• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL MATEMATIK DEMAM BERDARAH DENGUE DENGAN NYAMUK Aedes albopictus SEBAGAI VEKTOR JAMES U. L. MANGOBI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODEL MATEMATIK DEMAM BERDARAH DENGUE DENGAN NYAMUK Aedes albopictus SEBAGAI VEKTOR JAMES U. L. MANGOBI"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL MATEMATIK DEMAM BERDARAH DENGUE

DENGAN NYAMUK

Aedes albopictus SEBAGAI VEKTOR

JAMES U. L. MANGOBI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(2)

i

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Model Matematik Demam Berdarah Dengue dengan Nyamuk Aedes albopictus sebagai Vektor adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011 James U.L. Mangobi NIM G551090351

(3)
(4)

iii

ABSTRACT

JAMES URIEL LIVINGSTONE MANGOBI. Mathematical Model of Dengue Hemorrhagic Fever with Aedes albopictus Mosquitos as Vector. Supervised by PAIAN SIANTURI and N.K. KUTHA ARDANA.

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is an acute febrile illness caused by a dengue virus. This virus has four serotypes, i.e. Dengue I - IV. The dengue virus is transmitted by various species of Aedes mosquitoes. Mathematical model can be used to study the spread of the disease. The mathematical model discussed in this paper is SEIR model. The main vector of the disease is mosquito of the Aedes

albopictus type. In the SEIR model, an analysis is performed to assess the stability

of the equilibrium point and numerical simulations. There are two equilibrium points obtained. The first equilibrium point is a disease-free equilibrium (DFE), which is stable, given the basic reproductive number ℜ< 1. The second equilibrium point is called an endemic point, which stability is guaranteed if the value ℜ> 1. The numerical simulations show that increasing mosquitoes mortality rate makes the number of exposed susceptible humans decrease. Furthermore, increase in the average bite of infected mosquito will increase the number of exposed susceptible humans. For the mosquito population, increasing mosquitoes mortality rate will decrease the number of exposed susceptible mosquitoes. Finally, increase in the average bite of infected mosquito will increase the number of exposed susceptible mosquitoes.

Keywords: dengue hemorrhagic fever, Aedes albopictus, SEIR model, equilibrium point, stability analysis

(5)
(6)

v

RINGKASAN

JAMES U.L. MANGOBI. Model Matematik Demam Berdarah Dengue dengan Nyamuk Aedes albopictus sebagai Vektor. Dibimbing oleh PAIAN SIANTURI dan N.K. KUTHA ARDANA.

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus Dengue. Virus ini memiliki empat serotype virus, yaitu Dengue I – IV (Gubler 1998). Virus ini ditularkan oleh berbagai nyamuk spesies

Aedes. Nyamuk ini merupakan vektor yang sangat efisien, sehingga penyakit ini

menjadi wabah (epidemi).

Berbagai program pengendalian epidemi DBD menjadi prioritas utama WHO dan departemen kesehatan di banyak negara selama ini. Di Indonesia, upaya ini terbilang belum berhasil karena adanya berbagai kendala baik secara teknis maupun non-teknis.

Sehubungan dengan banyaknya kendala tersebut, perlu adanya suatu penelitian dan pemikiran yang dilakukan. Pemodelan Matematika dapat membantu memahami dan mengidentifikasi hubungan penyebaran penyakit DBD dengan berbagai parameter epidemiologi. Model matematik yang dimaksud diantaranya ialah model Susceptible, Infected, Recovered (SIR) dan model

Susceptible, Exposed, Infected, Recovered (SEIR).

Dalam tesis ini dibahas model SEIR yang dikenalkan oleh Erickson et al. (2010). Vektor utama dalam model ini adalah nyamuk Aedes albopictus, sehubungan dengan banyaknya kasus DBD yang disebabkan oleh nyamuk ini dan juga, mempunyai cakupan yang lebih besar dan lebih sulit dikendalikan.

Pada model SEIR dilakukan analisis kestabilan dan simulasi numerik dengan pemrograman berbasis fungsional menggunakan software Mathematica

8.0 (Wolfram Research, Inc, Champaign, IL). Dalam proses analisis kestabilan, ditentukan titik-titik tetap, bilangan reproduksi dasar dan kestabilan dari titik-titik tetap tersebut. Simulasi dilakukan untuk melihat pengaruh perubahan laju kematian nyamuk dan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi terhadap populasi manusia dan nyamuk.

Bilangan reproduksi dasar (ℜ଴) merupakan suatu ukuran potensi penyebaran penyakit dalam suatu populasi. Bilangan reproduksi dasar didefinisikan sebagai nilai harapan banyaknya populasi rentan yang menjadi terinfeksi selama masa infeksi berlangsung. Jika ℜ< 1, maka satu nyamuk terinfeksi akan menginfeksi kurang dari satu manusia rentan atau satu manusia terinfeksi akan menginfeksi kurang dari satu nyamuk rentan, sehingga lambat laun penyakit DBD akan hilang dari populasi. Jika ℜ> 1, maka satu nyamuk terinfeksi akan menginfeksi lebih dari satu manusia rentan atau satu manusia terinfeksi akan menginfeksi lebih dari satu nyamuk rentan, sehingga penyakit DBD akan bertahan di dalam populasi. Nilai ℜ଴ ini dapat ditentukan antara lain dari the next generation matrix, yaitu matriks yang dibentuk hanya pada sub-subpopulasi yang menyebabkan infeksi saja (ܧ௛, ܧ௩, ܫ, dan ܫ).

(7)

vi Analisis kestabilan menghasilkan dua titik tetap. Pertama, titik tetap tanpa penyakit, yang selalu ada dan merupakan titik yang stabil jika ℜ< 1. Kedua, titik tetap endemik. Kestabilan titik ini dijamin apabila nilai ℜ > 1.

Simulasi menunjukkan bahwa jumlah tiap subpopulasi pada populasi manusia dan nyamuk akan stabil ke titik tetap tanpa penyakit ܶ ketika ℜ < 1 dan stabil ke titik tetap endemik ܶ ketika ℜ > 1. Pada populasi manusia, semakin besar laju kematian nyamuk maka jumlah manusia rentan yang menjadi terpapar semakin sedikit. Sedangkan semakin besar rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi maka jumlah manusia rentan yang menjadi terpapar semakin banyak. Pada populasi nyamuk, semakin besar laju kematian nyamuk maka jumlah nyamuk rentan yang menjadi terpapar semakin sedikit. Sedangkan semakin besar rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi maka jumlah nyamuk rentan yang menjadi terpapar semakin banyak.

Kata kunci: demam berdarah dengue, Aedes albopictus, model SEIR, titik tetap, analisis kestabilan

(8)

vii

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya

(9)
(10)

ix

MODEL MATEMATIK DEMAM BERDARAH DENGUE

DENGAN NYAMUK

Aedes albopictus SEBAGAI VEKTOR

JAMES U. L. MANGOBI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Matematika Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(11)

x

(12)

xi Judul Tesis : Model Matematik Demam Berdarah Dengue dengan Nyamuk

Aedes albopictus sebagai Vektor

Nama : James U.L. Mangobi

NIM : G551090351

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Paian Sianturi Ir. N.K. Kutha Ardana, M.Sc.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Matematika Terapan

Dr. Ir. Endar H. Nugrahani, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(13)
(14)

xiii

“I can do all things through Christ Who strengthens me”

“I can do all things through Christ Who strengthens me”

“I can do all things through Christ Who strengthens me”

“I can do all things through Christ Who strengthens me”

(Philippians 4 : 13)

ku persembahkan tesis ini untuk

orang tuaku, isteri tercinta dan keluargaku

(15)
(16)

xv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kasih dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta penulisan tesis ini dengan judul Model Matematik Demam Berdarah Dengue dengan Nyamuk Aedes albopictus sebagai Vektor.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada program studi Matematika Terapan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa bantuan-bantuan dan arahan-arahan dari kedua pembimbing sangat membantu dalam menyelesaikan karya tulis ini. Penulis sangat berterima kasih kepada Dr. Paian Sianturi selaku pembimbing I dan Ir. N.K. Kutha Ardana, M.Sc. selaku pembimbing II.

Penulis menyampaikan terima kasih juga kepada:

1. Prof. Dr. Ph.E.A. Tuerah, M.Si. DEA selaku Rektor Universitas Negeri Manado.

2. Prof.Dr.Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc. selaku Rektor Institut Pertanian Bogor. 3. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor.

4. Dr. S.M. Salajang, M.Si. selaku Direktur Eksekutif Proyek I-MHERE Batch IV Universitas Negeri Manado yang telah memberikan beasiswa kepada penulis. 5. Dr. Ir. Endar H. Nugrahani, M.S. selaku Ketua Program Studi Matematika

Terapan merangkap penguji dari Departemen Matematika. 6. Dr. Toni Bakhtiar, M.Sc. selaku penguji luar komisi pembimbing. 7. Seluruh dosen dan staf pegawai tata usaha Departemen Matematika.

8. Papa (alm.) dan Mama yang dengan tabah mendidik, membesarkan dan memberikan doa restu.

9. Isteriku tercinta dan seluruh keluargaku yang selalu memberikan dorongan dan mendoakan keberhasilan studiku.

10. Teman-teman penghuni Asrama Mahasiswa Sulawesi Utara “Sam Ratulangi” di Sempur, Bogor Baru I dan Bogor Baru II.

11. Seluruh mahasiswa Departemen Matematika khususnya teman-teman angkatan tahun 2009 di program studi Matematika Terapan.

