• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLIKASI PRINSIP BIMBINGAN DAN KONSELIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IMPLIKASI PRINSIP BIMBINGAN DAN KONSELIN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLIKASI PRINSIP BIMBINGAN DAN KONSELING

TERHADAP KOMPETENSI MULTIKULTURAL KONSELOR

Arina Mufrihah

(Dosen Prodi Bimbingan dan Konseling STKIP PGRI Sumenep) Email: arinamufrihah@gmail.com

Abstrak

Ada dua belas prinsip program bimbingan dan konseling (awalnya hanya ada lima) minimal 2 dari 12 item tersebut menjadi prinsip penting yang sangat erat hubungannya dengan wawasan multikultural dalam menjalankan layanan bimbingan di sekolah. Dalam kurikiulum 2013 (K13), layanan konseling multikultural atau panduan untuk konselor tidak menjelaskan secara ekplisit. Namun kedua prinsip tersebut membuat para konselor memahami akan perbedaan diantara siswa. Dua prinsip tersebut juga membantu para konselor untuk memberikan layanan secara objektif dan layak yang disesuaikan dengan budaya Indonesia. Berbagai literature telah banyak mengupas tentang pentingnya kesadaran dan kemampuan tentang bagaimana cara menangani masalah “Kompetensi Multikultural” yang seharusnya dikuasai oleh para konselor karena terdapat berbagai macam perbadaan di sekolah seperti jenis kelamin, umur, latar belakang kehiduapan budaya sosial, maupun kepercayaan diri sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Dengan memahami kompetensi multukultural, para konselor bisa mengadakan layanan konseling yang alami dan sesuai.

Kata Kunci:Prinsip Bimbingan dan Konseling, Multikultura, Kompetensi

Abstract

There are twelve principles in Guidance and Counseling program (Initially there were only five); at least 2 out of the 12 items become important principles which are closely related to multicultural insight in organizing counseling services at schools. In Curriculum 2013 (K13), multicultural counseling service or guide for counselors is not explictely explained. However, the two principles make counselors aware of the differences among students. They also help councelors to give services objectively and appropriatly suited with Indonesian cultural practices. Various literatures have proposed awareness and ability of how to deal with “multicultural competencies”, which should be mastered by counselors since there are various kinds of differences at school such as gender, age, background of socio-cultural life, as well as self-confidence in accordance with the teaching of the religious subjects. With adequate multicultural competence, counselors can carry out adaptive cultural counseling services.

Key Words:Guidance and counseling principles, multicultural, Competencies

A. Pendahuluan

Sekolah tempat konselor bekerja me-rupakan lahan subur bagi terselenggaranya layanan bimbingan dan konseling. Di sana dapat ditemukan banyak siswa yang memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda, bahkan banyaknya jumlah siswa belum tentu dapat menggambarkan berbagai keragaman siswa baik dari diri pribadi maupun lingkungan sosial-budaya yang melingkupinya, kecuali jika konselor dapat mengenal siswanya; salah

(2)

siswa tertentu yang mendapatkan layanan BK, misalkan konselor hanya memberikan layanan pada siswa laki-laki, pada siswa yang memiliki masalah, siswa yang berprestasi, dan lainnya. Sedangkan perbedaan budaya, nilai-nilai, dan keyakinan antara konselor dengan siswa sebagai konseli mengharuskan konselor memiliki kebijaksanaan dalam layanan BK sehingga konselor tidak memaksakan nilai budaya dan agamanya pada konseli.Pada intinya, konselor diperkenankan memiliki wawasan multikultural untuk dapat memiliki kompetensi multikultiral yang bisa didapatkan dari mengembangkan bahan bacaan dan atau melakukan praktik konseling berbasis nilai-nilai multikultural yang berlaku dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat.

Konselor dan konseli membawa banyak karakteristik personal dalam kontak mereka satu sama lain. Dan selama 60 tahun terakhir, ada interes yang semakin besar pada konseling yang sensitif-diversity (Jones, 2005:429). Perbedaan-perbedaan yang ada tentunya akan memengaruhi cara mempersepsi suatu ma-salah sehingga akan menentukan nasib dari hubungan konseling. Di samping itu, adanya perbedaan yang dapat bersumber dari budaya, nilai-nilai, keyakinan, ajaran agama, jenis kelamin dan seks, pengalaman, orang-orang terdekat, usia, dan identitas kelompok meng-haruskan konselor memiliki kompetensi multikultural. Maka dalam tulisan ini, penulis mencoba membangun sebuah pemahaman bahwa kompetensi multikultural konselor dapat dibangun sesuai prinsip-prinsip bimbingan dan konseling, yang tentunya juga berangkat dari pemahaman akan diferensiasi peserta didik dan pemahaman terhadap kompetensi multi-kultural itu sendiri. Dari pada itu konselor seyogyanya memiliki kesadaran untuk mem-bentuk kompetensi multikulturalnya agar maksimal dalam menjalankan tugas-tugasnya di sekolah yang syarat akan kekayaan karakte-ristik para siswa sebagai gambaran dari masyarakat multikultural.

