BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Bank BPR Syariah
1. Pengertian Bank
Dalam pembicaraan sehari-hari, Bank dikenal sebagai lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menerima simpanan giro, tabungan, dan deposito. Kemudian Bank juga dikenal sebagai tempat untuk meminjam uang (kredit) bagi masyarakat yang membutuhkannya. Di samping itu, Bank juga terkenal sebagai tempat untuk menukar uang, memindahkan uang, atau menerima segala macam bentuk pembayaran dan setoran seperti pembayaran listrik, telepon, air, pajak, uang kuliah, dan pembayaran lainnya1.
Menurut UU Perbankan, yang dimaksud dengan Bank adalah Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.2
Abdurrachman dalam “Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Dan Perdagangan” menjelaskan bahwa, bank adalah suatu jenis lembaga keuangan yang melaksanakan berbagai macam jasa, seperti memberikan pinjaman, mengedarkan mata uang, pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai
1 Kasmir, 1999. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.23 2 Loc.Cit
tempat penyimpanan benda-benda berharga, membiayai perusahaan-perusahaan, dan lain-lain.
Di samping itu masih banyak definisi lain yang dikemukakan oleh para ahli di bidang ekonomi maupun bidang perbankan, yang apabila dilihat dari segi fungsinya dapat dikelompokkan menjadi tiga :
a. Pertama, bank dilihat sebagai penerima kredit. Dalam pengertian pertama ini bank menerima uang serta dana-dana lainnya dari masyarakat dalam bentuk simpanan atau tabungan.
b. Kedua, bank dilihat sebagai pemberi kredit. Dalam pengertian ini bank melaksanakan operasi perkreditan secara aktif, dengan tanpa mempermasalahkan apakah kredit itu berasal dari tabungan yang diterimanya atau bersumber pada penciptaan kredit yang dilakukan oleh bank itu sendiri. c. Ketiga, bank dilihat sebagai pemberi kredit bagi masyarakat melalui sumber
yang berasal dari modal sendiri, simpanan/tabungan masyarakat maupun melalui penciptaan uang bank.
Jika dilihat dari segi fungsinya, bank-bank tersebut sangat menunjang pembangunan hampir di segala bidang. Untuk mencapai efisiensi dan efektivitas fungsinya tersebut, bank berusaha maksimal untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat, terutama di bidang pelayanan kredit dengan harapan agar masyarakat dapat memfungsikan uang semaksimal mungkin.
Secara umum pengertian bank adalah suatu perusahaan yang mengelola dana masyarakat (lembaga yang dipercaya oleh masyarakat untuk mengamankan uangnya) dengan memberikan imbalan berupa hasil ataupun bunga untuk setiap
periode yang ditentukan. Akan tetapi pada kenyataannya di jaman modern seperti sekarang ini, bank tidak hanya mengelola dana masyarakat saja, melainkan juga melakukan aktivitas bisnis seperti sebagai lembaga transfer daya, pembuat uang giral, jasa penitipan barang penting / uang dan lain sebagainya. Menurut pengertian yang lebih mendalam, bank adalah lembaga pengelola kepercayaan. Artinya bank hanya bisa bertahan dan sukses bila dipercaya oleh masyarakat.
Sebagai lembaga keuangan, bank berfungsi sebagai perantara keuangan atau financial intermediary dari dua pihak, yakni pihak yang kelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana. Bank menerima simpanan uang masyarakat (dana pihak ketiga). Kemudian uang tersebut dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk kredit dengan pengenaan suku bunga tertentu. Penyaluran kredit merupakan fungsi utama dari bank dan merupakan sumber pendapatan yang utama pada umumnya. Pendapatan ini diperoleh dari spread suku bunga simpanan dan kredit yang dikenakan oleh bank. Penentuan spread ini tergantung dari pihak bank dan target marketnya. Dalam praktek perbankan di Indonesia eksekutif bank menetapkan spread sebesar 2% hingga 3% p.a. yang merupakan harga yang layak atau cukup sebagai komponen lending rate. Secara teori, suku bunga pinjaman merupakan gabungan dari cost of fund ditambah biaya intermediasi dan biaya resiko macet3.
2. Jenis-Jenis Bank
Perbedaan jenis perbankan dapat dilihat dari segi fungsi bank serta kepemilikan bank. Dari segi fungsi, perbedaan yang terjadi terletak pada luasnya kegiatan atau jumlah produk yang dapat ditawarkan maupun jangkauan wilayah
3 Solopos dalam Simorangkir, O.P, 2004, Pengantar Lembaga Keuangan Bank dan Nonbank, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.16
operasinya. Sedangkan kepemilikan perusahaan dapat dilihat dari segi pemilikan saham yang ada serta akte pendiriannya. Perbedaan lainnya adalah dapat dilihat dari segi nasabah yang mereka layani, apakah masyarakat luas atau masyarakat dalam lokasi tertentu (kecamatan). Jenis perbankan juga dibagi ke dalam caranya menentukan harga jual dan harga beli.4
a. Dari Segi Fungsi
Dalam Undang-Undang Perbankan, jenis perbankan dijelaskan terdiri dari:5
1) Bank Umum
Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
2) Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Artinya di sini kegiatan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan kegiatan bank umum.
BPR tidak diizinkan melakukan transaksi kliring sehingga BPR tidak dapat menciptakan uang giral. Dengan demikian BPR tidak dapat dikelompokkan ke dalam bank pencipta uang giral. Selain ruang lingkup
4 Kasmir, Op.Cit., h.32
usaha yang terbatas, wilayah operasional BPR juga dibatasi pada tingkat kecamatan dan pedesaan-pedesaan. Jika BPR ingin beroperasi di ibu kota propinsi, BPR harus meningkatkan modal disetor menjadi minimal Rp 2 miliar6. BPR juga dikategorikan sebagai lembaga keuangan mikro (LKM) bersama Koperasi Simpan Pinjam dan Pegadaian. Sasaran utama pelayanan lembaga ini adalah memberikan bantuan keuangan kepada individu atau kelompok usaha kecil
b. Dari Segi Status
Dari segi status, Bank dapat dibedakan menjadi Bank Devisa dan Bank Non Devisa.
3. Bank Syariah
a. Pengertian Bank Syariah
Bank Islam atau di Indonesia disebut bank syariah merupakan lembaga keuangan yang berfungsi memperlancar mekanisme ekonomi di sektor riil melalui aktivitas kegiatan usaha (investasi, jual beli, atau lainnya) berdasarkan prinsip syariah yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpangan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan nilai-nilai Syariah yang bersifat makro dan mikro.7
6 Simorangkir, Op.Cit.
Bank Syariah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga.8 Adapun pengertian lain dari Bank Syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah.9
Dalam perbankan di Indonesia di atur dalam UU No. 7 tahun 1992 (diubah dengan UU No.10 Tahun 1998) disebutkan bahwa bank umum merupakan lembaga keuangan yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. lebih lanjut dijelaskan bahwa prinsip syariah adalah peraturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara pihak bank dengan pihak lain untuk menyimpannya, pembiayaan atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah.
