• Tidak ada hasil yang ditemukan

261936893 Agus Sutiyono Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "261936893 Agus Sutiyono Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja pdf"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BERBASIS

KOMPETENSI (COMPETENCE BASE EDUCATION AND

TRAINING) DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA

PETUGAS SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

Studi

Experimen

pada Satuan Polisi Pamong Praja

Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta

AGUS SUTIYONO

No. Reg. 7627070790

Disertasi yang Ditulis untuk Memenuhi Sebagian

Persyaratan dalam Mendapatkan Gelar Doktor

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

(2)

ABSTRAK

Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi (Competence Base Education and Training) dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Studi Experimen pada Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta)

Secara operasional penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kinerja antara petugas Satpol PP yang mengikuti model pendidikan dan pelatihan dengan mempertimbangkan motivasi kerja Petugas Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Hasil hipotesis penelitian menunjukkan bahwa: (1) motivasi kerja mempengaruhi kinerja petugas Satpol PP (2) bentuk Pelatihan CBET mempengaruhi kinerja petugas Satpol PP. Ini berarti perbedaan bentuk Pelatihan dalam CBET menentukan variasi atau keberagaman kinerja petugas Satpol PP; (3) interaksi antara model pelatihan dan motivasi kerja menentukan variasi atau keberagaman kinerja petugas Satpol PP; (4) terdapat perbedaan antara Kinerja Petugas Satpol PP yang diberi model pelatihan CBET dan memiliki motivasi kerja tinggi adalah lebih tinggi dari pada kinerja petugas satpol PP yang diberi model pelatihan konvensional dan memiliki motivasi kerja tinggi.

Penelitian dilakukan pada bulan November 2008 sampai dengan April 2009 di Dinas Ketentraman dan Ketertiban (Tramtib) DKI Jakarta dengan penelitian metode quasi eksperimen. Sampel diambil dengan teknik stratified cluster random sampling. Untuk kelompok pelatihan konvensional dan metode CBET ditentukan sampel sejumlah 40 orang, sehingga total sampel adalah 80 orang responden.

(3)
(4)

ABSTRACT

THE EFFECT OF COMPETENCE BASED EDUCATION AND TRAINING

(CBET) AND WORK MOTIVATION ON CIVIL SERVANTS’ WORKS (An Experimental Study Towards Civil Servants in Jakarta)

Operationally, this research aimed to find out the differences in working of civil servants who join the training and education by considering their work interaction between the training model and the work motivation determine

variations in civil servants’ work; (4) there are differences between the civil

servants who join the CBET training and the civil servants who do not. The civil servants who join the CBET training have higher motivation in working and vise versa.

This reasearch conducted on November 2008 until April 2009 at Dinas Ketentraman dan Ketertiban DKI Jakarta by using quation experiment method. Research samples taken by using stratified cluster random technique. For the members of conventional training and CBET method, 40 people are taken as samples, therefore the total samples are 80 people.

The results finding about Competence Based Education and Training

(CBET) and work motivation toward civil servants’ work show first, the work of civil servants that join CBET training are higher than civil servants’s work that join

a conventional training, with Fcounting 305,6247, higher than 7,01 Ftable with 0,01 signification (Fcounting = 305,6247 > Ftable (0,01)(1;76) = 7,01). Second, there is an

influence between the training model and work motivation towards civil servants’

work with Fcounting 4,3907 which is higher than 3,97 Ftabel with 0,05 signification level (Fcounting= 4,3907 > Ftable (0,05)(1;76) = 3,97. Third, the work of civil servants that join CBET training and have higher motivation in working, are higher than civil

servants’s work that join a conventional training with high motivation in working,

with Fcounting 119,8039 > Ftablel (0,01)(1;38) = 7,35). Fourth, the work of civil servants who join CBET training and have low motivation in working is still higher than the work of civil servants who join the conventional training with low motivation too, with 105,769 which is higher than 7,35 Ftable with 0,01 signification (Fcounting = 105,769 > Ftable (0,01)(1;38) = 7,35).

(5)

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan kepada ALLAH yang telah

melimpahkan hamat dan hidayah-Nya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.

Disertasi ditulis sedagai syarat untuk menempuh ujian dan memperoleh gelar

doktor di Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.

Sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih atas selesainya

disertasi ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga

kepada Prof. Dr. Made Putrawan, M.Pd selaku promotor utama dalam penulisan

disertasi, beliau telah menginspirasi saya untuk dapat berbuat yang terbaik

dalam displin ilmu yang saya tekuni. Jadilah terus inspirator untuk kesuksesan

dan kebahagiaan orang lain. Kepada Prof. Dr. Bedjo Sujanto, M.Pd, Rektor

Universitas Negeri Jakarta yang bukan hanya menjadi Co promotor dalam

menyelesaikan studi ini tetapi juga motivator dan postur yang membakar

semangat dan antusias saya untuk saya dapat menyelesaikan program S3 ini.

Beliau selalu menjadi penyemangat dalam begitu banyak hal dalam kehidupan

saya. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Djaali, Direktur

PPs UNJ, yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan yang amat

berharga bagi penulis. Kepada Prof. Dr. Mukhlis R. Luddin, MA, penulis

sampaikan terima kasih atas bantuan dan arahannya yang amat berharga dalam

penyelesaian disertasi ini.

Terima kasih kepada Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi DKI Jakarta

atas kerja samanya sehingga pengambilan data penelitian dapat berjalan

(6)

khususnya kepada bapak H. Harianto Badjoeri, selaku kepala Satpol PP Provinsi

DKI Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

melakukan penelitian dijajarannya.

Ayahku (Bapak Karnomo Alm,), Nenek ku (Biyung), Ibu ku, Istriku dan

Anakku yang selalu memberi warna dan jejak yang jelas dalam pengabdian

terbaik untuk masyarakat. Gelar ini penulis dedikasikan untuk perjuangan yang

Nenek/Bapak/Ibu/Istri dan anak yang telah mendukung dengan sabar, tekun

sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan baik. Begitu banyak

teman, sahabat yang terus menginspirasi penulis untuk terus dapat melakukan

yang terbaik dalam perjalanan hidup ini.

Dr.Karnadi, M,Si, Dr.Maruf Akbar, Prof.Dr.Mulyono,M.Pd terima kasih

atas semua support yang Bapak berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan

disertasi ini. Tuhan telah mengirimkan semua orang-orang yang selalu

memberikan penulis semangat untuk memberikan yang terbaik. Kepada semua

pihak yang sangat intens memberikan support penulis sampaikan terima kasih,

ALLAH Maha Penyayang yang akan memberikan dan membalas semua

kebaikan yang telah dilakukan.

Jakarta, Januari 2010

(7)

DAFTAR ISI

BAB II ACUAN TEORITIK, DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Kerangka Teori B. Hasil Penelitian yang relevan

C. Kerangka Berfikir C. Metode dan Desain Penelitian

(8)

G. Teknik Analisis Data

BAB IV KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

(9)

DAFTAR TABEL

TABEL KETERANGAN HAL

Tabel 2.1 Dimensi dan Indikator Kinerja 29

Tabel 2.2 Dimensi dan Indikator Motivasi Kinerja 55

Tabel 3.1 Rancangan Faktorial A x B 66

Tabel 3.2. Sampel Penelitian 68

Tabel 3.3. Kisi-Kisi Instrumen Penelitian 71

Tabel 3.4 Skala Likert 73

Tabel 3.5 Hasil Uji Validitas Instrumen Motivasi Kerja 74

Tabel 3.6 Hasil Uji Validitas Instrumen Kinerja 76

Tabel 3.7 Hasil Analisis Reliabilitas 77

Tabel 3.8 Hasil Analisis Reabilitas 78

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi skor Model Competence based

Education and Training petugas satpol PP (A1)

81

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi skor Model Pelatihan

Konvensional petugas satpol PP (A2)

83

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (B1)

84

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Skor Motivasi Kerja Petugas

Satpol PP yang memiliki Motivasi Kerja Rendah

(B2)

86

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja

(10)

TABEL KETERANGAN HAL

Tinggi (A1B1).

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A1B2).

89

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensionalyang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A2B1)

90

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A2B2)

91

Tabel 4.9 Rekapitulasi Deskripsi Data Rata-Rata Model

Pelatihan dan motivasi kerja terhadap kinerja

petugas satuan polisi pamong praja

93

Tabel 4.10 Tests of Normality 96

Tabel 4.11 Rekapitulasi Deskripsi Uji Normalitas Kinerja Petugas Satpol Pp Berdasarkan Model Pelatihan Dan Motivasi Kerja.

