• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cerpen dan intrinsik dan ekstrinsik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Cerpen dan intrinsik dan ekstrinsik"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BANGKIT

Pandanganku pada langit tua. Cahaya bintang berkelap kelip mulai hilang oleh kesunyian malam. Aku berjalan menyusuri lorong malam sepi nan gelap. Cahaya bulan malam ini begitu indahnya. Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Konflik dengan orang tua karena tidak lulus sekolah. Hari ulang tahun yang gagal di rayakan. Dan hadiah sepeda motor yang terpaksa di kubur dalam-dalam karena tak lulus, belum lagi si adik yang menyebalkan. Teman-teman yang konvoi merayakan kemenangan, sedang aku?

Hari-hari yang keras kisah cinta yang pedas. Angin malam berhembus menebarkan senyumku walau sakit dalam hati mulai mengiris. Sesekali aku menghapus air mataku yang jatuh tanpa permisi. Sakit memang putus cinta.

Rasanya beberapa saat lalu, aku masih bisa mendengar kata-kata terakhirnya yang tergiang-ngiang merobek otak ku.

“sudah sana… Kejarlah keinginanmu itu!, kamu kira aku tak laku, jadi begini sajakah caramu, oke aku ikuti.. Semoga kamu tidak menyesal menghianati cinta suci ini.” beberapa kata yang sempat masuk ke hpku, di ikuti telpon yang sengaja ku matikan karena kesal atau muak.

Aku termenung di pinggir jalan, memegang kepalaku yang sakit.

“selamat malam..? Sorii mba kayanya lagi sedih banget boleh aku minta duitnya..” seorang pemabuk dengan botol bir di tangan kiri dengan jalan yang tak beraturan,

Ia mengeluarkan sebilah pisau lipat dan mengancamku. Aku hanya terdiam tak berkata, membuatnya sedikit binggung. Aku meraih tas di sampingku dan menyerahkan padanya. “ini ambil semua.. Aku tak butuh semua ini. Aku hanya ingin mati…!” Aku melemparkan tas ke hadapannya yang di sambut dengan senyum picik dan iapun menghilang di gelapnya malam.

Aku bangkit berdiri dan berjalan menyusuri malam, berdiri menatap air suangai yang mengalir airnya deras.Di sini di atas jembatan tua ini. Angin sepoi-sepoi menyerang tubuh ku. Aku berdiri menatap langit yang bertabur bintang, rasanya tak ada yang penting bagiku sekarang. Perlahan-lahan aku berjalan menaiki jembatan dan berdiri bebas. Menutup mata dan tinggal beberpa senti lagi aku akan terjatuh. Aku perlahan mengangkat kaki kananku dan…?

Tiba-tiba sosok pemabuk yang menodong pisau padaku ku tadi, menarik baju ku dan menampar pipiku kuat, keras sekali tamparannya

“ini uang dan tas mu…!! Aku tak butuh..! Aku lebih baik mati kelaparan dari pada melihat wanita lemah sepertimu” ia menarik ku turun dan melemparkan tasku di atas tanah

Dan ia berlalu pergi. Aku bangkit dan meraih tas ku kembali menyusuri tangga turun. Sosok yang tadi, pria mabok yang ternyata seumuran denganku, di sekujur tubuhnya penuh tato dan tubuhnya kurus sekali. Ia berdiri termenung pada tangga jalan. Sesekali menatap langit dan menghapus air matanya.

“boleh aku berdiri disini bersamamu? Aku menyapanya tapi ia hanya terdiam membisu”. Aku berdiri di sampingnya menunggu sampai kapan ia akan berdiri pergi dari sini.

“kenapa kamu menamparku..? Kenapa kamu menolongku?

(2)

Dengan sesekali menghapus air mata akibat dari gejolak di hatiku. “apa kamu akan terdiam atau aku telah mengusikmu?”. Aku melihatnya dan ia balik menatapku tajam. Aroma alkohol dari mulutnya jelas tercium saat ia bicara “maafkan aku..? Sungguh aku minta maaf, menurut ku kamu terlalu lemah, masalah apapun jangan berhenti untuk bangkit, bukankah setiap hari kita merasakan hal yang sama? Ia berkata sembari mengulurkan tangannya yang ternyata cuma 2 jari yang utuh, Aku mulai merinding karena sedikit takut. Sehingga aku tak membalas uluran tangannya. “kaget ya mbak?. Jari ku yang lain di potong oleh preman karena persaingan. Hidup di jalan seperti ku ini, hawanya sangat dingin dan penuh nyali besar, bahkan untuk tertidur saja itu sulit. Harus rela kedinginan, Di gigit nyamuk dan tempat ku tertidur hanya di emperan toko, Dan kalau sudah penuh oleh gembel lain, terpaksa aku harus mencari tempat lain yang menurutku layak. Maaf bila aku mengambil tas mu. Aku butuh makan, sudah 3 hari aku tidak makan, sisa makanan di tong sampah sudah membusuk karena hujan kemarin, Biasanya aku mencari secerca kenikmatan disana yang masih bisa layak ku telan, rasa lapar tak akan bisa membuatmu jijik. Setiap hari saat membuka mata yang anda ingat hanya perut dan perut.”Ia terdiam dan mengalihkan pandanganya luas menembus angkasa, langit malam ini. Aku hanya terdiam terpaku dengan mulut terbuka, betapa aku tak percaya setengah mati. Bagaimana mungkin seandainya sekarang aku berada di posisi ini? Aku yang terlahir dari keluar sederhana namun penuh kehangatan, uang bukan masalah, aku hanya meminta tanpa pernah tahu bagaimana orang tuaku mendapatkannya, semuanya cukup, tapi ternyata itu bukan kebahagian, itu nafsu sesaat, Aku memang memiliki segalanya tapi tidak dengan cinta, selalu ada yang kurang setiap hari. Tanpa kebersaman kita mati. Terutama pentingnya mensyukuri apa yang ada. Aku menarik tangan dan menjabat tangannya kuat-kuat yang tinggal dua jari meski sedikit risih karena aneh menurutku. Aku memberinya sedikit pelukan hangat. Ia tersenyum memamerkan mulutnya yang bau alkohol dan bau wc umum. Aku menyerahkan tas ku padanya. “ambil lah.. Aku tak mengenalmu tapi kamu memberi ku banyak alasan hari ini, kenapa aku harus kuat menghadapi hidupku sekarang dan nanti, bukankah hidup harus tetap di jalani. Aku sadar masih punya segalanya, bodoh sekali cuma karena cinta semangatku hilang, belum tentu ia jodohku, belum tentu ia juga memikirkan hal yang sama, rasa sakitku”. Aku berlari menuruni tangga meninggalkan ia sendiri yang masih terdiam menatap kembali langit yang menampakan bintang-bintang kecil yang berkelip dengan jenaka, seakan hari ini tak akan berlalu.

Ketika aku akan menapaki jalan. Kekasihku sedang berdiri di depanku dengan bunga mawar banyak sekali di tangannya, sementara di belakangnya orang tua dan adikku yang berdiri di samping mobil, kami saling terdiam untuk beberapa saat ia memulai.“maafkan aku sayang, ternyata aku yang salah menilaimu, makasih ya?, sudah membuat hidupku lebih berharga karena ini. Ia menyerahkan bunga dengan sebuah diary usang punyaku, yang entah dari mana ia mendapatkannya. Tapi disinilah aku bisa menulis menitikan setiap masalah, rasa banggaku atas kekasihku ini. Aku memeluk erat tubuhnya lama kami terdiam di iringi tangis dan canda menghiasi malam, sementara kedua orang tuaku tersenyum senang. Aku mengajak kekasihku menaiki tangga untuk mengenalkan pada orang yang mengajarkanku banyak hal. Khususnya arti bersyukur.Kami menapaki jalan tangga dan melirik sekeliling dan mencari namun sosok itu hilang tak berbekas? Kami turun dan kami pergi ke mall bersama orang tua dan adik ku untuk merayakan ulang tahunku.

Walaupun tetap aku tak dapat sepeda motor karena tak lulus tapi bukan berarti kehangatan ini harus berakhir

(3)

1. Unsur Intrinsik cerpen ‘‘Bangkit’’

1.Tema: Jangan mudah putus asa / kehidupan 2.Latar:

-Waktu : Malam hari

Bukti : Cahaya bulan malam ini begitu indahnya. -Tempat : di pinggir jalan dan di atas jembatan

Bukti : ‘Aku termenung di pinggir jalan, memegang kepalaku yang sakit. ‘ ‘ Di sini di atas jembatan tua ini angin sepoi-sepoi menyerang tubuh ku’.

-Suasana : Sunyi sepi

Bukti : ‘Aku berjalan menyusuri lorong malam sepi nan gelap.’ 3. Alur : Maju

-Karena jalan cerita dijelaskan secara runtut mulai dari pengenalan latar dan masalah sampai ke konflik dan di akhir cerita terdapat penyelesaian konflik.

4.Penokohan :

- Aku : mudah putus asa, kurang bersyukur dan selalu mengeluh Bukti :

‘Kenapa kamu menolongku? Aku sudah tak berarti lagi.’

‘Aku hanya meminta tanpa pernah tahu bagaimana orang tuaku mendapatkannya.’ -Pria pemabuk : pemabuk dan kuat menghadapi beratnya hidup

Bukti :

‘seorang pemabuk dengan botol bir di tangan kiri dengan jalan yang tak beraturan’

‘Hidup di jalan seperti ku ini, hawanya sangat dingin dan penuh nyali besar, bahkan untuk tertidur saja itu sulit.’

5.Sudut pandang : orang pertama sebagai pelaku utama.

-Bukti : Cerpen bangkit menggunakan kata ganti “aku” sebagai tokoh utama dan mengisahkan tentang dirinya sendiri.

6. Nilai :

-Nilai Moral : Saat tokoh ‘aku’ menyadari selama ini hanya meminta tanpa pernah tahu bagaimana orang tuanya mendapatkannya.Kita seharusnya bersyukur dengan apa yang telah kita miliki tidak hanya menuntut sesuatu karna diluar sana masih banyak orang yang kekurangan.

-Nilai Perjuangan = Pria pemabuk berjuang bertahan hidup di jalanan yang keras. Di kehidupan nyata banyak orang yang melakukan apapun untuk berjung hidup. Kita harus berjuang mempertahankan hidup di dunia yang keras ini.

