PENGARUH PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BERBASIS
KOMPETENSI (COMPETENCE BASE EDUCATION AND
TRAINING) DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA
PETUGAS SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
Studi
Experimen
pada Satuan Polisi Pamong Praja
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta
AGUS SUTIYONO
No. Reg. 7627070790
Disertasi yang Ditulis untuk Memenuhi Sebagian
Persyaratan dalam Mendapatkan Gelar Doktor
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
ABSTRAK
Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi (Competence Base Education and Training) dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Studi Experimen pada Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta)
Secara operasional penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kinerja antara petugas Satpol PP yang mengikuti model pendidikan dan pelatihan dengan mempertimbangkan motivasi kerja Petugas Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Hasil hipotesis penelitian menunjukkan bahwa: (1) motivasi kerja mempengaruhi kinerja petugas Satpol PP (2) bentuk Pelatihan CBET mempengaruhi kinerja petugas Satpol PP. Ini berarti perbedaan bentuk Pelatihan dalam CBET menentukan variasi atau keberagaman kinerja petugas Satpol PP; (3) interaksi antara model pelatihan dan motivasi kerja menentukan variasi atau keberagaman kinerja petugas Satpol PP; (4) terdapat perbedaan antara Kinerja Petugas Satpol PP yang diberi model pelatihan CBET dan memiliki motivasi kerja tinggi adalah lebih tinggi dari pada kinerja petugas satpol PP yang diberi model pelatihan konvensional dan memiliki motivasi kerja tinggi.
Penelitian dilakukan pada bulan November 2008 sampai dengan April 2009 di Dinas Ketentraman dan Ketertiban (Tramtib) DKI Jakarta dengan penelitian metode quasi eksperimen. Sampel diambil dengan teknik stratified cluster random sampling. Untuk kelompok pelatihan konvensional dan metode CBET ditentukan sampel sejumlah 40 orang, sehingga total sampel adalah 80 orang responden.
ABSTRACT
THE EFFECT OF COMPETENCE BASED EDUCATION AND TRAINING
(CBET) AND WORK MOTIVATION ON CIVIL SERVANTS’ WORKS (An Experimental Study Towards Civil Servants in Jakarta)
Operationally, this research aimed to find out the differences in working of civil servants who join the training and education by considering their work interaction between the training model and the work motivation determine
variations in civil servants’ work; (4) there are differences between the civil
servants who join the CBET training and the civil servants who do not. The civil servants who join the CBET training have higher motivation in working and vise versa.
This reasearch conducted on November 2008 until April 2009 at Dinas Ketentraman dan Ketertiban DKI Jakarta by using quation experiment method. Research samples taken by using stratified cluster random technique. For the members of conventional training and CBET method, 40 people are taken as samples, therefore the total samples are 80 people.
The results finding about Competence Based Education and Training
(CBET) and work motivation toward civil servants’ work show first, the work of civil servants that join CBET training are higher than civil servants’s work that join
a conventional training, with Fcounting 305,6247, higher than 7,01 Ftable with 0,01 signification (Fcounting = 305,6247 > Ftable (0,01)(1;76) = 7,01). Second, there is an
influence between the training model and work motivation towards civil servants’
work with Fcounting 4,3907 which is higher than 3,97 Ftabel with 0,05 signification level (Fcounting= 4,3907 > Ftable (0,05)(1;76) = 3,97. Third, the work of civil servants that join CBET training and have higher motivation in working, are higher than civil
servants’s work that join a conventional training with high motivation in working,
with Fcounting 119,8039 > Ftablel (0,01)(1;38) = 7,35). Fourth, the work of civil servants who join CBET training and have low motivation in working is still higher than the work of civil servants who join the conventional training with low motivation too, with 105,769 which is higher than 7,35 Ftable with 0,01 signification (Fcounting = 105,769 > Ftable (0,01)(1;38) = 7,35).
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan kepada ALLAH yang telah
melimpahkan hamat dan hidayah-Nya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.
Disertasi ditulis sedagai syarat untuk menempuh ujian dan memperoleh gelar
doktor di Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.
Sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih atas selesainya
disertasi ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga
kepada Prof. Dr. Made Putrawan, M.Pd selaku promotor utama dalam penulisan
disertasi, beliau telah menginspirasi saya untuk dapat berbuat yang terbaik
dalam displin ilmu yang saya tekuni. Jadilah terus inspirator untuk kesuksesan
dan kebahagiaan orang lain. Kepada Prof. Dr. Bedjo Sujanto, M.Pd, Rektor
Universitas Negeri Jakarta yang bukan hanya menjadi Co promotor dalam
menyelesaikan studi ini tetapi juga motivator dan postur yang membakar
semangat dan antusias saya untuk saya dapat menyelesaikan program S3 ini.
