i
Penelitian tentang “Kaji Ulang Peran Koperasi Dalam Menunjang Ketahanan Pangan” bertujuan untuk mengetahui sejauhmana koperasi berperan dalam distribusi pupuk dan pengadaan gabah dan beras setelah pemerintah merubah kebijakan-kebijakan pada pupuk dan beras.
Laporan akhir ini memuat hasil-hasil analisis tentang perilaku para distributor, para pengecer dan petani pengguna pupuk dalam merespon perubahan kebijakan yang ada. Masalah kelangkaan pupuk dan lonjakan harga serta tingkat income petani turut diungkapkan dalam laporan ini. Juga pembelian gabah, produksi beras dan kapasitas produksi beras koperasi serta kinerja usaha koperasi mendapat penekanan utama. Simulasi beberapa skenario kebijakan dilakukan untuk mengevaluasi efektifitas kebijakan pupuk dan beras yang telah berjalan berserta rekomendasi kebijakan terbaik yang dapat diaplikasi.
Terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada pihak-pihak yang turut mendukung terselanggaranya kajian dan pelaporan ini.
Semoga bermanfaat bagi bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Jakarta, Pebruari 2006
ii DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Dimensi Permasalahan ... 2
1.3. Tujuan Kajian ... 4
1.4. Ruang Lingkup ... 5
II. KERANGKA PEMIKIRAN ... 6
III. METODE KAJIAN ... 12
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 12
3.2. Metode Penarikan Contoh ... 12
3.3. Model dan Metode Analisis Data ... 14
3.3.1. Spesifikasi dan Perumusan Model ... 14
3.3.2. Identifikasi dan Pendugaan Model ... 18
3.3.3. Validasi Model ... 19
3.3.4. Simulasi Kebijakan dan Faktor Eksternal ... 19
3.4. Defenisi Variabel Operasional ... 20
IV. GAMBARAN UMUM DISTRIBUSI PUPUK DAN PENGADAAN BERAS ... 23
4.1. Arti Penting Pupuk dan Beras Bagi Petani, Pemerintah dan Ketahanan Pangan ... 23
4.2. Subsidi Pupuk ... 24
4.3. Pengaturan Distribusi Pupuk ... 25
4.4. Pengaturan Pengadaan Pangan/Beras ... 27
4.5. Fakta-fakta Distribusi Pupuk ... 27
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33
5.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengadaan Pupuk, Produksi Gabah dan Beras, dan Usaha Koperasi ... 34
5.1.1. Faktor yang Mempengaruhi Pengadaan Pupuk Level Propinsi hingga Pengecer, Harga Pupuk dan Penggunaan Pupuk Tingkat Petani ... 34
5.1.1.1. Pengadaan Pupuk Level Propinsi hingga Pengecer ... 34
5.1.1.2. Harga Pupuk Tingkat Petani ... 40
ii
5.1.2. Faktor yang Mempengaruhi Produksi Gabah, Jumlah Penjualan dan Pendapatan Petani; Harga Gabah Koperasi dan Tengkulak; dan Pembelian Gabah,
Produksi dan Kapasitas Produsi Beras Koperasi ... 48
5.1.2.1. Produksi Gabah, Jumlah Penjualan dan Pendapatan Petani ... 48
5.1.2.2. Harga Gabah Koperasi dan Tengkulak ... 56
5.1.2.3. Pembelian Gabah, Produksi dan Kapasitas Produksi Beras Koperasi ... 64
5.1.3. Faktor yang Mempengaruhi Usaha Koperasi ... 71
5.1.3.1. Modal Sendiri, Modal Luar dan Jumlah Aset Koperasi ... 71
5.1.3.2. Volume Usaha Koperasi, SHU dan Bagian SHU Anggota Koperasi ... 76
5.1.3.3. Produktivitas Anggota, Produktivitas Aset, dan Produktivitas Usaha ... 81
5.2. Efektifitas Kebijakan Penyaluran Pupuk dan Pengadaan Beras ... 86
5.2.1. Validasi Model ... 86
5.2.2. Skenario Simulasi ... 87
5.2.3. Evaluasi Efektifitas Kebijakan Pupuk ... 88
5.2.4. Evaluasi Efektifitas Kebijakan Beras ... 91
5.3. Analisis Dampak Perubahan Kebijakan Alternatif untuk Mendukung Koperasi dalam Menunjang Ketahanan Pangan ... 92
5.3.1. Evaluasi Skenario Alternatif Kelompok Pertama ... 94
5.3.2. Evaluasi Skenario Alternatif Kelompok Kedua ... 97
5.4. Model Alternatif Penyaluran Pupuk dan Pengadaan Gabah/Beras Koperasi ... 99
VI. KESIMPULAN DAN MODEL ALTERNATIF ... 103
6.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peran Koperasi dalam Menunjang Ketahanan Pangan ... 103
6.2. Evaluasi Efektifitas Kebijakan Distribusi Pupuk dan Pengadaan Gabah/Beras ... 106
6.3. Kebijakan-kebijakan Alternatif Pendukung Distribusi Pupuk dan Pengadaan Gabah/Beras ... 107
6.4. Model Alternatif Penyaluran Pupuk dan Pengadaan Gabah/Beras ... 107
DAFTAR PUSTAKA ... 108
ABSTRAK
Koperasi sejak lama telah menjadi badan usaha yang strategis dalam meningkatkan
ekonomi anggotanya maupun masyarakat pada umumnya. Di sektor pertanian, koperasi /
KUD di masa lalu telah cukup efektif mendorong peningkatan produksi di subsektor
pangan, yakni berperan menyalurkan prasarana dan sarana produksi (pupuk, bibit,
obat-obatan dan RMU) kepada petani, juga terlibat dalam pemasaran gabah atau beras.
Kini, seiring perubahan pemerintahan dan kondisi ekonomi yang diikuti
dengan perubahan kebijakan-kebijakan tentang pangan, koperasi / KUD praktis tidak
beperan lagi secara maksimal. Perubahan kebijakan seperti Kepmen Perindag Nomor :
356/MPP/KEP/5/2004, tidak lagi memberikan kewenangan penuh kepada koperasi/KUD
menyalurkan pupuk kepada petani, melainkan kepada swasta (lebih dominan) dan juga
kepada koperasi/KUD. Juga Inpres Nomor 9 tahun 2002 tidak lagi memberi kewenangan
kepada koperasi/KUD sebagai pelaksana tunggal pembelian gabah.
Perubahan kebijakan-kebijakan diatas menyebabkan terjadi kelangkaan pupuk
pada petani, harga pupuk lebih tinggi di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), terjadi
monopoli penyaluran pupuk oleh swasta yang menyebabkan koperasi/KUD nyaris tidak
berperan lagi dalam penyaluran pupuk. Dalam pengadaan pangan, peran koperasi menurun
drastis akibat fasilitas-fasilitas penunjang seperti gudang, lantai jemur, RMU, dan lain-lain
tidak lagi beroperasi maksimal atau menganggur. Semua dampak ini melemahkan
kemampuan ketahanan pangan di dalam negeri.
Dampak-dampak tersebut mendorong dilakukan riset tentang ”Kaji Ulang Peran
Koperasi dalam Menunjang Ketahanan Pangan” dengan tujuan : (1) menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi peran koperasi dalam menunjang ketahanan pangan
berdasarkan perubahan kebijakan pemerintah terhadap distribusi pupuk dan beras, (2)
menganalisis efektifitas penyaluran pupuk dan pengadaan gabah/beras sesuai perubahan
kebijakan pemerintah dimaksud, (3) menganalisis dampak perubahan kebijakan tersebut
terhadap penyediaan gabah/beras di dalam negeri dan daya dukung koperasi dalam
menunjang ketahanan pangan, dan (4) merumuskan model alternatif yang dapat
diimplementasikan oleh koperasi guna mendukung ketahanan pangan nasional.
Riset berlangsung bulan Juli hingga Agustus 2005 dan mengambil sampel 7 (tujuh)
Tengah, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor
yang menurunkan kemampuan penyediaan pupuk koperasi adalah (1) kuota penyaluran
pupuk koperasi yang hanya sekitar 30 %, (2) monopoli penyaluran pupuk oleh swasta, (3)
kelangkaan pupuk yang disebabkan oleh ekspor pupuk ilegal ke luar negeri, pengalihan
penjulan pupuk ke perusahaan perkebunan besar atau dihilangkan untuk tujuan tertentu
sehingga menyulitkan koperasi menyediakan pupuk dalam jumlah yang memadai bagi
petani, (4) jumlah permintaan pupuk petani khususnya di Pulau Jawa yang terus
meningkat, (5) harga pupuk yang melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) menciptakan
kendala pembiayaan bagi koperasi untuk mensuplai pupuk kepada petani.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan koperasi dalam
pengadaan pangan/beras adalah : (1) jumlah produksi dan penjualan gabah petani yang
menurun akibat penggunaan pupuk di bawah kebutuhan normal, (2) harga jual gabah yang
berfluktuasi, (3) jumlah pembelian gabah koperasi yang menurun akibat permodalan yang
terbatas, (4) produksi dan kapasitas produksi beras koperasi yang menurun akibat peralatan
pendukung yang beroperasi di bawah kapasitas normal (menganggur), dan (5) kapasitas
prasarana dan sarana produksi beras koperasi seperti RMU, gudang dan lantai jemur,
peralatan penunjang lainnya yang telah mengalami penurunan fisik karena tidak beroperasi
secara normal atau tidak terpakai.