97

Tabel 4.12 Test of Homogeneity of Variances 98

Tabel 4.13 ANOVA 98

Tabel 4.14 Test of Homogeneity of Variances 100

Tabel 4.15 ANOVA 100

Tabel 4.16 Test of Homogeneity of Variances 101

(11)

TABEL KETERANGAN HAL

Tabel 4.18 Tests of Between-Subjects Effects 103

Tabel 4.19 Perbandingan Skor Rata-rata Kinerja Petugas Satpol PP

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Keterangan Hal

Gambar 2.1 Indikator Kinerja 24

Gambar 4.1 Skor Model Competence based Education and Training

petugas satpol PP (A1)

82

Gambar 4.2 Skor Model KonvensionalPetugas Satpol PP (A1) 83

Gambar 4.3 Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP

yang memiliki Motivasi Tinggi (B1)

85

Gambar 4.4 Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP

yang memiliki Motivasi Rendah (B2)

86

Gambar 4.5 Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A1B1)

88

Gambar 4.6 Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training

yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A1B2).

89

Gambar 4.7 Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan

Konvensionalyang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A2B1).

91

Gambar 4.8 Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan

Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A2B2).

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Memasuki era otonomi daerah tahun 2003, terjadi perbagai perubahan

mendasar dalam kehidupan masyarakat. Arus perubahan yang tidak menentu

menjadikan masyarakat kehilangan pijakan, sehingga memunculkan berbagai

kecenderungan pelanggaran tatanan hidup kemasyarakatan. Mengantisipasi hal

tersebut peran tugas dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan khususnya

penatalaksana penegakan hukum dan ketertiban, diharapkan mampu

mengantisipasi perubahan dimaksud sesuai dengan amanat Undang-Undang

Pemerintah Daerah Nomor 22 Tahun 1999, Pasal 120 yang mengatur tentang

keberadaan petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).1

Pengarusutamaan Satpol PP ditekankan pada upaya dalam membina

ketenteraman ketertiban masyarakat (tramtibmas), memberi peringatan dini dan

penanggulangan pemeliharaan tramtibmas. penegakan peraturan daerah (perda)

yang harus ditaati oleh semua pihak dengan kewenangan prosedural. Upaya ini

diwujudkan dalam bentuk sistem perlindungan masyarakat, dimana kepentingan

masyarakat sebagai hal yang utama. Kepentingan utama dimana pendekatan

pengayoman, pencegahan, pembinaan hingga penindakan atas pelanggaran

peraturan yang berlaku dalam masyarakat.

1

(14)

Menatalaksanakan tugas-tugas atas kewenangan tersebut, Satpol PP

selalu berpijak pada protab dalam sistem yang telah baku dimana mengikat

keberadaan dari Satpol PP untuk bertindak dalam kerangka kewenangan

prosedural yang harus jelas dan terukur. Kerangka yang menjadi pijakan bagi

petugas untuk mejalankan tugas pelayanan sehari-hari.

Keberadaan Satpol PP di DKI Jakarta, saat ini diperkirakan lebih 8.000

personel terdiri dari laki-laki dan perempuan yang tersebar di lima wilayah yaitu:

Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Jakarta Barat2.

Hanya saja yang sudah ditetapkan secara resmi dalam Surat Keputusan

Gubernur DKI Jakarta sampai dengan tahun 2003 belum ada separuhnya,

sehingga belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Suatu jumlah yang

sangat tidak memadai untuk melakukan layanan perlindungan dan upaya

penegakan peraturan daerah. Dimana perbandingan idealnya adalah 1:900,

untuk menjangkau luas wilayah DKI 661,260Km2 dengan kuantitas penduduk

diperkirakan 12.000.000 jiwa.3

Memenuhi harapan masyarakat atas upaya perlindungan dan

ketertiban, merupakan tantangan tersendiri bagi kelembagaan Satpol PP,

khususnya aparat/petugas satpol PP itu sendiri dalam memenuhi tugas pokok

dan fungsinya. Dimana perlu didukung oleh kualitas sumber daya optimal,

anggaran operasional dan sarana prasarana aparat Satpol PP yang memadai.

Sumber daya manusia, anggaran operasional dan sarana prasarana

aparat memiliki sisi lemah terutama berkenaan dengan kemampuan skill dan

2

Berita Jakarta.Com, Media On Line DKI Jakarta, Jakarta 26.09.2007, diunduh 15 Maret 2009.

3

(15)

manajerial khususnya pemahaman, pendalaman pengetahuan indikator aspek

hukum dalam menjalankan tugas-tugas di lapangan. Faktor-faktor penyebab

utamanya adalah minimnya kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh

petugas Satpol PP. Ketersediaan sumber daya manusia yang maksimal belum

dapat dipenuhi dalam sistem perekrutan aparat. Belum adanya standar layanan

minimal sampai dengan saat ini menyulitkan ruang gerak petugas Satpol PP.

Sistem tata kerja kelembagaan yang ada masih belum sinergis dari hulu hingga

hilir, dimana menempatkan petugas Satpol PP sebagai ujung tombak dalam

menyelesaikan suatu permasalahan pada sisi hilirnya, tanpa pelibatan proses

sejak awal.

Kurangnya alokasi rutin yang dianggarkan oleh Anggaran

Pembangunan Belanja daerah (APBD), operasionalisasi kegiatan lebih bersifat

projektif, akibatnya sarana dan prasarana yang bersifat fasilitas keperluan dinas

belum memadai. Petugas Satpol PP pada umumnya memiliki status

kepegawaian yang masih bersifat honorer dengan gaji di bawah Upah Minimum

Regional (UMR) nasional.

Tugas operasional lapangan dan penetapan sanksi masih menjadi

kendala bagi petugas Satpol PP. Hambatan pelaksanaan tugas aparat Satpol PP

di luar anggaran rutin umumnya pada pelaksanaan tugas penertiban, terutama

masih banyaknya oknum tertentu yang melindungi pelaku-pelaku pelanggar

Perda yang kebanyakan pada sektor hiburan malam dan prostitusi. Sementara

itu penerapan sanksi yang bersifat pemaksaan terkendala oleh aturan hukum

akibat otoritas yang terbatas khususnya menyangkut sanksi penangkapan,

(16)

Berkaitan dengan kesulitan tugas di lapangan, tugas aparat satpol PP

dilapangan perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah daerah. Selain

pengetahuan tentang hukum Dinas Tramtib, petugas juga harus dibekali dengan

pengetahuan yang luas tentang masalah kemasyarakatan termasuk di dalamnya

kemampuan penanggulangan penyakit masyarakat (patologi sosial) seperti

masalah alkoholisme, kenakalan remaja, miras, gelandangan, dan pelacuran.

sehingga ungkapan ketidaktahunan tentang berbagai fenomena sosial di dalam

masyarakat terutama di kota yang menjadi wilayah tugasnya dapat dihindari dan

diantisipasi dengan tepat.

Petugas Satpol PP bukan hanya semata merupakan kekuasaan belaka.

Namun lebih sebagai pengayom, pencegah maupun penegak perlindungan dan

ketertiban. Petugas satpol PP dituntut untuk dapat melindungi masyarakat dari

kekerasan yang berujung pada pelanggaran HAM. Tingkat kemajuan masyarakat

yang tinggi diiringi dengan kecenderungan munculnya segala bentuk

ketidakadilan, kesenjangan dan distorsi. Sehingga bila harapan masyarakat tidak

dapat dipenuhi, tersalurkan dan terselesaikan secara memadai, akan dapat

menyebabkan gejolak emosional, kerusuan sosial dan gangguan ketentraman

dan ketertiban masyarakat. Berbagai kecenderungan tersebut memunculkan

krisis kepercayaan dan mengakibatkan menurunnya kewibawaan pemerintah.

Sehingga respon dalam menangkal berbagai friksi sosial yang terjadi di

masyarakat menjadi sangat rendah.

Masyarakat tidak dapat begitu saja menyerahkan sepenuhnya upaya

pemenuhan keamanan, perlindungan dan ketertiban pada petugas Satpol PP.

(17)

menyelenggarakan upaya perlindungan dan ketertiban dengan cara mematuhi

segala ketentuan yang ada, memberikan masukan dalam pembuatan kebijakan

dan mengontrol atas pelaksanaan kebijakan tersebut. Karena keamanan dan

ketertiban pada dasarnya adalah merupakan tanggung-jawab bersama antara

masyarakat dan pemerintah.

