih lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh konsentrasi NaOH, jenis dan konsentrasi bahan pemucat pada proses pemurnian minyak ikan. Pada penelitian ini, digunakan tiga jenis limbah minyak yaitu minyak kualitas A, B dan C. Limbah minyak tersebut berasal dari hasil samping industri pengolahan perikanan di Muncar, Jawa Timur. Metode yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua tahap, tahapan tersebut adalah karakterisasi minyak dan tahapan pemurnian. Tahapan karakterisasi minyak awal dilakukan dengan cara mengukur kadar asam lemak bebas, bilangan peroksida serta kejernihan. Tahapan pemurnian meliputi degumming, netralisasi dan bleaching. Pada tahapan degumming, dilakukan pemisahan pengotor. Tahap netralisasi dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah basa untuk menurunkan kadar asam lemak bebas dengan menggunakan tiga konsentrasi basa, yaitu 10 oBe (70 gr NaOH/L), 15 oBe (115 gr NaOH/L), dan 20 oBe (167 gr NaOH/L). Pada tahap bleaching, minyak yang telah mengalami tahap netralisasi ditambahkan adsorben untuk menjernihkan minyak dengan dua perlakuan yaitu jenis adsorben (arang aktif dan bleaching earth) dengan tiga taraf (0.2%, 0.6%, dan 1%).

Hasil karakterisasi minyak awal menunjukkan bahwa mutu dari ketiga jenis minyak berbeda. Minyak A memiliki kadar asam lemak bebas 0.36 persen, bilangan peroksida 2.4 persen serta nilai kejernihan 79.83 persen. Minyak B memiliki kadar asam lemak bebas 14.37 persen, kadar bilangan peroksida 4.8 persen, tingkat kejernihan 53.24 persen. Minyak C memiliki kadar asam lemak bebas 16.27 persen, kadar bilangan peroksida 2.67 persen dengan tingkat kejernihan 52.13 persen. Nilai kejernihan ini diukur dengan menggunakan 10 kali pengenceran.

Setelah pemurnian, pada minyak A terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas menjadi 0.2 - 0.5 persen, kadar bilangan peroksida meningkat menjadi 21.3 - 24, nilai kejernihan meningkat menjadi 93 ± 2 - 97 ± 0.7 persen tramisi. Minyak B mengalami penurunan asam lemak bebas menjadi 2.72 - 2.97 persen, kadar bilangan peroksida 21.4 - 32.4, tingkat kejernihan meningkat menjadi 85 ± 0 hingga 90 ± 3 persen transmisi. Minyak C memiliki kadar asam lemak bebas 13.17 - 14.16 persen, kadar bilangan peroksida 21.33 - 41.51 dengan tingkat kejernihan 57 ± 6 - 81 ± 1 persen transmisi. Pada netralisasi dilakukan pengukuran rendemen. Rendemen minyak A berkisar dari 92.48 persen sampai 95.72. Pada minyak B rendemen tertinggi berada pada perlakuan pemberian basa 20 oBe yaitu 86.03 persen, sedangkan yang paling rendah berada pada pemberian basa 10 oBe yaitu 82.48 persen. Minyak C memiliki kisaran rendemen antara 74.56 persen hingga 75.63. Minyak dengan kadar asam lemak yang tinggi akan memiliki rendemen yang rendah karena asam lemak akan banyak yang

(3)

tersabunkan sedangkan minyak dengan kadar asam lemak yang rendah akan memiliki rendemen yang tinggi.

Pemilihan perlakuan terbaik didasarkan pada pertimbangan kandungan asam lemak bebas, tingkat kejernihan, dan rendemen. Perlakuan terbaik untuk minyak A adalah netralisasi dengan konsentrasi basa 20 oBe dan pemucatan dengan menggunakan bleaching earth 0.6 persen. Pada minyak B kondisi terbaik diperoleh pada netralisasi dengan konsentrasi basa 10 oBe yang menggunakan bleaching earth (0.2%) sebagai pemucat. Pada minyak C kondisi terbaik diperoleh pada netralisasi dengan konsentrasi basa 20 oBe yang menggunakan bleaching earth (0.2%).

(4)

Muhammad Havizh Abdillah. F34104124. Fish Waste Oil Purification. Supervision of Muhammad Romli and Suprihatin. 2008

SUMMARY

Sardines, Sharks and Cods are the dominant species at Bali Strait. So that it becomes the most exploited commodity. As the fish process expanding, the wastes from its process are outnumbered. Those wastes can be reuse using advance treatment. The purpose of this research is to determine the best process for fish oil refining. This research use three kind of fish oil, there are oil A, oil B and oil C. This raw oil was taken from byproduct of fish processing in Muncar, East Java. This research was done by using two step methods. The first method is measurement by looking general edible oil characteristics, which are free fatty acid content, peroxide number, yield and color of oil. The second methods are degumming, neutralization and bleaching. In degumming step, the soluble dirt are removed away from oil. Neutralization done by adding amount of alkali to descend free fatty acid content. The concentrations of alkali are 10 oBe, 15 oBe and 20 oBe. And the last step is bleaching, by adding amount of bleaching agent to purifying the color of oil. In this step, there are two treatment of bleaching process which are kind of bleaching agent (activated carbon and bleaching earth) and three level concentration of bleaching agent (0.2 %, 0.6 % and 1 %).

The result of first measurement show different quality between three types of fish oil. Oil A have free fatty acid content around 0.36 percent, peroxide number 2.4 percent and clearness point 79.83 percent. Oil B has free fatty acid content 14.37 percent, peroxide number 4.8 percent and clearness point 53.24 percent. Oil C have free fatty acid content around 16.27 percent, peroxide number 2.67 percent and clearness point 52.1 percent. The clearness point measured using 10 times dilution.

After purifying, free fatty acid of oil A increased around 0.2 - 0.5 percents, peroxide number increased to 21.3 - 24, clearness point increased to 93 ± 2 - 97 ± 0.7 percent transmisions. For oil B, free fatty acid content decrease to 2.72 - 2.97 percents, peroxide number increase to 4-26.7 and clearness point increase 85 ± 0 - 90 ± 3 percents transmisions. The free fatty acid of oil C around 13.17 - 14.16 percent, peroxide number 21.33 - 41.51 with clearness point around 57 ± 6 - 81 ± 1 percents. Oil with high free fatty acid content will have low yield because there will be high amount of soap in its oil. In neutralization process, the yields were measured. Oil with high free fatty acid level will have a low yield level because the free fatty acid will soaped and oil with low free fatty acid level will have higher yield level.

The best treatment for oil A is neutralization with 20 oBe alkali and bleaching earth (0.6 %) for bleaching agent. For oil B, using the 10 oBe alkali and bleaching earth (0.2 %) for bleaching agent as the best treatment. Meanwhile the best treatments for oil C are using 20 oBe alkali and bleaching earth (0.2 %) for bleaching agent.

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pemurnian Minyak Dari Limbah Pengolahan Ikan adalah benar-benar karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum perna digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam tulisan dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2008

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 April 1987 dari pasangan M. Jailani K. dan Erma Wance. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara.

Penulis menempuh pendidikan formal pertama di TK Jami’at Kheir Tangerang dari tahun 1991 hingga tahun 1992. Selanjutnya pada tahun 1992 penulis melanjutkan pendidikan dasar di SD Muhammadiyah 5 Jakarta hingga tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis menempuh pendidikan di SLTP Negeri 29 Jakarta dan lulus tahun 2001. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan di SMU 82 Jakarta, hingga tahun 2004.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2004 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

(7)

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

PEMURNIAN MINYAK DARI LIMBAH

PENGOLAHAN IKAN

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

MUHAMMAD HAVIZH ABDILLAH F34104124

Dilahirkan pada Tanggal 23 April 1987 di Jakarta

Tanggal Lulus : September 2008

Bogor, September 2008 Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Muhammad Romli, MSc.St Dr. Ir. Suprihatin, Dipl.-Ing NIP. 131 645 109 NIP. 131 881 142

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, karena hanya dengan rezeki, rahmat dan hidayah-Nya penulis berhasil menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi ini dengan baik. Selama melakukan penelitian sampai dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis telah banyak menerima bimbingan, petunjuk dan bantuan dari berbagai pihak baik moril maupun material. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Papa dan Mama yang selalu memberikan perhatian, semangat, doa dan kasih sayang tanpa batas.

2. Dr. Ir Muhammad Romli MSc.St dan Dr. Ir. Suprihatin Dipl.-Ing selaku dosen pembimbing atas bimbingannya disaat penelitian, pengerjaan skripsi, seminar sampai sidang kelulusan.

3. Drs. Purwoko M.Si sebagai dosen penguji skripsi atas masukan-masukan yang telah diberikan

4. Bapak H. Abdallah dan keluarga, Ibu Chusnul dan Suami atas seluruh bantuannya selama penulis berada di Muncar, Jawa Timur.

5. Bapak H. Ismail, Mas Gunadji dan keluarga atas arahan dan petunjuknya. 6. Seluruh staff kecamatan yang menyediakan fasilitas dan bantuannya. 7. Rini I.P atas dorongan, bantuan dan semangatnya disetiap waktu.

8. Ibu Ega, Pak Gun, Ibu Sri, seluruh pegawai dan staf Teknologi Industri Pertanian atas bantuannya selama penulis melakukan penelitiannya.

9. Teman-teman Wisma Joglo (Tegar S.Hut., Niko SP., Utari SP., Adit P, Bakur SP.) yang tiada hentinya menyemangati penulis, bantuan dan selalu memberikan dukungan disaat pengerjaan, seminar sampai penulis sidang kelulusan.

(9)

Penulis menyadari skripsi ini masih mempunyai kekurangan, namun penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Amin.