12. Sahabat-sahabatku yang tak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.

Dengan harapan disertai dengan keyakinan kiranya Tuhan Yang Maha Esa akan membalas segala kebaikan dan bantuan dari bapak, ibu, saudara sekalian. Semoga penulisan tesis ini dapat memperkaya pengalaman belajar serta wawasan kita semua.

Bogor, Agustus 2011 James U.L. Mangobi NIM G551090351

(17)
(18)

xvii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Dagho Kecamatan Tamako Kabupaten Kepulauan Sangihe Provinsi Sulawesi Utara pada tanggal 15 Juli 1977 sebagai anak bungsu dari pasangan Bapak Franssiscus Mangobi (alm) dan Ibu Martha Pereman. Penulis mempunyai isteri bernama Meyni E. Lepa.

Penulis menamatkan SD, SMP dan SMA di Tamako. Setelah lulus dari SMA Negeri Tamako, penulis melanjutkan studi S1 di Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Manado dan lulus pada tahun 2002.

Setelah memperoleh gelar sarjana, penulis menjadi Dosen Luar Biasa di Jurusan Matematika dan Statistika FMIPA Universitas Sam Ratulangi Manado hingga akhir tahun 2004. Tahun 2005, penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil dan menjadi staf pengajar di Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Manado hingga sekarang. Pada tahun 2009 penulis lulus seleksi masuk Program Magister pada Program Studi Matematika Terapan Institut Pertanian Bogor.

(19)
(20)

xix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

II. LANDASAN TEORI ... 3

2.1 Sistem Persamaan Diferensial (SPD) ... 3

2.2 Titik Tetap ... 4

2.3 Nilai Eigen dan Vektor Eigen ... 4

2.4 Pelinearan ... 4

2.5 Kestabilan Titik Tetap ... 5

2.6 Kriteria Routh-Hurwitz ... 5

2.7 Bilangan Reproduksi Dasar ... 6

III. MODEL MATEMATIK PENYEBARAN PENYAKIT DBD ... 8

3.1 Model SIR ... 8

3.2 Model SEIR ... 11

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

4.1 Penentuan Titik Tetap ... 15

4.2 Penentuan Bilangan Reproduksi Dasar ... 16

4.3 Analisis Kestabilan Titik Tetap ... 16

4.3.1 Kestabilan Titik Tetap Tanpa Penyakit ... 16

4.3.2 Kestabilan Titik Tetap Endemik ... 18

4.4 Simulasi Dinamika Populasi Penularan Virus Dengue ... 19

4.4.1 Nilai Parameter ... 19

4.4.2 Dinamika Populasi untuk Kondisi ℜ< 1 ... 20

4.4.3 Dinamika Populasi untuk Kondisi ℜ଴> 1 ... 25

V. SIMPULAN DAN SARAN ... . 31

5.1 Simpulan ... 31

5.2 Saran ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33

(21)
(22)

xxi

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Kondisi Kestabilan Titik Tetap ... 19 2. Definisi dan Nilai Parameter Model SEIR dalam Simulasi Numerik ... 20 3. Simulasi untuk Kondisi ℜ଴< 1 ... 21 4. Simulasi untuk Kondisi ℜ଴> 1 ... 26

(23)
(24)

xxiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Skema penyebaran penyakit DBD model SIR ... 8 2. Skema penyebaran penyakit DBD model SEIR ... 12 3. Dinamika populasi manusia (a) dan populasi nyamuk (b) terhadap

waktu ݐ untuk kondisi ℜ < 1 ... 20 4. Dinamika populasi manusia (a) rentan ܵ, (b) terpapar ܧ, (c)

terinfeksi ܫ௛, dan (d) sembuh ܴ, serta populasi nyamuk (e) rentan ܵ௩, (f) terpapar ܧ dan (g) terinfeksi ܫ௩ terhadap waktu ݐ pada kondisi ℜ< 1 dan nilai parameter ߤ௩ diubah ... 22 5. Dinamika populasi manusia (a) rentan ܵ, (b) terpapar ܧ, (c)

terinfeksi ܫ௛, dan (d) sembuh ܴ, serta populasi nyamuk (e) rentan ܵ௩, (f) terpapar ܧ dan (g) terinfeksi ܫ௩ terhadap waktu ݐ pada kondisi ℜ< 1 dan nilai parameter ܾ௜ diubah ... 24 6. Dinamika populasi manusia (a) dan populasi nyamuk (b) terhadap

waktu ݐ untuk kondisi ℜ > 1 ... 25 7. Dinamika populasi manusia (a) rentan ܵ, (b) terpapar ܧ, (c)

terinfeksi ܫ௛, dan (d) sembuh ܴ, serta populasi nyamuk (e) rentan ܵ௩, (f) terpapar ܧ dan (g) terinfeksi ܫ௩ terhadap waktu ݐ pada kondisi ℜ଴> 1 dan nilai parameter ߤ௩ diubah ... 27 8. Dinamika populasi manusia (a) rentan ܵ, (b) terpapar ܧ, (c)

terinfeksi ܫ௛, dan (d) sembuh ܴ, serta populasi nyamuk (e) rentan ܵ௩, (f) terpapar ܧ dan (g) terinfeksi ܫ௩ terhadap waktu ݐ pada kondisi ℜ> 1 dan nilai parameter ܾ௜ diubah ... 29

(25)
(26)

xxv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Penentuan Titik Tetap ... 35 2. Penentuan Bilangan Reproduksi Dasar (ℜ଴) ... 36 3. Analisis Kestabilan Titik Tetap Tanpa Penyakit ... 37 4. Analisis Kestabilan Titik Tetap Endemik ... 39 5. Simulasi untuk Kondisi ℜ< 1 ... 44 6. Simulasi untuk Kondisi ℜ> 1 ... 46

(27)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus Dengue. Virus ini memiliki empat serotype virus, yaitu Dengue I – IV (Gubler 1998).

Virus Dengue ditularkan oleh berbagai nyamuk spesies Aedes. Nyamuk ini merupakan vektor yang sangat efisien karena adanya asosiasi nyamuk dengan kehidupan manusia. Juga, perilaku menggigit dan menghisap darah pada beberapa orang oleh satu nyamuk betina dewasa. Dengan demikian, begitu mudah penyakit ini menjadi wabah (epidemi) di dalam populasi manusia.

Penyakit DBD ini banyak ditemukan di Indonesia. Tercatat telah empat kali Kejadian Luar Biasa (KLB) yakni tahun 1988, 1998, 2004 dan 2006. WHO memperkirakan sekitar 2,5 miliar penduduk dunia menghadapi risiko penyakit DBD (Anonym 2009). Dengan fakta tersebut, program pengendalian epidemi DBD menjadi prioritas utama WHO dan Departemen Kesehatan RI.

Sejak tahun 1962, pencegahan epidemi DBD telah difokuskan pada pemberantasan nyamuk pembawa virus Dengue. Namun demikian kita pahami, upaya penanggulangan epidemi DBD di Indonesia masih jauh dari memuaskan. Berbagai kendala seperti sedikitnya anggaran pemerintah untuk penanggulangan epidemi, keterbatasan infrastruktur, dan kurangnya data dan informasi menjadi penyebab utama keterbelakangan kita dalam pencegahan dan penanggulangan epidemi ini.

Pemodelan matematika dapat membantu memahami dan mengidentifikasi hubungan penyebaran penyakit DBD dengan berbagai parameter epidemiologi. Model matematik di antaranya ialah model Susceptible-Infected-Recovered (SIR) dan model Susceptible-Exposed-Infected-Recovered (SEIR).

Dalam tesis ini dibahas model SEIR yang mengacu pada kajian Erickson

et al. (2010). Vektor utama dalam model ini adalah nyamuk Aedes albopictus,

(28)

2

ini (Gratz 2004). Juga, nyamuk Aedes albopictus mempunyai cakupan yang lebih besar dan lebih sulit dikendalikan (Estrada-Franco and Craig 1995).

Pada model SEIR dilakukan analisis kestabilan dan simulasi numerik dengan pemrograman berbasis fungsional menggunakan software Mathematica

8.0 (Wolfram Research, Inc, Champaign, IL).

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji model-model matematik penyebaran penyakit DBD. 2. Melakukan analisis kestabilan titik tetap model SEIR.

3. Melakukan simulasi numerik terhadap model SEIR untuk melihat pengaruh perubahan laju kematian nyamuk dan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi terhadap populasi manusia dan nyamuk.

(29)

3

II. LANDASAN TEORI

2.1 Sistem Persamaan Diferensial Biasa

Definisi 1 (Sistem Persamaan Diferensial Biasa Linear)

Misalkan suatu sistem persamaan diferensial biasa dinyatakan sebagai  =  + ;  = ,  ∈ ℝ (1) dengan  adalah matriks koefisien konstan berukuran  ×  dan  adalah vektor konstan. Sistem persamaan (1) dinamakan Sistem Persamaan Diferensial Biasa Linear Orde Satu dengan kondisi awal  = . Jika  = , maka sistem dikatakan homogen dan jika  ≠ , maka sistem dikatakan takhomogen.

