• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Kaji Ulang Peran Koperasi Dalam Menunjang Ketahanan Pangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Laporan Kaji Ulang Peran Koperasi Dalam Menunjang Ketahanan Pangan"

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)

i

Penelitian tentang “Kaji Ulang Peran Koperasi Dalam Menunjang Ketahanan Pangan” bertujuan untuk mengetahui sejauhmana koperasi berperan dalam distribusi pupuk dan pengadaan gabah dan beras setelah pemerintah merubah kebijakan-kebijakan pada pupuk dan beras.

Laporan akhir ini memuat hasil-hasil analisis tentang perilaku para distributor, para pengecer dan petani pengguna pupuk dalam merespon perubahan kebijakan yang ada. Masalah kelangkaan pupuk dan lonjakan harga serta tingkat income petani turut diungkapkan dalam laporan ini. Juga pembelian gabah, produksi beras dan kapasitas produksi beras koperasi serta kinerja usaha koperasi mendapat penekanan utama. Simulasi beberapa skenario kebijakan dilakukan untuk mengevaluasi efektifitas kebijakan pupuk dan beras yang telah berjalan berserta rekomendasi kebijakan terbaik yang dapat diaplikasi.

Terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada pihak-pihak yang turut mendukung terselanggaranya kajian dan pelaporan ini.

Semoga bermanfaat bagi bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Jakarta, Pebruari 2006

(2)

ii DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Dimensi Permasalahan ... 2

1.3. Tujuan Kajian ... 4

1.4. Ruang Lingkup ... 5

II. KERANGKA PEMIKIRAN ... 6

III. METODE KAJIAN ... 12

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 12

3.2. Metode Penarikan Contoh ... 12

3.3. Model dan Metode Analisis Data ... 14

3.3.1. Spesifikasi dan Perumusan Model ... 14

3.3.2. Identifikasi dan Pendugaan Model ... 18

3.3.3. Validasi Model ... 19

3.3.4. Simulasi Kebijakan dan Faktor Eksternal ... 19

3.4. Defenisi Variabel Operasional ... 20

IV. GAMBARAN UMUM DISTRIBUSI PUPUK DAN PENGADAAN BERAS ... 23

4.1. Arti Penting Pupuk dan Beras Bagi Petani, Pemerintah dan Ketahanan Pangan ... 23

4.2. Subsidi Pupuk ... 24

4.3. Pengaturan Distribusi Pupuk ... 25

4.4. Pengaturan Pengadaan Pangan/Beras ... 27

4.5. Fakta-fakta Distribusi Pupuk ... 27

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

5.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengadaan Pupuk, Produksi Gabah dan Beras, dan Usaha Koperasi ... 34

5.1.1. Faktor yang Mempengaruhi Pengadaan Pupuk Level Propinsi hingga Pengecer, Harga Pupuk dan Penggunaan Pupuk Tingkat Petani ... 34

5.1.1.1. Pengadaan Pupuk Level Propinsi hingga Pengecer ... 34

5.1.1.2. Harga Pupuk Tingkat Petani ... 40

(3)

ii

5.1.2. Faktor yang Mempengaruhi Produksi Gabah, Jumlah Penjualan dan Pendapatan Petani; Harga Gabah Koperasi dan Tengkulak; dan Pembelian Gabah,

Produksi dan Kapasitas Produsi Beras Koperasi ... 48

5.1.2.1. Produksi Gabah, Jumlah Penjualan dan Pendapatan Petani ... 48

5.1.2.2. Harga Gabah Koperasi dan Tengkulak ... 56

5.1.2.3. Pembelian Gabah, Produksi dan Kapasitas Produksi Beras Koperasi ... 64

5.1.3. Faktor yang Mempengaruhi Usaha Koperasi ... 71

5.1.3.1. Modal Sendiri, Modal Luar dan Jumlah Aset Koperasi ... 71

5.1.3.2. Volume Usaha Koperasi, SHU dan Bagian SHU Anggota Koperasi ... 76

5.1.3.3. Produktivitas Anggota, Produktivitas Aset, dan Produktivitas Usaha ... 81

5.2. Efektifitas Kebijakan Penyaluran Pupuk dan Pengadaan Beras ... 86

5.2.1. Validasi Model ... 86

5.2.2. Skenario Simulasi ... 87

5.2.3. Evaluasi Efektifitas Kebijakan Pupuk ... 88

5.2.4. Evaluasi Efektifitas Kebijakan Beras ... 91

5.3. Analisis Dampak Perubahan Kebijakan Alternatif untuk Mendukung Koperasi dalam Menunjang Ketahanan Pangan ... 92

5.3.1. Evaluasi Skenario Alternatif Kelompok Pertama ... 94

5.3.2. Evaluasi Skenario Alternatif Kelompok Kedua ... 97

5.4. Model Alternatif Penyaluran Pupuk dan Pengadaan Gabah/Beras Koperasi ... 99

VI. KESIMPULAN DAN MODEL ALTERNATIF ... 103

6.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peran Koperasi dalam Menunjang Ketahanan Pangan ... 103

6.2. Evaluasi Efektifitas Kebijakan Distribusi Pupuk dan Pengadaan Gabah/Beras ... 106

6.3. Kebijakan-kebijakan Alternatif Pendukung Distribusi Pupuk dan Pengadaan Gabah/Beras ... 107

6.4. Model Alternatif Penyaluran Pupuk dan Pengadaan Gabah/Beras ... 107

DAFTAR PUSTAKA ... 108

(4)

ABSTRAK

Koperasi sejak lama telah menjadi badan usaha yang strategis dalam meningkatkan

ekonomi anggotanya maupun masyarakat pada umumnya. Di sektor pertanian, koperasi /

KUD di masa lalu telah cukup efektif mendorong peningkatan produksi di subsektor

pangan, yakni berperan menyalurkan prasarana dan sarana produksi (pupuk, bibit,

obat-obatan dan RMU) kepada petani, juga terlibat dalam pemasaran gabah atau beras.

Kini, seiring perubahan pemerintahan dan kondisi ekonomi yang diikuti

dengan perubahan kebijakan-kebijakan tentang pangan, koperasi / KUD praktis tidak

beperan lagi secara maksimal. Perubahan kebijakan seperti Kepmen Perindag Nomor :

356/MPP/KEP/5/2004, tidak lagi memberikan kewenangan penuh kepada koperasi/KUD

menyalurkan pupuk kepada petani, melainkan kepada swasta (lebih dominan) dan juga

kepada koperasi/KUD. Juga Inpres Nomor 9 tahun 2002 tidak lagi memberi kewenangan

kepada koperasi/KUD sebagai pelaksana tunggal pembelian gabah.

Perubahan kebijakan-kebijakan diatas menyebabkan terjadi kelangkaan pupuk

pada petani, harga pupuk lebih tinggi di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), terjadi

monopoli penyaluran pupuk oleh swasta yang menyebabkan koperasi/KUD nyaris tidak

berperan lagi dalam penyaluran pupuk. Dalam pengadaan pangan, peran koperasi menurun

drastis akibat fasilitas-fasilitas penunjang seperti gudang, lantai jemur, RMU, dan lain-lain

tidak lagi beroperasi maksimal atau menganggur. Semua dampak ini melemahkan

kemampuan ketahanan pangan di dalam negeri.

Dampak-dampak tersebut mendorong dilakukan riset tentang ”Kaji Ulang Peran

Koperasi dalam Menunjang Ketahanan Pangan” dengan tujuan : (1) menganalisis

faktor-faktor yang mempengaruhi peran koperasi dalam menunjang ketahanan pangan

berdasarkan perubahan kebijakan pemerintah terhadap distribusi pupuk dan beras, (2)

menganalisis efektifitas penyaluran pupuk dan pengadaan gabah/beras sesuai perubahan

kebijakan pemerintah dimaksud, (3) menganalisis dampak perubahan kebijakan tersebut

terhadap penyediaan gabah/beras di dalam negeri dan daya dukung koperasi dalam

menunjang ketahanan pangan, dan (4) merumuskan model alternatif yang dapat

diimplementasikan oleh koperasi guna mendukung ketahanan pangan nasional.

Riset berlangsung bulan Juli hingga Agustus 2005 dan mengambil sampel 7 (tujuh)

(5)

Tengah, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor

yang menurunkan kemampuan penyediaan pupuk koperasi adalah (1) kuota penyaluran

pupuk koperasi yang hanya sekitar 30 %, (2) monopoli penyaluran pupuk oleh swasta, (3)

kelangkaan pupuk yang disebabkan oleh ekspor pupuk ilegal ke luar negeri, pengalihan

penjulan pupuk ke perusahaan perkebunan besar atau dihilangkan untuk tujuan tertentu

sehingga menyulitkan koperasi menyediakan pupuk dalam jumlah yang memadai bagi

petani, (4) jumlah permintaan pupuk petani khususnya di Pulau Jawa yang terus

meningkat, (5) harga pupuk yang melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) menciptakan

kendala pembiayaan bagi koperasi untuk mensuplai pupuk kepada petani.

Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan koperasi dalam

pengadaan pangan/beras adalah : (1) jumlah produksi dan penjualan gabah petani yang

menurun akibat penggunaan pupuk di bawah kebutuhan normal, (2) harga jual gabah yang

berfluktuasi, (3) jumlah pembelian gabah koperasi yang menurun akibat permodalan yang

terbatas, (4) produksi dan kapasitas produksi beras koperasi yang menurun akibat peralatan

pendukung yang beroperasi di bawah kapasitas normal (menganggur), dan (5) kapasitas

prasarana dan sarana produksi beras koperasi seperti RMU, gudang dan lantai jemur,

peralatan penunjang lainnya yang telah mengalami penurunan fisik karena tidak beroperasi

secara normal atau tidak terpakai.

Melalui analisis simulasi ditemukan bahwa ”kebijakan distribusi pupuk dan

pengadaan beras” yang sedang dijalankan sekarang tidak efektif menciptakan kemampuan

produksi pangan (beras) dalam negeri. Temuan beberapa alternatif kebijakan yang cukup

layak untuk diterapkan adalah :

1. Kebijakan memerankan koperasi secara penuh baik pada penyaluran pupuk maupun

pada pengadaan pangan/beras. Alternatif kebijakan ini dapat meningkatkan produksi

gabah dan pendapatan petani (hingga 17.05 %) dan produksi beras koperasi (hingga

30.24 %), serta menghilangkan kelangkaan pupuk dan kelebihan harga pupuk di atas

Harga Eceran Tertinggi (HET). Kebijakan ini juga akan lebih menjamin pencapaian

ketahanan pangan (beras) di dalam negeri.

2. Kebijakan peningkatan penggunaan pupuk secara langsung pada petani (25 %),

peningkatan harga gabah 10 %, peningkatan kredit atau modal kepada koperasi untuk

pembelian gabah 10 %, peningkatan kapasitas prasarana dan sarana produksi beras

koperasi 25 % serta peningkatan kenaikan aset dan volume usaha koperasi 10 %.

Kebijakan ini akan menunjang pengadaan pangan/beras koperasi dan pengembangan

(6)

Model alternatif penyaluran pupuk yang dapat diterapkan koperasi sesuai hasil

kajian ini adalah seperti pada Gambar 1. Sedangkan model alternatif pengadaan

pangan/beras adalah seperti pada Gambar 2 dan 3.

K

(7)

(8)

1.1. Latar Belakang

Koperasi merupakan lembaga dimana orang-orang yang memiliki kepentingan relatif homogen berhimpun untuk meningkatkan kesejahteraannya. Konsepsi demikian mendudukkan koperasi sebagai badan usaha yang cukup strategis bagi anggotanya dalam mencapai tujuan-tujuan ekonomis yang pada gilirannya berdampak kepada masyarakat secara luas. Di sektor pertanian misalnya, peranserta koperasi di masa lalu cukup efektif untuk mendorong peningkatan produksi khususnya di subsektor pangan. Selama era tahun 1980-an, koperasi terutama KUD mampu memposisikan diri sebagai lembaga yang diperhitungkan dalam program pengadaan pangan nasional. Ditinjau dari sisi produksi pangan khususnya beras, peran signifikannya dapat diamati dalam hal penyaluran prasarana dan sarana produksi mulai dari pupuk, bibit, obat-obatan, RMU sampai dengan pemasaran gabah atau beras. Meskipun demikian dari sisi konsumsi, ketersediaan bahan pangan bagi konsumen seringkali menjadi bahan perbincangan sebab jaminan kualitas dan kuantitas tidak selalu terpenuhi.

(9)

memiliki konsep dan program pembangunan koperasi yang secara jelas memposisikan koperasi dalam mendukung ketahanan pangan nasional.

Sebelum masa krisis (tahun 1997) terdapat sebanyak 8.427 koperasi yang menangani ketersediaan pangan, sedangkan pada masa krisis (tahun 2000) terjadi penurunan menjadi 7.150 koperasi (Kementerian Koperasi dan UKM, 2003). Fakta ini mengungkap berkurangnya jumlah dan peran koperasi dalam bidang pangan, meskipun begitu beberapa koperasi telah melakukan inovasi model-model pelayanan dalam bidang pangan seperti bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi. Fakta lain menunjukkan bahwa selama tiga tahun terakhir (tahun 2001–2003), terdapat kesenjangan antara produksi padi dan jagung dengan kebutuhan konsumsi yang harus ditanggulangi dengan impor. Akibatnya, ketahanan pangan di dalam negeri dewasa ini menghadapi ancaman keterpurukan yang cukup serius. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya dan tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya dan terjangkau oleh rumahtangga. Konsep ketahanan pangan lebih ditekankan pada konteks penawaran (supply side) yang tidak terpisahkan dari proses distribusi dan pemasaran hingga ke pintu konsumen.

Bertitik tolak dari kondisi empirik tersebut, terdapat pemikiran untuk meninjau kembali peran koperasi dalam mendukung ketahanan pangan nasional, khususnya di sektor perberasan. Oleh karena itu, Kementerian Negara Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (Kementerian KUKM) menganggap penting dilakukannya suatu kajian strategis mengenai peran koperasi dalam menunjang ketahanan pangan nasional.

1.2. Dimensi Permasalahan

(10)

terjadinya kelangkaan persediaan pupuk bagi petani, harga pupuk lebih tinggi di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), kecenderungan monopoli penyaluran pupuk oleh swasta, yang dengan sendirinya peran koperasi/KUD dalam penyaluran pupuk menurun. Penurunan peran koperasi terlihat dari hanya 40 % atau 930 unit dari 2.335 KUD (saat koperasi/KUD memiliki kewenangan penuh) terlibat dalam tataniaga pupuk. Dalam kenyataannya jumlah inipun sulit teridentifikasi.

Dalam hal penanganan ketersediaan pangan, penurunan jumlah koperasi dari 8.427 koperasi sebelum krisis (tahun 1997) menjadi 7.150 koperasi setelah krisis (tahun 2000) juga merupakan indikasi penurunan peran koperasi dalam menunjang ketahanan pangan (Kementrian Koperasi dan UKM, 2003). Padahal koperasi selama ini telah memiliki sejumlah fasilitas penunjang (gudang, lantai jemur, RMU, dan lain-lain) yang mendukung pengadaan produksi gabah/beras, dan koperasi mewadahi sejumlah besar petani padi. Akumulasi kelangkaan dan kenaikan harga pupuk dengan penurunan peran koperasi berdampak serius bagi peningkatan produksi gabah/beras petani, dan mengindikasikan bahwa kemampuan ketahanan pangan dari sisi penawaran (supply side) melemah. Kekurangan produksi gabah/beras di dalam negeri selanjutnya akan dijadikan alasan untuk membuka impor beras meskipun kita tahu bahwa hal ini mengancam dan merugikan para petani.

Dalam hal pengadaan gabah/beras dan penyalurannya kepada konsumen, kini tidak ada lagi skim kredit bagi koperasi untuk pembiayaan usaha pembelian dan pemasaran pangan. Juga sesuai Inpres Nomor 9 tahun 2001 dan Inpres Nomor 9 tahun 2002 tentang kebijakan perberasan, maka koperasi tidak berfungsi lagi sebagai pelaksana tunggal pembelian gabah, tidak ada lagi kebijakan harga dasar di tingkat petani, dan harga dasar pembelian gabah/beras petani hanya ditetapkan oleh Bulog. Disini terdapat dua konsekuensi penting yaitu petani harus memasuki mekanisme pasar, dan mereka harus menjamin kualitas gabah/beras yang ditetapkan Perum Bulog. Petani diduga memiliki bargaining position yang lemah dan karena itu akan sangat merugikan mereka dalam hal stabilitas produksinya, tingkat pendapatannya, dan harga yang wajar diterima terutama pada waktu panen raya.

(11)

mengangkat posisi petani dan dapat menjamin ketersediaan pangan nasional. Koperasi yang selama ini sudah eksis sebenarnya memiliki peran mendasar dalam penguatan ekonomi petani yakni melalui penjaminan ketersediaan pupuk dan harga terjangkau bagi petani, penanganan dan pengolahan gabah petani di saat surplus maupun defisit produksi, penjaminan nilai tukar dan income petani, membuka berbagai akses teknologi, informasi, pasar, dan bisnis kepada petani. Dalam tujuan ketahanan pangan, koperasi telah mengembangkan beberapa model pengamanan persediaan pangan diantaranya model bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi. Model-model ini berperan menjamin persediaan gabah/beras baik di daerah sentra produksi maupun daerah defisit pangan dan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor beras yang sebenarnya secara substansial mengancam ketahanan nasional. Karena itu bagaimana memerankan koperasi sebagai lembaga ekonomi petani dan penguatan agribisnis di dalam perekonomian pasar sangatlah diperlukan.

Berdasarkan masalah di atas perlu dianalisis sejauh mana efektifitas perubahan kebijakan pemerintah dimaksud (distribusi pupuk dan pengadaan beras) yakni menyalurkan pupuk kepada petani guna meningkatkan produksi gabah dan pengadaan gabah/beras untuk pencapaian ketahanan pangan bagi masyarakat. Juga perlu dikaji pengembangan model bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi guna memperkuat ketahanan pangan nasional.

1.3. Tujuan Kajian

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peran koperasi dalam menunjang ketahanan pangan berdasarkan perubahan kebijakan pemerintah terhadap distribusi pupuk dan beras.

