• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan fatwa NO. 25-26/DSN-MUI/III/2002 terhadap implementasi akad ijarah pada sewa tempat produk gadai emas bank BRI syariah KC Surabaya Diponegoro.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan fatwa NO. 25-26/DSN-MUI/III/2002 terhadap implementasi akad ijarah pada sewa tempat produk gadai emas bank BRI syariah KC Surabaya Diponegoro."

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN FATWA NO. 25-26/DSN-MUI/III/2002 TERHADAP IMPLEMENTASI AKAD IJA >RA HPADA SEWA TEMPAT PRODUK GADAI EMAS BANK BRISYARIAH KC SURABAYA

DIPONEGORO

Skripsi

Oleh:

Fatah Ahmad Fadholi (C72213122)

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah Dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah) SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil judul “Tinjauan Fatwa No. 25-26/DSN-MUI/III/2002 Terhadap Implementasi Akad Ija>rah Pada Sewa Tempat Produk Gadai Emas Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Bagaimana implementasi akad ija>rah pada produk gadai emas di Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro ? (2) Bagaimana tinjauan Fatwa No.25-26/DSN-MUI/III/2002 terhadap implementasi akad ija>rah pada sewa tempat produk gadai emas di Bank BRI Syariah KC Surabaya Diponegoro ?

Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik Observasi, wawancara (interview) dan studi pustaka yang kemudian dianalisis dengan teknik deskriptif dalam menjabarkan data tentang Implementasi Akad Ija>rah Pada Sewa Tempat Produk Gadai Emas Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro. Selanjutnya data tersebut dianalisis dari perspektif Fatwa DSN-MUI dengan teknik kualitatif dalam pola pikir deduktif, yaitu dengan meletakkan norma hukum Islam yaitu fatwa DSN sebagai rujukan dalam menilai fakta-fakta khusus mengenai Implementasi Akad Ija>rah Pada Sewa Tempat Produk Gadai Emas Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penggunaan akad ija>rah dalam biaya penyimpanan dan pemeliharaan ini dikenakan sebagai penukaran manfaat untuk masa tertentu atas obyek ija>rah, mengingat obyek ija>rah memerlukan tempat penyimpanan yang aman. Bank akan menyimpan barang jaminan tersebut kedalam brankas (safe deposit box) yang disediakan oleh bank BRISyariah KC Surabaya. Biaya pemeliharaan dan penyimpanan gadai iB emas di Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro menetapkan besaran biaya tersebut menggunakan rate, yaitu : 1,5% per bulan untuk emas perhiasan dan1,34% per bulan untuk emas batangan. Rate tersebut dikalikan dengan jumlah pinjaman / pembiayaan. Dari analisis yang disimpulkan Bank BRISyariah dalam menentukan biaya sewa masih mengambil atau memperhitungkan dari jumlah nilai pinjaman sehingga pada akhirnya cara tersebut tidak sesuai dengan apa yang ada dalam fatwa yaitu fatwa no. 25butir kedua nomor 4 dan fatwa no.26 butir pertama nomor 3.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah... 6

C. Rumusan Masalah... 7

D. Kajian Pustaka ... 7

E. Tujuan Penelitian... 10

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 10

G. Definisi Operasional ... 11

(8)

I. Sistematika Pembahasan ... 17

BAB II RA HN,IJA >RA H, DAN FATWA DSN-MUI A.Rahn... 19

1. PengertianRahn... 19

2. Landasan Hukum ... 20

3. Rukun dan SyaratRahn... 22

4. Akibat Hukum ... 25

5. Penjualan barang gadai setelah jatuh tempo ... 27

6. Berakhirnyarahn... 27

B. Ija>rah ... 28

1. PengertianIja>rah... 28

2. Landasan HukumIja>rah... 30

3. Rukun dan SyaratIja>rah }... 31

4. Macam-macamija>rah... 34

5. Biaya sewa dalamija>rah ... 35

6. Berakhirnyaija>rah ... 38

C. Fatwa Dewan Syariah Nasional ... 40

BAB III IMPLEMENTASI AKADIJA >RA H PADA SEWA TEMPAT PRODUK GADAI EMAS BANK BRI SYARIAH KC SURABAYA A. Gambaran umum Bank BRI Syariah ... 47

1. Sejarah berdirinya Bank BRI Syariah... 47

2. Kelembagaan... 49

3. Visi dan Misi... 49

4. Struktur Organisasi ... 50

5. 7 nilai bank BRISyariah... 51

6. Produk-produk bank BRI Syariah ... 53

B. Praktik pembiayaan gadai emas di Bank BRI Syariah KC Surabaya ... 56

(9)

2. Pembiayaan gadai emas BRI Syariah IB ... 59 3. Perhitungan biaya sewa tempat gadai emas BRISyariah IB . 62

BAB IV TINJAUAN FATWA NO. 25-26/DSN-MUI/III/2002 TERHADAP IMPLEMENTASI AKAD IJA>RAH PADA SEWA TEMPAT

PRODUK GADAI EMAS BANK BRI SYARIAH KC SURABAYA A. Analisis Implementasi AkadIja>rahPada Sewa Tempat Produk

Gadai Emas Bank BRI Syariah Kc Surabaya... 66 B. Analisis Fatwa No.25-26/DSN-MUI/III/2002 terhadap

Implementasi AkadIja>rahpada Sewa Tempat Produk Gadai Emas di Bank BRI Syariah KC Surabaya ... 70

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 75 B. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA

(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdirinya lembaga keuangan syariah yang terus mengalami

perkembangan yang pesat membawa andil yang sangat baik dalam tatanan

sistem keuangan Indonesia. Peran ini tentu saja sebagai upaya untuk

mewujudkan sistem keungan yang adil. Oleh karena itu, keberadaanya perlu

mendapat dukungan dari segenap lapisan masyarakat muslim.1

Lembaga keuangan syariah merupakan lembaga keuangan yang juga

mengedepankan kemaslahatan masyarakat sesuai dengan tuntunan syariah

yang menjadi landasan dari semua lembaga keuangan syariah. Salah satu

aplikasinya adalah menerapkan layanan yang berbasis moral dan spiritual.2 Bank syariah sebagai salah satu lembaga keuangan yang

pelaksanaannya berdasar prinsip syariah. Ketentuan ini berdasarkan adanya

larangan syariat Islam terhadap praktik perbankan yang mengandung riba,

baik dalam bunga pinjaman maupun penyimpanan uang (deposito) yang

terdapat pada perbankan konvensional. Oleh karenan itu perbankan syariah

menyelamatkan umat Islam dari memakan harta yang haram.3

Perbankan syariah memiliki tujuan yang sama seperti perbankan

konvensional, yaitu agar lembaga perbankan dapat menghasilkan keuntungan

dengan cara meminjamkan modal, menyimpan dana, membiayai kegiatan

1

M. Nur Rianto al Arif,Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 5. 2

Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: produk-produk dan A spek-aspek Hukumnya, (Jakarta: Kencana, 2014), 154

3

(11)

2

usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai. Berperan sebagai lembaga

intermediasi, prinsip hukum Islam melarang transaksi perbankan yang

mengandung bunga (riba), perjudian dan spekulasi yang disengaja (maisir),

serta ketidakjelasan dan manipulatif (gharar).4

Dalam hal melakukan penyaluran dana, pada perbankan syariah

dikenal dengan istilah pembiayaan5. Pembiayaan ini harus terbebas dari unsur-unsur yang telah disebutkan sebelumnya. Pembiayaan adalah

penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan degan itu berupa : (a)

transaksi bagi hasil dalam bentuk mud}a>rabah dan musyarakah; (b) transaksi

sewa-menyewa dalam bentuk ija>rah atau sewa beli dalam bentuk ija>rah

muntahiya bittamlik; (c) transaksi jual beli dalam bentuk piutang

murabahah, salam dan istishna’; (d) transaksi pinjam meminjam dalam

bentuk piutang qardh; dan (e) transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk

ija>rah untuk transaksi multijasa, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan

antara bank syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak

yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana

tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalanujrah, tanpa imbalan,

atau bagi hasil.6

Seiring dengan perkembangan zaman, produk-produk perbankan

mengalami berbagai inovasi. Salah satunya adalah produk gadai syariah yang

4

M. Nur Rianto al Arif,Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 5. 5

Sutan Remi Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam T ata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafita, I,1999) 1.