Bogor, September 2008

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR TABEL...v

DAFTAR GAMBAR ...vi

DAFTAR LAMPIRAN...vii

I. PENDAHULUAN ...1

A. LATAR BELAKANG...1

B. TUJUAN...2

II. TINJAUAN PUSTAKA...3

A. MINYAK IKAN...3

B. PEMURNIAN MINYAK ...4

C. PENELITIAN TERDAHULU ...10

III. METODOLOGI PENELITIAN...12

A. BAHAN DAN ALAT ...12

1. Bahan Baku ...12 2. Bahan Kimia...12 3. Alat ...12 B. METODE PENELITIAN ...12 1. Penelitian Pendahuluan ...12 2. Penelitian Utama ...13 a. Degumming...13 b. Netralisasi ...14 c. Pemucatan...14 C. RANCANGAN PERCOBAAN ...14

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...16

A. KARAKTERISTIK MINYAK IKAN ...16

B. DEGUMMING...16

1. Kejernihan...17

2. Rendemen...18

(11)

1. Kadar Asam Lemak Bebas...19 2. Rendemen...21 3. Kejernihan...22 D. PEMUCATAN (BLEACHING) ...23 1. Kejernihan...23 2. Rendemen...26 E. BILANGAN PEROKSIDA...28

F. KANDUNGAN ASAM LEMAK BEBAS...30

G. PEMURNIAN LANJUTAN ...33

H. INDUSTRI PEMURNIAN MINYAK IKAN DI MUNCAR ...34

V. KESIMPULAN DAN SARAN...36

A. KESIMPULAN...36

B. SARAN ...37

DAFTAR PUSTAKA ...38

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Asam Lemak pada Minyak Ikan... 4

Tabel 2. Standar Farmakope Indonesia untuk Minyak Ikan Layak Konsumsi ... 4

Tabel 3. Kandungan NaOH dalam larutan soda dengan berbagai derajat Baume ...6

Tabel 4. Kelebihan dan kekurangan Arang aktif dan Bleaching Earth ... 8

Tabel 5. Hasil Karakterisasi Minyak... 16

Tabel 6. Pengukuran Kejernihan Setelah Degumming ... 17

Tabel 7. Pengukuran Rendemen Setelah Degumming ... 18

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Reaksi Penyabunan ...6

Gambar 2. Histogram Hubungan Antara Penurunan FFA Dengan Konsentrasi Basa ...19

Gambar 3. Histogram Hubungan Antara Konsentrasi Basa dan Rendemen....21

Gambar 4. Histogram Hubungan Antara Konsentrasi Basa dan Kejernihan (% T)...22

Gambar 5. Histogram Persen Transmisi Minyak A 20 oBe ...24

Gambar 6. Histogram Persen Transmisi Minyak B 10 oBe ...25

Gambar 7. Histogram Persen Transmisi Minyak C 20 oBe ...25

Gambar 8. Histogram Hubungan Antara Jenis Bahan Pemucat, Konsentrasi Bahan Pemucat dan Rendemen Pada Minyak A ...26

Gambar 9. Histogram Hubungan Antara Jenis Bahan Pemucat, Konsentrasi Bahan Pemucat dan Rendemen Pada Minyak B...27

Gambar 10. Histogram Hubungan Antara Jenis Bahan Pemucat, Konsentrasi Bahan Pemucat dan Rendemen Pada Minyak B ...28

Gambar 11. Histogram Bilangan Peroksida Minyak A setelah Pemurnian ...29

Gambar 12. Histogram Bilangan Peroksida Minyak B setelah Pemurnian ...29

Gambar 13. Histogram Bilangan Peroksida Minyak C setelah Pemurnian ...29

Gambar 14. Kandungan Asam Lemak Bebas Minyak A Setelah Pemurnian..31

Gambar 15. Kandungan Asam Lemak Bebas Minyak B Setelah Pemurnian..31

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Diagram Alir Proses Pemurnian Minyak...41

Lampiran 2. Prosedur Uji Sifat Fisiko Kimia Minyak...42

Lampiran 3. Uji Banding Nilai Tengah Minyak Kasar Dengan Minyak setelah Netralisasi ...44

Lampiran 4. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan Konsentrasi netralisasi pada minyak A...45

Lampiran 5. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan Kejernihan pada minyak A ...46

Lampiran 6. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan Konsentrasi netralisasi pada minyak B...47

Lampiran 7. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan Kejernihan pada minyak B ...48

Lampiran 8. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan Konsentrasi netralisasi pada minyak C...49

Lampiran 9. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan Kejernihan pada minyak C ...50

Lampiran 10. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan Kejernihan pada minyak A ...51

Lampiran 11. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan Kejernihan pada minyak B...52

Lampiran 12. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan Kejernihan pada minyak C...53

Lampiran 13. Foto Minyak Murni ...55

Lampiran 14. Foto Minyak Dengan Pemurnian Lanjutan ...56

Lampiran 15. Standar mutu yang Berlaku di Muncar...57

Lampiran 16. Analisis Biaya Kasar Pemurnian Minyak...58

(15)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ikan lemuru, tongkol dan ikan layang merupakan sumberdaya perikanan yang paling dominan di Selat Bali sehingga komoditi tersebut paling banyak dieksploitasi oleh nelayan. Sumberdaya perikanan ikan lemuru Selat Bali mempunyai arti penting bagi masyarakat Muncar, dimana Muncar selain sebagai basis penangkapan dan pendaratan sumberdaya perikanan ikan lemuru Selat Bali juga berkembang usaha pengolahan; baik secara tradisional maupun modern. Dengan demikian sumberdaya perikanan ikan lemuru telah memberikan peranan yang cukup besar terhadap perekonomian di Jawa Timur, khususnya di Muncar. Produk olahan ini tidak hanya dipasarkan didalam negeri, tetapi juga diekspor keluar negeri.

Seiring dengan berkembangnya teknologi proses pengolahan ikan lemuru dihasilkan juga limbah yang cukup besar. Pada limbah tersebut terdapat kandungan minyak yang cukup besar. Menurut Setiabudi (1990), setiap satu ton ikan ikan lemuru yang diproses akan menghasilkan minyak sebanyak 50 kilogram. Menurut Estiasih et al. (1996) menyatakan limbah cair yang dihasilkan dari proses pengolahan ikan lemuru untuk seluruh Indonesia sebanyak 1.176 ton per tahun.

Meskipun limbah merupakan bahan buangan yang dianggap sudah kurang efektif dan kurang layak untuk dimanfaatkan kembali oleh perusahaan, namun ternyata banyak masyarakat Muncar yang jeli melihat bahwa di dalam buangan tersebut masih banyak mengandung minyak dan bahan padat yang masih dapat dimanfaatkan kembali. Kandungan minyak dan padatan tersebut, meskipun jumlahnya sudah sangat minim tetapi ternyata masih dapat dikais dan dikumpulkan serta dimanfaatkan untuk memproduksi minyak ikan.

Minyak yang diperoleh dari hasil kumpulan masyarakat hampir seluruhnya masih mengandung padatan dan pengotor yang sangat banyak. Oleh karena itu minyak ini perlu dimurnikan secara benar agar dapat dimanfaatkan kembali. Pemurnian minyak terdiri dari degumming, netralisasi dan bleaching. Beberapa manfaat dari pemurnian minyak adalah untuk menghilangkan bahan pengotor dari

(16)

minyak, menurunkan kandungan asam lemak yang tinggi, dan menjernihkan warna minyak yang dimurnikan. Beberapa proses menggunakan proses tambahan yaitu deodorisasi yang berguna untuk menghilangkan bau amis yang ditimbulkan dari minyak ikan. Setelah dimurnikan minyak dapat diklasifikasikan sesuai standar mutu yang ada dan dapat digunakan untuk konsumsi manusia maupun pakan ternak.

B. TUJUAN

1. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh konsentrasi NaOH, jenis dan konsentrasi bahan pemucat untuk memurnikan minyak ikan. 2. Meningkatkan kualitas minyak B dan C menjadi minyak A

(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. MINYAK IKAN

Minyak atau lemak terdiri dari unit-unit yang disebut asam lemak. Asam lemak diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Perbedaan keduanya terletak pada ikatan kimianya. Asam lemak jenuh tidak memiliki ikatan rangkap, sedangkan asam lemak tidak jenuh memiliki ikatan rangkap. Perbedaan ini membawa perbedaan sifat fisik dan kimia diantaranya asam lemak jenuh dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Makin panjang rantai karbonnya makin besar kecenderungannya untuk meningkatkan kadar kolesterol (Stansby, 1982).

Menurut Stansby (1982), minyak ikan memiliki kandungan yang berbeda dengan kandungan minyak lain yaitu :

1. Jenis asam lemak yang lebih bervariasi

2. Jumlah asam-asam lemak yang lebih banyak yaitu : a. Asam lemak C20 – C23

b. Asam lemak tidak jenuh dengan lima hingga enam ikatan rangkap (polyunsaturated fatty acid)

Menurut Weiss (1983) , minyak ikan mempunyai beberapa sifat kimia dan sifat fisik. Sifat kimia minyak ikan tersebut antara lain mudah beroksidasi dengan udara dan bersifat asam karena adanya asam lemak bebas, mempunyai sifat aditif karena adanya ikatan-ikatan karbon tak jenuh, dan mempunyai sifat dapat berpolimerisasi. Sedangkan sifat fisik minyak ikan adalah mempunyai berat jenis yang lebih kecil dari berat jenis air, membiaskan cahaya dengan sudut yang spesifik untuk tiap jenis minyak ikan, mempunyai derajat kekentalan yang spesifik, dan bersifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut kimia seperti eter, benzena dan petroleum eter. Minyak ikan tersebut berwarna kuning muda sampai kuning emas.

Kandungan asam lemak tak jenuh PUFA(polyunsaturated fatty acid) yang tinggi pada minyak ikan menyebabkan minyak ikan tersebut mudah mengalami kerusakan oksidatif dan mudah menghasilkan bau yang tidak enak (Wanasundara dan Sahidi, 1995).

