TINJAUAN FATWA NO. 25-26/DSN-MUI/III/2002 TERHADAP IMPLEMENTASI AKAD IJA >RA HPADA SEWA TEMPAT PRODUK GADAI EMAS BANK BRISYARIAH KC SURABAYA
DIPONEGORO
Skripsi
Oleh:
Fatah Ahmad Fadholi (C72213122)
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah Dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah) SURABAYA
ABSTRAK
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil judul “Tinjauan Fatwa No. 25-26/DSN-MUI/III/2002 Terhadap Implementasi Akad Ija>rah Pada Sewa Tempat Produk Gadai Emas Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Bagaimana implementasi akad ija>rah pada produk gadai emas di Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro ? (2) Bagaimana tinjauan Fatwa No.25-26/DSN-MUI/III/2002 terhadap implementasi akad ija>rah pada sewa tempat produk gadai emas di Bank BRI Syariah KC Surabaya Diponegoro ?
Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik Observasi, wawancara (interview) dan studi pustaka yang kemudian dianalisis dengan teknik deskriptif dalam menjabarkan data tentang Implementasi Akad Ija>rah Pada Sewa Tempat Produk Gadai Emas Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro. Selanjutnya data tersebut dianalisis dari perspektif Fatwa DSN-MUI dengan teknik kualitatif dalam pola pikir deduktif, yaitu dengan meletakkan norma hukum Islam yaitu fatwa DSN sebagai rujukan dalam menilai fakta-fakta khusus mengenai Implementasi Akad Ija>rah Pada Sewa Tempat Produk Gadai Emas Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penggunaan akad ija>rah dalam biaya penyimpanan dan pemeliharaan ini dikenakan sebagai penukaran manfaat untuk masa tertentu atas obyek ija>rah, mengingat obyek ija>rah memerlukan tempat penyimpanan yang aman. Bank akan menyimpan barang jaminan tersebut kedalam brankas (safe deposit box) yang disediakan oleh bank BRISyariah KC Surabaya. Biaya pemeliharaan dan penyimpanan gadai iB emas di Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro menetapkan besaran biaya tersebut menggunakan rate, yaitu : 1,5% per bulan untuk emas perhiasan dan1,34% per bulan untuk emas batangan. Rate tersebut dikalikan dengan jumlah pinjaman / pembiayaan. Dari analisis yang disimpulkan Bank BRISyariah dalam menentukan biaya sewa masih mengambil atau memperhitungkan dari jumlah nilai pinjaman sehingga pada akhirnya cara tersebut tidak sesuai dengan apa yang ada dalam fatwa yaitu fatwa no. 25butir kedua nomor 4 dan fatwa no.26 butir pertama nomor 3.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN SKRIPSI ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah... 6
C. Rumusan Masalah... 7
D. Kajian Pustaka ... 7
E. Tujuan Penelitian... 10
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 10
G. Definisi Operasional ... 11
I. Sistematika Pembahasan ... 17
BAB II RA HN,IJA >RA H, DAN FATWA DSN-MUI A.Rahn... 19
1. PengertianRahn... 19
2. Landasan Hukum ... 20
3. Rukun dan SyaratRahn... 22
4. Akibat Hukum ... 25
5. Penjualan barang gadai setelah jatuh tempo ... 27
6. Berakhirnyarahn... 27
B. Ija>rah ... 28
1. PengertianIja>rah... 28
2. Landasan HukumIja>rah... 30
3. Rukun dan SyaratIja>rah }... 31
4. Macam-macamija>rah... 34
5. Biaya sewa dalamija>rah ... 35
6. Berakhirnyaija>rah ... 38
C. Fatwa Dewan Syariah Nasional ... 40
BAB III IMPLEMENTASI AKADIJA >RA H PADA SEWA TEMPAT PRODUK GADAI EMAS BANK BRI SYARIAH KC SURABAYA A. Gambaran umum Bank BRI Syariah ... 47
1. Sejarah berdirinya Bank BRI Syariah... 47
2. Kelembagaan... 49
3. Visi dan Misi... 49
4. Struktur Organisasi ... 50
5. 7 nilai bank BRISyariah... 51
6. Produk-produk bank BRI Syariah ... 53
B. Praktik pembiayaan gadai emas di Bank BRI Syariah KC Surabaya ... 56
2. Pembiayaan gadai emas BRI Syariah IB ... 59 3. Perhitungan biaya sewa tempat gadai emas BRISyariah IB . 62
BAB IV TINJAUAN FATWA NO. 25-26/DSN-MUI/III/2002 TERHADAP IMPLEMENTASI AKAD IJA>RAH PADA SEWA TEMPAT
PRODUK GADAI EMAS BANK BRI SYARIAH KC SURABAYA A. Analisis Implementasi AkadIja>rahPada Sewa Tempat Produk
Gadai Emas Bank BRI Syariah Kc Surabaya... 66 B. Analisis Fatwa No.25-26/DSN-MUI/III/2002 terhadap
Implementasi AkadIja>rahpada Sewa Tempat Produk Gadai Emas di Bank BRI Syariah KC Surabaya ... 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 75 B. Saran ... 76
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdirinya lembaga keuangan syariah yang terus mengalami
perkembangan yang pesat membawa andil yang sangat baik dalam tatanan
sistem keuangan Indonesia. Peran ini tentu saja sebagai upaya untuk
mewujudkan sistem keungan yang adil. Oleh karena itu, keberadaanya perlu
mendapat dukungan dari segenap lapisan masyarakat muslim.1
Lembaga keuangan syariah merupakan lembaga keuangan yang juga
mengedepankan kemaslahatan masyarakat sesuai dengan tuntunan syariah
yang menjadi landasan dari semua lembaga keuangan syariah. Salah satu
aplikasinya adalah menerapkan layanan yang berbasis moral dan spiritual.2 Bank syariah sebagai salah satu lembaga keuangan yang
pelaksanaannya berdasar prinsip syariah. Ketentuan ini berdasarkan adanya
larangan syariat Islam terhadap praktik perbankan yang mengandung riba,
baik dalam bunga pinjaman maupun penyimpanan uang (deposito) yang
terdapat pada perbankan konvensional. Oleh karenan itu perbankan syariah
menyelamatkan umat Islam dari memakan harta yang haram.3
Perbankan syariah memiliki tujuan yang sama seperti perbankan
konvensional, yaitu agar lembaga perbankan dapat menghasilkan keuntungan
dengan cara meminjamkan modal, menyimpan dana, membiayai kegiatan
1
M. Nur Rianto al Arif,Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 5. 2
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: produk-produk dan A spek-aspek Hukumnya, (Jakarta: Kencana, 2014), 154
3
2
usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai. Berperan sebagai lembaga
intermediasi, prinsip hukum Islam melarang transaksi perbankan yang
mengandung bunga (riba), perjudian dan spekulasi yang disengaja (maisir),
serta ketidakjelasan dan manipulatif (gharar).4
Dalam hal melakukan penyaluran dana, pada perbankan syariah
dikenal dengan istilah pembiayaan5. Pembiayaan ini harus terbebas dari unsur-unsur yang telah disebutkan sebelumnya. Pembiayaan adalah
penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan degan itu berupa : (a)
transaksi bagi hasil dalam bentuk mud}a>rabah dan musyarakah; (b) transaksi
sewa-menyewa dalam bentuk ija>rah atau sewa beli dalam bentuk ija>rah
muntahiya bittamlik; (c) transaksi jual beli dalam bentuk piutang
murabahah, salam dan istishna’; (d) transaksi pinjam meminjam dalam
bentuk piutang qardh; dan (e) transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk
ija>rah untuk transaksi multijasa, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
antara bank syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak
yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana
tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalanujrah, tanpa imbalan,
atau bagi hasil.6
Seiring dengan perkembangan zaman, produk-produk perbankan
mengalami berbagai inovasi. Salah satunya adalah produk gadai syariah yang
4
M. Nur Rianto al Arif,Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 5. 5
Sutan Remi Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam T ata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafita, I,1999) 1.