-Nilai Kepedulian = Saat Pria pemabuk menyelamatkan tokoh ‘aku’ yang akan terjun dari jembatan. Banyak orang yang membutuhakan bantuan kita saat menghadapi masalah kita seharusnya membantu mereka tidak membiarkannya.

7.Amanat :

a. Jangan mudah putus asa dalam menjalani kerasnya hidup. b. Bersyukurlah atas apa yang telah dimiliki.

c. Hidup tidaklah sempurna kadang manusia diatas dan kadang dibawah. d. Jangan lari dari permasalahan.

(4)

2. Unsur Ekstrinsik cerpen “Bangkit”

1. Latar Kepengarangan Penulis : Penulis menjumpai berbagai reaksi masyarakatt saat mereka gagal dan berputus asa. Dalam cerpen ini penulis ingin menginspirasi/memotivasi orang-orang dalam menghadapi kerasnya hidup melalui ceritanya.

2. Keyakinan Penulis : Penulis yakin bahwa kejadian ini banyak ditemui di masyarakat. Banyak orang yang bunuh diri karena putus asa maka penulis menggambarkan situasi tersebut dalam sebuah cerpen.

(5)

MARTINI

Wanita itu bernama Martini. Kini ia kembali menginjakkan kakinya di lndonesa, setelah tiga tahun ia meninggalkan kampung halamannya yang berjarak tiga kilometer dari arah selatan Wonosari Gunung Kidul.

Didalam benak Martini berbaur rasa senang, rindu dan haru. Beberapa jam lagi ia akan berjumpa

kembali dengan suaminya, mas Koko dan putranya Andra Mardianto, yang ketika ia tinggalkan masih berusia tiga tahun. Ia membayangkan putranya kini telah duduk dibangku sekolah dasar mengenakan seragam putih – merah dan menmpati rumahnya yang baru, yang dibangun oleh suaminya dengan uang yang ia kirimkan dari arab Saudi, Negara dimana selama ini ia bekerja.

Martini adalah seorang tenaga kerja wanita yang berhasil diantara banyak kisah mengenai tenaga kerja wanita yang nasibnya kurang beruntung. Tidak jarang seorang TKW pulang ketanah airnya dalam keadaan hamil tanpa jelas siapa ayah sang janin yang dikandungnya. Atau disiksa, digilas dibawah setrikaan bersuhu lebih dari 110 derajat celcius, atau tiba – tiba menjadi bahan pemberitaan di media massa tanah air karena sisa hidupnya yang sudah ditentukan oleh vonis hakim untuk bersiap menghadapi tiang gantungan atau tajamnya logam pancung yang kemudian membuat kedubes RI, Deplu dan Depnaker kelimpungan dan tampak lebih sibuk.

Sangatlah beruntung bagi Martini mempunyai majikan yang sangat baik, bahkan dalam tiga tahun ia bekerja, ia telah dua kali melaksanakan umroh dengan biaya sang majikan. Majikannya adalah seorang karyawan disalah satu perusahaan minyak disana. Ia bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga di El Riyadh dengan tugas khusus mengasuh putra sang majikan yang sebaya dengan Andra, putranya. Hal ini membuatnya selalu teringat putranya sendiri dan menambah semangat dalam bekerja.

Dengan cermat Martini memperhatikan sekeliling, akan tetapi ia tidak melihat seorang saudara atau kerabatpun yang ia kenal. Sempat terbersit rasa iri dan kecewa ketika ia menyaksikan beberapa rekanannya yang dijemput dan disambut kedatangannya oleh orang tua, anak atau suami mereka. Namun dengan segera ia membuang jauh – jauh pikiran tersebut. Ia tidak ingin suuzon dengan suaminya.

(6)

Akhirnya ia memutuskan untuk menuju terminal pulogadung dengan taksi bandara. Oleh karena ia tidak tahu dimana pool bus maju lancar terdekat dari bandara soekarno-hatta, ia berharap diterminal pulogadung ia bisa langsung menemukan bus tersebut dan membawanya ke wonosari dengan nyaman, karena badannya sekarang sudah terlalu letihuntuk perjalanan panjangyang ditempuh dari arab Saudi.

Tanpa ia sadari, martini telah sampai didepan rumahnya, rumah yang merupakan warisan ayahnya, yang ia huni bersama mas koko, andra dan ibunyayang telah renta. Namun bingung dan pertanyaan muncul dalam benaknya. Yang ia lihat hanyalah rumah tua tanpa berubahan sedikitpun, kecuali kandang sapi didekat rumahnyayang kini telah kosong. Sama keadaanya dengan tiga tahun lalutatkala ia meninggalkan rumah tersebut.

“ mana rumah baru yang mas koko bangun seperti yang ada difoto yang mas koko kirimkan tiga bulan yang lalu. Apakah ia membeli tanah ditempat lain dan membangunnya disana. Kalau begitu syukurlah,” pikirnya mencoba huznuzon.

Ia ketuk perlahan – lahanpintu rumahnya. Namun tidak ada seorangpun yang muncul membukakan pintu “kulo nuwun, mas…! Andra…! Mbok…!”

Beberapa saat kemudian barulah pintu yang terbuat dari kayu glugu tersebut terbuka.” Madosi sinten mbak?” Tanya seorang bocah berusia 6 tahun yang tak lain adalah andra yang muncul dari balik pintu.

“Andra aku ini ibumu, sudah lupa ya. Apakah bapakmu tidak menceritakan ihwal kedatanganku?” ucap martini balik bertanya.

“Ayah? Kedatanagn ibu? Oh mari masuk. Sebentar ya, andra bangunkan mbah dulu,” ujar Andra sambil berlari menuju kearah kamar neneknya.

Martini masuk kedalam rumah dan duduk diatas amben yang terletak disudut ruangan depan, seraya memperhatikan keadaan didalam rumah yang ia huni sejak kecil tersebut. Keadaan dalam rumahpun tidak tampak ada perubahan yang berarti.

“Martini ya. Wah – wah anakku sudah datangdari perantauan,” terdengar suara tua khas ibu martini sedang setengah berlari keluar dari kamarnya, menyambut kedatangan anaknya, diikuti oleh andra , membawakan segelas the hangat.

“bagaimana keadaan simbok disini?”, Tanya martini.

(7)

Martini menurut saja apa yang dikatakan ibunya. Setelah menikmati segelas the hangat, ia mengangkat kaki dan tiduran di atas amben. Namun tetap saja ia tidak dapat memejamkan matanya. Pikirannya tetap melayang memikirkan suaminya ; dimana dia, apakah dia merantau ke Jakarta untuk turut mencari nafkah diperantauan, dimana letak rumah barunya, atau apakah mas koko malah meninggalkan dirinya dan menikah dengan wanita lain?” “ah tidak mungkin,” pikirnya kembali berusaha untuk tetap huznuzon. Ia mencoba bangkit lalu menemui ibunya yang sedang memasak dipawon. “maaf Mbok, dimana mas koko, tini sudah kangen dan ingin berbicara dengannya,” ujar martini membuka kembali percakapan. Ibu martini tampak kembali berfikir sejenak, lalu berdiri dan mengambil segelas air putih dingin dari kendi. “ minumlah air putih ini agar kamu lebih tenang, Tini, nanti simbok ceritakan di mana suamimu berada, kalau kamu memang sudah tidak sabar.” Sementara itu martini bersiap untuk mendengarkan dengan seksama penuturan ibunya. “ tiga bulan lalu rumah yang dibuat suamimu atas biaya dari kamu sudah jadi. Letaknya didusun sebelah sana, namun sejak itu pula kesengsem sama seorang wanita. Wanita itu adalah tetangga barunya. Dua bulan lalu mereka menikah dan meninggalkan andra bersama simbok. Tentu saja simbok marah besar kepadanya. Namum apa daya, simbok hanyalah wanita yang sudah renta, sedang ayahmu sudah tiada, dan uang yang simbok pegangpun pas – pasan. Mau mengirim surat kepadamu simbok tidak bisa, kamu tahukan simbok buta huruf. Mau minta tolong kepada siapa lagi, sedangkan kamu adalah anakku satu – satunya. Kamu tidak mempunyai saudara yang bisa simbok mintai tolong untuk mengirimkan surat kepadamu, sedangkan anakmu, andra masih kelas 1 SD”.

Mendengar penuturan ibunya, martini langsuung menangis, ia sedih marah dan kalut. “mengapa simbok tidak melaporkannya ke pak kadus dan pak kades, dan beliaupun sudah berjanji untuk membantu simbok. Namun sampai saat ini simbok belum mendapatkan jawabannya. Sedangkan suamimu sendiri dan istri barunya , tampak tak peduli denagn suara – suara miring para tetangga. Dan untuk lapor ke KUA, simbok tidak berfikir sampai kesitu, maafkan simbok,” tambah ibunya dengan suara yang terdengar bergetar. “Duh Gusti...., paringono sabar...,." terdengar Martini terisak, berusaha untuk tetap ingat kepada Yang Maha Kuasa. Bagaimana bisa, suami yang begitu ia cintai dan ia percaya, dapat berbuat begitu kejam terhadapnya. Apalagi ia sekarang tinggal bersama istri barunya, di rumah hasil jerih payahnya selama tiga tahun merantau di Arab Saudi. "Mbok, di mana rumah baru itu berada?”

(8)

Apakah...”

“Diam Tini, teganya kamu menuduh ibumu seperti itu. Kamu mau menjadi anak durhaka? Ingatlah kamu kepada Tuhan,Nak, ingatlah kepada Gusti Allah,N ak" Kalimat itu muncul dari mulut ibunya, yang kemudian terduduk menangis mendengar ucapan pedas anaknya tersebut.

“ya sudah kalau Simbok tidak mau memberitahu. Tini akan cari sendiri rumah itu,” teriak Martini seraya meninggalkan ibunya yang sangat bersedih, yang berusaha mengejarnya namun kemudian jatuh tersungkur di halam depan rumahnya karena tidak mampu lagi mengeiarnya.

“Hei , mana Koko, bajingan sialan,"teriak Martini sambil berjalan membabi buta, menyusuri jalan dengan muka merah Padam.

Pikrannya kacau balau.

“Buat apa aku bekerja jauh-jauh mencari uang di Arab Saudi demi kamu dan.Andra tetapi mengapa kau tega memanfaatkanku, menggunakan uangku untuk membuat rumah dan tinggal di sana bersama istri barumu,

Kurang apa aku?”