2. Menganalisis efektifitas penyaluran pupuk dan pengadaan gabah/beras sesuai perubahan kebijakan pemerintah dimaksud.

3. Menganalisis dampak perubahan kebijakan tersebut terhadap penyediaan gabah/beras di dalam negeri dan daya dukung koperasi dalam menunjang ketahanan pangan.

(12)

1.4. Ruang Lingkup

Ruang lingkup kajian ini meliputi beberapa aspek antara lain :

1. Keragaan distribusi pupuk dari produsen hingga ke konsumen sesuai perubahan kebijakan yang ada.

2. Pelayanan koperasi terhadap kegiatan produksi (gabah) petani dan pengadaan gabah/beras oleh koperasi.

3. Pengembangan model bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi untuk mendukung ketahanan pangan.

4. Kinerja kelembagaan koperasi dalam ketahanan pangan nasional.

5. Pola koperasi/KUD dalam distribusi pangan yang dirintis di beberapa daerah.

(13)

Ketahanan pangan dipandang sebagai hal yang sangat penting dalam

rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia berkualitas,

mandiri, dan sejahtera. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu diwujudkan

ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan beragam serta

tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli

masyarakat (Dewan Ketahanan Pangan, 2002).

Ketahanan pangan menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996,

diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin

dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata

dan terjangkau. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati

dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai

makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan

pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses

penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

Beras hingga kini masih merupakan salah satu komoditi pangan pokok bagi

masyarakat Indonesia dan merupakan komoditi strategis bagi pembangunan

nasional. Pengalaman pada periode-periode awal pembangunan di tanah air

menunjukkan bahwa kekurangan beras sangat mempengaruhi kestabilan

pembangunan nasional. Bahkan hingga kini, bukan saja pada tingkat nasional,

daerah, dan rumahtangga tetapi juga tingkat internasional dimana terlihat

besarnya dampak yang ditimbulkan akibat kekurangan persediaan pangan beras.

Dalam rangka menghindari dan sekaligus mengatasi akibat kekurangan

pangan pokok ini, tidaklah mengherankan jika pemerintah telah mengambil

langkah-langkah kebijakan dengan melibatkan sejumlah besar departemen dan

instansi pemerintah untuk mengatur dan mendorong ketahanan pangan di Dalam

Negeri. Departemen Koperasi adalah salah satu departemen yang sejak lama

telah ditugaskan untuk menangani dan menyeleggarakan persediaan pangan

khususnya beras bagi masyarakat. Dengan tanggung jawab ini dan disertai

dukungan pemeritah, Departemen Koperasi telah menumbuh-kembangkan

(14)

sudah berjalan, telah menjangkau berbagai kegiatan usaha golongan ekonomi

lemah dan telah berkembang luas ke berbagai pelosok Tanah Air.

Sejumlah fakta menunjukkan bahwa keberadaan organisasi koperasi di

sektor pertanian diakui atau tidak sangat membantu petani dalam proses produksi

pangan baik padi maupun palawija. Keberhasilan program Bimas dan Inmas di

masa lalu tidak terlepas dari peranserta koperasi/KUD sejak dari penyediaan

prasarana dan sarana produksi sampai dengan pengolahan hingga pemasaran

produk.

Meskipun demikian kini jaman telah berubah, dan telah terjadi perubahan

seiring berlangsungnya era globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Untuk lebih

mendorong dan mempercepat pencapaian ketahanan pangan, pemerintah kini

telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk penyaluran pupuk dan pengadaan

beras. Pengambilan kebijakan ini dianggap perlu untuk mempermudah

ketersediaan pupuk di lokasi petani dan penggunaannya dengan harga

terjangkau, serta pengadaan gabah/beras yang menjamin persediaan Dalam

Negeri. Diharapkan dengan kebijakan ini petani dapat meningkatkan produksi

gabah mereka yang berarti pada satu sisi menjamin persediaan gabah/beras di

dalam Negeri dan pada sisi lain meningkatkan pendapatan mereka. Sementara di

sisi pengadaan, dengan kewenangan luas yang diberikan kepada berbagai

lembaga untuk terlibat dalam pengadaan pangan akan menjamin stabilitas

persediaan Dalam Negeri.

Secara umum, tujuan kebijakan yang diambil adalah baik, tetapi beberapa

konsekuensi kini mulai muncul. Sebagai contoh, kebijakan penyaluran pupuk

(Kepmen Perindag Nomor : 356/MPP/KEP/5/2004) memberikan kewenangan

pada pihak-pihak swasta dan koperasi/KUD sebagai penyalur/pengecer pupuk ke

konsumen. Berbeda dengan kebijakan sebelumnya (Kepmen Perindag Nomor :

378/MPP/KEP/8/1998), kebijakan baru ini tidak lagi memberikan kewenangan

penuh kepada koperasi/KUD untuk menyalurkan pupuk, yang berarti peran

koperasi/KUD dalam penyaluran pupuk kini menurun.

Perubahan kebijakan ini memiliki konsekuensi dalam jangka pendek

mengganggu sistem distribusi pupuk yang selanjutnya mengganggu ketersediaan

pupuk bagi para petani. Kekurangan ketersediaan pupuk akan mengganggu

(15)

gabah merupakan dua aspek yang saling mengikat. Karena itu kekurangan pupuk

sudah tentu mengancam produksi petani, dan selanjutnya kekurangan beras

mengancam ketahanan pangan yang akan berlanjut pada akibat kerawanan

sosial. Penurunan kuantitas produksi petani berarti juga penurunan pendapatan

mereka dan menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan petani menurun. Secara

nasional, penurunan produksi beras di satu sisi dan peningkatan permintaan beras

di sisi lain akan membuka kran impor. Dalam jangka pendek impor beras berguna

mengatasi kekurangan persediaan dalam negeri, tetapi dalam jangka panjang

menguras sumberdaya domestik (menguras devisa) dan melemahkan stabilitas

nasional.

Konsekuensi perubahan kebijakan yang mengganggu sistem distribusi

pupuk akan terlihat pada ketidaklancaran distribusi pupuk itu sendiri. Pemberian

kebebasan kepada berbagai pihak untuk menyalurkan pupuk di satu sisi

sementara di sisi lain pupuk sendiri merupakan “input/barang publik”, akan

merugikan individu masyarakat (petani) yang menggunakannya secara enam

tepat. Hal ini muncul disebabkan karena terjadi monopoli dan tindakan-tindakan

lainnya untuk mengambil keuntungan sendiri dan merugikan para pelaku lain. Hal

ini nyata dan telah dirasakan oleh petani yang kesulitan mendapat pupuk dengan

harga di atas HET. Di sisi lain koperasi/KUD yang terkena dampak kebijakan

tersebut telah menghadapi kondisi beroperasi di bawah kapasitas terpasang (idle

capacity). Indikasi idle capacity koperasi juga terlihat pada penurunan jumlah

koperasi yang berfungsi melayani kegiatan pengadaan pangan.

Keseluruhan konsekuensi ini menunjukkan bahwa perubahan suatu

kebijakan dapat menguntungkan sebagian pelaku tetapi juga merugikan pelaku

lain. Just et al (1982) mengatakan intervensi pemerintah ke pasar melalui suatu

kebijakan yang bertujuan membantu salah satu pelaku (produsen atau konsumen)

tidak selamanya membuat pasar menjadi seimbang (menguntungkan kedua

pihak). Ketidakseimbangan pasar ini muncul sebagai akibat perubahan perilaku

setiap pelaku dalam merespon perubahan yang terjadi di pasar. Perubahan

perilaku para pelaku pasar terlihat dari berubahnya keputusan-keputusan mereka

dan teridentifikasi dalam aspek-aspek seperti terjadi excess demand dan shortage

(16)

peningkatan atau penurunan fungsi kedua pelaku beserta lembaga yang

membawahinya.

Selalu terdapat konsekuensi dari intervensi pemerintah ke pasar melalui

kebijakan yang diambil, tetapi yang terpenting adalah tujuan yang hendak dicapai.

Jika tujuannya adalah peningkatan produksi untuk menjaga stabilitas ketersediaan

pangan dalam negeri, maka pemerintah harus menyediakan anggaran/biaya untuk

mengkompensasi konsekuensi yang timbul akibat perubahan kebijakan yang

diambil itu. Anggaran/biaya dimaksud disebut sebagai biaya pengadaan produksi

pangan. Kompensasi ini memiliki arti ada resiko yang harus dibayar sebagai

akibat kesalahan pengambilan kebijakan. Dengan demikian, jika kebijakan

distribusi pupuk yang diambil teridentifikasi sangat kuat mengancam produksi

petani (karena petani sebagai pelaku utama supply side) maka secara substansial

kebijakan tersebut tidak layak.

Mempelajari perilaku para pelaku pasar yakni koperasi/KUD dan

non-koperasi (swasta) dalam distribusi pupuk, akan diketahui keputusan-keputusan

yang mereka ambil. Dapat juga diketahui seberapa besar penawaran dan

permintaan pupuk pada masing-masing pihak, apakah terjadi excess demand dan

excess supply pupuk, dan seberapa besar harga pupuk di pasar berada di atas

HET. Apakah penyaluran pupuk oleh masing-masing pelaku sampai ke tangan

petani sesuai prinsip enam tepat? Juga dapat dibandingkan pelaku mana yang

menyalurkan pupuk sesuai tujuan kebijakan distribusi pupuk.