6
3
saat ini tidak hanya dilakukan oleh lembaga jaminan seperti pegadaian,
tetapi praktik gadai yang sesuai syariah mulai dilakukan di bank syariah.
Gadai syariah dalam hukum Islam disebut rahn. Menurut Syafi’i
Antonio,rahn adalah satu akad dimana seseorang menahan salah satu benda
atau harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya.7 Dasar hukum tentang dibolehkannya transaksi rahn ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 283 yaitu :
Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya). ” (Q.S. al-Baqarah : 283)8
Rasulullah dahulu juga pernah melakukan transaksi tersebut dengan
menggadaiakan baju besinya kepada seorang Yahudi, sebagaimana
dijelaskan oleh ‘Aisyah dalam satu riwayat yaitu :
)
:
(
7
Muhammad Syafi’i Antonio,Bank Syariah : Dari Teori ke Praktik,Jakarta: Gema Insani, 2001), 182.
8
4
Artinya : “Dari ‘Aisyah ra berkata, bahwa sesungguhnya Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran ditangguhkan dengan menggadaikan baju besinya.”9
Dalam dunia perbankan, kebanyakan rahn yang digunakan adalah
rahn emas syariah, dikarenakan marhunnya (barang yang digadaikan) adalah
emas.Rahnatau gadai emas syariah dalam bank syariah harus sesuai dengan
aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah karena bank syariah
merupakan lembaga keuangan yang diawasi oleh Bank Indonesia.10
Penggunaan sistem gadai syariah ini merupakan salah satu upaya
untuk mengembangkan berbagai konsep perekonomian berbasiskan Islam.
Salah satu bank syariah yang membuka layanan gadai emas sebagai layanan
alternatif mereka adalah bank BRI syariah, melalui produk yang diberi nama
Qard beragun emas.11
Qard beragun emas merupakan produk pembiayaan atas dasar
jaminan berupa emas sebagai salah satu alternatif memperoleh uang tunai
dengan cepat yang diperuntukkan untuk perorangan. Praktik gadai emas
yaitu dengan menjaminkan emas.
Ketika nasabah membutuhkan dana, nasabah dapat mengajukan
pembiayaan dengan menjaminkan emas perhiasan atau emas batangan
dengan memakai akad rahn. jika nasabah setuju dengan pembiayaan
tersebut, bank melakukan proses penaksiran, total pembiayaan, dan
9
Imam Zainudin achmad bin al-Lathif az-Zabidi, Ringkasan Shahih Bukhari, Penerjemah: Achmad Zaidun, Cet.1. (Jakarta: Pustaka Amani,2002), 355
10
Cik Basir, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan A gama dan Mahkamah Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009), 60
11
5
perhitungan biaya-biaya atas proses transaksi tersebut. Terhadap barang
yang dijaminkan tersebut maka bank menyimpan dan memelihara barang
jaminan tersebut agar terhindar dari hal-hal yang dapat merusak jaminan
tersebut. Karena bank melakukan hal tersebut, maka bank membebankan
biaya sewa tempat dengan menggunakan akad ija>rah. Dalam perhitungan
biaya sewa tempat Bank BRISyariah menggunakan rate yang telah
ditentukan bank BRI syariah.12
Penggunaan rate yang ditetapkan BRISyariah akan tidak sesuai jika
dikaitkan dengan jumlah pembiayaan yang diterima nasabah. Apabila biaya
tersebut dikaitkan dengan jumlah marhun bih maka akan ada tambahan
terhadap jumlah pinjaman yang di pinjam nasabah. Ada kalanya praktik di
bank syariah tidak terlepas dari peraturan yang melenceng dari syariah.
Dewan Syariah Nasional (DSN) juga mengeluarkan fatwa sebagai
bentuk dukungan terhadap pengembangan gadai syariah. Dalam Fatwa
DSN-MUI juga telah mengatur mengenai gadai syariah yang dilakukan oleh
lembaga keuangan syariah yaitu Fatwa No. 25/DSN-MUI/III2002 butir
kedua angka empat dijelaskan bahwa “besar biaya pemeliharaan dan
penyimpanan tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman” dan
Fatwa No.26/DSN-MUI/III/2002. Tentang rahn emas Dalam fatwa di atas
telah diatur bagaimana ketentuan dalam praktiknya,
Berdasarkan uraian di atas yang menjadi latar belakang dalam
penulisan ini, peneliti akan meneliti implementasi akad ija>rah pada gadai
12
6
emas yang dilakukan Bank BRISyariah dengan ketentuan-ketentuan yang
ada dalam Fatwa 25-26/DSN-MUI/III/2002. Penulis tertarik untuk meneliti
lebih jauh mengenai implementasi akad ija>rah yang dipakai sebagai dasar
untuk perhitungan biaya sewa tempat atau biaya penyimpanan dan
pemeliharaan. Maka dari itu penulis ingin menyusunnya dalam skripsi
berjudul “Tinjauan Fatwa No. 25-26/DSN-MUI/III/2002 Terhadap
Implementasi Akad Ija>rah Pada Sewa Tempat Produk Gadai Emas Bank
BRISyariah KC Surabaya Diponegoro”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi masalah
Identifikasi masalah dilakukan untuk menjelaskan kemungkinan
cakupan yang dapat muncul dalam penelitian dengan melakukan
ifrntifikasi sebanyak-banyaknya, kemudian yang dapat diduga sebagai
masalah..13 Berdasarkan penjelasan sebagaimana pada latar belakang di atas maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang berkaitan dengan
judul penelitian adalah sebagai berikut:
a. Pembiayaan gadai emas di Bank BRISyariah
b. Implementasi akad dalam gadai syariah di Bank BRISyariah
c. {Perhitungan biaya penyimpanan dan pemeliharaan emas
d. Kepatuhan bank terhadap fatwa DSN-MUI
e. Implementasi akadija>rahpada produk gadai emas bank BRISyariah
13
7
f. Tinjauan fatwa DSN-MUI terhadap implementasi akad ija>rah pada
sewa tempat produk gadai emas bank BRISyariah
2. Batasan masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas, maka penulis
membatasi pada permasalahan sebagai berikut :
a. Implementasi akadija>rahpada produk gadai emas Bank BRISyariah
b. Tinjauan fatwa DSN-MUI terhadap implementasi akad ija>rah pada
sewa tempat produk gadai emas Bank BRISyariah
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam penelitian ini terdapat
dua rumusan masalah yaitu :
1. Bagaimana implementasi akad ija>rah pada produk gadai emas di bank
BRISyariah KC Surabaya Diponegoro ?
2. Bagaimana tinjauan Fatwa No.25-26/DSN-MUI/III/2002 terhadap
implementasi akad ija>rah pada sewa tempat produk gadai emas di Bank
BRISyariah KC Surabaya Diponegoro?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian
8
terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan
pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.14 Penelitian mengenai produk gadai memang pernah diteliti oleh
peneliti sebelumnya. Pada penelitian ini penulis membahas mengenai
implementasi akad ija>rah terhadap sewa tempat dalam produk Qardh
Beragun Emas, yaitu akad yang digunakan untuk penyimpanan dan
pemeliharaan terhadap barang yang digadaikan yakni emas batangan maupun
emas perhiasan.
Skripsi karya Robby Aris Subakti pada tahun 2005 dengan berjudul
“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Aplikasi Penetapan Tarif Ija>rah Pada
Barang Gadai Di Pegadaian Syari’ah Sidokare Sidoarjo”. Dalam
penelitiannya membahas tentang aplikasi penetapan tarif ija>rah pada barang
gadai di Pegadaian Syari’ah Sidokare Sidoarjo, dimana penetapan tarifnya
dihitung berdasarkan kelipatan per 10 hari; 1 hari dihitung sama dengan 10
hari. Hal ini diperbolehkan karena perhitungannya tidak dengan konsep
mempersamakan waktu yang berbeda. Akan tetapi, dengan menggunakan
dasar satuan waktu minimal (terkecil).15
Skripsi karya Musrifah pada tahun 2006 dengan judul “Tinjauan
Hukum Islam Tentang Dua Akad (RahndanIja>rah) Dalam Satu Transaksi Di
Pegadaian Syari’ah Baba’an Surabaya” membahas tentang dua akad yaitu
14
Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016),8.