Melalui analisis simulasi ditemukan bahwa ”kebijakan distribusi pupuk dan
pengadaan beras” yang sedang dijalankan sekarang tidak efektif menciptakan kemampuan
produksi pangan (beras) dalam negeri. Temuan beberapa alternatif kebijakan yang cukup
layak untuk diterapkan adalah :
1. Kebijakan memerankan koperasi secara penuh baik pada penyaluran pupuk maupun
pada pengadaan pangan/beras. Alternatif kebijakan ini dapat meningkatkan produksi
gabah dan pendapatan petani (hingga 17.05 %) dan produksi beras koperasi (hingga
30.24 %), serta menghilangkan kelangkaan pupuk dan kelebihan harga pupuk di atas
Harga Eceran Tertinggi (HET). Kebijakan ini juga akan lebih menjamin pencapaian
ketahanan pangan (beras) di dalam negeri.
2. Kebijakan peningkatan penggunaan pupuk secara langsung pada petani (25 %),
peningkatan harga gabah 10 %, peningkatan kredit atau modal kepada koperasi untuk
pembelian gabah 10 %, peningkatan kapasitas prasarana dan sarana produksi beras
koperasi 25 % serta peningkatan kenaikan aset dan volume usaha koperasi 10 %.
Kebijakan ini akan menunjang pengadaan pangan/beras koperasi dan pengembangan
Model alternatif penyaluran pupuk yang dapat diterapkan koperasi sesuai hasil
kajian ini adalah seperti pada Gambar 1. Sedangkan model alternatif pengadaan
pangan/beras adalah seperti pada Gambar 2 dan 3.
K
1.1. Latar Belakang
Koperasi merupakan lembaga dimana orang-orang yang memiliki kepentingan relatif homogen berhimpun untuk meningkatkan kesejahteraannya. Konsepsi demikian mendudukkan koperasi sebagai badan usaha yang cukup strategis bagi anggotanya dalam mencapai tujuan-tujuan ekonomis yang pada gilirannya berdampak kepada masyarakat secara luas. Di sektor pertanian misalnya, peranserta koperasi di masa lalu cukup efektif untuk mendorong peningkatan produksi khususnya di subsektor pangan. Selama era tahun 1980-an, koperasi terutama KUD mampu memposisikan diri sebagai lembaga yang diperhitungkan dalam program pengadaan pangan nasional. Ditinjau dari sisi produksi pangan khususnya beras, peran signifikannya dapat diamati dalam hal penyaluran prasarana dan sarana produksi mulai dari pupuk, bibit, obat-obatan, RMU sampai dengan pemasaran gabah atau beras. Meskipun demikian dari sisi konsumsi, ketersediaan bahan pangan bagi konsumen seringkali menjadi bahan perbincangan sebab jaminan kualitas dan kuantitas tidak selalu terpenuhi.
memiliki konsep dan program pembangunan koperasi yang secara jelas memposisikan koperasi dalam mendukung ketahanan pangan nasional.
Sebelum masa krisis (tahun 1997) terdapat sebanyak 8.427 koperasi yang menangani ketersediaan pangan, sedangkan pada masa krisis (tahun 2000) terjadi penurunan menjadi 7.150 koperasi (Kementerian Koperasi dan UKM, 2003). Fakta ini mengungkap berkurangnya jumlah dan peran koperasi dalam bidang pangan, meskipun begitu beberapa koperasi telah melakukan inovasi model-model pelayanan dalam bidang pangan seperti bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi. Fakta lain menunjukkan bahwa selama tiga tahun terakhir (tahun 2001–2003), terdapat kesenjangan antara produksi padi dan jagung dengan kebutuhan konsumsi yang harus ditanggulangi dengan impor. Akibatnya, ketahanan pangan di dalam negeri dewasa ini menghadapi ancaman keterpurukan yang cukup serius. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya dan tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya dan terjangkau oleh rumahtangga. Konsep ketahanan pangan lebih ditekankan pada konteks penawaran (supply side) yang tidak terpisahkan dari proses distribusi dan pemasaran hingga ke pintu konsumen.
Bertitik tolak dari kondisi empirik tersebut, terdapat pemikiran untuk meninjau kembali peran koperasi dalam mendukung ketahanan pangan nasional, khususnya di sektor perberasan. Oleh karena itu, Kementerian Negara Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (Kementerian KUKM) menganggap penting dilakukannya suatu kajian strategis mengenai peran koperasi dalam menunjang ketahanan pangan nasional.
1.2. Dimensi Permasalahan
terjadinya kelangkaan persediaan pupuk bagi petani, harga pupuk lebih tinggi di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), kecenderungan monopoli penyaluran pupuk oleh swasta, yang dengan sendirinya peran koperasi/KUD dalam penyaluran pupuk menurun. Penurunan peran koperasi terlihat dari hanya 40 % atau 930 unit dari 2.335 KUD (saat koperasi/KUD memiliki kewenangan penuh) terlibat dalam tataniaga pupuk. Dalam kenyataannya jumlah inipun sulit teridentifikasi.
Dalam hal penanganan ketersediaan pangan, penurunan jumlah koperasi dari 8.427 koperasi sebelum krisis (tahun 1997) menjadi 7.150 koperasi setelah krisis (tahun 2000) juga merupakan indikasi penurunan peran koperasi dalam menunjang ketahanan pangan (Kementrian Koperasi dan UKM, 2003). Padahal koperasi selama ini telah memiliki sejumlah fasilitas penunjang (gudang, lantai jemur, RMU, dan lain-lain) yang mendukung pengadaan produksi gabah/beras, dan koperasi mewadahi sejumlah besar petani padi. Akumulasi kelangkaan dan kenaikan harga pupuk dengan penurunan peran koperasi berdampak serius bagi peningkatan produksi gabah/beras petani, dan mengindikasikan bahwa kemampuan ketahanan pangan dari sisi penawaran (supply side) melemah. Kekurangan produksi gabah/beras di dalam negeri selanjutnya akan dijadikan alasan untuk membuka impor beras meskipun kita tahu bahwa hal ini mengancam dan merugikan para petani.
Dalam hal pengadaan gabah/beras dan penyalurannya kepada konsumen, kini tidak ada lagi skim kredit bagi koperasi untuk pembiayaan usaha pembelian dan pemasaran pangan. Juga sesuai Inpres Nomor 9 tahun 2001 dan Inpres Nomor 9 tahun 2002 tentang kebijakan perberasan, maka koperasi tidak berfungsi lagi sebagai pelaksana tunggal pembelian gabah, tidak ada lagi kebijakan harga dasar di tingkat petani, dan harga dasar pembelian gabah/beras petani hanya ditetapkan oleh Bulog. Disini terdapat dua konsekuensi penting yaitu petani harus memasuki mekanisme pasar, dan mereka harus menjamin kualitas gabah/beras yang ditetapkan Perum Bulog. Petani diduga memiliki bargaining position yang lemah dan karena itu akan sangat merugikan mereka dalam hal stabilitas produksinya, tingkat pendapatannya, dan harga yang wajar diterima terutama pada waktu panen raya.
mengangkat posisi petani dan dapat menjamin ketersediaan pangan nasional. Koperasi yang selama ini sudah eksis sebenarnya memiliki peran mendasar dalam penguatan ekonomi petani yakni melalui penjaminan ketersediaan pupuk dan harga terjangkau bagi petani, penanganan dan pengolahan gabah petani di saat surplus maupun defisit produksi, penjaminan nilai tukar dan income petani, membuka berbagai akses teknologi, informasi, pasar, dan bisnis kepada petani. Dalam tujuan ketahanan pangan, koperasi telah mengembangkan beberapa model pengamanan persediaan pangan diantaranya model bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi. Model-model ini berperan menjamin persediaan gabah/beras baik di daerah sentra produksi maupun daerah defisit pangan dan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor beras yang sebenarnya secara substansial mengancam ketahanan nasional. Karena itu bagaimana memerankan koperasi sebagai lembaga ekonomi petani dan penguatan agribisnis di dalam perekonomian pasar sangatlah diperlukan.
Berdasarkan masalah di atas perlu dianalisis sejauh mana efektifitas perubahan kebijakan pemerintah dimaksud (distribusi pupuk dan pengadaan beras) yakni menyalurkan pupuk kepada petani guna meningkatkan produksi gabah dan pengadaan gabah/beras untuk pencapaian ketahanan pangan bagi masyarakat. Juga perlu dikaji pengembangan model bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi guna memperkuat ketahanan pangan nasional.
