• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanah Longsor 2.1.1. Pengertian Tanah Longsor - Hubungan Faktor Koordinasi dan Motivasi Kerja Petugas Penanggulangan Bencana terhadap Kesiapsiagaan Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanah Longsor 2.1.1. Pengertian Tanah Longsor - Hubungan Faktor Koordinasi dan Motivasi Kerja Petugas Penanggulangan Bencana terhadap Kesiapsiagaan Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanah Longsor

2.1.1. Pengertian Tanah Longsor

Undang-Undang RI No.24 Tahun 2007, menyatakan bencana adalah

peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa

(2)

2.1.2. Penyebab, Gejala dan Wilayah Rawan Terjadi Tanah Longsor

Tanah longsor terjadinya disebabkan karena runtuhnya tanah secara tiba-tiba atau pergerakan tanah atau bebatauan dalam jumlah besar secara tiba-tiba atau berangsur yang umumnya terjadi didaerah terjal yang tidak stabil. Faktor lain yang memengaruhi terjadinya bencana ini adalah lereng yang gundul dan bebatuan yang rapuh. Hujan deras adalah pemicu utama terjadinya tanah longsor. Tetapi tanah longsor dapat juga disebabkan oleh gempa atau aktifitas gunung berapi, ulah manusia pun bisa menjadi penyebab tanah longsor, seperti penambangan tanah, pasir, dan batu yang tidak terkendali.

Menurut Ramli (2010), Proses pemicu longsoran dapat antara lain karena Peningkatan kandungan air dalam lereng, sehingga terjadi akumulasi air yang

merenggang ikatan antar butir tanah dan akhirnya mendorong butir-butir tanah untuk longsor, Getaran pada lereng akibat gempa bumi ataupun ledakan, penggalian, getaran alat/kendaraan, Peningkatan beban yang melampaui daya dukung tanah atau kuat geser tanah, Pemotongan kaki lereng secara secara sembarangan yang

(3)

longsor di daerah tersebut, berada pada daerah yang terjal dan gundul, merupakan daerah aliran air hujan, tanah tebal atau sangat gembur pada lereng yang menerima curah hujan tinggi

2.1.3. Dampak

Bencana tanah longsor mempunyai dampak terhadap kesehatan diantaranya terjadinya krisis kesehatan, yang menimbulkan :

(1) Korban massal; bencana yang terjadi dapat mengakibatkan korban meninggal dunia, patah tulang, luka-luka, trauma dan kecacatan dalam jumlah besar,.

(2) Pengungsian; pengungsian ini dapat terjadi sebagai akibat dari rusaknya rumah-rumah mereka atau adanya bahaya yang dapat terjadi jika tetap berada dilokasi kejadian. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat resiko dari suatu wilayah atau daerah dimana terjadinya bencana (Depkes RI, 2007).

(4)

2.2. Petugas Penanggulangan Bencana Tanah Longsor

(5)

2.3. Pengurangan Resiko Bencana Tanah Longsor

Pemerintahan daerah dalam perspektif penyelenggaraan upaya pengurangan resiko bencana merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Ini relevan, apabila dikaitkan dengan fungsi pemerintah yaitu memberikan perlindungan kepada masyarakat, termasuk

didalamnya melakukan upaya dampak terhadap resiko bencana. Hal ini merupakan amanat 2 (dua) aturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Pemerintah daerah sebagai penyelenggara pemerintahan hendaknya memiliki kepekaan dalam mengantisipasi terjadinya bencana, utamanya pada saat sebelum terjadinya bencana yaitu pengurangan resiko bencana yang bertumpu pada 3 (tiga) faktor yaitu pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan. Ditinjau dari jenis bencana yang terjadi serta dampaknya, situasi dan kondisi kebencaan di negeri kita saat ini cukup mengkhawatirkan. Oleh sebab itu, diperlukan upaya yang serius dari pemerintah daerah untuk melakukan langkah yang konkrit dalam melindungi masyarakatnya apabila terjadi kondisi kedaruratan, karena lokus dari bencana berada pada wilayah kerja pemerintah daerah Kabupaten/Kota, Kecamatan atau Desa/Kelurahan

(6)

Aparat bersama-sama masyarakat dalam rangka membangun kesiapsiagaan menuju terwujudnya budaya siaga bencana melalui rencana aksi daerah dalam pengurangan resiko bencana. Hal ini bertujuan untuk membangun kesamaan gerak dan langkah dalam pengurangan resiko bencana atau peningkatan pemahaman dan penyamaan persepsi melalui penguatan kapasitas pemerintah daerah yang berpijak kepada penguatan kebijakan, prosedur, personil dan kelembagaan, yang dijabarkan melalui:

1. Penguatan kebijakan dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB) diarahkan kepada sosialisasi dan harmonisasi kebijakan penanggulangan bencana di daerah, agar kebijakan dari tingkat nasional dapat dijalankan secara operasional di daerah.

2. Penguatan prosedur dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB) diarahkan kepada bagaimana pedoman, panduan dan juknis dapat diimplementasikan sehingga memiliki daya dorong inisiasi yang tinggi dari setiap pemangku kepentingan di daerah.

3. Penguatan personil dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB) diarahkan kepada peningkatan kapasitas aparatur pemda dalam mendukung penyelenggaraan pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan.

4. Penguatan kelembagaan dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB)

(7)

kelembagaan BPBD di provinsi/kabupaten/kota, seperti status dari peraturan Gubernur/Bupati/Walikota sebagai dasar pembentukan BPBD menjadi

peraturan daerah.

Pemerintah Daerah melalui Pengurangan Resiko Bencana (PRB) mampu memprakarsai dan menumbuhkembangkan sumber daya guna memberikan dukungan terhadap penyelenggaraan utusan di bidang penanggulangan bencana dengan fokus terhadap upaya pengurangan resiko bencana. Pengurangan Resiko Bencana (PRB) diarahkan kepada peningkatan pemahaman untuk menumbuhkan kesadaran

masyarakat serta membudayakan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Upaya ini membutuhkan sumber daya yang memadai serta waktu yang panjang, sehingga kedepan Pengurangan resiko bencana merupakan bagian investasi pemerintah daerah di masa yang akan datang. Sebagaimana investasi tentu tidak dapat dinikmati

hasilnya segera/ bersifat instan tetapi dirasakan pada masa yang akan datang yaitu dapat melindungi atau mengamankan aset daerah dan aset negara yang sulit dihitung nilainya. Menyadari akan hal tersebut, maka pemahaman kesadaran, kepedulian dan tanggung jawab akan pentingnya upaya Pengurangan Resiko Bencana (PRB)

hendaknya dari waktu ke waktu harus selalu ditingkatkan, agar tidak berdampak merugikan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat.