Ketimpangan peran koperasi akibat idle capacity yang dialami berpeluang

mengganggu pencapaian ketahanan pangan. Hal ini disebabkan karena : (1)

koperasi berperan dalam pembinaan produksi gabah petani (secara tidak

langsung melalui penyaluran pupuk), (2) koperasi melakukan pengadaan dan

pengolahan gabah/beras petani, dan (3) koperasi menyalurkan beras kepada

konsumen. Mengenai pembinaan produksi, koperasi membawahi sekian banyak

petani sehingga penyaluran pupuk yang tepat akan memberikan jaminan bagi

produksi petani. Dalam pengadaan dan pengolahan gabah/beras, sering terjadi

surplus produksi disaat panen raya yang menyebabkan harga gabah jatuh, dan

kualitas gabah rendah seiring musim penghujan di saat panen.

Untuk menjamin nilai tukar petani, mengatasi penurunan kualitas

(17)

dengan kualitas dan kuantitas yang dikehendaki bagi ketahanan pangan, koperasi

hadir dengan perannya. Koperasi telah mengembangkan model bank padi,

lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi yang berfungsi mengatasi

kesulitan-kesulitan petani memasuki mekanisme pasar dan menjamin pengadaan

gabah/beras bagi ketahanan pangan.

Jika model ini disandingkan dengan distribusi beras kepada konsumen,

kemungkinan akan dicapai jalur distribusi yang mantap dan menjamin beras

tersedia dengan kualitas, kuantitas, dan harga terjangkau bagi masyarakat. Ini

adalah model yang kontradiktif dengan model mekanisme pasar. Mekanisme

pasar dalam beberapa hal mungkin unggul tetapi ia sangat dekat dengan prinsip

profit maximization” dan mengabaikan “fungsi-fungsi sosial”. Beras merupakan

komoditi strategis bagi ketahanan nasional dan juga sebagai komoditi publik

dimana jika dilepaskan ke dalam mekanisme pasar maka akibat yang merugikan

masyarakat luas akan segera muncul. Akibat tersebut antara lain harga tinggi,

suplai menjadi langka, dan akses masyarakat luas untuk menikmatinya akan

terbatas.

Mengkaji dan menganalisis model mana yang terbaik bagi tujuan

ketahanan pangan nasional sangatlah diperlukan. Mengutamakan sumberdaya

dalam negeri adalah prioritas utama, dan bukanlah mencari alternatif untuk

bergantung seluruhnya pada kekuatan impor. Betapapun kuatnya kita mengimpor

untuk ketahanan pangan akan sangat beresiko jika pasar pangan dunia

mengalami goncangan. Pasar pangan dunia layaknya juga seperti pasar pangan

dalam negeri yang sewaktu-waktu mengalami goncangan. Karena itu adalah

bijaksana jika ketahanan itu dibangun berdasarkan kekuatan dalam negeri.

Dengan membangun sebuah model yang menjelaskan fenomena di atas dan

menganalisisnya secara kuantitatif akan terlihat sebesar apa koperasi berperan

dalam pengadaan pangan khususnya gabah/beras.

Gambar 1 di bawah ini disajikan skema kerangka berpikir sebagaimana

(18)

!"#$%"&'$(%!"#$%$!!$$$!&!$'(!

(19)

Berdasarkan bentuk permasalahan, ruang lingkup dan tujuan penelitian,

kajian ini akan menggunakan metode survei. Metode survei adalah suatu metode

yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang status gejala pada saat

penelitian dilakukan sehingga dapat diketahui kondisi variabel dalam suatu situasi

tertentu (Babie, 1973). Pengetahuan atas kondisi peubah yang telah ditentukan

tersebut akan bermanfaat untuk menjelaskan hubungan timbal-balik antar peubah,

membandingkannya dengan kondisi lain atau sebelumnya, dan untuk menilai

efektifitas suatu kebijakan atau program, di samping untuk menguji suatu hipotesis

(Ary, 1979).

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada 7 propinsi yang merupakan daerah produsen

dan konsumen pangan, masing-masing adalah : Sumatera Utara, Sumatera Barat,

Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Penelitian

dilaksanakan dari bulan Juli hingga Agustus 2005.

3.2. Metode Penarikan Contoh

Penarikan contoh (sample) kajian dilakukan dengan Purposive Sampling Method. Berdasarkan propinsi yang telah ditetapkan, selanjutnya dipilih beberapa

kabupaten contoh yang dominan menyelenggarakan pengadaan pangan. Dari

kabupaten terpilih, dipilih beberapa KUD dan Non-Koperasi yang dominan

melakukan kegiatan distribusi pupuk dan pengadaan gabah/beras beserta para

petani yang terkait dengannya. Secara umum, pengambilan contoh direncanakan

sesuai data Tabel 1.

Responden penelitian ini adalah pengurus KUD, perusahaan swasta,

anggota KUD, dan petani non-anggota KUD. Data yang dikumpulkan terdiri dari

data primer dan data sekunder. Data primer akan diperoleh dari para responden

melalui wawancara langsung dengan menggunakan Daftar Pertanyaan yang telah

disusun secara terstruktur. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari BPS

(20)

instansi penyalur pupuk, dan lembaga-lembaga di daerah yang telah

melaksanakan model-model pengadaan pangan.

Untuk memperoleh hasil analisis yang baik, penelitian ini akan

menggunakan gabungan data (pool data) yakni data cross-section dan data time-series. Data cross-section mengukur sebuah variabel pada suatu waktu tertentu untuk fakta-fakta atau identitas yang memang berbeda. Sedangkan data time-series atau data deret waktu mengukur sebuah variabel tertentu selama beberapa periode waktu berturut-turut (Intriligator et al, 1996). Penggunaan pool data ini

mutlak diperlukan mengingat aspek-aspek yang dikaji dalam penelitian ini

mengandung perbedaan antar pelaku (sesuai lokasi) dan perbedaan antar waktu

terkait ketahanan pangan dan peran koperasi di waktu lalu, kini, dan waktu yang

akan datang.

Tabel 1. Sebaran Sampel dan Responden Penelitian

Sampel Sumut Sumbar Jabar Jatim Jateng Bali NTB

Kop/KUD 6 6 6 6 6 6 6

Anggota* 30 30 30 30 30 30 30

Non Anggota** 30 30 30 30 30 30 30

Swasta*** 6 6 6 6 6 6 6

Dinas

Propvinsi 1 1 1 1 1 1 1

Dinas

Kabupaten 2 2 2 2 2 2 2

Keterangan :

* Anggota adalah para petani anggota koperasi/KUD.

** Non anggota adalah para petani bukan anggota koperasi tetapi masih berada di wilayah tersebut.

(21)

3.3. Model dan Metode Analisis Data

3.3.1. Spesifikasi dan Perumusan Model

Spesifikasi atau perumusan model dalam penelitian ini didasarkan pada

peranan koperasi di dalam ketahanan pangan. Untuk menunjang menciptakan

ketahanan pangan khususnya dalam penyediaan beras yang adalah bahan

pangan pokok, koperasi memiliki sejumlah peran yakni mendorong dan

meningkatkan produksi gabah petani, mengolah dan menyediakan gabah/beras

yang menjamin persediaan Dalam Negeri, dan menyediakan sarana produksi

terutama pupuk guna penyelenggaraan produksi gabah petani.

Fenomena yang terjadi dan kini dihadapi adalah adanya perubahan

kebijakan penyaluran pupuk dan pengadaan beras. Perubahan ini akan merubah

fungsi dan peran para pelaku yang terlibat di dalamnya. Para pelaku disini adalah

pihak swasta dan koperas/KUD yang mendistribusikan pupuk kepada petani dan

pengadaan gabah/beras untuk menjamin persediaan dalam negeri.

Masing-masing pelaku memiliki fungsi dan peran melayani unit-unit individu tertentu

dimana semua fungsi dan peran mereka bertujuan menciptakan ketahanan

pangan nasional.

Dengan memformulasi struktur kegiatan masing-masing pelaku akan

memberikan penjelasan konprehensif sejauh mana masing-masing pelaku

berperan dengan baik menjalankan fungsi mereka. Setelah melakukan analisis

data akan diketahui sejauh mana koperasi berperan di dalam pengadaan pangan

khususnya gabah/beras yakni : (1) perannya di dalam distribusi pupuk ke tangan

petani yang kemudian meningkatkan produksi gabah, (2) peran di dalam

pengadaan stok beras nasional, (3) peran meningkatkan income dan

pengembangan bisnis petani serta peran sosial lainnya. Hasil analisis secara

menyeluruh digunakan sebagai dasar evaluasi apakah penetapan kebijakan

penyaluran pupuk dan pengadaan beras memberikan hasil maksimal sesuai

tujuan penetapannya. Struktur kegiatan masing-masing pelaku sesuai kebijakan

distribusi pupuk dan beras dimodel dalam sebuah model ekonometrika sistem

persamaan simultan. Pada Gambar 2 ditunjukkan kerangka analisis dari model

(22)

Masalah

1. Reposisi peran koperasi dalam ketahanan pangan. 2. Efektifitas penyaluran pupuk dan pengadaan beras

akibat perubahan kebijakan pemerintah terhadap kedua komoditi tersebut.