15
9
rahn dan ija>rah dalam satu transaksi di Pegadaian Syari’ah Baba’an
Surabaya. Hal ini boleh menurut hukum Islam karena akad rahn dan akad
ija>rah obyeknya adalah tidak sama. Selain itu kedua akad tersebut
berdasarkan kesepakatan dan kerelaan.16
Skripsi karya Abdus Salam tahun 2012 dengan judul “Aplikasi Gadai
Emas di BPRS Bhakti Sumekar Sumenep Perspektif Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 25 26 III 2002 tentang
rahn (gadai) emas”. Penelitian ini membahas mengenai aplikasi gadai emas
di BPRS Bhakti Sumekar, dengan mengajukan permohonan dan membawa
emas sebagai jaminan dengan akad rahn, akad ija>rah sebagai sewa tempat
dan akad qard sebagai pinjaman kemudian Bank akan melakukan proses
penilaian atas emas jaminan tersebut dan mencairkan dana pinjamannya
sesuai kesepakatan. Penentuan biaya pemeliharaan Emas gadai dengan
mengkalkulasi semua biaya operasional, mulai biaya perawatan barang
jaminan, asuransi, gaji karyawan sampai setoran ke pemerintah kabupaten
Sumenep. Aplikasi gadai emas dan penentuan biaya pemeliharaan, mengacu
pada fatwa DSN-MUI dibenarkan karena adanya unsur yang saling
menguntungkan kedua belah pihak dan terdapat unsur kemaslahatan dan
tolong menolong dalam bermuamalah.17
16
Musrifah, “Tinjauan Hukum Islam Tentang Dua A kad (Rahn dan Ija>rah) Dalam Satu Transaksi Di Pegadaian Syari’ah Baba’an Surabaya”,(Skripsi -- IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2006). 15
17
10
Sekilas skripsi Abdus Salam ada kemiripan dengan masalah yang
diteliti, tetapi pada penilitian ini ada titik tekan di ija>rah yang menjadi salah
satu akad di gadai syariah. Penjelasan Abdus Salam lebih luas dalam
membahas permasalahan yang diaangkat, sedaangkan dalam penelitian ini
lebih fokus padaa implementasi akadija>rahditinjau dari fatwa DSN-MUI.
Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penulis akan
membahas mengenai implementasi akadija>rah pada biaya sewa tempat pada
produk gadai emas di Bank BRISyariah yang mana perhitungan biaya
tersebut berkaitan dengan jumlah pembiayaan.
E. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan yang diteliti diatas, maka pada
penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui implementasi akad ija>rah pada produk gadai emas di Bank
BRISyariah Diponegoro
2. Mengetahui tinjauan Fatwa No.25-26/DSN-MUI/III/2002 terhadap
implementasi akad ija>rah pada sewa tempat produk gadai emas di Bank
BRISyariah KC Surabaya Diponegoro
F. Kegunaan Hasil Penelitian
1. Dari segi teoritis, hasil penelitian diharapkan mampu berguna bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, menambah wawasan mengenai akad
ija>rah yang terdapat pada produk gadai emas bagi siapa saja yang
11
2. Dari segi praktis, dapat memberikan informasi tambahan maupun
pembanding bagi peneliti berikutnya untuk membuat karya tulis ilmiah
yang lebih sempurna dan juga bagi pelaku kegiatan ekonomi dalam
menerapkan akad tersebut.
G. Definisi Operasional
Untuk mempermudah pemahaman dan memperoleh deskripsi
terhadap istilah-istilah yang terkandung dalam penelitian yang berjudul
tinjauan Fatwa 25-26/DSNMUI/III/2002 terhadap implementasi akad ija>rah
pada sewa tempat produk gadai emas Bank BRISyariah, maka perlu
dijelaskan makna dari setiap istilah tersebut yakni sebagai berikut :
AkadIja>rah : Akad pemindahan hak guna atas
barang atau jasa melalui pembayaran
upah sewa.18 Akad ija>rah digunakan pada produk qardh beragun emas di
Bank BRISyariah sebagai akad atas
penyimpanan dan pemeliharaan yang
dilakukan bank terhadap barang yang
dijaminkan.
Gadai emas : Barang yang dijadikan jaminan untuk
pembayaran hak (piutang) dalam hal
18
12
ini yang dijaminkan adalah emas, baik
emas perhiasan maupun batangan.
Fatwa No.25-26/DSN-MUI/III/2002: Fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI
tentangrahndanrahnemas.
H. Metode Penelitian
Metode merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan
tujuan dan kegunaan tertentu. Sedangkan penelitian dapat diartikan sebagai
sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina, serta
mengembangkan ilmu pengetahuan.19
Aspek-aspek yang digunakan peneliti untuk melakukan penelitian
meliputi :
1. Data yang dikumpulkan
Dalam pengumpulan data yang penulis pakai adalah penelitian
lapangan yaitu penelitian yang datanya diambil atau dikumpulkan dari
lapangan dimana kasus itu berada. Guna menjawab rumusan masalah
seperti yang telah dikemukakan diatas, maka data yang perlu dihimpun
meliputi:
a. Data primer
Datayang penulis dapatkan langsung dari obyek yang diteliti
yakni mengenai produk gadai emas, data mengenai praktik gadai emas,
data mengenai mekanisme akad ija>rah, data perhitungan biaya sewa
19
13
tempat, dokumen-dokumen yang berhubungan dengan praktik gadai
emas.
b. Data sekunder
Data yang peneliti dapatkan dari literatur-literatur kepustakaan
yang bisa berupa buku-buku, kitab atau artikel yang berkaitan dengan
penelitian ini antara lain :
Konsep umum tentang rahn yang meliputi pengertianrahn, dasar
hukum rahn, rukun dan syarat rahn, hak dan kewajiban para pihak
(rahin dan murtahin), berakhirnya akad rahn, serta pemanfaatan dan
penjualan barang jaminan.
Tentang ija>rah yang meliputi pengertian ija>rah, dasar hukum
ija>rah, \rukun dan syarat ija>rah, dan ketentuan umum pada ija>rah
beserta biaya sewa tempat.
2. Sumber data
a. Sumber data primer
Sumber data primer adalah sumber utama dimana data diperoleh
secara langsung dari subyek yang diteliti.Interviewi dari perseorangan
ataupun dari suatu instansi untuk keperluan penelitian, seperti dengan
melakukan wawancara secara langsung dengan pihak-pihak yang
berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.20 Data tersebut diperoleh melalui wawancara dengan officer gadai Bank BRISyariah
20
14
KC Surabaya Diponegoro, Fatwa DSN-MUI, Dokumen-dokumen yang
berkaitan dengan praktik gadai emas.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung
diperoleh dari sumber pertama dan telah tersusun dalam bentuk
dokumen-dokumen tertulis.21
Beberapa data sekunder dalam bentuk literatur, antara lain :
1. Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqih Muamalah.
2. Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik.
3. Rachmat Syafei. Fiqih Muamalah
4. Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu
5. M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah
6. Sayyid Sabiq,Fiqh Sunnah
3. Teknik pengumpulan data
Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti guna
mendapatkan data yang valid antara lain:
a. Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara terjun langsung dan mengamati (melihat, mendengar, dan
merasakan secara langsung)22. Penggunaan teknik ini dilakukan untuk
21
Ibid., 65
22
15
melihat langsung proses terjadinya akad, praktek gadai emas, di Bank
BRISyariah KC Surabaya Diponegoro.
b. Wawancara
Wawancara adalah metode pengambilan data dengan cara
menanyakan sesuatu kepada seseorang yang menjadi informan atau
responden. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan staff gadai
Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel
yang berupa catatan, buku, surat kabar, dan lain sebagainya. Dengan
adanya dokumentasi dalam suatu penelitian maka dapat meningkatan
keabsahan dan penelitian lebih terjamin, karena peneliti betul-betul
melakukan penelitian ke lapangan secara langsung23. Adapun dalam skripsi ini penulis mencari data yang berkaitan dengan penelitian
antara lain: formulir atau dokumen yang berkaitan dengan gadai emas
di Bank BRI Syariah.