(8)

bencana dan pasca bencana. Pasal 17 dari qanun tersebut menyatakan tentang pentingnya pemberian pelatihan dan pendidikan untuk memberikan kesiapan bagi petugas penanggulangan bencana yang meliputi pra bencana, saat bencana dan pasca bencana sehingga petugas dapat meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kepedulian, kemampuan dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Adapun pelatihan dalam rangka meningkatkan kemampuan masyarakat yang ada di desa yaitu : penilaian resiko kerentanan dan kemampuan masyarakat serta pemetaan ancaman, analisa tanda dan suara peringatan bencana, dan pertolongan pertama pada gawat darurat

2.4. Kesiapsiagaan

2.4.1. Tindakan Kesiapsiagaan

Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk

mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Tujuannya adalah untuk mengurangi dampak negatif dari bencana. Kesiapsiagaan bencana merupakan proses dari penilaian, perencanaan dan pelatihan untuk mempersiapkan sebuah rencana tindakan yang terkoordinasi dengan baik (Undang-Undang No.24 Tahun 2007).

Berdasarkan LIPI (2006), Ada 7 (tujuh) stakeholder yang berkaitan erat dengan kesiapsiagaan bencana, yaitu : individu dan rumah tangga, instansi

(9)

swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi non pemerintah (Ornop), kelembagaan masyarakat, kelompok profesi dan pihak swasta. Dari ke tujuh stakeholders tersebut, rumah tangga, pemerintah dan komunitas sekolah disepakati sebagai stakeholders utama dan empat stakeholders lainnya sebagai stakeholders pendukung dalam kesiapsiagaan bencana.

Kesiapsiagaan bencana mencakup langkah-langkah untuk memprediksi, mencegah dan merespon terhadap bencana. Koordinasi lintas sektoral diperlukan

untuk mencapai tujuan-tujuan berikut seperti yang telah disebutkan oleh LIPI-UNESCO/ISDR (2006), bahwa ruang lingkup kesiapsiagaan dikelompokkan

kedalam empat parameter yaitu pengetahuan dan sikap (knowledge and attitude), perencanaan kedaruratan (emergency planning), sistem peringatan (warning system), dan mobilisasi sumber daya. Pengetahuan lebih banyak untuk mengukur pengetahuan dasar mengenai bencana alam seperti ciri-ciri, gejala dan penyebabnya. Perencanaan kedaruratan lebih ingin mengetahui mengenai tindakan apa yang telah dipersiapkan menghadapi bencana alam. Sistem peringatan adalah usaha apa yang terdapat di pemerintahan/masyarakat dalam mencegah terjadinya korban akibat bencana dengan cara tanda-tanda peringatan yang ada. Sedangkan mobilisasi sumber daya lebih kepada potensi dan peningkatan sumber daya di pemerintahan/masyarakat seperti keterampilan-keterampilan yang diikuti, dana dan lainnya.

(10)

di tingkat lokal, nasional dan internasional untuk meningkatkan efisiensi dan

efektivitas. Hal ini mencakup antara lain: pengembangan sistem peringatan dini dan rencana evakuasi untuk mengurangi potensi korban jiwa dan kerusakan fisik, pendidikan dan pelatihan yang ditunjuki oleh pejabat di sektor publik dan swasta, pelatihan personil tanggap darurat, dan pembentukan kebijakan tanggap bencana, dengan prosedur operasional, perjanjian organisasi yang saling berkolaborasi, dan adanya sebuah standart pelayanan. Ke-dua adalah memperkuat kesiapsiagaan

terhadap bencana lokal dengan mendukung kegiatan berbasis masyarakat. Pendidikan dan persiapan untuk meminimalkan resiko dapat dilakukan melalui media massa, program sekolah, dan pameran kesehatan. selain itu, kesiapsiagaan bencana lokal meliputi pengajaran pertolongan pertama dan cardiopulmonary resusitasi (CPR) untuk anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dan untuk kesiapsiagaan dalam respon bencana.

Kesiapsiagaan menghadapi bencana merupakan suatu aktivitas lintas sektor yang berkelanjutan. Kegiatan itu membentuk suatu bagian yang tak terpisahkan dalam sistem nasional yang bertanggungjawab untuk mengembangkan perencanaan dan program pengelolaan bencana (pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, respons, rehabilitasi, dan atau rekonstruksi) di Indonesia dikenal dengan Bakornas PB. Satu hal terpenting untuk memastikan mutu dan efektivitas program kesiapsiagaan

(11)

hati-hati terhadap program-program yang telah disiagakan untuk memastikan bahwa program tersebut dapat dioperasikan secara efektif.

Pan American Health Organization (PAHO, 2006), menyebutkan

Penanganan pelayanan kesehatan untuk korban cedera dalam jumlah besar diperlukan segera setelah terjadinya bencana tanah longsor. Oleh karena itu dibutuhkan

kesiagaan untuk pertolongan pertama dan pelayanan kedaruratan dalam beberapa jam pertama. Banyaknya korban jiwa yang tidak tertolong karena minimnya sumber daya lokal, termasuk transportasi yang tidak dimobilisasi segera. Sumber daya lokal sangat menentukan dalam penanganan korban pada fase darurat.Tanggungjawab sektor kesehatan pada saat bencana praktis mencakup semua aspek operasi normal pra-bencana. Semua departemen teknis dan layanan penunjang dilibatkan pada saat terjadinya bencana besar. Kesiapsiagaan harus ditujukan pada semua kegiatan

kesehatan dan sektor lainnya dan tak bisa dibatasi pada aspek yang paling terlihat dari pengelolaan korban massal dan layanan kegawatdaruratan saja. Pelaksanaan tugas penanganan kesehatan akibat bencana di lingkungan Dinas Kesehatan dikoordinasi oleh unit yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kesehatan dengan surat keputusan (Depkes RI, 2007).

Berdasarkan LIPI-UNESCO dan PAHO dalam penelitian ini peneliti melihat kesiapsiagaan dari tiga indikator yaitu pengetahuan, sikap dan pelatihan.

(12)

mencegah kematian dan kerugian harta benda adalah pentingnya kesiapsiagaan petugas melalui peningkatan pengetahuan, inovasi, dan pendidikan/pelatihan untuk membangun sebuah budaya keselamatan dan ketangguhan di semua tingkat dari kecamatan sampai kepada kabupaten kota. Pengetahuan yaitu hasil dari tahu, dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007). Sikap yaitu reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. (Notoatmodjo, 2007). Pelatihan merupakan bagian dari suatu proses pendidikan, yang tujuannya untuk meningkatkan kemampuan atau keterampilan khusus seseorang atau kelompok orang. (Notoatmodjo, 1992). Pendidikan dan pelatihan kebencanaan merupakan salah satu upaya penanggulangan bencana pada tahap kesiapsiagaan bencana. (Renstra BNPB 2010-2014). pelatihan kebencanaan sangat diperlukan baik untuk petugas maupun untuk masyarakat yang bakal terkena bencana. (Soehatman,2010). Pelatihan yang diperlukan berkaitan dengan

penanggulangan bencana misalnya:

(13)

sehingga mampu mengembangkannya dilingkungan masing-masing, mampu menyusun dan menilai suatu analisa resiko bencana.

2. Pelatihan mengenai penanganan suatu bencana menurut jenisnya, misalnya bencana banjir, longsor, gempa bumi, tsunami, bencana industri, atau bencana sosial.