(Tu 1994)

Definisi 2 (Sistem Persamaan Diferensial Biasa Taklinear)

Misalkan suatu sistem persamaan diferensial biasa dinyatakan sebagai

 =  ,  (2) dengan  =      ⋮    dan  ,  =   , , , … ,   , , , … ,  ⋮  , , , … ,  

adalah fungsi taklinear dalam , , … , . Sistem persamaan (2) disebut Sistem Persamaan Diferensial Biasa Taklinear. (Braun 1983)

Definisi 3 (Sistem Persamaan Diferensial Biasa Mandiri)

Misalkan suatu Sistem Persamaan Diferensial Biasa dinyatakan sebagai

 =   ,  ∈ ℝ (3)

dengan  merupakan fungsi kontinu bernilai real dari  dan mempunyai turunan parsial kontinu. Sistem persamaan (3) disebut Sistem Persamaan Diferensial Biasa Mandiri (autonomous) karena tidak memuat t secara eksplisit di dalamnya.

(30)

4

2.2 Titik Tetap

Misalkan diberikan sistem persamaan diferensial biasa sebagaimana pada sistem (3). Titik  disebut titik tetap, jika   = . Titik tetap disebut juga titik kritis atau titik kesetimbangan. Untuk selanjutnya digunakan istilah titik tetap.

(Tu 1994)

2.3 Nilai Eigen dan Vektor Eigen

Diberikan matriks koefisien konstan  berukuran  ×  dan sistem persamaan diferensial biasa homogen  = ,  = ,  ∈ ℝ. Suatu vektor taknol  di dalam ℝ disebut vektor eigen dari  jika untuk suatu skalar 

berlaku:

 = . (4)

Nilai skalar  dinamakan nilai eigen dari .

Untuk mencari nilai  dari , maka sistem persamaan (4) dapat ditulis

 −   = . (5)

dengan adalah matriks identitas. Sistem persamaan (5) mempunyai solusi taknol jika dan hanya jika

!  = | −  | = 0. (6)

Persamaan (6) merupakan persamaan karakteristik matriks . (Anton 1995)

2.4 Pelinearan

Analisis kestabilan sistem persamaan diferensial taklinear dapat dilakukan melalui pelinearan. Misalkan diberikan sistem persamaan diferensial biasa taklinear

 =   ,  ∈ ℝ (7)

dengan   ∈ ℝ adalah suatu fungsi bernilai vektor dalam  (waktu) dan : % → ℝ adalah suatu fungsi mulus yang terdefinisi pada subhimpunan

(31)

5 Dengan menggunakan ekspansi Taylor di sekitar titik tetap , maka sistem persamaan (7) dapat ditulis sebagai

 ≡ ) = *) + + ) . (8)

dengan * adalah matriks Jacobi

* =,  , = -. . . . /030122 012 034 014 032 014 034 ⋯ 012 036 ⋯ 014 036 ⋮ ⋮ 016 032 016 034 ⋱ ⋮ ⋯ 016 0368 9 9 9 9 : 

dan + ) adalah suku berorde tinggi yang bersifat lim)→>+ ) = 0, dengan ) =  − . *) pada sistem persamaan (8) disebut pelinearan sistem persamaan (7).

(Tu 1994)

2.5 Kestabilan Titik Tetap

Misalkan diberikan sistem persamaan diferensial biasa sebarang  =   ,  ∈ ℝ dengan  sebagai titik tetap. Kestabilan titik tetap  dapat ditentukan dengan memperhatikan nilai-nilai eigen, yaitu ?, @ = 1, 2, … , , yang diperoleh dari persamaan karakteristik. Secara umum, kestabilan titik tetap mempunyai perilaku:

1. Stabil, jika:

a. Re ? < 0, untuk setiap @, atau

b. Terdapat ReFGH = 0 untuk sebarang I dan Re ? < 0 untuk setiap @ ≠ I. 2. Tidak stabil, jika terdapat paling sedikit satu @ sehingga Re ? > 0.

(Tu 1994)

2.6 Kriteria Routh-Hurwitz

Kriteria Routh-Hurwitz ini digunakan ketika nilai eigen persamaan karakteristik tidak dapat ditentukan dengan mudah. Jika diberikan persamaan karakteristik !  = K+ LKM+ ⋯ + LK = 0, maka didefinisikan N matriks sebagai berikut:

(32)

6 O= PLQ, O= RLLS L1T, ..., OG = -. . . / LLS 1 0 L L 0 ⋯ 01 ⋯ 0 LU LV LS ⋮ ⋮ ⋮ LGM LGM LGMS L ⋯ 0 ⋮ ⋱ ⋮ LGMV ⋯ LW89 9 9 : , ..., OK = -. . . /LLS 1 L L0 0 ⋯ 01 ⋯ 0 LU LV LS ⋮ ⋮ ⋮ 0 0 0 L ⋯ 0 ⋮ ⋱ ⋮ 0 ⋯ LK8 9 9 9 :

dengan syarat setiap unsur X, Y pada matriks OG adalah

ℎ[\= ] L[M\ 1 0 , untuk 0 < 2X − Y ≤ N , untuk 2X = Y , untuk 2X < Y atau 2X > N + Y.

Dengan demikian, titik tetap  stabil jika dan hanya jika det OG > 0, untuk setiap I = 1, 2, … , N.

Untuk N = 4 dan N = 5, kriteria Routh-Hurwitz diberikan berikut ini. N = 4: L> 0, LS> 0, LV > 0, LLLS > LS+ LLV.

N = 5: L? > 0; @ = 1, … , 5, LLLS> LS+ LLV, dan LLV− LU LLV > LLLS− LS− LU LL− LS + LLU.

(Edelstein-Keshet 1988)

2.7 Bilangan Reproduksi Dasar

Bilangan reproduksi dasar, dinotasikan dengan ℜ>, merupakan suatu ukuran potensi penyebaran penyakit dalam suatu populasi. Bilangan reproduksi dasar didefinisikan sebagai nilai harapan banyaknya populasi rentan yang menjadi terinfeksi selama masa infeksi berlangsung (van den Driessche dan Watmough 2008).

Kondisi yang timbul adalah:

1. Jika ℜ> < 1, maka satu nyamuk terinfeksi akan menginfeksi kurang dari satu manusia rentan atau satu manusia terinfeksi akan menginfeksi kurang dari satu nyamuk rentan, sehingga penyakit DBD akan hilang dari populasi.

(33)

7 2. Jika ℜ>> 1, maka satu nyamuk terinfeksi akan menginfeksi lebih dari satu

manusia rentan atau satu manusia terinfeksi akan menginfeksi lebih dari satu nyamuk rentan, sehingga penyakit DBD akan bertahan di dalam populasi.

ℜ> dalam penelitian ini ditentukan dari nilai eigen taknegatif dengan modulus terbesar the next generation matrix. Matriks ini merupakan suatu matriks yang dikonstruksi dari sub-subpopulasi yang menyebabkan infeksi saja. Untuk model umum dengan i kompartemen penyakit dan j kompartemen tanpa penyakit, nilai ℜ> dapat dihitung untuk setiap kompartemen.

Misalkan diberikan sistem persamaan diferensial taklinear  =   ,  ∈ ℝ dan misalkan k ∈ ℝl dan  ∈ ℝm adalah sub-subpopulasi pada setiap kompartemen. Selanjutnya, dinotasikan no sebagai laju kenaikan infeksi pada

kompartemen penyakit ke-@ dan po sebagai laju pergerakan penyakit, kematian

dan penurunan kesembuhan dari kompartemen ke-@. Model kompartemen dapat ditulis sebagai

ko= no k,  − po k,  , @ = 1,2, … ,  q= rq k,  , I = 1,2, … , Y

maka sistem persamaan diferensial taklinear  =   ,  ∈ ℝ dapat ditulis sebagai

k = s − t k

dengan s dan t adalah matriks-matriks berukuran  ×  serta s =0no

0uv 0, w> dan t =

0po

0uv 0, w> ;

0, w> adalah titik tetap tanpa penyakit.

The next generation matrixx untuk suatu sistem persamaan diferensial pada

titik tetap tanpa penyakit berbentuk

x = yzM.

Nilai eigen taknegatif dengan modulus terbesar matriks x, yaitu { yzM , yang nantinya digunakan sebagai nilai ℜ>, sehingga dapat ditulis

{ yzM = ℜ >.

(34)

8

III. MODEL MATEMATIK PENYEBARAN PENYAKIT DBD

3.1 Model SIR

Model SIR pada uraian berikut mengacu pada kajian Derouich et al. (2003). Asumsi yang digunakan adalah:

1. Total populasi nyamuk dan total populasi manusia adalah konstan. 2. Populasi manusia dan nyamuk adalah populasi yang tertutup.

Dari asumsi di atas, misalkan |} adalah populasi manusia dan |~ adalah populasi nyamuk. Populasi manusia dibagi menjadi tiga subpopulasi, yaitu manusia rentan (susceptible) }, manusia terinfeksi (infected) €}, dan manusia sembuh (recovered) }. Populasi nyamuk dibagi menjadi dua subpopulasi, yaitu nyamuk rentan (susceptible) ~ dan nyamuk terinfeksi (infected) €~.