4. Teknik pengelolaan data
Setelah mendapatkan beberapa data yang dibutuhkan, maka untuk
menyusun data dan mempermudah peneliti dalam melakukan analisa data,
maka peneliti mengolah data tersebut melalui beberapa teknik
sebagaimana berikut:
23
16
a. Editing
Editing adalah pengecekan atau pengkoreksian data yang
dikumpulkan.24 Adapun penggunaan metode ini digunakan untuk memeriksa, meneliti serta mendeskripsikan data yang relevan dengan
penelitian terhadap biaya sewa tempat pada produk gadai emas di
Bank BriSyariah KC Surabaya.
b. Organizing
Organizing adalah mengatur dan menyusun sumber data
sedemikian rupa sehingga diperoleh gambaran yang sesuai dengan
rumusan masalah serta mengelompokkan data yang diperoleh dari
Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro.25 c. A nalyzing
A nalyzing merupakan tindak lanjut terhadap teknik sebelumnya
yaitu dengan menganalisa data yang terkait dengan praktek akadija>rah
pada produk gadai emas di Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro
sehingga memunculkan suatu kesimpulan.
5. Teknik analisis data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis secara deskriptif
kualitatif, yaitu analisis yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati
dengan metode yang telah ditentukan.26
24
Ibid.
25
Chalid Narbuko dan Abu Achmadi,Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 153.
26
17
Peneliti menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Tujuannya adalah
menafsirkan dan menuturkan data yang bersangkutan dengan situasi yang
sedang terjadi bagaimana implementasi akad ija>rah pada sewa tempat
atau biaya penyimpanan dan pemeliharaan pada produk gadai emas di
Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro.
Peneliti menggunakan metode pola pikir untuk menganalisa suatu
data yaitu pola pikir deduktif yang berpijak pada teori teori tentang rahn
dan ija>rah dengan kemudian dikaitkan praktek gadai emas dan
perhitungan biaya sewa tempat atau biaya penyimpanan dan pemeliharaan
terhadap emas yang dijaminkan yang nanti akan ditarik kesimpulan atas
praktek tersebut.
I. Sistematika Pembahasan
Agar penulisan dalam penelitian ini tidak keluar dari jalur yang telah
ditentukan dan bisa dipahami serta lebih sistematis, maka penulis membagi
lima bab pada penelitian ini yang sistematikanya sebagai berikut:
Bab pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,
definisi operasional, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, landasan teori mengenai implementasi akad Ija>rah pada
sewa tempat produk gadai emas, yaitu teori tentang akadrahn, dalam hal ini
memuat pengertian gadai (rahn) dan dasar hukumnya, rukun dan syarat, hak
18
barang jaminan, pendapat para ulama tentang pemanfaatan barang gadai
(murtahin), batalnya akadrahn. Teori akad ija>rahmeliputi pengertian ija>rah,
dasar hukum, rukun dan syarat, beserta biaya atau upah dalam akad ija>rah,
dan Fatwa No.25-26/DSNMUI/III/2002 tentangrahndanrahnemas.
Bab ketiga, merupakan penyajian data mengenai implementasi akad
ija>rah terhadap sewa tempat pada produk gadai emas Bank BRISyariah KC
Surabaya. Pada bab ini, berisi mengenai kelembagaan Bank BRISyariah KC
Surabaya Diponegoro serta praktik gadai emas dan penerapan akad ija>rah
dalam produk gadai emas.
Bab keempat, berisi analisis terhadap implementasi akad ija>rah
terhadap biaya sewa tempat pada produk gadai emas di Bank BRISyariah
KC Surabaya Diponegoro dan Tinjauan Fatwa No.25-26/DSNMUI/III/2002
terhadap biaya sewa pada produk gadai emas di Bank BRISyariah KC
Surabaya Diponegoro.
Bab kelima, merupakan akhir dari penelitian yang berisikan tentang
kesimpulan dan saran. Kesimpulan berisi tentang beberapa hal yang
berkaitan dengan hasil penelitian sedangkan saran adalah beberapa masukan
19 BAB II
RA HN,IJA >RA H, DAN FATWA DSN-MUI
A.Rahn
1. PengertianRahn
Secara etimologi, gadai (rahn) merupakan bentuk masdar dari :
-
yang artinya menggadaikan, mengutangi, jaminanutang, menungguhkan1. Dalam merumuskan pengertianrahnsecara bahasa mempunyai dua makna yaitu (tetap dan lama), yakni tetap
atau berarti (pengekangan atau keharusan).2 Rahn adalah
menjadikan harta benda sebagai jaminan utang agar utang itu dilunasi
(dikembalikan), atau dibayarkan harganya jika tidak dapat
mengembalikannya.3 Secara sederhana bahwa rahn adalah semacam jaminan utang dalam gadai.
Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian hutang piutang
untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang
berhutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap hutangnya
itu. Barang jaminan tetap menjadi hak milik orang yang menggadaikan
(orang yang berhutang) tetapi dikuasai oleh penerima gadai (yang
berpiutang). Gadai mempunyai nilai sosial yang tinggi dan dilakukan
secara suka rela atas dasar tolong menolong.4
1
Ahmad Warson Munawar, Kamus A l-Munawir A rab-Indonesia Terlengkap, edisi kedua (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), 542.
2
Rachmat Syafe’i,Fiqih Muamalah, III (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006), 159.
3
Abdullah bin Muhammad ath-thayyar,Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam Pandangan 4 Mazhab, (Yogyakarta: Maktabah al-hanif, 2009), 174.
4
20
2. Landasan Hukum
Gadai hukumnyaja>iz(boleh) menurut al-Qur’an, sunnah dan ijma’.
a. Dalil al-Quran menganairahnterdapat dalam QS. Al-Baqarah: 283
ð ✁✂ ✄☎✆ ✝✞ ✟ ✠ ✡☛✟ ☞✌✝ ✍✞✎✟ ✏✁✑ ð✟ ✌✒ ✂✓✆ ✔✆ ✌✕✝✖✟ ✌✗✘ ✌✘ ✁✆✆✒ ✙ ✚ ✘ ✁✚ ✠ ✡✁✟ ☎ ✞✞✛✘ ✆ ✞✁✆ ✁✜ð✟ ✍✌ ✁✁✟ ✘ ✞ð ✆ ✞✟ ✢ð✆
Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. Al-Baqarah : 283).5
b. Dalil as-Sunnah salah satunya yang bersumber dari ‘Aisyah r.a.