3. Teknik melakukan pertolongan seperti resque atau penyelamatan lainnya. 4. Teknik bantuan medis (P3K) dan bantuan medis lainnya.

5. Pelatihan mengenai prosedur penanggulangan bencana yang meliputi mitigasi bencana, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan rehabilitasi dan rekonstruksi. 6. Pelatihan mengenai sistem informasi dan komunikasi bencana.

7. Pelatihan manajemen logistik bencana.

8. Pelatihan standar pelayanan minimal kesehatan bencana dan pengungsi. 2.4.2. Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Upaya Penanggulangan Bencana

Tanah Longsor

a) Kesiapsiagaan Pra Bencana

Ada beberapa hal yang harus dilakukan masyarakat dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana tanah longsor, antara lain :

1. Tidak menebang atau merusak hutan

2. Melakukan penanaman tumbuh-tumbuhan berakar kuat, seperti nimbi, bambu, akar wangi, lamtoro dan sebagainya pada lereng-lereng yang gundul 3. Membuat saluran air hujan

(14)

5. Memeriksa keadaan tanah secara berkala 6. Mengukur tingkat kederasan hujan

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan masyarakat untuk menghindari korban jiwa dan harta akibat tanah longsor, diantaranya :

1. Membangun pemukiman jauh dari daerah yang rawan 2. Bertanya pada pihak yang mengerti sebelum membangun 3. Membuat peta ancaman.

4. Melakukan deteksi dini b). Kesiapsiagaan Saat Bencana

Ada beberapa tindakan yang harus dilakukan masyarakat saat tanah longsor terjadi, diantaranya :

1. Segera keluar dari daerah longsoran atau aliran runtuhan/puing kebidang yang lebih stabil

2. Bila melarikan diri tidak memungkinkan, lingkarkan tubuh anda seperti bola dengan kuat dan lindungi kepala anda.posisi ini akan memberikan perlindungan terbaik untuk badan anda.

c). Kesiapsiagaan Pasca Bencana

(15)

1. Hindari daerah longsoran, dimana longsor susulan dapat terjadi

2. Periksa korban luka dan korban yang terjebak longsor tanpa langsung memasuki daerah longsoran

3. Bantu arahkan SAR kelokasi longsor

4.Bantu tetangga yang memerlukan bantuan khusus anak-anak, orang tua, dan orang cacat

5.Dengarkan siaran radio lokal atau televise untuk informasi keadaan terkini 6.Wapada akan adanya banjir atau aliran reruntuhan setelah longsor

7.Laporkan kerusakan fasilitas umum yang terjadi kepada pihak yang berwenang

8.Periksa kerusakan pondasi rumah dan tanah disekitar terjadinya longsor

9.Tanami kembali daerah bekas longsor atau daerah sekitarnya untuk menghindari erosi yang telah merusak lapisan atas tanah yang dapat menyebabkan banjir bandang

10. Mintalah nasehat pada ahlinya untuk mengevaluasi ancaman dan teknik untuk mengurangi resiko tanah longsor.

2.4.3. Kesiapsiagaan Pemerintah Setempat dalam Upaya Penanggulangan Bencana Tanah Longsor

Pan American Health Organization (PAHO,2006), menyatakan bahwa tujuan khusus dari upaya kesiapsiagaan bencana adalah menjamin bahwa sistem, prosedur, dan sumber daya yang tepat siap ditempatnya masing-masing untuk memberikan

(16)

langkah-langkah pemulihan dan rehabilitasi layanan. Peraturan pemerintah No. 21 Tahun 2008, tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana menyatakan bahwa beberapa instansi yang terlibat dalam penanggulangan bencana antara lain

kementerian kesehatan, kementerian sosial, kementerian pekerjaan umum, kepolisian RI, Badan SAR Nasional, Dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kesiapsiagaan pemerintahan setempat yang terkait dalam upaya penanggulangan bencana tanah longsor antara lain sebagai berikut :

A. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) pembentukannya

berdasarkan Permendagri Nomor 46 Tahun 2008 tentang pedoman organisasi dan tata kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) adalah:

1. Menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan badan nasional penanggulangan bencana terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara.

2. Menetapkan standarisasi serta kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-undangan.

3. Menyusun menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana 4. Menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana.

(17)

6. Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana.

7. Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang

8. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.

9. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mempunyai fungsi:

1. merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif, dan efisien. 2. Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara

terencana, terpadu, dan menyeluruh.

(18)

Gambar 2.1 Struktur Organisasi Komando Tanggap Darurat

Ket : : Garis Komando. : : Garis Koordinasi

Sumber:PP BNPB No. 10 Tahun 2008

B. TNI/POLRI

TNI/Polri melalui pendekatan Pembinaan Teritorialnya membantu Pemerintah Daerah dalam rangka memulihkan kembali keadaan seperti

sebelumnya, berpartisipasi aktif menangani Bencana alam bersama-sama dengan komponen bangsa lainnya sehingga dapat membantu meringankan beban

kehidupan sosial masyarakat secara lahir batin dari akibat yang ditimbulkan Bencana. Pembinaan teritorial menciptakan ruang, alat dan kondisi juang yang tangguh, bersentuhan langsung dengan geografi, demografi dan kondisi sosial, maka penanggulangan bencana alam ini merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan aparatur Negara beserta masyarakat yang ada diwilayah saling membantu sehingga dapat menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan

(19)

penanggulangan bencana. Agar dalam setiap pelaksanaan penanggulangan bencana alam dapat berjalan dengan lancar dan berhasil dan berdayaguna, maka setiap aparatur negara baik dari pemerintah daerah, aparat TNI, Kepolisian, ormas dan masyarakat perlu memahami tentang organisasi penanggulangan bencana dengan tugas dan fungsinya.

Undang-Undang RI No. 34 tahun 2004, TNI dan Polri bertugas

melaksanakan operasi militer perang (OMP) serta operasi militer selain perang (OMSP), didalam tugas operasi militer selain perang salah satunya adalah membantu menanggulangi akibat bencana alam. Melaksanakan kegiatan

penanggulangan bencana diwilayah baik dalam tahap pra bencana, saat tangggap darurat, pasca bencana terjadi secara terpadu serta mencakup kegiatan,

pencegahan, penyelamatan, rehabilitasi, dan rekonstruksi sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh BPBD Provinsi dan/atau petunjuk kepala BPBD provinsi, dalam rangka penyelenggaraan penanggulangan bencana pada dasarnya langkah-langkah kegiatan untuk semua macam bencana adalah sama dan

dilaksanakan melalui tahap-tahap pra bencana, saat tanggap darurat, pasca

bencana. Perawatan kesehatan masyarakat dapat menggunakan fasilitas kesehatan TNI yang ada satuan tugas pada daerah bencana serta fasilitas kesehatan

(20)

C. Dinas Kesehatan (Puskesmas Kecamatan)

Puskesmas mempunyai peran memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat khususnya bagi korban bencana alam sehingga memberikan pelayanan kesehatan dengan baik. Penanganan bencana bidang kesehatan pada prinsipnya tidak dibentuk sarana prasarana secara khusus, tetapi menggunakan sarana prasarana yang telah ada, hanya intensitas kerjanya ditingkatkan dengan

memberdayakan semua sumber daya pemerintah Kabupaten/Kota serta masyarakat dan unsur swasta sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku.