6

(12)

3

saat ini tidak hanya dilakukan oleh lembaga jaminan seperti pegadaian,

tetapi praktik gadai yang sesuai syariah mulai dilakukan di bank syariah.

Gadai syariah dalam hukum Islam disebut rahn. Menurut Syafi’i

Antonio,rahn adalah satu akad dimana seseorang menahan salah satu benda

atau harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang

diterimanya.7 Dasar hukum tentang dibolehkannya transaksi rahn ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 283 yaitu :

                                                

Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya). ” (Q.S. al-Baqarah : 283)8

Rasulullah dahulu juga pernah melakukan transaksi tersebut dengan

menggadaiakan baju besinya kepada seorang Yahudi, sebagaimana

dijelaskan oleh ‘Aisyah dalam satu riwayat yaitu :

)

:

(

7

Muhammad Syafi’i Antonio,Bank Syariah : Dari Teori ke Praktik,Jakarta: Gema Insani, 2001), 182.

8

(13)

4

Artinya : “Dari ‘Aisyah ra berkata, bahwa sesungguhnya Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran ditangguhkan dengan menggadaikan baju besinya.”9

Dalam dunia perbankan, kebanyakan rahn yang digunakan adalah

rahn emas syariah, dikarenakan marhunnya (barang yang digadaikan) adalah

emas.Rahnatau gadai emas syariah dalam bank syariah harus sesuai dengan

aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah karena bank syariah

merupakan lembaga keuangan yang diawasi oleh Bank Indonesia.10

Penggunaan sistem gadai syariah ini merupakan salah satu upaya

untuk mengembangkan berbagai konsep perekonomian berbasiskan Islam.

Salah satu bank syariah yang membuka layanan gadai emas sebagai layanan

alternatif mereka adalah bank BRI syariah, melalui produk yang diberi nama

Qard beragun emas.11

Qard beragun emas merupakan produk pembiayaan atas dasar

jaminan berupa emas sebagai salah satu alternatif memperoleh uang tunai

dengan cepat yang diperuntukkan untuk perorangan. Praktik gadai emas

yaitu dengan menjaminkan emas.

Ketika nasabah membutuhkan dana, nasabah dapat mengajukan

pembiayaan dengan menjaminkan emas perhiasan atau emas batangan

dengan memakai akad rahn. jika nasabah setuju dengan pembiayaan

tersebut, bank melakukan proses penaksiran, total pembiayaan, dan

9

Imam Zainudin achmad bin al-Lathif az-Zabidi, Ringkasan Shahih Bukhari, Penerjemah: Achmad Zaidun, Cet.1. (Jakarta: Pustaka Amani,2002), 355

10

Cik Basir, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan A gama dan Mahkamah Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009), 60

11

(14)

5

perhitungan biaya-biaya atas proses transaksi tersebut. Terhadap barang

yang dijaminkan tersebut maka bank menyimpan dan memelihara barang

jaminan tersebut agar terhindar dari hal-hal yang dapat merusak jaminan

tersebut. Karena bank melakukan hal tersebut, maka bank membebankan

biaya sewa tempat dengan menggunakan akad ija>rah. Dalam perhitungan

biaya sewa tempat Bank BRISyariah menggunakan rate yang telah

ditentukan bank BRI syariah.12

Penggunaan rate yang ditetapkan BRISyariah akan tidak sesuai jika

dikaitkan dengan jumlah pembiayaan yang diterima nasabah. Apabila biaya

tersebut dikaitkan dengan jumlah marhun bih maka akan ada tambahan

terhadap jumlah pinjaman yang di pinjam nasabah. Ada kalanya praktik di

bank syariah tidak terlepas dari peraturan yang melenceng dari syariah.

Dewan Syariah Nasional (DSN) juga mengeluarkan fatwa sebagai

bentuk dukungan terhadap pengembangan gadai syariah. Dalam Fatwa

DSN-MUI juga telah mengatur mengenai gadai syariah yang dilakukan oleh

lembaga keuangan syariah yaitu Fatwa No. 25/DSN-MUI/III2002 butir

kedua angka empat dijelaskan bahwa “besar biaya pemeliharaan dan

penyimpanan tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman” dan

Fatwa No.26/DSN-MUI/III/2002. Tentang rahn emas Dalam fatwa di atas

telah diatur bagaimana ketentuan dalam praktiknya,

Berdasarkan uraian di atas yang menjadi latar belakang dalam

penulisan ini, peneliti akan meneliti implementasi akad ija>rah pada gadai

12

(15)

6

emas yang dilakukan Bank BRISyariah dengan ketentuan-ketentuan yang

ada dalam Fatwa 25-26/DSN-MUI/III/2002. Penulis tertarik untuk meneliti

lebih jauh mengenai implementasi akad ija>rah yang dipakai sebagai dasar

untuk perhitungan biaya sewa tempat atau biaya penyimpanan dan

pemeliharaan. Maka dari itu penulis ingin menyusunnya dalam skripsi

berjudul “Tinjauan Fatwa No. 25-26/DSN-MUI/III/2002 Terhadap

Implementasi Akad Ija>rah Pada Sewa Tempat Produk Gadai Emas Bank

BRISyariah KC Surabaya Diponegoro”.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

1. Identifikasi masalah

Identifikasi masalah dilakukan untuk menjelaskan kemungkinan

cakupan yang dapat muncul dalam penelitian dengan melakukan

ifrntifikasi sebanyak-banyaknya, kemudian yang dapat diduga sebagai

masalah..13 Berdasarkan penjelasan sebagaimana pada latar belakang di atas maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang berkaitan dengan

judul penelitian adalah sebagai berikut:

a. Pembiayaan gadai emas di Bank BRISyariah

b. Implementasi akad dalam gadai syariah di Bank BRISyariah

c. {Perhitungan biaya penyimpanan dan pemeliharaan emas

d. Kepatuhan bank terhadap fatwa DSN-MUI

e. Implementasi akadija>rahpada produk gadai emas bank BRISyariah

13

(16)

7

f. Tinjauan fatwa DSN-MUI terhadap implementasi akad ija>rah pada

sewa tempat produk gadai emas bank BRISyariah

2. Batasan masalah

Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas, maka penulis

membatasi pada permasalahan sebagai berikut :

a. Implementasi akadija>rahpada produk gadai emas Bank BRISyariah

b. Tinjauan fatwa DSN-MUI terhadap implementasi akad ija>rah pada

sewa tempat produk gadai emas Bank BRISyariah

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam penelitian ini terdapat

dua rumusan masalah yaitu :

1. Bagaimana implementasi akad ija>rah pada produk gadai emas di bank

BRISyariah KC Surabaya Diponegoro ?

2. Bagaimana tinjauan Fatwa No.25-26/DSN-MUI/III/2002 terhadap

implementasi akad ija>rah pada sewa tempat produk gadai emas di Bank

BRISyariah KC Surabaya Diponegoro?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian

(17)

8

terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan

pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.14 Penelitian mengenai produk gadai memang pernah diteliti oleh

peneliti sebelumnya. Pada penelitian ini penulis membahas mengenai

implementasi akad ija>rah terhadap sewa tempat dalam produk Qardh

Beragun Emas, yaitu akad yang digunakan untuk penyimpanan dan

pemeliharaan terhadap barang yang digadaikan yakni emas batangan maupun

emas perhiasan.

Skripsi karya Robby Aris Subakti pada tahun 2005 dengan berjudul

“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Aplikasi Penetapan Tarif Ija>rah Pada

Barang Gadai Di Pegadaian Syari’ah Sidokare Sidoarjo”. Dalam

penelitiannya membahas tentang aplikasi penetapan tarif ija>rah pada barang

gadai di Pegadaian Syari’ah Sidokare Sidoarjo, dimana penetapan tarifnya

dihitung berdasarkan kelipatan per 10 hari; 1 hari dihitung sama dengan 10

hari. Hal ini diperbolehkan karena perhitungannya tidak dengan konsep

mempersamakan waktu yang berbeda. Akan tetapi, dengan menggunakan

dasar satuan waktu minimal (terkecil).15

Skripsi karya Musrifah pada tahun 2006 dengan judul “Tinjauan

Hukum Islam Tentang Dua Akad (RahndanIja>rah) Dalam Satu Transaksi Di

Pegadaian Syari’ah Baba’an Surabaya” membahas tentang dua akad yaitu

14

Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016),8.