Manusia rentan adalah manusia yang bukan imun dan belum tertular virus dengue. Manusia terinfeksi adalah manusia yang telah tertular virus dan dapat menularkan virus tersebut. Manusia sembuh dianggap tidak dapat tertular lagi. Nyamuk rentan adalah nyamuk yang belum tertular virus. Nyamuk terinfeksi adalah nyamuk yang telah tertular virus dan dapat menularkan virus tersebut.

Secara skematis, pola penyebaran penyakit DBD dapat digambarkan dalam diagram kompartemen berikut:

Gambar 1 Skema penyebaran penyakit DBD model SIR.

Rh ‚ƒ„ ƒ/†„ Ih Sh ‡ƒ ˆ„ ‡„ Sv Iv ‰ƒ ‡ƒ ‡„ ‡„ ‰„ ‚„ƒ „/†„ Keterangan : Perpindahan Individu Pengaruh

(35)

9 Arti diagram kompartemen di atas adalah:

1. Laju pertumbuhan manusia rentan mempertimbangkan faktor kelahiran, kematian, fraksi acak manusia rentan yang terimunisasi dan proporsi

perpindahan dari manusia rentan ke manusia terinfeksi, ditulis: Š‹Œ Š = }|}− Ž} + i + ‘Œ’‘ “Œ ” } = }|}− Ž} + i + ‘Œ’‘ “Œ ” }, dimana

diambil } =}. Proporsi perpindahan manusia rentan ke manusia terinfeksi dipengaruhi oleh peluang kontak antara nyamuk terinfeksi dengan manusia rentan (•~}). Nilai peluang ini ialah perkalian antara peluang transmisi virus dari nyamuk terinfeksi ke manusia rentan (i~}) dengan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi (w?). Jadi, •~} = i~}w?.

2. Laju pertumbuhan manusia terinfeksi mempertimbangkan faktor kematian,

proporsi perpindahan manusia rentan ke manusia terinfeksi dan proporsi perpindahan manusia terinfeksi ke manusia sembuh, ditulis: Š’Œ

Š = ‘Œ’‘

“Œ }− }+ –} €}.

3. Laju pertumbuhan manusia sembuh mempertimbangkan faktor kematian, fraksi acak manusia rentan yang terimunisasi dan proporsi perpindahan manusia terinfeksi ke manusia sembuh, ditulis: Š—Œ

Š = i}+ –}€}− }}. 4. Laju pertumbuhan nyamuk rentan mempertimbangkan faktor kelahiran,

kematian dan proporsi perpindahan nyamuk rentan ke nyamuk terinfeksi, ditulis: Š‹Š‘ = ~|~− Ž~+Œ‘“’Œ

Œ ” ~ = ~|~− Ž~+

Œ‘’Œ

“Œ ” ~, dimana

diambil ~=~. Proporsi perpindahan nyamuk rentan ke nyamuk terinfeksi dipengaruhi oleh peluang kontak antara nyamuk rentan dengan manusia terinfeksi (•}~). Nilai peluang ini ialah perkalian antara peluang transmisi virus dari manusia terinfeksi ke nyamuk rentan (i}~) dengan rata-rata gigitan nyamuk rentan (w˜). Jadi, •}~ = i}~w˜.

5. Laju pertumbuhan nyamuk terinfeksi mempertimbangkan faktor kematian dan

proporsi perpindahan nyamuk rentan ke nyamuk terinfeksi, ditulis: Š’‘

Š = Œ‘’Œ

(36)

10 Berdasarkan uraian di atas, model SIR dinyatakan sebagai berikut:

Populasi Manusia ™ šš › šš œ Š‹Œ Š = }|}− Ž} + i + ‘Œ’‘ “Œ ” } Š’Œ Š = ‘Œ’‘ “Œ }− }+ –} €} Š—Œ Š = i}+ –}€}− }} (9) Populasi Nyamuk  Š‹‘ Š = ~|~− Ž~+ Œ‘’Œ “Œ ” ~ Š’‘ Š = Œ‘’Œ “Œ ~− ~€~ (10) dengan kondisi }+ €}+ } = |} dan ~+ €~ = |~ (11) serta

|} : total populasi manusia. |~ : total populasi nyamuk. } : laju kelahiran manusia. ~ : laju kelahiran nyamuk. } : laju kematian manusia. ~ : laju kematian nyamuk.

i : fraksi acak manusia rentan yang terimunisasi.

–} : proporsi perpindahan manusia terinfeksi ke manusia sembuh.

•}~ : peluang terjadinya kontak antara nyamuk rentan dengan manusia terinfeksi. •~} : peluang terjadinya kontak antara nyamuk terinfeksi dengan manusia rentan. Selanjutnya, sistem-sistem (9) dan (10) serta kondisi (11) dapat disederhanakan dengan pemisalan } =“‹Œ

Œ, € } = ’Œ “Œ,  } =—Œ “Œ,  ~= ‹‘ “‘, dan €~= ’‘

“‘, sehingga sistem tersebut dapat ditulis:

™ šš › šš œ Š‹Œ Š = } − }+ i + •~}€~ } Š’Œ Š = •~}€~}− }+ –} €} Š’‘ Š = •}~€} 1 − €~ − ~€~ (12) dengan  =““‘ Œ, serta kondisi }+ €}+ } = 1 dan ~+ €~ = 1 (13)

(37)

11 Karena virus dengue membutuhkan masa inkubasi intrinsik dan ekstrinsik sebelum menyebar (Heymann 2008), maka model SIR ini dimodifikasi menjadi model SEIR. Modifikasi dilakukan dengan menambahkan tahap exposed. Pada tahap ini, manusia atau nyamuk rentan yang telah tertular virus menyelesaikan masa inkubasi intrinsik atau ekstrinsik sebelum terinfeksi.

3.2 Model SEIR

Pada model ini, populasi manusia |} dibagi menjadi empat subpopulasi, yaitu manusia rentan (susceptible) }, manusia terpapar (exposed) ž}, manusia terinfeksi (infected) €}, dan manusia sembuh (recovered) } sedangkan populasi nyamuk |~ dibagi menjadi tiga subpopulasi, yaitu nyamuk rentan (susceptible) ~, nyamuk terpapar (exposed) ž~, dan nyamuk terinfeksi (infected) €~.

Asumsi yang digunakan ialah:

1. Total populasi nyamuk adalah konstan sedangkan total populasi manusia tidak konstan.

2. Populasi manusia dan nyamuk adalah populasi yang tertutup.

Penularan virus dari nyamuk ke manusia terjadi melalui gigitan pada saat virus tersebut berada di kelenjar ludah nyamuk. Setelah itu, virus memerlukan 4-6 hari yang menunjukkan masa inkubasi intrinsik sebelum menimbulkan penyakit.

Dalam masa inkubasi ini, manusia rentan dianggap telah terbuka untuk diinfeksi virus. Dengan demikian, manusia rentan tersebut selanjutnya dikelompokkan ke dalam subpopulasi manusia terpapar.

Penularan virus dari manusia ke nyamuk hanya dapat terjadi jika nyamuk rentan menggigit manusia terinfeksi yang sedang mengalami viremia, yaitu suatu kondisi medis dimana virus Dengue berada di dalam darah manusia. Kondisi ini berlangsung selama 2 hari sebelum demam sampai 5 hari setelah demam. Selanjutnya, virus memerlukan 8-10 hari yang menunjukkan masa inkubasi ekstrinsik sebelum menimbulkan penyakit.

Ketika masa inkubasi ini, nyamuk rentan dianggap telah terbuka untuk diinfeksi oleh virus. Nyamuk-nyamuk tersebut selanjutnya dikelompokkan ke dalam suatu subpopulasi nyamuk terpapar.

(38)

12 Secara skematis, pola penyebaran penyakit DBD dapat digambarkan dalam diagram kompartemen berikut:

Gambar 2 Skema penyebaran penyakit DBD model SEIR.

Arti diagram kompartemen di atas adalah:

1. Laju pertumbuhan manusia rentan mempertimbangkan faktor kelahiran, kematian dan proporsi perpindahan manusia rentan ke manusia terpapar, ditulis: Š‹ŠŒ = }|}− ސ‘Œ“’‘

Œ + }” } = |} − Ž

‘Œ’‘

“Œ + }” }, dimana

diambil  = }. Proporsi perpindahan manusia rentan ke manusia terpapar dipengaruhi oleh peluang kontak antara nyamuk terinfeksi dengan manusia rentan (•~}). Nilai peluang ini ialah perkalian antara peluang transmisi virus dari nyamuk terinfeksi ke manusia rentan (i~}) dengan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi (w?). Jadi, •~}= i~}w?.

2. Laju pertumbuhan manusia terpapar mempertimbangkan faktor kematian, proporsi perpindahan manusia rentan ke manusia terpapar dan proporsi

perpindahan manusia terpapar ke manusia terinfeksi, ditulis: ŠŸŒ

Š = ‘Œ’‘

“Œ }−  ¡3}+ } ž}.

3. Laju pertumbuhan manusia terinfeksi mempertimbangkan faktor kematian baik kematian secara alami maupun kematian karena DBD, proporsi perpindahan manusia terpapar ke manusia terinfeksi dan proporsi perpindahan manusia terinfeksi ke manusia sembuh, ditulis: Š’ŠŒ=  ¡3}ž} −  ?}+ ¢ + } €}.