Pelayanan kesehatan pada saat terjadinya bencana dan pemenuhan kebutuhan sarana kesehatan, tenaga kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan yang tidak dapat diatasi oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat, maka Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota terdekat harus memberikan bantuan, selanjutnya secara berjenjang merupakan tanggungjawab Dinas Kesehatan dan Pusat.

Kabupaten/Kota berkewajiban membentuk satuan tugas kesehatan yang mampu mengatasi masalah kesehatan pada penanganan bencana di wilayahnya secara terpadu dan berkoordinasi dengan Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB.). Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sehubungan dengan penanganan masalah bencana di tingkat kecamatan diantaranya :

a). Pra-Bencana; Kepala Puskesmas Melakukan Kegiatan :

(21)

2.Membuat jalur evakuasi. 3.Mengadakan pelatihan.

4.Inventarisasi sumber daya sesuai dengan potensi bahaya yang mungkin terjadi.

5.Menerima dan menindaklanjuti informasi peringatan dini (Early Warning System) untuk kesiapsiagaan bidang kesehatan.

6.Membentuk tim kesehatan lapangan yang tergabung dalam Satgas. b). Saat Bencana; Kepala Puskesmas di Lokasi Bencana Melakukan

Kegiatan :

1. Beserta staf menuju lokasi bencana dengan membawa peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan triase dan memberikan pertolongan pertama. 2. Mengirimkan tenaga dan perbekalan kesehatan serta ambulans/alat

transportasi lainnya ke lokasi bencana dan tempat penampungan pengungsi 3. Membantu melaksanakan perawatan dan evakuasi korban serta pelayanan

kesehataan pengungsi

4. Melaporkan kepada Kadinkes Kabupaten/Kota tentang terjadinya bencana. 5. Melakukan Initial Rapid Health Assessment (Penilaian Cepat Masalah

Kesehatan Awal).

(22)

7. Apabila kejadian bencana melampaui batas wilayah kecamatan, maka sebagai penanggung jawab adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

c). Pasca Bencana; Kepala Puskesmas di Kecamatan Melakukan Kegiatan :

1. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar di penampungan dengan mendirikan Pos Kesehatan lapangan

2. Melaksanakan pemeriksaan kualitas air bersih dan pengawasan sanitasi lingkungan.

3. Melaksanakan surveilans penyakit menular dan gizi buruk yang mungkin timbul.

4. Segera melapor ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bila terjadi KLB penyakit menular dan gizi buruk.

5. Memfasilitasi relawan, kader dan petugas pemerintah tingkat kecamatan dalam memberikan KIE kepada masyarakat luas, bimbingan kepada kelompok yang berpotensi mengalami gangguan stress pasca trauma, memberikan konseling pada individu yang berpotensi mengalami gangguan stress pasca trauma.

(23)

D. Dinas Pekerjaan Umum

Dinas pekerjaan umum mempunyai peran menyelenggarakan penanggulangan bencana terkait bidang pekerjaan umum menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:

1.Tahap pra-bencana

Tahap pra bencana kegiatan pencegahan/mitigasi bencana dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan dalam bentuk penegakan hukum/ peraturan pemerintah pusat dan daerah dalam pembangunan fisik dilapangan yang bertujuan untuk mengurangi dampak kerugian yang terjadi bila terjadi suatu bencana seperti dengan mematuhi rencana tata ruang dan tata bangunan yang telah ditetapkan. Kesiapsiagaan dilakukan untuk memastikan upaya-upaya cepat dan tepat yang perlu ditempuh dalam menghadapi situasi darurat pada saat kejadian bencana seperti antara lain dengan pemasangan dan pengujian sistem peringatan dini untuk pengamatan gejala bencana dan penyediaan serta

penyiapan bahan, barang dan peralatan untuk pemenuhan kebutuhan dalam rangka pemulihan prasarana dan sarana bidang ke-PU-an.

2. Tahap Tanggap Darurat

(24)

bencana beserta harta bendanya dilokasi dan keluar dari lokasi bencana. Pelaksanaan kegiatan tanggap darurat utamanya dilakukan untuk memulihkan kondisi dan fungsi prasarana dan sarana, khususnya bidang ke-PU-an yang rusak akibat bencana yang bersifat darurat/sementara namun harus mampu mencapai tingkat pelayanan minimal yang dibutuhkan, dan menyediakan berbagai sarana yang diperlukan bagi perawatan dan penampungan sementara para

pengungsi/masyarakat korban bencana.

3.Tahap Pasca Bencana

Tahap pasca bencana kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang

dilaksanakan harus diupayakan untuk melibatkan peran serta warga masyarakat. bantuan dari pemerintah diutamakan berupa stimulan yang diharapkan akan dapat mendorong tumbuhnya kewasdayaan warga masyarakat. Pekerjaan rehabilitasi dan rekonstruksi diutamakan bagi prasarana dan sarana bidang ke-PU-an dan rumah tinggal bagi warga masyarakat miskin/ yang tidak mampu dengan pendekatan tridaya dalam pelaksanaannya.

E. Dinas Sosial

Dinas sosial mempunyai peran menyelenggarakan kesejahtraan sosial di daerah bencana, yang pada saat kejadian bencana, pasca bencana dan tanggap darurat menjadi faktor penting mengurangi resiko korban bencana yang

(25)

berfungsi. hanya sentuhan relawan dan masyarakat sekitar yang dekat daerah bencana alam yang dapat mengurangi meningkatkan jumlah korban bencana.

Undang-Undang No.11 Tahun 2009 tentang kesejahtraan sosial menjelaskan peran sumber daya manusia dalam penanganan bencana alam pada saat kejadian bencana dan tanggap darurat antara lain :

1)Mengkondisikan tempat penampungan sementara

Menentukan tempat penampungan bagi korban bencana merupakan upaya penting dalam setiap penanganan bencana. Peran ini dapat dilakukan apabila SDM kesejahteraan sosial memiliki pemahaman dan pengetahuan membaca peta rawan bencana dan jalur evakuasi penanganan bencana.

2) Menyediakan data korban

Data korban merupakan informasi berharga bagi outsider untuk melakukan berbagai langkah tindakan penanganan bencana alam. keakuratan jumlah korban hidup dan meninggal serta keberadaan korban, akan mengurangi meningkatnya jumlah korban meninggal dan luka-luka. Oleh karena itu kemampuan melakukan pendataan korban perlu didukung oleh keterampilan dan kemampuan menggunakan berbagai media komunikasi.

3) Melakukan koordinasi penyediaan kebutuhan bagi korban

(26)

meningkatnya jumlah korban. Kebutuhan lain yang juga sangat diperlukan adalah sarana air bersih dan keperluan mandi cuci dan kakus (MCK). berbagai kebutuhan tersebut memerlukan pemahaman dan kemampuan melihat situasi serta mengkoordinasikan dengan para pihak terkait.