Berdasarkan Undang-undang di atas bank syariah berarti bank yang tata cara operasionalnya didasari dengan tata cara Islam yang mengacu ketentuaan Al-Quran dan Al Hadits.10 Prinsip utama yang diikuti Bank Islam yaitu:11
a) Larangan riba dalam berbagai bentuk transaksi.
b) Melakukan kegiatan usaha dan perdagangan berdasarkan perolehan keuntungan yang sah,
8 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan Akademi manajemen Perusahaan YKPN, 2010)
9 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, 2
10 Rivai, Veithzat dan Arifin, arviyan, Islamic Banking “Sebuah Teori dan Aplikasi”, (Jakarta: Bumi Aksara), 16
11 Andri soemitra , Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, edisi pertama (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup), 24
c) Memberikan dan mengeluakan zakat.
b. Ciri-Ciri Bank Syariah
Bank Syariah mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :12
1) Beban biaya yang disepakati bersama pada waktu akad perjanjian diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal, yang akan besarnya tidak kaku dan dapat dilakukan dengan kebebasan untuk tawar menawar dalam batas wajar. Beban biaya tersebut hanya dikenakan sampai batas waktu sesuai dengan kesempatan dalam kontrak.
2) Penggunaan persentase dalam hal kewajiban untuk melakukan pembayaran selalu dihindari, karena persentase bersifat melekat pada sisa utang meskipun batas waktu perjanjian telah berakhir.
3) Di dalam kontrak-kontrak pembiayaan proyek, bank syariah tidak menerapkan perhitungan berdasarkan keuntungan yang pasti yang ditetapkan di muka, karena pada hakikatnya yang mengetahui tentang ruginya suatu proyek yang dibiayai bank hanyalah Allah semata.
4) Pengarahan dana masyarakat dalam bentuk deposite tabungan oleh penyimpanan dianggap sebagai titipan yang diamanatkan sebagai penyertaan dana pada proyek-proyek yang dibiayai bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah sehingga pada penyimpan tidak dijanjikan imbalan yang pasti.
5) Dewan Pengawas Syariah (DPS) bertugas untuk mengawasi operasionalisasi bank dari sudut syariahnya. Selain itu manajer dan pimpinan bank Islam harus menguasai dasar-dasar muamalah Islam.
6) Fungsi kelembagaan Bank Syariah selain menjembatani antara pihak
pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana, juga mempunyai fungsi khusus yaitu fungsi amanah artinya berkewajiban menjaga dan bertanggung jawab atas keamanan dana yang disimpan dan siap sewaktu-waktu apabila dana diambil pemiliknya.
B. Tinjauan Umum tentang Wanprestasi Dalam Pemberian Kredit Perbankan Syariah
1. Tugas Bank Syariah terkait Pemberian Kredit
a. Pengertian Perjanjian Kredit
Perjanjian adalah suatu hal yang sangat penting karena menyangkut kepentingan para pihak yang membuatnya. Oleh karena itu hendaknya setiap perjanjian dibuat secara tertulis agar diperoleh suatu kekuatan hukum, sehingga tujuan kepastian hukum dapat tercapai. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa: “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Menurut Setiawan rumusan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut kurang lengkap, karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja dan juga sangat luas karena dengan dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan
sukarela dan perbuatan melawan hukum beliau memberikan definisi sebagai berikut:13
1) Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum;
2) Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUH Perdata.
Sehingga menurut beliau perumusannya perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu atau lebih.
Menurut Rutten, rumusan perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata mengandung beberapa kelemahan, karena hanya mengatur perjanjian sepihak dan juga sangat luas karena istilah perbuatan yang dipakai akan mencakup juga perbuatan melawan hukum.14
Dari segi bahasa, kredit berasal dari kata credere yang diambil dari bahasa Romawi yang berarti kepercayaan.15 Bila seseorang atau badan usaha mendapat fasilitas kredit dari bank, berarti dia mendapat kepercayaan pinjaman dana dari bank pemberi kredit. Sehingga hubungan yang terjalin dalam kegiatan perkreditan di antara para pihak harus didasari oleh adanya rasa saling percaya, pemberi kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) akan sanggup memenuhi kewajibannya baik pembayaran, bunga ataupun jangka waktu pembayaran yang telah disepakati bersama.
13 R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Bina Cipta, 1994), hal. 49.
14 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang lahir dari perjanjian dan dari Undang-Undang), (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 46
15 Mohammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia. (Bandung: Citra Aditya), 1993. hal. 217.
Kredit dalam kegiatan perbankan merupakan kegiatan usaha yang paling utama, karena pendapatan terbesar dari usaha bank berasal dari pendapatan usaha kredit yaitu berupa bunga dan provisi. Usaha perkreditan merupakan suatu bidang usaha dari perbankan yang sangat luas cakupannya serta membutuhkan penanganan yang profesional dengan integritas moral yang tinggi.
Kewajiban adanya pedoman perkreditan pada setiap bank, dilandasi dasar hukum yang kuat yaitu Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang selengkapnya berbunyi:
“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya pada bank.”16
Ketentuan tersebut berakar dari rasa saling percaya kedua belah pihak yaitu antara pihak bank dan nasabahnya, bank sebagai pengelola dana harus selalu menjaga kinerja dan kesehatan banknya agar kepentingan dan kepercayaan masyarakat tetap terjaga. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan terdapat sedikit perubahan mengenai pengertian kredit sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 11, sebagai berikut :
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”17
Dari kedua pengertian di atas terdapat perbedaan dalam pemberian kontra prestasi yang akan diterima oleh bank semula, dalam Undang-Undang Perbankan, mengenai kontra prestasi yang diberikan dapat berupa bunga, imbalan atau hasil keuntungan sedangkan pada ketentuan baru, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, kontra prestasi yang diberikan adalah berupa bunga saja.
Hal yang melatarbelakangi perubahan tersebut adalah mengingat kontra prestasi yang berupa imbalan hasil keuntungan merupakan kontra prestasi yang khusus terdapat dalam pembiayaan berdasarkan syariah yang sangat berbeda perhitungannya dengan kontra prestasi berupa bunga.
Dalam pembuatan perjanjian sekurang-kurangnya harus memperhatikan: keabsahan dan persyaratan secara hukum, juga harus memuat secara jelas mengenai jumlah besarnya kredit, jangka waktu, tata cara pembayaran kredit serta persyaratan lainnya yang harus diperhatikan dalam perjanjian kredit.
Perjanjian Kredit menurut hukum Perdata Indonesia merupakan salah satu dari bentuk perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam Buku Ketiga KUH Perdata yaitu pada Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUH Perdata.
Perjanjian kredit seperti diuraikan tersebut di atas, yang menunjukkan unsur pinjam meminjam di dalamnya yaitu pinjam-meminjam antara bank dengan pihak debitur. Menurut Pasal 1754 KUH Perdata menyatakan bahwa
“pinjam-meminjam adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakanganan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.18
Pasal 1754 KUH Perdata intinya menyebutkan, bahwa perjanjian pinjam-meminjam merupakan perjanjian yang isinya pihak pertama menyerahkan suatu barang yang dapat diganti, sedangkan pihak kedua berkewajiban mengembalikan barang dalam jumlah dan kualitas yang sama. Subekti menyatakan : dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semuanya itu pada hakekatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769. 19
Meskipun perjanjian kredit tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata, tetapi dalam membuat perjanjian kredit tidak boleh bertentangan dengan azas atau ajaran umum yang terdapat dalam KUH Perdata seperti yang ditegaskan bahwa semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama khusus tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam KUH Perdata.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, tidak mengenal istilah perjanjian kredit. Istilah perjanjian kredit ditemukan dalam Instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/10 tanggal 3 Oktober 1966 jo Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I No. 2/539/UPK/Pemb tanggal 8 Oktober 1966 yang mengintruksikan kepada masyarakat perbankan bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank wajib mempergunakan akad perjanjian kredit.