Ih ‚ƒ„ ƒ/†„ Eh Sh ‡ƒ £¤„ ‡„ Sv Ev λ λ λ λƒ ‡ƒ ‡„ ‡„ λ λλ λ„ ‚„ƒ „/†„ Rh Iv ‡ƒ ‡„ ¥ £¤ƒ £o„ Keterangan : Perpindahan Individu Pengaruh

(39)

13 4. Laju pertumbuhan manusia sembuh mempertimbangkan faktor kematian dan

proporsi perpindahan manusia terinfeksi ke manusia sembuh, ditulis: Š—Œ

Š =  ?}€}− }}.

5. Laju pertumbuhan nyamuk rentan mempertimbangkan faktor kelahiran, kematian dan proporsi perpindahan nyamuk rentan ke nyamuk terpapar, ditulis: Š‹‘ Š = ~|~− Ž Œ‘’Œ “Œ + ~” ~ = ~|~− Ž Œ‘’Œ “Œ + ~” ~, dimana

diambil ~=~. Proporsi perpindahan nyamuk rentan ke nyamuk terpapar dipengaruhi oleh peluang kontak antara nyamuk rentan dengan manusia terinfeksi (•}~). Nilai peluang ini ialah perkalian antara peluang transmisi virus dari manusia terinfeksi ke nyamuk rentan (i}~) dengan rata-rata gigitan nyamuk rentan (w˜). Jadi, •}~ = i}~w˜.

6. Laju pertumbuhan nyamuk terpapar mempertimbangkan faktor kematian, proporsi perpindahan adalah proporsi perpindahan nyamuk rentan ke nyamuk terpapar dan proporsi perpindahan nyamuk terpapar ke nyamuk nyamuk terinfeksi, ditulis: ŠŸ‘

Š = Œ‘’Œ

“Œ ~−  ¡3~+ ~ ž~.

7. Laju pertumbuhan nyamuk terinfeksi mempertimbangkan faktor kematian dan proporsi perpindahan nyamuk terpapar ke nyamuk nyamuk terinfeksi, ditulis: Š’‘

Š =  ¡3~ž~− ~€~

Berdasarkan uraian di atas, model SEIR dapat dinyatakan sebagai berikut:

Populasi Manusia ™ šš › šš œ Š‹Œ Š = |}− Ž ‘Œ’‘ “Œ + }” } ŠŸŒ Š = ‘Œ’‘ “Œ }−  ¡3}+ } ž} Š’Œ Š =  ¡3}ž}−  ?}+ ¢ + } €} Š—Œ Š =  ?}€}− }} (14) Populasi Nyamuk ™ š › š œ Š‹‘ Š = ~|~− Ž Œ‘’Œ “Œ + ~” ~ ŠŸ‘ Š = Œ‘’Œ “Œ ~−  ¡3~+ ~ ž~ Š’‘ Š =  ¡3~ž~− ~€~ (15)

(40)

14 dengan kondisi

}+ ž}+ €}+ } = |} dan ~+ ž~+ €~ = |~ (16) serta

|} : total populasi manusia.

|~ : total populasi nyamuk.  : laju kelahiran manusia

~ : laju kematian nyamuk.

} : laju kematian manusia secara alami. ¢ : laju kematian manusia karena DBD.

 ¡3} : proporsi perpindahan manusia terpapar ke manusia terinfeksi.  ¡3~ : proporsi perpindahan nyamuk terpapar ke nyamuk terinfeksi.  ?} : proporsi perpindahan manusia terinfeksi ke manusia sembuh.

•}~ : peluang terjadinya kontak antara nyamuk rentan dengan manusia terinfeksi. •~} : peluang terjadinya kontak antara nyamuk terinfeksi dengan manusia rentan.

Selanjutnya, sistem-sistem (14) dan (15) serta kondisi (16) dapat disederhanakan dengan pemisalan } =‹Œ

“Œ, ž } =ŸŒ “Œ, € } = ’Œ “Œ,  } =—Œ “Œ,  ~= ‹‘ “‘, ž~ =Ÿ‘ “‘ dan € ~ = ’‘

“‘, dan juga dalam model ini dianggap bahwa nilai •}~ =

•~} = ¦, maka sistem tersebut dapat ditulis:

™ šš š › šš š œ Š‹Œ Š =  − ¦€~+ } } ŠŸŒ Š = ¦€~}−  ¡3}+ } ž} Š’Œ Š =  ¡3}ž}−  ?}+ ¢ + } €} ŠŸ‘ Š = ¦€} 1 − ž~− €~ −  ¡3~+ ~ ž~ Š’‘ Š =  ¡3~ž~− ~€~ (17) dengan  = “‘ “Œ serta kondisi }+ ž}+ €}+ } = 1 dan ~+ ž~+ €~= 1 (18)

Sistem (17) dan kondisi (18) ini yang dibahas lebih lanjut pada bab berikut. Pembahasannya meliputi analisis kestabilan dan simulasi numerik untuk melihat dinamika populasinya.

(41)

15

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penentuan Titik Tetap

Pada sub-bab ini dicari titik tetap sistem (17) pada daerah yang memiliki makna secara biologi, disebut Ω, dengan

Ω = ¨ }, ž}, €}, ž~, €~ ∈ ℝ ©

U|}+ ž}+ €} ≤ 1, ž~+ €~ ≤ 1ª .

Titik tetap ini diperoleh dengan menyelesaikan sistem (17) tersebut. Solusinya merupakan suatu solusi yang diperoleh pada saat Š‹ŠŒ=ŠŸŠŒ=Š’ŠŒ= ŠŸ‘

Š = Š’‘

Š = 0, sehingga sistem tersebut dapat ditulis

™ š › š œ  − ¦€~+ } } = 0 ¦€~}−   ¡3}+ } ž} = 0  ¡3}ž} −  ?}+ ¢ + } €} = 0 ¦€} 1 − ž~− €~ −   ¡3~ + ~ ž~ = 0  ¡3~ž~− ~€~= 0 (19)

Sistem (19) di atas memiliki dua jenis titik tetap, yaitu titik tetap tanpa penyakit (disease-free equilibrium/DFE) dan titik tetap endemik. Titik tetap tanpa penyakit merupakan titik yang memuat nilai €} = 0 dan €~= 0, sedangkan titik tetap endemik merupakan titik yang memuat nilai €} ≠ 0 atau €~≠ 0.

Dengan menggunakan software Mathematica, diperoleh titik tetap tanpa penyakit

« }, ž}, €}, ž~, €~ = «Ž­¬Œ, 0, 0, 0, 0” (20)

dan titik tetap endemik

« ∗}, ž∗}, €∗}, ž∗~, €∗~ (21) dengan ∗} = ¨ ~+  ¡3~ P¦ ¡3}+ ~ }+  ¡3} ¢ + }+  ?} Qª/¨¦ ¡3}P¦ ¡3~+ } ~+  ¡3~ ž∗} = −P−¦ ¡3} ¡3~+ }S~ ~+  ¡3~ + ¢}~ }+  ¡3} ~+  ¡3~ + }~ ¡3} ~+  ¡3~  ?}+ }~ ~+  ¡3~  ¡3}+  ?} Q/¨¦ ¡3} }+  ¡3} P¦ ¡3~+ } ~+  ¡3~

(42)

16 €∗} = −}~ ~+  ¡3~ + ¨ ¦ ¡3} ¡3~ P ⁄ } +  ¡3} ¢ + }+  ?} Qª / ¨¦P¦ ¡3~+ } ~+  ¡3~ ž∗~ = ¨~P−} ¢ + } ~ }+  ¡3} − P−¦ ¡3}+ } ¢ + } ~ }+  ¡3} Q ¡3~− }~ }+  ¡3} ~+  ¡3~  ?}Qª/¨¦ ¡3~ ~+  ¡3~ P¦ ¡3}+ ~ }+  ¡3} ¢ + }+  ?} Qª, €∗~= 1/ −}/¦ + ¨ ¡3}P¦ ¡3~+ } ~+  ¡3~ Qª /¨ ~+  ¡3~ P¦ ¡3}+ ~ }+  ¡3} ¢ + }+  ?} Qª.

Penentuan titik-titik tetap di atas dapat dilihat pada Lampiran 1.

4.2 Penentuan Bilangan Reproduksi Dasar

Dengan menentukan the next generation matrix x untuk sistem (17) pada titik tetap tanpa penyakit,

° = -. . . . . / 0  ¦ ¡3~ }~ ~+  ¡3~ 0 ¦ }~ ¦ ~ ¡3}+ ~ ¡3} ¡3~ ~ }+  ¡3} ~+  ¡3~ ¢ + }+  ?} 0 ¦ ¢ + }+  ?} 0 0 0 0 0 0 0 0 0 89 9 9 9 9 :

diperoleh bilangan reproduksi dasar

ℜ>=³­Œ­‘ ­Œ©´±√√¬³´µ¶Œ ­‘µ¶Œ©´³´µ¶‘µ¶‘ ·©­Œ©´¸Œ . (22)

Selanjutnya, dari hasil (22) di atas diperoleh juga ¹ = ℜ>= ±

4¬´µ¶Œ´µ¶‘

­Œ­‘ ­Œ©´µ¶Œ ­‘©´µ¶‘ ·©­Œ©´¸Œ . (23)

Penentuan ℜ> dan ¹ dapat dilihat pada Lampiran 2.