Beliau selalu menjadi penyemangat dalam begitu banyak hal dalam kehidupan
saya. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Djaali, Direktur
PPs UNJ, yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan yang amat
berharga bagi penulis. Kepada Prof. Dr. Mukhlis R. Luddin, MA, penulis
sampaikan terima kasih atas bantuan dan arahannya yang amat berharga dalam
penyelesaian disertasi ini.
Terima kasih kepada Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi DKI Jakarta
atas kerja samanya sehingga pengambilan data penelitian dapat berjalan
khususnya kepada bapak H. Harianto Badjoeri, selaku kepala Satpol PP Provinsi
DKI Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melakukan penelitian dijajarannya.
Ayahku (Bapak Karnomo Alm,), Nenek ku (Biyung), Ibu ku, Istriku dan
Anakku yang selalu memberi warna dan jejak yang jelas dalam pengabdian
terbaik untuk masyarakat. Gelar ini penulis dedikasikan untuk perjuangan yang
Nenek/Bapak/Ibu/Istri dan anak yang telah mendukung dengan sabar, tekun
sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan baik. Begitu banyak
teman, sahabat yang terus menginspirasi penulis untuk terus dapat melakukan
yang terbaik dalam perjalanan hidup ini.
Dr.Karnadi, M,Si, Dr.Maruf Akbar, Prof.Dr.Mulyono,M.Pd terima kasih
atas semua support yang Bapak berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
disertasi ini. Tuhan telah mengirimkan semua orang-orang yang selalu
memberikan penulis semangat untuk memberikan yang terbaik. Kepada semua
pihak yang sangat intens memberikan support penulis sampaikan terima kasih,
ALLAH Maha Penyayang yang akan memberikan dan membalas semua
kebaikan yang telah dilakukan.
Jakarta, Januari 2010
DAFTAR ISI
BAB II ACUAN TEORITIK, DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Kerangka Teori B. Hasil Penelitian yang relevan
C. Kerangka Berfikir C. Metode dan Desain Penelitian
G. Teknik Analisis Data
BAB IV KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
DAFTAR TABEL
TABEL KETERANGAN HAL
Tabel 2.1 Dimensi dan Indikator Kinerja 29
Tabel 2.2 Dimensi dan Indikator Motivasi Kinerja 55
Tabel 3.1 Rancangan Faktorial A x B 66
Tabel 3.2. Sampel Penelitian 68
Tabel 3.3. Kisi-Kisi Instrumen Penelitian 71
Tabel 3.4 Skala Likert 73
Tabel 3.5 Hasil Uji Validitas Instrumen Motivasi Kerja 74
Tabel 3.6 Hasil Uji Validitas Instrumen Kinerja 76
Tabel 3.7 Hasil Analisis Reliabilitas 77
Tabel 3.8 Hasil Analisis Reabilitas 78
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi skor Model Competence based
Education and Training petugas satpol PP (A1)
81
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi skor Model Pelatihan
Konvensional petugas satpol PP (A2)
83
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (B1)
84
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Skor Motivasi Kerja Petugas
Satpol PP yang memiliki Motivasi Kerja Rendah
(B2)
86
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja
TABEL KETERANGAN HAL
Tinggi (A1B1).
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A1B2).
89
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensionalyang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A2B1)
90
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A2B2)
91
Tabel 4.9 Rekapitulasi Deskripsi Data Rata-Rata Model
Pelatihan dan motivasi kerja terhadap kinerja
petugas satuan polisi pamong praja
93
Tabel 4.10 Tests of Normality 96
Tabel 4.11 Rekapitulasi Deskripsi Uji Normalitas Kinerja Petugas Satpol Pp Berdasarkan Model Pelatihan Dan Motivasi Kerja.