Kebersamaan yang sinergis antara masyarakat dan pemerintah

menjadikan petugas Satpol PP lebih bersemangat dan bertanggung jawab dalam

penegakan perda. Satpol PP sebagai satuan organisasi perlu memilliki

kemampuan untuk menggerakkan, mengerahkan dan mengarahkan segala daya

dan potensi sumber daya secara optimal. Kemampuan tersebut dapat diperoleh

melalui pendidikan dan pelatihan. Pendidikan dan pelatihan yang terfokus pada

peningkatan kompetensi yang semestinya dimiliki oleh setiap petugas untuk

dapat lakukan tugas tanggung jawab dan fungsinya sebagai pengayom

masyarakat. Melalui assesment dari hulu sampai hilir, didukung pendidikan dan

pelatihan yang berbasis kompetensi akan mengarahkan seseorang pada

kemampuan standart, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada persesuaian

kompetensi terhadap kebutuhan pengembangan organisasi.

Kebutuhan akan pengembangan diri dan organisasi dapat dimotivasi

dari diri sendiri, dengan upaya memperoleh kebebasan dan otonomi untuk

menumbuhkan semangat kerja. Pimpinan yang tanggap akan dapat mengetahui

motivasi dari bawahannya, sehingga dapat membuka jalan menuju produktivitas

kerja yang diharapkan organisasi. sehingga akan mendorong motivasi, semangat

kerja dan meningkatkan prestasi dan produktivitas kerja, serta meningkatkan

(18)

kelompok dalam organisasi menurut ukuran atau batasan-batasan yang

ditetapkan.

Motivasi dapat ditempatkan sebagai bagian yang fundamental dari

kegiatan manajemen. Seseorang yang termotivasi dalam melakukan

pekerjaannya, maka dengan sendirinya kinerja seseorang tersebut dengan

sendirinya akan meningkat juga. Memenuhi harapan tersebut, kinerja petugas

satpol PP perlu didukung oleh kualitas sumber daya manusia yang memadai.

Kualitas sumber daya manusia dapat ditingkatkan melalui pendidikan dan

pelatihan yang baik. Salah satunya adalah melalui Competency Based Education

and Training (CBET).

Melalui Competency Based Education and Training (CBET) diharapkan

dapat meningkatkan motivasi petugas Satpol PP dan meingkatkan kinerja dalam

menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak perlindungan dan ketertiban.

Motivasi yang ada pada petugas satpol PP harus senantiasa dipacu, karena

tanpa motivasi kerja yang tinggi yang dilakukan oleh organisasi belumlah

optimal. Masih perlu ditingkatkan agar memberikan kinerja yang baik dilapangan.

Kinerja yang baik tentunya harus ditunjang oleh kualitas SDM yang baik.

Sehingga dipandang perlu untuk meningkatkan kompetentisi petugas satpol PP.

Sehingga dapat diketahui sejauhmana Competency Based Education and

Training (CBET) dan motivasi berpengaruh terhadap peningkatan kinerja.

(19)

B. Identifikasi Masalah

Mengacu pada konsep otonomi daerah yang diamanatkan Undang

Undang No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah. Pasal 120

menekankan pada keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), yang

bertugas membina ketenteraman ketertiban masyarakat, memberi peringatan

dini, pemeliharaan, penanggulangan, dan penegakan peraturan daerah (perda)

yang harus ditaati oleh semua pihak dengan kewenangan prosedural dimana

mengacu pada kepentingan terbaik untuk masyarakat.

Mengacu pada pemahaman diatas, maka penelitian dapat diidentifikasi

sebagai berikut:

1. Bagaimana mengembangkan kualitas sumber daya petugas Satpol PP?

2. Bagaimana strategi yang dapat digunakan dalam mengembangkan kualitas

sumber daya petugas Satpol PP?

3. Pendekatan apa saja yang dapat digunakan dalam mengembangkan kualitas

sumber daya petugas Satpol PP?

4. Bagaimana meningkatkan kinerja petugas Satpol PP?

5. Bagaimana strategi yang dapat digunakan dalam meningkatkan kualitas

kinerja petugas Satpol PP?

6. Pendekatan apa saja yang dapat digunakan dalam meningkatkan kualitas

kinerja petugas Satpol PP?

7. Bagaimana mengembangkan motivasi petugas Satpol PP dalam

melaksanakan tupoksinya?

8. Bagaiman strategi yang dapat digunakan dalam pengembangan motivasi

(20)

9. Pendekatan apa saja yang dapat digunakan dalam mengembangkan motivasi

kerja petugas Satpol PP?

10. Bagaimana pengaruh pendekatan competency-based education and training

(CBET) terhadap peningkatan kinerja petugas Satpol PP ?

11. Bagaimana pengaruh pendekatan competency-based education and training

(CBET) terhadap pengembangan motivasi petugas Satpol PP ?

12. Bagaimana pengaruh pendekatan Competency-based Education and Training

(CBET) terhadap peningkatan kinerja petugas Satpol PP perempuan ?

13. Bagaimana pengaruh pendekatan competency-based education and training

(CBET) terhadap pengembangan motivasi petugas Satpol PP perempuan ?

14. Apakah terdapat korelasi antara pendekatan Competency-based education

and training (CBET), terhadap pengembangan motivasi petugas Satpol PP

perempuan ?

C. Pembatasan masalah

Masalah dalam penelitian ini dibatasi pada pembahasan tentang pengaruh

motivasi dan pelatihan terhadap kinerja petugas Satpol PP didalam lingkup

Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

D. Perumusan Masalah

Dari identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka dalam penelitian

(21)

1. Apakah terdapat perbedaan kinerja antara petugas satpol PP yang mengikuti

model pelatihan Competency Based Education and Training (CBET) dengan

model pelatihan konvensional ?

2. Apakah terdapat pengaruh interaksi antara model pelatihan dengan motivasi

kerja terhadap kinerja petugas satpol PP ?

3. Apakah kinerja petugas Satpol PP yang memiliki motivasi kerja tinggi dan

mengikuti pelatihan model Competency Based Education and Training

(CBET) lebih tinggi dibandingkan kinerja satpol PP yang memiliki motivasi

tinggi dan mengikuti pelatihan konvensional ?

4. Apakah kinerja petugas Satpol PP yang memiliki motivasi kerja rendah dan

mengikuti model pelatihan konvensional lebih tinggi daripada kinerja petugas

satpol PP yang memiliki motivasi rendah dan mengikuti Competency Based

Education and Training (CBET)?

E. Kegunaan hasil penelitian

Penelitian ini baik secara teoritis maupun praktis mempunyai berbagai

manfaat sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritik

Hasil penelitian dapat dijadikan landasan untuk menyusun konsep dan

strategi baru dalam pengembangan pendidikan dan pelatihan petugas

satpol PP guna mempersiapkan personil SDM yang memadai dalam

(22)

2. Kegunaan Praktis

Penelitian yang dilakukan di Dinas Satpol PP provinsi DKI ini

diharapkan dapat memberikan masukkan atau rekomendasi khususnya

kepada pihak manajemen dalam peningkatan kompetensi petugas Satpol

PP yang lebih baik di masa yang akan datang dengan mengutamakan

(23)

BAB II

KERANGKA TEORITIK DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

Acuan teori yang merupakan landasan konseptual dalam penelitian

menekankan pada kajian tentang kinerja, model pendidikan dan pelatihan, serta

motivasi petugas Satpol PP.

A. Kinerja

1. Pengertian Kinerja

Satpol PP merupakan perangkat aparat pelaksana layanan

perlindungan dan penegak hukum dalam konteks institusi ketenteraman

dan ketertiban (tramtib) di lingkungan dimana ditugaskan. Kinerja Satpol PP

mengacu pada tugas pokok dan fungsinya sebagai pembina ketenteraman

ketertiban masyarakat (tramtibmas), pemberi layanan perlindungan,

pemberi peringatan dini dan penanggulangan pemeliharaan tramtibmas,

dan penegak peraturan daerah (perda). Secara keseluruhan ruang

geraknya dijiwai untuk kepentingan terbaik bagi masyarakat, dan sesuai

dengan tatanan nilai yang berlaku dalam masyarakat secara umum.