Mendengar teriakan Martini, kontan para tetangga di sekitar situ segera berhamburan ke luar rumah. Mereka kebingungan menyaksikan ulah Tini yang sudah tidak mereka lihat selama tiga tahun, tiba – tiba muncul kembali di dusun itu dengan tingkah laku yang berubah 180 derajat. Martini yang dulunya lembut, penurut, kini kasar dan beringasan. Apakah ia telah gila? Apakah yang telah terjadi terhadap dirinya di Arab saudi? Apakah ia Dianiaya sebagaimana sering terdengar berita di media massa mengenai TKW yang disiksa?. Namun kemudian mereka segera menyadari. Hal ini pasti karena Martini telah mengetahui perbuatan suaminya. Segera saja mereka mengejar dan mencoba menenangkan Martini. Namun dengan kuat Martini mencoba melepaskan tangannya dari dekapan tetangganva itu. Dan saat itu pula ia melihat suaminya, ya Koko bajingan itu, keluar dari rumahnya. Koko tampaknya tidak menghiraukan kedatangannya. Bahkan istri barunya itu terlihat dengan mesranya berdiri disamping koko yang meletakkan keduavtangannya dipinggang koko.

(9)

“hai , dasar kau, wanita murahan, tidak tahu diri. Koko adalah suamiku. Dan kau koko, mengapa kau tega menipuku, meninggalkanku hanya untuk menikahi wanita keparat ini. Dasar bajingan.”

Dekapan tetangga yang memegang Martini akhirnya lepas. Dengan cepat Martini meraih sebuah bamboo yang tergeletak di bawah pohon nangka dan berlari menuju kearah koko dan istri barunya. Dengan tidak hati-hati ia menaiki anak tangga yang menuju kedalam rumah baru itu. Secepat kilat ia mengayunkanbambu itu ke arah mereka berdua. Namun malang, belum sampai bamboo itu mengenai sasaran, ia kehilangan keseimbangan. Ia terpeleset dari dua anak tangga dan jatuh terjerembab tak sadarkan diri.

”Mbak – Mbak bangun Mbak. Mau turun di mana Mbak. Ini sudah sampai di wonosari," terdengar sayup-sayup suara pemuda yang duduk di dekat Martini.

"Astaghiirullaahaladzlm .Ha...apa...?.. W onosari," Tanya M artini. “ Ya Mbak sepertinya dari tadi Mbak gelisah tidurnya" ujar pemuda itu

”Apakah benar ini wonosari?" Tanya Martini memastikan seraya mengarahkan pandangannya keluar jendela.

(10)

 UNSUR INTRINSIK Tema : percayalah pada niat baikmu Latar :

Tempat : dalam bis(dalam perjalanan) dan di kampung Waktu : tiga tahun setelah kepergian martini ke Arab Saudi

Suasana : diawal cerita suasana yang timbul basa saja, tetapi pada pertengahan cerita suasana yang timbul

Menegangkan karena adanya konflik yang timbul ketika tokoh utma bermimpi Plot/alur : alur cerita itu adalah alur maju(episode) karena jalan cerita dijelaskan secara runtut. Pada awal cerita

Tokoh utama(martini) : wataknya yang sabar,lembut ,pekerja keras, bertanggung jawab terhadap keluarga, hal ini di tunjukan dari penjelasan tokoh,penggambaran fisik tokoh serta tanggapan tokoh lain terhadap tokoh utama

 Mood/suasana hati : kecurigaan,kesabaran,kecemburuan,penyesalan,kebahagiaan  Amanat :

Dalam cerpen tersebut terdapat kandungan nilai moral yaitu seseorang haruslah bersikap huznudzon terhadap sesama manusia, karena husnudzon mencerminkan akhlak serta budi pekerti yang baik.

 Nilai Sosial-budaya :

(11)

“Senyum Terakhir”

Dengan nafas yang terengah-engah setelah mengendarai sepeda. Aku terhenti saat ku melihat dia, aku tak tahu siapa dia. Wajahnya cukup cantik dan manis, aku singgah membeli segelas air untuk melepaskan dahaga yang melanda tenggorokanku.

Setelah beristirahat aku langsung mengayuh pedal sepeda untuk pulang ke rumah. Sesampai di rumah, kedua orang tuaku sedang pergi ke sebuah tempat yang aku tidak tahu. Aku segera pergi mandi karena badanku sudah bermandi keringat. Setelah mandi aku memakai pakaian dan menuju taman yang tak jauh dari kompleks rumahku. Aku kaget si dia juga sedang berada di taman. Tanpa pikir panjang aku langsung menghampirinya.

“Hai…..”, kataku

Dengan senyum aku menyapanya.

Tapi dia tidak merespon dan tetap saja membaca sebuah novel. Sekali lagi aku mengulangi sapaanku.

“Hai.. boleh kenalan gak?”.

“Iya ada apa?”, katanya sambil menatap novel yang dibacanya.

“Aku boleh gak kenalan? Namaku Zhaky”, sambil mengulurkan jemariku.

Dia langsung berdiri lalu meletakkan bukunya di atas kursi dan memberi tahu namanya. “Namaku Tamara”, katanya dengan senyum.

“Kamu tinggal dimana?”, kataku.

“Aku tinggal di sebelah kiri toko buku dekat gerbang kompleks. Aku baru pindah kemarin.” “Oooo…. Kamu anak baru yah?”.

“Memang kenapa?”.

“Tidak kenapa-kenapa kok”.

“Ayo aku temani jalan-jalan di taman ini. Lagi pula gak enak juga kalau suasananya begini-begini saja”, pintaku.

“Ok.. baiklah”, katanya dengan lembut.

Langkah demi langkah mengawali perkenalanku dengan si dia yaitu Tamara. Kami berjalan mengelilingi taman, dari pada hanya terdiam lebih baik aku memulai pembicaran. Aku menanyakan banyak hal kepadanya. Dan kami selalu menyelingi pembicaraan kami dengan candaan yang cukup untuk mengocok perut hingga sakit.

Sekarang sang mentari akan kembali ke peraduannya. Kami berjalan pulang bersama karena arah rumah kami searah. Tamara berada di depan kompleks sedangkan rumahku ada di lorong kedua sebelah kanan di kompleks tempat tinggalku. Sesampai di depan rumah Tamara, kami berhenti dan menyempatkan diri untuk bercanda sebentar.

Suara teriakan Ibunya yang memanggil membuat kami berdua kaget.

“Tamara… Tamara… ayo cepat masuk, udah hampir malam nih!, teriak ibunya. “Ya bu.. tunggu!, Zhaky aku duluan yah?”, katanya dengan senyum.

“Iya…”, kataku sembari membalas tersenyumnya.

“Kamu juga cepetan pulang, nanti di cariin sama Ibu kamu”.

“Ok… aku pulang yah.. dadah..!”, sambil berjalan dan melambaikan tangan.

(12)

Sesampai di rumah aku di marahi oleh Ibuku. “Kamu ke mana aja”?, bentak Ibu.

“Maaf Bu, aku tadi dari keliling taman”, kataku sambil menunduk. “Lain kali jangan pulang telat lagi yah?”.

“ Iya Bu”, sembariku meninggalkan ibu di teras rumah. ***

Keesokan paginya aku bertemu dengan Tamara, ternyata aku sama sekolah dengan dia, kemarin aku lupa nanya sih. Aku langsung berlari menghampirinya.

“Tamara… Tamara…. tunggu aku!”, kataku sambil berlari. Tamara berhenti dan memegang pundakku.

“Masih pagi-pagi kok dah keringatan kayak gini?, ini usap keringatmu!”, katanya sembari menyodorkan sapu tangannya.

“Iya nih, kamunya tuh. Kamu jalannya cepat amat” . “Iya maaf”, kataya sambil tersenyum.

“Ayo buruan entar pintu gerbang ditutup”.

Sesampai di sekolah aku langsung ke kelas dan ternyata Tamara juga sekelas dengan aku. Dia duduk di sampingku, karena Dino teman aku baru pindah sekolah dua hari yang lalu. Tamara naik dan memperkenalkan dirinya ke teman-teman kelasku.

“Hai perkenalkan namaku Tamara Adelia, panggil aja aku Tamara. Aku baru pindah dari Makassar kemarin, semoga kita semua bisa menjadi teman yang akrab”.

“Ok….”, Teriak semua temanku.

Kini kami semakin dekat. Kami selalu bersama, kami duduk di depan kelas sembari bercerita tentang tugas sekolah.

“Kamu suka pelajaran apa?”, tanyaku. “Aku paling suka pelajaran matematika”.

“Kenapa kamu suka pelajaran itu?, padahal pelajaran itu agak rumit dan memusingkan”. “Karena aku suka aja dengan pelajaran itu, kalau kamu sukanya pelajaran apa?”.

“Aku paling suka dengan pelajaran bahasa Indonesia, yah pelajaran sastra”. “Kenapa kamu suka pelajaran itu?, tanyaku.

“Seperti kamu tadi, aku suka aja dengan pelajaran itu. Aku sudah buat beberapa cerpen, mau baca?”, kataku sambil menyodorkan beberapa cerpen karyaku.

“Ini buatan kamu?, aku gak percaya”.

“Iyalah, ini buatan aku. Kamu baca yah dan berikan saran, ok?”. “Ok…”, katanya sambil tersenyum.

***

“Tttttttteeettt….”, Bunyi bel menandakan kami akan melanjutkan ke pelajaran berikutnya. Tapi, guru yang mengajar tidak datang. Jadi aku dan Tamara bersama teman-teman yang lain hanya bercerita tentang hal-hal yang dapat mengocok perut.

Tak lama kemudian, kami pun pulang. Aku bersama Tamara dan temanku yang lain berjalan menuju pintu gerbang, menertawai hal yang tak patut ditertawai. Di perjalanan pulang Tamara berteriak, “Auuuuhh sakit, Zhaky bantu aku berdiri!” pintanya sambil meneteskan air matanya. Kaki Tamara tersandung batu, dan kelihatannya kaki Tamara terkilir.

(13)

“Auuuuhh…. Sakit!!”, katanya sambil merintih kesakitan. “Sini biar aku gendong deh, gak apakan?” .

“Betul mau gendong aku, aku berat loh!”, katanya sambil tersenyum. “Sakit-sakit gini sempat aja ngelawak, sini naik cepat”.