B. Prinsip Bimbingan Dan Konseling

Prinsip bimbingan dan konseling ini ter-cantum dalam lampiran Permendikbud No. 111 Tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Terdapat 12 prinsip BK yang hendaknya dipegang teguh oleh guru BK/ konselor di satuan pendidikan dasar dan menengah, yaitu:

1) Bimbingan dan konseling diperuntuk-kan bagi semua peserta didik/ konseli dan tidak diskriminatif. Prinsip ini berarti bahwa bimbingan diberikan pada seluruh peserta didik/ konseli, baik yang tidak memiliki masalah mau-pun yang memiliki masalah; baik pria maupun wanita; baik anak-anak, remaja, maupun dewasa tanpa ada diskriminasi.

2) Bimbingan dan konseling sebagai proses individuasi. Setiap peserta didik bersifat unik dan dinamis, jadi melalui bimbingan peserta didik dibantu untuk menjadi didirinya sendiri secara utuh. 3) Bimbingan dan konseling menekankan nilai-nilai yang positif. Bimbingan dan konseling merupakan upaya memberi-kan bantuan pada konseli agar mem-bangun pandangan serta mengem-bangkan nilai-nilai yang positif yang ada pada diri konseli dan lingkungan-nya.

4) Bimbingan dan konseling merupakan tanggung jawab bersama. Artinya, bimbingan dan konseling bukan hanya tanggung jawab konselor atau guru BK, akan tetapi juga menjadi tanggung jawab guru-guru dan pimpinan satuan pendidikan sesuai tugas, kewenangan, dan peran masing-masing personil sekolah.

(3)

mereali-sasikan keputusannya dengan penuh tanggung jawab.

6) Bimbingan dan konseling berlangsung dalam berbagai setting kehidupan, tidak hanya berlangsung pada satuan pendidikan, tetapi juga di lingkungan keluarga, perusahaan, lembaga pe-merintah/ swasta, dan masyarakat pada umumnya.

7) Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dalam pendidikan karena tidak terlepas dari upaya me-wujudkan tujuan pendidikan nasional. 8) Bimbingan dan konseling dilaksanakan dalam bingkai budaya Indonesia. Inter-kasi antara guru BK dengan peserta didik haris selaras dan serasi dengan nilai-nilai kebudayaan di mana layanan tersebut dilaksanakan.

9) Bimbingan dan konseling bersifat fleksibel dan adaptif serta berke-lanjutan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi serta daya dukung sarana dan prasarana yang tersedia. 10) Bimbingan dan konseling dilaksanakan

oleh tenaga profesional dan kompeten, yaitu oleh guru BK/ konselor yang ber-kualifikasi akademik Sarjana Pen-didikan (S-1) dalam bidang Bimbingan dan Konseling dan telah lulus Pendidikan Profesi Konselor dari Lembaga Pendidikan Tinggi Kepen-didikan yang terakreditasi.

11) Proram bimbingan dan konseling disusun berdasarkan hasil analisis kebutuhan peserta didik/ konseli dalam berbagai aspek perkembangan. 12) Program bimbingan dan konseling dievaluasi untuk mengetahui ke-berhasilan layanan dan pengem-bangan program lebih lanjut.

Prinsip nomor 1, 2, 4, 5, dan 6 merupakan prinsip yang tertera dalam Depdiknas (2008:203). Sedangkan 7 prinsip lainnya me-rupakan prinsip baru yang tercantum dalam program BK terkini yang disebut dengan peminatan siswa. Dan yang ingin penulis

angkat sebagai prinsip dalam membentuk kompetensi multikultural konselor ialah prinsip nomor 1 dan 8.

1. Analisa Nilai-nilai Multikultural dalam Prinsip Nomor 1

Prinsip nomor 1 pada awalnya berbunyi “bimbingan dan konseling diperuntukkan bagi semua konseli.Artinya konselor berkewajiban memberikan layan-an bagi seluruh siswa ylayan-ang ada di sekolah, baik siswa itu memiliki masalah ataupun tidak memiliki masalah”. Dari redaksi ter-sebut dapat dipahami keseluruhan siswa yang dimaksudkan berdasarkan pengertian “siswa yang memiliki maupun tidak memiliki masalah”. Prinsip ini sesuai dengan komponen pelayanan dasar bimbingan dan konseling.Jadi pengertian keseluruhan pada awalnya tidak berpijak pada nilai keseluruhan yang berkonotasi pada multikultural.