15

(18)

9

rahn dan ija>rah dalam satu transaksi di Pegadaian Syari’ah Baba’an

Surabaya. Hal ini boleh menurut hukum Islam karena akad rahn dan akad

ija>rah obyeknya adalah tidak sama. Selain itu kedua akad tersebut

berdasarkan kesepakatan dan kerelaan.16

Skripsi karya Abdus Salam tahun 2012 dengan judul “Aplikasi Gadai

Emas di BPRS Bhakti Sumekar Sumenep Perspektif Fatwa Dewan Syariah

Nasional Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 25 26 III 2002 tentang

rahn (gadai) emas”. Penelitian ini membahas mengenai aplikasi gadai emas

di BPRS Bhakti Sumekar, dengan mengajukan permohonan dan membawa

emas sebagai jaminan dengan akad rahn, akad ija>rah sebagai sewa tempat

dan akad qard sebagai pinjaman kemudian Bank akan melakukan proses

penilaian atas emas jaminan tersebut dan mencairkan dana pinjamannya

sesuai kesepakatan. Penentuan biaya pemeliharaan Emas gadai dengan

mengkalkulasi semua biaya operasional, mulai biaya perawatan barang

jaminan, asuransi, gaji karyawan sampai setoran ke pemerintah kabupaten

Sumenep. Aplikasi gadai emas dan penentuan biaya pemeliharaan, mengacu

pada fatwa DSN-MUI dibenarkan karena adanya unsur yang saling

menguntungkan kedua belah pihak dan terdapat unsur kemaslahatan dan

tolong menolong dalam bermuamalah.17

16

Musrifah, “Tinjauan Hukum Islam Tentang Dua A kad (Rahn dan Ija>rah) Dalam Satu Transaksi Di Pegadaian Syari’ah Baba’an Surabaya”,(Skripsi -- IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2006). 15

17

(19)

10

Sekilas skripsi Abdus Salam ada kemiripan dengan masalah yang

diteliti, tetapi pada penilitian ini ada titik tekan di ija>rah yang menjadi salah

satu akad di gadai syariah. Penjelasan Abdus Salam lebih luas dalam

membahas permasalahan yang diaangkat, sedaangkan dalam penelitian ini

lebih fokus padaa implementasi akadija>rahditinjau dari fatwa DSN-MUI.

Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penulis akan

membahas mengenai implementasi akadija>rah pada biaya sewa tempat pada

produk gadai emas di Bank BRISyariah yang mana perhitungan biaya

tersebut berkaitan dengan jumlah pembiayaan.

E. Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan permasalahan yang diteliti diatas, maka pada

penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui implementasi akad ija>rah pada produk gadai emas di Bank

BRISyariah Diponegoro

2. Mengetahui tinjauan Fatwa No.25-26/DSN-MUI/III/2002 terhadap

implementasi akad ija>rah pada sewa tempat produk gadai emas di Bank

BRISyariah KC Surabaya Diponegoro

F. Kegunaan Hasil Penelitian

1. Dari segi teoritis, hasil penelitian diharapkan mampu berguna bagi

pengembangan ilmu pengetahuan, menambah wawasan mengenai akad

ija>rah yang terdapat pada produk gadai emas bagi siapa saja yang

(20)

11

2. Dari segi praktis, dapat memberikan informasi tambahan maupun

pembanding bagi peneliti berikutnya untuk membuat karya tulis ilmiah

yang lebih sempurna dan juga bagi pelaku kegiatan ekonomi dalam

menerapkan akad tersebut.

G. Definisi Operasional

Untuk mempermudah pemahaman dan memperoleh deskripsi

terhadap istilah-istilah yang terkandung dalam penelitian yang berjudul

tinjauan Fatwa 25-26/DSNMUI/III/2002 terhadap implementasi akad ija>rah

pada sewa tempat produk gadai emas Bank BRISyariah, maka perlu

dijelaskan makna dari setiap istilah tersebut yakni sebagai berikut :

AkadIja>rah : Akad pemindahan hak guna atas

barang atau jasa melalui pembayaran

upah sewa.18 Akad ija>rah digunakan pada produk qardh beragun emas di

Bank BRISyariah sebagai akad atas

penyimpanan dan pemeliharaan yang

dilakukan bank terhadap barang yang

dijaminkan.

Gadai emas : Barang yang dijadikan jaminan untuk

pembayaran hak (piutang) dalam hal

18

(21)

12

ini yang dijaminkan adalah emas, baik

emas perhiasan maupun batangan.

Fatwa No.25-26/DSN-MUI/III/2002: Fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI

tentangrahndanrahnemas.

H. Metode Penelitian

Metode merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan

tujuan dan kegunaan tertentu. Sedangkan penelitian dapat diartikan sebagai

sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina, serta

mengembangkan ilmu pengetahuan.19

Aspek-aspek yang digunakan peneliti untuk melakukan penelitian

meliputi :

1. Data yang dikumpulkan

Dalam pengumpulan data yang penulis pakai adalah penelitian

lapangan yaitu penelitian yang datanya diambil atau dikumpulkan dari

lapangan dimana kasus itu berada. Guna menjawab rumusan masalah

seperti yang telah dikemukakan diatas, maka data yang perlu dihimpun

meliputi:

a. Data primer

Datayang penulis dapatkan langsung dari obyek yang diteliti

yakni mengenai produk gadai emas, data mengenai praktik gadai emas,

data mengenai mekanisme akad ija>rah, data perhitungan biaya sewa

19

(22)

13

tempat, dokumen-dokumen yang berhubungan dengan praktik gadai

emas.

b. Data sekunder

Data yang peneliti dapatkan dari literatur-literatur kepustakaan

yang bisa berupa buku-buku, kitab atau artikel yang berkaitan dengan

penelitian ini antara lain :

Konsep umum tentang rahn yang meliputi pengertianrahn, dasar

hukum rahn, rukun dan syarat rahn, hak dan kewajiban para pihak

(rahin dan murtahin), berakhirnya akad rahn, serta pemanfaatan dan

penjualan barang jaminan.

Tentang ija>rah yang meliputi pengertian ija>rah, dasar hukum

ija>rah, \rukun dan syarat ija>rah, dan ketentuan umum pada ija>rah

beserta biaya sewa tempat.

2. Sumber data

a. Sumber data primer

Sumber data primer adalah sumber utama dimana data diperoleh

secara langsung dari subyek yang diteliti.Interviewi dari perseorangan

ataupun dari suatu instansi untuk keperluan penelitian, seperti dengan

melakukan wawancara secara langsung dengan pihak-pihak yang

berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.20 Data tersebut diperoleh melalui wawancara dengan officer gadai Bank BRISyariah

20

(23)

14

KC Surabaya Diponegoro, Fatwa DSN-MUI, Dokumen-dokumen yang

berkaitan dengan praktik gadai emas.

b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung

diperoleh dari sumber pertama dan telah tersusun dalam bentuk

dokumen-dokumen tertulis.21

Beberapa data sekunder dalam bentuk literatur, antara lain :

1. Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqih Muamalah.

2. Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik.

3. Rachmat Syafei. Fiqih Muamalah

4. Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu

5. M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah

6. Sayyid Sabiq,Fiqh Sunnah

3. Teknik pengumpulan data

Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti guna

mendapatkan data yang valid antara lain:

a. Observasi

Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan

dengan cara terjun langsung dan mengamati (melihat, mendengar, dan

merasakan secara langsung)22. Penggunaan teknik ini dilakukan untuk

21

Ibid., 65

22

(24)

15

melihat langsung proses terjadinya akad, praktek gadai emas, di Bank

BRISyariah KC Surabaya Diponegoro.

b. Wawancara

Wawancara adalah metode pengambilan data dengan cara

menanyakan sesuatu kepada seseorang yang menjadi informan atau

responden. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan staff gadai

Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro.

