• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI KEHARMONISAN MANUSIA DENGAN ALAM (FLORA) PADA TEKS DAN KONTEKS ISTIADAT PENYADAP NIRA PADA MASYARAKAT DI BANJARAN SUNGAI WAMPU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "NILAI KEHARMONISAN MANUSIA DENGAN ALAM (FLORA) PADA TEKS DAN KONTEKS ISTIADAT PENYADAP NIRA PADA MASYARAKAT DI BANJARAN SUNGAI WAMPU"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI KEHARMONISAN MANUSIA DENGAN ALAM (FLORA) PADA TEKS DAN KONTEKS ISTIADAT PENYADAP NIRA PADA MASYARAKAT DI BANJARAN

SUNGAI WAMPU

SKRIPSI

DIKERJAKAN OLEH : SUHAIMA SYAHPUTRI

NIM : 150702015

PROGRAM STUDI SASTRA MELAYU FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

NILAI KEHARMONISAN MANUSIA DENGAN ALAM (FLORA) PADA TEKS DAN KONTEKS ISTIADAT PENYADAP NIRA PADA MASYARAKAT DI BANJARAN

SUNGAI WAMPU

OLEH SUHAIMA SYAHPUTRI

ABSTRAK

Penelitian ini membahas tentang “Nilai Keharmonisan Manusia Dengan Alam (Flora) Pada Teks Dan Konteks Istiadat Penyadap Nira Pada Masyarakat Di Banjaran Sungai Wampu”. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah tahap pelaksanaan istiadat penyadapan nira, makna umum teks dan konteks penyadapan nira, dan nilai keharmonisan pada istiadat penyadapan nira. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tahap penyadapan nira, mengetahui makna teks dan konteks dan nilai keharmonisan dalam istiadat penyadapan nira. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif dan dengan teknik lapangan menggunakan metode wawancara bebas. Penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi istiadat menyadap nira dapat membentuk nilai keharmonisan antara manusia dengan alam (flora) melalui tahapan maupun dari makna teks dan konteksnya.

Kata kunci : Nilai keharmonisan, teks, konteks, Sosiologi Sastra

(7)
(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah penulis ucapkan puji syukur kita kepada Allah swt, yang telah melimpahkan Rahmat, hidayah dan inayah-Nya, Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul“Nilai Keharmonisan Manusia Dengan Alam (Flora) Pada Teks Dan Konteks Istiadat Penyadap Nira Pada Masyarakat di Banjaran Sungai Wampu” yang terdiri dari 5 bab sebagai berikut :

Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan masalah, manfaat penelitian.

Bab II merupakan tinjauan pustaka yang terdiri atas kajian yang relevan, sejarah pohon nira, adat istiadat dan sosial masyarakat, khazanah kesusasteraan tradisi, pendekatan sosiologi sastra.

Bab III merupakan metode penelitian yang terdiri atas metode dasar, lokasi penelitian, teknik pengumpulan data dan analisis data.

Bab IV merupakan pembahasan yang terdiri atas tahap-tahap penyadapan nira, makna umum teks dan konteks, peran nira dalam membentuk keharmonisan manusia dengan alam.

Bab V merupakan kesimpulan dari penelitian.

Penulis menyadari sepenuhnya banyak kekurangan baik dari segi penyusunan bahasanya maupun segilainnya. Semoga skripsi yang penulis buat dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran dari penulisan skripsi ini sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan terima kasih banyak kepada pihak-pihak dalam pembuatan skripsi ini.

Medan, September 2019 Penulis,

Suhaima Syahputri NIM : 150702015

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah penulis ucapkan puji syukur kita kepada Allah swt, yang telah melimpahkan Rahmat, hidayah dan inayah-Nya, Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul“Nilai Keharmonisan Manusia Dengan Alam (Flora) Pada Teks Dan Konteks Istiadat Penyadap Nira Pada Masyarakat di Banjaran Sungai Wampu”.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak yang sudah banyak membantu penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan segala ketulusan hati penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Drs. Budi Agustono, M.S., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. Rozanna Mulyani, M.A., selaku Ketua Jurusan Program Studi Sastra Melayu Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Wan Syaifuddin, M.A., Ph. D. Selaku Dosen Pembimbing dan Dosen Penasehat Akademik.

4. Bapak dan Ibu Staf pengajar Program Studi Sastra Melayu Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan pengajaran selama perkuliahan.

5. Terkhusus yang paling istimewa penulis ucapkan banyak terima kasih kepada kedua orang tua penulis Sudiono dan Heni Herawati yang telah banyak mendoakan juga banyak mengorbankan segala pikiran, tenaga, waktu untuk memberikan dorongan kepada penulis.

(10)

6. Kepada semua teman-teman seperjuangan stambuk 2015. Yang terkhusus buat Nining Angreini, Rizky Ramadani Nainggolan, Syirri Mahdiana Ritonga, Risa Mawarni, Ika Lestari Tumangger yang telah banyak memberi dukungan kepada penulis.

7. Kepada kakak dan abang senior yang telah banyak mengarahkan penulis dalam penulisan skripsi.

8. Terima kasih kepada adik-adik junior yang telah banyak mendoakan agar skripsi ini cepat selesai.

9. Terima kasih banyak untuk teman-teman seperjuangan di Kost Binsar; Risa, Angel, Melati CS yang selama ini sama-sama membagikan keluh-kesahnya. Juga yang selama ini suka bergadang sama-sama dalam mengerjakan skripsi.

10. Kepada Tata Usaha Kak Tri dan bang Yogo yang sudah membantu dalam mengurus berkas dalam menyelesaikan skripsi.

11. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam penulisan skripsi ini, namun penulis hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan kesilapan. Penulis berharap skripsi ini dapat menambah wawasan dan dapat menjadi bekal untuk karya tulis lainnya yang berhubungan dengan skripsi penulis.

Medan, September 2019 Penulis,

Suhaima Syahputri 150702015

(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK...i

ﻙﺮﺕﺴﺏﺍ...ii

KATA PENGANTAR...iii

UCAPAN TERIMA KASIH...iv

DAFTAR ISI...vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Rumusan Masalah...3

1.3 Tujuan Penelitian...4

1.4 Manfaat Penelitian...4

1.5 Defenisi Operasional...4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Yang Relevan...6

2.2 Sejarah Pohon Nira...7

2.3 Adat Istiadat dan Sosial Masyarakat...8

2.4 Khazanah Kesusasteraan Tradisi...9

2.5 Adat Istiadat dan Kepercayaan Dalam Masyarakat Melayu...11

2.6 Pendekatan Sosiologi Sastra...11

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Dasar...14

3.2 Lokasi Penelitian...14

3.3 Teknik Pengumpulan Data...15

3.4 Metode Pengumpulan Data...15

(12)

3.4.1 Observasi...15

3.4.2 Wawancara...15

3.4 Teknik Analisis Data...16

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Tahap-Tahap Penyadapan Nira...17

4.1.1 Pemanfaatan Hasil Dari Air Nira...25

4.2 Makna Umum Teks dan Konteks Istiadat Penyadapan Nira di Banjaran Sungai Wampu...35

4.2.1 Makna Umum Teks...36

4.2.2 Makna Umum Konteks...37

4.3 Peran Nira Dalam Membentuk Nilai Keharmonisan Manusia Dengan Alam (Flora)...39

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan...42

5.2 Saran...46

DAFTAR PUSTAKA...48

Lampiran I...49

Lampiran II...50

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan yang sangat melimpah ruah.

Berbagai macam jenis tumbuhan hidup dan berkembang, dan juga mempunyai sangat banyak manfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Salah satu tumbuhan yang banyak manfaatnya adalah pohon aren (nira). Manfaatnya tidak hanya ada pada buahnya, manfaatnya juga terdapat pada daun, batang, dan yang paling banyak dicari oleh masyarakat adalah air dari pohon aren, yaitu air nira.

Masyarakat banyak yang memanfaatkan aren untuk di ambil airnya, dengan cara menyadapnya, sehingga menyadap nira menjadi pekerjaan sampingan masyarakat untuk menambah penghasilan sehari-hari. Di banjaran sungai Wampu sendiri, istiadat menyadap nira masih banyak dilakukan oleh masyarakat sebagai pekerjaan “sampingan” di rumah untuk mencukupi penghasilan.

Istiadat merupakan perbuatan yang dilakukan secara terus menerus dan berulang- ulang lalu menjadi sebuah kebiasaan, maka kebiasaan itu menjadi sebuah adat. Adapun pengertian istiadat menurut para ahli menurut Syah (dalam Nurlin Ibrahim, 2009:5), dikatakan bahwa istiadat adalah kaidah-kaidah sosial tradisional yang sakral. Ini berarti bahwa ketentuan luhur dan ditaati secara turun temurun. Soekanto (2011:73), dikatakan bahwa istiadat mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat dalam masyarakatnya, kekuatan mengikatnya tergantung pada masyarakat yang mendukung adat istiadat tersebut yang terutama berpangkal tolak pada perasaan keadilannya.

Begitulah istiadat tercipta dan menjadi sebuah perwujudan dari kebudayaan.

Keberadaan adat istiadat sangat kuat dan mengikat masyarakat sebagai ketentuaan turun-

(14)

temurun. Sumatera Utara merupakan daerah multi etnis dengan berbagai tradisi di dalamnya.