4.3 Analisis Kestabilan Titik Tetap

4.3.1 Kestabilan Titik Tetap Tanpa Penyakit

Misalkan sistem (22) ditulis sebagai

™ š › š œ  }, ž}, €}, ž~, €~ =  − ¦€~+ } }  }, ž}, €}, ž~, €~ = ¦€~} −  ¡3}+ } ž} S }, ž}, €}, ž~, €~ =  ¡3}ž}−  ?}+ ¢ + } €} V }, ž}, €}, ž~, €~ = ¦€} 1 − ž~− €~ −  ¡3~+ ~ ž~ U }, ž}, €}, ž~, €~ =  ¡3~ž~− ~€~. (24)

(43)

17 Untuk menentukan kestabilan titik tetap tanpa penyakit « }, ž}, €}, ž~, €~ = « /}, 0, 0, 0, 0 , digunakan pelinearan pada sistem (24) di sekitar «, diperoleh matriks Jacobi

*º» = -. . . /−0} −} −  0 ¡3} 00 00 −¦/¦/}} 0  ¡3} −¢ − } −  ?} 0 0 0 0 ¦ −~−  ¡3~ 0 0 0 0  ¡3~ −~ 8 9 9 9 : .

Dari matriks *º» di atas diperoleh lima nilai eigen. Nilai eigen yang pertama adalah −} dan empat nilai eigen lainnya merupakan akar-akar persamaan karakteristik ¼V+ L ¼S+ L¼+ LS¼ + LV= 0 dengan L= ¢ + 2}+ 2~+  ¡3}+  ¡3~+  ?} L= }+ ~+ 2~ ¡3}+ ~ ¡3~+  ¡3} ¡3~+ ¢ }+ 2~+  ¡3}+  ¡3~ + 2~+  ¡3}+  ¡3~  ?}+ } 4~+  ¡3}+ 2 ¡3~+  ?} LS= ¢~ 2}+ ~+ 2 ¡3} + ¢ }+ ~+  ¡3}  ¡3~+ ~ ¡3} ~+  ¡3~ + } 2~+  ¡3~ + P~ ~+ 2 ¡3} + ~+  ¡3}  ¡3~Q ?}+ }P2~+  ¡3~  ¡3}+  ?} + 2~  ¡3}+  ¡3~+  ?} Q

LV= ~ }+  ¡3} ~+  ¡3~ ¢ + }+  ?} 1 − ¹ ; ¹ ada pada persamaan (23).

Berdasarkan kriteria Routh-Hurwitz untuk persamaan karakteristik berderajat 4, kondisi kestabilan sistem (17) pada titik tetap « adalah

L> 0, LS> 0, LV > 0 dan LLLS > LS+ LLV. (26) Karena semua parameter bernilai positif, maka L, L dan LS pada (25) bernilai positif. Koefisien LV dan LLLS− LS− LLV akan bernilai positif, nol atau negatif bergantung pada nilai ¹.

Jika ¹ < 1 maka LV> 0 dan LLLS− LS− LLV > 0. Jika ¹ = 1 maka LV = 0 dan LLLS− LS− LLV= 0. Jika ¹ > 1 maka LV< 0 dan LLLS− LS− LLV < 0. Jadi, kondisi (26) terpenuhi ketika ¹ < 1.

Dengan demikian, karena nilai eigen yang pertama −} < 0 dan kriteria

Routh-Hurwitz telah ditunjukkan terpenuhi, maka « stabil ketika ¹ < 1. Dari

(44)

18 persamaan (23), didapat hubungan ℜ> = ³¹, maka nilai ¹ dibatasi pada interval P0, 1 sehingga, jika ℜ> = ³¹ < 1 untuk 0 ≤ ¹ < 1 maka titik tetap tanpa penyakit « adalah stabil. Sebaliknya, jika ℜ>= ³¹ > 1 maka titik tetap tanpa penyakit « menjadi tidak stabil.

Dalam model ini, ℜ> = ³¹ adalah bilangan reproduksi dasar sebagaimana yang diperlihatkan pada persamaan (22). Pelinearan, penentuan nilai eigen dan persamaan karakteristik serta bukti di atas dapat diperhatikan pada Lampiran 3.

4.3.2 Kestabilan Titik Tetap Endemik

Untuk menentukan kestabilan titik tetap endemik « }, ž}, €}, ž~, €~ , digunakan pelinearan pada sistem (24) di sekitar «, diperoleh matriks

*º½= -. . . /LL LL LLSS LLVV LLUU LS LS LSS LSV LSU LV LV LVS LVV LVU LU LU LUS LUV LUU89 9 9 :

dengan L, L, … , LUU dapat dilihat pada Lampiran 4.

Nilai eigen matriks *º½ merupakan akar-akar persamaan karakteristik

¼U+ L

¼V+ L¼S+ LS¼+ LV¼ + LU = 0 dengan L, L, LS, LV, dan LU dapat dilihat pada Lampiran 4.

Berdasarkan kriteria Routh-Hurwitz untuk persamaan karakteristik ber-derajat 5, kondisi kestabilan sistem (17) pada titik tetap « adalah

L> 0, L> 0, LS > 0, LV > 0, LU> 0, LLLS > LS+ LLV, dan LLV− LU LLLS− LS− LLV > LU LL− LS + LLU. (27) Karena semua parameter bernilai positif, maka L bernilai positif. Koefisien L, LS, LV, LU, LLLS− LS− LLV dan LLV− LU LLLS− LS− LLV − LU LL− LS − LLU akan bernilai positif, nol atau negatif bergantung pada nilai ¹.

Jika ¹ < 1 maka L< 0, LS< 0, LV < 0, LU < 0 dan LLLSLV+ LLSLU+ 2LLVLU− LSLV− LLV− LLLU− LU < 0. Jika ¹ = 1 maka L = 0, LS = 0,

(45)

19 LV = 0, LU= 0 dan LLLSLV+ LLSLU+ 2LLVLU− LSLV− LLV− LLLU− LU = 0. Jika ¹ > 1 maka L > 0, LS > 0, LV > 0, LU> 0 dan LLLSLV+ LLSLU +2LLVLU− LSLV− LLV− LLLU− LU> 0. Jadi, kondisi (27) terpenuhi ketika ¹ > 1.

Dengan demikian, karena kriteria Routh-Hurwitz telah ditunjukkan terpenuhi, maka « stabil ketika ℜ>= ³¹ > 1. Sebaliknya, jika ℜ>= ³¹ < 1 untuk 0 ≤ ¹ < 1 maka titik tetap endemik « menjadi tidak stabil.

Pelinearan, penentuan persamaan karakteristik dan bukti di atas dapat diperhatikan pada Lampiran 4. Berikut ini adalah tabel kondisi kestabilan kedua titik tetap yang diperoleh.

Tabel 1 Kondisi Kestabilan Titik Tetap

Kondisi Titik Tetap Tanpa Penyakit º» Titik Tetap Endemik º½

ℜ>< 1 Stabil Tidak Stabil

ℜ>> 1 Tidak Stabil Stabil

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa kondisi kestabilan dari titik tetap yang diperoleh saling bertentangan. Ketika titik tetap pertama stabil, titik tetap kedua tidak stabil dan ketika titik tetap pertama tidak stabil, titik tetap kedua stabil.

4.4 Simulasi Dinamika Populasi Penularan Virus Dengue

4.4.1 Nilai Parameter

Dinamika populasi yang dianalisis adalah untuk kondisi ℜ> < 1 dan ℜ>> 1. Dalam hal ini, ℜ> adalah bilangan reproduksi dasar (persamaan 22). Untuk menganalisis dinamika populasi, dilakukan perubahan laju kematian nyamuk (~) dan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi (w?). Dua parameter ini dipilih karena dianggap berpengaruh dalam penanggulangan wabah.

Nilai ~ yang diambil berada pada [0.01, 0.09] dengan langkah 0.01, sedangkan nilai w? yang diambil pada [0.25, 0.60] dengan langkah 0.01 (Hawley 1988; Vazeille et al. 2003 dan Richards et al. 2006). Nilai-nilai parameter lain dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

(46)

20

Tabel 2 Definisi dan Nilai Parameter Model SEIR dalam Simulasi Numerik

Parameter Notasi Nilai

Laju kelahiran manusia per hari  2,244 × 10−5 Peluang transmisi virus dari nyamuk terinfeksi ke manusia

per hari i~} 0,4

Laju kematian manusia karena DBD per hari ¢ 0,003 Laju kematian manusia secara alami per hari } 1/28 000 Proporsi perpindahan manusia terpapar ke manusia terinfeksi

per hari  ¡3} 1/10

Proporsi perpindahan nyamuk terpapar ke nyamuk terinfeksi

per hari  ¡3~ 1/9

Proporsi perpindahan manusia terinfeksi ke manusia sembuh

per hari  ?} 1/4

Sumber: Erickson et al. (2010) dan Derouich et al. (2003)

Nilai awal total populasi manusia yang seluruhnya rentan adalah 1. Nilai awal total populasi nyamuk adalah 1 dengan jumlah nyamuk terinfeksi

adalah 20%.