!" Pengembangan model-model pengadaan dan pengolahan gabah/beras oleh koperasi untuk tujuan ketahanan pangan.#

Model Pendekatan

Model ekonometrika sistem persamaan simultan!

!

Spesifikasi/Perumusan Model

1. Penawaran/permintaan pupuk oleh produsen, non-koperasi, non-koperasi, dan petani.

2. Produksi gabah petani.

3. Pengadaan gabah/beras oleh koperasi. 4. Model koperasi dan jaringan kelembagaan.

Identifikasi : Overidenfied: Metode Pendugaan : 2 SLS

Evaluasi dan Validasi Model

S I M U L A S I

H a s i l

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi peran koperasi dalam distribusi pupuk dan pengadaan gabah/beras.

2. Efektifitas penyaluran pupuk dan pengadaan gabah/beras sesuai perubahan kebijakan pemerintah dimaksud.

3. Besaran dampak kebijakan yang diambil terhadap pengadaan gabah/ beras di dalam negeri dan daya dukung koperasi dalam menunjang ketahanan pangan.

4. Model koperasi ketahanan pangan.

#

(23)

Model untuk mempelajari distribusi pupuk dan pengadaan gabah/beras

oleh koperasi dan non koperasi dibagi dalam beberapa kelompok persamaan

antara lain : (1) persamaan-persamaan penawaran pupuk Lini II sampai Lini IV, (2)

persamaan harga dan permintaan pupuk di tingkat petani, (3) persamaan produksi

gabah, jumlah penjualan dan pendapatan petani, (4) persamaan harga dan

pembelian gabah, dan penawaran beras oleh Non-Koperasi dan Koperasi, dan (5)

persamaan koperasi dan jaringan kelembagaan. Penjelasan tentang

kelompok-kelompok persamaan tersebut dapat dilihat sebagai berikut.

1. Persamaan Penawaran Pupuk dari Lini II sampai Lini IV

Persamaan penawaran pupuk Lini II sampai Lini IV seperti terlihat pada

lampiran menjelaskan tentang perilaku penawaran pupuk pada masing-masing lini

tersebut. Persamaan-persamaan ini menjelaskan faktor-faktor apa saja yang

mempengaruhi perilaku penawaran pupuk para pelaku pada masing-masing lini,

dan faktor-faktor mana yang sesuai hasil analisis nanti potensial mendorong

peningkatan penawaran pupuk oleh setiap pelaku. Apakah penawaran pupuk

dilakukan sesuai tujuan kebijakan yang diberikan pemerintah ataukah lebih berat

kepada tujuan meraih keuntungan sesuai mekanisme pasar yang ada. Dengan

persamaan-persamaan ini kita juga akan mengetahui perilaku membuat

kecurangan dari para pelaku dalam penyaluran pupuk hingga ke petani, dan

karena itu pada kelompok persamaan kedua akan terlihat dampaknya terhadap

jumlah penggunaan pupuk oleh para petani.

2. Persamaan Harga dan Permintaan Pupuk di Tingkat Petani

Kelompok persamaan ini menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi

perilaku harga pupuk di tingkat petani dan jumlah penggunaan pupuk oleh petani.

Petani disini dikelompokkan atas petani non-koperasi dan petani anggota

koperasi. Fluktuasi harga pupuk di tingkat petani dapat disebabkan akibat adanya

excess demand dan excess supply pupuk. Harga pupuk yang meningkat dapat menyebabkan penggunaan pupuk oleh petani mungkin menurun yang selanjutnya

berdampak pada produksi gabah petani (kelompok persamaan bagian ketiga).

Jumlah pupuk yang digunakan petani secara teori dan empiris dipengaruhi

(24)

jumlah penawaran pupuk oleh pengecer, dan kemudahan-kemudahan atau

keterikatan yang disediakan oleh lembaga koperasi dan non-koperasi yang ada.

Perilaku para petani dalam penggunaan pupuk disini akan menjelaskan realitas

penyaluran pupuk hingga ke tingkat petani.

3. Persamaan Produksi Gabah, Jumlah Penjualan dan Pendapatan Petani

Jumlah gabah yang dihasilkan para petani, jumlah yang dijual, dan tingkat

pendapatan mereka dapat dijelaskan dalam bagian kelompok persamaan ini. Para

petani merupakan sasaran akhir dari penyaluran pupuk, dan jumlah pupuk yang

digunakan mereka akan mempengaruhi jumlah gabah yang dihasilkan.

Selanjutnya, dalam rangka menghasilkan income yang tinggi petani menjual

gabah mereka kepada lembaga pembeli yang menawarkan harga gabah lebih

tinggi. Selain itu, keputusan petani dalam menentukan tempat penjualan

gabahnya juga dipengaruhi oleh kemudahan dan peluang-peluang yang

disediakan lembaga-lembaga koperasi, non-koperasi, dan Bulog/Dolog di wilayah

setempat. Secara implicit, hal ini menunjukkan peran lembaga-lembaga tersebut

dalam menunjang dan meningkatkan income petani.

4. Persamaan Harga dan Pembelian Gabah, dan Produksi Beras oleh Koperasi Kelompok persamaan ini menjelaskan harga gabah yang terbentuk di pasar

dimana faktor yang mempengaruhinya secara teoritis dipengaruhi excess yang

terjadi antara penawaran dan permintaan, dan berdasarkan patokan harga gabah

yang ditetapkan pemerintah. Pembelian gabah ditelusuri pada lembaga Koperasi,

dan dianalisis dari sisi produksi dan sisi persaingan pasar. Secara alami analisis

sisi produksi menjelaskan faktor-faktor yang seharusnya berpengaruh terhadap

keputusan pembelian gabah tersebut.

5. Persamaan Koperasi dan Jaringan Kelembagaan

Kelompok persamaan ini secara khusus menjelaskan kondisi internal

koperasi yang menangani distribusi pupuk dan pengadaan gabah/beras.

Persamaan disini menjelaskan kinerja koperasi dalam pengadaan gabah/beras,

produktivitas yang diwujudkan, dan hubungan dengan lembaga lain dalam

pengadaan gabah/beras. Secara umum kelompok persamaan ini tidak terlepas

(25)

3.3. 2. Identifikasi dan Pendugaan Model

Dalam formulasi model, identifikasi menjadi persoalan penting. Apabila

model tidak teridentifikasi maka parameter-parameternya tidak bisa diestimasi.

Suatu model dikatakan identified jika dinyatakan dalam bentuk statistik unik, yang

menghasilkan estimasi parameter yang unik. Menurut Koutsoyianis (1977)

terdapat dua dalil pengujian identifikasi yaitu order condition dan rank condition yang diterapkan pada bentuk struktural model.

Dalil order condition menyatakan bahwa suatu persamaan dikatakan

identified bila jumlah seluruh variabel (predetermined dan endogen) yang tidak terdapat dalam persamaan tersebut tetapi terdapat dalam persamaan lain harus

sama banyaknya dengan jumlah seluruh variabel endogen dalam model dikurangi

satu. Sedangkan rank condition menyatakan bahwa suatu sistem yang terdiri dari

G persamaan, suatu persamaan disebut identified jika dan hanya jika memiliki

satu determinan yang tidak sama dengan nol yang berdimensi (G - 1) dari

koefisien-koefisien variabel yang dimasukkan dalam persamaan tersebut tetapi

terkandung dalam persamaan lain dalam model. Order condition diekspresikan sebagai berikut :

(K - M ) (G – 1)

dimana :

G = Jumlah peubah endogen dalam model

K = Total peubah dalam model (peubah endogen dan eksogen)

M = Jumlah peubah endogen dan eksogen yang dimasukan

dalam suatu persamaan.

Jika (K – M) = (G – 1) maka suatu persamaan dikatakan exactly identified, (K – M) > (G – 1) dikatakan overidentified, dan (K – M) < (G – 1) dikatakan

underidentified. Order merupakan necessary condition tetapi not sufficient artinya walaupun satu persamaan identified menurut oder condition, tetapi bisa saja menjadi not-identified bila diuji dengan rank condition.

Setelah model diidentifikasi dengan menggunakan order condition, diperoleh seluruh persamaan adalah “overidentified” sehingga metode pendugaan

yang dapat diterapkan adalah metode 2 SLS. Untuk menguji apakah

(26)

peubah endogen, maka pada masing-masing persamaan digunakan uji statistik F.

Untuk menguji apakah masing-masing peubah penjelas secara individual

berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen pada masing-masing

persamaan digunakan uji statistik t.

3.3.3. Validasi Model

Untuk keperluan simulasi terlebih dahulu model divalidasi untuk

mengetahui apakah model sudah cukup baik atau belum. Untuk itu digunakan

kriteria statistik Root Mean Squares Error (RMSE), Root Mean Squares Percent Error (RMSPE), U-Theil (Theil’s Inequality Coefficient) dan Koefisien Determinasi (R2). Penggunaan kriteria statistik bertujuan untuk membandingkan nilai aktual dengan nilai dugaan peubah endogen. Kriteria-kriteria statistik tersebut

dirumuskan sebagai berikut :

Y = Nilai hasil simulasi dasar dari variabel observasi

a t

Y = Nilai aktual variabel observasi

n = Jumlah periode observasi.

Semakin kecil nilai RMSE, RMSPE dan U semakin baik modelnya. Nilai U

berkisar antara 0 dan 1, sedangkan nilai R2 yang baik adalah mendekati satu.