1.3. Tujuan Kajian
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peran koperasi dalam menunjang ketahanan pangan berdasarkan perubahan kebijakan pemerintah terhadap distribusi pupuk dan beras.
2. Menganalisis efektifitas penyaluran pupuk dan pengadaan gabah/beras sesuai perubahan kebijakan pemerintah dimaksud.
3. Menganalisis dampak perubahan kebijakan tersebut terhadap penyediaan gabah/beras di dalam negeri dan daya dukung koperasi dalam menunjang ketahanan pangan.
1.4. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kajian ini meliputi beberapa aspek antara lain :
1. Keragaan distribusi pupuk dari produsen hingga ke konsumen sesuai perubahan kebijakan yang ada.
2. Pelayanan koperasi terhadap kegiatan produksi (gabah) petani dan pengadaan gabah/beras oleh koperasi.
3. Pengembangan model bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi untuk mendukung ketahanan pangan.
4. Kinerja kelembagaan koperasi dalam ketahanan pangan nasional.
5. Pola koperasi/KUD dalam distribusi pangan yang dirintis di beberapa daerah.
Ketahanan pangan dipandang sebagai hal yang sangat penting dalam
rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia berkualitas,
mandiri, dan sejahtera. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu diwujudkan
ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan beragam serta
tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli
masyarakat (Dewan Ketahanan Pangan, 2002).
Ketahanan pangan menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996,
diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin
dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata
dan terjangkau. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan
pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Beras hingga kini masih merupakan salah satu komoditi pangan pokok bagi
masyarakat Indonesia dan merupakan komoditi strategis bagi pembangunan
nasional. Pengalaman pada periode-periode awal pembangunan di tanah air
menunjukkan bahwa kekurangan beras sangat mempengaruhi kestabilan
pembangunan nasional. Bahkan hingga kini, bukan saja pada tingkat nasional,
daerah, dan rumahtangga tetapi juga tingkat internasional dimana terlihat
besarnya dampak yang ditimbulkan akibat kekurangan persediaan pangan beras.
Dalam rangka menghindari dan sekaligus mengatasi akibat kekurangan
pangan pokok ini, tidaklah mengherankan jika pemerintah telah mengambil
langkah-langkah kebijakan dengan melibatkan sejumlah besar departemen dan
instansi pemerintah untuk mengatur dan mendorong ketahanan pangan di Dalam
Negeri. Departemen Koperasi adalah salah satu departemen yang sejak lama
telah ditugaskan untuk menangani dan menyeleggarakan persediaan pangan
khususnya beras bagi masyarakat. Dengan tanggung jawab ini dan disertai
dukungan pemeritah, Departemen Koperasi telah menumbuh-kembangkan
sudah berjalan, telah menjangkau berbagai kegiatan usaha golongan ekonomi
lemah dan telah berkembang luas ke berbagai pelosok Tanah Air.
Sejumlah fakta menunjukkan bahwa keberadaan organisasi koperasi di
sektor pertanian diakui atau tidak sangat membantu petani dalam proses produksi
pangan baik padi maupun palawija. Keberhasilan program Bimas dan Inmas di
masa lalu tidak terlepas dari peranserta koperasi/KUD sejak dari penyediaan
prasarana dan sarana produksi sampai dengan pengolahan hingga pemasaran
produk.
Meskipun demikian kini jaman telah berubah, dan telah terjadi perubahan
seiring berlangsungnya era globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Untuk lebih
mendorong dan mempercepat pencapaian ketahanan pangan, pemerintah kini
telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk penyaluran pupuk dan pengadaan
beras. Pengambilan kebijakan ini dianggap perlu untuk mempermudah
ketersediaan pupuk di lokasi petani dan penggunaannya dengan harga
terjangkau, serta pengadaan gabah/beras yang menjamin persediaan Dalam
Negeri. Diharapkan dengan kebijakan ini petani dapat meningkatkan produksi
gabah mereka yang berarti pada satu sisi menjamin persediaan gabah/beras di
dalam Negeri dan pada sisi lain meningkatkan pendapatan mereka. Sementara di
sisi pengadaan, dengan kewenangan luas yang diberikan kepada berbagai
lembaga untuk terlibat dalam pengadaan pangan akan menjamin stabilitas
persediaan Dalam Negeri.
Secara umum, tujuan kebijakan yang diambil adalah baik, tetapi beberapa
konsekuensi kini mulai muncul. Sebagai contoh, kebijakan penyaluran pupuk
(Kepmen Perindag Nomor : 356/MPP/KEP/5/2004) memberikan kewenangan
pada pihak-pihak swasta dan koperasi/KUD sebagai penyalur/pengecer pupuk ke
konsumen. Berbeda dengan kebijakan sebelumnya (Kepmen Perindag Nomor :
378/MPP/KEP/8/1998), kebijakan baru ini tidak lagi memberikan kewenangan
penuh kepada koperasi/KUD untuk menyalurkan pupuk, yang berarti peran
koperasi/KUD dalam penyaluran pupuk kini menurun.
Perubahan kebijakan ini memiliki konsekuensi dalam jangka pendek
mengganggu sistem distribusi pupuk yang selanjutnya mengganggu ketersediaan
pupuk bagi para petani. Kekurangan ketersediaan pupuk akan mengganggu
gabah merupakan dua aspek yang saling mengikat. Karena itu kekurangan pupuk
sudah tentu mengancam produksi petani, dan selanjutnya kekurangan beras
mengancam ketahanan pangan yang akan berlanjut pada akibat kerawanan
sosial. Penurunan kuantitas produksi petani berarti juga penurunan pendapatan
mereka dan menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan petani menurun. Secara
nasional, penurunan produksi beras di satu sisi dan peningkatan permintaan beras
di sisi lain akan membuka kran impor. Dalam jangka pendek impor beras berguna
mengatasi kekurangan persediaan dalam negeri, tetapi dalam jangka panjang
menguras sumberdaya domestik (menguras devisa) dan melemahkan stabilitas
nasional.
Konsekuensi perubahan kebijakan yang mengganggu sistem distribusi
pupuk akan terlihat pada ketidaklancaran distribusi pupuk itu sendiri. Pemberian
kebebasan kepada berbagai pihak untuk menyalurkan pupuk di satu sisi
sementara di sisi lain pupuk sendiri merupakan “input/barang publik”, akan
merugikan individu masyarakat (petani) yang menggunakannya secara enam
tepat. Hal ini muncul disebabkan karena terjadi monopoli dan tindakan-tindakan
lainnya untuk mengambil keuntungan sendiri dan merugikan para pelaku lain. Hal
ini nyata dan telah dirasakan oleh petani yang kesulitan mendapat pupuk dengan
harga di atas HET. Di sisi lain koperasi/KUD yang terkena dampak kebijakan
tersebut telah menghadapi kondisi beroperasi di bawah kapasitas terpasang (idle
capacity). Indikasi idle capacity koperasi juga terlihat pada penurunan jumlah
koperasi yang berfungsi melayani kegiatan pengadaan pangan.
Keseluruhan konsekuensi ini menunjukkan bahwa perubahan suatu
kebijakan dapat menguntungkan sebagian pelaku tetapi juga merugikan pelaku
lain. Just et al (1982) mengatakan intervensi pemerintah ke pasar melalui suatu
kebijakan yang bertujuan membantu salah satu pelaku (produsen atau konsumen)
tidak selamanya membuat pasar menjadi seimbang (menguntungkan kedua
pihak). Ketidakseimbangan pasar ini muncul sebagai akibat perubahan perilaku
setiap pelaku dalam merespon perubahan yang terjadi di pasar. Perubahan
perilaku para pelaku pasar terlihat dari berubahnya keputusan-keputusan mereka
dan teridentifikasi dalam aspek-aspek seperti terjadi excess demand dan shortage
peningkatan atau penurunan fungsi kedua pelaku beserta lembaga yang
membawahinya.
Selalu terdapat konsekuensi dari intervensi pemerintah ke pasar melalui
kebijakan yang diambil, tetapi yang terpenting adalah tujuan yang hendak dicapai.
Jika tujuannya adalah peningkatan produksi untuk menjaga stabilitas ketersediaan
pangan dalam negeri, maka pemerintah harus menyediakan anggaran/biaya untuk
mengkompensasi konsekuensi yang timbul akibat perubahan kebijakan yang
diambil itu. Anggaran/biaya dimaksud disebut sebagai biaya pengadaan produksi
pangan. Kompensasi ini memiliki arti ada resiko yang harus dibayar sebagai
akibat kesalahan pengambilan kebijakan. Dengan demikian, jika kebijakan
distribusi pupuk yang diambil teridentifikasi sangat kuat mengancam produksi
petani (karena petani sebagai pelaku utama supply side) maka secara substansial
kebijakan tersebut tidak layak.