Tuntutan tugas aparat Satpol PP yang bagitu luas ini tentu merupakan

suatu beban kerja tersendiri. Kuantitas beban kerja yang demikian berat

tentunya merupakan permasalahan kinerja yan spesifik bagi aparat satpol

PP.

Karena tentunya suatu organisasi, dalam hal ini Satpol PP sangat

(24)

telah ditentukan untuk mencapai tujuan. Mewujudkan pencapaian tujuan

tersebut harus ditopang oleh semangat dan kegairahan kerja pegawai. Oleh

karena itu organisasi atau instansi perlu mengetahui berbagai kelemahan

dan menguatkan kelebihan. Suatu hal yang lumrah mengetahui

kekurangan, hal ini diperlukan guna meningkatkan produktivitas dan

pengembangan pegawai. Menjawab kebutuhan tersebut, perlu dilakukan

kegiatan penilaian kinerja secara periodik yang berorientasi pada masa lalu

atau masa yang akan datang bagi para petugas Satpol PP.

Kinerja merupakan implementasi dari rencana yang telah disusun

dengan mengedepankan kapasitas sumber daya. Implementasi kinerja

dilakukan oleh sumber daya manusia yang memiliki kemampuan,

kompetensi, motivasi, dan kepentingan. Bagaimana organisasi menghargai

dan memperlakukan sumberdaya manusianya akan mempengaruhi sikap

dan perilaku sumber daya tersebut dalam menjalankan kinerja.

Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan

kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan, konsumen, dan

memberikan kontribusi pada ekonomi sehingga seseorang berupaya untuk

melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut.

Kinerja harus dapat diejawantahkan sebagai apa yang dikerjakan dan

bagaimana cara mengerjakannya.

Fremont dalam internet Journal (2000) memberikan konsep umum

tentang prestasi adalah kinerja = f (kesanggupan, usaha dan kesempatan).

Persamaan ini menampilkan faktor atau variabel pokok yang menghasilkan

(25)

menentukan hasil usaha perorangan dan kelompok. Kesanggupan (ability)

adalah fungsi dari pengetahuan dan skill manusia dan kemampuan

teknologi. Ia memberikan indikasi tentang berbagai kemungkinan prestasi.

Usaha (effort) adalah fungsi dari kebutuhan. Sasaran, harapan dan

imbalan. Besar kemampuan terpendam manusia yang dapat direalisir itu

bergantung pada tingkat motivasi individu dan/atau kelompok untuk

mencurahkan usaha fisik dan mentalnya. Tetapi tak akan ada yang terjadi

sebelum manajer memberikan kesempatan (opportunity) kepada

kesanggupan dan usaha individu untuk dipakai dengan cara-cara yang

bermakna. Prestasi organisasi adalah hasil dari sukses individu dan

kelompok dalam mencapai sasaran yang relevan.

Pada organisasi atau unit kerja di mana input dapat teridentifikasi

secara individu dalam bentuk kuantitas misalnya pabrik jamu, indikator

kinerja pekerjaannya dapat diukur dengan mudah, yaitu banyaknya output

yang dicapai dalam kurun waktu tertentu. Namun untuk unit kerja kelompok

atau tim, kinerja tersebut agak sulit, dalam hubungan ini Simamora4 (1995 :

132) mengemukakan bahwa kinerja dapat dilihat dari indiktor-indikator

sebagai berikut : 1) keputusan terhadap segala aturan yang telah

ditetapkan organisasi, 2) Dapat melaksanakan pekerjaan atau tugasnya

tanpa kesalahan (atau dengan tingkat kesalahan yang paling rendah), 3)

Ketepatan dalam menjalankan tugas.

4

(26)

Ukuran kinerja secara umum yang kemudian diterjemahkan ke

dalam penilaian perilaku secara mendasar meliputi: (1) kualitas kerja; (2)

kuantitas kerja; (3) pengetahuan tentang pekerjaan; (4) pendapat atau

pernyataan yang disampaikan; (5) keputusan yang diambil; (6)

perencanaan kerja; (7) daerah organisasi kerja.

Masalah kinerja selalu mendapat perhatian dalam manajemen

karena sangat berkaitan dengan produktivitas lembaga atau organisasi.

Sehubungan dengan itu maka upaya untuk mengadakan penilain kinerja

merupakan hal yang sangat penting.

Kinerja mempunyai hubungan yang erat dengan masalah

produktivitas, karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana

usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu

organisasi. Jadi untuk mendapatkan gambaran tentang kinerja seseorang,

maka perlu pengkajian khusus tentang kemampuan dan motivasi.

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi kinerja adalah kemampuan dan

kemauan. Memang diakui bahwa banyak orang mampu tetapi tidak mau

sehingga tetap tidak menghasilkan kinerja. Demikian pula halnya banyak

orang mau tetapi tidak mampu juga tetap tidak menghasilkan kinerja

apa-apa.

Senada dengan pemahaman diatas, Mangkunegara berpendapat

bahwa kinerja merupakan istilah yang berasal dari kata job performance

(27)

dicapai seseorang)5. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kinerja karyawan

(prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang

dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai

dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pendapat serupa juga

disampaikan oleh Irawan yang mengemukakan bahwa kinerja merupakan

satu-satunya petunjuk yang dapat kita percayai untuk menyimpulkan

apakah suatu organisasi, unit atau pegawai sukses atau gagal, berprestasi

atau tidak.6

Menurut Hariandja kinerja merupakan hasil kerja yang dihasilkan

oleh pegawai atau perilaku nyata yang dinyatakan sesuai dengan perannya

dalam organisasi atau instansi.7 Sedangkan Husein mendefinisikan kinerja

sebagai hasil kerja yang dicapai seseorang tenaga kerja dalam

melaksanakan tugas dan pekerjaannya yang dibebankan kepadanya.8

Handoko mendefinisikan kinerja adalah hasil kerja yang dicapai

seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya

yang didasarkan atas kecakapan pengalaman dan kesungguhan waktu.9

Sedangkan definisi kinerja menurut Gomes adalah ungkapan seperti out

5

Mangkunegara, Anwar P., Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia, (PT. Refika Aditama, Bandung: 2005), hlm. 9.

6

Irawan, Prasetya et.al, Manajemen Sumber Daya Manusia, (STIA-LAN: Jakarta, 2002), hlm. 11.

7

Hariandja, Marihot Tua Efendi,Drs.,M.Si., Manajemen Sumber Daya Manusia: Pengadaan, Pengembangan, Pengkompensasian, dan Peningkatan Produktivitas Pegawai, Edisi I, Cetakan ketiga, (Bumi Aksara, Jakarta: 2005), hlm. 195.

8

Husein, Umar. Riset Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi, Edisi Revisi, (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2002), hlm. 14.

9

(28)

put, efisiensi serta efektivitas dan sering dihubungkan dengan

produktivitas.10

Kinerja pegawai merupakan suatu hal yang sangat penting dalam

usaha organisasi untuk mencapai tujuannya, sehingga berbagai kegiatan

harus dilakukan orgisasi atau instansi untuk meningkatkannya. Salah satu

diantaranya adalah melalui penilaian kinerja. Menurut Efendi Hariandja

Penilaian kinerja merupakan salah satu proses organisasi atau instansi

dalam menilai kinerja pegawainnya11. Tujuan dilakukannya penilaian kinerja

secara umum adalah untuk memberikan feedback kepada pegawai dalam

upaya memperbaiki tampilan kerja dan upaya meningkatkan produktivitas

organisasi. Secara khusus dilakukan dengan berbagai kebijaksanaan

terhadap pegawai seperti untuk tujuan promosi, kenaikan gaji, pendidikan

dan latihan.