3.3.4. Simulasi Kebijakan dan Faktor Eksternal

Setelah melalui proses validasi dan model dinyatakan valid, maka

dilakukan simulasi terhadap variabel-variabel kebijakan seperti perubahan

kebijakan distribusi pupuk dan pengadaan beras yang semula dominan ditangani

(27)

terhadap variabel-variabel kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk dan

Harga Pembelian Gabah oleh pemerintah dimana keduanya merupakan variabel

signal pasar dan umum digunakan para pelaku pasar dalam operasionalisasi

keputusan-keputusan mereka.

Simulasi ketiga variabel kebijakan ini akan dilihat dampaknya terhadap

perubahan variabel-variabel keputusan di dalam model. Variabel-variabel utama

yang dilihat adalah keputusan menyalurkan pupuk baik oleh koperasi dan

non-koperasi, jumlah pupuk yang tersedia dan digunakan petani, produksi gabah dan

tingkat income petani, pembelian dan pengadaan gabah/beras oleh

masing-masing lembaga, dan variabel keputusan lainnya. Perubahan

variabel-variabel dimaksud akan selalu dibandingkan antara koperasi dan non-koperasi

untuk menguji efektifitas kebijakan dimaksud, dan semuanya akan menjelaskan

peranan masing-masing lembaga di dalam ketahanan pangan khususnya

pengadaan beras.

Selain terhadap variabel kebijakan di atas, simulasi juga dilakukan terhadap

faktor-faktor eksternal (variabel-variabel non-kebijakan) untuk mengetahui dampak

yang ditimbulkan bagi variabel-variabel keputusan yang dianalisis. Hasil-hasil

simulasi ini selain menjelaskan peranan lembaga koperasi dan non-koperasi, juga

sekaligus digunakan sebagai dasar membentuk model ketahanan pangan.

3.4. Definisi Variabel Operasional

1. Penawaran pupuk masing-masing Lini II sampai Lini IV adalah jumlah pupuk

yang ditawarkan oleh masing-masing pelakunya ke pasar. Khusus pada Lini

IV, penawaran ini terbagi atas dua yaitu penawaran oleh koperasi dan

non-koperasi. Penawaran pupuk diukur dalam satuan ton.

2. Permintaan pupuk masing-masing Lini II sampai Lini IV dan oleh petani

adalah jumlah pupuk yang diminta oleh masing-masing pelaku. Khusus pada

Lini IV, permintaan pupuk terbagi atas dua bagian yaitu permintaan oleh

koperasi dan non-koperasi. Mengikuti permintaan pupuk di Lini IV,

permintaan pupuk pada tingkat petani juga terbagi atas dua bagian yaitu

permintaan pupuk oleh petani sebagai anggota koperasi dan permintaan

pupuk oleh petani yang bukan anggota koperasi (petani non-koperasi).

(28)

3. Produksi gabah terdiri atas gabah petani anggota koperasi dan gabah petani

non-koperasi adalah jumlah gabah yang dihasilkan masing-masing petani

selama satu periode panen, diukur dalam satuan ton atau kilogram.

4. Total produksi gabah petani adalah penjumlahan dari gabah petani anggota

koperasi dan gabah petani non-koperasi, diukur dalam satuan ton atau

kilogram.

5. Jumlah gabah yang dijual oleh petani anggota koperasi dan petani

non-koperasi adalah bagian dari produksi gabah yang dapat mereka jual. Tidak

semua gabah yang dihasilkan petani dijual untuk mendapatkan uang tetapi

sebagian dikonsumsi sendiri oleh keluarganya. Jumlah penjualan gabah

diukur dalam satuan ton atau kilogram.

6. Pendapatan petani anggota koperasi dan petani non-koperasi adalah

pendapatan yang diperoleh dari usahatani padi yakni dari hasil penjualan

gabah mereka, diukur dalam satuan rupiah.

7. Jumlah gabah yang dibeli koperasi, non-koperasi, Bulog/Dolog, dan

Pemerintah Daerah setempat adalah jumlah gabah yang dibeli

masing-masing lembaga dalam satu musim panen atau satu tahun, diukur dalam

satuan ton.

8. Total pembelian gabah adalah penjumlahan dari pembelian gabah

masing-masing lembaga, diukur dalam satuan ton.

9. Kontribusi pembelian gabah adalah kontribusi masing-masing lembaga

dalam pembelian gabah per musim panen atau per tahun, diukur dalam

satuan persen.

10. Jumlah gabah masing-masing lembaga adalah total jumlah gabah yang

dimiliki masing-masing lembaga per musim panen atau per tahun, terdiri atas

gabah yang baru dibeli dan stok gabah yang telah ada, diukur dalam satuan

ton.

11. Total penawaran gabah (mewakili propinsi) adalah total jumah gabah yang

ditawarkan per musim panen atau per tahun dan merupakan penjumlahan

dari jumlah gabah masing-masing lembaga, diukur dalam satuan ton.

12. Penawaran beras masing-masing lembaga adalah jumlah beras yang

diproduksi dan ditawarkan masing-masing lembaga per musim panen atau

(29)

13. Total penawaran beras (mewakili propinsi) adalah total jumlah beras yang

ditawarkan per musim panen atau per tahun dan merupakan penjumlahan

dari jumlah beras masing-masing lembaga, diukur dalam satuan ton.

14. Total modal koperasi adalah total jumlah modal yang dimiliki koperasi dalam

satu tahun, merupakan penjumlahan dari modal sendiri anggota koperasi dan

modal luar. Modal sendiri anggota koperasi adalah bagian modal koperasi

yang berasal dari modal anggota, sedangkan modal luar koperasi adalah

bagian modal yang diperoleh dari luar koperasi. Ketiganya diukur dalam

satuan rupiah.

15. Aset koperasi adalah total nilai aset koperasi per tahun, diukur dalam satuan

rupiah.

16. Kapasitas produksi beras koperasi adalah kemampuan menghasilkan beras

per musim panen atau per tahun berdasarkan kapasitas sarana dan

prasarana yang dimiliki koperasi, diukur dalam satuan ton atau kwintal.

17. Produksi beras koperasi adalah jumlah beras yang diproduksi per musim

panen atau per tahun, diukur dalam satuan ton atau kwintal.

18. Volume usaha koperasi (volume) adalah total nilai hasil usaha koperasi per

tahun, diukur dalam satuan rupiah.

19. SHU adalah nilai sisa hasil usaha koperasi per tahun, diukur dalam satuan

rupiah.

20. Bagian sisa hasil usaha anggota koperasi adalah bagian SHU yang diterima

masing-masing anggota dihitung secara rata-rata, diukur dalam satuan

rupiah.

21. Produktivitas koperasi adalah angka atau indeks yang mengukur

produktivitas anggota, asset, modal, dan SHU. Formulanya adalah volume

(30)

4.1. Arti Penting Pupuk dan Beras Bagi Petani, Pemerintah dan Ketahanan Pangan

Pupuk dan beras adalah dua komoditi pokok dalam sistem ketahanan

pangan nasional. Pupuk sebagai bahan kimia atau organisme berperan dalam

penyediaan unsur hara bagi keperluan tanaman secara langsung atau tidak

langsung. Melalui pupuk tanaman pangan menghasilkan produksi pangan. Pupuk

digunakan petani untuk meningkatkan produksi gabah mereka. Kekurangan

penggunaan pupuk mengakibatkan produksi gabah petani menurun. Dengan

demikian kebutuhan akan pupuk adalah hal yang utama bagi petani dalam

peningkatan produksi gabah mereka.

Gabah petani menghasilkan beras yang dikonsumsi sebagai pangan pokok.

Dalam sistem ketahanan pangan nasional, beras memiliki peran penting meskipun

bukan lagi merupakan bahan pangan satu-satunya sumber karbohidrat. Beras

merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia sejak

turun temurun. Budidaya tanaman padi penghasil beras telah menyatu dengan

kehidupan masyarakat tani Indonesia. Karena itu komoditi beras memiliki peran

ganda terutama bagi petani sebagai sumber pangan dan lapangan usaha maupun

bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan sebagai bahan pangan pokok

dalam sistem ketahanan pangan nasional.

Pemerintah memandang ketahanan pangan sebagai hal yang sangat

penting dalam rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia

Indonesia berkualitas, mandiri, dan sejahtera. Untuk mencapai ketahanan pangan

tersebut perlu diwujudkan ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu,

bergizi dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan

terjangkau oleh daya beli masyarakat. Beras merupakan salah satu bahan pangan

pokok penting di dalam sistem ketahanan pangan sehingga dalam rangka

mewujudkan ketahanan pangan, pemerintah merasa penting untuk mengatur

(31)

4.2. Subsidi Pupuk

Beras terkait dengan pupuk dan keduanya menyatu dengan petani.

Ketiganya merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan. Pupuk

sebagaimana fungsinya dapat memacu peningkatan produksi tanaman pangan.

Karena itu pupuk merupakan komoditi yang memiliki peran strategis dalam

mendukung sektor pertanian dan dalam upaya meningkatkan produksi gabah dan

beras petani. Untuk mewujudkan ketahanan pangan pemerintah merasa perlu

mendorong peningkatan produksi gabah dan beras di sektor pertanian.