Mempelajari perilaku para pelaku pasar yakni koperasi/KUD dan
non-koperasi (swasta) dalam distribusi pupuk, akan diketahui keputusan-keputusan
yang mereka ambil. Dapat juga diketahui seberapa besar penawaran dan
permintaan pupuk pada masing-masing pihak, apakah terjadi excess demand dan
excess supply pupuk, dan seberapa besar harga pupuk di pasar berada di atas
HET. Apakah penyaluran pupuk oleh masing-masing pelaku sampai ke tangan
petani sesuai prinsip enam tepat? Juga dapat dibandingkan pelaku mana yang
menyalurkan pupuk sesuai tujuan kebijakan distribusi pupuk.
Ketimpangan peran koperasi akibat idle capacity yang dialami berpeluang
mengganggu pencapaian ketahanan pangan. Hal ini disebabkan karena : (1)
koperasi berperan dalam pembinaan produksi gabah petani (secara tidak
langsung melalui penyaluran pupuk), (2) koperasi melakukan pengadaan dan
pengolahan gabah/beras petani, dan (3) koperasi menyalurkan beras kepada
konsumen. Mengenai pembinaan produksi, koperasi membawahi sekian banyak
petani sehingga penyaluran pupuk yang tepat akan memberikan jaminan bagi
produksi petani. Dalam pengadaan dan pengolahan gabah/beras, sering terjadi
surplus produksi disaat panen raya yang menyebabkan harga gabah jatuh, dan
kualitas gabah rendah seiring musim penghujan di saat panen.
Untuk menjamin nilai tukar petani, mengatasi penurunan kualitas
dengan kualitas dan kuantitas yang dikehendaki bagi ketahanan pangan, koperasi
hadir dengan perannya. Koperasi telah mengembangkan model bank padi,
lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi yang berfungsi mengatasi
kesulitan-kesulitan petani memasuki mekanisme pasar dan menjamin pengadaan
gabah/beras bagi ketahanan pangan.
Jika model ini disandingkan dengan distribusi beras kepada konsumen,
kemungkinan akan dicapai jalur distribusi yang mantap dan menjamin beras
tersedia dengan kualitas, kuantitas, dan harga terjangkau bagi masyarakat. Ini
adalah model yang kontradiktif dengan model mekanisme pasar. Mekanisme
pasar dalam beberapa hal mungkin unggul tetapi ia sangat dekat dengan prinsip
“profit maximization” dan mengabaikan “fungsi-fungsi sosial”. Beras merupakan
komoditi strategis bagi ketahanan nasional dan juga sebagai komoditi publik
dimana jika dilepaskan ke dalam mekanisme pasar maka akibat yang merugikan
masyarakat luas akan segera muncul. Akibat tersebut antara lain harga tinggi,
suplai menjadi langka, dan akses masyarakat luas untuk menikmatinya akan
terbatas.
Mengkaji dan menganalisis model mana yang terbaik bagi tujuan
ketahanan pangan nasional sangatlah diperlukan. Mengutamakan sumberdaya
dalam negeri adalah prioritas utama, dan bukanlah mencari alternatif untuk
bergantung seluruhnya pada kekuatan impor. Betapapun kuatnya kita mengimpor
untuk ketahanan pangan akan sangat beresiko jika pasar pangan dunia
mengalami goncangan. Pasar pangan dunia layaknya juga seperti pasar pangan
dalam negeri yang sewaktu-waktu mengalami goncangan. Karena itu adalah
bijaksana jika ketahanan itu dibangun berdasarkan kekuatan dalam negeri.
Dengan membangun sebuah model yang menjelaskan fenomena di atas dan
menganalisisnya secara kuantitatif akan terlihat sebesar apa koperasi berperan
dalam pengadaan pangan khususnya gabah/beras.
Gambar 1 di bawah ini disajikan skema kerangka berpikir sebagaimana
!"#$%"&'$(%!"#$%$!!$$$!&!$'(!
Berdasarkan bentuk permasalahan, ruang lingkup dan tujuan penelitian,
kajian ini akan menggunakan metode survei. Metode survei adalah suatu metode
yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang status gejala pada saat
penelitian dilakukan sehingga dapat diketahui kondisi variabel dalam suatu situasi
tertentu (Babie, 1973). Pengetahuan atas kondisi peubah yang telah ditentukan
tersebut akan bermanfaat untuk menjelaskan hubungan timbal-balik antar peubah,
membandingkannya dengan kondisi lain atau sebelumnya, dan untuk menilai
efektifitas suatu kebijakan atau program, di samping untuk menguji suatu hipotesis
(Ary, 1979).
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada 7 propinsi yang merupakan daerah produsen
dan konsumen pangan, masing-masing adalah : Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Penelitian
dilaksanakan dari bulan Juli hingga Agustus 2005.
3.2. Metode Penarikan Contoh
Penarikan contoh (sample) kajian dilakukan dengan Purposive Sampling Method. Berdasarkan propinsi yang telah ditetapkan, selanjutnya dipilih beberapa
kabupaten contoh yang dominan menyelenggarakan pengadaan pangan. Dari
kabupaten terpilih, dipilih beberapa KUD dan Non-Koperasi yang dominan
melakukan kegiatan distribusi pupuk dan pengadaan gabah/beras beserta para
petani yang terkait dengannya. Secara umum, pengambilan contoh direncanakan
sesuai data Tabel 1.
Responden penelitian ini adalah pengurus KUD, perusahaan swasta,
anggota KUD, dan petani non-anggota KUD. Data yang dikumpulkan terdiri dari
data primer dan data sekunder. Data primer akan diperoleh dari para responden
melalui wawancara langsung dengan menggunakan Daftar Pertanyaan yang telah
disusun secara terstruktur. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari BPS
instansi penyalur pupuk, dan lembaga-lembaga di daerah yang telah
melaksanakan model-model pengadaan pangan.
Untuk memperoleh hasil analisis yang baik, penelitian ini akan
menggunakan gabungan data (pool data) yakni data cross-section dan data time-series. Data cross-section mengukur sebuah variabel pada suatu waktu tertentu untuk fakta-fakta atau identitas yang memang berbeda. Sedangkan data time-series atau data deret waktu mengukur sebuah variabel tertentu selama beberapa periode waktu berturut-turut (Intriligator et al, 1996). Penggunaan pool data ini
mutlak diperlukan mengingat aspek-aspek yang dikaji dalam penelitian ini
mengandung perbedaan antar pelaku (sesuai lokasi) dan perbedaan antar waktu
terkait ketahanan pangan dan peran koperasi di waktu lalu, kini, dan waktu yang
akan datang.
Tabel 1. Sebaran Sampel dan Responden Penelitian
Sampel Sumut Sumbar Jabar Jatim Jateng Bali NTB
Kop/KUD 6 6 6 6 6 6 6
Anggota* 30 30 30 30 30 30 30
Non Anggota** 30 30 30 30 30 30 30
Swasta*** 6 6 6 6 6 6 6
Dinas
Propvinsi 1 1 1 1 1 1 1
Dinas
Kabupaten 2 2 2 2 2 2 2
Keterangan :
* Anggota adalah para petani anggota koperasi/KUD.
** Non anggota adalah para petani bukan anggota koperasi tetapi masih berada di wilayah tersebut.
3.3. Model dan Metode Analisis Data
3.3.1. Spesifikasi dan Perumusan Model
Spesifikasi atau perumusan model dalam penelitian ini didasarkan pada
peranan koperasi di dalam ketahanan pangan. Untuk menunjang menciptakan
ketahanan pangan khususnya dalam penyediaan beras yang adalah bahan
pangan pokok, koperasi memiliki sejumlah peran yakni mendorong dan
meningkatkan produksi gabah petani, mengolah dan menyediakan gabah/beras
yang menjamin persediaan Dalam Negeri, dan menyediakan sarana produksi
terutama pupuk guna penyelenggaraan produksi gabah petani.
Fenomena yang terjadi dan kini dihadapi adalah adanya perubahan
kebijakan penyaluran pupuk dan pengadaan beras. Perubahan ini akan merubah
fungsi dan peran para pelaku yang terlibat di dalamnya. Para pelaku disini adalah
pihak swasta dan koperas/KUD yang mendistribusikan pupuk kepada petani dan
pengadaan gabah/beras untuk menjamin persediaan dalam negeri.
Masing-masing pelaku memiliki fungsi dan peran melayani unit-unit individu tertentu
dimana semua fungsi dan peran mereka bertujuan menciptakan ketahanan
pangan nasional.