(4)

sejalan dengan kajian multikultural.Dan salah satu alasan dibahasnya kajian multikultural ialah agar masayarakat, termasuk konselor yang bekerja di sekolah tidak melakukan diskriminasi baik disadari maupun tidak disadari. Untuk itu, penegas-an dalam prinsip multikultural ypenegas-ang terkandung dalam prinsip BK butir pertama adalah agar konselor dapat menyadari bahwa para siswa bisa saja menjadi korban diskriminasi dari layanan konseling jika konselornya tidak sadar/ peka/ sensitif terhadap keragaman yang kerap dijadikan masalah.

2. Analisa Nilai-nilai Multikultural dalam Prinsip Nomor 8

Kemudian pada prinsip nomor 8 tersusun kalimat “bimbingan dan konseling dilaksanakan dalam bingkai budaya Indonesia. Interkasi antara guru BK dengan peserta didik harus selaras dan serasi dengan nilai-nilai kebudayaan di mana layanan tersebut dilaksanakan”. Jadi paradigma multikultural yang harus dipahami dan digunakan oleh konselor ialah pandangan keragaman budaya di Indonesia, bukan keragaman budaya yang ada pada negara lainnya. Berbicara budaya Indonesia, berarti terdapat banyak ragam budaya, dengan ragam budaya itu berarti konselor perlu mengenal budaya-budaya itu, untuk berusaha memahami ragam budaya yang ada berarti konselor perlu selektif terutama terhadap budaya di tempat ia bekerja atau tempat layanan konseling itu diselenggarakan, sehingga konselor dapat menerapkan nilai-nilai multikultural yang adaptif dan efektif dalam setiap pertemuan konseling.

Prinsip nomor 8 berbicara mengenai konteks hubungan antara konselor dengan siswa sebagai konseli dalam lingkup budaya tempat keduanya melakukan kegiatan layanan BK. Itulah mengapa terdapat redaksi “ interaksi antara konselor-konseli harus selaras dan serasi dengan nilai-nilai kebudayaan di mana

layanan diselenggarakan”.Implikasinya, penerapan nilai budaya dikatakan adaptif bukan jika konselor dan konseli sama-sama dapat mempertahankan praktik budayanya masing-masing, namun bagaimana agar praktik budaya nenek moyangnya dapat diendapkan sehingga selaras dengan budaya yang berlaku, katakanlah di seko-lah tempat layanan konseling itu diadakan. Selaras bukan berarti merubah keseluruh-an keyakinkeseluruh-an nilai-nilai budaya ykeseluruh-ang selama ini diyakini agar dikalahkan demi nilai budaya yang berlaku di sekolah, namun lebih kepada bagaimana keduanya memahami dan beradapatsi dengan cara tidak memaksakan nilai budaya yang dibawanya kemudian berusaha berdamai dengan budaya yang berlaku di sekolah.

(5)

C. Diferensiasi Peserta Didik

Kalimat yang selalu digunakan untuk menekankan pentingnya mengenal perbedaan individu ialah “setiap individu itu unik”. Dengan pengetahuan bahwa setiap individu itu berbeda dalam berbagai aspek perkembang-annya, maka konselor akan mampu menyedia-kan layanan BK yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik/ konseli. Merupakan sebuah tantangan bagi konselor agar dirinya dapat mengenal siapa peserta didik yang akan ia layani, namun tidak semua konselor mau menerima tantangan itu dan menyamaratakan model layanan konseling pada setiap peserta didik yang dilayaninya. Akibatnya, kebutuhan konseli tidak dapat dicapai, konseli tidak dapat mandiri dalam kehidupannya, dan potensi konseli tidak berjalan maksimal, itu semua akibat dari layanan konseling yang tidak efektif.Jika demikian maka layanan konseling dinilai tidak dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan konseli.Kenyataan ini merupakan alasan mengapa konselor perlu mengenal perbedan-perbedaan pada diri peserta didiknya.

Hartinah (2010: 18-20) mengatakan bahwa perbedaan pada diri peserta didik idealnya dihadapi dengan pendekatan idividual, namun bukan berarti hanya untuk mengembangkan individu sebagai individu, tetapi juga mengembangkan individu dalam kehidupan masyarakat yang bervariasi. Kondisi yang perlu dipertimbangkan sebelum menentukan layanan konseling bagi siswa ialah per-tumbuhan & perkembangan anak dan kondisi pribadi siswa, yang meliputi: fungsi kognitif, fungsi konatif dinamik, fungsi afeksi, fungsi sensori-motorik, dan fungi biologis, fungsi sosial dan moral, kondisi mental, dan kondisi lingkungan siswa.