)
:
(
Artinya : “Dari ‘Aisyah ra berkata, bahwa sesungguhnya Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran
ditangguhkan dengan menggadaikan baju besinya.”6
Dalam hadith tersebut nabi melaksanakan gadai ketika sedang di
Madinah. Ini menunjukkan bahwa gadai tidak terbatas hanya untuk
5
Departemen Agama RI,A l-Quran dan terjamahnya, (Bandung: Syaamil quran, 2012), 49. 6
21
orang yang sedang dalam perjalanan saja, tetapi juga bagi orang yang
tinggal di rumah.
c. Dasar ijma’
Ijma’ ulama atas hukum rahn adalah mubah (boleh). hanya
beberapa dari mereka berbeda pendapat seperti mazhab Dzahiri,
Mujahid dan al-Dhahak. Mereka berpendapat hanya membolehkan gadai
pada waktu bepergian saja berdasarkan al-Baqarah ayat 283 diatas,
sedangkan jumhur ulama sepakat membolehkan gadai, tetapi tidak
diwajibkan sebab gadai hanya jaminan saja jika kedua belah pihak tidak
saling percaya. Mereka tidak mempertentangkan kebolehannya
demikian pula landasan hukumnya, jumhur berpendapat disyariatkan
pada waktu bepergian dan juga berada ditempat domisilinya, hal ini
berdasarkan praktik nabi. Sedangkan ayat yang mengaitkan gadai
dengan bepergian itu tidak dimaksudkan sebagai syarat sahnya gadai,
melainkan hanya menunjukkan bahwa gadai itu pada umumnya
dilakukan pada waktu sedang bepergian (pada waktu itu).7 Disamping itu, penyebutan shafar (bepergian) dalam ayat diatas keluar dari yang
umum (kebiasaan).8
7
Masjfuk Zuhfi,Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: Haji Masagung, 1992) 118.
8
22
3. Rukun dan Syaratrahn
Rukun merupakan unsur yang harus dipenuhi secara tertib dalam
setiap perbuatan hukum. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun rahn
itu hanyaija>b(pernyataan penyerahan barang sebagai agunan/jaminan oleh
pemilik barang). Disamping itu menurut mereka untuk kesemmpurnaan dan
untuk mengikatnya akad rahn ini, maka diperlukan al-qabd (penguasa
barang) oleh pemberi utang.9
Sedangkan menurut Syafi’i, rukun rahn ada empat, yaitu: Si>ghat,
‘a>qid,marhun, danmarhu>n bih. Namun dari keempat rukun ini mempunyai
syarat tertentu yang harus dipenuhi dalam kelestarian adanya akadrahn.
Dari penjelasan diatas dapat kita pahami bahwa pada dasarnya
rukun-rukun yang ada padarahnmeliputi :
a. Rahin(yang menggadaikan), dalam konteks perbankan, yaitu gadai emas
syariah adalah nasabah
b. Murtahin(yang menerima gadai), yaitu bank.
c. Marhun(barang yang digadaikan), yaitu emas batangan atau perhiasan.
d. Marhun bih(utang), yaitu pembiayaan yang diterima nasabah (Rahin)
e. Sighat (ijab-qabul), yaitu akad kontrak yang dilakukan antara nasabah
dan pihak bank atau pihak yang menggadaikan dengan yang menerima
gadai.
9
23
Dari rukun-rukun yang telah disebutkan diatas, ada syarat yang harus
dipenuhi dari setiap rukunnya. Syarat – syarat rahntersebut meliputi hal –
hal sebagai berikut :
a. Rahindanmurtahin
1. Cakap bertindak hukum, menurut jumhur ulama adalah orang-orang
yang telah baligh berakal. Oleh karena itu, tidak sah anak kecil dan
orang gila. Menurut ulama Hanafiyah, kedua belah pihak yang
berakad tidak disyaratkan baligh, tetapi cukup berakal. Oleh sebab
itu, menurut mereka anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan
akadrahn, dengan syarat mendapatkan persetujuan dari walinya.10 2. Layak untuk melakukan transaksi pemilikan. Setiap orang yang sah
melakukan jual beli, juga sah untuk melakukan gadai karena gadai
seperti juga jual beli merupakan pengelolaan harta.
b. Marhun(barang yang digadaikan)
Adapun syarat-syarat barang gadai yang harus dipenuhi menurut
ulama Hanafiyah ialah disyari’atkan harus berupa harta yang memiliki
nilai, diketahui dengan jelas dan pasti, bisa untuk diserahkan, dipegang,
dikuasai, tidak tercampur dengan sesuatu yang tidak termasuk
al-marhu>n, terpisah dan teridentifikasi, baik itu berupa harta tidak bergerak
atau harta bergerak, baik itu hartamithliatauqi>mi.11
10
Nasrun Haroen,Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2000), 215.
11
24
Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, gadai bisa sah dengan
dipenuhinya tiga syarat, yakni:
1. Harus berupa barang, karena utang tidak bisa digadaikan
2. Penetapan kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak
terhalang
3. Barang yang digadaikan bisa dijual manakala sudah tiba masa pelunasan
utang gadai.
c. Marhun bih(utang)
1. merupakan hak yang wajib diberikan / diserahkan kepada pemiliknya
2. memungkinkan pemanfaatannya. apabila sesuatu yang menjadi utang
tidak bisa dimanfaatkan, tidak sah hukumnya.
3. dapat dikuantifikasikan atau dapat dihitung jumlahnya. Apabila tidak
dapat dikuantifikasikan maka tidak sah.12 4. utang boleh dilunasi dengan agunan tersebut.13 d. Sighat(ijab-qabul)
1. Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertantu dan juga dengan
waktu-waktu masa depan.
2. Rahnmempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang, seperti
halnya akad jual beli. Oleh karena itu, tidak boleh diikat dengan
syarat tertentu atau dengan suatu waktu pada masa depan.
12
Syafii Antoniio,Bank syariah: wacana ulama dan cendekiawan..., 215.
13
25
4. Akibat hukum
Apabila akad gadai telah sempurna dengan diserahkannya barang
yang digadaikan (marhu>n) kepada murtahin, maka timbulah hukum-hukum
sebagai berikut:
a. Adanya hubungan antara utang dengan jaminan
Utang tersebut hanya sebatas utang yang diberikan jaminan, bukan
utang-utang yang lain.
b. Hak untuk menahan jaminan
Adanya hubungan antara utang dan jaminan memberikan hak kepada
murtahinuntuk menahan jaminan di tangannya atau di tangan orang lain
yang disepakati bersama dengan tujuan untuk mengamankan utang.
Apabila utang telah jatuh tempo maka jaminan bisa dijual untuk
membayar utangnya.
c. Menjaga barang jaminan (marhu>n)
Dengan adanya hak menahan jaminan, makamurtahinwajib menjaga
jaminan tersebut seperti ia menjaga hartanya sendiri, karena jaminan
tersebut merupakan titipan dan amanah.
d. Pembiayaan atas barang jaminan (marhu>n)
Para Ulama sepakat bahwa pembiayaan atas jaminan dibebankan
kepada ra>hin. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang jenis
26
1) Menurut Ulama Hanafiyah, pembiayaan dibagi antara ra>hin selaku
pemilik barang danmurtahin, yang dibebani pemeliharaannya dengan
rincian sebagai berikut:
a) Setiap biaya yang berkaitan dengan kemaslahatan barang jaminan
dibebankan kepadara>hinkarena barang tersebut miliknya.
b) Setiap biaya yang berkaitan dengan pemeliharaan barang jaminan
dibebankan kepada murtahin, karena ia yang menahan barang
tersebut termasuk resikonya.
2) Menurut Jumhur yang terdiri dari atas Malikiyah, Syafi’iyah dan
Hanabilah, semua biaya yang berakitan dengan barang jaminan
dibebankan kepada ra>hin, baik yang berkaitan dengan biaya
menjaganya, pengobatan, maupun biaya lainnya. Menurut Malikiyah
apabila ra>hin tidak bersedia menanggung biaya tersebut, biaya
dibebankan kepada murtahin. Akan tetapi menurut Syafi’iyah hakim
harus memaksara>hinuntuk memberikan biaya yang berkaitan dengan
barang jaminan, apabila ia berada ditempat dan dipandang mampu.
Apabila ra>hin tidak mampu, maka hakim bisa memerintahkan
murtahin untuk membiayainya dan biaya tersebut kemudian
diperhitungkan sebagai utang ra>hin. Menurut Hanabilah apabila
murtahin mengeluarkan biaya tanpa persetujuan ra>hin, padahal ia
mampu untuk meminta izin kepadanya, maka berarti murtahin
melakukannya dengan sukarela, dan oleh karenanya ia tidak berhak
27
5. Penjualan barang gadai setelah jatuh tempo
Gadai merupakan jaminan utang dan tujuan gadai adalah
mendapatkan pelunasan utang melalui harga barang yang digadaikan jika
rahin gagal melunasi utangnya setelah jatuh tempo.14 Jika telah jatuh tempo, orang yang menggadaikan barang berkewajiban melunasi utangnya.