Setiap suku mempunyai tradisi yang khas, salah satu nya suku Melayu yang ada di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Sebagian besar masyarakat Melayu Langkat yang tinggal di daerah Langkat Hulu meyakini bahwa nenek moyang mereka berasal dari Tanah Karo. Namun karena seiring dengan berjalannya waktu yang berimplikasi terhadap terjadinya proses asimilasi budaya, mereka lebih memilih untuk meninggalkan nama marga mereka dengan memilih untuk memeluk agama Islam sebagai agama mereka yang kemudian membuat mereka diterima sebagai orang Melayu.

Salah satu tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Melayu Langkat adalah menyadap nira. Nira adalah cairan yang manis yang diperoleh dari batang tanaman, seperti tebu, bit, sorgum, mapel, atau getah tandan bunga dari keluarga palma seperti aren, kelapa, kurma, nipah, sagu, dan lontar.

Menurut Burhanuddin (2005) tangkai bunga jantan yang dapat disadap ketika tanaman aren berumur lima tahun dengan puncak produksi pada umur 15–20 tahun.

Menyadap nira memerlukan keterampilan, kesabaran, ketekunan yang harus diutamakan.

Penyadap harus tepat waktu ketika hendak menyadap nira, jika tidak air nira akan berubah menjadi asam dan bisa menjadi tuak. Dalam buku Dimensi Politis Hikayat Deli dinyatakan di wilayah masyarakat Melayu Sumatera Timur tradisi menyadap nira masih dilakukan, bahkan dijadikan mata pencaharian dan dikaitkan dengan aktifitas istiadat masyarakatnya. Syaifuddin (2019 : 17).

Pada masyarakat Melayu Langkat, khususnya di banjaran Sungai Wampu pun tradisi menyadap nira masih dilakukan hingga sekarang. Dengan berbagai ritual, salah satu nya mengucapkan mantra saat menyadap nira, kemudian disertai syarat-syarakat lain atau konteksnya. Mantra adalah bunyi, suku kata, kata, atau sekumpulan kata-kata yang dianggap

(15)

mampu "menciptakan perubahan" (misalnya perubahan spiritual). Jenis dan kegunaan mantra berbeda-beda tergantung mahzab dan filsafat yang terkait dengan mantra tersebut.

Kemudian, bahasa mantra menimbulkan rangsangan, memberikan kualitas dan pengartian yang lebih kepada pengalaman dan perasaan sehingga membina imajan baik pemikiran penutur ataupun pendengarnya. (Syaifuddin 2016 : 196 )

Masyarakat di banjaran sungai Wampu yang beraktivitas sebagai penoreh nira biasanya menggunakan mantra untuk tujuan tertentu. Hal tersebut sebenarnya bisa sangat efektif bagi para penggunanya, Selain merupakan salah satu sarana komunikasi dan permohonan kepada Tuhan. Dalam kalimat mantra yang kaya metafora dengan gaya bahasa yang hiperbola tersebut membantu perapal melakukan visualisasi terhadap keadaan yang diinginkan dalam tujuan pembacaan mantra.

Berdasarkan pengamatan penulis yang telah di uraikan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut dengan melakukan penelitian tentang Nilai Keharmonisan Manusia dengan Alam (Flora) pada Teks dan Konteks Istiadat Penyadap Nira Pada Masyarakat di Banjaran Sungai Wampu.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah tahap pelaksanaan penyadapan nira di banjaran sungai Wampu?

2. Bagaimanakah makna umum teks dan konteks istiadat penyadapan nira di banjaran sungai Wampu?

3. Bagaimana peran nira dalam membentuk nilai keharmonisan alam di banjaran sungai Wampu?

(16)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan ingin penulis capai dalam penulisan ini adalah : 1. Mengetahui tahap-tahap penyadapan nira.

2. Mengetahui makna mantra pada penyadapan nira.

3. Mengetahui nilai keharmonisan dalam penyadapan nira.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menambah wawasan tentang tradisi penyadapan nira agar dapat diwariskan

khususnya pada masyarakat melayu di banjaran sungai Wampu, kabupaten Langkat.

2. Agar masyarakat memberikan perhatian terhadap tradisi melayu khususnya di daerah Langkat.

3. Memberikan referensi terhadap karya ilmiah yang akan dibuat selanjutnya.

1.5 Definisi Operasional

 Keharmonisan

Keharmonisan berasal dari kata “harmonis” yang berarti keserasian dan keselarasan.

Seperti keharmonisan antara manusia dengan alam yang dimana manusia hidup saling berdampingan dengan alam. Keharmonisan dapat membentuk sebuah ikatan emosional dalam diri manusia sehingga terjalin ikatan antara satu dengan yang lainnya.

 Flora

Secara etimologi, kata “flora” berasal dari bahasa latin, yakni diambil dari nama seorang dewi pelindung bunga dan tanaman serta dewi kesuburan dalam Mitologi Romawi.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, flora adalah keseluruhan kehidupan jenis tumbuh-

(17)

tumbuhan suatu habitat atau daerah, atau disebut juga alam tumbuh-tumbuhan. (KUBI, 2003:318)

 Teks

Teks merupakan suatu tatanan dari kata-kata yang digunakan untuk memberikan informasi, menjelaskan makna, dan sebagainya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), teks adalah naslah berupa kata-kata asli dari pengarang.

 Konteks

Konteks adalah kondisi dimana suatu keadaan itu terjadi. Konteks dalam sosial karya- karya sastra Melayu tradisi adalah makna dari benda-benda, perlakuan atau perbuatan, dan pantang larang serta keyakinan masyarakatnya. Masing-masing maknanya akan menyatakan hubungan yang bersifat fungsional antara teks, tahap-tahap pelaksanaannya, dan dengan kuasa simbolik serta jenisnya juga keperluan atas fenomena yang dirasakan oleh masyarakat.

(18)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Yang Relevan

Kajian yang relevan adalah salah satu cara untuk mendapatkan referensi yang lebih tepat dan sempurna tentang data yang diperoleh. Penulisan suatu karya ilmiah merupakan suatu rangkaian yang saling berkaitan dengan menggunakan referensi yang berhubungan agar sebuah karya ilmiah lebih objektif, maka digunakan sumber yang berkaitan dengan topik yang dibahas baik berupa buku yang mendukung pemaparan secara teoritis maupun pemaparan fakta.

Adapun buku yang digunakan dalam mendukung penelitian ini adalah Menjulang Tradisi Etnik karangan Prof. Syaifuddin, M.A. Ph.D (2014) digunakan untuk mengetahui tentang tradisi pada masyarakat, khususnya masyarakat Melayu. Pemikiran Kreatif & Sastra Melayu Tradisi digunakan untuk mengetahui pendekatan sosiologi sastra. Dimensi Politik Hikayat Deli digunakan untuk mengetahui tradisi penyadap nira di masyarakat Melayu.

Seiring dengan itu, penulis juga membaca skripsi yang berjudul Nilai Gotong Royong Dalam Istiadat Ritual Khitanan Pada Masyarakat Melayu Langkat di Desa Secanggang (Ainun Mardiah 2015). Dari penelitian ini diutarakan bagaimana pelaksanaan ritual Khitanan masyarakat Melayu Desa Hilir Secanggang, tata cara budaya dan istiadat yang terkandung pada ritual khitanan Melayu Desa Hilir Secanggang, dan nilai gotong royong dalam teks dan konteks khitanan masyarakat Desa Hilir Secanggang. Kemudian Keharmonisan Keluarga dan Pengaruhnya Terhadap Pengamalan Anak di Gampong Beurawe Banda Aceh (Anita Sastriani (2018). Dari penelitian ini diutarakan bagaimana kondisi keharmonisan keluarga di Gampong Beurawe Banda Aceh, bentuk pengamalan anak dalam keluarga, dan pengaruh

(19)

keharmonisan keluarga terhadap pengamalan agama anak di Gampong Beurawen Banda Aceh.

2.2 Sejarah Pohon Nira

Pohon nira (aren) atau juga disebut dengan pohon Enau. Tumbuhan ini dapat tumbuh dengan baik tanpa harus mendapat perawatan yang ekstra. Pohon nira sangat bermanfaat bagi manusia, salah satunya adalah untuk disadap airnya, dan selanjutnya untuk diolah menjadi beberapa olahan salah satunya adalah gula merah (gula aren).

Menurut cerita, pohon aren merupakan jelmaan dari seorang anak gadis.1 Cerita itu mengisahkan tentang kesetiaan seorang gadis kepada abang nya. Ia tidak tega melihat abangnya dipasung oleh penduduk. Abangnya dipasung karena kalah saat main judi, dan hutang nya pun semakin banyak dan menumpuk. Akibatnya ia pun dipasung oleh penduduk setempat.

Si gadis pun sangat sedih dan prihatin mendengar kabar abangnya telah dipasung oleh penduduk. Si gadis pun mencari abangnya, meski pun ia tidak tahu keberadaan abang nya dimana. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan seorang kakek, lalu kakek tersebut menyarankan si gadis agar memanjat pohon yang tinggi, setelah sampai di puncak, ia harus bernyanyi sambil memanggil nama abangnya.

Tanpa berpikir panjang, sang gadis pun mencari pohon yang tinggi lalu langsung memanjat nya. Sesampainya di puncak, ia pun langsung bernyanyi dan memanggil nama abangnya sambil menangis. Sudah lama sang gadis berada di puncak pohon sambil bernyanyi memanggil abangnya, namun tak seorang pun warga yang mendengar suara gadis tersebut.

(20)

Tapi ia tak putus asa. Ia pun memohon kepada Tuhan Yang Maha kuasa. Di dalam doanya tersebut ia berkata bahwa ia bersedia untuk melunasi semua hutang abangnya dan merelakan seluruh anggota tubuhnya dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk.