(18)

Berikut adalah komposisiasam lemak yang terdapat pada minyak ikan : Tabel 1. Asam Lemak pada Minyak Ikan

Asam Lemak Jenuh Jumlah (%) Asam Lemak Tidak Jenuh Jumlah (%) As. Palmitat (C16:0) 13.3 As. Oleat (C18:1) 25.2 As. Stearat (C18:0) 2.9 As. Linoleat (C18:2) 2.3

As. Linolenat (C18:3) 0.4 As. Stearidonat (C18:4) 1.4 As. Gondorunat (C20:1) 9.2 As. Arachidonat (C20:4) 3.1 EPA (C20:5) 9.2 As. Erukat (C22:1) 6.6 DPA (C22:5) 3.4 DHA (C22:6) 7.3 S u m b e r : E d w a r d ( 1 9 6 7 )

Tabel 2.Standar Farmakope Indonesia untuk Minyak Ikan Layak Konsumsi Sifat Nilai % FFA

Bilangan Iod

Bilangan Tak Tersabunkan Bilanga Peroksida ≤ 2 110-190 ≤ 7 ≤ 5 B. PEMURNIAN MINYAK

Menurut Ketaren (1985), teknik pemurnian minyak ikan mencakup proses pemisahan gum (degumming) dan filtrasi, penyabunan (saponifikasi), pemucatan (bleaching) dan deodorisasi. Degumming dilakukan untuk memisahkan pospatida, protein, karbohidrat, air dan resin. Saponifikasi bertujuan untuk memisahkan asam lemak bebas dan fosfolipid yang belum dipisahkan pada proses degumming. Pemucatan dan deodorisasi bertujuan untuk menghilangkan zat-zat warna dan bau yang tidak diinginkan dalam minyak.

Proses pemisahan gum merupakan suatu proses pemisahan getah atau lendir yang terdiri dari phosphatida, protein dan resin tanpa mengurangi jumlah asam lemak bebas dalam minyak Tujuan proses pemisahan gum menurut, adalah untuk memperbaiki stabilitas minyak dengan mengurangi jumlah ion logam terutama Fe dan Cu, serta untuk memudahkan proses pemurnian selanjutnya dan mengurangi minyak yang hilang selama proses pemurnian (Ketaren, 1986).

(19)

Koagulasi kotoran yang terbentuk koloid lebih mudah dilakukan dengan menaikkan temperatur minyak sekitar 32.2-48.9oC selama setengah jam (Swern, 1979). Pada prakteknya pemisahan gum sering dilakukan pada suhu sekitar 80oC, 130-160oC atau 32-50oC dengan penambahan air atau uap selama setengah jam. Penambahan uap dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung, atau kombinasi keduanya. Selama proses berlangsung juga ditambahkan NaCl atau asam mineral pekat untuk mempercepat koagulasi, dan didiamkan selama 2-3 jam. Selanjutnya minyak dipisahkan dari endapan kotoran dengan sentrifusi atau filter press.

Netralisasi sebagai salah satu tahapan proses pemurnian dimaksudkan untuk menetralkan asam lemak bebas dan mengurangi gum yang masih tertinggal, untuk memperbaiki rasa dan mengurangi warna gelap dari minyak tersebut (Swern, 1979). Menurut Swern (1979), netralisasi dengan alkali terutama dengan NaOH sering dilakukan pada industri minyak, karena lebih efisien dan lebih murah.

Netralisasi merupakan suatu proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak atau lemak dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun (Ketaren. 1986). Menurut Hendrix (1990), kotoran yang akan dibuang dalam netralisasi adalah asam lemak bebas, fosfatida, ion logam, zat warna, karbohidrat protein, hasil samping oksidasi, hidrokarbon, dan zat padat.

Netralisasi secara kimia dilakukan dengan menyabunkan asam lemak bebas dengan larutan NaOH dalam air diikuti dengan pencucian. Jumlah larutan NaOH yang digunakan merupakan jumlah stolkiometrinya ditambah dengan ekses sebesar 5-10 persen, tergantung minyak yang akan dinetralkan (Bernardini, 1983).

R

C

NaOH

H O

2

O

OH

+

Asam Lemak Bebas Basa

R

C

O

O

+

Na

Sabun Air

(20)

Menurut Sonntag (1982), untuk lemak- hewan, lemak ikan, minyak kelapa dan minyak nabati lain dengan kandungan gum dan pigmen yang rendah dapat dinetralisasi dengan hasil yang memuaskan dengan menggunakan ekses kaustik soda sebesar 0.1-0.2 persen dari berat minyak.

Netralisasi dengan kaustik soda banyak dilakukan dalam skala industri karena lebih efisien dan lebih murah dibandingkan dengan cara netralisasi lainnya. Penggunaan kaustik soda juga dapat membantu mengurangi zat warna dan kotoran yang berupa getah dan lendir dalam minyak. Sabun yang terbentuk dapat membantu pemisahan zat warna dan kotoran seperti fosfatida dan protein, dengan cara membentuk emulsi. Sabun atau emulsi ini dapat dipisahkan dari minyak dengan cara sentrifusi (Ketaren, 1986).

Tabel 3. Kandungan NaOH dalam larutan soda dengan berbagai derajat Baume

oBe Gram NaOH/100 ml Persen NaOH dalam larutan

8 10 12 14 16 18 20 22 5.6 7.0 8.7 10.4 12.3 14.4 16.7 18.5 5.29 0.55 8.00 9.42 10.99 12.64 14.37 15.97 (Andersen dan William, 1962)

Penentuan konsentrasi larutan basa yang digunakan didasarkan pada kandungan asam lemak bebasnya. Makin tinggi kandungan asam lemak bebas makin banyak jumlah basa yang diperlukan. Tetapi penggunaan basa yang terlalu tinggi menyebabkan makin banyak trigliserida yang tersabunkan, sedangkan konsentrasi basa yang rendah menyebabkan makin banyak emulsi sabun dalam minyak, sehingga akan menurunkan rendemen minyak(Swern, 1979).

Menurut Thieme (1968), kaustik soda yang digunakan dalam proses netralisasi adalah dalam bentuk larutan dengan konsentrasi antara 10-20 oBe. Reaksi penyabunan dilakukan pada suhu 60-65 oC, dan dapat juga digunakan suhu yang lebih tinggi (hingga 98 oC). Sedangkan Hendrix (1990), menyatakan bahwa untuk menetralkan asam lcmak bebas digunakan kaustik soda dengan kisaran antara 12-30 oBe atau biasanya 12-20 oBe. Suhu reaksi yang digunakan berkisar

(21)

antara 20-40 oC dan dilanjutkan dengan pemanasan untuk memecahkan emulsi sabun dan minyak pada suhu 60 - 80 oC.

Pemucatan merupakan suatu tahapan proses pemurnian minyak yang bertujuan untuk menghilangkan zat warna yang tidak disukai dalam minyak. Pemucatan ini dilakukan dengan mencampur minyak dengan sejumlah kecil adsorben seperti tanah serap (fuller earth), lempung aktif (activated clay) dan arang aktif atau dapat juga menggunakan bahan kimia. Zat warna dalam minyak akan diserap oleh permukaan adsorben dan juga menyerap suspensi koloid (gum dan resin), serta hasil degradasi minyak, misalnya peroksida (Ketaren. 1986). Proses pemucatan adalah salah satu tingkat pengolahan minyak atau lemak yang bertujuan untuk memisahkan zat warna yang terdapat di dalam minyak atau lemak. Proses pemucatan ini didahului oleh pengeringan minyak untuk mengeluarkan uap air yang masih terdapat di dalam minyak atau lemak. Proses pemucatan sering dilakukan dengan menggunakan adsorben yang akan menyerap zat warna dalam minyak. Pada proses ini sabun yang tertinggal, komponen logam dan peroksida dapat dipisahkan dengan baik, sedangkan kandungan asam lemak bebas akan bertambah secara lambat (Swern, 1979). Zat-zat lain yang dihilangkan pada pemucatan adalah karotenoid, klorofil dan produk dekomposisinya serta bahan beracun, misalnya hidrokarbon aromatis polisiklis, terutama bila adsorben yang digunakan adalah karbon. Sementara komponen yang bertambah adalah produk hasil dekomposisi peroksida dan asam konjugasi yang terbentuk.

Peristiwa adsorbsi (penyerapan), dapat terjadi bila dua fasa bergabung sehingga terjadi suatu proses dimana molekul dari satu fasa melekat pada permukaan fasa yang lain. Kedua fasa tersebut dapat berupa fasa cair dengan fasa cair, fasa cair dengan fasa gas, fasa cair dengan fasa padat, atau fasa gas dengan fasa padat (Priatna dan Rukiah, 1990).

Bahan pemucat (bleaching agents) merupakan suatu bahan yang dapat memucatkan atau memudarkan warna suatu substrat melalui proses fisika dan kimia. Proses ini melibatkan proses oksidasi, reduksi atau adsorbsi yang membuat bagian-bagian yang berwarna pada substrat menjadi lebih larut atau diserap sehingga mudah dihilangkan selama pemucatan. Pemucatan dapat pula melibatkan proses kimia yang mengubah kemampuan bagian molekul berwarna untuk

(22)

menyerap cahaya, yaitu dengan mengubah derajat ketidakjenuhan (Kirk dan Othmer, 1985).

Tabel 4.Kelebihan dan kekurangan Arang aktif dan Bleaching Earth

Jenis Adsorben Kelebihan Kekurangan

Arang aktif

Bleaching Earth

• Lebih efektif menyerap warna

• Digunakan dalam jumlah kecil • Menyerap bau

• Minyak yang tertinggal sedikit

• Murah

• Mahal

• Banyak minyak yang tertinggal

• Proses autooksidasi lebih cepat

• Digunakan dalam jumlah yang banyak • Kurang efektif

menyerap bau (Ketaren 1986)

Adsorben yang umum digunakan untuk pemucatan adalah dari tipe polar (hidrofilik) dan non-polar (hidrofobik). Adsorben polar antara lain silika gel, alumina yang diaktivasi, dan beberapa jenis tanah liat (clay). Adsorben tipe ini umumnya digunakan jika zat warna yang akan dihilangkan lebih polar daripada cairannya. Adsorben non-polar antara lain adalah arang (karbon dan batubara) dan arang aktif yang biasa digunakan umuk menghilangkan zat warna yang kurang polar (Kirk dan Othmer, 1985).