“Hehehe…. Aku beratkan?”, tanyanya, sambil tertawa. “Gak kok..”, kataku sambil tersenyum.

Sesampai di depan rumah Tamara, Ibunya yang sedang membaca koran kaget saat melihat kedatanganku yang menggendong Tamara.

“Tamara, kamu gak apa-apakan nak?”. “Gak apa-apa kok Bu”, kata Tamara.

“Kakinya terkilir tadi waktu jalan pulang tante”, kataku. “Terima kasih yah nak ….”

“ Zhaky, tante!”, ucapku dengan maksud memperkenalkan diri. “Iya terima kasih yah nak Zhaky”, katanya sambil tersenyum. “Tamara, tante, Zhaky pulang dulu yah?”, kataku.

“Iyaa nak Zhaky, kapan-kapan main ke rumah yah?”, kata ibu Tamara. “Baik tante”, kataku sambil tersenyum.

Sehabis menggendong Tamara punggungku rasanya ingin copot, benar juga kata Tamara badannya berat. Tapi, tidak apalah dari pada sahabat aku Tamara gak pulang ke rumah. Sesampai di rumah aku langsung melepas pakaian dan makan siang. Sesudah itu aku langsung tidur karena aku lelah banget udah gendong Tamara.

***

Keesokan paginya aku menunggu Tamara di depan rumahnya. Saat melihat dia keluar rumah, dia sudah bisa berjalan dengan baik. Aku kaget dan bengong melihatnya.

“Woii kamu kenapa bengong kayak gitu?”, tanyanya sambil mencubit pipiku. “Akh gak apa kok!, eh kok cepat amat sembuhnya?”.

“Iyaa nih, semalam aku dibawa ke tukang urut, rasanya sakit amat waktu di urut”. “Baguslah, daripada berjalan dengan pincang”, kataku sambil tersenyum.

Sampai di sekolah teman-teman ku berkumpul membicarakan sesuatu, aku dan Tamara bergegas ke sana dan mendengar apa yang di ceritakan teman-temanku itu.

“Teman-teman, besokkan kita libur bagaimana kalau kita liburan?”, kata Naila. “Kita mau ke mana ?”, tanyaku memotong pembicaraan.

“Kita akan pergi liburan, baiknya kita ke mana?”, kata Denny.

“Bagaimana kalau kita pergi ke tempat rekreasi terkenal di kota ini!”, kata Tamara. “Baiklah kita akan ke Pantai Bira!”, kataku.

Tak sabar menunggu saat itu, aku menceritakan sedikit tentang Pantai Bira kepada Tamara. Kami tidak memerhatikan penjelasan guru, akibat cerita kami yang semakin mengasyikkan. Tak lama kemudian bel istirahat pun berbunyi. Rasanya aku tidak ingin berpisah dengan Tamara walau sekejap saja. Tapi, mungkin itu cuman perasaanku saja. Kami berkeliling sekolah mencari hal-hal yang baru dan melupakan apa yang aku banyangkan tadi. Tidak lama kemudian, bel kembali berbunyi kami berlari ke kelas. Kami berlari sambil tertawa dengan senangnya. Rasanya hal ini adalah hal yang terindah bagiku. Sesampai di kelas kami duduk dan menunggu guru. Tak lama kemudian, guru yang mengajar pun datang. Aku merasa agak tidak enak badan. Tamara iseng mencubit pipiku dan Tamara kaget.

(14)

“Kamu sakit dan aku harus antar kamu pulang!”, katanya sambil berjalan menuju guruku. “Pak, Zhaky sakit”, katanya.

“Baiklah bawa dia pulang, kamu mau mengantarnya?” tanya pak guru. “Iya pak aku bisa kok”, katanya.

Berhubung sudah hampir pulang Tamara memasukkan barang-barangku ke dalam tas lalu dia juga membereskan barang-barangnya.

“Ayo aku antar kamu pulang”, katanya.

Tamara meminta izin mengantar aku pulang. Sambil memegang jemari-jemariku dan sesekali memegang keningku. Tamara selalu bertanya tentang keadaanku. Tapi, aku hanya bisa menjawabnya dengan kalimat, “Aku baik-baik saja kok, gak usah khawatir”.

Sesampai di rumah aku langsung di bawa Tamara ke kamarku sembari ibu mengomel-ngomeliku.

“Ini sebabnya kalau makan gak teratur”, katanya.

“Sudah tante, Zhaky ‘kan lagi sakit”, pinta Tamara ke Ibuku. “Biarlah nak, biar dia tahu rasa”, kata Ibuku.

“Kalau begitu aku pulang dulu tante”. “Nak nama kamu siapa?”.

“Nama aku Tamara, tante”.

“Terima kasih yah nak Tamara, udah bawa pulang anak tante ini”. “Iya, sama-sama tante”, katanya.

Aku melihat senyuman indah dari Tamara saat akan keluar dari kamarku. ***

Keesokan paginya, rasanya badanku udah sehat. Aku bergegas menyiapkan barang yang akan ku bawa. Aku mandi dan sesudah itu berpakaian rapi dan langsung menuju rumah Tamara. Tapi, Tamara sudah berangkat duluan. Aku langsung ke sekolah. Sampai di sekolah aku melihat Tamara dan langsung menghampirinya.

“Zhaky, kamu udah sembuh?”, katanya. “Iya.. aku udah sembuh kok”.

“Betul aku udah sembuh”, kataku sambil meraih tangannya dan meletakkannya di keningku. Tak berapa lama kemudian, bus yang akan mengantar kami ke Pantai Bira pun datang. Aku duduk di belakang bersama anak lelaki lainnya. Tamara berada di depan bersama teman wanitanya. Di perjalanan rasa gelisahku semakin tak menentu. Aku memiliki firasat buruk dan naas tak berselang beberapa lama mobil yang aku tumpangi kecelakaan.

Aku merasa kepalaku sakit, saat ku pegang kepalaku mengeluarkan darah yang banyak. Tapi, yang ada di pikiranku sekarang adalah Tamara. Aku langsung berteriak dengan nada yang lemah. “Tamara.. kamu gak apa-apa, kan?”. Aku tak mendengar suaranya. Aku melihat teman-temanku terluka dan mengeluarkan banyak darah. Saat aku ke tempat duduk Tamara, aku melihat kepala Tamara mengeluarkan banyak darah. Rasa sakit yang aku rasa membuat aku pingsan.

“Zhaky, Zhaky, bangun nak, ibu di sini”, kata ibuku sambil menangis.

Mendengar suara itu, aku terbangun. Aku sekarang berada di rumah sakit, aku kaget dan berteriak.

(15)

Ibu hanya terdiam sambil menatap ayah.

“Ibu apa yang terjadi?”, aku mulai meneteskan air mata.

“Maaf nak, kini Tamara sudah berada di tempat lain”, dengan nada yang pelan ibu memberitahuku.

“Jadi maksud ibu?”.

“Iya Nak, Tamara telah meninggal akibat kecelakaan itu”, kata ibu sembari memelukku. Aku terduduk di ranjang dan dipeluk ibu sambil menangis dengan keras dan berkata “

Kenapa dia terlalu cepat meninggalkan aku Bu?”. Aku terdiam dan mengingat saat aku sakit, dia memberiku senyuman yang kuanggap indah itu dan menjadi senyuman terakhir darinya.

(16)

ANALISIS

JUDUL : SENYUM TERAKHIR UNSUR INTRINSIK

 Tema : Persahabatan Sejati

 Setting :

1. Tempat : Taman, sekitar kompleks rumah, rumah Zacky, jalan menuju sekolah, sekolah, bus.

2. Waktu : Pagi, siang, petang.

3. Suasana : Menyenangkan, asik, seru, manis, tragis, sedih, mengharukan.

 Alur : Maju

 Amanat :

1. Hargailah semua waktu-waktu kebersamaan bersama sahabatmu, karena kita tak pernah tahu kapan akan berpisah selamanya dengannya.

2. Sayangilah sahabatmu dengan tulus dari hati hingga akhir waktu.

 Nilai :

1. Sosial :

Sehabis menggendong Tamara punggungku rasanya ingin copot, benar juga kata Tamara badannya berat. Tapi, tidak apalah dari pada sahabat aku Tamara gak pulang ke rumah.

Tamara meminta izin mengantar aku pulang. Sambil memegang jemari-jemariku dan sesekali memegang keningku. Tamara selalu bertanya tentang keadaanku. Tapi, aku hanya bisa menjawabnya dengan kalimat, “Aku baik-baik saja kok, gak usah khawatir”.

UNSUR EKSTRINSIK

 Latar kepengarangan penulis :

Penulis cerpen ini adalah seorang remaja pria sekaligus pelajar. Baru mulai belajar menjalin persahabatan dengan seorang wanita. Di mana ending dari kisahnya adalah sedih. Tapi dapat membuktikan, bahwa persahabatan sejati yang dijalin hingga akhir hayat itu masih ada.

 Keyakinan penulis : - Masyarakat pembaca :

(17)

“ Payung Hitam“

“Non, bangun non.” kata seorang perempuan paruh baya, sambil mengetuk pintu kamar. Berkali-kali diketuknya pintu kamar tersebut. Tapi, belum ada respon dari sang pemilik kamar. Baru ketukan ketiga, terdengar suara anak perempuan yang menyahuti ketukan kamar tersebut.

“Males!” teriak anak perempuan itu. Hah? Males? Hei! Seharusnya kamu bersyukur masih bisa bersekolah. Coba kamu tengok ke pinggiran kota. Masih banyak anak-anak yang tidak bisa bersekolah.

“Tapi non… Sudah siang, nanti sekolahnya terlambat.” kata wanita paruh baya itu yang sekarang kita ketahui bernama bi Inah.

“Kenapa bi? Gak mau bangun tuh anak?” kata seorang pemuda berambut coklat yang entah darimana asalnya itu. Bi Inah menoleh ke pemuda yang berdiri di belakangnya itu.

“Iya den. Itu si non katanya males, aduh gimana nih den? Nanti bibi diomelin tuan and nyonyah.” kata bi Nha cemas.

“Yaudah biar saya aja bi yang bangunin tuh anak,” usul pemuda itu. “Tapi den?” kata bi nha tambah cemas.

“Udah biarin saya aja” paksa pemuda itu.