Dalam membuat perjanjian kredit terdapat beberapa judul dalam praktek perbankan tidak sama satu sama lain, ada yang menggunakan judul perjanjian
19 R. Subekti, Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia. Alumni. Bandung. 1986,hal. 13.
kredit, akad kredit, persetujuan pinjam uang, persetujuan membuka kredit, dan lain sebagainya. Meskipun judul dari perjanjian tersebut berbeda-beda tetapi secara yuridis isi perjanjian pada hakekatnya sama yaitu memberikan pinjaman berbentuk uang. 20
Mengenai pembakuan bentuk draft isi perjanjian kredit, antara bank sendiri belum terdapat kesepakatan. Namun mengenai isi perjanjian kredit seperti dikemukakan dalam oleh Hasanuddin, pada pokoknya selalu memuat hal-hal berikut : 21
a. Jumlah maksimum kredit yang diberikan oleh bank kepada debiturnya. b. Besarnya bunga kredit dan biaya-biaya lainnya.
c. Jangka waktu pembayaran kredit.
d. Ada dua jangka waktu pembayaran yang digunakan, yaitu jangka waktu angsuran biasanya secara bulanan dan jangka waktu kredit.
e. Cara pembayaran kredit.
f. Klausula jatuh tempo (opeisbaar)
g. Barang jaminan kredit dan kekuasaan yang menyertainya serta persyaratan penilaian jaminan, pembayaran pajak dan asuransi atas barang jaminan. h. Syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh debitur, termasuk hak bank untuk
melakukan pengawasan dan pembinaan kredit.
i. Biaya akta dan biaya penagihan hutang yang juga harus dibayar debitur.
20 Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Bank, Alfabeta, Bandung, 2003, hal. 97. 21 Hasanuddin Rahman, Op. cit, hal. 60.
Di dalam pasal 8 Undang-Undang Perbankan menyebutkan bahwa Dalam pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Dari pengertian tersebut dapat diambil pengertian bahwa kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehinggga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat. Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitur.
Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsusr-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan nasabah debitur mengembalikan utangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan.
Di samping itu, bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah harus pula memperhatikan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau beresiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan. Maka berdasarkan uraian sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan perjanjian kredit adalah perjanjian antara Bank dengan pihak lain 19 sebagai pinjaman atau berhutang, dimana pihak peminjam atau berhutang memberikan jaminan atau agunan kepada pihak bank atau kreditur dan selain itu bank harus memperhatikan terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari nasabah debitur dan nasabah debitur harus mengembalikan sejumlah uang yang telah diterimanya dari pihak Bank atau berpiutang beserta bunga yang telah ditetapkan bersama. Perjanjian dimana telah ditetapkan batas waktu pengembalian pinjaman antara bank dan peminjam.
b. Unsur-Unsur Kredit Perbankan Syariah
Hasanuddin Rahman mengemukakan empat unsur kredit sebagai berikut: 1) Kepercayaan, bahwa setiap pemberian kredit dilandasi oleh
keyakinan bank bahwa kredit tersebut akan dibayar kembali oleh debitur sesuai dengan jangka waktu yang sudah diperjanjikan.
2) Waktu, bahwa antara pemberian kredit oleh bank dengan pembayaran kembali oleh debitur tidak dilakukan pada waktu yang bersamaan, melainkan dipisahkan oleh tenggang waktu.
3) Risiko, bahwa setiap pemberian kredit jenis apapun akan terkandung risiko dalam jangka waktu antara pemberian kredit dan pembayaran
kembali. Ini berarti makin panjang jangka waktu kredit, makin tinggi risiko kredit tersebut.
4) Prestasi, bahwa setiap kesepakatan yang terjadi antara bank dan debitur mengenai pemberian kredit, maka pada saat itu pula akan terjadi suatu prestasi dan kontra prestasi.22
Unsur-unsur tersebut di atas dapat selalu berkembang dan menjadi lebih luas terutama dalam perkembangan pelaksanaan perkreditan, maka unsur-unsurnya dapat berkembang diantaranya : penatalaksanaan manajemen kredit, agunan dan cara penyelesaian sengketa. Sedangkan menurut Thomas Suyatno, unsur yang terdapat dalam kredit adalah : 23
a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, jasa akan benar-benar diterimanya dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang.
b. Tenggang waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang.
c. Degree of risk, yaitu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima di kemudian hari.
d. Prestasi, atau obyek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi dapat dalam bentuk barang atau jasa (perbuatan memenuhi apa yang diperjanjikan).
22 Hasanuddin Rahman, Aspek-aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995), hal 25
c.Fungsi Kredit Perbankan Syariah
Kredit dapat dikatakan mencapai fungsinya apabila secara sosial ekonomis baik bagi debitur, kreditur maupun masyarakat membawa pengaruh yang lebih baik, seperti peningkatan kesejahteraan masyarakat, kenaikan jumlah pajak negara dan peningkatan ekonomi negara yang bersifat mikro maupun makro. Dari manfaat nyata dan manfaat yang diharapkan maka sekarang ini kredit dalam kehidupan perekonomian, dan perdagangan mempunyai fungsi, sebagai berikut :24
a. Meningkatkan daya guna uang
b. Meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang c. Meningkatkan daya guna dan peredaran barang d. Salah satu alat stabilitas ekonomi
e. Meningkatkan kegairahan usaha f. Meningkatkan pemerataan pendapatan g. Meningkatkan hubungan internasional.
d. Berakhirnya Perjanjian Kredit Perbankan Syariah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, perjanjian kredit dibuat secara kontraktual berdasarkan pinjam-meminjam yang diatur dalam Buku III Bab 13 KUH Perdata. Oleh karena itu, ketentuan mengenai berakhirnya perikatan dalam Pasal 1381 KUH Perdata berlaku juga untuk perjanjian kredit.25
24 Hasanuddin Rahman, Op. cit, hal. 15.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka perjanjian kredit bank berakhir karena peristiwa-peristiwa berikut:26
1) Pembayaran
Pembayaran (lunas) ini merupakan pemenuhan prestasi dari debitur, baik pembayaran hutang pokok, bunga, denda maupun biaya-biaya lainnya yang wajib di bayar lunas oleh debitur.
2) Subrogasi
Subrogasi oleh Pasal 1400 KUH Perdata disebutkan sebagai penggantian hak-hak si berutang oleh seorang pihak ketiga yang membayar kepada si berpiutang.
3) Novasi
Pembaharuan hutang atau novasi di sini adalah dibuatnya suatu perjanjian kredit yang baru untuk atau sebagai pengganti perjanjian kredit yang lama. Sehingga dengan demikian yang hapus/berakhir adalah perjanjian kredit yang lama.
4) Kompensasi
Pada dasarnya kompeusasi yang dimaksudkan oleh Pasal 1425 KUH Perdata, adalah suatu keadaan di mana dua orang/pihak saling berutang satu sama lain,
yang selanjutnya para pihak sepakat untuk mengkompensasikan hutang-piutang tersebut, sehingga perikatan hutang tersebut menjadi hapus.
Pihak-pihak yang berakad adalah pihak yang mampu melakukan tindakan hukum (mukallaf). Mereka adalah orang yang cakap melakukan perbuatan hukum, telah dewasa atau belum dewasa namun ia telah pernah menikah. Orang yang belum dewasa atau belum cukup umurnya harus diwakili oleh walinya saat ia akan melakukan suatu perjanjian.