Tak lama setelah ia berdoa, tiba-tiba angin bertiup sangat kencang, langit berubah menjadi mendung, hujan pun turun dengan lebatnya diikuti dengan suara petir yang bersautan. Lalu tiba-tiba tubuh sang gadis berubah menjadi pohon nira, air mata nya berubah menjadi air nira, rambutnya berubah menjadi ijuk, tubuhnya berubah menjadi pohon nira.

Menyadap nira sendiri telah lama di lakukan oleh masyarakat yang dilakukan secara turun temurun dan diwariskan dari generasi ke generasi, khususnya di banjaran sangai Wampu. Menyadap nira menjadi profesi sampingan untuk menambah perekonomian pada masyarakat. Karena pohon nira sendiri sangat banyak manfaatnya, diantara lain: air dari pohon nira dapat dimanfaatkan untuk gula aren, jika di fermentasi akan menjadi minuman tuak. Daun dari pohon aren dapat dimanfaatkan sebagai atap rumah, buahnya dapat diolah menjadi kolang-kaling.

2.3 Adat Istiadat dan Sosial Masyarakat

Adat istiadat selalu dikaitkan bagaimana manusia mengelola dirinya, kelompok serta manusia dengan alam, baik alam nyata maupun alam gaib. Menurut Husin Embi et al.

(2004:85) adat istiadat memiliki hubungan yang sangat erat, rapat, dan dipandang sebagai alat untuk mengatur kehidupan di dalam masyarakat. Dimana adat istiadat dapat membentuk kebiasaan atau kebudayaan yang kemudian akan mengangkat martabat masyarakat yang ada di dalamnya.

Setiap hari, secara tetap manusia mencari nafkah dari sumber daya alam, maupun mencari nafkah dari sumber pencaharian yang lain. Misalnya dari jasa dan lain-lain. Seperti halnya penyadap nira yang menggantungkan hidupnya kepada alam, yaitu bergantung hidup

(21)

dengan menyadap pohon nira. Kemudian, adat muncul sebagai dasar dari kehidupan manusia, yang membangun kehidupan manusia dan menegaskan ciri kepribadian suatu masyarakat.

Oleh karena itu, adat biasanya mempunyai cerita atau mitos-mitos yang terdapat makna didalamnya. Seperti pada istiadat menyadap nira terdapat doa pada teks, dan makna pada konteks menyadap nira.

2.4 Khazanah Kesusasteraan Tradisi

Menurut Syaifuddin (2016 : 119 ) khazanah kesusastraan Melayu tradisi menerima pengaruh Hindu-Budha dan Islam. Kesusastraan tradisi kerap disebut sastra lisan karena di kalangan masyarakat lebih banyak tersebar dan hidup secara lisan. Ia erat dengan sifat-sifat sosiobudaya dan kepercayaan serta agama yang diyakini masyarakat. Maka, karya-karya Melayu tradisi pun berperan atas wujudnya nilai dan norma-norma dalam perilaku masyarakatnya. Dalam buku berjudul Pemikiran Kreatif dan Sastra Melayu Tradisi (2015) diutarakan bahwa Khazanah kesusastraan tradisi masyarakat Melayu mempunyai beberapa ciri tertentu.

Ciri pertama adalah cara ia disampaikan, yaitu secara lisan. Namun, ada juga sebagian darinya telah ditulis dan kemudian dilisankan kembali. Disebabkan itulah ditemui beberapa karya yang bersifat cerita dan bukan cerita baik berbentuk prosa maupun puisi yang mempunyai judul yang sama, tetapi ide ceritanya berbeda.

Hal tersebut terjadi disebabkan oleh seorang penutur baik pencatat maupun perekam akan menokok tambah atau menambah-nambahi cerita, bentuk serta penyampaiannya untuk menambah kesedapan, kesesuaian cerita dengan suasana dan lingkungannya, dimana ia dituturkan dan disampaikan serta dimana pula ia berkedudukan hingga tidak ada rasa ragu- ragu untuk membuang dan menambah isi serta bentuk dan juga gaya penyampaiannya.

(22)

Ciri yang kedua melibatkan soal keberadaan kelahiran dari kesusastraan lisan masyarakat Melayu, yaitu lebih banyak lahir dan berkembang dari dalam masyarakat yang sederhana. Adanya tradisi sastra yang begitu rupa di dalam dunia Melayu, dan kehadiran agama Islam yang mencairkan lagi kreativitas itu membuat hadirnya satu tipe cindikia didalam kehidupan orang Melayu sebagian besar wujud sebagai ulama yang satrawan atau sastrawan ulama.

Ciri ketiga ialah kesusastraan lisan masyarakat Melayu mengandungi ciri-ciri budaya asal masyarakat yang melahirkannya sehingga menggambarkan suasana masyarakat Melayu yang alamiah. Hal ini wujud dalam sastra yang berbetuk cerita baik karya-karya dalam bentuk lisan ataupun yang telah dituliskan.

Walaupun terdapat unsur-unsur saling melengkapi atau tokok tambah, hal tersebut menunjukkan bahwa karya-karya sastra lisan masyarakat Melayu pada hakikatnya cagar budaya bangsa karena kesemuanya tuangan pengalaman jiwa bangsanya dan turut meliputi pandangan hidup serta landasan falsafah bangsa.

Ciri keempat menunjukkan bahwa kesusastraan lisan atau disebut juga sastra Melayu tradisi kepunyaan bersama, baik dianggap sebagai masyarakatnya ataupun bukan milik perseorangan. Dengan ini apabila disalurkan dengan dengan kewujudan masyarakat Melayu dan kesusasteraan lisan ditemui mempunyai banyak perbedaan versi. Ini bermakna hasil kesusasteraan lisan, baik yang bersifat lisan maupun tulisan juga mempunyai gaya penceritaan dan bukan bersifat penceritaan. Terdapat beberapa kelainan di dalam isi, gaya pertuturan dan bentuknya walaupun tajuknya sama.

Ciri kelima dan terakhir ialah dalam kesusastraan lisan Melayu terdapat unsur-unsur pemikiran yang luas tentang kemampuan masyarakatnya. Ini menunjukkan bahwa aspek pemikiran masyarakat Melayu sangat luas tentang alam nyata dan alam ghaib. Bentuk

(23)

pemikiran itu ada kaitan pula dengan sistem kepercayaan dan agama yang dianuti, seperti animisme, Hindu, Budha dan Islam.

2.5 Adat Istiadat dan Kepercayaan Dalam Masyarakat Melayu

Adat istiadat adalah kumpulan dari berbagai kebiasaan, yang lebih banyak diartikan tertuju kepada upacara khusus misalnya adat perkawinan. Adat istiadat ini adalah ekspresi dari kebudayaan Melayu. Upacara di dalam kebuadayaan Melayu juga mencerminkan polan pikir atau gagasan masyarakat Melayu. Misalnya dalam dalam upacara Jamu Laut sebagai kepercayaan akan Tuhan Yang Maha Kuasa akan memberikan rezeki melalui laut. Begitu juga pada tradisi pada penyadap nira sebagai kepercayaan akan Tuhan Yang Maha Kuasa akan memberikan rezeki melalui alam atau flora dari pohon nira.

Kepercayaan awal masyarakat Melayu sebelum kedatangan agama adalah „aninisme‟, dimana mereka percaya semua di dalam dunia ini mempunyai roh atau semangat yang memengaruhi kehidupan manusia baik yang buruk maupun yang baik. Roh atau semangat ini perlu dipuja agar membawa kebaikan dan menambahkan rezeki. Dengan ini timbullah konsep pantang larang, adat istiadat, undang-undang adat dan sebagainya. Dengan ini lahirlah tarian, nyanyian, drama, musik, unsur mainan, mantera, adat menanam, adat kematian dan sebagainya yang ada hubungan dengan kepercayaan itu. Termasuk aktivitas di dalam istiadat penyadap nira.

2.6 Pendekatan Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertitik tolak dengan orientasi kepada pengarang. Faruk (2010) sosiologi sastra adalah ilmu pengetahuan yang mampu menghubungkan antara hasil karya manusia dengan kehidupan yang ada dalam masyarakat.

Umumnya wujud tiga paradigma „asas dalam kerangka kajian sosiologi, pertama,

(24)

berparadigma nilai sosial budaya atau fakta-fakta sosial, kedua definisi sosial, ketiga perilaku sosial. Contoh dari paradigma pertama karya-karya Emile Durkheim melalui kerangka teori fungsionalisme. Contoh paradigma kedua adalah karya-karya Max Weber dengan interaksionalisme simboliknya dan ketiga, karya-karya Skinner pendekatan tentang perilaku serta teori pertukaran.

Dalam konteks ketiga paradigma kajian sosiologi itu, terdapat wujud tiga macam kerangka kajian sosiologi satra. Pertama, tumpuan kerangka pendekatan terhadap konteks sosial pengarang yang berhubungan dengan masyarakat pembaca. Kedua, tumpuan kerangka pendekatan terhadap sastra sebagai cermin masyarakat. Dalam hal ini kajian berkaitan dengan persoalan sastra sebagai pencerminan dari masyarakat dan sifat pribadi individu mempengaruhi gambaran masyarakat serta sastra dianggap mewakili seluruh masyarakat.