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel

yang berupa catatan, buku, surat kabar, dan lain sebagainya. Dengan

adanya dokumentasi dalam suatu penelitian maka dapat meningkatan

keabsahan dan penelitian lebih terjamin, karena peneliti betul-betul

melakukan penelitian ke lapangan secara langsung23. Adapun dalam skripsi ini penulis mencari data yang berkaitan dengan penelitian

antara lain: formulir atau dokumen yang berkaitan dengan gadai emas

di Bank BRI Syariah.

4. Teknik pengelolaan data

Setelah mendapatkan beberapa data yang dibutuhkan, maka untuk

menyusun data dan mempermudah peneliti dalam melakukan analisa data,

maka peneliti mengolah data tersebut melalui beberapa teknik

sebagaimana berikut:

23

(25)

16

a. Editing

Editing adalah pengecekan atau pengkoreksian data yang

dikumpulkan.24 Adapun penggunaan metode ini digunakan untuk memeriksa, meneliti serta mendeskripsikan data yang relevan dengan

penelitian terhadap biaya sewa tempat pada produk gadai emas di

Bank BriSyariah KC Surabaya.

b. Organizing

Organizing adalah mengatur dan menyusun sumber data

sedemikian rupa sehingga diperoleh gambaran yang sesuai dengan

rumusan masalah serta mengelompokkan data yang diperoleh dari

Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro.25 c. A nalyzing

A nalyzing merupakan tindak lanjut terhadap teknik sebelumnya

yaitu dengan menganalisa data yang terkait dengan praktek akadija>rah

pada produk gadai emas di Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro

sehingga memunculkan suatu kesimpulan.

5. Teknik analisis data

Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis secara deskriptif

kualitatif, yaitu analisis yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati

dengan metode yang telah ditentukan.26

24

Ibid.

25

Chalid Narbuko dan Abu Achmadi,Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 153.

26

(26)

17

Peneliti menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Tujuannya adalah

menafsirkan dan menuturkan data yang bersangkutan dengan situasi yang

sedang terjadi bagaimana implementasi akad ija>rah pada sewa tempat

atau biaya penyimpanan dan pemeliharaan pada produk gadai emas di

Bank BRISyariah KC Surabaya Diponegoro.

Peneliti menggunakan metode pola pikir untuk menganalisa suatu

data yaitu pola pikir deduktif yang berpijak pada teori teori tentang rahn

dan ija>rah dengan kemudian dikaitkan praktek gadai emas dan

perhitungan biaya sewa tempat atau biaya penyimpanan dan pemeliharaan

terhadap emas yang dijaminkan yang nanti akan ditarik kesimpulan atas

praktek tersebut.

I. Sistematika Pembahasan

Agar penulisan dalam penelitian ini tidak keluar dari jalur yang telah

ditentukan dan bisa dipahami serta lebih sistematis, maka penulis membagi

lima bab pada penelitian ini yang sistematikanya sebagai berikut:

Bab pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang

masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,

definisi operasional, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, landasan teori mengenai implementasi akad Ija>rah pada

sewa tempat produk gadai emas, yaitu teori tentang akadrahn, dalam hal ini

memuat pengertian gadai (rahn) dan dasar hukumnya, rukun dan syarat, hak

(27)

18

barang jaminan, pendapat para ulama tentang pemanfaatan barang gadai

(murtahin), batalnya akadrahn. Teori akad ija>rahmeliputi pengertian ija>rah,

dasar hukum, rukun dan syarat, beserta biaya atau upah dalam akad ija>rah,

dan Fatwa No.25-26/DSNMUI/III/2002 tentangrahndanrahnemas.

Bab ketiga, merupakan penyajian data mengenai implementasi akad

ija>rah terhadap sewa tempat pada produk gadai emas Bank BRISyariah KC

Surabaya. Pada bab ini, berisi mengenai kelembagaan Bank BRISyariah KC

Surabaya Diponegoro serta praktik gadai emas dan penerapan akad ija>rah

dalam produk gadai emas.

Bab keempat, berisi analisis terhadap implementasi akad ija>rah

terhadap biaya sewa tempat pada produk gadai emas di Bank BRISyariah

KC Surabaya Diponegoro dan Tinjauan Fatwa No.25-26/DSNMUI/III/2002

terhadap biaya sewa pada produk gadai emas di Bank BRISyariah KC

Surabaya Diponegoro.

Bab kelima, merupakan akhir dari penelitian yang berisikan tentang

kesimpulan dan saran. Kesimpulan berisi tentang beberapa hal yang

berkaitan dengan hasil penelitian sedangkan saran adalah beberapa masukan

(28)

19 BAB II

RA HN,IJA >RA H, DAN FATWA DSN-MUI

A.Rahn

1. PengertianRahn

Secara etimologi, gadai (rahn) merupakan bentuk masdar dari :

-

yang artinya menggadaikan, mengutangi, jaminan

utang, menungguhkan1. Dalam merumuskan pengertianrahnsecara bahasa mempunyai dua makna yaitu (tetap dan lama), yakni tetap

atau berarti (pengekangan atau keharusan).2 Rahn adalah

menjadikan harta benda sebagai jaminan utang agar utang itu dilunasi

(dikembalikan), atau dibayarkan harganya jika tidak dapat

mengembalikannya.3 Secara sederhana bahwa rahn adalah semacam jaminan utang dalam gadai.

Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian hutang piutang

untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang

berhutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap hutangnya

itu. Barang jaminan tetap menjadi hak milik orang yang menggadaikan

(orang yang berhutang) tetapi dikuasai oleh penerima gadai (yang

berpiutang). Gadai mempunyai nilai sosial yang tinggi dan dilakukan

secara suka rela atas dasar tolong menolong.4

1

Ahmad Warson Munawar, Kamus A l-Munawir A rab-Indonesia Terlengkap, edisi kedua (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), 542.

2

Rachmat Syafe’i,Fiqih Muamalah, III (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006), 159.

3

Abdullah bin Muhammad ath-thayyar,Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam Pandangan 4 Mazhab, (Yogyakarta: Maktabah al-hanif, 2009), 174.

4

(29)

20

2. Landasan Hukum

Gadai hukumnyaja>iz(boleh) menurut al-Qur’an, sunnah dan ijma’.

a. Dalil al-Quran menganairahnterdapat dalam QS. Al-Baqarah: 283

ð  ✁✂ ✄☎✆  ✝✞  ✟ ✠ ✡☛✟ ☞✌✝ ✍✞✎✟ ✏✁✑   ð✟ ✌✒ ✂✓✆ ✔✆ ✌✕✝✖✟ ✌✗✘ ✌✘ ✁✆✆✒ ✙ ✚ ✘ ✁✚   ✠ ✡✁✟ ☎ ✞✞✛✘  ✆ ✞✁✆  ✁✜ð✟ ✍✌ ✁✁✟  ✘ ✞ð ✆ ✞✟ ✢ð✆ 

Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. Al-Baqarah : 283).5

b. Dalil as-Sunnah salah satunya yang bersumber dari ‘Aisyah r.a.

)

:

(

Artinya : “Dari ‘Aisyah ra berkata, bahwa sesungguhnya Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran

ditangguhkan dengan menggadaikan baju besinya.”6

Dalam hadith tersebut nabi melaksanakan gadai ketika sedang di

Madinah. Ini menunjukkan bahwa gadai tidak terbatas hanya untuk

5

Departemen Agama RI,A l-Quran dan terjamahnya, (Bandung: Syaamil quran, 2012), 49. 6

(30)

21

orang yang sedang dalam perjalanan saja, tetapi juga bagi orang yang

tinggal di rumah.

c. Dasar ijma’

Ijma’ ulama atas hukum rahn adalah mubah (boleh). hanya

beberapa dari mereka berbeda pendapat seperti mazhab Dzahiri,

Mujahid dan al-Dhahak. Mereka berpendapat hanya membolehkan gadai

pada waktu bepergian saja berdasarkan al-Baqarah ayat 283 diatas,

sedangkan jumhur ulama sepakat membolehkan gadai, tetapi tidak

diwajibkan sebab gadai hanya jaminan saja jika kedua belah pihak tidak

saling percaya. Mereka tidak mempertentangkan kebolehannya

demikian pula landasan hukumnya, jumhur berpendapat disyariatkan

pada waktu bepergian dan juga berada ditempat domisilinya, hal ini

berdasarkan praktik nabi. Sedangkan ayat yang mengaitkan gadai

dengan bepergian itu tidak dimaksudkan sebagai syarat sahnya gadai,

melainkan hanya menunjukkan bahwa gadai itu pada umumnya

dilakukan pada waktu sedang bepergian (pada waktu itu).7 Disamping itu, penyebutan shafar (bepergian) dalam ayat diatas keluar dari yang

umum (kebiasaan).8

7

Masjfuk Zuhfi,Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: Haji Masagung, 1992) 118.