97
Tabel 4.12 Test of Homogeneity of Variances 98
Tabel 4.13 ANOVA 98
Tabel 4.14 Test of Homogeneity of Variances 100
Tabel 4.15 ANOVA 100
Tabel 4.16 Test of Homogeneity of Variances 101
TABEL KETERANGAN HAL
Tabel 4.18 Tests of Between-Subjects Effects 103
Tabel 4.19 Perbandingan Skor Rata-rata Kinerja Petugas Satpol PP
DAFTAR GAMBAR
Gambar Keterangan Hal
Gambar 2.1 Indikator Kinerja 24
Gambar 4.1 Skor Model Competence based Education and Training
petugas satpol PP (A1)
82
Gambar 4.2 Skor Model KonvensionalPetugas Satpol PP (A1) 83
Gambar 4.3 Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP
yang memiliki Motivasi Tinggi (B1)
85
Gambar 4.4 Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP
yang memiliki Motivasi Rendah (B2)
86
Gambar 4.5 Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A1B1)
88
Gambar 4.6 Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training
yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A1B2).
89
Gambar 4.7 Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan
Konvensionalyang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A2B1).
91
Gambar 4.8 Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan
Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A2B2).
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Memasuki era otonomi daerah tahun 2003, terjadi perbagai perubahan
mendasar dalam kehidupan masyarakat. Arus perubahan yang tidak menentu
menjadikan masyarakat kehilangan pijakan, sehingga memunculkan berbagai
kecenderungan pelanggaran tatanan hidup kemasyarakatan. Mengantisipasi hal
tersebut peran tugas dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan khususnya
penatalaksana penegakan hukum dan ketertiban, diharapkan mampu
mengantisipasi perubahan dimaksud sesuai dengan amanat Undang-Undang
Pemerintah Daerah Nomor 22 Tahun 1999, Pasal 120 yang mengatur tentang
keberadaan petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).1
Pengarusutamaan Satpol PP ditekankan pada upaya dalam membina
ketenteraman ketertiban masyarakat (tramtibmas), memberi peringatan dini dan
penanggulangan pemeliharaan tramtibmas. penegakan peraturan daerah (perda)
yang harus ditaati oleh semua pihak dengan kewenangan prosedural. Upaya ini
diwujudkan dalam bentuk sistem perlindungan masyarakat, dimana kepentingan
masyarakat sebagai hal yang utama. Kepentingan utama dimana pendekatan
pengayoman, pencegahan, pembinaan hingga penindakan atas pelanggaran
peraturan yang berlaku dalam masyarakat.
1
Menatalaksanakan tugas-tugas atas kewenangan tersebut, Satpol PP
selalu berpijak pada protab dalam sistem yang telah baku dimana mengikat
keberadaan dari Satpol PP untuk bertindak dalam kerangka kewenangan
prosedural yang harus jelas dan terukur. Kerangka yang menjadi pijakan bagi
petugas untuk mejalankan tugas pelayanan sehari-hari.
Keberadaan Satpol PP di DKI Jakarta, saat ini diperkirakan lebih 8.000
personel terdiri dari laki-laki dan perempuan yang tersebar di lima wilayah yaitu:
Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Jakarta Barat2.
Hanya saja yang sudah ditetapkan secara resmi dalam Surat Keputusan
Gubernur DKI Jakarta sampai dengan tahun 2003 belum ada separuhnya,
sehingga belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Suatu jumlah yang
sangat tidak memadai untuk melakukan layanan perlindungan dan upaya
penegakan peraturan daerah. Dimana perbandingan idealnya adalah 1:900,
untuk menjangkau luas wilayah DKI 661,260Km2 dengan kuantitas penduduk
diperkirakan 12.000.000 jiwa.3
Memenuhi harapan masyarakat atas upaya perlindungan dan
ketertiban, merupakan tantangan tersendiri bagi kelembagaan Satpol PP,
khususnya aparat/petugas satpol PP itu sendiri dalam memenuhi tugas pokok
dan fungsinya. Dimana perlu didukung oleh kualitas sumber daya optimal,
anggaran operasional dan sarana prasarana aparat Satpol PP yang memadai.
Sumber daya manusia, anggaran operasional dan sarana prasarana
aparat memiliki sisi lemah terutama berkenaan dengan kemampuan skill dan
2
Berita Jakarta.Com, Media On Line DKI Jakarta, Jakarta 26.09.2007, diunduh 15 Maret 2009.
3
manajerial khususnya pemahaman, pendalaman pengetahuan indikator aspek
hukum dalam menjalankan tugas-tugas di lapangan. Faktor-faktor penyebab
utamanya adalah minimnya kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh
petugas Satpol PP. Ketersediaan sumber daya manusia yang maksimal belum
dapat dipenuhi dalam sistem perekrutan aparat. Belum adanya standar layanan
minimal sampai dengan saat ini menyulitkan ruang gerak petugas Satpol PP.