4) Memberikan pelayanan psikososial

Peran yang sangat penting bagi SDM kesejahtraan sosial dan memerlukan keahlian khusus adalah pelayanan psikososial. Peran ini sangat diperlukan mengingat banyak korban bencana alam yang umumnya mengalami trauma dan menghadapi kasus-kasus gangguan stress.

5) Melakukan kegiatan evakuasi bagi korban bencana

Melakukan pertolongan dan mengevakuasi korban adalah dua hal yang berbeda tapi dapat dilakukan bersama-sama. Inti dari tindakan ini adalah upaya menyelematkan korban dengan menghindari tempat/daerah yang dapat menimbulkan kerugian bagi korban bencana. Namun demikian, tindakan yang ceroboh dapat menimbulkan akibat kematian/kecacatan tidak hanya bagi korban tetapi juga bagi SDM kesejahtraan sosial.

F. Search And Rescue (SAR)

Pencarian dan pertolongan (Search and Rescue) atau disingkat SAR meliputi usaha dan kegiatan mencari, menolong, dan menyelamatkan jiwa manusia yang hilang atau dikhawatirkan hilang atau menghadapi bahaya dalam

(27)

Search and Rescue (SAR) melakukan siaga selama 24 jam secara terus menerus untuk melakukan pemantauan musibah pelayaran dan/atau penerbangan, atau bencana atau musibah lainnya. SAR melaksanakan siaga didukung dengan peralatan deteksi dini, telekomunikasi dan sistem informasi beserta sarana penunjangnya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2006 SAR melakukan operasi meliputi:

a. Segala upaya dan kegiatan SAR sampai dengan evakuasi terhadap korban, sebelum diadakan penanganan berikutnya;

b. Rangkaian kegiatan SAR terdiri atas 5 (lima) tahap yaitu tahap menyadari, tahap persiapan, tahap perencanaan, tahap operasi, dan tahap akhir

penugasan.

G. Ormas (Organisasi Masyarakat)

Organisasi yaitu kelompok orang yang bekerjasama, dan selanjutnya berkembang menjadi proses pembagian kerja, dan akhirnya terbentuklah sebuah sistem yang kompleks (Sulistyani, 2003). Organisasi masyarakat dalam

(28)

hilang atau menghadapi bahaya dalam musibah tanah longsor, banjir dan

sebagainya. Badan koordinasi antar kampung mempunyai fungsi sebagai berikut: 1. Mengkoordinasikan kejadian yang sedang dialami serta bantuan yang

diperlukan.

2. Hubungi instansi yang terkait untuk meminta bantuan sesuai kebutuhan. 3. Bantuan instansi terkait dapat diminta kepada pemerintah Provinsi,

Kabupaten/Kota dan Pusat, termasuk lembaga/Instansi/Militer/Polisi. 2.5. Faktor - faktor yang Memengaruhi Kesiapsiagaan Petugas Penanggulangan

Bencana Tanah Longsor 2.5.1. Koordinasi

2.5.1.1. Pengertian Koordinasi

Koordinasi adalah sebuah bentuk rekapitulasi gagasan-gagasan yang berasal dari individu-individu. Gabungan gagasan-gagasan tersebut dapat terjadi ketika dua orang atau lebih datang berkumpul dan saling membagi inti pemikiran dan

pengalaman mereka untuk menjamin adanya sebuah interaksi atau kombinasi yang harmonis (Manion, 2005). Koordinasi adalah upaya menyatu padukan berbagai sumberdaya dan kegiatan organisasi menjadi suatu kekuatan sinergis, agar dapat melakukan penanggulangan masalah kesehatan masyarakat akibat kedaruratan dan bencana secara menyeluruh dan terpadu sehingga dapat tercapai sasaran yang direncanakan secara efektif dan efisien secara harmonis.

(29)

dilakukan oleh berbagai pihak yang memiliki tugas/fungsi/tanggung jawab dibidang yang bersesuaian, yang berada dalam posisi/kedudukan yang setara (horizontal) maupun dalam posisi/kedudukan yang tidak setara. Dalam melaksanakan koordinasi, terdapat unsur/pihak yang mengkoordinasikan (koordinator) dan ada unsur/pihak yang dikoordinasikan, namun masih dalam kepentingan yang sama. Dalam kaitan ini, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menjalankan fungsi

koordinasi atau sebagai koordinator. Koordinasi dilakukan dengan lembaga

pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat, dunia usaha, lembaga internasional dan pihak-pihak lain. Dalam koordinasi terdapat pembagian kerja yang benar,

peningkatan efisiensi,ketepatan waktu, efisiensi pendanaan, terciptanya kerangka kerja dalam pengambilan keputusan tentang hal-hal yang menjadi perhatian bersama, serta dapat mengurangi kesenjangan, dan dapat terhindari adanya duplikasi dalam pelaksanaan kegiatan/pelayanan. Dalam koordinasi terdapat sinergi kemampuan potensi dan sumberdaya nasional dari semua sumber/komponen (pemerintah dan non-pemerintah), baik dari dalam maupun luar negeri. Koordinasi mengandung

keselarasan dan kerjasama dari orang-orang/ organisasi/lembaga/pihak untuk mencapai tujuan. Hasil koordinasi adalah hasil kerja secara kolektif/bersama, meskipun secara formal koordinator lebih dominan memegang tanggung jawab.

(30)

untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. Menurut tinjauan manajemen, koordinasi menurut Terry meliputi :

1. Jumlah usaha baik secara kuantitatif, maupun secara kualitatif 2. Waktu yang tepat dari usaha-usaha tersebut

3. Directing atau penentuan arah usaha-usaha tersebut

Berdasarkan defenisi di atas maka dapat disebutkan bahwa koordinasi memiliki syarat-syarat yakni :

1. Sense of Cooperation, perasaan untuk saling bekerja sama, dilihat per bagian. 2. Rivalry, dalam organisasi besar, sering diadakan persaingan antar bagian, agar

saling berlomba

3. Team Spirit, satu sama lain per bagian harus saling menghargai.

4. Esprit de Corps, bagian yang saling menghargai akan makin bersemangat. Selanjutnya koordinasi memiliki sifat-sifat sebagai berikut :

1.Koordinasi adalah dinamis, bukan statis.

2. Koordinasi menekankan pandangan menyeluruh oleh seorang manajer dalam kerangka mencapai sasaran.

3.Koordinasi hanya meninjau suatu pekerjaan secara keseluruhan.

(31)

anggota organisasi sehingga tidak terjadi kesimpang siuran, tumpang tindih. Hal ini berarti pekerjaan akan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.

Berdasarkan pengertian para pakar di atas peneliti menyimpulkan bahwa koordinasi merupakan proses pengintegrasian tujuan dan aktivitas di dalam suatu perusahaan atau organisasi agar mempunyai keselarasan di dalam mencapai tujuan yang ditetapkan, pengkoordinasian dimaksudkan agar para manajer mengkoordinir sumber daya manusia dan sumber daya lain yang dimiliki organisasi tersebut.