Perbedaan serta keragaman antar peserta didik menjadi pertimbangan dalam me-nentukan layanan BK. Dan untuk memahami perbedaan serta keragaman tersebut konselor perlu memetakan bagian-bagian yang terdapat dalam perbedaan dan keragaman yang tidak dapat dihindarkan dari kegiatan layanan BK.

Di mana keduanya akan mengantarkan kon-selor pada konsep awal multikultural. Jones (2005: 430) menyebutkan 10 bagian keragaman dalam hubungan konseling.

Dari kotak tersebut dapat dipahami bahwa perbedaan dan keragaman yang menjadi kajian multikultural ialah budaya asal, ras, kelas sosial, seks biologis, identitas peran gender, status pernikahan, orientasi seksual, disabilitas fisik, usia, serta agama dan falsafah hidup. Ke-10 bagian keragaman di atas merupakan karakteristik kunci bagi konselor agar lebih peka terhadap isu-isu etik layanan konseling multikultural yang membutuhkan kompetensi multikultural dari diri konselor.

D. Kompetensi Multikultural Konselor

(6)

McCoy’s (2005; Dodson, 2013: 24) berdasarkan observasinya menemukan bahwa multikulturalisme tidak cukup dibentuk melalui satu aspek saja, namun harus menjadi bagian dari seluruh aspek dari konseling sekolah dan dari obervasi tersebut juga dibuktikan bahwa konselor yang dapat mengatasi bias-bias kebudayaan akan dapat mengatasi problem konseli dan keluarganya juga dapat mem-berikan perubahan dalam prestasi siswa, terutama prestasi siswa dari kalangan minoritas.

1. Kompetensi Multikultural Konselor Secara Umum

Association for Multicultural Counseling and Development (AMCD) mengeluarkan kompetensi multikultural bagi konselor, kompetensi tersebut ditulis oleh Arrdondo, dkk, (1996) meliputi 3 kompetensi:

a. Counselor awareness of own cultural values and biases

1) Attitudes and Beliefs: konselor memiliki kesadaran dan sensi-tifitas akan warisan budaya yang dimiliki konselor me-rupakan hal yang esensial, konselor berhati-hati terhadap latar belakang budaya dan pengalaman memengaruhi sikap, nilai, dan bias yang berkaitan dengan proses konseling, dan konselor dapat memahami sumber dari ketidak-nyamanan akan adanya per-bedaan yang ada pada dirinya dengan para konseli dalam hal ras, etnik, dan budaya.

2) Knowledge: (1) konselor me-miliki pengetahuan tentang ras dan kebudayaan asal (warisan) dan bagaimana hal tersebut secara personal dan profe-sional memengaruhi pemaha-mannya dalam proses konse-ling; (2) konselor memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana

penindas-an, rasisme, diskriminasi, dan stereotip memengaruhinya secara personal dan dalam pekerjaannya; dan (3) konselor mengetahui pengaruh dari

social impact dengan pihak lainnya, termasuk dengan konseli.

3) Skills: konselor berusaha me-ngembangkan diri dengan pendidikan, berkonsultasi, dan mengikuti pelatihan agar dapat memperbaiki pemahaman dan keefektifan menghadapi kon-seli yang berbeda secara kul-tural, dan konselor secara terus menerus membangun pema-haman untuk memhami dirinya sebagai bagian dari ras dan kultur tertentu serta berusaha membangun identitas kon-seling yang tidak rasisme. b. Counselor awareness of client’s

worldview

1) Attitudes and Beliefs:konselor menyadari reaksi-reaksi emosi positif dan negatif dalam dirinya saat menghadapi kon-seli yang berasal dari ke-lompok ras dan etnik yang berbeda dan menyadari ada-nya stereotip dan dugaan yang mungkin muncul terhadap kelompok minoritas.

(7)

terhadap kehidupan ras dan etnik minoritas.

3) Skills:(1) konselor harus mem-biasakan diri dengan penelitian dan temuan-temuan terbaru tentang kesehatan dan gang-guan mental yang memenga-ruhi berbagai kelompok ras dan etnik; dan (2) konselor aktif membawa diri mengenal individu-individu dari kelompok minoritas di luar setting kon-seling.

c. Culturally appropiate intervention strategies

1) Attitudes and Beliefs: konselor respek terhadap kepercayaan atau kepercayan dan nilai-nilai spritual konseli, konselor respek terhadap budaya lokal, dan tidak menggunakan hal-hal yang dapat menghambat proses konseling.