Sistem tata kerja kelembagaan yang ada masih belum sinergis dari hulu hingga
hilir, dimana menempatkan petugas Satpol PP sebagai ujung tombak dalam
menyelesaikan suatu permasalahan pada sisi hilirnya, tanpa pelibatan proses
sejak awal.
Kurangnya alokasi rutin yang dianggarkan oleh Anggaran
Pembangunan Belanja daerah (APBD), operasionalisasi kegiatan lebih bersifat
projektif, akibatnya sarana dan prasarana yang bersifat fasilitas keperluan dinas
belum memadai. Petugas Satpol PP pada umumnya memiliki status
kepegawaian yang masih bersifat honorer dengan gaji di bawah Upah Minimum
Regional (UMR) nasional.
Tugas operasional lapangan dan penetapan sanksi masih menjadi
kendala bagi petugas Satpol PP. Hambatan pelaksanaan tugas aparat Satpol PP
di luar anggaran rutin umumnya pada pelaksanaan tugas penertiban, terutama
masih banyaknya oknum tertentu yang melindungi pelaku-pelaku pelanggar
Perda yang kebanyakan pada sektor hiburan malam dan prostitusi. Sementara
itu penerapan sanksi yang bersifat pemaksaan terkendala oleh aturan hukum
akibat otoritas yang terbatas khususnya menyangkut sanksi penangkapan,
Berkaitan dengan kesulitan tugas di lapangan, tugas aparat satpol PP
dilapangan perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah daerah. Selain
pengetahuan tentang hukum Dinas Tramtib, petugas juga harus dibekali dengan
pengetahuan yang luas tentang masalah kemasyarakatan termasuk di dalamnya
kemampuan penanggulangan penyakit masyarakat (patologi sosial) seperti
masalah alkoholisme, kenakalan remaja, miras, gelandangan, dan pelacuran.
sehingga ungkapan ketidaktahunan tentang berbagai fenomena sosial di dalam
masyarakat terutama di kota yang menjadi wilayah tugasnya dapat dihindari dan
diantisipasi dengan tepat.
Petugas Satpol PP bukan hanya semata merupakan kekuasaan belaka.
Namun lebih sebagai pengayom, pencegah maupun penegak perlindungan dan
ketertiban. Petugas satpol PP dituntut untuk dapat melindungi masyarakat dari
kekerasan yang berujung pada pelanggaran HAM. Tingkat kemajuan masyarakat
yang tinggi diiringi dengan kecenderungan munculnya segala bentuk
ketidakadilan, kesenjangan dan distorsi. Sehingga bila harapan masyarakat tidak
dapat dipenuhi, tersalurkan dan terselesaikan secara memadai, akan dapat
menyebabkan gejolak emosional, kerusuan sosial dan gangguan ketentraman
dan ketertiban masyarakat. Berbagai kecenderungan tersebut memunculkan
krisis kepercayaan dan mengakibatkan menurunnya kewibawaan pemerintah.
Sehingga respon dalam menangkal berbagai friksi sosial yang terjadi di
masyarakat menjadi sangat rendah.
Masyarakat tidak dapat begitu saja menyerahkan sepenuhnya upaya
pemenuhan keamanan, perlindungan dan ketertiban pada petugas Satpol PP.
menyelenggarakan upaya perlindungan dan ketertiban dengan cara mematuhi
segala ketentuan yang ada, memberikan masukan dalam pembuatan kebijakan
dan mengontrol atas pelaksanaan kebijakan tersebut. Karena keamanan dan
ketertiban pada dasarnya adalah merupakan tanggung-jawab bersama antara
masyarakat dan pemerintah.
Kebersamaan yang sinergis antara masyarakat dan pemerintah
menjadikan petugas Satpol PP lebih bersemangat dan bertanggung jawab dalam
penegakan perda. Satpol PP sebagai satuan organisasi perlu memilliki
kemampuan untuk menggerakkan, mengerahkan dan mengarahkan segala daya
dan potensi sumber daya secara optimal. Kemampuan tersebut dapat diperoleh
melalui pendidikan dan pelatihan. Pendidikan dan pelatihan yang terfokus pada
peningkatan kompetensi yang semestinya dimiliki oleh setiap petugas untuk
dapat lakukan tugas tanggung jawab dan fungsinya sebagai pengayom
masyarakat. Melalui assesment dari hulu sampai hilir, didukung pendidikan dan
pelatihan yang berbasis kompetensi akan mengarahkan seseorang pada
kemampuan standart, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada persesuaian
kompetensi terhadap kebutuhan pengembangan organisasi.