Asas-asas dalam hukum perikatan Islam sendiri terdiri dari:27 (a) Asas Ilahiah, maksudnya setiap kegitan manusia memiliki tanggung jawab kepada pihak lain, masyarakat, diri sendiri, dan tanggung jawab kepada Allah SWT. (b) Asas Kebebasan, Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu perikatan sepanjang tidak bertentangan dengan syariah Islam. (c) Asas Persamaan atau Kesetaraan (Al-Musawah), maksudnya antara manusia yang satu dengan manusia lainnya hendaknya bisa saling melengkapi, para pihak menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas persamaan tersebut. (d) Asas Keadilan (Al-Adalah), adil menjadikan manusia lebih dekat kepada takwa. (e) Asas Kerelaan, maksudnya setiap transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau kerelaaan. (f) Asas Kejujuran dan Kebenaran. (g) Asas Tertulis (Al-Kitabah), dalam Surat Al-Baqarah Ayat 282-283 disebutkan Allah SWT menganjurkan kepada manusia hendaknya mencatat secara tertulis tentang perikatan yang dibuatnya, dan menghadirkan saksi-saksi.
Dalam pandangan ulama fiqih, suatu akad dapat berakhir karena: 27 Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal. 30-37.
a. Berakhirnya masa berlaku akad, bila akad dibuat dengan ketentuan tenggang waktu.
b. Akad dibatalakan oleh pihak-pihak yang berakad.
c. Akad tersebut dianggap berkhir bila transaksi yang dilakukan fasad seperti salah satu rukunnya tidak dipenuhi, berakhir karena berlaku syarat batal, atau karena akad tersebut telah tercapai secara sempurna.
d. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.
e.Wanprestasi dalam Perjanjian Kredit Perbankan Syariah
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Bank Indonesia No. 26/22/Kep/Dir yo. Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/4/BPPP tanggal 29 Mei 1993, fasilitas kredit dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kriteria yaitu kredit lancar, kredit kurang lancar, kredit diragukan, dan kredit macet.28
Pengertian kredit bermasalah adalah fasilitas kredit yang angsurannya membahayakan. Yang dimaksud di sini adalah debitor yang tidak dapat memenuhi kewajiban bank secara rutin setiap bulannya sehingga diperlukan pembinaan agar debitor dapa lancar kembali untuk memenuhi kewajiban bank. Perlu dicermati bahwa dalam kategori kredit bermasalah terdapat kredit yang kurang lancar, kredit yang diragukan, dan kredit macet. Namun mungkin saja kredit lancar dapat dikategorikan sebagai kredit bermasalah.
Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia, pada asasnya penilaian kualitas aktiva produktif meliputi hal-hal sebagai berikut:29
1) Menurut Pasal 3, kualitas aktiva produktif dinilai berdasarkan: (a) prospek usaha
(b) kondisi keuangan dengan penekanan pada arus kas debitor (c) kemampuan membayar.
2) Menurut Pasal 4 ayat (1), kualitas kredit digolongkan menjadi Lancar (L), Dalam Perhatian Khusus (DPK), Kurang Lancar (KL), Diragukan (D), dan Macet (M). 3) Dalam hal debitor pada suatu bank memiliki beberapa rekening kredit dengan
kualitas yang berbeda, kualitas masing-masing rekening mengikuti rekening kredit dengan kualitas yang paling rendah. (Pasal 6 ayat (1).
4) Penggolongan kualitas kredit dan transaksi rekening administratif yang berjumlah lebih besar dari Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah), baik untuk debitor individual atau debitor grup didasarkan atas ketentuan Pasal 3, sedangkan untuk yang berjumlah sampai dengan Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) untuk debitor individual atau debitor grup hanya didasarkan atas ketepatan pembayaran pokok dan bunga.
Berdasarkan SK BI tersebut maka dapat disimpulkan metode perhitungan penggolongan kualitas kredit dibedakan dalam 2 (dua) golongan yaitu:
29 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/147/ KEP/DIR Tanggal 12 November 1998 Tentang Kualitas Aktiva Produktif,
1) Untuk kredit sampai dengan Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah), yaitu berdasarkan atas ketepatan pembayaran pokok dan bunga atau kemampuan membayar dengan rincian sebagai berikut :
a) Lancar (L) apabila pembayaran tepat waktu, tidak ada tunggakan baik pokok dan bunga.
b) Dalam Perhatian Khusus (DPK), apabila terdapat tunggakan pembayaran pokok dan bunga yang telah melampaui 90 hari.
c) Kurang Lancar (KL), apabila terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 90 hari sampai dengan 180 hari.
d) Diragukan (D), apabila terdapat tunggakan pokok dan atau bunga yang telah melampauai 180 hari sampai dengan 270 hari.
e) Macet (M), apabila terdapat tunggakan pokok dan atau bunga yang telah melampaui 270 hari.
2) Kredit lebih besar dari Rp. 350.000.000,00 (Tiga ratus lima puluh juta rupiah) selain didasarkan atas ketepatan pembayaran pokok maupun bunga sebagaimana yang diuraikan diatas, juga didasarkan atas prospek usaha dan kondisi keuangan dengan penekanan pada arus kas debitor, yang berupa kelengkapan dokumen dan laporan keuangan secara berkala dari debitor.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor:5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor:4471) yang dalam pelaksanaannya diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) Nomor
7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005, telah diberlakukan ketentuan penetapan kualitas kredit yang baru, dengan pokok-pokok ketentuan sebagai berikut :30
a. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam penetapan kualitas kredit meliputi :
1. Prospek Usaha, penilaian terhadap prospek usaha dilakukan berdasarkan penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut :
a) Potensi pertumbuhan usaha;
b) Kondisi pasar dan posisi debitor dalam persaingan; c) Kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja; d) Dukungan dari grup atau afiliasi;
e) Upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup.
2. Kinerja (perfomance) debitor
Penilaian terhadap kinerja (performance) debitor dilakukan berdasarkan penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a) Perolehan laba; b) Struktur permodalan; c) Arus kas;
d) Sensivitas terhadap risiko pasar.
3. Kemampuan membayar
Penilaian terhadap kemampuan membayar dilakukan berdasarkan penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a) Ketepatan pembayaran pokok dan bunga;
b) Ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan debitor; c) Kelengkapan dokumentasi kredit;
d) Kepatuhan terhadap perjanjian kredit; e) Kesesuaian penggunaan dana;
f) Kewajaran sumber pembayaran kewajiban.
b. Kriteria dari masing-masing komponen sebagaimana dimaksud pada huruf a diuraikan dalam lampiran Surat Edaran Bank Indonesia.
c. Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan mempertimbangkan materialitas dan signifikasi dari faktor penilaian dan komponen, serta relevansi dari faktor penilaian dan komponen tersebut terhadap karakteristik debitor yang bersangkutan.
d. Selanjutnya berdasarkan penilaian pada huruf b dan huruf c, kualitas kredit ditetapkan menjadi Lancar, Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, atau Macet.
Pasal 8 PBI Nomor 7/2/PBI/2005 tersebut menyatakan bahwa penetapan kualitas kredit tersebut diatas tidak diberlakukan untuk aktiva produktif yang
diberikan oleh setiap bank sampai dengan jumlah Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kepada setiap debitor atau proyek yang sama.
Lebih lanjut dalam penjelasan umum dinyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan kredit perbankan, khusus di daerah – daerah tertentu yang menurut penilaian Bank Indonesia memerlukan penanganan khusus untuk mendorong pembangunan ekonomi di daerah bersangkutan, diberikan keringanan persyaratan penilaian kualitas penyediaan dana, yakni hanya berdasarkan ketepatan pembayaran. Keringanan yang sama juga diberikan untuk kredit usaha kecil dan penyediaan dana sampai dengan . Rp500.000.000,00- (lima ratus juta rupiah).