2) Knowledge: konselor menge-tahui karakteristik umum dari konseling dan psikoterapi, konselor mengetahui pihak-pihak yang dapat menghalangi konseli dari kalangan minoritas untuk mendapatkan layanan kesehatan mental, konselor memiliki pengetahuan potensi bias dalam instrumen ases-men, konselor memiliki pengetahuan tentang struktur kelu arga-keturun an-nilai-keyakinan dari perspektif berbagai kultur, dan konselor harus menyadari hubungan antara perlakuan diskriminasi dalam komunitas sosial yang bisa mengancam psikologis kelompok selama men-dapatkan layanan konseling. 3) Skills: (1) konselor mampu

menggunakan berbagai respon vebal dan non-verbal; (2)

konselor mampu mengatasi intervensi-intervensi dari konseli; (3) konselor bersedia berkonsultasi dengan pihak-pihak yang memiliki power dalam praktik agama dan budaya, seperti dukun dan kyai; (4) konselor mampu mengembangan tanggung jawab selama berinteraksi dengan konseli, dan jika tidak mampu dapat melakukan referal; (5) konselor mengikuti pelatihan penggunaan ases-men dan instruases-men tradisional; dan (6) konselor memberikan tanggung jawab pada konseli agar dapat memahami inter-vensi psikologi, pencapaian tujuan, dan orientasi konselor.

2. Kompetensi Multikultural Konselor Berdasarkan Prinsip Bimbingan dan Konseling

Sebelumnya penulis telah menganalisa nilai-nilai multikultural yang terkandung dalam prinsip BK nomor 1 dan 8. Dari analisa tersebut penulis kemudian merumuskan kompetensi multikultural bagi konselor berdasarkan kedua prinsip tersebut sebagai berikut:

a. Kesadaran terhadap keberagaman siswa

1) Konselor menyadari perbedaan yang melekat antara siswa perempuan dan laki-laki; anak-anak, remaja, dan dewasa; siswa yang memiliki masalah dan tidak memiliki masalah 2) Perbedaan layanan terhadap

(8)

3) Konselor memiliki kesadaran bahwa perbedaan antara siswa mendapatkan pengaruh besar dari latar belakang kebudaya-anya

4) Konselor menyadari pentingnya melakukan penelitian terhadap kondisi siswa yang berbeda-beda untuk mengenal siswa sebagai produk budaya

b. Pemahaman terhadap terminologi multikultural

1) Konselor memahami perbedaan istilah-istilah dalam kajian mmultikultural, seperti kultur, etnik, emic, etic, ras, kelompok minoritas/ mayoritas

2) Konselor memiliki pemahaman tentang konsep-konsep yang senada dengan multikultural, seperti lintas-budaya dan antar-budaya

3) Konselor memahami kenyatan-kenyataan budaya pembentuk pribadi konselinya yang harus selalu dihadapi dalam sesi konseling

4) Konselor memahami tujuan dari kajian multikultural dan me-ngapa perlu menjadi bagian dari aktifitas konseling

c. Pengetahuan akan berbagai bu-daya yang memengaruhi siswa 1) Konselor memiliki pengetahuan

tentang faktor-faktor pemicu timbulnya konflik kebudayaan antara siswa

2) Konselor memiliki pengetahuan dan informasi tentang berbagai praktik budaya di Indonesia yang melekat pada perilaku siswa di sekolah

3) Konselor memiliki pengetahuan tentang seberapa besar peng-hayatan siswa terhadap nilai dan keyakinan yang berasal dari budaya asalnya

4) Konselor memiliki pengetahuan tentang intervensi-intervensi dari kebudayaan lokal dapat mengontrol perilaku siswa 5) Konselor memiliki pengetahuan

tentang berbagai budaya (praktik, adat, ritual, dll) sebelum menentukan jenis layanan/ pendekatan konseling terhadap siswa

d. Kemampuan menyelenggara-kan layanan konseling yang adaptif budaya

1) Konselor mampu mengendap-kan nilai dan keyakinannya, mendorong siswa untuk me-ngembangkan nilai dan ke-yakinannya ke arah yang positif dan adaptif, mempertemukan budayanya dengan bidaya sekolah, dan membimbing konseli agar mampu me-mahami dan beradaptasi dengan budaya sekolah

2) Konselor memiliki kemampuan menyelenggarakan layanan konseling yang tidak ber-tentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat di mana layanan konseling di selelnggarakan

3) Konselor dapat fleksibel dengan layanan konselingnya, tidak memaksakana jenis dan pen-dekatan layanan konseling tertentu di semua tempat walaupun dinilai efektif di tempat tertentu

(9)

5) Konselor mampu mengalahkan ego untuk mengungkapkan pendapat dan keyakinan pribadi yang tidak dapat diterima di lingkungan sekolah maupun masyarakat selama menyelenggarakan layanan konseling

6) Konselor mampu mengom-binasikan dan mengembang-kan layanan konseling dengan nilai-nilai budaya yang berlaku secara universal maupun yang berlaku secara khusus di manapun layanan konseling diadakan.