8

(31)

22

3. Rukun dan Syaratrahn

Rukun merupakan unsur yang harus dipenuhi secara tertib dalam

setiap perbuatan hukum. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun rahn

itu hanyaija>b(pernyataan penyerahan barang sebagai agunan/jaminan oleh

pemilik barang). Disamping itu menurut mereka untuk kesemmpurnaan dan

untuk mengikatnya akad rahn ini, maka diperlukan al-qabd (penguasa

barang) oleh pemberi utang.9

Sedangkan menurut Syafi’i, rukun rahn ada empat, yaitu: Si>ghat,

‘a>qid,marhun, danmarhu>n bih. Namun dari keempat rukun ini mempunyai

syarat tertentu yang harus dipenuhi dalam kelestarian adanya akadrahn.

Dari penjelasan diatas dapat kita pahami bahwa pada dasarnya

rukun-rukun yang ada padarahnmeliputi :

a. Rahin(yang menggadaikan), dalam konteks perbankan, yaitu gadai emas

syariah adalah nasabah

b. Murtahin(yang menerima gadai), yaitu bank.

c. Marhun(barang yang digadaikan), yaitu emas batangan atau perhiasan.

d. Marhun bih(utang), yaitu pembiayaan yang diterima nasabah (Rahin)

e. Sighat (ijab-qabul), yaitu akad kontrak yang dilakukan antara nasabah

dan pihak bank atau pihak yang menggadaikan dengan yang menerima

gadai.

9

(32)

23

Dari rukun-rukun yang telah disebutkan diatas, ada syarat yang harus

dipenuhi dari setiap rukunnya. Syarat – syarat rahntersebut meliputi hal –

hal sebagai berikut :

a. Rahindanmurtahin

1. Cakap bertindak hukum, menurut jumhur ulama adalah orang-orang

yang telah baligh berakal. Oleh karena itu, tidak sah anak kecil dan

orang gila. Menurut ulama Hanafiyah, kedua belah pihak yang

berakad tidak disyaratkan baligh, tetapi cukup berakal. Oleh sebab

itu, menurut mereka anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan

akadrahn, dengan syarat mendapatkan persetujuan dari walinya.10 2. Layak untuk melakukan transaksi pemilikan. Setiap orang yang sah

melakukan jual beli, juga sah untuk melakukan gadai karena gadai

seperti juga jual beli merupakan pengelolaan harta.

b. Marhun(barang yang digadaikan)

Adapun syarat-syarat barang gadai yang harus dipenuhi menurut

ulama Hanafiyah ialah disyari’atkan harus berupa harta yang memiliki

nilai, diketahui dengan jelas dan pasti, bisa untuk diserahkan, dipegang,

dikuasai, tidak tercampur dengan sesuatu yang tidak termasuk

al-marhu>n, terpisah dan teridentifikasi, baik itu berupa harta tidak bergerak

atau harta bergerak, baik itu hartamithliatauqi>mi.11

10

Nasrun Haroen,Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2000), 215.

11

(33)

24

Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, gadai bisa sah dengan

dipenuhinya tiga syarat, yakni:

1. Harus berupa barang, karena utang tidak bisa digadaikan

2. Penetapan kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak

terhalang

3. Barang yang digadaikan bisa dijual manakala sudah tiba masa pelunasan

utang gadai.

c. Marhun bih(utang)

1. merupakan hak yang wajib diberikan / diserahkan kepada pemiliknya

2. memungkinkan pemanfaatannya. apabila sesuatu yang menjadi utang

tidak bisa dimanfaatkan, tidak sah hukumnya.

3. dapat dikuantifikasikan atau dapat dihitung jumlahnya. Apabila tidak

dapat dikuantifikasikan maka tidak sah.12 4. utang boleh dilunasi dengan agunan tersebut.13 d. Sighat(ijab-qabul)

1. Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertantu dan juga dengan

waktu-waktu masa depan.

2. Rahnmempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang, seperti

halnya akad jual beli. Oleh karena itu, tidak boleh diikat dengan

syarat tertentu atau dengan suatu waktu pada masa depan.

12

Syafii Antoniio,Bank syariah: wacana ulama dan cendekiawan..., 215.

13

(34)

25

4. Akibat hukum

Apabila akad gadai telah sempurna dengan diserahkannya barang

yang digadaikan (marhu>n) kepada murtahin, maka timbulah hukum-hukum

sebagai berikut:

a. Adanya hubungan antara utang dengan jaminan

Utang tersebut hanya sebatas utang yang diberikan jaminan, bukan

utang-utang yang lain.

b. Hak untuk menahan jaminan

Adanya hubungan antara utang dan jaminan memberikan hak kepada

murtahinuntuk menahan jaminan di tangannya atau di tangan orang lain

yang disepakati bersama dengan tujuan untuk mengamankan utang.

Apabila utang telah jatuh tempo maka jaminan bisa dijual untuk

membayar utangnya.

c. Menjaga barang jaminan (marhu>n)

Dengan adanya hak menahan jaminan, makamurtahinwajib menjaga

jaminan tersebut seperti ia menjaga hartanya sendiri, karena jaminan

tersebut merupakan titipan dan amanah.

d. Pembiayaan atas barang jaminan (marhu>n)

Para Ulama sepakat bahwa pembiayaan atas jaminan dibebankan

kepada ra>hin. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang jenis

(35)

26

1) Menurut Ulama Hanafiyah, pembiayaan dibagi antara ra>hin selaku

pemilik barang danmurtahin, yang dibebani pemeliharaannya dengan

rincian sebagai berikut:

a) Setiap biaya yang berkaitan dengan kemaslahatan barang jaminan

dibebankan kepadara>hinkarena barang tersebut miliknya.

b) Setiap biaya yang berkaitan dengan pemeliharaan barang jaminan

dibebankan kepada murtahin, karena ia yang menahan barang

tersebut termasuk resikonya.

2) Menurut Jumhur yang terdiri dari atas Malikiyah, Syafi’iyah dan

Hanabilah, semua biaya yang berakitan dengan barang jaminan

dibebankan kepada ra>hin, baik yang berkaitan dengan biaya

menjaganya, pengobatan, maupun biaya lainnya. Menurut Malikiyah

apabila ra>hin tidak bersedia menanggung biaya tersebut, biaya

dibebankan kepada murtahin. Akan tetapi menurut Syafi’iyah hakim

harus memaksara>hinuntuk memberikan biaya yang berkaitan dengan

barang jaminan, apabila ia berada ditempat dan dipandang mampu.

Apabila ra>hin tidak mampu, maka hakim bisa memerintahkan

murtahin untuk membiayainya dan biaya tersebut kemudian

diperhitungkan sebagai utang ra>hin. Menurut Hanabilah apabila

murtahin mengeluarkan biaya tanpa persetujuan ra>hin, padahal ia

mampu untuk meminta izin kepadanya, maka berarti murtahin

melakukannya dengan sukarela, dan oleh karenanya ia tidak berhak

(36)

27

5. Penjualan barang gadai setelah jatuh tempo

Gadai merupakan jaminan utang dan tujuan gadai adalah

mendapatkan pelunasan utang melalui harga barang yang digadaikan jika

rahin gagal melunasi utangnya setelah jatuh tempo.14 Jika telah jatuh tempo, orang yang menggadaikan barang berkewajiban melunasi utangnya.

Jika tidak melunasinya, dan dia tidak mengizinkan barangnya dijual untuk

kepentingannya, hakim berhak memaksanya untuk melunasi atau menjual

barang yang dijadkan jaminan. Jika hakim telah menjualnya, kemudian

terdapat kelebihan dari kewajiban yang harus dibayar oleh rahin, kelebihan

itu milikrahin, dan jika masih belum bisa untuk melunasi utangnya, rahin

berkewajiban melunasi sisanya.15

Para fuqaha berpendapat saat jatuh tempo, murtahin boleh menuntut

rahin untuk melunasi utangnya. Jika utangnya dibayar, permasalahannaya

berakhir. Akan tetapi, jika rahin tidak melunasi utangnya dengan

melambat-lambatkan waktu, mempersulit, atau menghilangkan diri, hakim

boleh memerintahkanmurtahinmenjual barang gadaian.16

6. Berakhirnyarahn

Akadrahn dipandang berakhir dengan beberapa keadaan berikut:

a. Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya.