Dikemukakan oleh Tika bahwa kinerja adalah hasil-hasil fungsi

pekerjaan (motivasi, kecakapan, persepsi peranan) seseorang dalam suatu

organisasi atau instansi yang yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk

mencapai tujuan organisasi atau instansi.12 Berkaitan dengan motivasi

kerja, Victor Vroom yang dikutip dalam Efendi Hariandja tentang teori

motivasi expentansi, mengatakan bahwa salah satu unsur penting dalam

motivasi adalah adanya kemungkinan bahwa seseorang dapat mencapai

kinerja yang diharapkan, yang disebut dengan expectancy, disamping

adanya hubungan yang jelas antara kinerja dengan reward/imbalan yang

(29)

didapat (instrumentality), serta imbalan yang akan didapat sesuai dengan

bentuk yang sangat diinginkan saat ini (valens).13

Kinerja di dalam suatu organisasi dilakukan oleh segenap sumber

daya manusia dalam organisasi atau instansi, baik unsur pimpinan maupun

pekerja. Banyak sekali aspek maupun faktor yang dapat mempengaruhi

sumberdaya manusia dalam menjalankan kinerjanya. Adapun aspek-aspek

standar pekerjaan menurut Mangkunegara14 terdiri dari aspek kuantitatif

dan aspek kualitatif. Aspek kualitatif meliputi: (1) Proses kerja dan kondisi

pekerjaan; (2) Waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan

pekerjaan; (3) Jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan; dan (4)

Jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekerja. Sedangkan aspek

kualitatif meliputi: (1) Ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan; (2) Tingkat

kemampuan dalam bekerja; (3) Kemampuan menganalisis data/informasi,

kemampuan/kegagalan menggunakan mesin/peralatan; dan (4)

Kemampuan mengevaluasi (keluhan/keberatan konsumen).

Ukuran-ukuran keberhasilan dalam pekerjaan dapat ditentukan

dengan tepat dan lengkap, dan diuraikan dalam bentuk perilaku yang dapat

diamati dan diukur secara cermat dan tepat. Sehingga dalam pelaksanaan

pengelolaan kinerja karyawan, hendaknya mempertimbangkan faktor-faktor

yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang (karyawan).

Menurut Robbins yang dikutip oleh Rivai dan Basri mengemukakan

bahwa kinerja adalah sebagai fungsi interaksi antara kemampuan atau

13

Hariandja, Op Cit, hlm. 198.

14

(30)

Ability (A), motivasi atau Motivation (M) dan kesempatan atau Opportunity

(O), yaitu kinerja = f(A x M x O)”.15 Dengan demikian, kinerja ditentukan oleh faktor-faktor kemampuan, motivasi dan kesempatan. Kesempatan

kinerja adalah tingkat-tingkat kinerja yang tinggi yang sebagian merupakan

fungsi dari tiadanya rintangan-rintangan yang mengendalikan karyawan itu.

Sedangkan menurut Davis dan Newstrom yang di kutip Husein yang

menyebutkan variabel-variabel yang mampu mempengaruhi tingkat prestasi

dan kinerja (performance) organisasi, yakni : kewenangan organisasi,

kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungan organisasi.16

Sementara menurut Wibowo mengemukakan bahwa faktor yang

dapat mempengaruhi sumber daya manusia dalam menjalankan kinerjanya,

terdapat faktor yang berasal dari dalam diri sumber daya manusia sendiri

maupun dari luar dirinya antara lain: (1) Kemampuan berdasar pada

pengetahuan dan keterampilan, kompetensi yang sesuai dengan

pekerjaannya, motivasi kerja dan kepuasan kerja, kepribadian, sikap dan

perilaku; (2) Kepemimpinan dan gaya kepemimpinan dalam organisasi atau

instansi, yaitu: bagaimana pemimpin menjalin hubungan dengan pegawai,

bagaimana mereka memberi penghargaan kepada pegawai yang

berprestasi, dan bagaimana mereka mengembangkan serta

memberdayakan pegawainya; (3) Sumber dana, bahan, peralatan,

teknologi, dan mekanisme kerja yang berlangsung dalam organisasi; dan

(4) Lingkungan kerja atau situasi kerja yang merupakan faktor lingkungan

15

Veithzel Rivai dan, Ahmad F.M. Basri, Performance Appraisal (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2005), hlm. 15.

16

(31)

kerja internal organisasi atau instansi, seperti kondisi hubungan

antarmanusia di dalam organisasi, baik antara atasan dengan bawahan

maupun diantara rekan sekerja.17

Berpijak dari berbagai pandangan para pakar di atas terdapat

banyak variabel yang mempengaruhi pencapaian kinerja organisasi yaitu

faktor kepemimpinan, faktor motivasi, faktor disiplin dan faktor kinerja dari

sumber daya manusia dalam hal ini adalah pegawai.

Menurut Simamora dalam Mangkunegara bahwa upaya

peningkatan kinerja (performance) pegawai dipengaruhi oleh tiga faktor,

diantaranya :

1) Faktor individual, yang berupa kapasitas untuk mengerjakan sesuatu, terdiri dari kemampuan dan keahlian, latar belakang dan demografi.

2) Faktor psikologis, berupa persepsi, attitude, personality, pembelajaran dan motivasi, yang dapat membentuk keinginan mencapai sesuatu.

3) Faktor organisasi, yang memberikan kesempatan untuk berbuat sesuatu. Terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, penghargaan

(imbalan), struktur dan job design.18

Memahami hal tersebut, kinerja pegawai akan tercipta bila di

dukung oleh adanya kesiapan yang dimiliki karyawan itu sendiri baik secara

kemampuan, mental (psikologis) dan adanya dukungan dari organisasi

berupa kesempatan. Karena acapkali terjadi, meski seorang individu

17Wibowo, Manajemen Kinerja, (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2005), hal.65-66

.

18

(32)

bersedia dan mampu, tetapi bisa saja ada rintangan yang ada dapat

menjadi penghambat yang cukup berarti.

Pendapat lain tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja,

antara lain dikemukakan Amstrong dan Baron (1998,16) yang dikutip oleh

Wibowo yaitu, sebagai berikut :

a) Personal factors, ditunjukkan oleh tingkat keterampilan kompetensi

yang dimiliki, motivasi, dan komitmen individu.

b) Leadership factors, ditentukan oleh kualitas dorongan, bimbingan, dan

dukungan yang dilakukan pimpinan dan team leader.

c) Team factors, ditunjukkan oleh kualitas dukungan yang diberikan oleh

rekan sekerja.

d) System factors, ditunjukkan oleh system kerja dan fasilitas yang

diberikan organisasi.

e) Contextual/situational factors, ditunjukkan oleh tingginya tingkat

tekanan dan perubahan lingkungan internal dan eksternal.19

Pelaksanaan kinerja akan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor

baik yang bersumber dari pegawai sendiri maupun yang bersumber dari

organisasi. Dari pegawai sangat dipengaruhi oleh kemampuan atau

kompetensinya. Sementara itu, dari segi organisasi atau instansi

dipengaruhi oleh seberapa baik pemimpin memberdayakan pegawainya,

bagaimana mereka memberikan penghargaan pada pegawai, dan

19

(33)

bagaimana mereka membantu meningkatkan kemampuan kinerja pegawai

melalui coaching, mentoring dan counselling.20

Indikator kinerja atau performance indikators kadang-kadang

dipergunakan secara bergantian dengan ukuran kinerja (performance

measures), tetapi banyak pula yang membedakannya. Pengukuran kinerja

berkaitan dengan hasil yang dikuantitatifkan dan mengusahakan data

setelah kejadian. Sementara itu, indikator kinerja dipakai untuk aktivitas

yang hanya dapat ditetapkan secara kualitatif atas dasar perilaku yang

dapat diamati. Menurut Hersey, Blanchard, dan Jhonson yang di kutip oleh

Nengah21, terdapat tujuh indikator kinerja, yang digambarkan sebagai

berikut:

20

Ibid, hlm. 76.

21

(34)

Gambar 1: Indikator Kinerja

Gambar ketujuh indikator kinerja diatas dapat dijelaskan, sebagai

berikut:

1) Goals (tujuan) merupakan suatu keadaan yang lebih baik yang ingin

dicapai dimasa yang akan datang. Dengan demikian, tujuan merupakan

arah ke mana kinerja harus dilakuakan. Kinerja individu maupun

organisasi berhasil apabila dapat mencapai tujuan yang diinginkan.

2) Standard (standar) merupakan suatu ukuran apakah tujuan yang

dinginkan dapat dicapai. Tanpa standar, tidak dapat diketahui kapan

suatu tujuan dapat tercapai. Kinerja seseorang dikatakan berhasil

apabila mampu mencapai standar yang ditentukan atau disepakati

bersama antara atasan dan bawahan.

3) Feedback (umpan balik) merupakan masukan yang dipergunakan untuk

mengukur kemajuan kinerja, standar kinerja, dan pencapaian tujuan.