E. Konselor Dalam Konseling Multikultural

Tentunya konselor akan selalu meng-hadapi seorang konseli yang berbeda secara kultural dengan dirinya, walaupun menganut agama yang sama, namun berasal dari latar belakang historis dan budaya yang berbeda juga membuat konselor dan konseli berada pada situasi konseling multikultural, begitu pula dengan perbedaan lainnya seperti usia, seks biologis, peran gender, status pernikahan, dan lainnya merupakan hal-hal esensial yang perlu disadari dalam konseling multikultural.

Multikultural tidak berhenti pada ke-ragaman atau perbedaan semata, namun lebih pada bagaimana konselor bersama konseli dapat mengenal, menerima, dan memahami perbedaan yang tak dapat di-tanggalkan dalam layanan konseling. Jadi, terselenggaranya layanan konseling yang melibatkan seorang konselor dan seorang/ sejumlah konseli bukan hanya untuk me-nunjukkan adanya perbedaan dan keragaman, tapi lebih jauh dapat berdamai dengan kenyataan tersebut sehingga layanan kon-seling berjalan sesuai rencana; konselor tidak mengintervensi konseli berdasarkan nilai dan keyakinannya, dan konseli terus dapat me-ngembangkan nilai dan keyakinannya ke arah yang positif. Latipun (2008: 242) berpendapat bahwa aspek nilai dalam konseling

me-ruapakan hal yang fundamental dan se-hubungan dengan layanan konseling, maka konselor perlu memiliki kematangan dan kemantapan pada nilai-nilainya sendiri untuk diselaraskan dengan nilai-nilai para konseli-nya.

1. Konseling Multikultural

Konseling pada umumnya merupakan hubungan dua orang, yang secara normal melibatkan seorang konselor dan seorang konseli.dan selama bertahun-tahun bahwa terciptanya empathetic terhadap konseli cukup membuat hubungan konseling yang efektif (Ivey, 1986; Dayaksini & Yuniardi, 2008: 175). Namun seiring dengan pe-rubahan sistem kehidupan masyarakat, terutama berbagai perubahan dalam kehidupan sosial-budaya seperti nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang mulai bergeser, bahkan memudar, perkawinan antar ras/ etnik/ suku/ budaya baik berasal dari bangsa yang sama maupun antar bangsa, perubahan kebijakan pendidikan, perubahan gaya kepe-mimpinan, dan lainnya juga berimplikasi bagi model dan pendekatan yang dipakai dalam layanan konseling. Jika berpijak pada lingkup multikultural, hubungan konseling tidaklah sederhana, sebab masing-masing konseli membawa suatu latar belakang historis dan budaya khusus yang memiliki implikasi kuat bagi hasil konseling.oleh karenanya pemahaman tentang konseling multikultural sangat diperlukan.

(10)

multikultural cenderung lebih diminati karena sama sekali tidak menyiratkan adanya keunggulan satu kultur di atas kultur lainnya.

Heims & Cook (1997; Sciarra, 2004: 144) merinci konsep kunci dalam konseling multikultural:

Haims & Cook menyebutnya dengan konsep kunci karena tidak mungkin konselor dapat menyelenggarakan layanan konseling multikultural jika tidak dapat memahami istilah atau konsep yang terhimpun dalam konseling multikultural itu sendiri. Konselor akan menghadapi berbagai persoalan latar belakang budaya yang dibawa oleh konselinya. Apakah konseli seorang yang merasa tertindas karena ia minoritas, apakah konseli disepelekan karena ia bagian dari ras tertentu, apakah konseli berpikir untuk bertindak di luar kebiasaan lingkungan sosial-budayanya. Begitu pula dengan konselor, apakah ia merasa kesulitan saat melayani konseli yang berbeda secara kultural dengannya, apakah konselor selalu merasa tidak nyaman saat konseli mengungkapkan nilai yang berbeda dengan nilai yang diyakini konselor, dan apakah konselor akan menjadi netral nilai dalam suasana konseling multikultural. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat konselor jawab jika ia memahami konsep dari konseling multikultural dan mau mengambil sikap untuk terus melakukan pengembangan diri.

Dengan demikian, konseling multi-kultural dapat dipahami sebagai “suatu bentuk konseling di mana konselor dengan konseli (perorangan/ kelompok) memiliki perbedaan-perbedaan nilai dan keyakinan yang berasal dari lingkungan historis, sosial, budaya, agama, perkembangan fisik (usia dan seks biologis), dan peran identitas-gender”. Jadi situasi yang terjadi dalam konseling multikultural meliputi: (a) konselor memiliki budaya dan konseli juga membawa budayanya sendiri; (b) mungkin saja konselor dan konseli berasal dari sistem budaya yang sama namun berbeda secara usia, peran dalam anggota masyarakat, status perkawinan, orientasi seksual, dan kelas sosial-ekonomi; dan (c) konselor dan konseli berasal dari lingkup budaya yang sama atau berbeda namun perlu menyesuaikan dirinya dengan praktik budaya yang berlaku dalam lingkungan tempat layanan konseling diselenggarakan.