14

Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa A dillatuhu, (Jakarta: Gema Insani. 2011), 275.

15

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12, terj. Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung: Al-Ma’arif, 1999), 144-145.

16

(37)

28

Dengan penyerahan tersebut, akadrahnberakhir. Jumhur ulama selain

Syafi’i berpendapat, karena barang gadai merupakan jaminan utang, jika

diserahkan kepada pemiliknya, tidak ada lagi jaminan.

b. Rahnmembayar utangnya.

c. Dijual dengan perintah hakim atas permintaanrahin.

d. Pembebebasan utang.

Pembebasan utang dalam bentuk apa saja, menandakan habisnyarahn

meskipun dengan cara pemindahan olehmurtahin.

e. Pembatalan olehmurtahin.

f. Rusaknya barangrahnbukan oleh tindakan atau penggunaanmurtahin

g. Memanfaatkan barangrahndengan penyewaan, hibah, atau sedekah,

baik dari pihakrahinmaupunmurtahin.

B.Ija>rah

1. PengertianIja>rah

Ija@rahberasal dari kataal-ajru( ) yang berartial-‘iwad}( )

yang memiliki arti ganti. Dari sebab ituath|- th|awa@b (pahala) dinamai ajru

(upah).17Menurut jumhur ulama ijārah diartikan dengan menjual manfaat,18

yaitu akad atas suatu kemanfaatan kemudian mendapat imbalan.

Menurut pengertian syara’, ija>rah adalah suatu jenis akad untuk

mengambil manfaat dengan jalan penggantian.19 Secara istilah, banyak

17

Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah 13, terj. Kamaluddin A. Marzuki (Bandung: Al-ma’arif, 1999),15.

18

(38)

29

definisi mengenai ija>rah yang telah dikemukakan, antara lain sebagai

berikut:

Menurut ulama Hanafiyah, ija>rah adalah akad yang membolehkan

kepemilikan yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa

dengan imbalan.

Menurut ulama Malikiyah, ija>rah adalah nama bagi akad-akad untuk

kemanfaatan yang bersifat manusiaei dan sebagian yang dapat dipindahkan.

Menurut ulama Syafi’iyah, ija>rah adalah akad atas suatu kemanfaatan

yang mengandung maksud tertentu danmubah serta menerima pengganti

atau kebolehan dangan pengganti tertentu.20

Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional bahwa ija>rah adalah akad

pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu

tertentu melalui pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti dengan

pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Dengan demikian akad ija>rah

tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya perpindahan hak guna saja

dari yang menyewakan kepada penyewa.21

Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa ija>rah adalah

menukarkan sesuatu dengan imbalan atau biasa disebut sewa menyewa

atau upah mengupah. Sewa menyewa merupakan jual beli manfaat atas

barang tertentu, sedangkan upah mengupah merupakan jual beli jasa atau

tenaga atas perbuatan atau pekerjaan tertentu.

19

Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah 13, terj. Kamaluddin A. Marzuki (Bandung: Al-ma’arif, 1999), 7.

20

Rachmat Syafe’i,Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 122

21

(39)

30

2. Landasan HukumIja>rah

Ija>rah baik dalam bentuk sewa menyewa maupun dalam bentuk upah

mengupah merupakan bentuk muamalah yang telah disyariatkan dalam

Islam. Hukum asalnya adalah boleh atau mubah apabila dilakukan sesuai

dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam hukum Islam.22 Berikut landasan hukum yang dijadikan landasan oleh para ulama

akan kebolehan ija>rah bila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang

ditetapakn syara’ berdasarkan ayat Al-Qur’an, Al-Hadis, dan Ijma yaitu:

a. Al-Qur’an

Landasan hukum mengenaiija>rahterdapat dalam surat al-Baqarah:

233 sebagai berikut:

 ✣✤..  ✤✥ ✥ ✦✧★  ✩✪✥ ✪ ✩✤  ★✧ ✪ ✩     

Artinya: “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kemu memberikan pembayaran menurut yang patut...” (Q.S. al-Baqarah: 233)23

Kemudian landasan hukum mengenai ija>rah terdapat dalam surat

al-Qasash ayat 26 sebagaimana berikut :

                 

Artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya." (QS. al-Qasash: 26)24

22

Amir Syarifudin,Garis-garis Besar Fiqh, Cet. II, (Jakarta: Kencana, 2003), 216. 23

Departemen Agama RI,A l-Quran dan terjamahnya, (Bandung: Syaamil quran, 2012), 37. 24

(40)

31

b. Al-Hadis

)

(

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)25

c. Ijma’

Umat Islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ija>rah

dibolehkan sebab bermanfat bagi manusia.26 Selain itu, sebagian masyarakat sangat membutuhkan akad ini karena dapat meringankan

beban. Tentang di syariatakan sewa menyewa, semua kalangan sepakat

dan hampir semua ulama menyetujuinya.

3. Rukun dan SyaratIja>rah

Menurut ulama Hanafiyah, rukun ija>rah adalah ijab dan qabul, antara

lain dengan menggunakan kalimat :al-ija>rah, al- isti’jar, al- ikhtira’, dan

al-ikra.27

Sedangkan rukunija>rahmenurut mayoritas ulama ada empat, yaitu

a. A qid, yaitu orang yang melakukan akad yakniajirsebagaipenerima sewa

danmusta’jirsebagai penyewa jasa atau penerima upah.

b. Sighat(ijab qabul), yaitu ikatan kata antaraajirdanmusta’jir.

25

Ibnu Hajar Al-Asqalani,Bulughul Maram Terjemah Irfan Maulana Hakim, Cet. I, (Surabaya: Sinar Wijaya, 2010), 373.

26

Rachmad Syafe’i,Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 124.

27

(41)

32

c. Ujrah (harga sewa), biaya yang dikeluarkan atas manfaat yang telah

diperoleh.

d. Manfaat barang, yaitu sesuatu yang diperoleh dari barang yang

disewakan.

Dalam akadija>rah ada empat macam syarat sebagaimana dalam akad

jual beli, yaitu:

a. Syarat terjadinya akad (syart al-in’iqad)

Syarat yang berkaitan dengan aqid adalah berakal, mumayyiz

menurut Hanafiyah, dan baligh menurut Syafi’iyah dan Hanabilah.

Dengan demikian, akad ijārah tidak sah apabila pelakunya adalah orang

gila atau masih di bawah umur. Adapun Syafi’iyah dan Hanabilah

berpendapat bahwa syarat taklif (pembebbanan kewajiban syariat),

yaitu baligh dan berakal adalah syarat terjadinya akad ija>rah karena

sama halnya dengan jual beli.

b. Syarat pelaksanaan (syarth an-Nafaadz)

Agar akad ija>rah terlaksana disyaratkan terpenuhinya hak milik

atau kekuasaan atas objek ija>rah. Maka tidak sah apabila tidak

mempunyai hak kepemilikan atau kekuasaan atas objekija>rah.

c. Syarat sahija>rah(syarth ash-shihhah)

Syarat sahnya ija>rah harus dipenuhi beberapa syarat yang

(42)

33

upah (ujrah) dan akadnya sendiri. Diantara syarat-syarat tersebut adalah

sebagai berikut:28

1) Kerelaan dari kedua pelaku akad. Syarat ini didasarkan pada firman

Allah dalam surah An-Nisa (4) ayat 29:

✫✬                                

Artinya: wahai orang-orang yang beriman! janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirim. Sungguh Allah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa’: 29)29

2) Objek akad bermanfaat dengan jelas.