Dengan memformulasi struktur kegiatan masing-masing pelaku akan
memberikan penjelasan konprehensif sejauh mana masing-masing pelaku
berperan dengan baik menjalankan fungsi mereka. Setelah melakukan analisis
data akan diketahui sejauh mana koperasi berperan di dalam pengadaan pangan
khususnya gabah/beras yakni : (1) perannya di dalam distribusi pupuk ke tangan
petani yang kemudian meningkatkan produksi gabah, (2) peran di dalam
pengadaan stok beras nasional, (3) peran meningkatkan income dan
pengembangan bisnis petani serta peran sosial lainnya. Hasil analisis secara
menyeluruh digunakan sebagai dasar evaluasi apakah penetapan kebijakan
penyaluran pupuk dan pengadaan beras memberikan hasil maksimal sesuai
tujuan penetapannya. Struktur kegiatan masing-masing pelaku sesuai kebijakan
distribusi pupuk dan beras dimodel dalam sebuah model ekonometrika sistem
persamaan simultan. Pada Gambar 2 ditunjukkan kerangka analisis dari model
Masalah
1. Reposisi peran koperasi dalam ketahanan pangan. 2. Efektifitas penyaluran pupuk dan pengadaan beras
akibat perubahan kebijakan pemerintah terhadap kedua komoditi tersebut.
!" Pengembangan model-model pengadaan dan pengolahan gabah/beras oleh koperasi untuk tujuan ketahanan pangan.#
Model Pendekatan
Model ekonometrika sistem persamaan simultan!
!
Spesifikasi/Perumusan Model
1. Penawaran/permintaan pupuk oleh produsen, non-koperasi, non-koperasi, dan petani.
2. Produksi gabah petani.
3. Pengadaan gabah/beras oleh koperasi. 4. Model koperasi dan jaringan kelembagaan.
Identifikasi : Overidenfied: Metode Pendugaan : 2 SLS
Evaluasi dan Validasi Model
S I M U L A S I
H a s i l
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi peran koperasi dalam distribusi pupuk dan pengadaan gabah/beras.
2. Efektifitas penyaluran pupuk dan pengadaan gabah/beras sesuai perubahan kebijakan pemerintah dimaksud.
3. Besaran dampak kebijakan yang diambil terhadap pengadaan gabah/ beras di dalam negeri dan daya dukung koperasi dalam menunjang ketahanan pangan.
4. Model koperasi ketahanan pangan.
#
Model untuk mempelajari distribusi pupuk dan pengadaan gabah/beras
oleh koperasi dan non koperasi dibagi dalam beberapa kelompok persamaan
antara lain : (1) persamaan-persamaan penawaran pupuk Lini II sampai Lini IV, (2)
persamaan harga dan permintaan pupuk di tingkat petani, (3) persamaan produksi
gabah, jumlah penjualan dan pendapatan petani, (4) persamaan harga dan
pembelian gabah, dan penawaran beras oleh Non-Koperasi dan Koperasi, dan (5)
persamaan koperasi dan jaringan kelembagaan. Penjelasan tentang
kelompok-kelompok persamaan tersebut dapat dilihat sebagai berikut.
1. Persamaan Penawaran Pupuk dari Lini II sampai Lini IV
Persamaan penawaran pupuk Lini II sampai Lini IV seperti terlihat pada
lampiran menjelaskan tentang perilaku penawaran pupuk pada masing-masing lini
tersebut. Persamaan-persamaan ini menjelaskan faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi perilaku penawaran pupuk para pelaku pada masing-masing lini,
dan faktor-faktor mana yang sesuai hasil analisis nanti potensial mendorong
peningkatan penawaran pupuk oleh setiap pelaku. Apakah penawaran pupuk
dilakukan sesuai tujuan kebijakan yang diberikan pemerintah ataukah lebih berat
kepada tujuan meraih keuntungan sesuai mekanisme pasar yang ada. Dengan
persamaan-persamaan ini kita juga akan mengetahui perilaku membuat
kecurangan dari para pelaku dalam penyaluran pupuk hingga ke petani, dan
karena itu pada kelompok persamaan kedua akan terlihat dampaknya terhadap
jumlah penggunaan pupuk oleh para petani.
2. Persamaan Harga dan Permintaan Pupuk di Tingkat Petani
Kelompok persamaan ini menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku harga pupuk di tingkat petani dan jumlah penggunaan pupuk oleh petani.
Petani disini dikelompokkan atas petani non-koperasi dan petani anggota
koperasi. Fluktuasi harga pupuk di tingkat petani dapat disebabkan akibat adanya
excess demand dan excess supply pupuk. Harga pupuk yang meningkat dapat menyebabkan penggunaan pupuk oleh petani mungkin menurun yang selanjutnya
berdampak pada produksi gabah petani (kelompok persamaan bagian ketiga).
Jumlah pupuk yang digunakan petani secara teori dan empiris dipengaruhi
jumlah penawaran pupuk oleh pengecer, dan kemudahan-kemudahan atau
keterikatan yang disediakan oleh lembaga koperasi dan non-koperasi yang ada.
Perilaku para petani dalam penggunaan pupuk disini akan menjelaskan realitas
penyaluran pupuk hingga ke tingkat petani.
3. Persamaan Produksi Gabah, Jumlah Penjualan dan Pendapatan Petani
Jumlah gabah yang dihasilkan para petani, jumlah yang dijual, dan tingkat
pendapatan mereka dapat dijelaskan dalam bagian kelompok persamaan ini. Para
petani merupakan sasaran akhir dari penyaluran pupuk, dan jumlah pupuk yang
digunakan mereka akan mempengaruhi jumlah gabah yang dihasilkan.
Selanjutnya, dalam rangka menghasilkan income yang tinggi petani menjual
gabah mereka kepada lembaga pembeli yang menawarkan harga gabah lebih
tinggi. Selain itu, keputusan petani dalam menentukan tempat penjualan
gabahnya juga dipengaruhi oleh kemudahan dan peluang-peluang yang
disediakan lembaga-lembaga koperasi, non-koperasi, dan Bulog/Dolog di wilayah
setempat. Secara implicit, hal ini menunjukkan peran lembaga-lembaga tersebut
dalam menunjang dan meningkatkan income petani.
4. Persamaan Harga dan Pembelian Gabah, dan Produksi Beras oleh Koperasi Kelompok persamaan ini menjelaskan harga gabah yang terbentuk di pasar
dimana faktor yang mempengaruhinya secara teoritis dipengaruhi excess yang
terjadi antara penawaran dan permintaan, dan berdasarkan patokan harga gabah
yang ditetapkan pemerintah. Pembelian gabah ditelusuri pada lembaga Koperasi,
dan dianalisis dari sisi produksi dan sisi persaingan pasar. Secara alami analisis
sisi produksi menjelaskan faktor-faktor yang seharusnya berpengaruh terhadap
keputusan pembelian gabah tersebut.
5. Persamaan Koperasi dan Jaringan Kelembagaan
Kelompok persamaan ini secara khusus menjelaskan kondisi internal
koperasi yang menangani distribusi pupuk dan pengadaan gabah/beras.
Persamaan disini menjelaskan kinerja koperasi dalam pengadaan gabah/beras,
produktivitas yang diwujudkan, dan hubungan dengan lembaga lain dalam
pengadaan gabah/beras. Secara umum kelompok persamaan ini tidak terlepas
3.3. 2. Identifikasi dan Pendugaan Model
Dalam formulasi model, identifikasi menjadi persoalan penting. Apabila
model tidak teridentifikasi maka parameter-parameternya tidak bisa diestimasi.
Suatu model dikatakan identified jika dinyatakan dalam bentuk statistik unik, yang
menghasilkan estimasi parameter yang unik. Menurut Koutsoyianis (1977)
terdapat dua dalil pengujian identifikasi yaitu order condition dan rank condition yang diterapkan pada bentuk struktural model.
Dalil order condition menyatakan bahwa suatu persamaan dikatakan
identified bila jumlah seluruh variabel (predetermined dan endogen) yang tidak terdapat dalam persamaan tersebut tetapi terdapat dalam persamaan lain harus
sama banyaknya dengan jumlah seluruh variabel endogen dalam model dikurangi
satu. Sedangkan rank condition menyatakan bahwa suatu sistem yang terdiri dari
G persamaan, suatu persamaan disebut identified jika dan hanya jika memiliki
satu determinan yang tidak sama dengan nol yang berdimensi (G - 1) dari
koefisien-koefisien variabel yang dimasukkan dalam persamaan tersebut tetapi
terkandung dalam persamaan lain dalam model. Order condition diekspresikan sebagai berikut :
(K - M ) ≥ (G – 1)
dimana :
G = Jumlah peubah endogen dalam model
K = Total peubah dalam model (peubah endogen dan eksogen)
M = Jumlah peubah endogen dan eksogen yang dimasukan
dalam suatu persamaan.
Jika (K – M) = (G – 1) maka suatu persamaan dikatakan exactly identified, (K – M) > (G – 1) dikatakan overidentified, dan (K – M) < (G – 1) dikatakan
underidentified. Order merupakan necessary condition tetapi not sufficient artinya walaupun satu persamaan identified menurut oder condition, tetapi bisa saja menjadi not-identified bila diuji dengan rank condition.
Setelah model diidentifikasi dengan menggunakan order condition, diperoleh seluruh persamaan adalah “overidentified” sehingga metode pendugaan
yang dapat diterapkan adalah metode 2 SLS. Untuk menguji apakah
peubah endogen, maka pada masing-masing persamaan digunakan uji statistik F.