Bleaching earth berwarna dasar putih dengan sedikit kecoklatan atau kemerahan atau kehijauan tergantung dari jenis dan jumlah mineral-mineralnya. Selain itu bleaching earth bersifat sangat lunak, ringan, mudah pecah. terasa seperti sabun. mudah menyerap air dan dapat melakukan pertukaran ion. Berat jenis bentonit herkisar, antara 2.4-2.8 dengan senvawa penyusun utamanya adalah senyawa silika dan alumina yang mengandung air dan terikat secara kimia. Kandungan lain yaitu Ca, Na, K, Mg, dan Fe yang bergabung dengan Si dan O2 (Priatna dan Rukiah, 1982).

(23)

Karbon aktif adalah suatu bentuk karbon yang telah diaktifkan, menggunakan panas uap air atau bahan kimia sehingga daya penyerapannya tinggi. Karbon aktif mengandung 5-15 persen air, 2 -3 persen abu dan sisanya terdiri dari karbon. Adsorbsi arang aktif disebabkan karena arang memiliki pori- pori dalam jumlah besar dan terjadi karena adanya perbedaan energi potensial antara permukaan arang dan zat yang diserap (Jacobs, 1951).

Keuntungan penggunaan arang aktif sebagai bahan pemucat minyak adalah karena lebih efektif untuk menyerap zat warna dibandingkan dengan bleaching clay, sehingga arang aktif dapat digunakan dalam jumlah kecil. Arang aktif dapat juga menyerap sebagian bau yang tidak dikehendaki dan mengurangi jumlah peroksida sehingga memperbaiki mutu minyak. Kelemahan dari arang aktif adalah karena minyak yang tertinggal dalam arang aktif jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan minyak yang tertinggal dalam activated clay, dan proses autoksidasi terjadi lebih cepat pada minyak yang dipucatkan dengan menggunakan arang aktif (Ketaren, 1986).

Menurut Ketaren (1986), zat warna dalam minyak terdiri dari zat warna alami dan zat warna hasil degradasi. Zat warna alami terdapat di dalam minyak secara alami dan ikut terekstrak bersamaan proses ekstraksi minyak. Zat wana itu ialah karoten, xanthofil, klorofil, gossypol dan antocianin. Zat warna ini menyebabkan minyak berwarna kuning, kuning kecoklatan, kehijau-hijauan dan kemerah-merahan. Sedangkan zat warna degradasi umumnya memiliki wana yag gelap yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :

1. Suhu pemanasan yang terlalu tinggi pada saat proses pengepresan secara mekanis, sehingga sebagian minyak teroksidasi. Selain itu minyak dalam keadaan panas akan mengekstraksi zat warna yang terdapat dalam bahan tersebut.

2. Pengepresan bahan yang mengandung minyak dengan tekanan dan suhu yang tinggi akan menghasilkan minyak dengan warna yang lebih gelap. 3. Ekstraksi minyak dengan pelarut organic tertentu, misalnya pelarut

petroleum benzene akan menghasilkan minyak yang lebih jernih dibandingkan minyak yang diekstraksi dengan pelarut etilen dan benzol.

(24)

4. Logam seperti Cu, Fe dan Mn akan menimbulkan warna yang tidak diinginkan dalam minyak.

5. Oksidasi terhadap fraksi tidak tersabunkan dalam minyak terutama oksidasi tokoferol dan khroman 5,6 quinon menghasilkan warna kecoklatan.

C. PENELITIAN TERDAHULU

Darsini (1998), meneliti penggunaan larutan kaustik soda dengan konsentrasi 5 oBe, 8 oBe, dan 10 °Be untuk netralisasi lemak tengkawang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kaustik soda mampu mengurangi kadar asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak. Hal ini ditunjukkan oleh kadar asam lemak bebas pada lemak tengkawang yang semula 0.68 persen berkurang menjadl 0.21 persen (untuk konsentrasi kaustik soda sebesar 5 oBe), 0.15 persen (untuk konsentrasi kaustik soda 8 oBe), dan 0.13 persen (untuk konsentrasi kaustik soda 10 °Be)

Rina (1993), melakukan penclitian tentang pengaruh cara pemucatan dan jenis bahan pemucat terhadap warna dan sifat fisiko kimia minyak kenanga. Dalam penclitian tersebut, digunakan berbagai jenis bahan pemucat termasuk arang aktif. Berdasarkan penelitian yang dillakukan, arang aktif mampu meningkatkan kejernihan minyak yang semula persen transmisinya sebesar 11 persen meningkat menjadi sebesar 31.98 persen setelah dilakukan pemucatan dengan konsentrasi arang aktif 4 persen.

Theressa (1999), melakukan penelitian tentang kajian teknik pemucatan lemak tengkawang dengan dua jenis bahan pemucat yaitu bentonit dan zeolit, dengan konsentrasi 1, 1.5, dan 2 persen. Dari hasil penelitian, tingkat kejernihan minyak semakin meningkat dengan ditambahkannya bahan pemucat yang ditunjukkan oleh persen transmisi dari lemak tengkawang, sebelum pemucatan yang sebesar 0.5 % meningkat menjadi 41.7 % (untuk penambahan 1 % bentonit), 81.5 % (untuk penambahan 1.5 % bentonit) dan 87.3 % (untuk penambahan 2% bentonit).

(25)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak ikan yang diperoleh dari masyarakat pengais limbah di Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur. Minyak ini adalah hasil samping dari proses pengolahan ikan lemuru yang terbuang bersama limbah ke saluran pembuangan.

2. Bahan Kimia

Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan kaustik soda (NaOH) dengan konsentrasi 10 oBe, 15 oBe, dan 20

oBe, arang aktif, bleaching earth, aquades, asam asetat, kloroform, larutan

KI jenuh, larutan Na2S2O3 0.1 N, larutan KOH 0.1 N, indikator amilum 2

persen, dan indikator phenolptalein. 3. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas piala, oven, erlenmeyer, pipet tetes, buret, kertas saring whatman 42, labu takar, gelas volumetrik, kompor listrik, labu pisah, dan spektrofotometer.

B. METODE PENELITIAN 1. Penelitian Pendahuluan

Dalam penelitian pendahuluan dilakukan karakterisasi awal minyak yang digunakan. Analisa meliputi pengukuran persentase kandungan asam lemak bebas, bilangan peroksida dan kadar air minyak. Berdasarkan hasil karakterisasi awal pada minyak lemuru, ditentukan proses netralisasi dan pemucatan dengan jumlah kaustik soda dan adsorben yang dapat dilakukan.

Proses netralisasi dilakukan berdasarkan perhitungan persentase kandungan asam lemak bebas pada minyak. Pemilihan konsentrasi yang

(26)

terbaik dipilih berdasarkan penggunaan konsentrasi basa yang menurunkan persentase kandungan asam lemak bebas sesuai dengan standar minyak lemuru.

Penentuan proses pemucatan terbaik dipilih berdasarkan hasil akhir warna minyak yang secara visual lebih baik dari warna sebelum dilakukan proses pemurnian. Pemucatan ini menggunakan dua macam adsorben yang memiliki beberapa level konsontrasi adsorben.

2. Penelitian Utama

Penelitian utama dilakukan dengan mengkombinasikan tiga level konsentrasi kaustik soda yang digunakan pada proses netralisasi, dua jenis adsorben dan tiga level konsentrasi adsorben tersebut. Perlakuan yang digunakan adalah netralisasi dengan konsentrasi kaustik soda 10 oBe, 15

oBe, dan 20 oBe dan dilanjutkan pemucatan dengan dua jenis adsorben

yaitu arang aktif dan bleaching earth dengan konsentrasi masing-masing 0.2 persen, 0.6 persen, dan 1 persen. Penenlitian utama ini dilakukan berdasarkan tahapan pemurnian minyak yaitu :

a. Degumming

Minyak yang ada dikocok atau diaduk terlebih dahulu, ditimbang dan dipanaskan sampai suhu 70ºC. Setelah itu dimasukkan ke dalam labu pemisah dan ditambahkan air panas sebanyak 10-20 persen volume minyak kemudian didiamkan selama 10 menit. Setelah itu akan terbentuk tiga lapisan yaitu minyak, gum, dan air. Air dan gum dikeluarkan dari labu pemisah. Pengecekan pH dilakukan dengan mengukur pH air yang dipisahkan. Pemisahan gum dan air ini dilakukan sampai pH nya mencapai pH netral

b. Netralisasi

Minyak hasil degumming ditimbang, dipanaskan sampai suhunya 80ºC kemudian ditambahkan sejumlah kaustik soda sesuai perhitungan dan diaduk dengan stirer selama 2 menit. Setelah itu minyak dimasukkan ke dalam labu pemisah lalu dicuci dengan air pencuci (aquades panas) sebanyak 5 persen dari berat minyak. Setelah terbentuk tiga lapisan pada minyak yaitu minyak, soap stock

(27)

dan air maka dipisahkan sabun dan airnya dari minyak. Pemisahan dihentikan sampai pH dari air pemisah menjadi netral. Setelah pH menjadi netral, minyak ditambahkan 1 persen garam anhidrat untuk mengurangi kadar air dalam minyak.

c. Pemucatan (Bleaching)