Jika manfaat itu tidak jelas dan dapat menyebabkan

perselisihan, maka akadnya menjadi tidak sah karena ketidakjelasan

menghalangi penerimaan, penyimpanan dan penyerahan sehingga

tidak tercacpai maksud akad tersebut. Kejelasan objek akad terwujud

dengan penjelasan manfaat, yaitu dengan mengetahui barang yang

disewakan. Selanjutnya adalah penjelasan masa waktu, karena

penjelasan waktu ini sangat penting maka akad menjadi jelas. Kalau

tidak ada penentuan waktu maka akad menjadi tidak jelas kadarnya

kecuali dengan adanya penentuan waktu. Dengan penentuan tersebut

maka akan menghindarkan dari hal hal yang merugikan. Kemudian

mengenai penjelasan objek kerja, hal ini menjadi sebuah tuntutan

28

Rahmad Syafe’i,Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 126-128.

29

(43)

34

untuk menghindari ketidakjelasan yang bisa mengakibatkan rusaknya

akad.

3) Hendaknya objek akad harus dapat diserahkan

Menurut kesepakatan fuqaha, akad ija>rah tidak dibolehkan

terhadap sesuatu yag dapat diserahkan, baik secara nyata seperti

menyewakan onta yang lepas maupun secara syara’ seperti seorang

dokter mencabut gig yang masih sehat.

4) Manfaat dari objekija>rahdibolehkan menurut syara’

Hendaknya manfaat yang dijadikan objek ija>rah dibolehkan

secara syara, seperti menyewakan buku, rumah, apartemen,tempat

penyimpanan barang berharga dan sebagainya.

5) Tidak menyewakan pekerjaan yang diwajibkan kepadanya.

6) Orang yang disewa tidak boleh mengambil manfaat dari pekerjaannya

7) Obyek yang disewakan terhindar dari cacat.

8) Syarat barang sewaan adalah dapat dipegang atau dikuasai.

4. Macam-macamija>rah

a. A l-Ija>rah ‘A la> A l-Manafi’. Ija>rah atas manfaat, disebut juga sewa

menyewa. Dalam ija>rah bagian pertama ini, objek akadnnya adalah

manfaat dari suatu benda.

b. Ija>rah A l-Zimmah. ija>rah atas pekerjaan, disebut juga upah-mengupah.

Dalam ija>rah bagian kedua ini, objek akadnya adalah amal atau

(44)

35

Secara global jenis-jenisija>rahdapat dibagi menjadi beberapa bentuk.30

a. Ija>rah Mutlaqah, adalah proses sewa menyewa yang memberikan

kesempatan bagi penyewa untuk pemanfaatan dari barang sewa untuk

jangka waktu tertentu dengan imbalan yang besarnya telah disepakati

bersama.

b. Ba>i A t-Takjiri, adalah suatu kontrak sewa yang diakhiri dengan

penjualan. Dalam kontrak ini pembayaran sewa telah diperhitungkan

sehingga pembelian terhadap barang secara angsur. Jenisija>rahini dapat

dikombinasikan dengan ba>i al-muraba>hah untuk tujuan pengadaan

barang dan pembiayaan impor. Bentuk kombinasi ini telah banyak

disepakati oleh bank-bank syariah di luar negeri dengan sukses, proses

tersebut yaitu setelah bank membiayai pengimporan barang sesuai

dengan pesanan nasabah secara muraba>hah langsung menyewakan

kepada nasabah untuk jangka waktu tertentu dan pada akhir pembiayaan

nasabah memiliki aset tersebut.

5. Biaya sewa dalamija>rah

Biaya sewa juga termasuk dalam bab ija>rah sebagaimana perjanjian

kerja. Menurut bahasa ija>rah berarti “upah” atau “ganti” atau imbalan,

30

(45)

36

karena itu lafadz ija>rah mempunyai pengertian umum yang meliputi upah

atas pemanfaatan suatu benda atau imbalan dari suatu aktifitas.31

Antara ajirdan muajirada biaya atau dengan kata lain imbalan yang

diterima muajir atas sewa manfaat yang dilakukannya. Manakala akad

sewa telah berlangsung, penyewa sudah berhak mengambil manfaat dan

orang yang menyewakan berhak pula mengambil upah.

Islam tidak menetapkan ketentuan-ketentuan biaya pembayaran

sewa, karena tentang harga dari barang yang disewakan seperti halnya

dalam jual beli, akan tetapi Islam menerangkan kewajiban adanya

penggantian biaya sewa di dalam ija>rah sewaktu dalam akad. Adapun

menurut aturan yang mesti sesuai dengan kemutlakan ija>rah itu sendiri,

maka harus kontan sewa atau upahnya, hanya saja disayaratkan dalam

ija>rah adanya tempo waktu, maka dalam keadaan yang demikian upah sewa

dapat dijadikan tempo waktu.32

Terkait dengan syarat dalam biaya sewa, para ulama telah

menetapkan beberapa syarat yaitu:

a. Syarat upah berupa harta yang bernilai dan diketahui

Mengetahui upah (ujrah) tidak sah keculai dengan isyarat dan

penentuan, ataupun dengan penjelasan. Menurut Abu Hanifah,

diharuskan mengetahui tempat pelunasan upah jika upah itu termasuk

barang yang perlu dibawa dan membutukan biaya. Sedangkan menurut

31

Helmi karim,Fikih Muamalah, (Jakarta: PT, Grafindo, Persada, 1993), 29.

32

(46)

37

ash-Shahiban, hal itu tidak disyariatkan dan tempat akad cukup

dijadikan tempat untuk pelunasan.

Syarat upah dibawah ini memiliki perbedaan pendapat menurut

ash-shahiban dan ulama Syafi’iyah berdasarkan qiyas, tidak

membolehkan menyewa seorang perempuan untuk menyusui ditambah

makan dan pakaiannya karena ketidak jelasan upahnya, yaitu makan dan

pakaian. Sedangkan Abu Hanif dan Ulama Malikiyah membolehkan

menyewa seseorang untuk melayani atau menyewa hewan ditambah

makannya dan pakaian atau sejenisnya untuk pembantu itu.

Ketidak jelasan upah dalam penyewa tersebut tidak menyebabkan

pertikaian karena dalam kebiasaan yang berlaku, masyarakat bersikap

toleran terhadap perempuan yang disewa untuk menyusui diberi

kemudahan demi kasih sayang terhadap anak-anak, sehinga hal itu sudah

menjadi hal yang umum dalam masyarakat.33

b. Upah tidak berbentuk manfaat yang sejenis dengan ma’qud ‘alaih

(obyek akad)34

Upah tidak berbentuk manfaat yang sejenis dengan ma’qud ‘alaihi

(obyek akad). Seperti ija>rah tempat tinggal dibayar dengan tempat

tinggal, jasa dibayar dengan jasa, penunggagan dibayar dengan

penunggangan, dan pertanian dibayar dengan pertanian. Menurut ulama

Malikiyah, penerapan prinsip ini dalam ija>rah adalah bahwa akad ini

33

Wahbah az-Zuhaili, A l-Fiqh al-Islami wa A dillatuhu, (penerjem: fiqih islam wa adillatuhu, Abdul hayyie Al-Kaffaani dkk,jilid 6, (Jakarta: Gema Insani, 2011), 400.

34

(47)

38

menurut mereka terjadi secara sedikit demi sedikit sesuai dengan

terjadinya manfaat. Maka manfaat pada waktu akad itu tidak ada

seutuhnya, sehingga salah satu pihak menjadi terlambat dalam

menerima manfaat secara seutuhnya.

Secara umum syarat yang berkaitan dengan ujrah/upah dapat

disimpulkan bahwaujrahharus jelas dan diketahui serta tidak berbentuk

manfaat. Karena upah tersebut merupakan pembayaran atas nilai

manfaat yang diterima kepada seseorang yang melakukan pekerjaannya

dalam bentuk imbalan yang harus diketahui dengan jelas.

6. Berakhirnyaija>rah

Pada dasarnya perjanjian dalam akad ija>rah adalah akad lazim,

masing-masing pihak yang yang terikat dalam akad tidak berhak

membatalakan perjanjian (tidak mempunyai hak fasakh) karena termasuk

akad pertukaran.