Kebutuhan akan pengembangan diri dan organisasi dapat dimotivasi
dari diri sendiri, dengan upaya memperoleh kebebasan dan otonomi untuk
menumbuhkan semangat kerja. Pimpinan yang tanggap akan dapat mengetahui
motivasi dari bawahannya, sehingga dapat membuka jalan menuju produktivitas
kerja yang diharapkan organisasi. sehingga akan mendorong motivasi, semangat
kerja dan meningkatkan prestasi dan produktivitas kerja, serta meningkatkan
kelompok dalam organisasi menurut ukuran atau batasan-batasan yang
ditetapkan.
Motivasi dapat ditempatkan sebagai bagian yang fundamental dari
kegiatan manajemen. Seseorang yang termotivasi dalam melakukan
pekerjaannya, maka dengan sendirinya kinerja seseorang tersebut dengan
sendirinya akan meningkat juga. Memenuhi harapan tersebut, kinerja petugas
satpol PP perlu didukung oleh kualitas sumber daya manusia yang memadai.
Kualitas sumber daya manusia dapat ditingkatkan melalui pendidikan dan
pelatihan yang baik. Salah satunya adalah melalui Competency Based Education
and Training (CBET).
Melalui Competency Based Education and Training (CBET) diharapkan
dapat meningkatkan motivasi petugas Satpol PP dan meingkatkan kinerja dalam
menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak perlindungan dan ketertiban.
Motivasi yang ada pada petugas satpol PP harus senantiasa dipacu, karena
tanpa motivasi kerja yang tinggi yang dilakukan oleh organisasi belumlah
optimal. Masih perlu ditingkatkan agar memberikan kinerja yang baik dilapangan.
Kinerja yang baik tentunya harus ditunjang oleh kualitas SDM yang baik.
Sehingga dipandang perlu untuk meningkatkan kompetentisi petugas satpol PP.
Sehingga dapat diketahui sejauhmana Competency Based Education and
Training (CBET) dan motivasi berpengaruh terhadap peningkatan kinerja.
B. Identifikasi Masalah
Mengacu pada konsep otonomi daerah yang diamanatkan Undang
Undang No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah. Pasal 120
menekankan pada keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), yang
bertugas membina ketenteraman ketertiban masyarakat, memberi peringatan
dini, pemeliharaan, penanggulangan, dan penegakan peraturan daerah (perda)
yang harus ditaati oleh semua pihak dengan kewenangan prosedural dimana
mengacu pada kepentingan terbaik untuk masyarakat.
Mengacu pada pemahaman diatas, maka penelitian dapat diidentifikasi
sebagai berikut:
1. Bagaimana mengembangkan kualitas sumber daya petugas Satpol PP?
2. Bagaimana strategi yang dapat digunakan dalam mengembangkan kualitas
sumber daya petugas Satpol PP?
3. Pendekatan apa saja yang dapat digunakan dalam mengembangkan kualitas
sumber daya petugas Satpol PP?
4. Bagaimana meningkatkan kinerja petugas Satpol PP?
5. Bagaimana strategi yang dapat digunakan dalam meningkatkan kualitas
kinerja petugas Satpol PP?
6. Pendekatan apa saja yang dapat digunakan dalam meningkatkan kualitas
kinerja petugas Satpol PP?
7. Bagaimana mengembangkan motivasi petugas Satpol PP dalam
melaksanakan tupoksinya?
8. Bagaiman strategi yang dapat digunakan dalam pengembangan motivasi
9. Pendekatan apa saja yang dapat digunakan dalam mengembangkan motivasi
kerja petugas Satpol PP?
10. Bagaimana pengaruh pendekatan competency-based education and training
(CBET) terhadap peningkatan kinerja petugas Satpol PP ?
11. Bagaimana pengaruh pendekatan competency-based education and training
(CBET) terhadap pengembangan motivasi petugas Satpol PP ?
12. Bagaimana pengaruh pendekatan Competency-based Education and Training
(CBET) terhadap peningkatan kinerja petugas Satpol PP perempuan ?
13. Bagaimana pengaruh pendekatan competency-based education and training
(CBET) terhadap pengembangan motivasi petugas Satpol PP perempuan ?
14. Apakah terdapat korelasi antara pendekatan Competency-based education
and training (CBET), terhadap pengembangan motivasi petugas Satpol PP
perempuan ?