Dalam lampiran SEBI Nomor 7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005, untuk penetapan perhitungan kualitas kredit berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan bunga, ditentukan sebagai berikut:
1) Lancar (L), apabila pembayaran tepat waktu, perkembangan rekening baik dan tidak ada tunggakan serta sesuai dengan persyaratan kredit.
2) Dalam Perhatian Khusus (DPK), apabila terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari. Jarang mengalami cerukan.
3) Kurang Lancar (KL), apabila terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 90 (sembilan puluh) hari sampai dengan 120 (seratus dua puluh) hari . Terdapat cerukan yang berulang kali khususnya untuk menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus kas.
4) Diragukan (D), apabila terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 120 (seratus dua puluh) hari sampai dengan 180
(seratus delapan puluh) hari. Terjadi cerukan yang bersifat permanen khususnya yang menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus kas. 5) Macet (M), apabila terdapat tunggakan pokok dan atau bunga yang telah
melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari.
Berdasarkan atas ketentuan tersebut di atas, kredit yang dikategorikan sebagai kredit bermasalah adalah kredit yang digolongkan dengan kualitas Kurang Lancar (KL), Diragukan (D), Macet (M). Dengan demikian maka kredit macet adalah bagian dari kredit bermasalah dengan kualitas macet maka semakin buruklah kulitas kredit yang diberikan.
2. Wanprestasi
a. Pengertian Wanprestasi
Di dalam suatu perjanjian pasti timbul hak dan kewajiban bagi
pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Apabila dari pihak yang
harus melaksanakan kewajiban tersebut tidak melaksanakannya atau tidak
melakukan apa yang telah dijanjikan (prestasinya), maka ia dikatakan lalai
atau alpa, atau ingkar janji (cidera janji), atau ia melanggar janji atau ia
melakukan (berbuat) sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukannya,
pihak-pihak tersebut dikatakan telah melakukan “Wanprestasi”.
Bila debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi
sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya,
maka dikatakan bahwa debitur wanprestasi. Tidak mudah pula menentukan
bahwa seorang debitur itu telah melakukan wanprestasi atau lalai. Apabila
seorang kreditur menyatakan bahwa seorang debitur telah lalai atau
melakukan wanprestasi dan debitur tersebut menyangkalnya, maka hal ini
harus dibuktikan di pengadilan.
b. Bentuk-Bentuk Wanprestasi
Subekti
31menyatakan bahwa ada 4 macam wanprestasi (kelalaian
atau kealpaan) seorang debitur, yaitu :
“Pertama, tidak melakukan sama sekali apa yang telah
dijanjikannya/disanggupi untuk melakukannya ;
Kedua, melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi ternyata
tidak sebagaimana dijanjikan ;
Ketiga, melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat ;
Keempat, melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.”
Dari konsep yang diungkapkan Subekti, maka dapat diketahui
bahwa ada empat bentuk wanprestasi, yaitu:
a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali
Bentuk wanprestasi yang pertama dapat diartikan bahwa debitur
ternyata sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan apa
yang telah dijanjikan.
Suatu missal : A sebagai penjual melakukan jual beli barang
dengan B, setelah harga disepakati dan A telah menyerahkan barang yang
dimaksud oleh B, ternyata B tidak mau melaksanakan kewajibannya yaitu
tidak mau membayar harga barang tersebut. Dengan demikian berarti B
telah melakukan wanprestasi karena tidak melakukan apa yang disanggupi
akan dilakukannya.
b. Terlambat memenuhi prestasi
Pada bentuk wanprestasi yang kedua dapat diartikan bahwa debitur
melaksanakan kewajibannya tetapi apa yang dilaksanakannya tersebut tidak
sesuai dengan apa yang telah dijanjikannya. Suatu misal: A sebagai penjual
telah menjual suatu barang kepada B dengan ketentuan bahwa jika barang
sudah diserahkan maka B harus membayar sejumlah 50% dan sisanya
sebagai pelunasan harus dibayar 1 bulan berikutnya. Ternyata 1 bulan
berikutnya B hanya membayar sebesar 25 % saja sehingga harga barang
tersebut tidak terlunasi. Berarti B telah melakukan wanprestasi.
c. Memenuhi prestasi tetapi tidak sempurna
Lain lagi dengan bentuk wanprestasi yang ketiga, yaitu debitur
melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat. Suatu misal : A sebagai
penjual melakukan transaksi jual beli suatu barang dengan B. Saat itu B
telah membayar lunas harga barang, tetapi barang tersebut akan dikirim ke
rumah B 1 minggu kemudian. Ternyata A mengirim barang kepada B 1
bulan kemudian, dengan alas an lupa. Karena keterlambatan A dalam
mengirim barang tersebut, maka berarti A telah melakukan wanprestasi.
d. Melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban atau isi
perikatan
Pada bentuk wanprestasi yang terakhir yaitu debitur melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Suatu misal: A
sebagai penerbit bekerja sama dengan B sebagai penulis buku cerita. Di
dalam perjanjian disebutkan salah satu syaratnya adalah bahwa dalam 1
tahun mendatang B tidak boleh menjual hak penerbitannya kepada pihak
lain. Ternyata 6 bulan kemudian B menjual hak penerbitan hasil
penulisannya tersebut kepada penerbit lain yang dianggapnya lebih bonafide.
Dalam hal ini berarti B telah melakukan wanprestasi.
c. Akibat dalam Wanprestasi
Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana
mestinya dan tidak sepenuhnya kewajiban itu karena ada unsur salah
padanya, ada akibat-akibat hukum yang atas tuntutan dari debitur bisa
menimpa dirinya. Akibat dari wanprestasi dalam hal ini adalah:
a) Perikatan tetap ada
b) Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur
c) Beban resiko beralih untuk kerugian debitur bila halangan itu timbul
setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau
kesalahan besar dari pihak kreditur.
d) Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat
membebaskan diri dari kewajibannya memberi kontra prestasi dengan
menggunakan pasal 1266 KUH Perdata.
d. Tuntutan Dasar Wanprestasi
a) Kreditur dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari debitur
b) Kreditur dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada debitur
c) Kreditur dapat menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin
kerugian karena keterlambatan.
d) Kreditur dapat menuntut pembatalan perjanjian
e) Kreditur dapat menuntut pembatalan disertai ganti rugi kepada debitur,
ganti rugi berupa uang denda.
e. Penyelesaian Wanprestasi dalam Perjanjian Kredit
Apabila setelah bank berusaha melalui upaya prefentif namun
akhirnya kredit yang telah dikeluarkannya menjadi kredit yang bermasalah,
maka bank akan menggunakan upaya represif. Upaya-upaya represif yang
mula-mula akan dilakukan ialah melakukan upaya penyelamatan kredit. Bila
ternyata upaya penyelamatan kredit tidak dapat dilakukan atau walaupun
sudah dilakukan tetapi tidak membawa hasil, maka bank akan menempuh
upaya penagihan kredit.
1) Upaya Penyelamatan Kredit
Upaya bank untuk menyelamatkan kredit adalah upaya yang
dilakukan untuk melancarkan kembali kredit yang sudah tergolong dalam
kredit “tidak lancar”, “diragukan” atau bahkan telah tergolong dalam “kredit
macet” untuk kembali menjadi “kredit lancar” sehingga debitur kembali
mempunyai kemampuan untuk membayar kembali kepada bank segala
utangnya disertai dengan biaya dan bunga.