Berikut adalah simulasi untuk melihat dinamika populasi manusia dan nyamuk yang dilakukan dengan mengubah nilai laju kematian nyamuk (~) dan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi (w?) pada kondisi ℜ>< 1 dan kondisi ℜ>> 1.

4.4.2 Dinamika Populasi untuk Kondisi ¾< 1

Gambar 3 berikut menunjukkan kestabilan tiap subpopulasi, baik pada populasi manusia maupun populasi nyamuk, untuk kondisi ℜ>< 1. Berdasarkan nilai-nilai parameter yang ada pada Tabel 2 dan dengan mengambil nilai ~ dan w? pada interval yang sudah ditetapkan, diperoleh gambar dinamika populasi di bawah ini untuk nilai ~= 0,07 dan w? = 0,3 dengan nilai ℜ> = 0,56.

(a) (b)

Gambar 3 Dinamika populasi manusia (a) dan populasi nyamuk (b) terhadap

waktu  untuk kondisi ℜ> < 1.

0 50 100 150 200 250 300 350 Hari t 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 RhHtL IhHtL EhHtL ShHtL 0 50 100 150 200 250 300 350 Hari t 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 IvHtL EvHtL SvHtL

(47)

21 Gambar 3a menunjukkan bahwa jumlah subpopulasi manusia rentan (}) setelah tertular virus, dari awal simulasi mengalami penurunan hingga stabil ke } = 0,63. Lain halnya yang terjadi pada subpopulasi manusia terpapar (ž})

dan terinfeksi (€}), awalnya mengalami peningkatan kemudian menurun hingga stabil ke ž} = 0 dan €} = 0. Pada subpopulasi manusia sembuh (}), dari

awal simulasi mengalami peningkatan hingga stabil ke } = 1 − }+ ž}+ €} = 0,37.

Pada Gambar 3b, jumlah subpopulasi nyamuk terpapar (ž~), awalnya mengalami peningkatan kemudian menurun hingga stabil ke ž~= 0. Lain halnya yang terjadi pada subpopulasi nyamuk terinfeksi (€~), dari awal simulasi mengalami penurunan hingga stabil ke €~= 0. Pada subpopulasi nyamuk rentan (~), mengalami peningkatan hingga stabil ke ~= 1 − ž~+ €~ = 1.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jumlah tiap subpopulasi stabil ke titik tetap tanpa penyakit « }, ž}, €}, ž~, €~ = « /}, 0, 0, 0, 0 dengan /} = 0,63. Ini menunjukkan bahwa sub-subpopulasi manusia terpapar dan terinfeksi serta nyamuk terpapar dan terinfeksi menuju nol.

Selanjutnya dilakukan simulasi pada populasi manusia dan nyamuk dengan mengubah nilai parameter ~ dan w?. Pengambilan nilai kedua parameter ini memenuhi kondisi ℜ> < 1, sehingga dapat disimulasikan untuk beberapa kondisi berbeda sebagaimana yang tertera pada Tabel 3 serta Gambar 4 dan 5 berikut.

Tabel 3 Simulasi untuk Kondisi >< 1

Parameter Model Bilangan Reproduksi Dasar (¾)

~= 0,03 w? = 0,30 0,97 ~= 0,05 w? = 0,30 0,70 ~= 0,07 w? = 0,30 0,56 ~= 0,09 w? = 0,30 0,47 ~= 0,05 w? = 0,25 0,59 ~= 0,05 w? = 0,30 0,70 ~= 0,05 w? = 0,35 0,82 ~= 0,05 w? = 0,40 0,94

(48)

22 Gambar 4 di bawah ini menunjukkan perubahan jumlah tiap subpopulasi ketika nilai laju kematian nyamuk (~) diubah.

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

(g)

Gambar 4 Dinamika populasi manusia (a) rentan }, (b) terpapar ž}, (c) terinfeksi €}, dan (d) sembuh }, serta populasi nyamuk (e) rentan ~, (f) terpapar ž~ dan (g) terinfeksi €~ terhadap waktu  pada kondisi ℜ>< 1 dan nilai parameter ~ diubah.

0 10 20 30 40Hari t 0.00 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 I hHtL mv = 0.09 mv = 0.07 mv = 0.05 mv = 0.03 0 10 20 30 40Hari t 0.75 0.80 0.85 0.90 0.95 1.00 SvHtL mv = 0.09 mv = 0.07 mv = 0.05 mv = 0.03 0 10 20 30 40Hari t 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 ShHtL mv = 0.09 mv = 0.07 mv = 0.05 mv = 0.03 0 10 20 30 40Hari t 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 I vHtL mv = 0.09 mv = 0.07 mv = 0.05 mv = 0.03 0 10 20 30 40Hari t 0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10 0.12 0.14 EhHtL mv = 0.09 mv = 0.07 mv = 0.05 mv = 0.03 0 10 20 30 40Hari t 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 RhHtL mv = 0.09 mv = 0.07 mv = 0.05 mv = 0.03 0 10 20 30 40Hari t 0.00 0.01 0.02 0.03 0.04 EvHtL mv = 0.09 mv = 0.07 mv = 0.05 mv = 0.03

(49)

23 Pada populasi manusia sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 4a – 4d, jika laju kematian nyamuk naik dan nilai parameter lainnya tetap, maka jumlah subpopulasi manusia rentan semakin bertambah sedangkan jumlah subpopulasi manusia lainnya semakin berkurang. Hal ini dikarenakan peningkatan laju kematian nyamuk menyebabkan penurunan pada jumlah nyamuk termasuk nyamuk terinfeksi. Akibatnya, proporsi perpindahan manusia rentan ke manusia terpapar semakin berkurang sehingga jumlah manusia rentan semakin bertambah.

Pada populasi nyamuk sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 4e – 4g, jika laju kematian nyamuk naik dan nilai parameter lainnya tetap, maka jumlah subpopulasi nyamuk rentan semakin bertambah sedangkan jumlah subpopulasi nyamuk lainnya semakin berkurang. Peningkatan laju kematian nyamuk ini menyebabkan penurunan pada jumlah nyamuk terinfeksi sehingga jumlah manusia terinfeksi pun semakin berkurang. Akibatnya, proporsi perpindahan nyamuk rentan ke nyamuk terpapar semakin berkurang sehingga jumlah nyamuk rentan semakin bertambah.

Bertambah atau berkurangnya jumlah tiap subpopulasi cenderung tidak sama untuk setiap kenaikan laju kematian nyamuk, baik pada populasi manusia maupun populasi nyamuk. Maksimum jumlah subpopulasi manusia terpapar terjadi pada hari ke-15 dengan proporsi 12% dan laju kematian nyamuk sebesar 0,03. Pada subpopulasi manusia terinfeksi, maksimum terjadi pada hari ke-21 dengan proporsi 5% dan laju kematian nyamuk sebesar 0,03.

Gambar 5 berikut ini menunjukkan perubahan jumlah tiap subpopulasi ketika nilai rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi (w?) diubah.

(50)

24

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

(g)

Gambar 5 Dinamika populasi manusia (a) rentan }, (b) terpapar ž}, (c) terinfeksi €}, dan (d) sembuh }, serta populasi nyamuk (e) rentan ~, (f) terpapar ž~ dan (g) terinfeksi €~ terhadap waktu  pada kondisi ℜ>< 1 dan nilai parameter w? diubah.

Pada populasi manusia sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 5a – 5d, jika rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi naik dan nilai parameter lainnya tetap, maka jumlah subpopulasi manusia rentan semakin berkurang sedangkan jumlah

0 10 20 30 40Hari t 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 ShHtL bi = 0.40 bi = 0.35 bi = 0.30 bi = 0.25 0 10 20 30 40Hari t 0.00 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 I hHtL bi = 0.40 bi = 0.35 bi = 0.30 bi = 0.25 0 10 20 30 40Hari t 0.75 0.80 0.85 0.90 0.95 1.00 SvHtL bi = 0.40 bi = 0.35 bi = 0.30 bi = 0.25 10 20 30 40Hari t 0.05 0.10 0.15 0.20 I vHtL bi = 0.40 bi = 0.35 bi = 0.30 bi = 0.25 0 10 20 30 40Hari t 0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10 0.12 0.14 EhHtL bi = 0.40 bi = 0.35 bi = 0.30 bi = 0.25 0 10 20 30 40Hari t 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 RhHtL bi = 0.40 bi = 0.35 bi = 0.30 bi = 0.25 0 10 20 30 40Hari t 0.00 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 EvHtL bi = 0.40 bi = 0.35 bi = 0.30 bi = 0.25

(51)

25 subpopulasi manusia lainnya semakin bertambah. Peningkatan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi dapat meningkatkan nilai peluang kontak antara nyamuk terinfeksi dengan manusia rentan. Akibatnya, proporsi perpindahan manusia rentan ke manusia terpapar semakin bertambah.

Pada populasi nyamuk sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 5e – 5g, jika rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi naik dan nilai parameter lainnya tetap, maka jumlah subpopulasi nyamuk rentan semakin berkurang sedangkan jumlah subpopulasi nyamuk lainnya semakin bertambah. Hal ini disebabkan karena meningkatnya nilai peluang kontak antara nyamuk rentan dengan manusia terinfeksi sehingga proporsi perpindahan nyamuk rentan ke nyamuk terpapar semakin bertambah.