Jiika salah satu pihak (yang menyewakan atau penyewa) meninggal

dunia, perjanjian sewa menyewa tidak akan menjadi batal, asal yang

menjadi obyek sewa masih ada. Sebab dalam hal salah satu pihak

meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh ahli warisnya.35 Secara umum Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwa akad ija>rah

berakhir berdasarkan sebab-sebab sebagai berikut:

a. Akad ija>rah telah habis atau selesai. Menurut ulama Hanafiyah salah

satu dari pihak yang berakad ada yang meninggal maka akad ija>rah

35

(48)

39

berakhir, karena warisan berlaku dalam barang yang ada dan dimiliki,

selain itu manfaat dalam akad ija>rah terjadi bertahap sehingga ketika

orang yang mewariskan meninggal maka manfaatnya menjadi tidak ada.

Namun menurut jumhur ulama akad ija>rah tidak batal dengan

meninggalnya salah satu pihak yang berakad. Hal ini dikarenakan akad

ija>rahmerupakan akad yang mengikat seperti halnya akad jual beli.

b. Akad ija>rah dapat berakhir dengan adanya pengguguran akad, hal ini

dikarenakan akad ija>rah dapat dikatakan sebagai akad tukar menukar

sehingga akadija>rahdapat dibatalkan seperti halnya akad jual beli.

c. Akad ija>rah berakhir dengan adanya kerusakan pada barang yang

disewakan. Namun ada beberapa pendapat bahwa rusaknya barang tidak

dapat membatalkan akad ija>rah, diantaranya adalah pendapat

Muhammad Ibnul Hasan bahwa ija>rah tidak batal karena manfaatnya

yang hilang dapat dipenuhi lagi.

d. Akadija>rah berakhir dikarenakan telah habisnya masaija>rahkecuali ada

uzur atau halangan, karena akad ija>rah ditetapkan sampai batas tertentu

maka akad ija>rah dianggap habis ketika sampai pada batas waktunya.

Pendapat ini adalah pendapat yang disepakati oleh para fuqoha.36

36

(49)

40

C. Fatwa Dewan Syariah Nasional

Fatwa berasala dari bahasa Arab al-fatwa, walfutya jamaknya

fatawa37 yang telah diadopsi dan membumi dalam kehidupan masyarakat

Indonesia. Kamus istilah Keuangan dan Perbankan Syariah mendefinisikan

fatwa sebagai penjelasan tentnang hukum Islam yang diberikan oleh seorang

fa>qihatau lembaga fatwa kepada umat, yang muncul karena adanyapertanyaan

ataupun tidak.38 Secara sederhana fatwa menurut KBBI adalah jawab (keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah.39

Dalam struktur organisasi bank syariah, ada lembaga yang bertugas

mngawasi dan bertanggung jawab memberikan pengawasan terhadap

operasional bank syariah, yakni Dewan Pengawas Syariah. Selain Dewan

Pengawas Syariah, pada tingkat nasional ada pula Dewan Syariah Nasional

(DSN).

Dewan Syariah Nasional adalah badan yang dibentuk oleh Majelis

Ulama Indonesia pada tahun 1999 yang memiliki kompetensi dan otoritas

resmi sehingga berwenang mengeluarkan ketentuan-ketentuan syariah dalam

bentuk fatwa Dewan Syariah Nasional40 Fatwa-fatwa tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI).41 Dengan

37

A.W. Munawar, Kamus A l-Munawir A rab-Indonesia Terlengkap, edisi kedua (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), 1034

38

Bank Indonesia, Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Syariah, (Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah, 2006), 18.

39

Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga Jakarta: Balai Pustaka, 20017), 314.

40

Butir IV Keputusan Ddewan Syariah Nasional No. 01 Tahun 2000 tanggal 1 April 2000 tentang Pedoman Dasar Dewan Majelis Ulama Indonesia tentang Pedoman Rumah Tangga DSN-MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah NasionalSyariah Nasional

41

(50)

41

dituangkannya fatwa-fatwa DSN ke PBI maka prinsip-prinsip syariah terkait

dengan kegiatan usaha bank syariah yang tercntum dalam PBI tersebut

menjadi hukum positif yang mengikat perbankan syariah.42 Keberadaan PBI merupakan amanat dari UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia

sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2004.43

Berkaitan dengan perkembangan lembaga keuangan syariah itulah,

keberadaan DSN beserta produk hukumnya mendapat legitimasi dari BI yang

merupakan lembaga negara pemegang otoritas dibidang perbankan, seperti

tertuang dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/1999,

di mana pada pasal 31 dinyatakan: “untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan

usahanya, bank umum syariah diwajibkan memperhatikan fatwa DSN”, lebih

lanjut, dalam Surat Keputusan tersebut juga dinyatakan: “”demikian pula

dalam hal bank akan melakukan kegiatan sebagaimana dimaksudkan dalam

Pasal 28 dan Pasal 29, jika ternyata kegiata usaha yang dimaksudkan belum

difatwakan oleh DSN, maka wajib meminta persetujuan DSN sebelum

melakukan usaha kegiatan tersebut”.

Dewan Syariah Nasional (DSN) secara struktural berada dibawah

MUI dan bertugas menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan

kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya. Pada

prinsipnya, pendirian DSN dimaksudkan sebagai usaha untuk efisiensi dan

koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan

42

Lihat Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan.

43

(51)

42

masalah ekonomi dan keuangan, selain itu DSN juga diharapkan dapat

berperan sebagai pengawas, pengarah dan pendorong penerapan nilai-nilai

prinsip ajaran islam dalam kehidupan ekonomi.44

Fungsi fatwa DSN bagi perbankan syariah antara lain adalah:

1. Pedoman bagi Dewan Pengawas Syariah dalam menjalankan tugas

pengawasan di masing-masing bank syariah.

2. Dasar hukum bagi abnk syariah dalam melakukan kegiatan usahanya.

3. Landasan bagi peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia tentang

perbankan syariah dan kegiatan usaha bank syariah.

Dari sekian banyak fatwa yang telah dikeluarkan DSN-MUI, penulis

mengambil fatwa yang berkenaan dengan teori yang penulis bahas pada bab

ini. Fatwa yang penulis ambil adalah fatwa no. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang

rahn45.. Dewan Syariah Nasional dalam menetapkan fatwa ini dengan

pertibangan antara lain sebagai berikut:

a. bahwa salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan

masyarakat adalah pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan

utang;

b. bahwa lembaga keuangan syari’ah (LKS) perlu merespon kebutuhan

masyarakat tersebut dalam berbagai produknya;

c. bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah,

Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa untuk

44

Angka IV butir 2 huruf b Keputusan Dewan Syariah Nasional No. 1 tahun 2000 tanggal 1 April tahun 2000

45

(52)

43

dijadikan pedoman tentang Rahn, yaitu menahan barang sebagai jaminan

atas utang.

Sebagai pengingat DSN-MUI dalam menetapkan fatwa maka

disebutkan seperti dibawah ini:

1. Firman Allah, QS. Al-Baqarah [2]: 283:

"Dan apabila kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang juru tulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang..."

2. Hadis Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ’Aisyah r.a., ia berkata:

.

"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi mengg

Gambar

Gambar 3.1 Struktur Organisasi BRISyariah KC Surabaya Diponegoro

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penenlitian yang telah dilakukan diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu referensi bagi kalangan akademik yang akan mengadakan penelitian yang

Pada prinsipnya, KTSP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SI, namun pengembangannya diserahkan kepada sekolah agar sesuai dengan kebutuhan sekolah

Adanya responden yang memilih jawaban ya dalam menjawab dapat disebabkan kurangnya informasi yang tepat mengenai penggunaan antibiotik yang benar sehingga responden

Berikut ini uraian dari isi kebijakan tersebut (Tempo, 2017) yakni klasifikasi angkutan akan menggunakan nomor kendaraan bermotor khusus dan pelat kendaraan akan

Di dalam strategi kooperatif ini ada tiga aspek pengelolaan yang harus diperhatikan, yaitu tugas-tugas yang terstruktur yang harus dikerjakan peserta didik dalam bekerja

Masalah penelitian adalah (1) Apakah pendekatan reciprocal teaching yang mempunyai kemampuan koneksi dan komunikasi matematis siswa lebih baik bila dibandingkan siswa yang diajar

Apa interpretasi dari pemeriksaan orofaringeal : tonsil : T4/T4, mukosa hiperemis, kripte melebar +/+, detritus +/+ dan pada faring ditemukan mukosa hiperemis dan terdapat granul

Mengacu pada analisis data yang dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Ada pengaruh positif dan signifikan antara variabel peran Pemkot Solo dan