Kekuatan suatu organisasi tergantung pada kemampuannya untuk menyusun berbagai sumber dayanya dalam mencapai suatu tujuan.

2.5.1.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Koordinasi

Menurut Hasibuan (2006), berpendapat bahwa faktor-faktor yang memengaruhi koordinasi sebagai berikut:

a). Kesatuan Tindakan

Koordinasi pada hakekatnya memerlukan kesadaran setiap anggota organisasi atau satuan organisasi untuk saling menyesuaikan diri atau tugasnya dengan anggota atau satuan organisasi lainnya agar anggota atau satuan

(32)

memperoleh suatu koordinasi yang baik dengan mengatur jadwal waktu

dimaksudkan bahwa kesatuan usaha itu dapat berjalan sesuai dengan waktu yang telah direncanakan.

Menurut penelitian Bustari (2008), tentang kolaborasi lintas sektoral dalam kesiapsiagaan bencana di Kabupaten Aceh Tamiang yang memperoleh hasil bahwa Kesatuan tindakan diperlukan agar kegiatan dapat dilakukan bersama-sama sehingga tujuan organisasi dapat tercapai.

b). Komunikasi

Komunikasi merupakan salah satu dari sekian banyak kebutuhan manusia dalam menjalani hidup dan kehidupannya. “Perkataan komunikasi berasal dari perkataan communicare, yang mempunyai arti berpartisipasi ataupun memberitahukan”. Komunikasi sangat penting dalam suatu organisasi karena dengan komunikasi partisipasi anggota akan semakin tinggi dan pimpinan memberitahukan tugas kepada karyawan harus dengan komunikasi. Dengan demikian komunikasi merupakan hubungan antara komunikator dengan komunikan dimana keduanya mempunyai peranan dalam menciptakan komunikasi. Komunikasi tidak dapat dipisahkan dari koordinasi, karena komunikasi, sejumlah unit dalam organisasi akan dapat dikoordinasikan

berdasarkan rentang dimana sebagian besar ditentukan oleh adanya komunikasi. Komunikasi bertujuan merubah tingkah laku manusia melalui proses

(33)

sistematis untuk merumuskan secara tegas azas-azas, dan atas dasar azas-azas tersebut disampaikan informasi serta dibentuk pendapat dan sikap. Komunikasi merupakan suatu hal perubahan suatu sikap dan pendapat akibat informasi yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Sehingga dari uraian tersebut terlihat fungsi komunikasi, adalah sebagai berikut :

1.Mengumpulkan dan menyebarkan informasi mengenai kejadian dalam suatu lingkungan.

2. Menginterpretasikan terhadap informasi mengenai lingkungan

3. Kegiatan mengkomunikasikan informasi, nilai dan norma sosial dari generasi yang satu ke generasi yang lain.

Berdasarkan pengertian komunikasi yang telah diuraikan dapat dijelaskan komunikasi merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk merubah sikap dan perilaku orang lain dengan melalui informasi atau pendapat atau pesan atau idea yang disampaikannya kepada orang tersebut.

Menurut penelitian Bustari (2008) tentang kolaborasi lintas sektoral dalam kesiapsiagaan bencana di Kabupaten Aceh Tamiang yang memperoleh hasil bahwa komunikasi memiliki korelasi secara signifikan terhadap

(34)

c) Pembagian Kerja

Organisasi bertujuan untuk mencapai tujuan bersama dimana individu tidak dapat mencapainya sendiri. Sekelompok orang yang berkerja bersama secara kooperatif dan dikoordinasikan dapat mencapai hasil lebih daripada dilakukan perseorangan. Dalam suatu organisasi, tiang dasarnya adalah prinsip pembagian kerja (Division of labor). Prinsip pembagian kerja maksudnya jika suatu organisasi diharapkan untuk dapat berhasil dengan baik dalam usaha mencapai tujuannya, maka hendaknya lakukan pembagian kerja. Dengan pembagian kerja ini diharapkan dapat berfungsi dalam usaha mewujudkan tujuan suatu organisasi. Pembagian kerja adalah perincian tugas dan pekerjaan agar setiap individu dalam organisasi bertanggung jawab untuk melaksanakan sekumpulan kegiatan yang terbatas.

(35)

Peneltian Bustari (2008), tentang kolaborasi lintas sektoral dalam kesiapsiagaan bencana di Kabupaten Aceh Tamiang yang memperoleh hasil bahwa pembagian kerja memiliki korelasi secara signifikan terhadap

kesiapsiagaan petugas penanggulangan bencana. Pembagian kerja diperlukan untuk mengetahui pekerjaan apa yang harus dilakukan oleh masing-masing petugas yang terkait agar pekerjaaan yang dilakukan tidak terjadi tumpang tindih.

d. Disiplin

Setiap organisasi yang kompleks harus bekerja secara terkoordinasi, agar masing-masing dapat menghasilkan hasil yang diharapkan. Koordinasi adalah usaha penyesuaian bagian-bagian yang berbeda-beda agar kegiatan dari pada bagian-bagian itu selesai pada waktunya, sehingga masing-masing dapat memberikan sumbangan usahanya secara maksimal agar diperoleh hasil secara keseluruhan, untuk itu diperlukan disiplin.

(36)

apakah itu perorangan atau kelompok yang untuk tunduk dan patuh terhadap peraturan suatu organisasi.

Penerapan peraturan suatu organisasi kepada seseorang atau anggota organisasi dikelola oleh pimpinan. Pimpinan diharapkan mampu menerapkan konsep disiplin positif yakni penerapan peraturan melalui kesadaran

bawahannya. Sebaliknya bila pimpinan tidak mampu menerapkan konsep disiplin positif pada dirinya sendiri tentu dia juga tidak mungkin mampu menerapkannya pada orang lain termasuk kepada bawahannya. Dengan demikiam disiplin itu sangat penting artinya dalam proses pencapaian tujuan, ini merupakan suatu syarat yang sangat menentukan dalam pencapaian tujuan yang dimaksud.

Menurut penelitian Bustari (2008) tentang kolaborasi lintas sektoral dalam kesiapsiagaan bencana studi kasus di Kabupaten Aceh Tamiang yang memperoleh hasil bahwa disiplin petugas memiliki korelasi secara signifikan terhadap kesiapsiagaan dalam penanggulangan bencana. Disiplin diperlukan agar petugas dapat segera memberikan bantuan untuk mencegah terjadinya korban baik yang bersifat material maupun non material dan korban jiwa.