Untuk menguji apakah masing-masing peubah penjelas secara individual
berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen pada masing-masing
persamaan digunakan uji statistik t.
3.3.3. Validasi Model
Untuk keperluan simulasi terlebih dahulu model divalidasi untuk
mengetahui apakah model sudah cukup baik atau belum. Untuk itu digunakan
kriteria statistik Root Mean Squares Error (RMSE), Root Mean Squares Percent Error (RMSPE), U-Theil (Theil’s Inequality Coefficient) dan Koefisien Determinasi (R2). Penggunaan kriteria statistik bertujuan untuk membandingkan nilai aktual dengan nilai dugaan peubah endogen. Kriteria-kriteria statistik tersebut
dirumuskan sebagai berikut :
Y = Nilai hasil simulasi dasar dari variabel observasi
a t
Y = Nilai aktual variabel observasi
n = Jumlah periode observasi.
Semakin kecil nilai RMSE, RMSPE dan U semakin baik modelnya. Nilai U
berkisar antara 0 dan 1, sedangkan nilai R2 yang baik adalah mendekati satu.
3.3.4. Simulasi Kebijakan dan Faktor Eksternal
Setelah melalui proses validasi dan model dinyatakan valid, maka
dilakukan simulasi terhadap variabel-variabel kebijakan seperti perubahan
kebijakan distribusi pupuk dan pengadaan beras yang semula dominan ditangani
terhadap variabel-variabel kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk dan
Harga Pembelian Gabah oleh pemerintah dimana keduanya merupakan variabel
signal pasar dan umum digunakan para pelaku pasar dalam operasionalisasi
keputusan-keputusan mereka.
Simulasi ketiga variabel kebijakan ini akan dilihat dampaknya terhadap
perubahan variabel-variabel keputusan di dalam model. Variabel-variabel utama
yang dilihat adalah keputusan menyalurkan pupuk baik oleh koperasi dan
non-koperasi, jumlah pupuk yang tersedia dan digunakan petani, produksi gabah dan
tingkat income petani, pembelian dan pengadaan gabah/beras oleh
masing-masing lembaga, dan variabel keputusan lainnya. Perubahan
variabel-variabel dimaksud akan selalu dibandingkan antara koperasi dan non-koperasi
untuk menguji efektifitas kebijakan dimaksud, dan semuanya akan menjelaskan
peranan masing-masing lembaga di dalam ketahanan pangan khususnya
pengadaan beras.
Selain terhadap variabel kebijakan di atas, simulasi juga dilakukan terhadap
faktor-faktor eksternal (variabel-variabel non-kebijakan) untuk mengetahui dampak
yang ditimbulkan bagi variabel-variabel keputusan yang dianalisis. Hasil-hasil
simulasi ini selain menjelaskan peranan lembaga koperasi dan non-koperasi, juga
sekaligus digunakan sebagai dasar membentuk model ketahanan pangan.
3.4. Definisi Variabel Operasional
1. Penawaran pupuk masing-masing Lini II sampai Lini IV adalah jumlah pupuk
yang ditawarkan oleh masing-masing pelakunya ke pasar. Khusus pada Lini
IV, penawaran ini terbagi atas dua yaitu penawaran oleh koperasi dan
non-koperasi. Penawaran pupuk diukur dalam satuan ton.
2. Permintaan pupuk masing-masing Lini II sampai Lini IV dan oleh petani
adalah jumlah pupuk yang diminta oleh masing-masing pelaku. Khusus pada
Lini IV, permintaan pupuk terbagi atas dua bagian yaitu permintaan oleh
koperasi dan non-koperasi. Mengikuti permintaan pupuk di Lini IV,
permintaan pupuk pada tingkat petani juga terbagi atas dua bagian yaitu
permintaan pupuk oleh petani sebagai anggota koperasi dan permintaan
pupuk oleh petani yang bukan anggota koperasi (petani non-koperasi).
3. Produksi gabah terdiri atas gabah petani anggota koperasi dan gabah petani
non-koperasi adalah jumlah gabah yang dihasilkan masing-masing petani
selama satu periode panen, diukur dalam satuan ton atau kilogram.
4. Total produksi gabah petani adalah penjumlahan dari gabah petani anggota
koperasi dan gabah petani non-koperasi, diukur dalam satuan ton atau
kilogram.
5. Jumlah gabah yang dijual oleh petani anggota koperasi dan petani
non-koperasi adalah bagian dari produksi gabah yang dapat mereka jual. Tidak
semua gabah yang dihasilkan petani dijual untuk mendapatkan uang tetapi
sebagian dikonsumsi sendiri oleh keluarganya. Jumlah penjualan gabah
diukur dalam satuan ton atau kilogram.
6. Pendapatan petani anggota koperasi dan petani non-koperasi adalah
pendapatan yang diperoleh dari usahatani padi yakni dari hasil penjualan
gabah mereka, diukur dalam satuan rupiah.
7. Jumlah gabah yang dibeli koperasi, non-koperasi, Bulog/Dolog, dan
Pemerintah Daerah setempat adalah jumlah gabah yang dibeli
masing-masing lembaga dalam satu musim panen atau satu tahun, diukur dalam
satuan ton.
8. Total pembelian gabah adalah penjumlahan dari pembelian gabah
masing-masing lembaga, diukur dalam satuan ton.
9. Kontribusi pembelian gabah adalah kontribusi masing-masing lembaga
dalam pembelian gabah per musim panen atau per tahun, diukur dalam
satuan persen.
10. Jumlah gabah masing-masing lembaga adalah total jumlah gabah yang
dimiliki masing-masing lembaga per musim panen atau per tahun, terdiri atas
gabah yang baru dibeli dan stok gabah yang telah ada, diukur dalam satuan
ton.
11. Total penawaran gabah (mewakili propinsi) adalah total jumah gabah yang
ditawarkan per musim panen atau per tahun dan merupakan penjumlahan
dari jumlah gabah masing-masing lembaga, diukur dalam satuan ton.
12. Penawaran beras masing-masing lembaga adalah jumlah beras yang
diproduksi dan ditawarkan masing-masing lembaga per musim panen atau
13. Total penawaran beras (mewakili propinsi) adalah total jumlah beras yang
ditawarkan per musim panen atau per tahun dan merupakan penjumlahan
dari jumlah beras masing-masing lembaga, diukur dalam satuan ton.
14. Total modal koperasi adalah total jumlah modal yang dimiliki koperasi dalam
satu tahun, merupakan penjumlahan dari modal sendiri anggota koperasi dan
modal luar. Modal sendiri anggota koperasi adalah bagian modal koperasi
yang berasal dari modal anggota, sedangkan modal luar koperasi adalah
bagian modal yang diperoleh dari luar koperasi. Ketiganya diukur dalam
satuan rupiah.
15. Aset koperasi adalah total nilai aset koperasi per tahun, diukur dalam satuan
rupiah.
16. Kapasitas produksi beras koperasi adalah kemampuan menghasilkan beras
per musim panen atau per tahun berdasarkan kapasitas sarana dan
prasarana yang dimiliki koperasi, diukur dalam satuan ton atau kwintal.
17. Produksi beras koperasi adalah jumlah beras yang diproduksi per musim
panen atau per tahun, diukur dalam satuan ton atau kwintal.
18. Volume usaha koperasi (volume) adalah total nilai hasil usaha koperasi per
tahun, diukur dalam satuan rupiah.
19. SHU adalah nilai sisa hasil usaha koperasi per tahun, diukur dalam satuan
rupiah.
20. Bagian sisa hasil usaha anggota koperasi adalah bagian SHU yang diterima
masing-masing anggota dihitung secara rata-rata, diukur dalam satuan
rupiah.
21. Produktivitas koperasi adalah angka atau indeks yang mengukur
produktivitas anggota, asset, modal, dan SHU. Formulanya adalah volume
4.1. Arti Penting Pupuk dan Beras Bagi Petani, Pemerintah dan Ketahanan Pangan
Pupuk dan beras adalah dua komoditi pokok dalam sistem ketahanan
pangan nasional. Pupuk sebagai bahan kimia atau organisme berperan dalam
penyediaan unsur hara bagi keperluan tanaman secara langsung atau tidak
langsung. Melalui pupuk tanaman pangan menghasilkan produksi pangan. Pupuk
digunakan petani untuk meningkatkan produksi gabah mereka. Kekurangan
penggunaan pupuk mengakibatkan produksi gabah petani menurun. Dengan
demikian kebutuhan akan pupuk adalah hal yang utama bagi petani dalam
peningkatan produksi gabah mereka.
Gabah petani menghasilkan beras yang dikonsumsi sebagai pangan pokok.