Minyak hasil netralisasi ditimbang dan dipanaskan sampai suhunya 80-100ºC. Kemudian ditambahkan arang aktif sebanyak 1 persen dari bobot minyak dan diaduk selama 10 menit. Setelah teraduk rata, minyak disaring dengan kertas saring. Setelah didapatkan minyaknya lalu diuji karakteristiknya

d. Prosedur analisis parameter terlampir

C. RANCANGAN PERCOBAAN

Rancangan percobaan yang dilakukan dalam penelitian utama adalah Rancang Acak Lengkap Sederhana untuk menentukan konsentrasi netralisasi terbaik dan Rancang Acak Lengkap Faktorial untuk menentukan jenis pemucat dan konsentrasi pemucat yang terbaik.

a. Proses Netralisasi

Model matematik rancangan percobaan :

τ = μ + A

i

+ ε

ij

Dengan :

μ = rata-rata

Ai = pengaruh perlakuan konsentrasi basa pada taraf ke-i (i = 1, 2, 3)

εij = galat perlakuan (i) pada ulangan ke-j

A1 = 10 oBe A2 = 15 oBe A3 = 20 oBe b. Proses Pemucatan

Model matematik rancangan percobaan :

τ = μ + A

i

+ B

j

+ AB

ij

+ ε

ijk

Dengan :

(28)

Bj = pengaruh perlakuan konsentrasi adsorben pada taraf ke-j (j = 1, 2, 3)

ABij = pengaruh interaksi jenis adsorben dengan konsentrasi adsorben

εijk = galat kombinasi perlakuan (ij) pada ulangan ke-k

A1 = arang aktif A2 = bleaching earth B1 = 0.2 persen B2 = 0.6 persen B3 = 1 persen

(29)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KARAKTERISASI AWAL

Sebelum digunakan untuk penelitian, minyak ikan lemuru ini dilakukan karakterisasi awal yang bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat fisiko kimia dan sebagai acuan untuk memilih perlakuan yang paling baik untuk minyak A, B dan C. Karakterisasi awal ini meliputi pengujian kandungan asam lemak bebas, bilangan peroksida dan kejernihan sebagai parameter kritis penentuan mutu minyak ikan lemuru.

Tabel 5. Hasil Karakterisasi Minyak Parameter Uji FFA (%) Bil. Peroksida Kejernihan (% T)* Warna

Minyak A 0.36 2.40 79.8 Merah mengkilap Minyak B 14.37 4.71 53.2 Merah kehitaman Minyak C 16.26 2.70 52.1 Hitam pekat

* dengan pengenceran 10 kali

Dari Tabel 5 dapat dilihat perbedaan sifat fisiko kimia yang sangat mencolok pada setiap minyak. Minyak A memiliki mutu yang paling baik diantara ketiga minyak lainnya karena kandungan asam lemak bebas dan bilangan peroksidanya yang rendah. Selain itu minyak A memiliki warna yang lebih jernih dibandingkan dengan minyak B dan minyak C. Secara organoleptik, minyak ikan lemuru memiliki warna hitam sampai kemerahan mengkilap dan berbau amis.

B. DEGUMMING

Pemisahan gum merupakan suatu proses pemisahan getah atau lendir-lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, residu, karbohidrat, air dan resin tanpa mengurangi asam lemak dalam minyak. Proses ini dilakukan dengan cara dehidratasi gum atau kotoran lain agar bahan tersebut lebih mudah terpisah dari minyak. Proses ini perlu dilakukan untuk mengurangi kandungan gum yang ada, karena gum tersebut akan terserap oleh sabun yang terbentuk dari hasil reaksi antara asam lemak bebas dan kaustik soda (basa) pada saat netralisasi sehingga akan menghambat proses pemisahan sabun dari minyak (Ketaren,1986).

(30)

Degumming dilakukan dengan mencampurkan air panas ke dalam minyak yang sudah dipanaskan. Setelah tercampur akan didapati tiga lapisan yang terbentuk. Lapisan tersebut adalah minyak, gum atau pengotor, dan air. Pada proses degumming ini dilakukan uji kejernihan dan rendemen.

1. Kejernihan

Berdasarkan pengukuran tingkat kejernihan pada Tabel 5, warna ketiga minyak sebelum degumming memiliki warna yang sangat keruh. Warna keruh ini disebabkan oleh lendir-lendir atau getah yang terdapat pada minyak sehingga apabila dilakukan uji kejernihan dengan spektrofotometer akan didapati persen transmisi yang rendah. Proses degumming perlu dilakukan karena ketiga minyak ini memiliki banyak pengotor.

Tabel 6. Pengukuran Kejernihan Setelah Degumming Kejernihan (% T) Jenis

Minyak Sebelum Degumming Sesudah Degumming

Minyak A 79.8 80.2

Minyak B 53.2 55.8

Minyak C 52.1 54.4

Tabel 6 adalah hasil pengukuran tingkat kejernihan minyak A, B dan C setelah dilakukan degumming. Minyak A yang sebelum degumming memiliki tingkat kejernihan 79.8 persen meningkat menjadi 80.2 persen. Minyak B yang sebelum degumming memiliki tingkat kejernihan 53.2 persen meningkat menjadi 55.8 persen dan minyak C yang sebelum degumming memiliki tingkat kejernihan 52.1 persen meningkat menjadi 54.4 persen. Berdasarkan Tabel 6 dapat disimpulkan terjadi peningkatan persen kejernihan pada ketiga minyak dan dapat terlihat secara fisik ketiga minyak ini memiliki warna yang tidak keruh atau tembus pandang dibandingkan sebelum degumming. Pada pengukuran setelah degummming diddapati peningkatan nilai persen transmisi. Hal ini disebabkan oleh hilangnya pengotor-pengotor berupa gum dan lendir-lendir pengotor yang larut dengan air panas dan ikut terbuang pada saat

(31)

proses pencucian minyak. Air buangan yang didapat pada proses degumming ini memiliki warna cokelat keruh. Warna cokelat ini adalah pengotor pada minyak yang larut dalam air.

2. Rendemen

Berdasarkan Tabel 7, minyak yang memiliki rendemen yang paling tinggi adalah minyak A dengan 98.42 persen. Sedangkan minyak yang memiliki rendemen yang paling rendah adalah minyak B dengan 96.51 persen. Susut bobot ini dipengaruhi dengan jumlah bahan pengotor pada minyak.

Tabel 7. Pengukuran Rendemen Setelah Degumming

Rendemen (%)

Minyak A 98.42 Minyak B 96.51 Minyak C 97.99

Susut bobot ini dipengaruhi dengan jumlah bahan pengotor pada minyak. Minyak dengan pengotor yang tinggi akan memiliki susut bobot yang tinggi pula karena zat pengotor pada minyak kasar terbuang pada saat proses pencucian sedangkan minyak dengan jumlah pengotor yang rendah akan memiliki susut bobot yang rendah sehingga rendemen yang didapat menjadi tinggi. Susut bobot ini juga dapat disebabkan oleh terbuangnya minyak pada saat proses pemisahan air pada minyak pada saat proses pencucian.

C. NETRALISASI

Proses netralisasi bertujuan untuk memisahkan sejumlah asam lemak bebas yang terdapat pada minyak. Asam lemak bebas tersebut akan bereaksi dengan basa membentuk sabun.

(32)

1. Kadar Asam Lemak Bebas 0 5 10 15 20 25 30 35 40 % F F Minyak Kasar 10 Be A 15 Be 20 Be Minyak Kasar 0.475 16.173 33.759 10 Be 0.192 4.525 15.79 15 Be 0.197 10.322 11.533 20 Be 0.194 15.872 11.682 Minyak A Minyak B Minyak C

Gambar 2. Histogram Hubungan Antara Penurunan FFA Dengan Konsentrasi Basa

Berdasarkan hasil pengukuran kadar FFA pada minyak A setelah netralisasi pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa nilai FFA minyak A turun dari 0.48 menjadi 0.19 persen. Nilai Hasil uji banding nilai tengah (Lampiran 3) kadar FFA minyak A sebelum netralisasi dengan minyak A setelah netralisasi menunjukkan perbedaan yang sangat nyata antara minyak A kasar dengan minyak A setelah netralisasi. Kadar FFA sesudah netralisasi jauh lebih rendah dibandingkan minyak A sebelum netralisasi atau dengan persen penurunan 59.57 persen. Menurut hasil analisis ragam (Lampiran 4) pada persen FFA minyak A setelah netralisasi dapat disimpulkan bahwa penurunan FFA dengan ketiga konsentrasi basa menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Berdasarkan uji lanjut Duncan, antar ketiga konsentrasi basa untuk perlakuan netralisasi minyak A memiliki hasil yang berbeda nyata pula.

Minyak B memiliki nilai FFA yang turun dari 16.17 persen hingga 4.5 ± 0.2 - 15.9 ± 0.1 persen. Pada minyak B pengukuran kadar FFA terendah didapat dari perlakuan netralisasi dengan konsentrasi kaustik soda 10 oBe juga. Penurunan FFA dari 16.2 ± 0.4 persen menjadi 4.5 ± 0.2

(33)

persen atau dengan persen penurunan FFA sebesar 72.02 persen. Hasil uji banding nilai tengah (Lampiran 1) kadar FFA minyak B sebelum netralisasi dengan minyak B setelah netralisasi juga menunjukkan perbedaan yang sangat nyata antara minyak B kasar dengan minyak B setelah netralisasi. Dengan perlakuan netralisasi 15 oBe didapati nilai FFA sebesar 10.3 ± 0.1 persen sedangkan perlakuan 20 oBe nilai FFA minyak B

menjadi 15.9 ± 0.1 persen. Menurut uji lanjut Duncan (Lampiran 6) pada persen FFA minyak B setelah netralisasi dapat disimpulkan bahwa penurunan FFA antar ketiga taraf konsentrasi basa menunjukkan hasil yang berbeda nyata.