Pupuk telah menjadi kebutuhan pokok bagi petani dalam produksi

gabahnya. Tetapi penggunaan pupuk memerlukan biaya dan biaya tersebut

merupakan beban bagi petani dalam proses produksi. Karena itu pada satu sisi

pemerintah bermaksud membantu beban biaya pupuk petani dan mendorong

peningkatan produksi gabah mereka. Sementara pada sisi lain pemerintah

menganggap pupuk memiliki peran sangat penting didalam peningkatan

produktivitas dan produksi komoditas pertanian untuk mewujudkan Program

Ketahanan Pangan Nasional. Dengan demikian pemerintah merasa perlu

mesubsidi pupuk.

Subsidi pupuk sekarang ini diberikan pemerintah melalui subsidi harga gas

kepada industri pupuk. Subsidi harga gas kepada industri pupuk tersebut

merupakan upaya pemerintah untuk menjamin ketersediaan pupuk bagi petani

dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah yaitu Harga Eceran Tertinggi

(HET). Sesuai Keputusan Menteri Pertanian Nomor 106/Kpts/SR.130/2/2004

tentang kebutuhan pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian dan Nomor

64/Kpts/SR.130/3/2005 tentang kebutuhan dan harga eceran tertinggi pupuk

bersubsidi untuk sektor pertanian, pupuk bersubsidi adalah pupuk yang

pengadaan dan penyalurannya ditataniagakan dengan Harga Eceran Tertinggi

(HET) di tingkat pengecer resmi.

Jenis-jenis pupuk yang disubsidi sesuai Kepmen tersebut adalah pupuk

Urea, SP-36, ZA dan NPK dengan komposisi 15 : 15 : 15 dan diberi label “Pupuk

Bersubsidi Pemerintah.” Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan

pemerintah adalah : Pupuk Urea Rp. 1.050,- per kg; Pupuk ZA Rp. 950,- per kg;

Pupuk SP-36 Rp. 1.400,- per kg; dan Pupuk NPK 1.600,- per kg. Jenis pupuk

(32)

Perkebunan dan atau Hijauan Makanan Ternak. Perkebunan yang dimaksudkan

disini adalah usaha milik sendiri atau bukan, dengan luasan tidak melebihi 25

hektar dan tidak membutuhkan izin usaha perkebunan. Pupuk bersubsidi bukan

diperuntukan bagi perusahaan perkebunan, perusahaan tanaman pangan,

perusahaan hortikultura dan perusahaan peternakan.

Kebutuhan pupuk yang akan disubsidi dihitung berdasarkan usulan

kebutuhan pupuk dari seluruh Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan di

Propinsi dengan mempertimbangkan alokasi anggaran subsidi pupuk

masing-masing tahun. Karena itu jumlah pupuk yang disubsidi menurut propinsi dan dirinci

per kabupaten adalah tercantum dalam lampiran Keputusan Menteri Pertanian

tentang kebutuhan dan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi sektor pertanian

pada masing-masing tahun.

4.3. Pengaturan Distribusi Pupuk

Dalam rangka meningkatkan produktivitas dan produksi komoditi pertanian

untuk mewujudkan program ketahanan pangan nasional, pemerintah merasa perlu

untuk menjamin ketersediaan pupuk bersubsidi saat dibutuhkan petani.

Penjaminan pemerintah ini memenuhi prinsip 6 (enam) tepat yaitu tepat jenis,

jumlah, harga, tempat, waktu, dan mutu. Beberapa kebijakan pemerintah dalam

penyaluran pupuk antara lain Keputusan Menteri Perindustrian dan Pedagangan

Nomor : 378/MPP/KEP/8/1998 memberikan kewenangan penuh kepada

koperasi/KUD menyalurkan pupuk hingga ke petani. Bagan penyaluran pupuk

sesuai kebijakan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.

Selanjutnya pada tahun 2004 pemerintah telah merubah kebijakan

sebelumnya dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor :

356/MPP/KEP/5/2004. Kebijakan baru ini memberikan peluang lebih besar kepada

pengusaha non-koperasi yang berprinsip profit oriented untuk menjadi pelaku tata

niaga pupuk. Bagan penyaluran pupuk sesuai kebijakan baru ini dapat dilihat pada

(33)

PT. PUPUK KUJANG

PT. PUPUK KALTIM

PT.PUSRI PT. PETROKIMIA

PT. ISKANDAR MUDA

KUD PENYALUR

KUD PENGECER

PETANI KOORDINATOR PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI

PT. PUSRI

TANGGUNG JAWAB DARI LINI I S/D LINI III

TANGGUNG JAWAB DARI LINI III S/D LINI IV

TANGGUNG JAWAB DARI LINI IV S/D PETANI

Gambar 3. Struktur Penyaluran Pupuk Berdasarkan SK Menteri Perindag Nomor : 378/MPP/KEP/8/1988

5 produsen dengan wilayah tanggung jawab masing-masing

PRODUSEN PUPUK

DISTRIBUTOR

PENGECER

PETANI • UREA

• ZA • SP-36 • NPK

TANGGUNG JAWAB S/D LINI III

TANGGUNG JAWAB LINI III S/D LINI IV

TANGGUNG JAWAB LINI IV S/D PETANI

(34)

4.4. Pengaturan Pengadaan Pangan/Beras

Pemerintah dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan telah

menetapkan beberapa kebijakan perberasan. Kebijakan pemerintah sesuai Inpres

Nomor 2 Tahun 1997 tentang penetapan harga dasar gabah menugaskan

koperasi dalam pembelian gabah petani. KUD ditugaskan membeli gabah petani

sesuai Harga Dasar Gabah yang ditetapkan pemerintah. Juga KUD dapat menjual

beras kepada BULOG sesuai Harga Pembelian Beras yang ditetapkan

pemerintah. Sedangkan BULOG ditugaskan untuk membeli gabah dan beras dari

KUD dan Non-KUD (swasta) sesuai harga penetapan pemerintah. Selanjutnya

melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 345/KMK.017/2000, pemerintah

menyediakan kredit bagi ketahanan pangan. Koperasi sesuai tugasnya telah

menggunakan kredit tersebut untuk membeli gabah petani. Pada Gambar 5

berikut disajikan rantai tataniaga gabah dan beras yang terjadi di pasar sesuai

kebijakan di atas maupun sesuai kebijakan beras tahun-tahun sebelumnya

dimana koperasi/KUD ditugaskan secara utama dalam pengadaan pangan.

Selanjutnya di dalam Inpres Nomor 9 tahun 2001 dan Inpres Nomor 9

Tahun 2002 tentang penetapan kebijakan perberasan, tidak terdapat lagi harga

dasar gabah di tingkat petani dan KUD tidak lagi diberikan tugas dalam pembelian

gabah dan penjualan beras. Harga Dasar Pembelian Gabah dan Beras hanya

diberikan di tingkat gudang BULOG dan dilaksanakan oleh BULOG. Secara umum

sesuai kebijakan baru tersebut pengadaan pangan diserahkan kepada mekanisme

pasar.

4.5. Fakta-fakta Distribusi Pupuk

Beberapa fakta keberhasilan telah dicapai koperasi saat berlakunya

Keputusan Menteri Perindustrian dan Pedagangan Nomor: 378/MPP/KEP/8/1998

dimana koperasi/KUD diberikan kewenangan penuh untuk menyalurkan pupuk

hingga ke petani. Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2005 melaporkan bahwa

pada periode dimana kebijakan di atas berlaku, PT. PUSRI telah menunjuk 2.335

unit KUD sebagai penyalur dan pengecer pupuk kepada petani. Dalam

pelaksanaan kebijakan tersebut, penyaluran pupuk berjalan dengan lancar

sehingga kebutuhan pupuk petani terlayani dengan baik tanpa ada kelangkaan

(35)

Setelah diberlakukannya Keputusan Menteri Perindustrian dan

Perdagangan Nomor : 356/MPP/KEP/5/2004 dimana penyaluran pupuk

diserahkan kepada mekanisme pasar, muncul beberapa permasalahan.

Kelangkaan pupuk terjadi terutama di daerah sentra produksi beras pada bulan

Mei, Juni, Nopember dan Desember 2004. Harga pupuk di tingkat petani berada di

atas HET (di Jawa Tengah) yakni antara Rp. 1.450 – Rp. 1.600, per kilogram.

Munculnya keluhan petani dari beberapa daerah bahwa ada beberapa distributor

Tingkat

(36)

yang berkedudukan di luar kabupaten yang menjadi wilayah tanggung jawabnya.

Jumlah koperasi/KUD yang terlibat dalam penyaluran pupuk setelah kebijakan

baru tersebut menurut data sementara PT. PUSRI, PT. PETRO KIMIA GRESIK

dan PT. PUPUK KALTIM hanya tersisia 40 % atau 934 unit koperasi (Kementerian

Koperasi dan UKM, 2005).