Dalam sistem ketahanan pangan nasional, beras memiliki peran penting meskipun
bukan lagi merupakan bahan pangan satu-satunya sumber karbohidrat. Beras
merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia sejak
turun temurun. Budidaya tanaman padi penghasil beras telah menyatu dengan
kehidupan masyarakat tani Indonesia. Karena itu komoditi beras memiliki peran
ganda terutama bagi petani sebagai sumber pangan dan lapangan usaha maupun
bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan sebagai bahan pangan pokok
dalam sistem ketahanan pangan nasional.
Pemerintah memandang ketahanan pangan sebagai hal yang sangat
penting dalam rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia
Indonesia berkualitas, mandiri, dan sejahtera. Untuk mencapai ketahanan pangan
tersebut perlu diwujudkan ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu,
bergizi dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan
terjangkau oleh daya beli masyarakat. Beras merupakan salah satu bahan pangan
pokok penting di dalam sistem ketahanan pangan sehingga dalam rangka
mewujudkan ketahanan pangan, pemerintah merasa penting untuk mengatur
4.2. Subsidi Pupuk
Beras terkait dengan pupuk dan keduanya menyatu dengan petani.
Ketiganya merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan. Pupuk
sebagaimana fungsinya dapat memacu peningkatan produksi tanaman pangan.
Karena itu pupuk merupakan komoditi yang memiliki peran strategis dalam
mendukung sektor pertanian dan dalam upaya meningkatkan produksi gabah dan
beras petani. Untuk mewujudkan ketahanan pangan pemerintah merasa perlu
mendorong peningkatan produksi gabah dan beras di sektor pertanian.
Pupuk telah menjadi kebutuhan pokok bagi petani dalam produksi
gabahnya. Tetapi penggunaan pupuk memerlukan biaya dan biaya tersebut
merupakan beban bagi petani dalam proses produksi. Karena itu pada satu sisi
pemerintah bermaksud membantu beban biaya pupuk petani dan mendorong
peningkatan produksi gabah mereka. Sementara pada sisi lain pemerintah
menganggap pupuk memiliki peran sangat penting didalam peningkatan
produktivitas dan produksi komoditas pertanian untuk mewujudkan Program
Ketahanan Pangan Nasional. Dengan demikian pemerintah merasa perlu
mesubsidi pupuk.
Subsidi pupuk sekarang ini diberikan pemerintah melalui subsidi harga gas
kepada industri pupuk. Subsidi harga gas kepada industri pupuk tersebut
merupakan upaya pemerintah untuk menjamin ketersediaan pupuk bagi petani
dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah yaitu Harga Eceran Tertinggi
(HET). Sesuai Keputusan Menteri Pertanian Nomor 106/Kpts/SR.130/2/2004
tentang kebutuhan pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian dan Nomor
64/Kpts/SR.130/3/2005 tentang kebutuhan dan harga eceran tertinggi pupuk
bersubsidi untuk sektor pertanian, pupuk bersubsidi adalah pupuk yang
pengadaan dan penyalurannya ditataniagakan dengan Harga Eceran Tertinggi
(HET) di tingkat pengecer resmi.
Jenis-jenis pupuk yang disubsidi sesuai Kepmen tersebut adalah pupuk
Urea, SP-36, ZA dan NPK dengan komposisi 15 : 15 : 15 dan diberi label “Pupuk
Bersubsidi Pemerintah.” Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan
pemerintah adalah : Pupuk Urea Rp. 1.050,- per kg; Pupuk ZA Rp. 950,- per kg;
Pupuk SP-36 Rp. 1.400,- per kg; dan Pupuk NPK 1.600,- per kg. Jenis pupuk
Perkebunan dan atau Hijauan Makanan Ternak. Perkebunan yang dimaksudkan
disini adalah usaha milik sendiri atau bukan, dengan luasan tidak melebihi 25
hektar dan tidak membutuhkan izin usaha perkebunan. Pupuk bersubsidi bukan
diperuntukan bagi perusahaan perkebunan, perusahaan tanaman pangan,
perusahaan hortikultura dan perusahaan peternakan.
Kebutuhan pupuk yang akan disubsidi dihitung berdasarkan usulan
kebutuhan pupuk dari seluruh Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan di
Propinsi dengan mempertimbangkan alokasi anggaran subsidi pupuk
masing-masing tahun. Karena itu jumlah pupuk yang disubsidi menurut propinsi dan dirinci
per kabupaten adalah tercantum dalam lampiran Keputusan Menteri Pertanian
tentang kebutuhan dan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi sektor pertanian
pada masing-masing tahun.
4.3. Pengaturan Distribusi Pupuk
Dalam rangka meningkatkan produktivitas dan produksi komoditi pertanian
untuk mewujudkan program ketahanan pangan nasional, pemerintah merasa perlu
untuk menjamin ketersediaan pupuk bersubsidi saat dibutuhkan petani.
Penjaminan pemerintah ini memenuhi prinsip 6 (enam) tepat yaitu tepat jenis,
jumlah, harga, tempat, waktu, dan mutu. Beberapa kebijakan pemerintah dalam
penyaluran pupuk antara lain Keputusan Menteri Perindustrian dan Pedagangan
Nomor : 378/MPP/KEP/8/1998 memberikan kewenangan penuh kepada
koperasi/KUD menyalurkan pupuk hingga ke petani. Bagan penyaluran pupuk
sesuai kebijakan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
Selanjutnya pada tahun 2004 pemerintah telah merubah kebijakan
sebelumnya dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor :
356/MPP/KEP/5/2004. Kebijakan baru ini memberikan peluang lebih besar kepada
pengusaha non-koperasi yang berprinsip profit oriented untuk menjadi pelaku tata
niaga pupuk. Bagan penyaluran pupuk sesuai kebijakan baru ini dapat dilihat pada
PT. PUPUK KUJANG
PT. PUPUK KALTIM
PT.PUSRI PT. PETROKIMIA
PT. ISKANDAR MUDA
KUD PENYALUR
KUD PENGECER
PETANI KOORDINATOR PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI
PT. PUSRI
TANGGUNG JAWAB DARI LINI I S/D LINI III
TANGGUNG JAWAB DARI LINI III S/D LINI IV
TANGGUNG JAWAB DARI LINI IV S/D PETANI
Gambar 3. Struktur Penyaluran Pupuk Berdasarkan SK Menteri Perindag Nomor : 378/MPP/KEP/8/1988
5 produsen dengan wilayah tanggung jawab masing-masing
PRODUSEN PUPUK
DISTRIBUTOR
PENGECER
PETANI • UREA
• ZA • SP-36 • NPK
TANGGUNG JAWAB S/D LINI III
TANGGUNG JAWAB LINI III S/D LINI IV
TANGGUNG JAWAB LINI IV S/D PETANI
4.4. Pengaturan Pengadaan Pangan/Beras
Pemerintah dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan telah
menetapkan beberapa kebijakan perberasan. Kebijakan pemerintah sesuai Inpres
Nomor 2 Tahun 1997 tentang penetapan harga dasar gabah menugaskan
koperasi dalam pembelian gabah petani. KUD ditugaskan membeli gabah petani
sesuai Harga Dasar Gabah yang ditetapkan pemerintah. Juga KUD dapat menjual
beras kepada BULOG sesuai Harga Pembelian Beras yang ditetapkan
pemerintah. Sedangkan BULOG ditugaskan untuk membeli gabah dan beras dari
KUD dan Non-KUD (swasta) sesuai harga penetapan pemerintah. Selanjutnya
melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 345/KMK.017/2000, pemerintah
menyediakan kredit bagi ketahanan pangan. Koperasi sesuai tugasnya telah
menggunakan kredit tersebut untuk membeli gabah petani. Pada Gambar 5
berikut disajikan rantai tataniaga gabah dan beras yang terjadi di pasar sesuai
kebijakan di atas maupun sesuai kebijakan beras tahun-tahun sebelumnya
dimana koperasi/KUD ditugaskan secara utama dalam pengadaan pangan.
Selanjutnya di dalam Inpres Nomor 9 tahun 2001 dan Inpres Nomor 9
Tahun 2002 tentang penetapan kebijakan perberasan, tidak terdapat lagi harga
dasar gabah di tingkat petani dan KUD tidak lagi diberikan tugas dalam pembelian
gabah dan penjualan beras. Harga Dasar Pembelian Gabah dan Beras hanya
diberikan di tingkat gudang BULOG dan dilaksanakan oleh BULOG. Secara umum
sesuai kebijakan baru tersebut pengadaan pangan diserahkan kepada mekanisme
pasar.
4.5. Fakta-fakta Distribusi Pupuk
Beberapa fakta keberhasilan telah dicapai koperasi saat berlakunya
Keputusan Menteri Perindustrian dan Pedagangan Nomor: 378/MPP/KEP/8/1998
dimana koperasi/KUD diberikan kewenangan penuh untuk menyalurkan pupuk
hingga ke petani. Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2005 melaporkan bahwa
pada periode dimana kebijakan di atas berlaku, PT. PUSRI telah menunjuk 2.335
unit KUD sebagai penyalur dan pengecer pupuk kepada petani. Dalam
pelaksanaan kebijakan tersebut, penyaluran pupuk berjalan dengan lancar
sehingga kebutuhan pupuk petani terlayani dengan baik tanpa ada kelangkaan
Setelah diberlakukannya Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor : 356/MPP/KEP/5/2004 dimana penyaluran pupuk
diserahkan kepada mekanisme pasar, muncul beberapa permasalahan.