Akhirnya bi Nha pun mengalah dan kembali kedapur. Dalam hitungan jari, akhirnya pemuda itu mengetuk pintu berwarna merah maroon itu dengan sangat kerasnya. Rusak dah tuh pintu. Tok… Tok… Tok…

“ADE BANGUN GA!!! Nanti abang bilangin mamih papih loh?” ancam pemuda itu. Huh, beraninya main ngacem. Payah sekali pemuda ini. Benar-benar payah.

“BILANG AJA! GAK TAKUT!!!” teriak perempuan itu tak kalah kencangdari dalam kamar.

“Masa gitu? Ayo cepetan sekolah, nanti COKLAT dan baju plus topi dari Swiss gak bakal abang kasih loh!” ancam pemuda itu.

Akhirnya pintu kebuka, keluarlah seorang gadis imut nan manis. Bisa dilihat rambutnya yang berwarna kuning emas itu sedikit acak-acakan.

“Iya aku sekolah, tapi kasih yah coklat dan pesenanku ya?” kata gadis itu sambil tersenyum manja. Pemuda itu tersenyuma lebar.

“Iya beneran, cepetan mandi langsung kemeja makan. Nanti telat!” kata pemuda itu dengan bijak lalu melangkah pergi meninggalkan anak perempuan itu.

“Oke,” jawab gadis itu dengan semangat dan langsung masuk kekamar menuju kamar mandi. .

Setelah kejadian beberapa menit yang lalu atau mungkin jam, akhirnya mereka pun sampai disekolah. Sang adik pun turun dari mobil, dan segera pamit ke kakaknya. Kakaknya pun langsung berangkat ke kampusnya.

“DOR!!!!!” ‘astagah siapa itu ? bikin jantungan saja,’ pikir Rika dalam hati. Rika pun membalikan badan kebelakan terlihatlah seorang laki-laki berparas tinggi dan tampan, yang hampir saja membuat Rika mati dipagi hari karena terkena serangan jantung.

“Shin!!! Kau hampir saja membuatku mati!” ucap Rika sewot. Yaiyalah gimana gak sewot? Kalau lagi badmood tiba-tiba ada yang ngagetin? Bikin orang cepet mati aja. Dan tersangka hanya nyengir merasa tidak bersalah. Rasanya Rika ingin membunuh orang itu saja, tapi dia ingat kalau ini masih disekolah lagi pula dia teman baik rika.

(18)

Bell masuk pun berbunyi, semua anak murid lari berhamburan masuk kedalam kelas. Maklum saja sekolah ini sangat ketat, guru-gurunya pun selalu datang tepat waktu dan sekolah ini sangat luas, jadi kalau tidak buru-buru mati saja riwayatmu.

-RIKA-Hosh...hosh...hosh akhirnya nyampe kelas juga,aku langsung melirik ke meja guru, AMAN!!! Syukurlah gurunya belum datang. Langsung saja aku masuk dan menaru tas dimeja dan menjatuhkan pantat ku ditempat dudukku yang biasa. Ku lihat shin langsung nimbrung ketemen-temennya, huft dasar shin...

Sretttt... terbukalah pintu kelas dan menampakan guru berparas kurang cantik dan killer. “Hei kalian! Ngapain kalian arisan disitu?! Cepat kembali ketempat duduk masing-masing!” omel guru itu dan tidak lupa dengan tatapan dendam nyipelet. Mereka pun lari terbirit-birit ketempat duduk mereka. Akupun tertawa tertahan melihat tingkah mereka. Lagi, siapa suruh bukannya langsung duduk rapih eh malah wara-wiri, hihihi.

“Sekarang kita kuis!tutup buku kalian!” kata –lebih tepatnya perintah- bu Aisyah. Mati gue!! Gue kan belum belajar!! Mampus lu!!. “bu, kok mendadak sih? Kita kan belum bekajar bu.” Tiba-tiba ada yang berbicara seperti itu, aku pun pun mencari tahu, dan ternyata itu Cherry! OMG! Thank you Cherry! Semoga dengan kamu berbicara sepertiu itu, ibu Aisyah akan memberi keringanan kepada kita! Amin.

Dan ternyata usahanya Cherry tidak sia-sia, dang guru pun mengizinkan

anak-anaknya untuk belajar terlebih dahulu selama lima menit, syukurlah!!! Thanks Cherry! Kamu emang the best deh! Akupun memutuskan untuk belajar, dari pada nanti tidak bisa.

45 menit kemudian

“Cukup! Cepat kumpulkan! Yang telat tidak akan Ibu nilai!” ancam bu Aisyah, huwaaa syukurlah aku sudah selesai. Bismillah semoga dapat nilai bagus amin! Fufufu ku tiup lembar jawabanku, semoga dengan begitu doaku terkabulkan amin... “Shin! Reia! Kadoi! Otsu! Cepat kumpulkan! Kalau tidak, tidak akan saya nilai!” omel ibu Aisyah. Wasuh nih guru kerjaannya ngomel-ngomel melulu nih. Shin dan kawan-kawan cepatlah, aku pun berdoa untuk keselamatan mereka hahaha. “Sebentar bu, sedikit lagi.” Mohon Reia, astagah! Wajahnya itu!! Imut bangetttt!!! Reia, semoga bu Aisyah mempan yah dengan wajahmu itu, Amin. “yasudah, cepat kumpulkan!” ucapbu Aisyah, sepertinya dia mulai lelah karena marah-marah melulu hahaha.

Teng... teng.. teng.. bel pelajaran selanjutnya.

Huft untung saja mereka sudah ngumpulin, kalau tidak makin ribet ini, bu Aisyah pun pergi dan kami siap-siap untuk memasuki pelajaran selanjutnya yaitu olah raga yey! Aku senang sekali dengan pelajaran olah raga. “puk~” siapa neh yang nepok undakku, ku balikan badan dan kulihat Shin tengah tersenyum kepada ku, baru saja ingin ku buka mulutku dan mengatakan sesuatu eh dia udah duluang ngomong “Ganti baju bareng yuks?” WHAT THE... “KYAAAA SHIN MESUMMMMM!!!!” teriakku. Astagah Shin kau

mesummmm!!!!!! Kupul saja shin dan dia malah tertawa lalu menarik tanganku yang sedang memukul-mukul dia “hei.. hei... aku cuman bercanda.” Jelas Shin sambil tertawa, huft kukira beneran huft dasar SHINNNNNN!!! Kau membuatku malu.

(19)

mendingan kita ganti baju trus caw.” Lanjutku sebelum dia mulai cerocos gak penting yang membuat kuping sakit, “Iya deh. Yuks~”

Di lapangan

“baiklah sekarang kita akan melakukan lari marathon~!” ucap guru olah raga yang sangat fanatik kepada warna hijau. “Baiklah guru guy!!!” balas seorang lelaki fanatik tu guru. Lihat lah, poninya saja sama, baju olahraganya aja sama huft dasar~.

Duhh... duh... pusing banget ini.. ya tuhan... ada apa ini? Astagfirulloh sakit banget ini...

“Ri-chan, kenapa? Tidak apa-apa kan?” tanya Shin, nadanya penuh dengan khawatir. “Kepalaku sakit banget Shin... a-aduh Shin... S-sakitttttttttt banget ini.” Ucapku dengan lirih menahan sakit, ya tuhan sakit banget ini kepalaku..

Tess.. tess.. tesss

‘apa ini?’ kuusap hidungku dan ternyata darah? Hah? Darah? Kudengar suara Shin memekik kaget melihat darah ditangan dan hidungku. “Ri-chan? Kamu berdarah! astagah.” Ucap Shin khawatir dan panik, seketika semua hitam.

-SHINTARO-Astagah... Ri-chan... apa yang terjadi padamu sayang?. Kugendong Ri-chan, menuju ruang kesehatan, saat tiba disana aku pun langsung menaruh Ri-chan ditempat tidur, dan dokter sekolah pun langsung memeriksa Ri-chan..

Ri-chan, apa yang padamu? Ri-chan bangunlah...

“Morimoto-san, sebaikanya Kamenashi-san dibawa kedokter saja.” Ucap dokter itu. Apa? kenapa musti dibawa kerumah sakit? Ri-chan, apa yang terjadi padamu? “Memangnya Ri-chan kenapa dok?” tanya ku panik. “sebaiknya dibawa saja. Saya takut terjadi apa-apa terhadap Kamenashi-san.” Jawab dokter itu kalem. Ya tuhan.... “baiklah dok, saya akan bawa dia kerumah sakit, Cher, tolong izinin gue sama Ri-chan yah.” Ucap ku kepada Cherry. “Iya Shin, pasti! Semoga aja tidak terjadi apa-apa ya sama Ri-chan, amin. Lo hati-hati ya Shin.”

“sip.. thanks ya.. gue berangakt dulu ya..” Rumah Sakit

‘Ya tuhan ada apa ini? Ri-chan sebenernya kamu kenapa? Kamu sakit apa?’ ku usap wajahku yang frustasi. Dokter kenapa lama banget?

Tap.. tap.. tap

“Shin-kun, Ri-chan kenapa? Dan dimana dia?” tanya wanita cantik penuh dengan kepanikan, “Lagi diperiksa dokter tan.” Jawabku tenang. Aku harus tenang agar orang yang didepanku tidak histeris.

Dokter pun keluar dari dari ruang UGD, kami pun segera menghampiri dokter itu “Dok.. Gimana Chan dok?” tanya wanita itu panik “Tenang bu, saya menyarankan Ri-chan di ST.Scan. ini baru prediksi saya, Ri-Ri-chan mengidap penyakit leukimia.” Ucap dokter itu kalem. APA??? LEUKIMIA? GAK MUNGKIN.... RI-CHAN!!! INI GAK MUNGKIN!!! “APA DOK? GAK MUNGKIN!!” teriak ku ke dokter itu dan dokter itu pun menjelaskan bahwa di sekujur tubuh rika banyak lembam dan luka yang disebabkan bukan dari luka penyiksaan atau sebagiannya, tetapi disebabkan oleh penyakit leukimia dan kata bunda dakota bahwa Ri-chan sering pingsan dan mimisan astaghhh kenapa bisa?

5 bulan kemudian

(20)

tersenyum. Aku pun ikt tersenyum, Ri-chan aku sayang kamu. Andai kamu tau itu.. “ng-nggak papa. Gimana kamu? Sudah merasa baikan?” tanyaku mempertahankan senyum diwajahku. Ia pun tersenyum “ya, tapi masih pusing dan tulang –tulang rasanya sakit sekali.” Ucap dia lirih. Oh astagahhh...