Jika tidak melunasinya, dan dia tidak mengizinkan barangnya dijual untuk
kepentingannya, hakim berhak memaksanya untuk melunasi atau menjual
barang yang dijadkan jaminan. Jika hakim telah menjualnya, kemudian
terdapat kelebihan dari kewajiban yang harus dibayar oleh rahin, kelebihan
itu milikrahin, dan jika masih belum bisa untuk melunasi utangnya, rahin
berkewajiban melunasi sisanya.15
Para fuqaha berpendapat saat jatuh tempo, murtahin boleh menuntut
rahin untuk melunasi utangnya. Jika utangnya dibayar, permasalahannaya
berakhir. Akan tetapi, jika rahin tidak melunasi utangnya dengan
melambat-lambatkan waktu, mempersulit, atau menghilangkan diri, hakim
boleh memerintahkanmurtahinmenjual barang gadaian.16
6. Berakhirnyarahn
Akadrahn dipandang berakhir dengan beberapa keadaan berikut:
a. Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya.
14
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa A dillatuhu, (Jakarta: Gema Insani. 2011), 275.
15
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12, terj. Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung: Al-Ma’arif, 1999), 144-145.
16
28
Dengan penyerahan tersebut, akadrahnberakhir. Jumhur ulama selain
Syafi’i berpendapat, karena barang gadai merupakan jaminan utang, jika
diserahkan kepada pemiliknya, tidak ada lagi jaminan.
b. Rahnmembayar utangnya.
c. Dijual dengan perintah hakim atas permintaanrahin.
d. Pembebebasan utang.
Pembebasan utang dalam bentuk apa saja, menandakan habisnyarahn
meskipun dengan cara pemindahan olehmurtahin.
e. Pembatalan olehmurtahin.
f. Rusaknya barangrahnbukan oleh tindakan atau penggunaanmurtahin
g. Memanfaatkan barangrahndengan penyewaan, hibah, atau sedekah,
baik dari pihakrahinmaupunmurtahin.
B.Ija>rah
1. PengertianIja>rah
Ija@rahberasal dari kataal-ajru( ) yang berartial-‘iwad}( )
yang memiliki arti ganti. Dari sebab ituath|- th|awa@b (pahala) dinamai ajru
(upah).17Menurut jumhur ulama ijārah diartikan dengan menjual manfaat,18
yaitu akad atas suatu kemanfaatan kemudian mendapat imbalan.
Menurut pengertian syara’, ija>rah adalah suatu jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan penggantian.19 Secara istilah, banyak
17
Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah 13, terj. Kamaluddin A. Marzuki (Bandung: Al-ma’arif, 1999),15.
18
29
definisi mengenai ija>rah yang telah dikemukakan, antara lain sebagai
berikut:
Menurut ulama Hanafiyah, ija>rah adalah akad yang membolehkan
kepemilikan yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa
dengan imbalan.
Menurut ulama Malikiyah, ija>rah adalah nama bagi akad-akad untuk
kemanfaatan yang bersifat manusiaei dan sebagian yang dapat dipindahkan.
Menurut ulama Syafi’iyah, ija>rah adalah akad atas suatu kemanfaatan
yang mengandung maksud tertentu danmubah serta menerima pengganti
atau kebolehan dangan pengganti tertentu.20
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional bahwa ija>rah adalah akad
pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu
tertentu melalui pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Dengan demikian akad ija>rah
tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya perpindahan hak guna saja
dari yang menyewakan kepada penyewa.21
Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa ija>rah adalah
menukarkan sesuatu dengan imbalan atau biasa disebut sewa menyewa
atau upah mengupah. Sewa menyewa merupakan jual beli manfaat atas
barang tertentu, sedangkan upah mengupah merupakan jual beli jasa atau
tenaga atas perbuatan atau pekerjaan tertentu.
19
Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah 13, terj. Kamaluddin A. Marzuki (Bandung: Al-ma’arif, 1999), 7.
20
Rachmat Syafe’i,Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 122
21
30
2. Landasan HukumIja>rah
Ija>rah baik dalam bentuk sewa menyewa maupun dalam bentuk upah
mengupah merupakan bentuk muamalah yang telah disyariatkan dalam
Islam. Hukum asalnya adalah boleh atau mubah apabila dilakukan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam hukum Islam.22 Berikut landasan hukum yang dijadikan landasan oleh para ulama
akan kebolehan ija>rah bila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang
ditetapakn syara’ berdasarkan ayat Al-Qur’an, Al-Hadis, dan Ijma yaitu:
a. Al-Qur’an
Landasan hukum mengenaiija>rahterdapat dalam surat al-Baqarah:
233 sebagai berikut:
✣✤.. ✤✥ ✥ ✦✧★ ✩✪✥ ✪ ✩✤ ★✧ ✪ ✩
Artinya: “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kemu memberikan pembayaran menurut yang patut...” (Q.S. al-Baqarah: 233)23
Kemudian landasan hukum mengenai ija>rah terdapat dalam surat
al-Qasash ayat 26 sebagaimana berikut :
Artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya." (QS. al-Qasash: 26)24
22
Amir Syarifudin,Garis-garis Besar Fiqh, Cet. II, (Jakarta: Kencana, 2003), 216. 23
Departemen Agama RI,A l-Quran dan terjamahnya, (Bandung: Syaamil quran, 2012), 37. 24
31
b. Al-Hadis
)
(
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)25
c. Ijma’
Umat Islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ija>rah
dibolehkan sebab bermanfat bagi manusia.26 Selain itu, sebagian masyarakat sangat membutuhkan akad ini karena dapat meringankan
beban. Tentang di syariatakan sewa menyewa, semua kalangan sepakat
dan hampir semua ulama menyetujuinya.
3. Rukun dan SyaratIja>rah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun ija>rah adalah ijab dan qabul, antara
lain dengan menggunakan kalimat :al-ija>rah, al- isti’jar, al- ikhtira’, dan
al-ikra.27
Sedangkan rukunija>rahmenurut mayoritas ulama ada empat, yaitu
a. A qid, yaitu orang yang melakukan akad yakniajirsebagaipenerima sewa
danmusta’jirsebagai penyewa jasa atau penerima upah.
b. Sighat(ijab qabul), yaitu ikatan kata antaraajirdanmusta’jir.
25
Ibnu Hajar Al-Asqalani,Bulughul Maram Terjemah Irfan Maulana Hakim, Cet. I, (Surabaya: Sinar Wijaya, 2010), 373.
26
Rachmad Syafe’i,Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 124.
27
32
c. Ujrah (harga sewa), biaya yang dikeluarkan atas manfaat yang telah
diperoleh.
d. Manfaat barang, yaitu sesuatu yang diperoleh dari barang yang
disewakan.
Dalam akadija>rah ada empat macam syarat sebagaimana dalam akad
jual beli, yaitu:
a. Syarat terjadinya akad (syart al-in’iqad)
Syarat yang berkaitan dengan aqid adalah berakal, mumayyiz
menurut Hanafiyah, dan baligh menurut Syafi’iyah dan Hanabilah.
Dengan demikian, akad ijārah tidak sah apabila pelakunya adalah orang
gila atau masih di bawah umur. Adapun Syafi’iyah dan Hanabilah
berpendapat bahwa syarat taklif (pembebbanan kewajiban syariat),
yaitu baligh dan berakal adalah syarat terjadinya akad ija>rah karena
sama halnya dengan jual beli.
b. Syarat pelaksanaan (syarth an-Nafaadz)
Agar akad ija>rah terlaksana disyaratkan terpenuhinya hak milik
atau kekuasaan atas objek ija>rah. Maka tidak sah apabila tidak
mempunyai hak kepemilikan atau kekuasaan atas objekija>rah.
c. Syarat sahija>rah(syarth ash-shihhah)
Syarat sahnya ija>rah harus dipenuhi beberapa syarat yang
33
upah (ujrah) dan akadnya sendiri. Diantara syarat-syarat tersebut adalah
sebagai berikut:28
1) Kerelaan dari kedua pelaku akad. Syarat ini didasarkan pada firman
Allah dalam surah An-Nisa (4) ayat 29:
✫✬
Artinya: wahai orang-orang yang beriman! janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirim. Sungguh Allah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa’: 29)29
2) Objek akad bermanfaat dengan jelas.