Ketiga, tumpuan kerangka pendekatan terhadap fungsi sosial sastra. Berkenaan dengan kajian tersebut, wujud tiga persoalan yang menjadi perhatian :

i. Sastra dapat berfungsi sebagai perubah masyarakat;

ii. Sastra dapat berfungsi sebagai pengibur saja; dan iii. Terjadi sintesis di antara kemungkinan diatas.

Pemahaman atas paradigma kerangka kajian sosiologi dan tumpuan dalam kerangka kajian sosiologi sastra adalah bertolak dari pandangan bahwa sastra merupakan sebagian dari sistem nilai budaya yang dimiliki oleh kelompok sosialnya. Sistem nilai budaya adalah suatu rangkaian konsep abstrak yang hidup dalam pikiran anggota suatu masyarakat yang berkebudayaan, mengenai apa yang harus dianggap penting dalam hidupnya. Dalam konteks pemahaman demikian termasuk dan sesuai dengan pandangan bahwa karya sastra sebagai dokumen sosiobudaya dari suatu masyarakat pada waktu tertentu.

Selanjutnya dalam pemahaman kerangka konsep kajian sosiologi sastra itu, maka kerangka teori pendekatan terhadap karya sastra, melihat nilai sosial budaya sebagai unsur-

(25)

unsur yang lepas dari kesatuan cerita. Ia hanya berdasarkan dari cerita tanpa mempersoalkan struktur karya. Bermakna :

i. Sesuatu unsur dalam karya sastra diambil terlepas dari hubungannya dengan unsur lain. Unsur ini secara langsung dihubungkan dengan suatu unsur sosiobudaya karena karya itu hanya memindahkan unsur iu dalam dirinya;

ii. Pendekatan ini dapat diambil image atau citra tentang „sesuatu‟ yang mungkin dilihat dalam perspektif perkembangan. Bila dilihat dalam perspektif akan terlihat perkembangan citra tentang sesuatu itu sesuai dengan perkembangan sastra yang membayangkan perkembangan budaya;

iii. Pendekatan ini dapat juga mengambil motif atau tema, yang keduanya berbeda secara gradual, tema lebih abstrak, sedangkan motif lebih konkrit sehinggga motif bisa dikonkritkan dengan pelaku, penerima perbuatan.2

Berdasarkan dari kerangka konsep kajian dan pendekatan sosiologi sastra di atas, dalam kajian tentang fungsi sastra lisan dalam suatu masyarakat, seperti teks sastra lisan atau sastra etnik merupakan bagian adat-istiadat yang melahirkan nilai dan sosial.

2 Prof. Wan Syaifuddin, M.A., Ph. D.,2016. Pemikiran Kreatif & Sastra Melayu Tradisi.Yogyakarta:Gading, hal

(26)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Dasar

Metode dasar diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian, atau cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Berdasarkan metode ini akan dianalisis data yang diperoleh, sehingga dapat memberikan hasil secara positif dan akurat. Sekaligus digunakan sebagai upaya eksplorasi terhadap gejala kenyatan yang diamati dan dipelajari.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat dimana penelitian dilakukan. Penetapan lokasi penelitian merupakan tahap yang sangat penting dalam sebuah penelitian, karena dengan ditetapkannya lokasi penelitian berarti objek dan tujuan sudah ditetapkan sehingga mempermudah penulis dalam melakukan penelitian. Untuk memperoleh data, lokasi penelitian dilakukan di Sungai Wampu, Stabat Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara.

Tepatnya di :

1. Dusun Ampera I, Desa Stabat Lama Barat, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara

2. Dusun Pantai Luas, Desa Stabat Lama Barat, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara

3. Dusun Pasar Batu, Desa Stabat Lama Barat, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara

(27)

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan teknik atau cara yang dilakukan untuk mengumpulkan data. Metode menunjuk suatu cara sehingga dapat diperlihatkan penggunaannya melalui wawancara, dokumentasi dan sebagainya. Setelah langkah-langkah diatas, selanjutnya adalah tahap pengumpulan data. Adapun langkah-langkah nya adalah sebagai berikut :

1. Mempersiapkan kisi-kisi pertanyaan.

2. Memperkenalkan diri kepada responden, lalu menyampaikan maksud dan tujuan.

3. Menghimpun data.

4. Menutup kegiatan.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian lapangan (Field Research), yaitu secara langsung melakukan pengamatan untuk memperoleh informasi yang diperlukan.

3.4.1 Observasi

Yakni mengadakan pengamatan atau peninjauan langsung ke lokasi tempat penelitian yaitu di tempat penelitian dikawasan Sungai Wampu dari observasi ini guna mengumpulkan data yang diperlukan.

3.4.2 Wawancara

Wawancara atau interview, yakni mengadakan wawancara terhadap informan bertanya langsung tentang hal-hal yang berhubungan serta mencatat semua jawaban yang diberikan. Lalu di catat data yang di perlukan. Disini penulis menggunakan wawancara

(28)

bebas, dimana pewawancara bebas menanyakan apa saja kepada responden. Namun harus diperhatikan bahwa pertanyaan itu berhubungan dengan data-data yang diinginkan.

3.5 Teknik Analisis Data

Langkah pertama yang penulis lakukan dalam analisis data adalah

1. Data yang sudah terkumpul diklasifikasikan sesuai dengan pokok permasalahan.

2. Setelah itu dianalisis sesuai dengan teori yang telah ditetapkan.

3. Kemudian menginterpretasikan hasil analisis ke dalam bentuk tulisan yang sistemastis, sehingga menjadi pemaparan dan tidak tumpang tindih.

(29)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Tahap-tahap Penyadapan Nira

Pada istiadat penyadapan nira dilakukan secara bertahap, mulai dari mempersiapkan peralatan yang digunakan, hingga tahap ketikan hendak memanjat pohon nira. Adapun tahap- tahap dalam istiadat menyadap nira adalah :

A. Mempersiapkan peralatan yang digunakan, antara lain :

 Tangga yang terbuat dari bambu Sigai

Gambar 01 : Tangga yang terbuat dari bambu Sigai

(30)

Bambu Sigai digunakan untuk memanjat pohon nira karena bambu Sigai memiliki ciri yang kuat juga tinggi. Karena pohon nira mempunyai ukuran yang sangat tinggi sehingga bambu Sigai dinilai cocok untuk mengambil air nira.

 Baju khusus untuk menyadap nira

Dikatakan baju khusus karena baju yang dikenakan penyadap nira tidak boleh diganti.

Hal tersebut memiliki makna yang akan dijelaskan pada makna konteks penyadap nira.

 Celana pendek

Dalam mengambil air nira disarankan untuk memakai celana pendek karena jika memakai celana panjang dapat menyulitkan penyadap ketika memanjat pohon nira.

 Tali

Tali digunakan untuk menurunkan air nira yang sudah diperoleh dari atas pohon ke bawah pohon nira.

 Parang

Gambar 02 : Parang

(31)

Parang digunakan untuk membersihkan ijuk-ijuk yang masih ada pada pohon nira dan juga untuk memotong tandan bunga nira.

 Wadah untuk menampung air nira (derigen)

Gambar 03 : Wadah untuk menampung air nira (derigen)

Derigen berfungsi untuk menampung air nira yang sudah terkumpul dari pohon nira.

 Kayu untuk memukul pohon nira (kayu meranti batu/sawo/tusam)

(32)

Gambar 04 : Kayu untuk memukul pohon nira (kayu meranti batu/sawo/tusam) Tidak semua jenis kayu bisa digunakan untuk memukul pohon nira. Kayu yang dapat digunakan untuk memukul pohon nira diantaranya adalah kayu meranti batu, kayu sawo dan kayu tusam. hal tersebut memiliki makna konteks yang dijelaskan pada makna konteks istiadat penyadap nira.

 Plastik

Gambar 05 : Plastik

Plastik digunakan sebagai tempat untuk jalannya air dari pohon nira ke dalam wadah.

Sehingga air tidak tumpah-tumbah kebawah pohon.

(33)

 Kulit manggis

Gambar 06 : Kulit Manggis

Kulit manggis berfungsi agar air yang diperoleh tidak keruh. Kulit manggis ditaruh ke dalam wadah atau derigen.

 Tali karet bekas (tali ban)

Tali dari karet ban bekas berfungsi sebagai pengikat plastik ke tandan bunga agar air tidak tumpah-tumpah.

B. Memanjat Pohon Nira

Setelah peralatan sudah dipersiapkan, dimulai dengan penyadap nira untuk memanjat pohon nira. Sebelum memanjat pohon nira, penyadap mengucapkan

“bismillahirrahmanirrahim” terlebih dahulu. Lalu pelan-pelan penyadap naik menggunakan tangga dari bambu Sigai. Bambu sigai digunakan untuk menyadap nira karena bambunya kuat. Bambu Sigai mempunyai bentuk yang menjulang tinggi, namun tidak berat seperti bambu pada umum nya.

(34)

Memanjat pohon nira harus sangat hati-hati. Dikarena kan pohon nira yang sangat tinggi, juga ketika memanjat pohon penyadap harus memperhatikan kaki ketika memanjat.

Jangan sampai kaki tersangkut pada batang bambu Sigai. Karena batang tunas bambu Sigai berfungsi sebagai pijakan kaki saat memanjat. Tak jarang tunas tersebut tajam, jika tidak hati- hati dapat melukai kaki.

Memanjat pohon nira dilakukan 2 kali sehari, yaitu pada waktu pagi dan sore hari.

Penyadap harus tepat waktu ketika hendak menyadap nira. Jika tidak air nira yang ada pada wadah yang menampung air tersebut akan berubah menjadi asam.