Dengan umpan balik dilakukan evaluasi terhadap kinerja dan sebagai

hasilnya dapat dilakukan perbaikan kinerja. Masukan berupa feedback

motive goals

means

opportunity

standard competenc

e

(35)

ini dapat berasal dari dalam dan luar organisasi. Umpan balik dari

dalam organisasi merupakan evaluasi yang dilakukan secara bersama

atau melalui tim khusus yang dibentuk untuk memberikan masukan

terhadap sebuah pencapaian tujuan organisasi. Umpan balik dari luar

organisasi dapat dilihat dari respon masyarakat (pengguna) dari produk

maupun jasa yang di hasilkan oleh organisasi.

4) Means (alat atau sarana) merupakan sumber daya yang dapat

dipergunakan untuk membantu menyelesaikan tujuan dengan sukses.

Alat atau sarana merupakan faktor penunjang untuk pencapaian tujuan.

5) Competence (kompetensi) merupakan kemampuan yang dimiliki oleh

seseorang untuk menjalankan pekerjaan yang diberikan kepadanya

dengan baik. Kompetensi memungkinkan seseorang mewujudkan

tugas yang berkaitan dengan pekerjaan yang diperlukan untuk

mencapai tujuan.

6) Motive (motif) merupakan alasan atau pendorong bagi seseorang untuk

melakukan sesuatu. Pimpinan memfasilitasi motivasi kepada karyawan

dengan insentif berupa uang, memberikan pengakuan, menetapkan

tujuan menantang, menetapkan standar terjangkau, meminta umpan

balik, memberikan kebebasan melakukan pekerjaan termasuk waktu

melakukan pekerjaan, menyediakan sumber daya yang diperlukan dan

menghapuskan tindakan yang mengakibatkan disintesif.

7) Opportunity (peluang) merupakan peluang untuk menunjukkan prestasi

(36)

kekurangan kesempatan untuk berprestasi, yaitu ketersediaan waktu

dan kemampuan untuk memenuhi syarat.22

Kinerja amat bergantung sejauh mana upaya seseorang untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi. Tujuan yang telah

ditetapkan ini merupakan tujuan yang terukur dan dapat diobservasi oleh

seluruh anggota organisasi sehingga tujuan merupakan sesuatu yang

konkrit dan nyata bukan merupakan hal yang abstrak dan mengawang jauh

dari kenyaataan. Kemampuan organisasi untuk meramu bentuk dari tujuan

yang ingin dicapai menjadi amat penting, karena hal itu dapat memberikan

kejelasan kepada anggota organisasi untuk mencapai target tujuan yang

hendak dicapai.

Sarana dan kompetensi merupakan faktor pendukung yang penting

yang diperlukan oleh setiap anggota untuk mencapai tujuan organisasi.

Sarana dan kompetensi memungkinkan seorang anggota organisasi dapat

mewujudkan tugas yang berkaitan dengan pekerjaan yang diperlukan untuk

mencapai tujuan.

Motif yang dimiliki seorang anggota organisasi merupakan hal yang

cukup penting dalam usaha mendorong seorang anggota organisasi untuk

mencapai tujuan organisasi. Kemampuan seorang pemimpin untuk

memfasilitasi motif dari setiap anggotanya menjadi faktor kunci bagi

kelancaran pergerakan organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.

Peluang yang diperoleh oleh seorang anggota organisasi juga

memegang peranan penting bagi anggota untuk turut andil mencapai tujuan

22

(37)

organisasi. Ketersedian waktu yang dimiliki oleh seorang anggota

organisasi memegang peranan penting guna menunjukkan prestasi

kerjanya secara optimal sesuai dengan kebutuhan upaya untuk mencapai

tujuan organisasi. Prestasi kerja seorang anggota organisasi perlu ditunjang

oleh kemampuan untuk memenuhi syarat yang ditetapkan oleh organisasi

untuk melakukan suatu pekerjaan.

Beberapa penjabaran di dapat dirangkumkan kedalam beberapa

kata kunci untuk menunjukkan kinerja seorang anggota satpol PP yaitu:

Hasil pekerjaan, insentif dan produktifitas. Hasil pekerjaan hasil pekerjaan

yang dicapai oleh individu dan terkait pada tujuan organisasi yang telah

ditetapkan oleh organisasi dan tunjang oleh sistem, kepemimpinan, sarana,

dan dukungan organisasi yang diberikan oleh organisasi. Sedangkan

insentif merupakan hal-hal yang berkaitan dengan motif dan kebutuhan

yang ada dalam diri individu. Dan produktifitas berkaitan dengan

kemampuan seorang anggota organisasi untuk menghasikan jumlah

pekerjaan sesuai dengan kompetensi dan peluang yang dimiliki oleh

seorang anggota organisasi menyelesaikan pekerjaannya.

Berdasarkan penjabaran konsep di atas maka kinerja yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah perbuatan seseorang dalam

melaksanakan pekerjaan untuk mencapai hasil tertentu. Perbuatan tersebut

mencakup hasil, insentif dan produktifitas yang hasilkan melalui proses

yang terfokus pada tujuan yang hendak dicapai serta dengan terpenuhinya

(38)

2. Dimensi dan Indikator Kerja

Sebagaimana definisi kinerja yang dirumuskan di atas, maka dalam

mengukur kinerja terdapat beberapa faktor atau dimensi yang harus

terpenuhi yaitu kualitas kerja, kunatitas kerja, pengetahuan, keandalan,

kehadiran dan kerjasama. Masing-masing faktor tersebut dijabarkan dalam

(39)

Tabel 2.1 Dimensi dan Indikator Kinerja

No Dimensi Indikator

1 Kualitas Kerja - Ketelitian bekerja

- Ketepatan dalam berkerja - Kerapian bekerja

- Keterampilan dan kecakapan kerja

- Empati dalam bereja bersama dengan masyarakat 2 Kuantitas kerja - Jumlah hasil kerja yang telah dicapai

- Kecepatan dalam menyelesaikan pekerjaan

- Menurunnya kecenderungan penyimpangan dan pelanggaran dalam masyarakat

3 Pengetahuan - Pemahaman terhadap tugas yang dikerjakan - Etika bekerja bersama masyarakat sipil 4 Keandalan - Mengikuti instruksi pimpinan

- Memiliki inisiatif - Disiplin dalam kerja

- Memiliki empati dalam bekerja 5 Kehadiran - Hadir dalam rapat rutin

- Aktif dalam setiap rapat

- Aktif melaksanakan tugas piket harian dan lapangan - Aktif melakukan patroli keliling

- Aktif melakukan penjangkauan masyarakat yang bermasalah

6 Kerjasama - Kemampuan bekerjasama dengan teman seprofesi

- Kemampuan bekerjsama dengan atasan

- Kemampuan dalam melaksanakan fungsi referal - Kemampuan dalam menjalin jejaring kemasyarakatan

khususnya bidang layanan perlindungan dan penegakan ketertiban

(40)

No Dimensi Indikator

madani menyelenggarakan sistem kontrol sosial untuk mnegakkan perlindungan dan ketertiban bermasyarakat

- Kemampuan menjadikan dirinya petugas Satpol PP yang ramah terhadap lingkungan dimana bekerja.

B. Pendidikan dan Pelatihan

1. Pengertian Pendidikan dan Pelatihan

Pendidikan dan Pelatihan (Education and Training) atau biasa

disingkat Diklat adalah bagian yang tak terpisahkan dan terpenting dalam

peningkatan kinerja. Mengacu dalam bahasa inggris, education

(pendidikan) berasal dari kata educate (mendidik) artinya memberi

peningkatan.23 Dalam pengertian sempit, McLeod mendefinisikan

pendidikan sebagai perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh

pengetahuan.24 Tardif yang dikutip Syah mendefisikan pendidikan sebagai

seluruh tahapan pengembangan kemampuan dan perilaku manusia dan

proses penggunaan pengalaman kehidupan.25 Nedle dalam Tilaar

mengartikan pendidikan adalah proses belajar mempersiapkan individu

untuk pekerjaan yang berbeda pada masa yang akan datang.26

M. Chabib Thoha menyatakan bahwa untuk memahami pengertia

npendidikan dengan benar, pendidikan perlu dibedakan menjadi dua

23

John M. Echols dan Hassan Shadily Kamus Inggris Indoensia (Jakarta: PT Gramedia, 2005), h. 205

24

William T McLoad, (edt.), The New Collins Dictionary and Thesaurus ( Glasgow: William Collins Sons and Co.Ltd., 1989).