Jika manfaat itu tidak jelas dan dapat menyebabkan
perselisihan, maka akadnya menjadi tidak sah karena ketidakjelasan
menghalangi penerimaan, penyimpanan dan penyerahan sehingga
tidak tercacpai maksud akad tersebut. Kejelasan objek akad terwujud
dengan penjelasan manfaat, yaitu dengan mengetahui barang yang
disewakan. Selanjutnya adalah penjelasan masa waktu, karena
penjelasan waktu ini sangat penting maka akad menjadi jelas. Kalau
tidak ada penentuan waktu maka akad menjadi tidak jelas kadarnya
kecuali dengan adanya penentuan waktu. Dengan penentuan tersebut
maka akan menghindarkan dari hal hal yang merugikan. Kemudian
mengenai penjelasan objek kerja, hal ini menjadi sebuah tuntutan
28
Rahmad Syafe’i,Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 126-128.
29
34
untuk menghindari ketidakjelasan yang bisa mengakibatkan rusaknya
akad.
3) Hendaknya objek akad harus dapat diserahkan
Menurut kesepakatan fuqaha, akad ija>rah tidak dibolehkan
terhadap sesuatu yag dapat diserahkan, baik secara nyata seperti
menyewakan onta yang lepas maupun secara syara’ seperti seorang
dokter mencabut gig yang masih sehat.
4) Manfaat dari objekija>rahdibolehkan menurut syara’
Hendaknya manfaat yang dijadikan objek ija>rah dibolehkan
secara syara, seperti menyewakan buku, rumah, apartemen,tempat
penyimpanan barang berharga dan sebagainya.
5) Tidak menyewakan pekerjaan yang diwajibkan kepadanya.
6) Orang yang disewa tidak boleh mengambil manfaat dari pekerjaannya
7) Obyek yang disewakan terhindar dari cacat.
8) Syarat barang sewaan adalah dapat dipegang atau dikuasai.
4. Macam-macamija>rah
a. A l-Ija>rah ‘A la> A l-Manafi’. Ija>rah atas manfaat, disebut juga sewa
menyewa. Dalam ija>rah bagian pertama ini, objek akadnnya adalah
manfaat dari suatu benda.
b. Ija>rah A l-Zimmah. ija>rah atas pekerjaan, disebut juga upah-mengupah.
Dalam ija>rah bagian kedua ini, objek akadnya adalah amal atau
35
Secara global jenis-jenisija>rahdapat dibagi menjadi beberapa bentuk.30
a. Ija>rah Mutlaqah, adalah proses sewa menyewa yang memberikan
kesempatan bagi penyewa untuk pemanfaatan dari barang sewa untuk
jangka waktu tertentu dengan imbalan yang besarnya telah disepakati
bersama.
b. Ba>i A t-Takjiri, adalah suatu kontrak sewa yang diakhiri dengan
penjualan. Dalam kontrak ini pembayaran sewa telah diperhitungkan
sehingga pembelian terhadap barang secara angsur. Jenisija>rahini dapat
dikombinasikan dengan ba>i al-muraba>hah untuk tujuan pengadaan
barang dan pembiayaan impor. Bentuk kombinasi ini telah banyak
disepakati oleh bank-bank syariah di luar negeri dengan sukses, proses
tersebut yaitu setelah bank membiayai pengimporan barang sesuai
dengan pesanan nasabah secara muraba>hah langsung menyewakan
kepada nasabah untuk jangka waktu tertentu dan pada akhir pembiayaan
nasabah memiliki aset tersebut.
5. Biaya sewa dalamija>rah
Biaya sewa juga termasuk dalam bab ija>rah sebagaimana perjanjian
kerja. Menurut bahasa ija>rah berarti “upah” atau “ganti” atau imbalan,
30
36
karena itu lafadz ija>rah mempunyai pengertian umum yang meliputi upah
atas pemanfaatan suatu benda atau imbalan dari suatu aktifitas.31
Antara ajirdan muajirada biaya atau dengan kata lain imbalan yang
diterima muajir atas sewa manfaat yang dilakukannya. Manakala akad
sewa telah berlangsung, penyewa sudah berhak mengambil manfaat dan
orang yang menyewakan berhak pula mengambil upah.
Islam tidak menetapkan ketentuan-ketentuan biaya pembayaran
sewa, karena tentang harga dari barang yang disewakan seperti halnya
dalam jual beli, akan tetapi Islam menerangkan kewajiban adanya
penggantian biaya sewa di dalam ija>rah sewaktu dalam akad. Adapun
menurut aturan yang mesti sesuai dengan kemutlakan ija>rah itu sendiri,
maka harus kontan sewa atau upahnya, hanya saja disayaratkan dalam
ija>rah adanya tempo waktu, maka dalam keadaan yang demikian upah sewa
dapat dijadikan tempo waktu.32
Terkait dengan syarat dalam biaya sewa, para ulama telah
menetapkan beberapa syarat yaitu:
a. Syarat upah berupa harta yang bernilai dan diketahui
Mengetahui upah (ujrah) tidak sah keculai dengan isyarat dan
penentuan, ataupun dengan penjelasan. Menurut Abu Hanifah,
diharuskan mengetahui tempat pelunasan upah jika upah itu termasuk
barang yang perlu dibawa dan membutukan biaya. Sedangkan menurut
31
Helmi karim,Fikih Muamalah, (Jakarta: PT, Grafindo, Persada, 1993), 29.
32
37
ash-Shahiban, hal itu tidak disyariatkan dan tempat akad cukup
dijadikan tempat untuk pelunasan.
Syarat upah dibawah ini memiliki perbedaan pendapat menurut
ash-shahiban dan ulama Syafi’iyah berdasarkan qiyas, tidak
membolehkan menyewa seorang perempuan untuk menyusui ditambah
makan dan pakaiannya karena ketidak jelasan upahnya, yaitu makan dan
pakaian. Sedangkan Abu Hanif dan Ulama Malikiyah membolehkan
menyewa seseorang untuk melayani atau menyewa hewan ditambah
makannya dan pakaian atau sejenisnya untuk pembantu itu.
Ketidak jelasan upah dalam penyewa tersebut tidak menyebabkan
pertikaian karena dalam kebiasaan yang berlaku, masyarakat bersikap
toleran terhadap perempuan yang disewa untuk menyusui diberi
kemudahan demi kasih sayang terhadap anak-anak, sehinga hal itu sudah
menjadi hal yang umum dalam masyarakat.33
b. Upah tidak berbentuk manfaat yang sejenis dengan ma’qud ‘alaih
(obyek akad)34
Upah tidak berbentuk manfaat yang sejenis dengan ma’qud ‘alaihi
(obyek akad). Seperti ija>rah tempat tinggal dibayar dengan tempat
tinggal, jasa dibayar dengan jasa, penunggagan dibayar dengan
penunggangan, dan pertanian dibayar dengan pertanian. Menurut ulama
Malikiyah, penerapan prinsip ini dalam ija>rah adalah bahwa akad ini
33
Wahbah az-Zuhaili, A l-Fiqh al-Islami wa A dillatuhu, (penerjem: fiqih islam wa adillatuhu, Abdul hayyie Al-Kaffaani dkk,jilid 6, (Jakarta: Gema Insani, 2011), 400.