Bertambah atau berkurangnya jumlah tiap subpopulasi cenderung tidak sama untuk setiap kenaikan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi, baik pada populasi manusia maupun populasi nyamuk. Maksimum jumlah subpopulasi manusia terpapar terjadi pada hari ke-13 dengan proporsi 14% dan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi sebesar 0,4. Pada subpopulasi manusia terinfeksi, maksimum terjadi pada hari ke-18 dengan proporsi 5% dan laju kematian nyamuk sebesar 0,4.

4.4.3 Dinamika Populasi untuk Kondisi ¾> 1

Gambar 6 berikut menunjukkan kestabilan tiap subpopulasi, baik pada populasi manusia maupun populasi nyamuk, untuk kondisi ℜ>> 1. Berdasarkan nilai-nilai parameter yang ada pada Tabel 2 dan dengan mengambil nilai ~ dan w? pada interval yang sudah ditetapkan, diperoleh gambar dinamika populasi berikut ini untuk nilai ~ = 0,01 dan w? = 0,41 dengan ℜ>= 2,47.

(a) (b)

Gambar 6 Dinamika populasi manusia (a) dan populasi nyamuk (b) terhadap

waktu  untuk kondisi ℜ> > 1.

0 50 100 150 200 250 300 350 Hari t 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 RhHtL IhHtL EhHtL ShHtL 0 50 100 150 200 250 300 350 Hari t 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 IvHtL EvHtL SvHtL

(52)

26 Gambar 6a menunjukkan bahwa jumlah subpopulasi manusia rentan (}) setelah tertular virus, dari awal simulasi mengalami penurunan hingga stabil ke ∗} =0,00248. Lain halnya yang terjadi pada subpopulasi manusia terpapar (ž}) dan terinfeksi (€}), awalnya mengalami peningkatan kemudian menurun hingga stabil ke ž} =0,00010 dan €} =0,00004. Pada subpopulasi manusia sembuh (}), di awal simulasi mengalami peningkatan kemudian menurun hingga stabil ke ∗} = 1 − ∗}+ ž∗}+ €∗} =0,99738.

Pada Gambar 6b, jumlah subpopulasi nyamuk terpapar (ž~), awalnya mengalami peningkatan kemudian menurun hingga stabil ke ž~= 0,00006. Lain halnya yang terjadi pada subpopulasi nyamuk terinfeksi (€~), dari awal simulasi mengalami penurunan hingga stabil ke €~=0,02357. Pada subpopulasi nyamuk rentan (~), mengalami peningkatan hingga stabil ke ~= 1 − ž~+ €~ =

0,97637.

Jadi, dapat dikatakan bahwa jumlah tiap subpopulasi stabil ke titik tetap endemik « }, ž}, €}, ž~, €~ . Ini menunjukkan bahwa sub-subpopulasi manusia terpapar dan terinfeksi serta nyamuk terpapar dan terinfeksi menuju ke nilai yang tidak nol.

Selanjutnya dilakukan simulasi pada tiap subpopulasi manusia dan nyamuk terhadap waktu  dengan mengubah nilai parameter ~ dan w?. Pengambilan nilai kedua parameter ini disesuaikan dengan nilai ℜ> yang memenuhi kondisi ℜ>> 1, sehingga dapat disimulasikan untuk tiga kondisi berbeda sebagaimana yang tertera pada Tabel 4 serta Gambar 7 dan 8 berikut.

Tabel 4 Simulasi untuk Kondisi >> 1

Parameter Model Bilangan Reproduksi Dasar (¾)

~= 0,01 w? = 0,60 3,62 ~= 0,03 w? = 0,60 1,94 ~= 0,05 w? = 0,60 1,40 ~= 0,07 w? = 0,60 1,12 ~= 0,03 w? = 0,40 1,29 ~= 0,03 w? = 0,45 1,45 ~= 0,03 w? = 0,50 1,61 ~= 0,03 w? = 0,55 1,78

(53)

27 (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g)

Gambar 7 Dinamika populasi manusia (a) rentan }, (b) terpapar ž}, (c) terinfeksi €}, dan (d) sembuh }, serta populasi nyamuk (e) rentan ~, (f) terpapar ž~ dan (g) terinfeksi €~ terhadap waktu  pada kondisi ℜ>> 1 dan nilai parameter ~ diubah

Perubahan (bertambah atau berkurang) jumlah tiap subpopulasi, baik pada populasi manusia maupun populasi nyamuk, karena naiknya laju kematian nyamuk sebagaimana yang ditunjukkan dalam Gambar 7 di atas memiliki pola

0 10 20 30 40 Hari t 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 SvHtL mv = 0.07 mv = 0.05 mv = 0.03 mv = 0.01 0 10 20 30 40 Hari t 0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 I hHtL mv = 0.07 mv = 0.05 mv = 0.03 mv = 0.01 0 10 20 30 40 Hari t 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 ShHtL mv = 0.07 mv = 0.05 mv = 0.03 mv = 0.01 0 10 20 30 40 Hari t 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 EhHtL mv = 0.07 mv = 0.05 mv = 0.03 mv = 0.01 0 10 20 30 40 Hari t 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 RhHtL mv = 0.07 mv = 0.05 mv = 0.03 mv = 0.01 0 10 20 30 40 Hari t 0.00 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 EvHtL mv = 0.07 mv = 0.05 mv = 0.03 mv = 0.01 0 10 20 30 40 Hari t 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 I vHtL mv = 0.07 mv = 0.05 mv = 0.03 mv = 0.01

(54)

28 yang sama dengan perubahan jumlah tiap subpopulasi untuk kondisi ℜ> < 1 sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 4. Perbedaan kedua gambar hanya pada jumlah maksimum atau minimum tiap subpopulasi, tetapi dalam simulasi ini lebih difokuskan pada jumlah maksimum subpopulasi manusia terpapar dan manusia terinfeksi.

Pada populasi manusia sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 7a – 7d, jika laju kematian nyamuk naik dan nilai parameter lainnya tetap, maka jumlah subpopulasi manusia rentan semakin bertambah sedangkan jumlah subpopulasi manusia lainnya semakin berkurang. Hal ini dikarenakan peningkatan laju kematian nyamuk menyebabkan penurunan pada jumlah nyamuk termasuk nyamuk terinfeksi. Akibatnya, proporsi perpindahan manusia rentan ke manusia terpapar semakin berkurang.

Pada populasi nyamuk sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 7e – 7g, jika laju kematian nyamuk naik dan nilai parameter lainnya tetap, maka jumlah subpopulasi nyamuk rentan semakin bertambah sedangkan jumlah subpopulasi nyamuk lainnya semakin berkurang. Peningkatan laju kematian nyamuk ini menyebabkan penurunan pada jumlah nyamuk terinfeksi sehingga jumlah manusia terinfeksi pun semakin berkurang. Berkurangnya manusia terinfeksi menyebabkan proporsi perpindahan nyamuk rentan ke nyamuk terpapar semakin berkurang sehingga jumlah nyamuk rentan semakin bertambah.

Bertambah atau berkurangnya jumlah tiap subpopulasi cenderung tidak sama untuk setiap kenaikan laju kematian nyamuk, baik pada populasi manusia maupun populasi nyamuk. Maksimum jumlah subpopulasi manusia terpapar terjadi pada hari ke-19 dengan proporsi 18% dan laju kematian nyamuk sebesar 0,01. Pada subpopulasi manusia terinfeksi, maksimum terjadi pada hari ke-24 dengan proporsi 7% dan laju kematian nyamuk sebesar 0,01.

Gambar 8 berikut ini menunjukkan perubahan jumlah tiap subpopulasi ketika nilai rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi (w?) diubah.

Gambar

Gambar 1  Skema penyebaran penyakit DBD model SIR.
Gambar 2  Skema penyebaran penyakit DBD model SEIR.
Tabel 1   Kondisi Kestabilan Titik Tetap
Gambar  3  berikut  menunjukkan  kestabilan  tiap  subpopulasi,  baik  pada  populasi  manusia  maupun  populasi  nyamuk,  untuk  kondisi  ℜ &gt; &lt; 1
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Untuk menjalankan amanah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasionaln dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Sebagian besar ibu bersalin di RSUD Panembahan Senopati Bantul mengalami preeklamsia ringan sebanyak 28 orang (56%)., Sebagian besar ibu bersalin di RSUD Panembahan Senopati

Hasil penelitian ini dapat menjelaskan yang kurangnya persaingan bekerja dalam sektor wisata yang mana disebabkan minimnya perhatian pemerintah dalam menganggarkan belanja

Sebelum melaksanakan suatu perkawinan, pertama-tama yang harus dilakukan adalah pelamaran ( madduta) pada saat inilah pihak perempuan mengajukan jumlah Uang Panaik

Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 14 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, perlu

BBNI memiliki indikator MACD dan Rsi mengindikasikan pola Uptrend, BBNI belum berhasil menembus Resistance di level harga 5550 sehingga terbuka peluang untuk kembali menguji

• Ketepatan dalam menjelaskan perkembangan transportasi di Indonesia Kriteria: Ketepatan dalam menjelaskan Bentuk Penilaian: Membuat makalah mengenai topik atau isu

Jumlah mahasiswa yang dijadikan responden sebanyak 170 mahasiswa dari masing – masing program studi, tetapi hanya 102 mahasiswa yang mengembalikan kuisioner