“Shin-kun. Aku pusing sekali. Shin-kun tadi aku lihat Nii-chan, kata Nii-chan sebentar lagi aku akan bersama dia, Shin-ku aku nitip bunda dan ayah yah.. Shin-kun aku sayang kamu.” Ucap ia lirih, tidak! Kamu gak boleh ikut kakakmu.. kamu harus disini! Walaupun kemungkinan kamu sembuh hanya 40% tapi tidak ada yang tidak mungkin! “Ri-chan, kamu ngomong apa? kamu gak boleh ikut Yuya-nii! Kamu harus disini! Aku cinta kamu.. aku sayang kamu.” Ucapku lirih dan aku pun menangis, ia pun menangis. “Shin-kun aku juga cinta kamu, sayang kamu. Tapi waktu ku sudah sebentar lagi, aku akan bersama Nii-chan. Shin-kun kamu jangan sedih, jangan nangis lagi. Aku sayang kamu Shin-kun.” Ucap Ri-chan, oh astagah.. kenapa? Ri-chan.

Tiba-tiba Ri-chan pingsan.. oh astagah.. “DOKTER.. DOKTER... SUSTER..” teriakku memanggil dokter suster dan dokter suster pun langsung memeriksa Ri-chan. Banyak sekali alat, oh tidak!! Ri-chan!!!

Tap.. tap.. tap..

“Shin-kun, Ri-chan gimana? Kenapa? Apa yang terjadi?” aku merasa dejavu. Tapi bedanya wanita ini bersama dengan lelaki. Wanita ini menangis dan lelaki itu

menenangkannya, tetapi lelaki itu juga menangis, melihat mereka menangis membuatku ingin menangis kembali. Sedih rasanya melihat mereka seperti itu. Sakit rasanya melihat Ri-chan lagi merenggang nyawa di dalam ruangan itu. Ya tuhan, tolong selamatkan Ri-chan,

kumohon. Kumohon tuhan.. tolong selamatakan Ri-chan...

“dok, dok gimana Ri-chan?!” ucap wanita itu setengah memekik. Dan dokterpun hanya nunduk. Ya tuhan kumohon jangan!! Jangan!! Jangan sekarang!! Kumohon!!!

“maafkan kami, kami sudah berusaha sebaik mungkin.” Ucap dokter itu penuh rasa bersalah. “TIDAKKKKK!!! DOK!! GAK MUNGKIN!! INI SEMUA GAK MUNGKIN!!! DOK, KEMBALIKAN RI-CHAN!!!” oh ya yatuhan... kenapa? Kenapa bisa? Tuhan. Kenapa kau ambil ia begitu cepat? Kenapa?

35 tahun kemudian

Sudah 35 tahun yang lalu Ri-chan meninggalkan ku tetapi, hati ini masih ada ia, ia seperti angin, aku tidak dapat melihatnya, tetapi aku dapat merasakannya.

Hari ini adalah hari kematian Ri-chan, aku berencana akan kemakam Ri-chan. Ini adalah acara tahunanku yang wajib diadakan. Aku pun masuk ke mobil spotku ya, walaupun aku sadah tua tapi aku masih kuat untuk menyetir mobil sendirian karena aku tinggal

sendirian. Ya aku menjadi perjaka tua, dan seorang workerholic, karena apa? karena hatiku telah kututup rapat untuk yang lain. Hariku hanya milik Ri-chan, tragis memang, tapi mau diapain lagi, memang begini adanya.

Akhirnya aku sampai di pemakaman keluarga ‘Kamenashi.’ Ku parkirkan mobil sport ini ditemapt parkir. Saat aku mau keluar, tiba-tiba hujan deras, sialan sekali hujan ini, tapi seingetku aku menyimpan payung deh. Aku pun mulai mencari payung dan ternyata ketemu, tiba-tiba aku inget Ri-chan, yatuhan Ri-chan, ini adalah payung saat kamu meninggal. Aku pun tidak mau lama-lama didalam mobil. Aku pun keluar mobil dengan payung hitam ini.

Aku pun sampai di depan makam yang bertulisan ‘Kamenashi Rika’ ku cium

(21)

“Morimoto-san?” tiba-tiba ada yang memanggilku, dan akupun menengok kearah suara dan kutemukan Wanita cantik dan lelaki tampan, yang kuketahui mereka adalah Kamenashi Dakota dan Kamenashi Kazuya yaitu orang tua Ri-chan.

“apa kabar? Gimana sudah nikah?” tanya wanita itu, sudah lama aku tidak melihat mereka. Dan banyak perubahan terhadap mereka, tubuh mereka sudah ringkih dan sepertinya sering sakit-sakitan, yatuhan kasian sekali mereka. Apakah mereka bahagia? Kedua anak mereka telah dipanggil yang maha kuasa, mereka tinggal berdua, yatuhan aku ingin sekali seperti mereka.

“baik-baik saja. Bagaimana dengan kalian? Apakah masih sehat?”

“Seperti yang kamu lihat.” Aku tersenyum lirih mendengar jawaban Om kazuya. Yatuhan, buatlah mereka bahagia, amin. Kulihat mereka berdoa untuk Ri-chan. “baiklah kami pulang dulu, kamu sehat-sehat ya.” Nasihat tante Dakota. “iya, hati-hati dijalan.”

Aku pun kembali menatap makam chan, setelah kepergian kedua orang tua Ri-chan. Tuhan tolong kabulkan permohonanku karena dia membuat Saya mempunyai cinta dalam hidup saya.dan Itu membuat saya kuat. Dan Mungkin Tuhan punya rencana lebih besar untuk Saya daripada rencana Saya untuk diri sendiri. Jadi saya mohon kabulkan doa saya.

Duh..duh.. jantungku sakit sakit. Yatuhan jangan kambuh dulu kumohon. Sa-sakit, sekali... RI-CHAN? APA AKU TIDAK SALAH LIHAT? Yatuhan, kuulurkan tanganku kiewajah Ri-chan, dan ia pun tersenyum hangat, wajahnya makin cantik. “Shin-kun, maukah kau ikut denganku?” tanya Ri-chan, yatuhan ini aku diajak kemana? Apakah aku diajak untuk tinggal bersama Ri-chan dan engkau? Yatuhan aku siap kalau engkau ingin membawaku bersama. Tiba-tiba semua gelap.

Shintaro terjatuh disebelah makam Ri-chan dan ditengah-tengahnya terdapat payung hitam yang dipakai Shintaro dan seketika hujan pun berhenti, dan pelangi pun mulai muncul. Dan terlihatlah Shin dan Rika sedang bergandengan tangan dan tersenyum bahagia. Ya, payung hitam ini telah menjadi lambang cinta mereka yang abadi. Begitupun dengan kematian mereka. Bahwa jodoh Shin adalah Rika, dan jodoh Rika adalah Shin.

(22)

-Tamat-Unsur intrinsik

*Tema : kematian dan Cinta abadi *Penokohan :

-Rika Kamenashi : Baik, manja, penyakitan, dan sangat sayang kepada keluarganya ( tokoh utama wanita)

-Shintaro Morimoto : baik, sayang kepada Rika. (tokoh utama lelaki)

-Dakota Kamenashi : ibunya Rika, orangnya baik dan gampang panik. (tirtagonis) -Kazuya Kamenashi : Ayahnya Rika, baik, sabar dan sayang kepada keluarganya.

-Yuya Kamenashi : baik, sayang adik dan orang tuanya, meninggal karena kecelakaan, pada saat Rika sakit.

-Cherry/ Mio matsumoto : nyebelin tapi sebenernya baik, Dia adalah teman sekelas Rika dan Shin (pemeran pembatu)

-kadoi, Reia, Otsu : baik sekali, teman seperjuangan Shin dan Rika

-Bi Nha : pembantu rumah tangga, orangnya baik dan sangat takut sama majikannya. *Alur : maju

*Latar :

Tempat : rumah, sekolah, Rumah sakit dan pemakaman Waktu : pagi, dan senja

Suasana : haru, dan tegang

*Sudut pandang : orang ketiga sebagai penulis, Orang pertama serba tahu ( Rika dan Shin) *Amanat : janganlah engaku terlalu berlarut-larut dalam kesedihan, dan terimalah apa yang terjadi karena suatu saat nanti kau akan menerima kebahagian dari tuhan.

Unsur Ekstrinstik

*Nilai pendidikan : Ya aku menjadi perjaka tua, dan seorang workerholic, karena apa? karena hatiku telah kututup rapat untuk yang lain.

*Nilai religi : Yatuhan, buatlah mereka bahagia, amin

(23)

Ada Kupu-Kupu, Ada Tamu

Taman di depan rumah kami kecil, penuh bunga. Aku tidak pernah tau nama-nama bunga itu. Aku tau semua bunga itu indah. Aku duduk di teras rumah, merasakan hangat matahari yang menerpaku. Aku sedang berpikir bagaimana bisa bunga ciptaan manusia lebih mahal dari ciptaan Tuhan. kupu itu terbang kesana-kemari. Tidak salah kalau kupu-kupu itu dibilang bagus. Apakah hal bagus selalu membawa keberuntungan ?

Hidup ini di penuhi teka-teki. Apa arti hidup seekor kupu-kupu ? mengapa kita harus sibuk dengan tanda-tanda. Tamu macam apa yang akan datang nanti.

“ Bagaimana kalau tamu itu bukan pembawa keberuntungan ?”

“ Tidak. Tamu itu pasti pembawa keberuntungan. Lihat kupu-kupu itu bagus ” “ Tidak ada kupu-kupu yang tidak bagus”

“ Ada. Sering sekali kupu-kupu jelek terbang sampai masuk rumah. Setelah itu rumah kita kemalingan, setelah itu kamu kehilangan pekerjaan, setelah itu kehormatan kita diinjak-injak orang. Kali ini kupu-kupunya bagus, pasti tamu yang akan datang membawa Jangan-jangan tamu yang akan datang benar-benar membawa bencana.

“ Siap-siap barangkali tamu itu akan datang sesaat lagi ”

Jadi, kubuka pintu pagar. Membersihkan segala perabotan, mengepel dan tanaman. Aku menengok ke tikungan jalan barangkali tamu itu telah memasuki gerbang kompleks perumahan. Semuanya segera di cek dan makanan pun sudah tertata rapi di meja.