Media Industri dan Perdagangan pada Maret 2006 menyebutkan bahwa

hampir setiap tahun khususnya menjelang musim tanam padi, Indonesia dilanda

isu kelangkaan pupuk di berbagai daerah. Isu kelangkaan pupuk yang hampir

terjadi secara berulang setiap menjelang musim tanam padi disebabkan oleh (1)

turunnya produksi pupuk akibat gangguan pasokan gas bumi dan adanya

gangguan teknis pabrik, (2) terjadinya peningkatan kebutuhan pupuk nasional

terutama di Pulau Jawa, (3) beberapa produsen dan distributor pupuk tidak

melaksanakan Keputusan Menperindag Nomor 70/MPP/Kep/2/2003 secara

penuh, (4) adanya disparitas harga pupuk urea antara pupuk bersubsidi untuk

petani dengan pupuk untuk perkebunan dan industri, dan (5) sejumlah pedagang

pengumpul menjual pupuk urea bersubsidi kepada pihak perusahaan swasta

besar (perkebunan atau industri) atau bahkan menyelundupkannya ke luar negeri.

Pada Propinsi Sumatera Barat, pengurus KUD dan KTNA Kabupaten/Kota

se-Sumatera Barat pada musim tanam 2005/2006 menyebutkan bahwa monopoli

penyaluran pupuk oleh pihak swasta begitu berat dan tertutup. Penyaluran pupuk

bersubsidi bahkan pupuk non-bersubsidi-pun dilakukan oleh para distributor yang

sama dan tidak transparan. Karena itu kondisi tersebut sulit diawasi. Keterlibatan

Pusat KUD Sumatera Barat sebagai salah satu distributor pupuk, hanya ditunjuk

untuk melayani KUD-KUD di tiga Rayonering yang telah ditentukan oleh PT.

PUSRI, yaitu Kabupaten 50 Kota/Payakumbuh, Kabupaten Tanah Datar/Padang

Panjang dan Kabupaten Dharmasyara. Sementara kios-kios KUD yang berada di

luar rayonering Pusat KUD Sumatera Barat tidak mendapatkan pelayanan.

Kios-kios KUD yang selama ini dipersiapkan dan terbukti berhasil dalam menunjang

program peningkatan pangan/swasembada, sekarang tidak difungsikan lagi.

Dengan tidak difungsikannya kios-kios KUD ini, petani/kelompok tani sangat sulit

untuk mendapatkan pupuk. Kelangkaan pupuk tersebut mendorong kenaikan

(37)

mencapai harga Rp. 70.000,-/zak. Sementara Harga Eceran Tertinggi (HET) yang

ditetapkan pemerintah hanya Rp. 52.500,-/zak.

Kasus penyaluran pupuk yang menyebabkan kelangkaan dan kenaikan

harga di Pulau Jawa relatif berbeda dengan daerah lain. Di Propinsi Jawa Barat

misalnya, kelangkaan pupuk dan kenaikan harga pupuk di atas HET juga terjadi.

Kariyasa dan Yusdja (2005) menyebutkan bahwa di Jawa Barat kelangkaan pupuk

dan kenaikan harga pupuk terjadi disebabkan oleh sistem distribusi pupuk yang

tidak efektif. Pengaturan sistem distribusi pupuk memiliki tujuan agar petani dapat

memperoleh pupuk dengan enam azas tepat yaitu tepat tempat, jenis, waktu,

jumlah, mutu, dan harga. Keberhasilan dalam implementasi dari sistem ini salah

satunya dapat dilihat dari adanya kesesuaian antara rencana penyaluran dan

realisasi.

Selama tahun 2005, rencana kebutuhan pupuk urea bersubsidi untuk

tanaman pangan di Jawa Barat sebesar 662 ribu ton. Rencana kebutuhan per

bulannya berkisar 5.000 – 8.000 ton. Rencana kebutuhan pupuk tertinggi terjadi

di Kabupaten Indramayu (65 ribu ton) dan terendah di Kabupaten Purwakarta

(13,6 ribu ton). Sampai dengan bulan Juni 2005, realisasi penyaluran pupuk urea

bersubsidi di Propinsi Jawa Barat sudah mencapai 55,74 persen dari rencana

penyaluran pupuk dalam setahun dan sudah sekitar 103,29 persen dari rencana

penyaluran sampai bulan Juni. Berarti, realisasi penyaluran pupuk secara

keseluruhan di Jawa Barat sudah mencapai 3,29 persen di atas rencana.

Kelebihan realisasi penyaluran pupuk masing-masing terjadi pada bulan

Januari, April, Mei dan Juni, yaitu dengan volume penyaluran berkisar 105,29 –

113,66 persen. Sementara realisasi penyaluran pupuk masih di bawah rencana

hanya terjadi pada bulan Pebruari dan Maret, yaitu dengan penyaluran

berkisar 85,21 – 92,56 persen. Realisasi penyaluran pupuk menurut kabupaten

menunjukkan bahwa pada beberapa kabupaten tertentu sudah terjadi penyaluran

pupuk di atas rencana, sebaliknya pada beberapa kabupaten lainnya masih di

bawah rencana. Sampai dengan bulan Juni, dari 16 kabupaten yang ada,

sebanyak 10 kabupaten (Bogor, Cirebon, Kuningan, Majalengka, Indramayu,

Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, dan Ciamis) realisasi penyaluran

(38)

pupuk di Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, dan

Tasikmalaya masih di bawah rencana.

Realisasi penyaluran pupuk baik di atas maupun dibawah rencana akan

menyebabkan terjadi langka pasok dan lonjak harga baik antar musim maupun

antar daerah. Sebagai contoh, realisasi penyaluran pupuk di atas rencana pada

bulan-bulan tertentu akan menyebabkan kekurangan pasok dan lonjak harga pada

bulan-bulan lainnya, mengingat pupuk urea bersubsidi jumlahnya sudah

ditentukan sebelumnya. Demikian juga, realisasi penyaluran pupuk pada

beberapa kabupaten sudah di atas rencana menyebabkan terjadi langka pasok

dan lonjak harga pada kabupaten lainnya. Selain masalah pasokan atau jumlah

dan harga, enam azas tepat lainnya yang dapat dipastikan tidak dipenuhi dengan

adanya ketidaksesuaian antara rencana dan realisasi penyaluran adalah tempat,

jenis dan waktu. Hanya aspek mutu saja yang diduga bisa terpenuhi.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kinerja penyaluran pupuk di lini IV

(pengecer atau kios resmi) selain sangat ditentukan oleh pengecer itu sendiri, juga

sangat ditentukan oleh kinerja dan pola pendistribusian yang dilakukan oleh

distributor pada lini III. Perilaku distributor dalam menyalurkan pupuk ke para

pengecernya sangat beragam. Keragaman ini sangat ditentukan oleh kedekatan

pengecer kepada distributor dan juga kebijakan intern dari masing-masing

distributor itu sendiri.

Jumlah permintaan pupuk yang dilakukan oleh pengecer kepada distributor

sebenarnya tidak berdasarkan kebutuhan yang pasti di tingkat petani. Jumlah

permintaan pupuk menurut musim lebih banyak ditentukan berdasarkan

pengalaman jumlah permintaan pada musim-musim tahun sebelumnya.

Berdasarkan pengalaman ini para pengecer melakukan pemesanan pupuk

kepada masing-masing distributornya yang dituangkan dalam bentuk delivery

order (DO). Melalui DO ini biasanya distributor mengambil pupuk ke gudang

produsen (PT. Kujang dan PT. Pusri) dan terus mendistribusikan ke para

pengecer sesuai permintaan dan pasokan pupuk. Atau pengecer cukup membawa

DO dari distributornya, sudah diijinkan untuk mengambil pupuk langsung ke

gudang produsen.

Beberapa kasus yang terjadi tahun 2006 di Sumatera Utara antara lain

Gambar

Gambar  1.   Model Alternatif Penyaluran Pupuk Koperasi
Gambar  2.  Model Alternatif Pengadaan Pangan/Beras
Gambar  1.  Skema Kerangka Pemikiran Keterkaitan Distribusi Pupuk,                       Produksi Gabah dan Distribusi Beras untuk Ketahanan Pangan
Tabel  1.   Sebaran Sampel dan Responden Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Komplikasi yang berkaitan dengan kehamilan yaitu umur, preeklamsia, kehamilan ganda, ketuban pecah dini, plasenta previa dan penyakit penyerta yang dialami ibu

12 Terselenggaranya Layanan Dukungan Manajemen Satker 01 Jumlah Penerbitan Dokumen Keimigrasian Bagi Orang Asing Indikator Kinerja Kegiatan. 01 Jumlah Penerbitan Dokumen

BPRS Bhakti Sumekar disajikan dalam beberapa jenis laporan terdiri dari laporan bulanan ke Bank Indonesia (BI) diantaranya (laporan neraca, laporan laba rugi,

(4) Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d, dibayarkan kepada lembaga penyelenggara asuransi dan dana pensiun yang ditetapkan oleh Sekretaris

Bisa untuk mengirim SMS ke nomor tertentu, semua nomor atau berdasar group  Customizable Auto Reply SMS via Import Data Excel.. Anda dapat membuat SMS autoreply dengan

Dari data hasil analisis dapat disimpulkan bahwa waktu komputasi antara enkripsi dan dekripsi berbanding lurus dengan penambahan besarnya file yang dioperasikan baik metode

Bertolak pada latar belakang permasalahan di atas, maka dilakukan penelitian terhadap 1.521 sampel darah penduduk kota Medan yang berasal dari berbagai kelompok suku

Pengontrolan running text menggunakan voice ini menggunakan jaringan Bluetooth untuk mengkomunikasikan perangkat android ke arduino, user hanya perlu membuka Aplikasi