34
38
menurut mereka terjadi secara sedikit demi sedikit sesuai dengan
terjadinya manfaat. Maka manfaat pada waktu akad itu tidak ada
seutuhnya, sehingga salah satu pihak menjadi terlambat dalam
menerima manfaat secara seutuhnya.
Secara umum syarat yang berkaitan dengan ujrah/upah dapat
disimpulkan bahwaujrahharus jelas dan diketahui serta tidak berbentuk
manfaat. Karena upah tersebut merupakan pembayaran atas nilai
manfaat yang diterima kepada seseorang yang melakukan pekerjaannya
dalam bentuk imbalan yang harus diketahui dengan jelas.
6. Berakhirnyaija>rah
Pada dasarnya perjanjian dalam akad ija>rah adalah akad lazim,
masing-masing pihak yang yang terikat dalam akad tidak berhak
membatalakan perjanjian (tidak mempunyai hak fasakh) karena termasuk
akad pertukaran.
Jiika salah satu pihak (yang menyewakan atau penyewa) meninggal
dunia, perjanjian sewa menyewa tidak akan menjadi batal, asal yang
menjadi obyek sewa masih ada. Sebab dalam hal salah satu pihak
meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh ahli warisnya.35 Secara umum Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwa akad ija>rah
berakhir berdasarkan sebab-sebab sebagai berikut:
a. Akad ija>rah telah habis atau selesai. Menurut ulama Hanafiyah salah
satu dari pihak yang berakad ada yang meninggal maka akad ija>rah
35
39
berakhir, karena warisan berlaku dalam barang yang ada dan dimiliki,
selain itu manfaat dalam akad ija>rah terjadi bertahap sehingga ketika
orang yang mewariskan meninggal maka manfaatnya menjadi tidak ada.
Namun menurut jumhur ulama akad ija>rah tidak batal dengan
meninggalnya salah satu pihak yang berakad. Hal ini dikarenakan akad
ija>rahmerupakan akad yang mengikat seperti halnya akad jual beli.
b. Akad ija>rah dapat berakhir dengan adanya pengguguran akad, hal ini
dikarenakan akad ija>rah dapat dikatakan sebagai akad tukar menukar
sehingga akadija>rahdapat dibatalkan seperti halnya akad jual beli.
c. Akad ija>rah berakhir dengan adanya kerusakan pada barang yang
disewakan. Namun ada beberapa pendapat bahwa rusaknya barang tidak
dapat membatalkan akad ija>rah, diantaranya adalah pendapat
Muhammad Ibnul Hasan bahwa ija>rah tidak batal karena manfaatnya
yang hilang dapat dipenuhi lagi.
d. Akadija>rah berakhir dikarenakan telah habisnya masaija>rahkecuali ada
uzur atau halangan, karena akad ija>rah ditetapkan sampai batas tertentu
maka akad ija>rah dianggap habis ketika sampai pada batas waktunya.
Pendapat ini adalah pendapat yang disepakati oleh para fuqoha.36
36
40
C. Fatwa Dewan Syariah Nasional
Fatwa berasala dari bahasa Arab al-fatwa, walfutya jamaknya
fatawa37 yang telah diadopsi dan membumi dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Kamus istilah Keuangan dan Perbankan Syariah mendefinisikan
fatwa sebagai penjelasan tentnang hukum Islam yang diberikan oleh seorang
fa>qihatau lembaga fatwa kepada umat, yang muncul karena adanyapertanyaan
ataupun tidak.38 Secara sederhana fatwa menurut KBBI adalah jawab (keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah.39
Dalam struktur organisasi bank syariah, ada lembaga yang bertugas
mngawasi dan bertanggung jawab memberikan pengawasan terhadap
operasional bank syariah, yakni Dewan Pengawas Syariah. Selain Dewan
Pengawas Syariah, pada tingkat nasional ada pula Dewan Syariah Nasional
(DSN).
Dewan Syariah Nasional adalah badan yang dibentuk oleh Majelis
Ulama Indonesia pada tahun 1999 yang memiliki kompetensi dan otoritas
resmi sehingga berwenang mengeluarkan ketentuan-ketentuan syariah dalam
bentuk fatwa Dewan Syariah Nasional40 Fatwa-fatwa tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI).41 Dengan
37
A.W. Munawar, Kamus A l-Munawir A rab-Indonesia Terlengkap, edisi kedua (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), 1034
38
Bank Indonesia, Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Syariah, (Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah, 2006), 18.
39
Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga Jakarta: Balai Pustaka, 20017), 314.
40
Butir IV Keputusan Ddewan Syariah Nasional No. 01 Tahun 2000 tanggal 1 April 2000 tentang Pedoman Dasar Dewan Majelis Ulama Indonesia tentang Pedoman Rumah Tangga DSN-MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah NasionalSyariah Nasional
41
41
dituangkannya fatwa-fatwa DSN ke PBI maka prinsip-prinsip syariah terkait
dengan kegiatan usaha bank syariah yang tercntum dalam PBI tersebut
menjadi hukum positif yang mengikat perbankan syariah.42 Keberadaan PBI merupakan amanat dari UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2004.43
Berkaitan dengan perkembangan lembaga keuangan syariah itulah,
keberadaan DSN beserta produk hukumnya mendapat legitimasi dari BI yang
merupakan lembaga negara pemegang otoritas dibidang perbankan, seperti
tertuang dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/1999,
di mana pada pasal 31 dinyatakan: “untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan
usahanya, bank umum syariah diwajibkan memperhatikan fatwa DSN”, lebih
lanjut, dalam Surat Keputusan tersebut juga dinyatakan: “”demikian pula
dalam hal bank akan melakukan kegiatan sebagaimana dimaksudkan dalam
Pasal 28 dan Pasal 29, jika ternyata kegiata usaha yang dimaksudkan belum
difatwakan oleh DSN, maka wajib meminta persetujuan DSN sebelum
melakukan usaha kegiatan tersebut”.
Dewan Syariah Nasional (DSN) secara struktural berada dibawah
MUI dan bertugas menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan
kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya. Pada
prinsipnya, pendirian DSN dimaksudkan sebagai usaha untuk efisiensi dan
koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan
42
Lihat Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan.
43
42
masalah ekonomi dan keuangan, selain itu DSN juga diharapkan dapat
berperan sebagai pengawas, pengarah dan pendorong penerapan nilai-nilai
prinsip ajaran islam dalam kehidupan ekonomi.44
Fungsi fatwa DSN bagi perbankan syariah antara lain adalah:
1. Pedoman bagi Dewan Pengawas Syariah dalam menjalankan tugas
pengawasan di masing-masing bank syariah.
2. Dasar hukum bagi abnk syariah dalam melakukan kegiatan usahanya.
3. Landasan bagi peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia tentang
perbankan syariah dan kegiatan usaha bank syariah.
Dari sekian banyak fatwa yang telah dikeluarkan DSN-MUI, penulis
mengambil fatwa yang berkenaan dengan teori yang penulis bahas pada bab
ini. Fatwa yang penulis ambil adalah fatwa no. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang
rahn45.. Dewan Syariah Nasional dalam menetapkan fatwa ini dengan
pertibangan antara lain sebagai berikut:
a. bahwa salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan
masyarakat adalah pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan
utang;
b. bahwa lembaga keuangan syari’ah (LKS) perlu merespon kebutuhan
masyarakat tersebut dalam berbagai produknya;
c. bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah,
Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa untuk
44
Angka IV butir 2 huruf b Keputusan Dewan Syariah Nasional No. 1 tahun 2000 tanggal 1 April tahun 2000
45
43
dijadikan pedoman tentang Rahn, yaitu menahan barang sebagai jaminan
atas utang.
Sebagai pengingat DSN-MUI dalam menetapkan fatwa maka
disebutkan seperti dibawah ini:
1. Firman Allah, QS. Al-Baqarah [2]: 283:
"Dan apabila kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang juru tulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang..."
2. Hadis Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ’Aisyah r.a., ia berkata:
.
"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi mengg