Untuk minyak C yang memiliki kadar FFA sebelum netralisasi sebesar 33.8 ± 0.1 persen, pengukuran kadar FFA terendah didapat pada minyak yang diberi basa 15 oBe dengan FFA 11.5 ± 0.1 persen dan dengan pemberian basa 20 oBe sebesar 11.7 ± 0 persen. Berdasarkan analisis ragam dan uji lanjut Duncan (Lampiran 8) pada minyak C setelah netralisasi didapati bahwa perbandingan kadar asam lemak bebas antara minyak C yang diberi perlakuan 15 oBe dibandingkan dengan perlakuan 20 oBe tidak berbeda nyata.

Berdasarkan gambar 2 dapat disimpulkan bahwa ketiga jenis minyak mengalami penurunan kandungan asam lemak bebas setelah netralisasi. Penurunan kandungan asam lemak bebas pada minyak hasil netralisasi disebabkan terutama oleh reaksi yang terjadi antara basa dengan asam lemak bebas. Netralisasi dengan basa menyebabkan terbentuknya sejumlah sabun. Perbedaan tingkat konsentrasi basa yang digunakan berpengaruh sangat nyata terhadap penurunan kandungan asam lemak bebas. Hal ini disebabkan dengan semakin tingginya jumlah basa yang ditambahkan maka akan semakin besar jumlah asam lemak bebas yang tersabunkan sehingga jumlah asam lemak bebas pada minyak akan berkurang pula.

(34)

2. Rendemen

Rendemen minyak A berkisar dari 92.48 persen sampai 95.72 persen. Pada minyak B rendemen tertinggi berada pada perlakuan pemberian basa 20 oBe yaitu 86.03 persen, sedangkan yang paling rendah berada pada pemberian basa 10 oBe yaitu 82.48 persen sedangkan untuk minyak C memiliki kisaran rendemen antara 74.56 persen hingga 75.63 persen. 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Minyak A Minyak B Minyak C

R e nde m e n 10 Be 15 Be 20 Be

Gambar 3. Histogram Hubungan Antara Konsentrasi Basa dan Rendemen Berdasarkan gambar 3 dapat dilihat bahwa rendemen ketiga minyak paling rendah berada pada konsentrasi basa 10 oBe, sedangkan rendemen yang paling tinggi didapati pada netralisasi yang menggunakan konsentrasi basa 20 oBe. Hal ini disebabkan karena penambahan basa yang

lebih encer memerlukan jumlah yang lebih banyak dibandingkan penambahan dengan basa yang lebih pekat sehingga jumlah sabun yang terbentuk pada penambahan basa yang encer akan lebih banyak.

Berdasarkan Gambar 3 dapat disimpulkan semakin banyak basa yang digunakan semakin rendah rendemen yang didapat. Jumlah basa yang banyak akan menyabunkan minyak dibandingkan dengan jumlah penggunaan basa yang sedikit. Apabila penambahan basa pada netralisasi dilakukan tanpa perhitungan, maka semakin besar susut yang terjadi dan penurunan FFA tidak optimal. Contoh perhitungan terlampir pada Lampiran 17.

(35)

3. Kejernihan 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Minyak A Minyak B Minyak C

% T ra n s m is i Minyak Kasar 10 Be 15 Be 20 Be

Gambar 4. Histogram Hubungan Antara Konsentrasi Basa dan Kejernihan (% T)

Berdasarkan Gambar 4, tingkat kejernihan setelah netralisasi mengalami peningkatan pada ketiga jenis minyak. Dapat dibaca pada gambar 4 yang menunjukkan minyak A yang memiliki persen transmisi tertinggi adalah netralisasi dengan perlakuan konsentrasi basa 20 oBe

sekitar 88 ± 2 persen transmisi sedangkan yang terendah yaitu 84 ± 2 persen transmisi didapati pada konsentrasi basa 10 oBe. Pada minyak B dengan persen transmisi tertinggi berada pada perlakuan pemberian basa

(36)

dengan konsentrasi 15 oBe sekitar 74 ± 1 persen transmisi sedangkan

kejernihan yang paling rendah berada pada perlakuan basa 10 oBe yaitu 71 ± 1 persen transmisi. Pada minyak C, tingkat kejernihan berkisar antara 72 ± 2 persen transmisi hingga 76 ± 2 persen transmisi Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 5, 7, 9) diperoleh hasil bahwa ketiga konsentrasi basa yang digunakan untuk netralisasi terhadap kejernihan tidak memiliki pengaruh yang nyata.

Peningkatan tingkat kejernihan pada ketiga jenis minyak ini disebabkan oleh reaksi netralisasi yang menyebabkan komponen warna, pengotor dan asam lemak bebas terpisah menjadi sabun. Secara umum dapat terlihat bahwa pengunaan basa yang paling banyak jumlahnya yaitu basa dengan konsentrasi 10 oBe. Hal ini akan menyebabkan warna minyak menjadi keruh karena emulsi sabun yang terbentuk pada saat netralisasi. Sedangkan menurut Ketaren (1986), basa yang digunakan pada saat netralisasi akan membentuk sabun yang dapat mengurangi zat warna dan kotoran pada minyak.

Berdasarkan penilaian pada rendemen, kandungan asam lemak bebas, dan kejernihan setelah netralisasi maka dipilih perlakuan terbaik yang digunakan untuk minyak A adalah dengan pemberian basa 20 oBe, untuk minyak B perlakuan terbaik dengan pemberian basa 10 oBe dan untuk minyak C dengan pemberian basa 20 oBe. Ketiga minyak dengan perlakuan terbaik tersebut akan dipucatkan pada proses selanjutnya

D. PEMUCATAN (BLEACHING)

Pada proses pemucatan, persen transmisi adalah parameter kritis untuk menilai berhasil atau tidaknya proses pemucatan. Proses pemucatan dilakukan pada kadar air berkisar antara 0.1-0.3 persen. Kadar air minyak harus sedikit agar proses penyerapan pengotor oleh adsorben optimal.

1. Kejernihan

Minyak A dengan basa 20 oBe memiliki nilai kejernihan sebelum netralisasi sekitar 88.4 persen transmisi. Setelah mengalami proses pemucatan, terjadi peningkatan persen transmisi yang berkisar antara 93 ±

(37)

2 persen transmisi sampai 97 ± 1 persen tramisi. Perlakuan terbaik terdapat pada minyak A dengan perlakuan basa 20 oBe dan menggunakan bleaching earth sebagai adsorben dengan konsentrasi 0.6 persen. Melalui analisis ragam (Lampiran 10) pada pengukuran persen transmisi terhadap proses pemucatan tidak memiliki perbedaan yang nyata. Hal ini disebabkan oleh warna minyak A sebelum pemucatan dan sesudah pemucatan hampir sama yaitu merah terang. Selain itu pengotor pada minyak A terdapat dalam jumlah yang sedikit. Histogram hasil pemucatan minyak A dapat dilihat pada Gambar 5.

82 84 86 88 90 92 94 96 98 100

Arang Aktif Bleaching Earth

% T ra n sm is i 0.2 % 0.6 % 1 %

Gambar 5. Histogram Persen Transmisi Minyak A 20 oBe

Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa bleaching earth menghasilkan tingkat kejernihan yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan arang aktif. Berdasarkan penampakan fisik, minyak A kasar memiliki warna merah keruh dan tembus pandang. Setelah mengalami proses pemucatan warna minyak A menjadi merah sampai kuning pucat dan tembus pandang.

Tingkat kejernihan minyak B sebelum pemucatan adalah 70.8 persen transmisi, setelah mengalami pemucatan, tingkat kejernihan minyak B meningkat menjadi 85 ± 0 hingga 90 ± 3 persen transmisi . Hal ini disebabkan banyak jumlah zat warna pada minyak yang terserap ke dalam adsorben. Histogram hasil pemucatan minyak B dapat dilihat pada Gambar 6. Persen transmisi tertinggi berada pada penggunaan bleaching earth

(38)

dengan konsentrasi 0.2 dan 1 persen yaitu sebesar 90 ± 3 dan 88 ± 0 persen transmisi. Melalui analisis ragam (Lampiran 11) dapat dilihat interaksi antara jenis adsorben dan konsentrasi adsorben untuk pemucatan tidak memiliki pengaruh yang nyata. Minyak B memiliki warna awal yang hitam keruh, setelah mengalami pemucatan warna minyak B menjadi merah tua terang, tembus pandang dan mengkilap.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Arang Aktif Bleaching Earth

% T ra n s m is i 0.2 % 0.6 % 1 %

Gambar 6. Histogram Persen Transmisi Minyak B 10 oBe

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

Arang Aktif Bleaching Earth

% T ransm isi 0.2 % 0.6 % 1 %

Gambar 7. Histogram Persen Transmisi Minyak C 20 oBe

Pada pengukuran kejernihan minyak C kasar didapati tingkat kejernihan minyak C sebesar 54.4 persen transmisi, setelah dilakukan

(39)

pemurnian didapati tingkat kejernihan minyak C meningkat antara 57 ± 6 sampai 81 ± 1 persen transmisi. Melalui analisis ragam (Lampiran 12) antara dapat dilihat interaksi antara jenis adsorben dan konsentrasi adsorben untuk pemucatan memiliki pengaruh yang tidak berbeda nyata. Dari ketiga jenis minyak, minyak C adalah minyak yang memiliki kualitas yang paling rendah. Minyak C kasar memiliki warna yang hitam pekat dan tidak mengkilap. Setelah mengalami proses pemurnian minyak C memiliki warna merah tua dan tembus pandang.