Menurut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 23/12/BPPP tanggal
28 Pebruari 1991, upaya-upaya penyelamatan kredit yang dapat dilakukan
oleh bank adalah sebagai berikut :
32a. Penjadwalan kembali (Rescheduling), yaitu dengan melakukan
perubahan syarat-syarat perjanjian kredit yang berhubungan dengan
jadwal pembayaran kembali kredit atau jangka waktu kredit, termasuk
grade period atau masa tenggang, baik termasuk perubahan besarnya
jumlah angsuran atau tidak.
b. Persyaratan kembali (Reconditioning), dengan melakukan perubahan
atas sebagian atau seluruh syarat-syarat perjanjian kredit, yang tidak
hanya terbatas pada perubahan jadwal angsuran dan atau jangka waktu
kredit saja. Namun perubahan tersebut tanpa memberikan tambahan
kredit atau tanpa melakukan konversi atas seluruh atau sebagian dari
kredit menjadi perusahaan.
c. Penataan kembali (Restructuring) yaitu suatu upaya dari bank yang
berupa melakukan perubahan-perubahan syarat-syarat perjanjian kredit
yang berupa pemberian tambahan kredit, atau melakukan konversi atas
seluruh atau sebagian dari kredit menjadi equity perusahaan, yang
dilakukan dengan atau tanpa Rescheduling dan atas Reconditioning.
Namun, walaupun bank sudah berusaha untuk melakukan
penyelamatan kredit sering terbentur pada beberapa kesulitan. Adapun
kesulitan-kesulitan tersebut antara lain adalah :
a) prospek usaha debitur masih baik, namun debitur memperlihatikan
sikap enggan untuk diajak bekerja sama oleh bank untuk
mengupayakan program penyelamatan tersebut;
b) kesulitan untuk mencari partner usaha yang mampu menambah modal
sekalipun prospek usaha dan kerjasama debitur sangat baik;
c) kesulitan mencari pembeli dalam rangka penjualan asset perusahaan
debitur yang tidak produktif dalam rangka memperbaiki struktur
keuangan perusahaan;
d) dalam hal kredit yang berbentuk sindikasi, tidak diperoleh kesepakatan
dari bank-bank peserta sindikasi mengenai syaratsyarat penyelamatan
kredit;
e) setelah program penyelamatan disetujui dan dituangkan dalam
perjanjian,
debitur
ternyata
tidak
dapat
memenuhi
kewajiban-kewajiban
yang
ditentukan
sebagai
syarat-syarat
penyelamatan kredit.
2) Penyelesaian Kredit
Apabila menurut pertimbangan bank, kredit yang bermasalah tidak
mungkin dapat diselamatkan untuk menjadi lancar kembali melalui
upaya-upaya penyelamatan sebagaimana telah diuraikan di atas dan
akhirnya kredit yang bersangkutan menjadi kredit macet, maka bank akan
melakukan tindakan-tindakan penyelesaian atau penagihan terhadap kredit
tersebut. Adapun yang dimaksudkan dengan penyelesaian kredit macet atau
penagihan kredit macet adalah upaya bank untuk memperoleh kembali
pembayaran dari debitur atas kredit bank yang telah menjadi macet dengan
menggunakan beberapa langkah, namun dalam hal ini penulis hanya akan
menguraikan tentang penyelesaian kredit macet melalui eksekusi benda
jaminan.
C. Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan
1. Pengertian Hak Tanggungan
Pengertian hak tanggungan sesuai dengan Pasal 1 Angka 1 UUHT,
yaitu: Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk
pelunasan utang tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Sutedi membedakan jaminan menjadi dua yaitu jaminan yang lahir
dari undang-undang yaitu jaminan umum dan jaminan yang lahir karena
perjanjian.
33Jaminan umum adalah jaminan yang adanya telah ditentukan
Undang-Undang, Contohnya adalah pada Pasal 1311 KUHPerdata, Pasal
1232 KUHPerdata, dan Pasal 1311 KUHPerdata yang menyatakan bahwa
kekayaan Debitur, baik berupa benda bergerak dan tidak bergerak, yang telah
ada dan yang akan datang dikemudian hari walaupun tidak diserahkan
sebagai jaminan, maka akan secara hukum menjadi jaminan seluruh utang
Debitur. Sedangkan jaminan khusus adalah jaminan yang timbul karena
adanya perjanjian terlebih dahulu, yaitu perjanjian yang ada antara Debitur
dengan pihak perbankan atau pihak ketiga yang menanggung utang Debitur.
34Jaminan khusus terdiri dari jaminan yang bersifat perseorangan dan
jaminan yang bersifat kebendaan. Jaminan kebendaan memberikan hak
mendahului atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat yang melekat dan
mengikuti benda yang bersangkutan, sedangkan jaminan perseorangan
bersifat tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu tetapi
hanya terbataspada harta kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin
pemenuhan yang bersangkutan.
35Menurut sifatnya perjanjian dibagi dua yaitu pokok dan perjanjian
accesoir. Perjanjian pokok adalah perjanjian utama yang dilakukan oleh
Debitur dengan lembaga perbankan maupun lembaga keuangan non bank
yang diperuntukkan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari lembaga
33 Adrian Sutedi. 2010, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 21. 34 Ibid. hal. 27.
35 0 Salim, HS. 2007, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 7.
keuangan. Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok. Sedangkan
perjanjian accesoir adalah perjanjian tambahan yang dibuat disamping
perjanjian pokok yang bertujuan untuk memberikan kekuatan tambahan bagi
perjanjian pokoknya. Perjanjian accesoir bersifat melekat dengan perjanjian
pokoknya sehingga apabila perjanjian pokoknya telah usai maka secara
otomatis perjanjian accesoir juga telah berakhir, begitu juga apabila
perjanjian pokoknya berpindah maka perjanjian accesoir-nya ikut pula
berpindah. Contoh dari perjanjian accesoir adalah perjanjian pembebanan
jaminan seperti perjanjian gadai, hak tanggungan, fidusia.
36Soedewi dalam bukunya yang berjudul Hukum Jaminan di
Indonesia menyatakan bahwa dalam praktek perbankan perjanjian pokoknya
itu berupa perjanjian pemberian kredit atau perjanjian membuka kredit oleh
bank, dengan kesanggupan memberikan jaminan berupa pembebanan hak
tanggungan pada suatu objek benda tertentu yang mempunyai tujuan sebagai
penjaminan kekuatan dari perjanjian pokoknya.
37Selain hak tanggungan,
adapula fidusia, gadai, Borgtocht, dan lain-lain. Perjanjian penjaminan sendiri
mempunyai kedudukan sebagai perjanjian tambahan atau perjanjian accesoir
yang dikaitkan dengan perjanjian pokok tersebut. kedudukan perjanjian
penjaminan yang dikonstruksikan sebagai perjanjian accesoir itu memberikan
kuatnya lembaga jaminan tersebut bagi keamanan pemberian kredit oleh
kreditur.
36 Ibid. hal. 23.
37 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan.1980, Hukum Jaminan di Indonesia, pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, C.V Bina Usaha, Yogyakarta. hal. 37.