1. Karakteristik Konselor Efektif Secara Multikultural

Beberapa karakteristik konselor yang dapat menjadikan konseling multikultural menjadi efektif:

a. Mengenali nilai-nilai dan asumsi yang mereka pegang sebagai dasar menilai perilaku manusia yang diinginkan atau tidak diinginkan

b. Menyadari karakteristik umum dari konseling

c. Dapat berbagi pandangan dengan konseli tanpa meniadakan hak-haknya

d. Dapat menerapkan metode konseling yang eklektik

e. Memiliki kesadaran dan kepekaan terhadap budaya yang dimiliki f. Menyadari nilai-nilai dan bias

(11)

g. Merasa tidak terganggu dengan perbedaan dirinya dengan konseli yang berkaitan dengan ras dan ke-percayaan

h. Menguasai informasi dan penge-tahuan spesifik tentang kelompok tertentu yang bekerja sama dengan diri konselor

i. Mampu menghasilkan tanggapan verbal dan non-verbal yang luas j. Mampu mengeirimkan dan

me-nerima pesan baik secara verbal maupun non-verbal secara wajar dan teliti.

Pemahaman terhadap konseling multikultural dapat mengantarkan kon-selor untuk menyadari hal atau ke-terampilan apa saja yang perlu dimiliki atau mungkin perlu dikembangkan agar dapat memaksimalkan terselenggaranya konseling multikultural yang efektif sesuai dengan prinsip bimbingan dan konseling. Lebih lanjut karakteristik konselor yang efektif secara kultural juga akan sangat memengaruhi keterampilan konselor dalam praktik layanan konseling multi-kultural yang tidak dapat muncul begitu saja dalam diri konselor, namun perlu latihan dan evaluasi secara berkelanjutan dan berkesinambungan.

2. Pengembangan Diri Konselor

Sejalan dengan kompetensi yang harus dimiliki konselor dalam berbagai bidang yang berkenaan dengan layanan konseling, maka untuk mengembangkan diri sebagai konselor multikultural juga diperlukan awareness, knowledge, and

skills.

a. Multicultural Awareness: konselor perlu memiliki kesadaran ter-hadap perilakunya yang ber-hubungan dengan konseli yang berbeda secara kultural dengan dirinya (McCoy, 2013: 8). Perilaku konselor akan memengaruhi persepsi konseli sekaligus arah

dari konseling yang sedang berjalan. Jika konselor tidak menyadari bahwa karateristik perilakunya merupakan bentukan dari kebudayaan asalnya maka akan dapat memengaruhi peri-laku konseli selama sesi kon-seling.

b. Multicultural Knowledge: me-laksanakan konseling multi-kultural berarti konselor me-nerima konsekuensi berupa pentingnya memiliki penge-tahuan tentang konsep multi-kultural sehingga dapat menjadi bagian dalam layanan konseling. Pengetahuan yang harus dimiliki konselor kaitannya dengan kon-seling multikultural ialah ke-budayaan, ras, etnik, etik dan emik, kelompok minoritas dan mayoritas, dan tentunya prinsip-prinsip multikultralisme. Penge-tahuan tersebut bisa didapatkan dari para konseli yang dilayani, melakukan studi/ kajian literatur, dan melakukan penelitian yang berhubungan dengan perma-salahan multikultural para siswa-nya.

(12)

pada kepiawaian konselor sesuai dengan kadar pengetahuan dan tingkatan kesadaran konselor akan isu-isu multikulturalisme. Studi yang dilakukan oleh Dodson (2013: 21) salah satunya membuktikan bahwa konselor yang berasal dari minori-tas atau yang memiliki latar belakang multirasial akan merasa dirinya lebih memiliki kemampuan multikultural di-bandingkan dengan konselor yang tidak berasala dari kelompok minoritas atau tidak memiliki latar belakang multirasial. Hal itu dapat terjadi karena konselor dengan latar belakang multirasial secara “alami” mempelajari berbagai interaksi dalam lingkungan yang terdiri dari anggota masyarakat dari berbagai ras, sehingga tidak canggung lagi saat me-nerima konseli yang berbeda secara kultural dengan dirinya. Kemudian konselor dari masyarakat minoritas lebih peka dan memiliki kesadaran yang tinggi terhadap isu-isu dan fenomena diferen-siasi kultural seperti penindasan dan diskriminasi yang pernah dialaminya. Kedua tipe konselor ini lebih mudah untuk membentuk kompetensi multikultural baik secara personal maupun profesional.