Memanjat pohon nira bukanlah hal yang mudah. Butuh kehati-hatian yang sangat ekstra dalam memanjat pohon nira. Karena sifat pohon nira yang sangat tinggi dan penyadap tidak menggunakan alat pengaman khusus ketika memanjat pohon nira. Ketika berada diatas pohon sangat memiliki resiko yang sangat tinggi, diantaranya seperti tergelincir dari pohon, tersengat lebah atau pun serangga yang lainnya. Jika tergenlincir dari pohon dan jatuh kebawah, akan membuat penyadap sakit bahkan hingga patah tulang.

C. Membuang Pelepah/Ijuk

Ketika sudah sampai diatas pohon nira, tahap selanjutnya adalah membuang pelepah/ijuk pohon nira. Terlebih lagi jika pohon nira tersebut belum pernah diambil sebelumnya atau belum pernah diambil orang lain, pohon nira harus dibersihkan terlebih dahulu pelepahnya.

Atas dan bawah harus dibersihkan pelepah nya.

Pohon nira yang sama sekali belum pernah diambil terdapat banyak sekali pelepah yang sangat mengganggu ketika akan menyadap nira. Jadi ketika sampai diatas pohon harus dibersihkan menggunakan parang yang terlebih dahulu sudah disiapkan.

Ketika membuang pelepah dari pohon nira, diharuskan menggunakan parang yang sangat tajam yang sebelum nya dipersiapkan. Menurut informan bernama Ismail, parang yang

(35)

digunakan untuk membuang pelepah dari pohon nira dilarang digunakan untuk memotong benda yang lain. Karena parang yang sangat tajam yang setiap hari harus digosok agar semakin tajam. Hal itu menjadi alasan mengapa parang yang digunakan untuk memotong pelepah pohon nira tidak boleh digunakan untuk memotong benda yang lainnya.

D. Memukul Pohon Nira

Setelah dibersihkan dari pelepah/ijuk, tahap selanjutnya adalah memukul tandan bunga nira. Memukul tandan bunga nira menggunakan pemukul yang sudah disiapkan. Dalam memukul bunga nira, tidak boleh terlalu kuat agar menghindari pembusukan pada bunga dan tidak boleh terlalu pelan supaya bagian tandan bunga semakin elastis. Masyarakat percaya jika memukul tandan bunga terlalu kuat, akan mengakibatkan tandan bunga berubah menjadi biru lebam. Ibarat seorang ibu yang mencubit anaknya dengan kuat, akan meninggalkan bekas biru lebam pada kulit anaknya.

Dalam memukul tandan bunga juga ada hal-hal yang diperhatikan. Sebelum memukul tandan, terlebih dahulu untuk menekan bunganya. Apabila saat dipetik bunganya dan ditekan pecah dan mekar, maka tandan bunga bisa dipukul. Kalau tidak saat ditekan tidak pecah, maka tandam bunga belum bisa dipukul.

Jumlah pukulan yang pertama yaitu sebanyak 10 kali dalam sekali pukulan dan harus dipukul mengelilingi tangan dari bunga tandan tersebut sampai rata. Ketika memukul pun harus sabar, tidak boleh terburu-buru.

Memukul bunga nira mengajarkan manusia harus bersabar untuk mendapatkan apa yang ia mau, itu alasannya kenapa ketika memukul tandan bunga harus sabar dan tidak boleh terburu-buru. Memukul tandan bunga juga tidak boleh terlalu keras, karena akan mengakibatkan lebam pada tandan bunga nira.

(36)

E. Menggoyang/mengayun Tandan Nira

Setelah tandan bunga dipukul, lalu selanjutnya bunga nira diayun sedikitnya sebanyak 115 kali. Dalam mengayun tandan nira diharuskan dalam bentuk ganjil, karena menunjukkan bahwa setiap makhluk ada perbedaan. Perbedaan akan membuat seseorang berkembang dan membangun keharmonisan. Dengan mengayun dalam jumlah ganjil, dimaknakan dari perbedaan akan menimbulkan air nira yang banyak. Tandan nira diayun perlahan sembari membaca doa :

“Bismillahirrahmanirrahim,

Aku mohon kepada mu, kepada kuasa aku minta sama engkau, Kau kasih air nya sebanyal-banyaknya,

Kau lepas segala kesusahanku, Jangan kau ganggu aku, Engkau lah yang ku sayang”

“Bismillahirrahmanirrahim, Ya Allah ya Tuhanku, Minta air mu yang banyak, Mayang terurai-urai”

Doa diucapkan sekali saja saat hendak mengayun tandan bunga nira. Setelah itu langsung bisa di ayun tandan bunga niranya.

F. Memotong Tandan Bunga Nira

Setelah dipukul dan diayun, selanjutnya tandan bunga nira dipotong. Proses ini setidaknya menunggu selama kurang lebih sebulan hingga sampai serbuk sarinya berguguran.

(37)

Memotong bunga nira tidak perlu lebar-lebar, seperti mengiris bawang merah. Lalu dengan sendirinya air akan keluar dari bunga nira menuju ke wadah untuk menampung air nira.

G. Mengambil Air Nira

Jika serbuk sari sudah berguguran, itu menandakan air nira sudah dapat diambil. Namun sebelumnya tandan bunga diiris tipis lalu diikat ke plastik menggunakan karet ban bekas yang telah dipersiapkan.

Lalu setelah diikat plastik tersebut dimasukkan ke wadah derigen sebagai tempat jalan nya air nira ke derigen. Derigen disangkut kan ke tangan atau tandan bunga agar tidak jatuh.

Ketika air ditampung pada pagi hari, ketika sore harinya air sudah bisa diambil dan diturunkan kebawah pohon.

H. Menurunkan Air Nira

Setelah air nira dirasa sudah cukup memenuhi dirigen, itu tandanya air sudah dapat diturunkan. Menurutkan air nira juga harus sangat hati-hati agar tidak jatuh. Wadah nira yang sudah digantung di tangan atau tandan bunga tadi pelan-pelan diturunkan menggunakan tali.

Harus air tersebut terlebih dahulu yang sampai ke bawah pohon baru lah bisa penyadap turun ke bawah supaya penyadap tidak kesusahan saat menurunkan air nira yang telah diperoleh. Wadah air nira diturunkan menggunakan tali yang ukurannya cukup panjang.

Karena mengingat pohon nira yang mempunyai sifat pohon yang tinggi.

4.1.1 Pemanfaatan Hasil Dari Pohon Nira

Pohon nira sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Pohon nira mempunyai banyak manfaat yang dapat membantu perekonomian masyarakat yang

(38)

menjadikan menyadap nira sebagai pekerjaan sampingannya. Manfaat dari pohon nira diantara nya yaitu :

1. Pembuatan Gula Aren

2. Sebagai minuman fermentasi (tuak)

Cairan dari air nira juga dapat dimanfaatkan menjadi minuman yang difermetasikan atau tuak. Karena sifat air yang asam membuat air nira jika didiamkan terlalu lama akan menjadi asam. Namun di banjaran sungai Wampu sendiri, karena mayoritas masyarakat disana adalah beragama muslim, jadi hasil dari air nira hanya dibuat untuk gula aren,

3. Kolang-kaling

Kolang-kaling terbuat dari biji pohon aren. Kolang-kaling dapat dijual dan menambah penghasilan bagi masyarakata sekitar. Kolang-kaling menjadi makanan favorit bagi masyarakat saat bulan ramadhan atau perayaan-perayaan lainnya.

4. Atap rumah

Selain airnya, ijuk pohon aren nira juga dapat dimanfaatkan menjadi atap rumah. Ijuk dari pohon aren dinilai kuat untuk dijadikan atap rumah.

5. Sapu ijuk

Selain manfaat diatas, ijuk dari pohon aren juga dimanfaatkan sebagai sapu ijuk untuk menyapu bagian dalam rumah.

6. Sebagai pembungkus kemasan

Daun dari pohon aren juga dimanfaatkan sebagai pembungkus makanan seperti gula aren.

7. Sapu lidi

Sapu lidi berguna untuk menyapu halaman rumah. Masyarakat memanfaatkan lidi dari daun aren untuk membuat sapu lidi.

(39)

8. Sebagai pembuatan papan

Batang dari pohon aren juga dapat bermanfaat sebagai bahan dasar papan. Papan digunakan sebagai bahan membuat rumah atau kontruksi lainnya.

Di banjaran sungai Wampu sendiri, masyarakat memanfaatkan nira sebagai bahan baku pembuatan gula aren. Karena memasak gula aren dinilai lebih praktis daripada mengolah hasil dari pohon nira menjadi berbagai macam olahan.

Gula aren asli dari nira tanpa ada campuran bahan lain memiliki kualitas yang sangat bagus, berbeda dengan gula pada umumnya. Juga memiliki nilai jual yang lebih mahal dari pada gula yang lain. Itu juga yang menjadi faktor banyaknya masyarakat yang memanfaatkan air nira untuk diolah menjadi gula aren untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Gula aren asli tanpa campuran juga memiliki manfaat yang sangat baik untuk kesehatan, diantara lain :

1. Menjadi obat sembelit

Sembelit dapat terjadi karena kurangnya asupan serat di dalam tubuh kita. Padahal, serat memiliki peranan untuk melancarkan pencernaan. Serat alami juga terdapat pada air nira. Air nira dapat langsung dapat dikonsumsi secukupnya untuk dapat melancarkan pencernaan.