25

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru (Bandung: Rosdakaya, 2008), h.10

26

(41)

pengertian yaitu pengertian yang bersifat teoritis dan pengertian pendidikan

dalam arti praktis.27 Menururtnya, pendidikan dalam arti pertama adalah

pemikiran manusia terhadap masalah-masalah kependidikan untuk

memecahkan dan menyusun teori-teori baru dengan mendasarkan pada

pemikiran normative spekulatif rasional empirik, rasional filosofik maupun

historic filoisofik.28

Pendidikan dalam arti praktis para ahli pendidikan merumuskan

secara bervariasi.

a. Menurut Goerge F. Kneller.

Education is the Process of self realization. In which the self realizesand develops all its parentialitles.”29 Artinya : “Pendidikan dalam realisasi diri dimana (pribadi Individu) merealisasikan dan

mengembangkan semua potensi-potensinya”. b. Menururt Frederick J. McDonald

Education is a process aran activity which is directed at producing desirable changes in the behavior of human being.” Artinya: pendidikan adalah suatu prosews atau aktivitas yang secara langsung

diharapkan dapat menghasilkan bisa menghasilkan perubahan tingkah

laku.30

27Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1996), hlm. 98. 28Ibid, hlm. 23 29

Goerge F. Kneller, Logic and Language Of Education John And Willey Ine, (New York, 1996), hlm. 14-15.

30 Frederick J. Mc Donald, Educational Pshycology Wods Worrth Publishing

Company

(42)

c. Menurut John Dewey

Etimologycall the world education means just a proccess of leading or bringing of. When we have the out come of the process in

mind we speakz of education as shaping, forming, molding activity that

is, a shaping into the standart from of social activity.”31 Artinya, secara etimologi, kata pendidikan hanya berarti suatu proses memimpin atau

mengasuh, jika kita telah menghsilkan proses kejiwaan, kita katakan

bahwa pendidikan adalah proses pembentukan pembinaan, dan

percetakan aktivitas, yakni pembentukan ke dalam bentuk standar dari

aktivitas sosial.

Menurut Chabib Thoha, Pendidikan dalam arti praktek atau

“suatu proses pemindahan pengetahuan ataupun pengembangan

potensi-potensi yang dimiliki subjek didik untuk mencapai

perkembangan secara optimal serta membudayakan manusia melalui

proses tranformasi nilai-nilai yang utama.”32

Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas dapat disimpulkan

bahwa pendidikan merupakan suatu proses pengembangan pribadi

dalam semua aspek-aspeknya. Atau dapat juga diartikan sebagai suatu

proses pengembangan pribadi dalam semua aspek-aspeknya untuk

merealisasikan manusia yang berbudi luhur.

31

John Dewey, Democratic And Education, (New York: The Macmillian Company, 1964), hlm. 10

32

(43)

Pelatihan adalah suatau kegiatan untuk memperbaiki kemampuan

kerja seseorang dalam kaitannya dengan aktivitas tertentu.33 Dessler

mengartikan pelatihan sebagai proses pembelajaran.34 Donaldson dan

Scannel memaknai pelatihan sebagai upaya perubahan perilaku. 35

menurutnya pendikan dan pelatihan harus diorganisir agar dapat

mengantarkan perubahan perilaku peserta pelatihan.

Jucius dalam Bernardin menyatakan bahwa pendidikan dan

pelatihan digunakan untuk menunjukkan setiap proses, dimana bakat,

kecakapan dan kemampuan para pegawai dikembangkan agar mereka

dapat menyelsaikan pekerjaan tertentu. Kemudian Bernardin menyebutkan

secara ideal bahwa pelatihan harus disesuaikan dengan keinginan

mewujudkan dan mencapai tujuan organisasi.36

Pelatihan bagi Bosker adalah suatu kegiatan pembelajaran yang

terprogram dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan dan

keterampilan peserta.37 Makna kemampuan dan keterampilan di sini tidak

hanya sekadar ranah psikomotorik, namum juga meliputi aspek

kemampuan dan keterampilan yang utuh. Termasuk dalam makna

kemampuan di sini adalah kecerdasan majemuk (multiple intelegencies)

dan aspek-aspek psikologis lain, seperti motivasi kerja, kecerdasan sosial,

kecerdasan emosional, dan sebagainya yang dapat dikembangkan melalui

pelatihan.

33

Ranupanjoyo dan Husnan, Manajemen Personalia (Yogyakarta: BPFE, 1995), h.77

34

Gary Deseler, Personal Management, Ter. Agung Dharma (Jakarta: Erlangga, 1997), h.266

35

Donaldson dan Scannel, Human Resources Development, terj.Ya’kub (Jakarta: Gaya Media

Pratama, 1993), h.7

36

Bernardin, Human Resources Management (Jakarta: Mc. Graw-Hill Inc., 1993), h.297

37

(44)

Menurut Brown, pelatihan merupakan salah satu kegiatan pokok

dalam pengembangan sumberdaya manusia.38 Hal ini karena kondisi dan

tuntutan lingkungan yang selalu berubah, serta perkembangan ilmu dan

teknologi, menyebabkan organisasi atau lembaga harus selalu

menyesuaikan diri. Untuk itu sumberdaya manusia yang ada dalam

organisasi harus selalu ditingkatkan kemampuannya. Sebagian besar

kegiatan pengembangan sumberdaya manusia dilakukan melalui program

pelatihan.

Pelatihan menurut Wexley dan Yukl adalah suatu proses di mana

pegawai mempelajari keterampilan, pengetahuan, sikap, dan perilaku yang

diperlukan guna melaksanakan pekerjaannya secara efektif.39 Sementara

menurut Amstrong, pelatihan adalah kegiatan untuk mengisi kesenjangan

antara apa yang dapat dikerjakan seseorang dan siapa yang seharusnya

mampu mengerjakannya, agar secepat mungkin pegawai dapat mencapai

suatu tingkat kemampuan kerja dalam jabatan mereka, dan menambah

keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk memperbaiki prestasi

dalam jabatan yang sekarang atau mengembangkan potensinya untuk

masa yang akan datang.40

Berpijak pada beberapa pengertian di atas, maka pengertian

pendidikan dan pelatihan dalam penelitian ini adalah kegiatan yang

dilakukakan untuk membina kepribadian, meningkatkan dan

38

M. J. Brown, The Effectiveness Of Organization, (California, Fearon, Belmont California, 1999), p: 26

39

Kenneth Wexley dan Gary A Yukl, Organizational Behavior and personal Psychology, (Ontorio, Richard D. Irwan. Inc, 1997), p: 301

40

(45)

mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan karyawan dalam

bekerja.

Pelaksanaan diklat sangat beragam jenis program dan model yang

digunakan. Berikut adalah dua model diklat yang biasa dilakukakan dalam

berbagai kegiatan.

2. Competence Based Education and Training (CBET)

Competence Based Education Training (Pendidikan dan Pelatihan

Berbasis Kompetensi) merupakan suatu proses pendidikan dan pelatihan

yang dirancang untuk mengembangkan kemampuan dan ketrampilan

secara khusus, untuk mencapai hasil kerja yang berbasis target kinerja

(performance target) yang telah ditetapkan. Target kinerja yang dimaksud

adalah kompetensi. Artinya, pendidikan dan pelatihan yang diperuntukkan

bagi sumberdaya bukan sekedar membentuk kompetensi, tetapi

kompetensi tersebut harus relevan dengan tugas dan jabatannya. Dengan

kata lain, kompetensi itu secara langsung dapat membantu di dalam

melaksanakan tugas sehari-hari dari sumber daya tersebut.

Makna kompetensi secara umum menurut Anderson adalah

sebagai sebagai karakteristik dasar yang terdiri dari kemampuan (skill),

pengetahuan (knowledge) serta atribut lainnya yang mampu membedakan

seseorang yang perform dan tidak perform. Berdasarkan pengertian

tersebut diatas, kompetensi dipandang sebagai alat penentu untuk

(46)

Senada dengan pengertian tersebut, Mulyasa41 menjelaskan bahwa

kompetensi merupakan indikator yang menunjuk pada perbuatan yang bisa

diamati dan sebagai konsep yang mencakup aspek–aspek pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap serta tahap–tahap pelaksanaannya secara utuh.

Bagi Spencer dan Spencer kompetensi adalah karakteristik yang

mendasari seseorang dan berkaitan dengan efektifitas kinerja individu

dalam pekerjaannnya.42 Kompentensi seorang individu merupakan sesuatu

yang melekat dalam dirinya yang dapat digunakan untuk memprediksi

tingkat kinerjanya. Sesuatu yang dimaksud bisa menyangkut motif, konsep

diri, sifat, pengetahuan maupun kemampuan/keahlian. Kompentensi

individu yang berupa kemampuan dan pengetahuan bisa dikembangkan

melalui pendidikan dan pelatihan.