Dari keseluruhan uji kejernihan setelah tahap pemucatan dapat disimpulkan penggunaan kedua jenis adsorben tidak memberikan pengaruh yang nyata pada proses pemucatan. Seharusnya proses pemucatan dengan arang aktif memiliki tingkat kejernihan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bleaching earth karena arang aktif memiliki kelebihan dalam menyerap warna pada minyak dikarenakan oleh banyaknya pori-pori yang terdapat pada permukaan arang aktif. Hal ini disebabkan karena nilai persen transmisi pemucatan yang menggunakan arang aktif dan bleaching earth memiliki efektivitas penyerapan warna yang hampir sama sehingga dihasilkan nilai yang tidak jauh berbeda. 2. Rendemen 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Arang Aktif Bleaching Earth

R en d emen ( % ) 0.2 % 0.6 % 1 %

Gambar 8. Histogram Hubungan Antara Jenis Bahan Pemucat, Konsentrasi Bahan Pemucat dan Rendemen Pada Minyak A

(40)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Arang Aktif Bleaching Earth

R e nde m e n 0.2 % 0.6 % 1 %

Hasil pengukuran rendemen minyak setelah pemucatan dapat dilihat pada Gambar 8. Pada minyak A rendemen berkisar antara 56.98 persen hingga 72.12 persen. Rendemen terendah pada minyak A berada

pada perlakuan yang menggunakan arang aktif sebanyak satu persen. Perlakuan yang dipilih pada proses pemucatan minyak A adalah minyak dengan penambahan bleaching earth sebagai pemucat pada konsentrasi 0.2 persen karena menghasilkan rendemen yang cukup banyak dengan pemakaian bleaching earth yang sedikit.

Gambar 9. Histogram Hubungan Antara Jenis Bahan Pemucat, Konsentrasi Bahan Pemucat dan Rendemen Pada Minyak B Berdasarkan Gambar 9, dari segi rendemen untuk minyak B, rendemen yang paling besar berada pada pemucatan yang menggunakan bleaching earth 0.6 persen yaitu sebesar 76.00 persen sedangkan yang terendah berada pada pemucatan yang menggunakan 1 persen yaitu sebesar 58.72 persen.

Pada pemucatan minyak C, rendemen yang diperoleh pada penggunaan bleaching earth lebih besar dibandingkan arang aktif. Hal ini disebabkan banyak minyak C yang ikut terserap bersama zat warna dan pengotor ke dalam arang aktif sehingga ikut terbuang pada saat penyaringan untuk memisahkan adsorben dari minyak. Gambar 10 menunjukkan rendemen terbesar pada minyak C berada pada pemucatan

(41)

yang menggunakan bleaching earth 0.6 persen yaitu sebesar 72.88 persen sedangkan rendemen terendah didapati pada penggunaan arang aktif dengan konsentrasi 1 persen sebesar 50.12 persen. Pada pemucatan minyak C rendemen yang diperoleh pada bleaching earth juga lebih besar dibandingkan arang aktif.

Gambar 10. Histogram Hubungan Antara Jenis Bahan Pemucat, Konsentrasi Bahan Pemucat dan Rendemen Pada Minyak C

Berdasarkan data rendemen keseluruhan, rendemen terendah berada minyak yang menggunakan arang aktif sebagai pemucat. Sedangkan rendemen tertinggi berada pada minyak yang menggunakan bleaching earth sebagai bahan pemucat. Kadar arang aktif yang tinggi akan mengurangi jumlah rendemen karena arang aktif memiliki pori-pori yang besar dibandingkan dengan bleaching earth yang berbentuk bubuk. Pori-pori ini menyerap warna cukup banyak tetapi akan menyebabkan minyak banyak tertinggal di dalam pori-pori tersebut dan ikut terbuang bersama arang aktif sehingga hasil pengukuran pada minyak yang menggunakan arang aktif akan memiliki rendemen yang rendah dibandingkan dengan penggunaan bleaching earth.

E. BILANGAN PEROKSIDA

Bilangan peroksida awal (Tabel 5) untuk minyak A adalah 2.80, untuk minyak B adalah 4.71 sedangkan untuk minyak C adalah 2.70. Bilangan peroksida

(42)

mengindikasikan bahwa minyak mentah masih bagus dan belum banyak teroksidasi. Bilangan peroksida juga mengindikasikan umur minyak.

Gambar 11. Histogram Bilangan Peroksida Minyak A setelah Pemurnian

Gambar 12. Histogram Bilangan Peroksida Minyak B setelah Pemurnian

(43)

Berdasarkan Gambar 11, 12 dan 13, seluruh minyak mengalami kenaikan bilangan peroksida yang sangat tajam. Minyak A kasar memilikisetelah pemurnian memiliki bilangan peroksida yang berkisar antara 21.33 sampai 24.00 atau meningkat sekitar 300 persen dari bilangan peroksida sebelum pemurnian. Pada minyak B setelah pemurnian didapati bilangan peroksida yang berkisar antara 21.44 sampai 32.43 atau meningkat sekitar 360 persen, sedangkan minyak C memiliki bilangan peroksida yang berkisar antara 21.33 sampai 41.51 atau meningkat sebesar 500 persen.

Peningkatan bilangan peroksida yang sangat besar ini disebabkan karena setiap tahapan proses pemurnian minyak membutuhkan suhu yang tinggi atau minyak yang akan dimurnikan mendapatkan panas yang berlebih. Hal ini menyebabkan minyak teroksidasi sehingga bilangan peroksida minyak akan naik pula. Apabila asam lemak tidak jenuh mengalami oksidasi maka asam lemak tidak jenuh tersebut akan membentuk peroksida dan akan menyebabkan minyak berbau tengik.

F. KANDUNGAN ASAM LEMAK BEBAS

Pada pengukuran setelah pemucatan didapati nilai kandungan asam lemak bebas yang fluktuatif pada minyak A, B dan C. Pada minyak A, kandungan asam lemak bebas berkisar antara 0.17 sampai 0.50 persen. Pada minyak B, kandungan asam lemak bebas berkisar antara 2.72 sampai 2.97 persen. Pada minyak C kandungan asam lemak terendah yaitu 13.17 dan yang tertinggi 14.16 persen. Kandungan asam lemak bebas dari minyak A dan B masih sesuai dengan standar mutu yang berlaku di Muncar (lampiran 14), sedangkan untuk minyak C didapati hasil yang lebih baik dibandingkan standar mutu yang berlaku di Muncar.

Berdasarkan Gambar 14 pada minyak A terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas yang semula sebesar 0.19 persen meningkat menjadi 0.25-0.50 persen. Hal in disebabkan minyak mengalami hidrolisis yang disebabkan oleh sejumlah kecil air yang tersisa. Pada minyak A, pemucatan menggunakan arang aktif menghasilkan minyak dengan nilai kandungan asam lemak bebas yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan bleaching earth. Hal ini menunjukkan bahwa minyak yang dipucatkan menggunakan arang aktif memiliki

(44)

tingkat oksidasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang menggunakan bleaching earth. Dengan terjadinya oksidasi ini maka jumlah asam lemak bebas yang terukur akan semakin besar sehingga meningkatkan kadar asam lemak bebasnya. Peningkatan asam lemak tersebut masih dalam toleransi standar mutu A yaitu kandungan asam lemak bebas harus dibawah 1.

Gambar 14. Kandungan Asam Lemak Bebas Minyak A Setelah Pemurnian

Gambar 15. Kandungan Asam Lemak Bebas Minyak B Setelah Pemurnian Berdasarkan Gambar 15 dapat dilihat bahwa kandungan asam lemak bebas minyak B setelah netralisasi terjadi penurunan dari 4.52 menjadi 2.72-2.97 persen.

(45)

Kandungan asam lemak bebas terendah didapat pada penggunaan arang aktif pada konsentrasi 0.6 persen, sedangkan kandungan asam lemak bebas tertinggi didapat pada penggunaan bleaching earth sebanyak 0.2 persen. Pemucatan pada minyak B berhasil mengurangi tingkat oksidasi yang tejadi pada minyak B sehingga jumlah asam lemak bebas yang terbentuk dapat dikurangi. Hal ini yang menyebabkan kandungan asam lemak bebas pada minyak B menjadi sedikit.

Gambar 16. Kandungan Asam Lemak Bebas Minyak C Setelah Pemurnian Pada Gambar 16, didapati hasil pengukuran kandungan asam lemak bebas yang fluktuatif dibandingkan dengan minyak A dan B. Pada minyak C ini penggunaan bleaching earth dengan konsentrasi 0.6 persen memiliki kandungan asam lemak bebas yang paling tinggi yaitu sebesar 14.15 persen sedangkan yang terendah adalah pemucatan menggunakan bleaching earth 0.2 persen sebesar 13.17 persen.

Berdasarkan data pengukuran kadar asam lemak keseluruhan setelah pemucatan, untuk minyak B dan minyak C masih memiliki kandungan asam lemak bebas yang masih tinggi dibandingkan dengan minyak A. Asam lemak pada minyak B dan minyak C akan menyebabkan kedua minyak tersebut memiliki bau yang tengik dan amis, oleh karena itu pemurnnian lanjutan yang bertujuan untuk menurunkan kandungan asam lemak bebas pada minyak B dan minyak C perlu dilakukan.

(46)

G. PEMURNIAN LANJUTAN

Pemurnian lanjutan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas minyak B dan C menjadi minyak A. Pada pemurnian lanjutan ini dilakukan beberapa kali netralisasi untuk menurunkan sejumlah asam lemak bebas pada minyak B dan C agar mencapai standar kandungan asam lemak bebas minyak A yaitu dibawah 1 persen.

Pada minyak B dilakukan penambahan basa 10 oBe dengan dua tahapan. Minyak B setelah pemurnian memiliki kandungan asam lemak bebas sebanyak 2.86 persen, setelah dilakukan penambahan basa 10 oBe untuk yang pertama

kandungan asam lemak bebas turun menjadi 1.04 persen. Nilai ini hampir mendekati standar mutu minyak A untuk kandungan asam lemak bebasnya oleh karena itu minyak B tadi perlu ditambahkan sejumlah basa kembali. Setelah ditambahkan basa, kandungan asam lemak minyak B turun menjadi 0.38 persen.