2. Menjadi obat demam

Banyak masyarakat yang belum mengetahui jika air nira dapat mengobati demam panas. Demam terjadi karena berkurangnya sistem kekebalan di dalam tubuh manusia, sehingga tubuh jatuh sakit saat terserang virus. Caranya pengolahan ialah dengan cara mencampur air nira dengan dicampur dengan gula aren. Gula aren dapat membantu menghangatkan tubuh untuk mengatasi demam.

3. Melancarkan ASI

(40)

Dengan meminum air nira dapat melancarkan ASI bagi ibu yang selesai melahirkan dan mulai memasuki pemberian susu. Karena banyak yang membuktikan bahwa air nira berguna untuk melancarkan ibu-ibu untuk memberikan ASI bagi bayi mereka.

4. Menjaga Kesehatan Tulang

Manfaat dari air nira lainnya juga adalah untuk menjaga kesehatan tulang. Jadi minum air nira tidak hanya baik untuk kesehatan namun juga menjaga kesehatan tulang dalam jangka waktu yang lama.

5. Sakit Perut

Air nira juga dapat mengobati sakit perut. Caranya yaitu dengan memasukkan air asam jawa dan air nira ke dalam setengah gelas air hangat. Aduk hingga merata kemudian disaring.

6. Menggemukkan Badan

Air nira dapat dijadikan minuman herbal untuk menggemukkan badan. Caranya yaitu sediakan kelapa, kunyit dan air nira. Panaskan panci lalu masukkan santan kelapa, air kunyit dan air nira. Rebus hingga mendidih. Tunggu hingga dingin dan minuman bisa langsung diminum.

Membuat gula aren bukanlah hal yang sulit dilakukan. Ketika penyadap selesai menyadap air nira, air tersebut dapat langsung diolah. Adapun tahap-tahap dan perlatan untuk membuat gula aren adalah :

(41)

 Wajan besi

Gambar 07 : wajan besi

Wajan yang digunakan haruslah wajan yang terbuat dari besi, bukan aluminium. Karena wajan besi dinilai lebih kuat dan tahan lama dari pada wajan yang terbuat dari aluminium.

Wajan besi juga digunakan agar gula aren dapat di cetak. Wajan yang digunakan juga wajan yang berukuran besar agar dapat menampung banyak air nira.

 Sendok dari kayu

Sendok ini berfungsi sebagai pengaduk air nira. Kayu yang dipakai berasal dari kayu pohon pinang. Sendok ini biasanya dapat dibuat sendiri oleh penyadap untuk dipergunakan dalam membuat gula aren. Kayu dari pohon pinang digunakan karena lebih tanah lama dan

(42)

awet jika digunakan untuk mengaduk gula aren. Sendok untuk mengaduk gula aren tidak berukuran besar, kurang lebih panjang nya sekitar 40cm.

Gambar 08 : sendok dari kayu

 Kayu bakar

Ada beberapa jenis kayu yang dapat digunakan untuk membuat gula aren, diantaranya yaitu : kayu rambutan, dan kayu rambung. Namun ada juga kayu yang tidak boleh digunakan untuk membuat gula aren, yaitu kayu pohon coklat. Karena kayu pohon coklat mengandung zat asam. Kandungan zat asam dari kayu nira tersebut dapat menyerap ke dalam adonan gula aren dari asap yang dikeluarkan kayu pohon coklat. Akibatnya, gula aren tidak dapat dicetak karena berbentuk seperti adonan gula tarik dan tidak bisa keras.

(43)

Gambar 09 : kayu bakar

 Gayung

Gayung plastik berfungsi untuk memindahkan adonan gula aren ke dalam cetakan bambu.

Dahulu, untuk memindahkan adonan gula aren ke dalam cetakan menggunakan batok kelapa, namun sekarang penyadap lebih memilih gayung untuk memindahkan gula aren ke dalam cetakan karena dinilai lebih praktis.

(44)

 Pencetak gula aren dari bambu

 Gambar 10 : Pencetak gula aren dari bambu

Untuk mencetak gula aren digunakan bambu sigai. Cetakan gula aren tidak terlalu besar, ukurannya kurang lebih berdiameter 8cm dan tinggi 3cm. Cetakan tersebut dibuat sendiri oleh penyadap. Dahulu penyadap nira menggunakan daun tebu untuk mencetak dengan cara daun digulung dan dicucuk dengan lidi, namun setiap hari harus mengganti daunnya.

Sekarang penyadap beralih ke cetakan dari bambu sigai.

 Sendok besi

Sendok ini berfungsi untuk membersihkan kerak-kerak bekas gula aren yang masih menempel di wajan agar lebih mudah untuk mencuci wajannya.

(45)

Gambar 11 : Sendok besi

 Buah Kemiri

Gambar 12 : Buah Kemiri

(46)

Setelah peralatan sudah dipersiapkan, mulailah dengan membuat gula aren. Proses nya yaitu :

Pertama, siapkan wajan besi dan kayu bakar dengan api sedang. Lalu tuang air nira ke dalam wajan yang telah disiapkan. Proses memamasak air nira hingga menjadi gula aren memerlukan waktu 4-5 jam. Air nira cukup didiamkan selama memasak tidak perlu diaduk- aduk sampai air berubah menjadi kental. Kayu bakar juga harus dipantau, tidak boleh terlalu kecil dan tidak boleh terlalu besar apalagi sampai mati apinya. Namun sesekali diaduk untuk menghilangkan buihnya. Ketika air nira sudah meluap buihnya, parutkan satu buah kemiri agar buih tidak meluap dan tidak sampai jatuh ke bawah buihnya.

Untuk mengetahui apakah gula aren sudah bisa dicetak atau belum yaitu dengan cara mengambil gula aren dengan gayung, lalu jika terlihat bekas seperti ada retakan pada gula aren tandanya gula aren sudah bisa dicetak. Jangan memaksakan gula aren yang belum bisa dicetak untuk dimasukkan ke cetakan, itu akan mengakibatkan gula gampang berjamur.

Menyetak gula aren juga harus cepat dituangkan pada cetakan, kalau tidak akan kental di wajan.

Tidak butuh waktu lama untuk melepas cetakan gula aren, karena sebentar saja gula akan mengeras pada cetakan. Jika gula aren sudah jadi, harus didinginkan terlebih dahulu.

Jika gula aren masih panas dan langsung dibungkus, itu dapat mengakibatkan gula berjamur dan basah. Gula aren sendiri dapat tahan kurang lebih 2 bulan lamanya.

(47)

Gambar 13 : gula aren yang sudah jadi

4.2 Makna Umum Teks dan Konteks Istiadat Penyadapan Nira di Banjaran Sungai Wampu

Makna adalah hubungan antara lambang bunyi dengan acuannya. Makna merupakan bentuk responsi dari stimulus yang diperoleh pemeran dalam komunikasi sesuai dengan asosiasi maupun hasil belajar yang dimiliki.

Makna umum adalah makna yang dipahami sebagai kata yang digunakan oleh hampir seluruh masyarakat pemakai bahasa tersebut. Makna umum dipahami secara luas sehingga sering digunakan dalam berkomunikasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna umum merupakan kata atau istilah yang pemakaiannya menjadi unsur bahasa umum.

(48)

4.2.1 Makna Umum Teks Penyadapan Nira

Dalam proses pengambilan air nira, ada tahap dimana penyadap mengambil air nira sembari mengucapkan doa. Tepatnya dimana saat penyadap mengayunkan tandan bunga nira, disitu mulai doa tersebut dinyanyikan. Ada pun doa tersebut adalah sebagai berikut :

“Bismillahirrahmanirrahim,

Aku mohon kepada mu, kepada kuasa aku minta sama engkau, Kau kasih air nya sebanyak-banyaknya,

Kau lepas segala kesusahanku, Jangan kau ganggu aku, Engkau lah yang ku sayang”

“Bismillahirrahmanirrahim, Ya Allah ya Tuhanku, Minta air mu yang banyak, Mayang terurai-urai”

Terdapat makna di dalam doa tersebut, dimana saat kita meminta kepada yang kuasa, kita berdoa dan memohon kepada yang maha kuasa agar air nira yang diperoleh bisa banyak dan cukup tanpa ada kekurangan. Namun bukan mencari kaya, dalam artian hanya untuk melepas kekurangan kehidupan sehari-hari. Kalau pun hasil yang diperoleh berlebih, harus disyukuri.3

Doa dalam menyadap nira ini juga ada kaitan nya dengan nilai keharmonisan, dimana saat penyadap mengambil air nira, pohon nira juga harus disayang-sayang dan dibujuk-bujuk sembari mengelus pohon, disitulah terjadi keharmonisan antara penyadap dengan pohon nira.

3 Berdasarkan wawancara dengan informan bernama Ismail , 17 Juni 2019 di Dusun Pasar Batu, Desa Stabat

(49)

Memang sekilas kalau dibandingkan dengan zaman sekarang tidak masuk logika ketika mengambil nira harus mengucapkan doa, namun itulah istiadat yang masih menjadi kepercayaan masyarakat di banjaran sungai Wampu. Ketika mengambil nira selalu ingat kepada yang maha kuasa yang memberi kehidupan.