Kami berdua duduk di tepi sungai menunggu kedatangan tamu itu. Lalu ada kupu-kupu lain dari seberang sungai. Kami berdua melompat memperhatikannya.

(24)

“ Sial” kata istriku

Diusirnya kupu-kupu itu dengan penggepuk kasur. “ Jadi, ada dua tamu? ” kataku.

“ Ya. Yang satu membawa keberuntungan, yang satu membawa sial ” “ Apa perlu kita masak lagi? ”

“ Tidak usah, yang membawa sial tidak perlu di jamu apa-apa ” “ Loh ? ”

“ Kalau perlu kita usir saja ” “ Wah !!”

Ketika tiba saat makan siang, kami memakan sebagian dari masakan itu, sekadar untuk mengatasi lapar.

(25)

A. Unsur instrinsik - Tema : Misteri - Tokoh/penokohan : Aku : waspada,

Istri : percaya tahayul, sering menduga-duga - Alur : Maju

- Latar :

·Latar tempat : teras rumah, dalam rumah, dapur, tepi sungai, ·Latar suasana : damai, menegangkan

·Latar waktu :pagi hari, siang hari,

- Bahasa : mudah dimengerti, komunikatif - Amanat :

· Jika ada tamu, hendaklah dijamu dengan sebaik-baiknya. · Harus waspada disetiap saat.

· Tidak boleh membeda-bedakan tamu.

· Jangan suka berperasangka buruk. B. Unsur ekstrinsik

- Nilai moral :

· Menjamu tamu dengan baik

· Jika ada tamu yang baik dijamu dengan baik, jika ada tamu yang buruk tidak perlu dijamu kalau perlu diusir

- Nilai budaya/Tradisi : percaya tahayul

(26)

Mimpi Anak Jalanan

Mimpi ku, seorang Bintang, hanya sederhana. Aku tak minta sesuatu yang macam-macam. Aku tak minta rumah mewah, bergelimang harta, dan bukan juga mobil sport macam Lamborghini. Aku hanya ingin, aku dapat merasakan yang namanya mengenyam pendidikan, yang namanya merajut mimpi, yang namanya menggapai cita-cita. Sederhana bukan? Setiap malam, aku selalu mengirim doa pada Yang Maha Kuasa, bersimbah air mata di hadapanNya. Tapi selama sebelas tahun aku terus berdoa, yang isinya itu-itu saja, selama itu pula Allah belum menjawab dan mengabulkan doaku. Mungkin ini bukan takdirku, takdirku hanyalah menjadi seorang pengamen yang bodoh. Tapi itu semua tak membuatku putus asa. Justru membuatku semakin giat berdoa pada Allah.

“Hamba tak ingin menjadi pandai, tapi saat hamba pandai, hamba lupa dengan Mu. Hamba tak ingin menjadi seorang kaya, namun saat hamba kaya iman hamba rusak. Hamba tak ingin sehat, kalau dikala sehat, hamba melupakan nikmat Mu. Hamba tak ingin hidup, tapi saat hamba diberi kesempatan menghirup oksigen, hamba lalai dengan perintah Mu. Kalau memang Engkau belum mengizinkan hamba duduk memperhatikan penjelasan guru, di dalam kelas, tak mengapa, mungkin inilah yang terbaik untuk hamba,” hanya lima kalimat itu yang dapat aku ucapkan usai shalat.

Umurku sudah sebelas tahun, tapi aku belum pernah merasakan yang namanya kasih sayang kedua orangtua. Belaian lembut seorang Bapak, dan pelukan sayang seorang Ibu. Tak pernah aku mencicipi yang namanya kasih sayang dari orangtua. Aku saja, tak tahu dimana kedua orangtuaku.

Sejak kecil, aku hidup di antara debu jalanan, di antara gedung-gedung pencakar langit yang tinggi, di antara ketamakan manusia-manusia zaman sekarang. Untuk menghidupi kebutuhanku, aku mencoba mengamen. Kebutuhan hidupku hanya dua, makanan dan minuman. Tak ada gitar, atau kendang, hanya ada tepukan tangan dan jentikan jari yang mengiringi nyanyianku. Sejak pemerintah melarang masyarakat untuk memberikan uang pada pengemis dan pengamen sepertiku, nasibku makin tak karuan. Hidupku semakin kelam. Apakah pemerintah itu tak punya hati. Boleh saja mereka melarang masyarakat untuk memberikan uang untuk aku dan teman-temanku, yang sama-sama mengamen. Dan mereka yang hanya bisa menengadahkan tangan untuk mengemis. Tapi, pemerintah memberikan kami uang yang pantas untuk kehidupan sehari-hari, setidaknya pekerjaan untuk kami. Kalian semua hanya bisa memakan uang rakyat, hanya bisa menyengsarakan nasib kaum lemah. Kalian semakin kaya, hidup mewah serba kecukupan, sementara kami, hidup dalam penderitaan, hidup dalam kekejaman ekonomi, dan hidup jauh dari kalimat sederhana.

(27)

Aku cuma rakyat kecil yang tak bisa berbuat apa-apa. Ingin melawan, kalian mengancam, ingin memberontak, kalian mengelak, ingin marah kalian malah mencemooh.

Akankah keadilan akan datang. Kalian hanya diperkuda jabatan. Kami muak dengan ketidak adilan dan keserakahan. Tolong dengarkan suara rakyatmu wahai pemerintah bi*dab! Dengarkan jeritan marah kami setiap detiknya, jerit marah karena ketidak becusanmu mengurus negeri tanpa kemudi ini. Negeri kelam yang suram. Haruskah yang Diatas mengirimkan bala bencana untuk kalian, barulah kalian sadar akan perbuatan iblis kalian sendiri? Tahukah kalian Indonesia masuk dalam daftar 100 negara termiskin di dunia. Urutan ke 68. Seharusnya kalian malu, menjadi seorang pejabat pemerintah, maupun pejabat negara, namun bangsanya masuk ke dalam daftar negara termiskin.

(28)

 Unsur Instrinsik

1. Tema : Seorang anak jalan yang bermimpi ingin menjadi seorang Bintang 2. Alur : Maju

Mimpi ku, seorang Bintang, hanya sederhana. Aku tak minta sesuatu yang macam-macam. Aku hanya ingin, aku dapat merasakan yang namanya mengenyam pendidikan, yang namanya merajut mimpi, yang namanya menggapai cita-cita. Tapi selama sebelas tahun aku terus berdoa, yang isinya itu-itu saja, selama itu pula Allah belum menjawab dan mengabulkan doaku. Mungkin ini bukan takdirku, takdirku hanyalah menjadi seorang pengamen yang bodoh. Tapi itu semua tak membuatku putus asa. Justru membuatku semakin giat berdoa pada Allah. Saat ia selesai sholat, ia selau mengucapkan 5 kalimat saja. Umurku sudah sebelas tahun, tapi aku belum pernah merasakan yang namanya kasih sayang kedua orangtua. Sejak kecil, aku hidup di antara debu jalanan, di antara gedung-gedung pencakar langit yang tinggi, di antara ketamakan manusia-manusia zaman sekarang. Kalau kami tak dapat merasakan nikmatnya hidup dengan uang, setidaknya berikan kami pendidikan yang layak. Aku cuma rakyat kecil yang tak bisa berbuat apa-apa. Seharusnya kalian malu, menjadi seorang pejabat pemerintah, maupun pejabat negara, namun bangsanya masuk ke dalam daftar negara termiskin. Hanya satu yang kuminta! Sejahterakanlah rakyatmu.

3. Penokohan :

-Anak Jalan : tidak pernah menyerah dan selalu berdoa 4. Sudut Pandang:

Akuan 5. Amanat :

Teruslah bermimpi, jangan pernah menyerah dan teruslah berusahan dan berdoa! 6. Latar/Setting:

Tempat : di antara debu jalanan, di antara gedung-gedung pencakar langit yang tinggi. Waktu : Pagi Siang Sore

Suasana : Mengagumkan 7. Gaya Bahasa:

Bahasanya menarik dan sopan  Unsur Ekstrinsik :

1. Agama : hanya lima kalimat itu yang dapat aku ucapkan usai shalat.

2. Moral : Pejabat yang hanya ingkar janji dan tidak ada bukti saat sudah menjabat.

3. Ekonomi : Hidup seorang anak jalanan yang tidak berkemampuan dalam menjalankan hidup

4. Pendidikan : seorang anak jalanan yang tidak mendapatkan sebuah pendidikan yang diinginkan anak jalanan

(29)

RINTIK HUJAN

Hujan yang mengguyur Jakarta memaksa kakiku melangkah lebih cepat. Agak berlari aku menuju salah satu halte Busway yang berada di daerah rawamangun Jakarta timur sekitar beberapa meter dari Universitas Negri Jakarta. Meskipun jarak kampus dan rumahku beberapa kilometer, sepulang kuliah aku memilih menaiki kendaraan umum. Mobil yang biasa ku pakai ku biarkan beristirahat dirumah. Aku ingin menikmati Jakarta dengan berjalan kaki. Kesibukan Jakarta yang bertambah pada sore hari, terkadang menjadi salah satu yang dapat dinikmati. Orang-orang berjalan cepat, berburu dengan waktu, kesemerautan kendaraan; polusi dari knalpot kendaraan,pada saat-saat tertentu menjadi menarik. Hujan masih turun, dan Bus yang ditunggu belum juga tiba. Aku melihat 2 orang anak SMA berlarian di tratoar bermain-main dengan lebatnya hujan. Tanpa kusadari aku tersenyum melihat mereka, dan pikiranku menerawang jauh, kembali ke 4 tahun silam, dimana aku masih berseragam putih abu-abu, masa yang menyimpan jutaan kenangan indah, tentang sosok yang sangat aku rindukan.