2.5.2. Motivasi

(37)

Motivasi berasal dari perkataan motif (motive) yang artinya, rangsangan dorongan ataupun pembangkit tenaga yang dimiliki seseorang sehingga orang tersebut memperlihatkan prilaku tertentu. Motivasi adalah serangkaian sikap dan nilai-nilai yang memengaruhi individu untuk mencapai hal yang specifik sesuai dengan tujuan individu. Motivasi dapat memacu seseorang untuk bekerja keras sehingga dapat mencapai tujuan mereka. Motif dapat dikatakan sebagai daya

penggerak dari dalam subjek untuk melakukan aktivitas-aktivitas dan mencapai suatu tujuan. Berdasarkan kamus bahasa indonesia motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern (kesiagaan). Sumber motivasi ada tiga faktor yaitu kemampuan untuk berkembang, jenis pekerjaan, apakah mereka dapat merasa bangga menjadi bagian dari organisasi tempat mereka bekerja. Selanjutnya Rivai (2006), menjelaskan motivasi dapat disimpulkan :

1. Sebagai suatu kondisi yang menggerakkan manusia kearah suatu tujuan tertentu.

2. Suatu keahlian, dalam mengarahkan karyawan dan perusahaan agar mau bekerja secara berhasil, sehingga keinginan karyawan dan tujuan perusahaan sekaligus tercapai.

3. Sebagai inisiasi dan pengarahan tingkah laku. Pelajaran tingkah motivasi sebenarnya merupakan pelajaran tingkah laku.

(38)

5. Sebagai kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan dan memelihara prilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja.

Keputusan menteri kesehatan No.12 Tahun 2002, menyatakan dorongan (Motivating) merupakan proses kegiatan yang harus dilakukan untuk membina dan mendorong semangat kerja dan kerelaan kerja para pegawai (anggota organisasi) demi tercapainya tujuan organisasi, motivasi itu penting sekali mengingat arti pentingnya faktor manusia dalam organisasi dan dalam proses produksi, rangkaian kegiatan motivasi ini mencakup segi–segi dorongan atau perangsang yang bersifat kerohanian (seperti pemberian kenaikan pangkat, pemberian pendidikan dan pengembangan karier, penambahan pengalaman, penyelenggaraan human relations dengan tepat, pemberian cuti, dan sebagainya), maupun segi-segi dorongan

kejasmanian (seperti adanya sistem upah dan gaji yang menggairahkan, pemberian tunjangan-tunjangan serta distribusi sandang dan pangan, penyediaan perumahan, kendaraan, jaminan-jaminan pemeliharaan kesehatan, dan lain-lainnya).

2.5.2.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Motivasi

Saydan dan Sayuti (2007), menyebutkan motivasi kerja seseorang didalam melaksanakan pekerjaannya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal yang berasal dari proses psikologis dalam diri seseorang, dan faktor eksternal yang berasal dari luar diri (environment factors).

(39)

Faktor internal terdiri dari :

a. Kematangan Pribadi

Orang yang bersifat egois dan kemanja-manjaan biasanya akan kurang peka dalam menerima motivasi yang diberikan sehingga agak sulit untuk dapat bekerjasama dalam membuat motivasi kerja. Oleh sebab itu kebiasaan yang dibawanya sejak kecil, nilai yang dianut dan sikap bawaan seseorang sangat memengaruhi motivasinya.

b. Tingkat Pendidikan

Seorang pegawai yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi biasanya akan lebih termotivasi karena sudah mempunyai wawasan yang lebih luas dibandingkan dengan karyawan yang lebih rendah tingkat pendidikannya, demikian juga sebaliknya jika tingkat pendidikan yang dimilikinya tidak digunakan secara maksimal ataupun tidak dihargai sebagaimana layaknya oleh manajer maka hal ini akan membuat seseorang mempunyai motivasi yang rendah didalam bekerja

c. Keinginan dan Harapan Pribadi

Seseorang mau bekerja keras bila ada harapan pribadi yang hendak diwujudkan menjadi kenyataan.

(40)

Kebutuhan biasanya berbanding sejajar dengan motivasi, semakin besar kebutuhan seseorang untuk dipenuhi, maka semakin besar motivasi seseorang untuk bekerja keras.

e. Kelelahan dan Kebosanan

Faktor kelelahan dan kebosanan memengaruhi gairah dan semangat kerja yang pada gilirannya juga akan memengaruhi motivasi kerjanya. f. Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja mempunyai korelasi yang sangat kuat kepada tinggi rendahnya motivasi kerja seseorang. Seseorang yang puas terhadap

pekerjaannya akan mempunyai motivasi yang tinggi dan comitted terhadap pekerjaannya. Tinggi rendahnya kepuasan karyawan dapat tercermin dari produktivitas kerjanya yang tinggi, jarang absen, sanggup bekerja ekstra, tingkat turn over yang rendah dan sejumlah indikator positif lainnya yang bermuara pada peningkatan kinerja organisasi.

2 Faktor Eksternal

a). Kondisi Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja adalah keseluruhan sarana dan prasarana kerja yang ada disekitar karyawan yang sedang melakukan pekerjaan yang dapat

(41)

pencahayaan, ketenangan, termasuk juga hubungan kerja antara orang-orang yang ada ditempat tersebut.

b). Kompensasi yang memadai

Kompensasi yang memadai merupakan alat motivasi yang paling ampuh bagi organisasi untuk memberikan dorongan kepada para karyawan untuk bekerja secara baik. Menurut Mathis dan Jackson (2006), penghargaan nyata yang diterima karyawan karena bekerja adalah dalam bentuk gaji, insentif, dan tunjangan. Satu hal yang penting terhadap retensi karyawan adalah mempunyai “kompensasi kompetitif” artinya harus dekat dengan apa yang diberikan oleh organisasi yang lain dan apa yang diyakini oleh karyawan sesuai dengan kapabilitas, pengalaman dan kinerjanya, apabila tidak dekat perputaran akan lebih tinggi.

Raymond (2001), menyatakan bahwa perusahaan menerima keuntungan dari pekerjaan ketika ada perbedaan antara gaji dan insentif yang diterima. Bagaimanapun kondisi maksimum jarang diraih dengan gaji dan insentif yang rendah. Upah yang rendah tidak akan membangkitkan motivasi para pekerja dan pengalaman mengidentifikasikan bahwa motivasi meningkat ketika upah naik.

3. Supervisi yang baik

(42)

dorongan kepada orang lain (pegawai) untuk mengambil tindakan-tindakan. Pemberian dorongan ini dimaksudkan untuk mengingatkan orang-orang atau pegawai agar mereka bersemangat dan dapat mencapai hasil sebagaimana dikehendaki dari orang tersebut. Oleh karena itu seorang supervisor dituntut pengenalan atau pemahaman dengan penguasaan supervisor terhadap perilaku dan tindakan yang dibatasi oleh motiv, maka supervisor dapat memengaruhi bawahannya untuk bertindak sesuai dengan keinginan organisasi.

Individu yang membangun hubungan yang akrab dengan rekan kerja, dalam survei yang dilakukannya terhadap individu dengan berbagai usia dan yang bekerja diberbagai industri, faktor yang disebutkan dengan sangat positif tentang bekerja adalah hubungan dengan para rekan kerja. Seseorang supervisor yang membangun hubungan positif dan memotivasi karyawan dengan berlaku adil dan tidak diskriminatif, yang memungkinkan adanya fleksibilitas kerja dan

keseimbangan bekerja memberi karyawan umpan balik yang mengakui usaha dan kinerja seseorang dan mendukung perencanaan dan pengembangan karier untuk para karyawan. ‘

4. Kesempatan Maju/ Jaminan Karir

(43)

untuk perusahaan, kalau yang bersangkutan merasa ada jaminan karir yang jelas dalam melakukan pekerjaan. Hal ini akan dapat terwujud bila organisasi dapat memberikan jaminan karir untuk masa depan, baik berupa promosi jabatan, pangkat, maupun jaminan pemberian kesempatan dan penempatan untuk dapat mengembangkan potensi yang ada pada diri karyawan tersebut.