Selanjutnya menurut Spencer dan Spencer kompetensi dapat

dibagi atas 2 (dua) kategori yaitu threshold competencies dan differentiating

compentencies. Threshold competencies adalah karakteristik utama yang

harus dimiliki oleh seseorang agar dapat melaksanakan pekerjaannya.

Tetapi tidak untuk membedakan seorang yang berkinerja tinggi dan

rata-rata. Sedangkan differentiating competiencie adalah factor-faktor yang

membedakan individu yang berkinerja tinggi dan rendah.43 Misalnya

seorang dosen harus mempunyai kemampuan utama mengajar, itu berarti

41

E. Mulyasa, Dr., M.Pd., Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2007), h. 88

42

M.Lyle Spencer and M.Signe Spencer , Competence at Work:Models for Superrior Performance (New York: John Wily & Son,Inc,New York,1993), h.120

43

(47)

pada tataran threshold competencies, selanjutnya apabila dosen dapat

mengajar dengan baik, cara mengajarnya mudah dipahami dan analisanya

tajam sehingga dapat dibedakan tingkat kinerjanya maka hal itu sudah

masuk kategori differentiating competencies.

Mengacu pada berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan

bahwa kompetensi yang dimaksud adalah kompetesi yang mencakup

tugas, ketrampilan, sikap dan apresiasi yang harus dimiliki oleh seseorang

untuk dapat melaksanakan tugas-tugas sesuai tugas pokok dan fungsi

sumber daya tersebut.

Kompetensi seseorang dapat berkembang atau meningkat melalui

beberapa cara, seperti melalui pengalaman, belajar sendiri, pendidikan

formal maupun melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) tertentu.

Masing-masing pola perkembangan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan,

namun sebaiknya diperoleh melalui perpaduan dari semua cara tersebut.

Merujuk pada aspek teoritis dan praktis perkembangan kompetensi

yang diperoleh melalui Diklat dapat dikatakan lebih lengkap dan mendalam

dari pada melewati pengalaman. Hal ini karena pada pelaksanaan diklat

dirancang berdasarkan sistem belajar yang terstruktrur yang dibimbing oleh

banyak fasilitator dan penyelenggara. Lain halnya dengan perkembangan

kompetensi yang diperoleh melalui pengalaman, dimana lebih banyak

didasarkan pada kegiatan praktek langsung sebagai respon dari kebutuhan

hidup dimana selama ini sumber daya tersebut tinggal dan bermukim.

Competency Based Education and Training (CBET) merupakan

(48)

manusia yang berfokus pada hasil akhir (outcome). Competency Based

Education and Training (CBET) sangat fleksibel dalam proses kesempatan

untuk memperoleh kompetensi dengan berbagai cara. Hasil Competency

Based Education and Training (CBET) menuntut persyaratan dan

karakteristik tersendiri, khususnya bila diterapkan untuk diakui secara

nasional. Hal ini berbeda dengan pendidikan dan pelatihan yang pada

umumnya dilakukan (tradisional) yang berfokus pada masukan (input),

proses, dan keluaran (output) yang sangat bervariasi dan bisa jadi tidak

sesuai dengan standar kebutuhan pekerjaan / tugas.

Tujuan Competency Based Education and Training (CBET) adalah

agar peserta didik dan latih mampu mengerjakan tugas dan pekerjaan

sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Secara khusus, tujuan utama

Competency Based Education and Training (CBET) adalah menghasilkan

kompetensi dalam menggunakan ketrampilan yang ditentukan untuk

pencapaian standar pada suatu kondisi yang telah ditetapkan dalam

berbagai pekerjaan dan jabatan.

Penelusuran (penilaian) kompetensi yang telah dicapai dan

sertifiikasi. Hasil Competency Based Education and Training (CBET)

hendaknya dihubungkan dengan standar kompetensi yang akan diberikan.

Program pendidikan dan pelatihan didasarkan atas uraian kerja Kebutuhan

multi – skilling Alur karir (career path). Menurut Rylatt 44, terdapat 9 prinsip yang harus diperhatikan dalam Competency Based Education and Training

(CBET):

44

(49)

a) Bermakna.

Praktek terbaik Kompetensi harus merefleksikan kebutuhan utama

bisnis, yang didasarkan atas standar industri / kejuruan yang terbaik.

b) Hasil pembelajaran

Competency Based Education and Training (CBET) lebih difokuskan

pada hasil pembelajaran, bukan pada penyampaian pendidikan dan

pelatihan.

c) Fleksibel

Competency Based Education and Training (CBET) dapat dilakukan

dengan berbagai cara dan metode, baik yang bersifat formal maupun

informal.

d) Mengakui pengalaman belajar sebelumnya.

Competency Based Education and Training (CBET) mengakui

pengalaman belajar yang dimiliki oleh peserta, sehingga mereka tidak

dituntut harus mengikuti pendidikan dan pelatihan sampai akhir. Bila

kemudian peserta mengikuti ujian dan lulus ujian kompetensi maka

mereka berhak memperoleh kelulusan dan kualifikasi.

e) Tidak didasarkan atas waktu.

Competency Based Education and Training (CBET) tidak dibatasi oleh

waktu. Perbedaan kemampuan setiap peserta akan menentukan

(50)

f) Penilaian yang diperlukan.

Competency Based Education and Training (CBET) sangat

memperhatikan kemampuan memperagakan kompetensi sehingga

setiap orang perlu untuk dnilai tingkat kompetensinya.

g) Monitoring dan evaluasi.

Proses ini mutlak diperlukan mulai dari masukan, proses sampai pada

keluaran.

h) Konsistensi secara nasional.

Competency Based Education and Training (CBET) berlandaskan pada

penampilan kompetensi yang secara nasional konsisten dengan

kebutuhan industri sehingga hasilnya seseorang karyawan dapat

dterima di tempat lain dan dapat dipekerjakan secara nasional.

i) Akredetasi pembelajaran

Kurikulum yang digunakan dalam Competency Based Education and

Training (CBET)harus memperoleh pengakuan dari badan / instansi

yang berkompeten.

Sistem Competency Based Education and Training (CBET) dapat

dilakukan dengan berbagai model, salah satu diantaranya adalah Model

Sistem Strategik Competency Based Education and Training (CBET) pada

perusahaan yang dilakukan melalui 5 tahap. Menurut Dubois45, tahap-tahap

tersebut adalah Analisis kebutuhan penilaian dan perencanaan,

Pengembangan Model Kompetensi, Perencanaan Kurikulum, Perancangan

dan Pengembangan Intervensi Pembelajaran, dan Evaluasi.

45

Gambar

Gambar 1: Indikator Kinerja
Tabel 2.1 Dimensi dan Indikator Kinerja
Tabel 2.2. Dimensi dan Indikator Motivasi Kerja
Tabel 3.1. Rancangan Faktorial A x B
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh supervisi akademik, pendidikan dan pelatihan, kompetensi profesional guru, serta motivasi kerja terhadap kinerja

Temuan Tentang Motivasi Kerja, Pendidikan dan Pelatihan di SMP Negeri Se-Kabupaten Karawang dan Kontribusinya Terhadap Kinerja Manajerial Kepala Sekolah.....

adalah sebesar 0,591, yang berarti bahwa terdapat pengaruh motivasi kerja dan pelatihan terhadap kinerja kepala sekolah sebesar 59,10%, sementara sisanya

Kepemimpinan, motivasi kerja, lingkungan kerja secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap Kinerja pegawai Badan Kepegawaian Pendidikan dan

Untuk meningkatkan kinerja pegawainya, pada Balai Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Pekanbaru, pimpinan memberikan motivasi dengan cara memberi arahan dan petunjuk kerja,

Hasil penelitian ini adalah motivasi dan pelatihan secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan dikarenakan adanya pemberian motivasi dan pelatihan

Secara Akademik penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan referensi bagi pihak-pihak yang berkepentingan terutama dalam teori motivasi kerja, pelatihan, kompetensi dan

Wb, Salam sejahtera, Bersyukur kepada ALLAH SWT, penelitian mengenai Pengaruh Beban Kerja, Pelatihan Kerja dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Pegawai pada Dinas Kebudayaan dan