4.2.2 Makna Umum Konteks

Selain makna umum teks, terdapat pula beberapa makna umum konteks pada istiadat penyadapan nira. Beberapa makna konteks sosial memberi arti kepada manusia yang bertakwa kepada Allah supaya tidak mempunyai rasa takut untuk berhadapan dengan sesuatu yang bisa mendatangkan bahaya baik disebabkan oleh manusia ataupun makhluk halus karena mempunyai kedudukan sama, yaitu sebagai hamba Allah yang bersifat lemah.4

Dinyatakan bahwa makna kuasa alam dalam makna konteks sosial ritual terdiri dari alam nyata dan alam ghaib. Alam nyata terdiri dari pokok-pokok, gunung, laut dan daratan, sedangkan alam ghaib terdiri dari kayangan, syurga, dan neraka. Simbol kuasa alam ini wujud dalam sebagian besar jenis konteks sosial upacara ritual baik jenis makanan dan tumbuhan, jenis logam, pakaian, isyarat dan pergerakan ataupun pantang larang.5 Makna umum konteks penyadapn nira diantaranya yaitu :

1. Baju khusus untuk menyadap nira

Ada yang unik pada baju kerja penyadap nira. Karena baju untuk menyadap nira sama sekali tidak boleh diganti atau ditukar. Penyadap harus memakai baju yang sama setiap hari. Menurut informan bernama Ismail yang juga berprofesi sebagai penyadap nira, baju untuk menyadap nira tidak boleh diganti.

4 Prof. Wan Syaifuddin, M.A., Ph. D.,2016. Pemikiran Kreatif & Sastra Melayu Tradisi.Yogyakarta:Gading, hal 179

5 Prof. Wan Syaifuddin, M.A., Ph. D.,2016. Pemikiran Kreatif & Sastra Melayu Tradisi.Yogyakarta:Gading, hal

(50)

Hal itu bermakna sebagai syarat, supaya kita terhindar dari bahaya apapun disekitar pohon. Jika baju itu ditukar, pohon nira tersebut tidak mengenali kita lagi karena baju itu sudah diganti. Air nira yang didapat pun akan surut. Hal itu sudah menjadi kebiasaan yang turun temurun diwariskan kepada penyadap nira.

2. Kayu untuk memukul pohon nira (kayu meranti batu/sawo/tusam)

Dalam menyadap nira ada tahap dimana pohon nira harus dipukul. Alat pemukul yang digunakan terbuat dari kayu meranti batu, sawo, dan tusam. Makna dari kayu tersebut adalah kayu tersebut bersifat dingin. Dingin dalam arti jika kita memukul dengan kayu tersebut hasil air nira yang di peroleh menjadi lebih banyak. Kayu tusam sangat bagus untuk dijadikan pemukul, karena sekarang sudah langka, diganti lah dengan kayu sawo atau meranti batu. Kayu sawo atau kayu meranti batu juga memiliki sifat yang dingin.

3. Bambu Sigai

Bambu Sigai digunakan untuk memanjat pohon nira karena bambu Sigai mempunyai ukuran yang tinggi, serta bambu Sigai sangat kuat untuk dijadikan tangga. Makna konteks yang terdapat pada bambu Sigai adalah penyadap tidak melubangi bambu Sigai untuk dijadikan pijakan kaki. Pijakan kaki terbuat alami dari cabang-cabang bambu Sigai. Hal itu dikarenakan karena penyadap tidak mau menyakiti bambu Sigai karena bambu Sigai diperlakukan diperlakukan layaknya manusia sehingga bambu Sigai tidak dilubangi pada bagian batangnya. Hal itu menciptakan keharmonisan antara penyadap dengan alam (bambu Sigai).

(51)

4. Memotong Tandan Bunga Nira

Saat memotong tandan bunga tidak boleh langsung diikat dan ditampung ke dirigen.

Misal nya saat pagi memotong tandan bunga, harus dibiarkan saja airnya menetes, ketika sore hari baru boleh diikat dan ditampung ke dirigen. Hal itu bermakna agar sang pemilik pohon dulu yang merasakan air nira tersebut, barulah penyadap mengambil air nira yang telah diperoleh.

Dalam konteks itu, kelompok manusia harus menyusun sistem sosial dan budaya yang mengatur hubungan antara penyadap didalam konteks sebagai respons alam sebagai sumber mata pencaharian nya. Oleh sebab itu, tercipta lah kebiasan-kebiasan yang sudah telah menjadi hal yang dilakukan dan menjalin hubungan sosiologis yang melibatkan kelompok masyarakat itu sendiri.

4.3 Peran Istiadat Penyadap Nira Dalam Membentuk Keharmonisan Manusia Dengan Alam (Flora)

Simbol kuasa alam berkaitan dengan pembinaan kerharmonian dalam kehidupan manusia. Hubungan kuasa alam tersebut mewujudkan perilaku manusia yang bukan hanya merusak tumbuh-tumbuhan di sekitaran tetapi membina kehormatan kepada segala makhluk lain yang hidup di alam baik nyata maupun kayangan.

Menyadap nira adalah salah satu pekerjaan yang tidak sembarangan dilakukan. Tidak semua orang bisa menyadap nira, karena setiap tahapnya memiliki proses yang sangat rumit.

Jika tidak berhati-hati dalam menyadap nira, penyadap akan celaka misalnya jatuh dari pohon. Karena pohon nira sendiri mempunyai ukuran yang sangat tinggi. Menyadap nira sudah menjadi pekerjaan yang sangat awam yang dilakukan oleh masyarakat, khususnya di

(52)

banjaran sungai Wampu. Walaupun hasilnya terkadang tidak terlalu banyak, namun bisa untuk menghidupi kehidupan sehari-hari.

Masyarakat sudah begitu dekat dengan pohon nira, karena menyadap nira merupakan profesi yang sudah lama dilakukan oleh masyarakat di banjaran sungai W ampu. Dengan begitu terjalin lah hubungan antara manusia dengan flora (pohon nira) tersebut, seperti nilai keharmonisan antara manusia dengan pohon nira.

Keharmonisan berarti sikap emosional yang terjalin, dan menjadi sebuah keserasian.

Dimana terjadi hubungan antara penyadap dengan tumbuhan pohon nira tersebut. Nilai keharmonisan terbentuk ketika penyadap melakukan ritual ketika menyadap pohon nira, seperti saat hendak mengayun tandan bunga nira harus dielus-elus dengan lembut sembari membaca doa dan juga dibujuk agar air nira keluar. Dan ketika memukul pohon nira harus pelan, tidak boleh terlalu kuat. Hal itu akan mengakibatkan pohon manjadi biru lebam.

Seperti hal nya ketika orang tua yang mencubit anaknya dengan kuat, akan mengakibatkan bekas lebam pada anaknya. Begitu juga saat menyadap nira, tidak boleh dipukul dengan kuat, sekedarnya saja. Wajar saja ketika penyadap membaca “ritual” seperti membaca doa, mengelus pohon dan membujuk-bujuk pohon nira agar hasil yang diperoleh banyak, itu sudah menjadi hukum alam. Sama halnya seperti saat kita akan menyembelih hewan, harus berdoa terlebih dahulu.

Seorang penyadap nira memperlakukan pohon nira seperti layaknya manusia. Ketika akan menyadap nira pun haruslah dalam suasana hati yang tenang, ceria. Tidak boleh dalam keadaan yang tidak baik. Hal itu akan membuat air nira yang didapat tidak banyak.

Pada prinsipnya, setiap tumbuhan maupun itu harus disayangi. Sehingga ketika kita hendak memanen hasil dari tumbuhan tersebut haruslah minta izin, dan tidak lupa pula mendoakan tanaman tersebut. Seperti halnya pohon nira yang harus didoakan dan dirayu dulu agar hasil yang diperoleh banyak.

(53)

Jadi, terbentuk timbal balik antara manusia dengan alam. Hubungan timbal balik tersebut saling menguntungkan antara manusia dengan alam. Manusia dapat memanfaatkan alam dengan cara mengambil sesuatu dari alam secara tidak berlebihan dan alam dapat memanfaatkan manusia untuk merawat dan tidak merusaknya. Ketika manusia merusak tumbuh-tumbuhan yang hidup disekelilingnya hal tersebut dapat merusak keharmonisan yang terjalin antara manusia dengan alam. Masyarakat di banjaran sungai Wampu menyadari bahwa mereka hanya merupakan bagian terkecil dari alam semesta, sedangkan alam mempunyai kekuatan dan maha dahsyat. Sehingga tidak ada seorang pun yang mampu menguasai dan menakhlukkan alam. Mereka memahami bahwa alam (gunung, pohon, hutan, sungai, dan lain-lain) mempunyai penunggu atau penguasa yang dapat memberi berkah.

Manusia tidak bisa hidup tanpa tidak berdampingan dengan alam. Dengan begitu manusia harus menjaga keharmonisan dengan alam, dengan cara menjaga alam dan tidak merusak tumbuh-tumbuhan yang ada. Seperti penyadap nira yang menjaga dan tidak merusak pohon nira, karena pohon nira dapat memberi berkah kepada kehidupannya. Dengan begitu terciptalah hubungan emosional antara penyadap dan pohon nira yang membangun keharmonisan.

Manusia dan alam memiliki kesamaan yakni sama-sama makhluk ciptaan Tuhan.

Sebagai makhluk ciptaan Tuhan sudah seharusnya manusia dapat menjaga hubungan yang harmonis dengan alam dengan cara merawat dan menjaga, tidak merusaknya. Penyadap nira begitu menyayangi pohon nira, sehingga tidak heran kalau mereka seperti “berbicara” kepada pohon nira.