2. Sifat dan Ciri Hak Tanggungan
Berdasarkan Angka 3 Penjelasan Umum dari Undang-undang Hak
Tanggungan disebutkan bahwa Hak Tanggungan sebagai lembaga hak
jaminan atas tanah yang kuat harus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada
pemegangnya (droit de preference). Dalam batang tubuh Undang-undang
Hak Tanggungan, hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20
ayat (1). Apabila debitur cidera janji (wanprestasi), maka kreditur
pemegang hak tanggungan berhak menjual tanah yang dibebani Hak
Tanggungan tersebut melalui pelelangan umum dengan hak mendahului
dari kreditur yang lain.
b. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek
itu berada (droit de suite), hal ini ditegaskan dalam Pasal 7. Sifat ini
merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak
Tanggungan. Meskipun obyek Hak Tanggungan telah berpindah tangan
dan mejadi milik pihak lain, namun kreditur masih tetap dapat
menggunakan haknya untuk melakukan eksekusi apabila debitur cidera
janji (wanprestasi).
c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, hal ini diatur dalam Pasal 6.
Apabila debitur cidera janji (wanprestasi), maka kreditur tidak perlu
menempuh acara gugatan perdata biasa yang memakan waktu dan biaya
yang tidak sedikit. Kreditur pemegang Hak Tanggungan dapat
menggunakan haknya untuk menjual obyek hak tanggungan melalui
pelelangan umum. Selain melalui pelelangan umum berdasarkan Pasal 6,
eksekusi obyek hak tanggungan juga dapat dilakukan dengan cara “parate
executie” sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 158 RBg
bahkan dalam hal tertentu penjualan dapat dilakukan dibawah tangan
38Hak Tanggungan membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan
dan setiap bagian darinya. Dengan telah dilunasinya sebagian dari hutang
yang dijamin hak tanggungan tidak berarti terbebasnya sebagian obyek hak
anggungan, melainkan hak tanggungan tersebut tetap membebani seluruh
obyek hak tanggungan untuk sisa hutang yang belum terlunasi. Dengan
demikian pelunasan sebagian hutang debitur tidak menyebabkan terbebasnya
sebagian obyek hak tanggungan.
Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan
dijelaskan bahwa hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi
(ondeelbaarheid). Sifat tidak dapat dibagi-bagi ini dapat disimpangi asalkan
hal tersebut telah diperjanjikan terlebih dahulu dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan (APHT) Selanjutnya Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Hak
38 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2000, hal. 420
Tanggungan menyatakan bahwa hal yang telah diperjanjikan terlebih dahulu
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) adalah pelunasan hutang
yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama
dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari
obyek hak tanggungan. Sehingga hak tanggungan hanya membebani sisa dari
obyek hak tanggungan untuk menjamin sisa hutang yang belum dilunasi
asalkan hak tanggungan tersebut dibebankan kepada beberapa hak atas tanah
yang terdiri dari beberapa bagian yang masing-masing merupakan suatu
kesatuan yang berdiri sendiri dan dapat dinilai secara tersendiri.
3. Subyek dan Objek Hak Tanggungan
Subjek hak tanggungan dapat dilihat pada ketentuan Pasal 8 dan
Pasal 9 UUHT, yaitu menurut Pasal 8 ayat (1) UUHT “Pemberi Hak
Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak
Tanggungan yang bersangkutan.” Pada Pasal 9 UUHT menyebutkan bahwa:
“Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum
yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.” Sehingga dapat
disimpulkan bahwa subjek hak tanggungan merupakan pemberi dan
pemegang hak tanggungan yaitu para pihak yang mempunyai kepentingan
berkaitan dengan perjanjian utang piutang yang dijamin pelunasanya.
Objek hak tanggungan terdapat pada Pasal 4 ayat (1) UUHT yaitu
hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah Hak Milik, Hak
Guna Usaha, dan Hak Pakai Atas Tanah Negara. Hak-hak tersebut menurut
ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat
dipindah tangankan. Selain hak-hak atas tanah tersebut dalam Pasal 4 ayat (2)
yang dapat juga dibebani hak tanggungan juga berikut hak pakai atas tanah
negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib di daftar dan menurut
sifatnya dapat dipindah tangankan.
Pasal 4 ayat 4 UUHT menyatakan bahwa hak tanggungan dapat
juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil
karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang
pembebanannya dinyatakan secara tegas dalam Akta Pembebanan Hak
Tanggungan yang bersangkutan.
Suatu objek hak tanggungan dapat dibebani lebih dari satu hak
tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu hutang dan
peringkatnya masing-masing hak tanggungan tersebut ditentukan sesuai
dengan tanggal pendaftarannya pada kantor pertanahan. Dalam hal apabila
didaftarkan dengan tanggal yang sama maka melihat pada Akta Pembebanan
Hak Tanggungan, dan apabila suatu objek hak tanggungan dapat dibebani
lebih dari satu hak tanggungan sehingga terdapat pemegang hak tanggungan
peringkat pertama, peringkat kedua, dan peringkat seterusnya.
3939 M. Bahsan, 2010, Hukum Jaminan dan Jaminan kredit Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. hal. 28.
4. Pendaftaran Hak Tanggungan
Pendaftaran obyek Hak Tanggungan berdasarkan ketentuan Pasal
17 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
dilakukan di Kantor Pendaftaran Kota atau Kabupaten di Kantor Pertanahan
Nasional setempat.
a. Lembaga Pendaftaran Tanah
Lembaga pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam Undang Undang
Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Pokok Agraria Juncto
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, lebih
tepat dinamakan sebagai stelsel campuran yakni antara stelsel negative dan
stelsel positif.
40Artinya pendaftaran tanah memberikan perlindungan kepada
pemilik yang berhak (stelsel negatif) dan menjamin dengan sempurna bahwa
nama yang terdaftar dalam buku pemilik yang berhak (stelsel positif).
Berdasarkan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
Tentang Hak Tanggungan, tidaklah berlebihan apabila lembaga pendaftaran
tanah menurut Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan juga menganut stelsel campuran.
4140 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, 1991, Bandung, hal. 11.
41 Effendy Hasibuan, “Dampak Pelaksanaan Eksekusi Hipotik Dan Hak Tanggungan Terhadap Pencairan Kredit Macet Pada Perbankan Di Jakarta, Laporan Penelitian, Universitas Indonesia Pascasarjana (S3) Bidang Studi Ilmu Hukum, 1997, hal. 56.
b. Pendaftaran Sebagai Syarat Sah Lahirnya Hak Tanggungan
Tanpa adanya pendaftaran, Hak Tanggungan dianggap tidak pernah ada,
jika pendaftaran belum dilakukan di Kantor Pendaftaran tanah, menurut Pasal
13 ayat (1) Undang – Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Pokok – Pokok Agraria begitu juga halnya dengan hipotik menurut Pasal 1179
ayat (2) KUHPerdata. Semua perikatan Hak Tanggungan dan Hipotik yang
sudah dalam proses pemasangan yang belum didaftarkan, dianggap belum ada
dan tidak dapat dimintakan eksekusi penjualan lelang berdasarkan Pasal 244
Herziene Indonesisch Reglement (HIR). Pemberian Hak Tanggungan harus
didaftarkan 7 (tujuh) hari kerja setelah penandtanganan Akta Pemberian Hak
Tanggungan (APHT).
c. Pendaftaran sebagai Urutan Lahirnya Hak Tanggungan
Bahwa di dalam melakukan eksekusi baik Hipotik ataupun Hak
Tanggungan tata urutan pendaftaran yang menentukan kekuatan yang
mengikat dari Hipotik dan Hak Tanggungan itu. Hipotik lahirnya menurut
Pasal 1181 KUH Perdata maupun Pasal 13 Juncto Penjelasan Umum butir 7
Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, yang
dibuat debitur terhadap beberapa orang kreditur, bukan dilihat dari tanggal
pemasangan, tetapi dilihat dari urutan pendaftarannya.