Hari itu sekitar akhir 2009 juga turun hujan, aku dan dia berlari-lari kecil menuju gerbang sekolah. Gerbang itu cukup besar terdapat ukiran nama sekolahku dengan huruf kapital SMAN 25 BANDAR LAMPUNG, dikelilingi oleh tembok tinggi berwarna pucat. Dia yang bersamaku adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki, namanya Andre Gumilang, dia asli suku Lampung.Ya, saat SMA aku memang bersekolah di Lampung, aku pindah dari Jakarta mengikuti kedua orang tuaku. Saat itu ayah sedang membangun perusahaannya di Lampung. Andre adalah teman pertama yang ku kenal semenjak tinggal di Lampung tepatnya sekitar 3 tahun yang lalu. Kini kami sedang menikmati masa-masa akhir SMA. Andre adalah sosok yang ceria, nakal, setia kawan, dan sebenarnya sosok yang cukup pintar bahkan lebih pintar dari aku, meskipun dia sering bolos,nilai-nilainya sangat bagus. Tak pernah sekalipun kulihat dia bersedih, entahlah aku anggap hidupnya selalu bahagia. Dia sering kali bolos dari pelajaran kimia, tak pernah ku tau kemana dia pergi saat membolos. Dia hanya menjawab jika dia pergi kesuatu tempat untuk menghindari guru atau teman-temannya. Dia adalah sosok yang hebat, dia selalu ada di sampingku, persahabatan kami sangatlah indah.

Tapi, akhir-akhir ini dia berubah, dia tidak seceria yang kemarin, sering kudapati dia sedang melamun. Aneh, tak seperti biasanya, sering aku mencoba mengetahui bagaimana hidupnya sebenarnya, namun tidak berhasil. Meskipun kami sudah berteman sejak kelas 1 SMA, aku tidak terlalu tau banyak tentang dirinya, karna dia sangat tertutup untuk masalah pribadinya. Dari tatapan matanya dapat kusimpulkan bahwa selama ini ada sebuah rahasia yang tak pernah dia ingin siapa pun mengetahuinya, termasuk aku.

Sepulang sekolah dia terlihat sangat tergesa-gesa.

“Dre..lo mau kemana? Buru-buru amat”. Aku bertanya sambil menghentikan langkahnya.

(30)

“iya, emang lo mau kemana? Gua anterin ya, lo keliatan pucet gitu, gua bawa mobil bokap tuh”. Pintaku agar aku tau tujuannya.

“etdah..kagak usah bimo!! Gua baik-baik aja kok, Gua bisa sendiri, lo pulang aja kan udah ditunggu nyokap lo dirumah”.

Andre langsung pergi tanpa menghiraukan hujan yang membasahi tubuhnya serta aku yang berusaha mengejarnya, dia hilang di antara keramain, dan sempat kulihat dia menaiki sebuah angkutan umum.

“heemm, mau kemana dia? Itu kan bukan arah rumahnya?”. Gumamku dalam hati.

Sejak hari itu dia berubah, dia bukan seperti Andre yang kukenal, aku merasa seperti ada jarak antar kami. Dia sangat jarang masuk sekolah. Sekalinya masuk, dia seolah menghindariku. Entah sudah berapa puluh sms yang kukirim padanya namun tak ada satupun yang dibalas.

“Dre, lo ada masalah apa? Lo kenapa? Kenapa lo ngehindarin gua terus? Gua salah apa sama lo? Lo udah gak mau temenan sama gua lagi?. Dre, minggu depan kita ulang tahun, gua mau lo dateng dan niup lilin bareng gua, orang tua gua mau kita ngadain pesta bareng, lo bakal dateng kan? . Dre gua itu sahabat lo, apapun yang lo butuhin gua bakal berusaha bantuin lo, dan apapun yang lo mau gua bakal berusaha mewujudkannya, plis dre lo jangan hindarin gua kayak gini terus, gua kangen maen bola bareng lo, gua pengen ikut balapan motor sama lo lagi, dre semoga semua baik-baik aja”

Dan beberapa minggu sebelum ujian nasional berlangsung dia tidak pernah lagi masuk sekolah. Aku mendapat kabar bahwa dia pindah dan berhenti sekolah. Aku sebagai teman merasa sangat marah, aku marah karna dia pergi begitu saja. Dia pergi tanpa mengucapkan perpisahan, dan dia pergi tanpa menghadiri pesta ulang tahunku. Ada rasa terhianati disini, dan dia pergi dengan meningkalkan banyak pertanyaan di benakku. Seusai pembagian ijazah, aku kembali datang kerumahnya yang kotor, terlihat bahwa selama ini tidak dihuni. Warga sekitar mendengar kabar bahwa dia dan keluarganya pindah ke Jakarta, namun tak ada yang tau alamat pastinya. Hari-hari terakhir di Lampung sangat membosankan. Kemudian aku melanjutkan kuliah di UNJ, dan memilih menetap sendiri di rumah lamaku di Jakarta timur. Hari demi hari aku berharap mendapat kabar dari Andre, hingga suatu hari di tahun 2012 aku mendapatkan sebuah paket. Disana tertulis namaku dan nama pengirimnya yang tak lain adalah Andre.

Kulihat box itu penuh dengan beberapa barang dan surat. Untuk sahabatku Bimo

(31)

jadwal kimia kita bertepatan dengan jadwal kemo gua bim, makanya gua gak pernah ngajak lo waktu bolos. Maaf gua gak pernah ngasih tau lo keadaan gua yang sebernya, gua gak bisa ngeliat sahabat gua yang cakep kayak lo sedih. Gua pindah ke Jakarta, karna disini peralatan kemonya lebih lengkap. Gua sempet beberapa kali ngeliat lo, gua selalu ada di sisi lo bim, gua seneng akhirnya lo bisa kuliah di jurusan yang lo pingin. Gua bahagia sempet kenal sama lo bim, makasih untuk semuanya, ini ada surat-surat yang gua bikin disetiap ulang tahun lo, ada juga kado-kado buat lo, mungkin saat lo terima ini semua, gua udah gak ada di dunia ini bim, tapi gua bakal selalu ada di hati lo, kita akan tetap jadi sahabat bim,

Sahabatmu Andre

Air mata tak mampu ku bendung lagi, aku menangis. Aku masih tak percaya bahwa Andre tlah tiada. Hari itu juga aku langsung menuju alamat yang terdapat di kotak itu dan ternyata benar. Aku di antarkan oleh ayahnya ke makam Andre. Aku bersimpuh lemas dihadapan makamnya, dia yang kunanti selama ini telah tiada. Lagi-lagi hujan turun menemani kesedihanku.

“hey,kak bimo..kok ngelamun aja sih,ayok naik tuh busnya udah sampe”.

Aku disadarkan oleh Tiara, sosok cantik yang menemani hariku kini, hujan telah reda. Makasih Andre, kau telah mengajarkan banyak hal pada ku, tentang arti persahabatan yang sebenarnya, tentang perjuangan hidup dan tentang cara mensyukuri apapun keadaan kita sekarang. Aku akan selalu mengenangmu di setiap rintik hujan yang turun,hujan yang hadir di saat pertemuan pertama dan terakhir kita.

(32)

Unsur-Unsur Cerpen

Unsur Instrinsik

1. Tema : Persahabatan 2. Latar (Setting)

Waktu : Sore hari (Kesibukan Jakarta yang bertambah pada sore hari, terkadang……), 2009 akhir (Hari itu sekitar akhir 2009 juga turun hujan……..)

Tempat : Halte Bus (aku menuju salah satu halte Busway yang berada…….), Sekolah (….berlari-lari kecil menuju gerbang sekolah), Makam (Aku bersimpuh lemas dihadapan makamnya)

Suasana : Riang : (……….bermain-main dengan lebatnya hujan), Sedih : (Air mata tak mampu ku bendung lagi, aku menangis…..), Marah : (Aku sebagai teman merasa sangat marah, aku marah………)

3. Alur (Plot): Alur mundur

4. Tokoh : Aku (Bimo), Andre Gumelar

5. Penokohan: Aku : Sangat sayang dan perhatian terhadap sahabat, Andre : Pintar, baik, ceria, nakal dan tertutup

6. Sudut pandang : Orang ke dua tunggal 7. Gaya bahasa :

Dalam karangannya penulis menggunakan:

Majas : (Mobil yang biasa ku pakai ku biarkan beristirahat dirumah), (……masa yang menyimpan jutaan kenangan indah)

bahasa sederhana dan sehari-hari (“etdah..kagak usah bimo!! Gua…….) 8. Moral Value :

(33)

 Unsur Ekstrinsik

1. Nilai-nilai dalam cerita

Nilai moral : Nilai ini ditunjukan ketika tokoh aku merasa khawatir dengan apa yang terjadi terhadap tokoh Andre.

Nilai persahabatan : Andre tetap mengingat tokoh Aku meskipun dia dalam keadaan susah. Nilai sosial : Tokoh Aku mengunjungi makam Andre.

Nilai budaya : Tokoh Aku merayakan ulang tahunnya dengan mengundang Andre. 2. Latar belakang penulis :

Referensi

Dokumen terkait

Sepeninggal ibunya, Aisyah berpikir bahwa ia harus mengerjakan semua pekerjaan rumah. Katanya dalam hati, “Bila ayah pergi bekerja aku perlu memasak makanan, mencuci pakaian,

Si gadis tentu saja merah mukanya, karena merasa tersinggung. Tapi menurut Ompi, muka merah itu karena malu tersipu. Dan ia jadi tambah gembira... Akan tetapi ketika Ompi tahu aku

Aku sudah izin kepada orang tuaku, mereka mengizinkanku, tentu saja dengan mengatakan bahwa kami akan belajar kelompok di rumah Ferdi untuk mengerjakan tugas- tugas sekolah.

Akhirnya, kuputuskan untuk berpacaran lagi dengan Dimas, mantan pacarku yang sudah lama meminta jadian lagi.. Setelah Deana tahu aku berpacaran dengan Dimas, hubunganku dengan

Si gadis tentu saja merah mukanya, karena merasa tersinggung. Tapi menurut Ompi, muka merah itu karena malu tersipu. Dan ia jadi tambah gembira... Akan tetapi ketika Ompi tahu aku

Memang dalam hati kecilku juga sering ada rasa yang berbeda ketika sedang bersama Cinta, tapi aku cukup tahu diri, Cinta hanyalan anak muridku, tak pantas kalau ada benih benih

Aku bisa merasakan ada air mata dari ayahku, tapi aku tidak bisa merasakan air mata yang ada dalam mata mamaku, padahal yang akan aku sumbangkan untuk Adib

"Wah, dia mirip dengan Kelinci Beludru tuaku yang hilang saat aku sakit demam berdarah!" Tapi dia tidak pernah tahu bahwa memang itu adalah Kelinci Beludru tuanya dulu,