Kelangkaan pupuk terjadi terutama di daerah sentra produksi beras pada bulan
Mei, Juni, Nopember dan Desember 2004. Harga pupuk di tingkat petani berada di
atas HET (di Jawa Tengah) yakni antara Rp. 1.450 – Rp. 1.600, per kilogram.
Munculnya keluhan petani dari beberapa daerah bahwa ada beberapa distributor
Tingkat
yang berkedudukan di luar kabupaten yang menjadi wilayah tanggung jawabnya.
Jumlah koperasi/KUD yang terlibat dalam penyaluran pupuk setelah kebijakan
baru tersebut menurut data sementara PT. PUSRI, PT. PETRO KIMIA GRESIK
dan PT. PUPUK KALTIM hanya tersisia 40 % atau 934 unit koperasi (Kementerian
Koperasi dan UKM, 2005).
Media Industri dan Perdagangan pada Maret 2006 menyebutkan bahwa
hampir setiap tahun khususnya menjelang musim tanam padi, Indonesia dilanda
isu kelangkaan pupuk di berbagai daerah. Isu kelangkaan pupuk yang hampir
terjadi secara berulang setiap menjelang musim tanam padi disebabkan oleh (1)
turunnya produksi pupuk akibat gangguan pasokan gas bumi dan adanya
gangguan teknis pabrik, (2) terjadinya peningkatan kebutuhan pupuk nasional
terutama di Pulau Jawa, (3) beberapa produsen dan distributor pupuk tidak
melaksanakan Keputusan Menperindag Nomor 70/MPP/Kep/2/2003 secara
penuh, (4) adanya disparitas harga pupuk urea antara pupuk bersubsidi untuk
petani dengan pupuk untuk perkebunan dan industri, dan (5) sejumlah pedagang
pengumpul menjual pupuk urea bersubsidi kepada pihak perusahaan swasta
besar (perkebunan atau industri) atau bahkan menyelundupkannya ke luar negeri.
Pada Propinsi Sumatera Barat, pengurus KUD dan KTNA Kabupaten/Kota
se-Sumatera Barat pada musim tanam 2005/2006 menyebutkan bahwa monopoli
penyaluran pupuk oleh pihak swasta begitu berat dan tertutup. Penyaluran pupuk
bersubsidi bahkan pupuk non-bersubsidi-pun dilakukan oleh para distributor yang
sama dan tidak transparan. Karena itu kondisi tersebut sulit diawasi. Keterlibatan
Pusat KUD Sumatera Barat sebagai salah satu distributor pupuk, hanya ditunjuk
untuk melayani KUD-KUD di tiga Rayonering yang telah ditentukan oleh PT.
PUSRI, yaitu Kabupaten 50 Kota/Payakumbuh, Kabupaten Tanah Datar/Padang
Panjang dan Kabupaten Dharmasyara. Sementara kios-kios KUD yang berada di
luar rayonering Pusat KUD Sumatera Barat tidak mendapatkan pelayanan.
Kios-kios KUD yang selama ini dipersiapkan dan terbukti berhasil dalam menunjang
program peningkatan pangan/swasembada, sekarang tidak difungsikan lagi.
Dengan tidak difungsikannya kios-kios KUD ini, petani/kelompok tani sangat sulit
untuk mendapatkan pupuk. Kelangkaan pupuk tersebut mendorong kenaikan
mencapai harga Rp. 70.000,-/zak. Sementara Harga Eceran Tertinggi (HET) yang
ditetapkan pemerintah hanya Rp. 52.500,-/zak.
Kasus penyaluran pupuk yang menyebabkan kelangkaan dan kenaikan
harga di Pulau Jawa relatif berbeda dengan daerah lain. Di Propinsi Jawa Barat
misalnya, kelangkaan pupuk dan kenaikan harga pupuk di atas HET juga terjadi.
Kariyasa dan Yusdja (2005) menyebutkan bahwa di Jawa Barat kelangkaan pupuk
dan kenaikan harga pupuk terjadi disebabkan oleh sistem distribusi pupuk yang
tidak efektif. Pengaturan sistem distribusi pupuk memiliki tujuan agar petani dapat
memperoleh pupuk dengan enam azas tepat yaitu tepat tempat, jenis, waktu,
jumlah, mutu, dan harga. Keberhasilan dalam implementasi dari sistem ini salah
satunya dapat dilihat dari adanya kesesuaian antara rencana penyaluran dan
realisasi.
Selama tahun 2005, rencana kebutuhan pupuk urea bersubsidi untuk
tanaman pangan di Jawa Barat sebesar 662 ribu ton. Rencana kebutuhan per
bulannya berkisar 5.000 – 8.000 ton. Rencana kebutuhan pupuk tertinggi terjadi
di Kabupaten Indramayu (65 ribu ton) dan terendah di Kabupaten Purwakarta
(13,6 ribu ton). Sampai dengan bulan Juni 2005, realisasi penyaluran pupuk urea
bersubsidi di Propinsi Jawa Barat sudah mencapai 55,74 persen dari rencana
penyaluran pupuk dalam setahun dan sudah sekitar 103,29 persen dari rencana
penyaluran sampai bulan Juni. Berarti, realisasi penyaluran pupuk secara
keseluruhan di Jawa Barat sudah mencapai 3,29 persen di atas rencana.
Kelebihan realisasi penyaluran pupuk masing-masing terjadi pada bulan
Januari, April, Mei dan Juni, yaitu dengan volume penyaluran berkisar 105,29 –
113,66 persen. Sementara realisasi penyaluran pupuk masih di bawah rencana
hanya terjadi pada bulan Pebruari dan Maret, yaitu dengan penyaluran
berkisar 85,21 – 92,56 persen. Realisasi penyaluran pupuk menurut kabupaten
menunjukkan bahwa pada beberapa kabupaten tertentu sudah terjadi penyaluran
pupuk di atas rencana, sebaliknya pada beberapa kabupaten lainnya masih di
bawah rencana. Sampai dengan bulan Juni, dari 16 kabupaten yang ada,
sebanyak 10 kabupaten (Bogor, Cirebon, Kuningan, Majalengka, Indramayu,
Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, dan Ciamis) realisasi penyaluran
pupuk di Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, dan
Tasikmalaya masih di bawah rencana.
Realisasi penyaluran pupuk baik di atas maupun dibawah rencana akan
menyebabkan terjadi langka pasok dan lonjak harga baik antar musim maupun
antar daerah. Sebagai contoh, realisasi penyaluran pupuk di atas rencana pada
bulan-bulan tertentu akan menyebabkan kekurangan pasok dan lonjak harga pada
bulan-bulan lainnya, mengingat pupuk urea bersubsidi jumlahnya sudah
ditentukan sebelumnya. Demikian juga, realisasi penyaluran pupuk pada
beberapa kabupaten sudah di atas rencana menyebabkan terjadi langka pasok
dan lonjak harga pada kabupaten lainnya. Selain masalah pasokan atau jumlah
dan harga, enam azas tepat lainnya yang dapat dipastikan tidak dipenuhi dengan
adanya ketidaksesuaian antara rencana dan realisasi penyaluran adalah tempat,
jenis dan waktu. Hanya aspek mutu saja yang diduga bisa terpenuhi.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kinerja penyaluran pupuk di lini IV
(pengecer atau kios resmi) selain sangat ditentukan oleh pengecer itu sendiri, juga
sangat ditentukan oleh kinerja dan pola pendistribusian yang dilakukan oleh
distributor pada lini III. Perilaku distributor dalam menyalurkan pupuk ke para
pengecernya sangat beragam. Keragaman ini sangat ditentukan oleh kedekatan
pengecer kepada distributor dan juga kebijakan intern dari masing-masing
distributor itu sendiri.
Jumlah permintaan pupuk yang dilakukan oleh pengecer kepada distributor
sebenarnya tidak berdasarkan kebutuhan yang pasti di tingkat petani. Jumlah
permintaan pupuk menurut musim lebih banyak ditentukan berdasarkan
pengalaman jumlah permintaan pada musim-musim tahun sebelumnya.
Berdasarkan pengalaman ini para pengecer melakukan pemesanan pupuk
kepada masing-masing distributornya yang dituangkan dalam bentuk delivery
order (DO). Melalui DO ini biasanya distributor mengambil pupuk ke gudang
produsen (PT. Kujang dan PT. Pusri) dan terus mendistribusikan ke para
pengecer sesuai permintaan dan pasokan pupuk. Atau pengecer cukup membawa
DO dari distributornya, sudah diijinkan untuk mengambil pupuk langsung ke
gudang produsen.
Beberapa kasus yang terjadi tahun 2006 di Sumatera Utara antara lain