Kenyataan tersebut tidak berarti bahwa konselor lainnya tidak dapat memiliki kompetensi multikultural. Melainkan harus lebih bersungguh-sungguh, menumbuhkan rasa ingin tahu yang lebih besar lagi, belajar berinteraksi dengan anggota masyarakat yang plural yang kaya akan kebudayaan, terutama yang berbeda dari kultur konselor. Karena bagaimanapun juga seseorang akan sulit berempati pada sesuatu yang belum pernah dialami sebelumnya, atau belum pernah dilihat/ diketahui dari masa lalu.Intinya adalah persiapan, pelatihan, dan pelaksanaan yang berkelanjutan yang menyuluh dalam berbagai aspek konseling sekolah.

F. Penutup

Nilai-nilai multikutural dalam prinsip BK nomor 1 adalah penyelenggaraan layanan BK yang non-diskriminatif dan ditujukan untuk seluruh siswa, baik laki-laki maupun per-empuan; anak-anak, remaja, dan dewasa; siswa yang memiliki masalah maupun yang tidak memiliki masalah. Perbedaan pen-dekatan dalam layanan adalah untuk me-mecahkan persoalan serta kesesuaiannya dengan kebutuhan siswa/konseli.Kemudian nilai-nilai multikultural dalam prinsip nomor 8 ialah layanan BK tidak bertentangan dengan budaya Indonesia, terlebih budaya di mana layanan BK itu diselenggarakan.Artinya layanan BK harus adaptif budaya.

Kompetensi multikultural konselor ialah kemampuan konselor dalam menentukan pendekatan konseling yang efektif dansesuai dengan gambaran latar belakang budaya yang dibawa konseli.Dan berdasarkan kedua prinsi BK tadi penulis merumuskan kompetensi multikultural konselor berupa: (1) kesadaran tentang keragaman siswa; (2) pemahaman terhadap terminologi kultural; (3) pengetahuan akan berbagai budaya yang memengaruhi siswa; dan (4) Kemampuan menyelenggarakan layanan konseling yang adaptif budaya.[]

DAFTAR PUSTAKA:

Ahmed, Shamshad, dkk. 2011.In the Special Issue on Multicultural Social Justice Leadership Development, Journal for Action in Counseling and Psychology, Volume 3, Number 1 Spring 2011, hlm. 17-28.

Arredondo, P. 1996. Operationalizational of the Multicultural Counseling Competencies. AMCD: Alexandria.

Corey, Gerald. 2007. Praktek dan Teori Konseling dan Psikoterapi, terj. E. Koswara, Bandung: PT Refika Aditama.

Dayaksini, Tri & Yuniardi, Salis. 2008.Psikologi Lintas Agama. Malang: UMM Press.

(13)

Bimbingan dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal, t.t.p.: t.p.

Dodson, Fallon K. 2013. Exploring the Multicultural Competence of School Counselors, e-Journal. http: // repository.wcsu.edu/jcps/vol5/iss2/2.

Hartinah, Sitti. 2010.Pengembangan Peserta Didik. Bandung: Refika Aditama.

Jones, Richard Nelson. 2005. Practical Counseling and Helping Skills, 5th edition, London: Sage Publications. Ltd.

Latipun. 2008. Psikologi Konseling, Malang: UMM Press.

(14)

Konselor hendaknya memiliki kesadaran untuk

membentuk kompetensi multikulturalnya agar

maksimal dalam menjalankan tugas-tugas di sekolah

Referensi

Dokumen terkait

– Zat atau obat yg berasal dari tanaman a bukan tanaman, sintetis a semi sintetis yg dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi

Dengan melihat Gambar 4.8, suhu tertinggi terjadi di Bulan Agustus yaitu sebesar 31,88°C pada bulan ini sedang terjadi musim timur, suhu menurun sampai menjelang

PENGUKURAN INDIKATOR MUTU INDIKATOR MUTU LAY LAYANAN ANAN KLINIS: KLINIS: PELAY PELAYANAN ANAN RAW RAWAT JALAN AT JALAN. BULAN:.... DINAS KESEHATAN KABUPAEN

Visual Basic merupakan bahasa pemrograman yang sangat mudah dipelajari, dengan teknik pemrograman visual yang memungkinkan penggunanya untuk berkreasi lebih baik dalam

Tautan untuk mengunduh buku Geoekologi Kepesisiran dan Kemaritiman ada pada tautan

Sistem stratiikasi sosial adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat, yang diwujudkan dalam kelas tinggi, kelas sedang, dan kelas sedang..

Setelah melihat ibunya mengambil kain untuk mengeringkan lantai dengan cara menyeret kakinya yang dialasi dengan kain untuk mengeringkan lantai, Afif pun