(54)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa :

1. Berdasarkan data yang telah diperoleh, adapun tahap-tahap dalam penyadapan nira adalah:

a. Mempersiapkan peralatan yang digunakan, antara lain :

 Tangga yang terbuat dari bambu sigai

 Baju khusus untuk menyadap nira

 Celana pendek

 Tali

 Parang

 Wadah untuk menampung air nira (derigen)

 Kayu untuk memukul pohon nira (kayu meranti batu/sawo/tusam)

 Plastik

 Kulit manggis

 Tali karet bekas (tali ban) b. Memanjat Pohon Nira

Setelah peralatan sudah dipersiapkan, dimulai dengan penyadap nira untuk memanjat pohon nira. Sebelum memanjat pohon nira terlebih dulu membaca

“Bismillahirrahmanirrahim”.

c. Membuang Pelepah/Ijuk

Ketika sudah sampai diatas pohon nira, tahap selanjutnya adalah membuang pelepah/ijuk pohon nira.

(55)

d. Memukul Pohon Nira

Setelah dibersihkan dari pelepah/ijuk, tahap selanjutnya adalah memukul tandan bunga nira. Memukul tandan bunga nira menggunakan pemukul yang sudah disiapkan. Dalam memukul bunga nira, tidak boleh terlalu kuat agar menghindari pembusukan pada bunga dan tidak boleh terlalu pelan supaya bagian tandan bunga semakin elastis.

Jumlah pukulan yang pertama yaitu sebanyak 10 kali dalam sekali pukulan dan harus dipukul mengelilingi tangan dari bunga tandan tersebut sampai rata. Ketika memukul pun harus sabar, tidak boleh terburu-buru.

e. Menggoyang/mengayun Tandan Nira

Setelah tandan bunga dipukul, lalu selanjutnya bunga nira diayun sedikitnya sebanyak 115 kali. Diayun perlahan sembari membaca doa :

“Bismillahirrahmanirrahim,

Aku mohon kepada mu, kepada kuasa aku minta sama engkau, Kau kasih air nya sebanyal-banyaknya,

Kau lepas segala kesusahanku, Jangan kau ganggu aku, Engkau lah yang ku sayang”

“Bismillahirrahmanirrahim, Ya Allah ya Tuhanku, Minta air mu yang banyak, Mayang terurai-urai”

Doa diucapkan sekali saja saat hendak mengayun tandan bunga nira. Setelah itu langsung bisa di ayun tandan bunga niranya.

(56)

f. Memotong Tandan Bunga Nira

Setelah dipukul dan diayun, selanjutnya tandan bunga nira dipotong. Proses ini setidaknya menunggu selama kurang lebih sebulan hingga sampai serbuk sarinya berguguran.

g. Mengambil Air Nira

Jika serbuk sari sudah berguguran, itu menandakan air nira sudah dapat diambil. Namun sebelumnya tandan bunga diiris tipis lalu diikat ke plastik menggunakan karet ban bekas yang telah dipersiapkan.

h. Menurunkan Air Nira

Setelah air nira dirasa sudah cukup memenuhi dirigen, itu tandanya air sudah dapat diturunkan.

2. Mengenai makna umum teks dan konteks pada penyadapan nira, dari hasil data yang telah diperoleh diketahui :

Terdapat makna didalam doa untuk menyadap nira, dimana saat kita meminta kepada yang kuasa, kita berdoa dan memohon kepada yang maha kuasa agar air yang di nira yang diperoleh bisa banyak dan cukup tanpa ada kekurangan. Namun bukan mencari kaya, dalam artian hanya untuk melepas kekurangan kehidupan sehari-hari. Kalau pun hasil yang diperoleh berlebih, harus disyukuri.

Adapun doa untuk menyadap nira adalah :

“Bismillahirrahmanirrahim,

Aku mohon kepada mu, kepada kuasa aku minta sama engkau, Kau kasih air nya sebanyak-banyaknya,

Kau lepas segala kesusahanku, Jangan kau ganggu aku, Engkau lah yang ku sayang”

(57)

“Bismillahirrahmanirrahim, Ya Allah ya Tuhanku, Minta air mu yang banyak, Mayang terurai-urai”

Selain makna umum teks, terdapat pula beberapa makna umum konteks pada istiadat penyadapan nira, diantaranya yaitu :

1. Baju khusus untuk menyadap nira

Ada yang unik pada baju kerja penyadap nira. Karena baju untuk menyadap nira sama sekali tidak boleh diganti atau ditukar. Penyadap harus memakai baju yang sama setiap hari. Hal itu bermakna sebagai syarat, supaya kita terhindar dari bahaya apapun disekitar pohon.

2. Kayu untuk memukul pohon nira (kayu meranti batu/sawo/tusam)

Dalam menyadap nira ada tahap dimana pohon nira harus dipukul. Alat pemukul yang digunakan terbuat dari kayu meranti batu, sawo, dan tusam. Makna dari kayu tersebut adalah kayu tersebut bersifat dingin. Dingin dalam arti jika kita memukul dengan kayu tersebut hasil air nira yang di peroleh menjadi lebih banyak.

3. Bambu Sigai

Bambu Sigai digunakan untuk memanjat pohon nira karena bambu Sigai mempunyai ukuran yang tinggi, serta bambu Sigai sangat kuat untuk dijadikan tangga. Makna konteks yang terdapat pada bambu Sigai adalah penyadap tidak melubangi bambu Sigai untuk dijadikan pijakan kaki. Pijakan kaki terbuat alami dari cabang-cabang bambu Sigai. Hal itu dikarenakan karena penyadap tidak mau menyakiti bambu Sigai karena bambu Sigai diperlakukan diperlakukan layaknya manusia sehingga bambu

(58)

Sigai tidak dilubangi pada bagian batangnya. Hal itu menciptakan keharmonisan antara penyadap dengan alam (bambu Sigai).

4. Memotong Tandan Bunga Nira

Saat memotong tandan bunga tidak boleh langsung diikat dan ditampung ke dirigen.

Misal nya saat pagi memotong tandan bunga, harus dibiarkan saja airnya menetes, ketika sore hari baru boleh diikat dan ditampung ke dirigen. Hal itu bermakna agar sang pemilik pohon dulu yang merasakan air nira tersebut, barulah penyadap mengambil air nira yang telah diperoleh.

3. Nira juga berperan dalam membentuk keharmonisan. Nilai keharmonisan terbentuk ketika penyadap melakukan ritual ketika menyadap pohon nira, seperti saat hendak mengayun tandan bunga nira harus di elus-elus dengan lembut sembari membaca doa dan juga dibujuk agar air nira keluar. Dan ketika memukul pohon nira harus pelan, tidak boleh terlalu kuat. Hal itu akan mengakibatkan pohon manjadi biru lebam. Seperti hal nya ketika orang tua yang mencubit anaknya dengan kuat, akan mengakibatkan bekas lebam di anaknya.

Begitu juga saat menyadap nira, tidak boleh dipukul dengan kuat, sekedarnya saja. Jadi, terbentuk timbal balik antara manusia dengan alam. Hubungan timbal balik tersebut saling menguntungkan antara manusia dengan alam. Manusia dapat memanfaatkan alam dengan cara mengambil sesuatu dari alam secara tidak berlebihan dan alam dapat memanfaatkan manusia untuk merawat dan tidak merusaknya.

5.2 Saran

Sesuai dengan kesimpulan dari hasil penelitian, disarankan sebagai berikut :

1. Kepada masyarakat khususnya di banjaran sungai Wampu agar kiranya tidak melupakan kebiasaan yang sudah turun-temurun dilakukan, misalnya seperti mengambil air nira sembari juga membacakan doa untuk menyadap nira.

(59)

2. Kepada masyarakat agar memberikan perhatian lebih kepada tradisi-tradisi yang sudah lama dilakukan.

3. Kepada masyarakat khususnya yang bermukim di banjaran sungai Wampu kiranya tetap melestarikan istiadat penyadap nira kepada generasi yang selanjutnya.

4. Kepada peneliti yang akan meneliti dengan topik permasalahan yang sama,

diharapkan untuk menggunakan indikator yang berbeda, sehingga mampu menghasilkan karya ilmiah yang lebih mendalam demi kesempurnaan penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

dan pemetaan Membaca rambu ukur dan mengolah hasil bacaan 6. Membaca rambu ukur dan

Hasil yang tidak berbeda tersebut mungkin disebabkan karena terdapat proses yang kurang maksimal pada saat pengeringan karena sebaran suhu selama pengukusan menunjukkan

Hasil pengamatan terhadap intensitas penyakit busuk batang yang disebabkan oleh S.rolfsii pada berbagai konsentrasi inokulum dilihat pada Tabel 3... Persentase

P SURABAYA 03-05-1977 III/b DOKTER SPESIALIS JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH RSUD Dr.. DEDI SUSILA, Sp.An.KMN L SURABAYA 20-03-1977 III/b ANESTESIOLOGI DAN

Sebagai perusahaan yang memiliki cakupan yang luas serta perusahaan yang bergerak pada bidang teknologi PT Telekomunikasi Indonesia memiliki media internal yaitu

Julkisen talouden suun- nitelman mukaiset säästöt... muiden etuuksien vuoden 2018 indeksi- tarkistuksista sekä kansaneläkeindeksistä annetun lain 2 §:n ja eräiden muiden

Mengidentifikasi dan menghilangkan kesalahan- kesalahan serta untuk memperoleh indikasi dan reaksi awal dari pakar dan pendesain instruksional Deskriptif Menggunakan instrument

Dari hasil penelitian yang didapat, waktu tunggu pelayanan resep obat berdasarkan jenis resep di Apotek Panacea Kupang yaitu waktu tunggu pelayanan resep obat berdasarkan