Pasal 13 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan menetapkan, bahwa :
Dengan memberikan Hak Tanggungan saja, artinya dengan hanya
menandatangani APHT saja, tidak lahir Hak Tanggungan dan karenanya harus
ditindaklanjuti dengan pendaftaran ke Kantor Pertanahan selambat-lambatnya
7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan APHT. Pejabat Pembuat Akta
Tanah wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang
diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
42Sejak didaftarkan Hak Tanggungan lahir (Pasal 13 Undang – Undang
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan). Sejak lahirnya Hak
Tanggungan, pemegang Hak Tanggungan memperoleh hak istimewa yang
disediakan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan, yaitu kreditor mempunyai kedudukan yang diutamakan atau
droit de preference. Hak Tanggungan mengikuti obyeknya dalam tangan
siapapun obyek Hak Tanggungan itu berada atau droit de suite (Pasal 7
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan), hak
preferensi dari pemegang Hak Tanggungan tidak terpengaruh terhadap
kepailitan pemberi Hak Tanggungan (Pasal 21 Undang – Undang Nomor 4
Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan jo Pasal 56 Undang-undang Kepailitan
yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998), dan pelaksanaan eksekusi Hak
Tanggungan (Pasal 6 dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
Tentang Hak Tanggungan).
5. Hapusnya Hak Tanggungan
Penyebab hapusnya Hak Tanggungan menurut Pasal 18 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, karena :
a. Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan (sifat accessoir)
b. Dilepaskannya
Hak
Tanggungan
oleh
pemegang
Hak
Tanggungan/Kreditur (yang dibuktikan dengan pernyataan tertulis/surat
roya), mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan yang bersangkutan
kepada pemberi Hak Tanggungan;
c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh
Ketua Pengadilan Negeri. Hal ini terjadi karena permohonan pembeli hak
atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah
yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan.
d. Hapusnya hak atas tanah yang dijadikan jaminan. Dengan hapusnya Hak
Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak
Tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin.
6. Eksekusi Hak Tanggungan
Sebelum membahas mengenai Eksekusi Hak Tanggungan, maka perlu
dijelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian dari eksekusi itu sendiri.
Pengertian lebih lanjut mengenai eksekusi menurut beberapa ahli hukum, akan
penulis kemukakan pada sub-sub selanjutnya. Namun untuk memberikan
pemahaman tentang perngertian eksekusi ini penulis mengambil pendapat
Subekti
43dan Salim
44yang memberikan pengertian eksekusi sebagai
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Objek dari eksekusi adalah salinan putusan dan grosse akta (salinan
pertama dari akta otentik). Grosse akta dapat disamakan kekuatannya dengan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Sudikno Mertokusumo juga mengartikan eksekusi sebagai pelaksanaan
putusan. Menurut beliau terdapat beberapa jenis pelaksanaan putusan
(eksekusi) yaitu sebagai berikut:
45a. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk
membayar sejumlah uang. Prestasi yang diwajibkan adalah membayar
sejumlah uang. Eksekusi ini diatur dalam Pasal 196 HIR (Pasal 208 RBg);
b. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu
perbuatan. Hal ini diatur dalam Pasal 225 HIR (pasal 259 RBg). Orang
tidak dapat dipaksakan untuk memenuhi prestasi yang berupa perbuatan.
Akan tetapi pihak yang dimenangkan dapat minta kepada hakim agar
kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan uang.
c. Eksekusi riil. Eksekusi riil merupakan pelaksanaan prestasi yang
dibebankan kepada debitur oleh putusan hakim secara langsung. Jadi
eksekusi riil itu adalah pelaksanaan putusan yang menuju kepada hasil
yang sama seperti apabila dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang
43 Subekti. 1977, Hukum Acara Perdata, BPHN, Jakarta. hal.128.
44 H. Salim HS. 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT RajaGrafindo, Jakarta. hal. 188.
bersangkutan. Dengan eksekusi riil maka yang berhaklah yang menerima
prestasi. Prestasi yang terhutang seperti yang telah kita ketahui misalnya
pembayaran sejumlah uang, malakukan suatu perbuatan tertentu, tidak
berbuat, menyerahkan benda. Dengan demikian maka eksekusi mengenai
ganti rugi dan uang paksa bukan merupakan eksekusi riil. Eksekusi riil ini
tidak diatur dalam HIR tetapi diatur dalam 1033 RV. Yang dimaksudkan
dengan eksekusi riil oleh pasal 1033 RV adalah pelaksanaan putusan
hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap tidakmau memenuhi
surat perintah hakim, maka hakim akan memerintahkan dengan surat
kepada jurusita supaya dengan bantuan alat kekuasaan Negara, agar
barang tetap itu dikosongkan oleh orang yang dihukum besrta keluarganya.
HIR hanya mengenal eksekusi riil dalam penjualan lelang sebagaimana
diatur dalam pasal 200 ayat 11 HIR, Pasal 218 ayat 2 RBg.
d. Eksekusi Langsung. Disamping ketiga jenis eksekusi diatas, masih dikenal
apa yang dinamakan “parate executie” atau eksekusi langsung. Parate
executie terjadi apabila seorang kreditur menjual barang-barang tertentu
milik debitur tanpa mempunyai titel eksekutorial (Pasal 1155, 1175 ayat 2
KUHPerdata).
Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan apabila debitur Cidera Janji, pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuatan sendiri
melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan tersebut. Di sini
pemegang Hak Tanggungan dapat melakukan parate eksekusi artinya
pemegang Hak Tanggungan tidak perlu bukan saja memperoleh persetujuan
dari pemberi Hak Tanggungan, ataupun juga tidak perlu meminta penetapan
dari pengadilan negeri setempat apabila akan melakukan eksekusi Hak
Tanggungan atas obyek jaminan debitur dalam hal debitur cidera janji.
Pemegang Hak Tanggungan dapat langsung meminta kepada kepala Kantor
Lelang untuk melakukan pelelangan atas obyek Hak Tanggungan yang
bersangkutan.
Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri
merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dimiliki
oleh pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu
pemegang Hak Tanggungan.
Eksekusi Hak Tanggungan sendiri diatur dalam Pasal 20 Undang-undang
Hak Tanggungan, yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 20 Ayat (1) :
“Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:
a. hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek
HakTanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak
Tanggungandijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang
ditentukan dalamperaturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang
pemegang Hak Tanggungandengan hak mendahulu dari pada
kreditor-kreditor lainnya”.
“Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan. Penjualan
obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan
demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang meng-untungkan
semua pihak”.
Pasal 20 Ayat (3) :
“Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)hanya dapat
dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukansecara
tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam
2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau
media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 Undang-undang Hak Tangunggan tersebut
Eksekusi Hak Tanggungan dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara, yaitu :
a. Pemegang Hak tanggungan pertama untuk menjual hak tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan.
b.
Eksekusi atas titel eksekutorial yang terdapat pada Sertifikat Hak
Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2). Irah
-irah (kepala putusan) yang dicantumkan pada Sertipikat Hak Tanggungan
memuat
kata-kata
“DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”, dimaksudkan untuk menegaskan
asanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat hak tanggungan, sehingga
apabila debitur cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui
tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan
Hukum Acara perdata, atau
c.