Minyak C setelah pemurnian pertama memiliki kandungan asam lemak bebas sebesar 13.82 persen. Pada minyak C ini dilakukan penambahan basa pertama dengan konsentrasi 20 oBe. Setelah dilakukan penambahan basa kandungan asam lemak bebas turun menjadi 7.89 persen. Penambahan basa kedua kembali dilakukan sehingga kandungan asam lemak bebas pada minyak C turun menjadi 2.11 persen. Angka ini belum berada pada standar minyak A, oleh karena itu dilakukan kembali penambahan basa ketiga dan didapati kandungan asam lemak bebas sebesar 0.78 persen.

Penambahan basa diperlukan dalam jumlah yang bertahap agar tidak mengurangi rendemen yang besar. Penambahan basa dalam jumlah yang besar untuk sekali pemurnian akan menyebabkan jumlah sabun yang terbentuk akan semakin banyak sehingga rendemen yang diperoleh akan sedikit dan penurunan kadar asam lemak bebas kurang efektif, oleh karena itu tetap diperlukan perhitungan untuk menambahkan sejumlah basa ke minyak.

H. INDUSTRI PEMURNIAN MINYAK IKAN DI MUNCAR

Muncar merupakan daerah yang terletak di pesisir selat Bali. Komoditas industri utama berasal dari perikanan laut. Produk yang dihasilkan dari industri tersebut umumnya berbentuk ikan kalengan, tepung ikan, industri cold storage

(47)

dan minyak ikan. Hampir keseluruhan industri di Muncar tidak memiliki IPAL yang memadai sehingga limbah hasil proses langsung dibuang ke saluran pembuangan air yang bermuara di laut.

Limbah keluaran industri pengolahan ikan masih mengandund sejumlah mi nyak yang dikais dan diolah kembali oleh penduduk sekitar pabrik. Minyak dari limbah ini masih sangat kotor karena banyak pengotor-pengotor yang ikut terambil dari saluran pembuangan air. Minyak yang dikais dari selokan kemudian dikumpulkan oleh para pengumpul minyak dan diproses kembali.

Jenis minyak ikan yang diproses oleh para pengumpul berasal dari ikan lemuru, ikan layang, tongkol dan hiu. Minyak yang diperoleh dari pengais dihargai Rp. 20.000,- untuk jerigen berukuran 20 liter. Setelah terkumpul, minyak ini kemudian dipanaskan menggunakan drum minyak berukuran 400 liter. Bahan bakar yang digunakan berasal dari kayu bakar kering dengan harga Rp. 150.000/m3. Peralatan untuk memasak minyak yaitu drum 400 liter dan tangki baja berkapasitas 6000 liter. Parameter yang dipilih untuk memurnikan minyak pada industri tersebut berpatokan pada kualitas mutu minyak ikan yang berlaku di Muncar yang digolongkan berdasarkan warna dan kandungan asam lemak bebas (Lampiran 15). Minyak A me memiliki kandungan asam lemak bebas kurang dari 1 persen, untuk minyak B memiliki kandungan asam lemak bebas lebih dari 1 persen dan kurang dari 10 persen, untuk minyak C memiliki kandungan asam lemak bebas lebih besar dari 15 persen, sedangkan untuk minyak D memiliki kandungan asam leak bebas lebih besar dari 20 persen.

Proses pemurnian minyak di Muncar meliputi pemasakan dan netralisasi menggunakan kaustik soda. Minyak mentah dari pengais dimasak untuk memisahkan kotoran lalu dilanjutkan ke netralisasi untuk menurunkan kandungan asam lemak bebas pada minyak. Konsentrasi kaustik soda yang digunakan sebesar 3 kg NaOH dilarutkan ke dalam 70 kg air. Penambahan kaustik soda yang digunakan untuk 1 persen FFA dalam satu drum sekitar 0.15 kg NaOH. Setelah ditambahkan kaustik soda, minyak didinginkan lalu sabun hasil netralisasi dipisahkan. Minyak hasil pemurnian digolongkan menjadi minyak A, minyak B, minyak C dan minyak D. Harga minyak A adalah Rp. 10.000,-/kg, harga minyak

(48)

B Rp. 4.000,-/kg, harga minyak C Rp. 3000,-/kg sedangkan harga minyak D Rp. 1.000,-/kg.

Minyak ikan yang sudah dimurnikan umumnya dimanfaatkan sebagai bahan baku industri kerupuk ikan untuk minyak A dan campuran pakan ternak untuk minyak B, C dan D. Laju produksi industri rumah tangga pengolahan minyak ikan berkisar antara 100 drum/bulan sampai 1600 drum/bulan. Permasalahan yang terdapat pada industri ini adalah jumlah bahan baku fluktuatif, harga bahan pembantu yang makin mahal dan kapasitas produksi yang fluktuatif.

(49)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Hasil karakterisasi minyak awal menunjukkan bahwa mutu dari ketiga jenis minyak berbeda. Minyak A memiliki kadar asam lemak bebas 0.36 persen, bilangan peroksida 2.4 serta nilai kejernihan 79.8 persen. Minyak B memiliki kadar asam lemak bebas 14.37 persen, kadar bilangan peroksida 4.8, tingkat kejernihan 53,2 persen. Minyak C memiliki kadar asam lemak bebas 16.27 persen, kadar bilangan peroksida 2.6 dengan tingkat kejernihan 52.1 persen. Nilai kejernihan ini diukur dengan menggunakan 10 kali pengenceran menggunakan heksan sebagai pelarut.

Setelah pemurnian, pada minyak A terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas menjadi 0.17-0.50 persen, kadar bilangan peroksida meningkat menjadi 21.33-24.00, nilai kejernihan meningkat menjadi 93 ± 2 - 97 ± 1 persen tramisi. Minyak B mengalami penurunan asam lemak bebas menjadi 2.72 -2.97 persen, kadar bilangan peroksida 21.44 - 32.43, tingkat kejernihan meningkat menjadi 85 ± 0 hingga 90 ± 3 persen transmisi. Minyak C memiliki kadar asam lemak bebas 13.17 - 14.16 persen, kadar bilangan peroksida 21.33 - 41.51 dengan tingkat kejernihan 57 ± 6 - 81 ± 1 persen transmisi. Pada netralisasi dilakukan pengukuran rendemen. Rendemen minyak A berkisar dari 92.48 persen sampai 95.72. Pada minyak B rendemen tertinggi berada pada perlakuan pemberian basa 20 oBe yaitu 86.03 persen, sedangkan yang paling rendah berada pada pemberian basa 10 oBe yaitu 82.48 persen. Minyak C memiliki kisaran rendemen antara 74.56 persen hingga 75.63 persen. Minyak dengan kadar asam lemak yang tinggi akan memiliki rendemen yang rendah karena asam lemak akan banyak yang tersabunkan sedangkan minyak dengan kadar asam lemak yang rendah akan memiliki rendemen yang tinggi.

Pemilihan perlakuan terbaik didasarkan pada pertimbangan kandungan asam lemak bebas, tingkat kejernihan, dan rendemen. Perlakuan terbaik untuk minyak A adalah netralisasi dengan konsentrasi basa 20 oBe dan pemucatan dengan menggunakan bleaching earth 0.6 persen dengan nilai kejernihan 97 ± 1

(50)

persen transmisi. Pada minyak B kondisi terbaik diperoleh pada netralisasi dengan konsentrasi basa 10 oBe yang menggunakan bleaching earth (0.2%) sebagai pemucat dengan nilai kejernihan 89.7 persen. Pada minyak C kondisi terbaik diperoleh pada netralisasi dengan konsentrasi basa 20 oBe yang menggunakan bleaching earth (0.2%) sebagai pemucat dengan nilai kejernihan 81.0 persen transmisi.

B. SARAN

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan menggunakan bahan pemucat selain arang aktif dan bleaching earth misalnya bentonit, atapulgit, dan zeolit 2. Minyak ikan setelah pemucatan tetap memiliki bau amis yang sudah

berkurang kepekatannya oleh karena itu perlu dilakukan proses deodorization untuk menghilangkan bau amis.

Gambar

Tabel 2.Standar Farmakope Indonesia untuk Minyak Ikan Layak Konsumsi  Sifat Nilai
Tabel 3. Kandungan NaOH dalam larutan soda dengan berbagai derajat Baume
Tabel 4.Kelebihan dan kekurangan Arang aktif dan Bleaching Earth
Tabel 5. Hasil Karakterisasi Minyak                    Parameter   Uji  FFA  (%)  Bil
+7

Referensi

Dokumen terkait

IFOS menetapkan standar asam lemak bebas yang boleh terkandung di dalam minyak ikan adalah sebesar 26 minyak yang ditambahkan dengan vitamin E dapat mempertahankan jumlah asam

Minyak ikan memiliki kandungan terbesar asam lemak berupa EPA dan DHA, sedangkan minyak habbatussauda yaitu asam lemak oleat dan linoleat.Produk kombinasi antara minyak ikan

Dari ketiga bagian limbah ikan tuna yaitu kepala, kulit dan tulang minyak yang dihasilkan mengandung asam lemak tidak jenuh yang lebih banyak dari pada asam lemak jenuhnya yang

Mutu minyak kelapa sawit yang baik mempunyai kadar air kurang dari 0,1 persen dan kadar kotoran lebih kecil dari 0,01 persen, kandungan asam lemak bebas serendah mungkin (kurang

Dari ketiga bagian limbah ikan tuna yaitu kepala, kulit dan tulang minyak yang dihasilkan mengandung asam lemak tidak jenuh yang lebih banyak dari pada asam lemak jenuhnya yang

Tahapan pelaksanaan penelitian yang dilakukan meliputi, (1) preparasi sampel arang aktif dan bleaching earth yang dicampurkan dengan minyak ikan dengan berbagai konsentrasi

Hasil analisis profil asam lemak menunjukkan kombinasi perlakuan penambahan minyak hati ikan hiu dapat meningkatkan kandungan asam lemak omega 3 dan omega 6 pada minyak ikan

Penelitian ini bertjuan untuk menurunkankadar asam lemak bebas FFA, bilangan peroksida PV, dan angka asam AA pada minyak jelantah menggunakan alat adsorber terintegrasi melalui media