5. Status dan Tanggung jawab

Status atau kedudukan dalam jabatan tertentu merupakan dambaan dan harapan setiap karyawan dalam bekerja. Seseorang bukan hanya menghapkan kompensasi semata, tetapi pada suatu saat mereka berharap akan dapat

kesempatan untuk menduduki jabatan yang ada dalam perusahaan atau instansi ditempatnya bekerja. Seseorang dengan menduduki jabatan akan merasa dirinya dipercayai, diberi tanggung jawab dan wewenang yang lebih besar untuk

melakukan kegiatan-kegiatannya. Jadi status dan kedudukan ini merupakan stimulus atau dorongan untuk memenuhi kebutuhan sence of achievement dalm tugas sehari-hari.

6. Peraturan yang Fleksibel

(44)

meraskan bahwa kebijakan itu terlalu kaku atau diterapkan secara tidak

konsisten, mereka akan cenderung untuk mempunyai motivasi kerja yang rendah. Menurut Wahjosumidjo (1997), berpendapat bahwa sistem dan peraturan yang ada pada suatu perusahaan dapat memengaruhi motivasi kerja karyawan, suatu peraturan yang bersifat melindungi (protective) dan diinformasikan secara jelas akan lebih memicu motivasi karyawan di dalam bekerja. Lebih jauh

disebutkan bahwa suatu motivasi sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan kerja dalam organisasi yang terdiri dari faktor pimpinan dengan bawahan.

2.5.2.4 Tujuan Pemberian Motivasi

Menurut Lindner (2000), menyatakan bahwa pemberian motivasi sesuatu yang sangat penting yang dilakukan oleh para pimpinan untuk dapat bertahan.

Seseorang yang termotivasi dibutuhkan untuk merubah lingkungan kerja secara cepat. Seseorang yang termotivasi membantu organisasi untuk bertahan. Seseorang yang termotivasi akan lebih produktif, kreatif dan inisiatif. Untuk itu manajer perlu

memahami apa yang memotivasi seseorang berkaitan dengan peran yang ditampilkan.

Motivasi bertujuan memberikan kepuasan kerja kepada petugas dengan harapan petugas akan bekerja dan mempunyai produktivitas yang lebih baik lagi di dalam bekerja yang pada akhirnya kinerja organisasi juga akan semakin baik. Beberapa sasaran dapat dicapai bila seseorang diberikan motivasi

(45)

1.Mengubah perilaku karyawan sesuai dengan keinginan organisasi 2.Meningkatkan gairah dan semangat kerja

3.Meningkatkan disiplin kerja 4.Meningkatkan prestasi kerja

5.Mempertinggi moral kerja karyawan 6.Meningkatkan ras tanggung jawab 7.Meningkatkan produktivitas dan efisiensi

2.6. Landasan Teori

Prinsip penanggulangan bencana sesuai dengan amanah UU No. 24 Tahun 2007 yaitu cepat, tepat, prioritas, koordinasi, keterpaduan, berdayaguna, hasil guna, transparansi, akuntabilitas, kemitraan, pemberdayaan, non diskriminatif dan non proletisi. Prinsip–prinsip ini demikian lengkap agar tujuan sistem penanggulangan bencana dapat tercapai dan merupakan suatu indikator kinerja yang baik.

Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk

mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. (Undang-Undang No. 24 Tahun 2007). Menurut Federasi Internasional Palang Merah dalam Keeney (2006) dan berdasarkan pendapat LIPI maka peneliti membatasai kesiapsiagaan antara lain pendidikan/pelatihan,

(46)

Menurut Handoko (2008), koordinasi adalah proses pengintegrasian tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efesien. Tanpa koordinasi, individu-individu dan departemen-departemen akan kehilangan pegangan atas peranan mereka dalam organisasi. Mereka akan mulai mengejar kepentingan sendiri yang sering merugikan pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan. Indikator dalam pengukuran koordinasi mencakup : Kesatuan tindakan, komunikasi, pembagian kerja, dan disiplin (Hasibuan, 2006).

Motivasi diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan antusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik). Menurut Sayuti (2006), Faktor yang memengaruhi atau memotivasi seseorang dalam tugas atau pekerjaannya antara lain :

2.Kepuasan kerja yaitu : keadaan emosional yang positif yang merupakan hasil dari evaluasi pengalaman/kemampuan dan keterampilan kerja seseorang. 3.Tanggung jawab yaitu : dorongan atau keinginan seseorang menjalankan

sesuatu hal atau melakukan sesuatu hal dengan tujuan untuk memenuhi tanggung jawabnya.

(47)

pencahayaan, ketenangan, termasuk juga hubungan kerja antara orang-orang yang ada ditempat kerja tersebut.

5.Kesempatan maju adalah keinginan atau dorongan seseorang dalam melakukan hal atau pekerjaan karena dilatarbelakangi oleh adanya situasi yang memungkin berhasil dalam melakukan pekerjaan tersebut.

2.7. Kerangka Konsep

Berdasarkan teori yang telah dijelaskan, maka kerangka konsep penelitian ini sebagai berikut :

Gambar. 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Sumber :Hasibuan & Sayuti (2006)

Gambar

Gambar 2.1 Struktur Organisasi Komando Tanggap Darurat
Gambar. 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Ikan Bakar Cianjur yang berkaitan dengan siklus pembelian adalah tidak adanya otorisasi pada formulir permintaan pembelian sehingga dapat terjadi kecurangan pada

Dengan demikian, pembelajaran drama, baik pembelajaran teks drama mau- pun pembelajaran pentas drama, mengarahkan siswa untuk “dapat memetik nilai- nilai yang dapat ditawarkan

Untuk menerapkan manajemen stratejik suatu organisasi harus dapat merumuskan visi, misi, tujuan dan strateji yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Penerapan

Sistem bisnis yang dimaksud adalah penyediaan benih sumber padi bersertifikat, yang dikelola oleh Koperasi Babah Pinto TTP Kota Jantho, akan tetapi sistem produksi yang

This w ill send t he new m em bers t heir password and list configurat ion inst ruct ions. Do not use Mailm an for unconscionable act ivit ies such as sending

Tabel distribusi frekuensi relatif kumulatif adalah tabel yang diperoleh dari tabel frekuensi relatif, dengan frekuensi dijumlahkan selangkah demi selangkah

However, replacing synthetic dyes with natural colorants offers a challenge because the colour and stability of plant pigments are dependent on several factors,

Multi variable tanpa kendala (1)  Cara analitis yang diterapkan pada permasalahan optimasi. satu variabel dapat pula diterapkan kepada permasalahan