C. Pembatasan masalah
Masalah dalam penelitian ini dibatasi pada pembahasan tentang pengaruh
motivasi dan pelatihan terhadap kinerja petugas Satpol PP didalam lingkup
Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
D. Perumusan Masalah
Dari identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka dalam penelitian
1. Apakah terdapat perbedaan kinerja antara petugas satpol PP yang mengikuti
model pelatihan Competency Based Education and Training (CBET) dengan
model pelatihan konvensional ?
2. Apakah terdapat pengaruh interaksi antara model pelatihan dengan motivasi
kerja terhadap kinerja petugas satpol PP ?
3. Apakah kinerja petugas Satpol PP yang memiliki motivasi kerja tinggi dan
mengikuti pelatihan model Competency Based Education and Training
(CBET) lebih tinggi dibandingkan kinerja satpol PP yang memiliki motivasi
tinggi dan mengikuti pelatihan konvensional ?
4. Apakah kinerja petugas Satpol PP yang memiliki motivasi kerja rendah dan
mengikuti model pelatihan konvensional lebih tinggi daripada kinerja petugas
satpol PP yang memiliki motivasi rendah dan mengikuti Competency Based
Education and Training (CBET)?
E. Kegunaan hasil penelitian
Penelitian ini baik secara teoritis maupun praktis mempunyai berbagai
manfaat sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritik
Hasil penelitian dapat dijadikan landasan untuk menyusun konsep dan
strategi baru dalam pengembangan pendidikan dan pelatihan petugas
satpol PP guna mempersiapkan personil SDM yang memadai dalam
2. Kegunaan Praktis
Penelitian yang dilakukan di Dinas Satpol PP provinsi DKI ini
diharapkan dapat memberikan masukkan atau rekomendasi khususnya
kepada pihak manajemen dalam peningkatan kompetensi petugas Satpol
PP yang lebih baik di masa yang akan datang dengan mengutamakan
BAB II
KERANGKA TEORITIK DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
Acuan teori yang merupakan landasan konseptual dalam penelitian
menekankan pada kajian tentang kinerja, model pendidikan dan pelatihan, serta
motivasi petugas Satpol PP.
A. Kinerja
1. Pengertian Kinerja
Satpol PP merupakan perangkat aparat pelaksana layanan
perlindungan dan penegak hukum dalam konteks institusi ketenteraman
dan ketertiban (tramtib) di lingkungan dimana ditugaskan. Kinerja Satpol PP
mengacu pada tugas pokok dan fungsinya sebagai pembina ketenteraman
ketertiban masyarakat (tramtibmas), pemberi layanan perlindungan,
pemberi peringatan dini dan penanggulangan pemeliharaan tramtibmas,
dan penegak peraturan daerah (perda). Secara keseluruhan ruang
geraknya dijiwai untuk kepentingan terbaik bagi masyarakat, dan sesuai
dengan tatanan nilai yang berlaku dalam masyarakat secara umum.
Tuntutan tugas aparat Satpol PP yang bagitu luas ini tentu merupakan
suatu beban kerja tersendiri. Kuantitas beban kerja yang demikian berat
tentunya merupakan permasalahan kinerja yan spesifik bagi aparat satpol
PP.
Karena tentunya suatu organisasi, dalam hal ini Satpol PP sangat
telah ditentukan untuk mencapai tujuan. Mewujudkan pencapaian tujuan
tersebut harus ditopang oleh semangat dan kegairahan kerja pegawai. Oleh
karena itu organisasi atau instansi perlu mengetahui berbagai kelemahan
dan menguatkan kelebihan. Suatu hal yang lumrah mengetahui
kekurangan, hal ini diperlukan guna meningkatkan produktivitas dan
pengembangan pegawai. Menjawab kebutuhan tersebut, perlu dilakukan
kegiatan penilaian kinerja secara periodik yang berorientasi pada masa lalu
atau masa yang akan datang bagi para petugas Satpol PP.
Kinerja merupakan implementasi dari rencana yang telah disusun
dengan mengedepankan kapasitas sumber daya. Implementasi kinerja
dilakukan oleh sumber daya manusia yang memiliki kemampuan,
kompetensi, motivasi, dan kepentingan. Bagaimana organisasi menghargai
dan memperlakukan sumberdaya manusianya akan mempengaruhi sikap
dan perilaku sumber daya tersebut dalam menjalankan kinerja.
Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan
kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan, konsumen, dan
memberikan kontribusi pada ekonomi sehingga seseorang berupaya untuk
melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut.
Kinerja harus dapat diejawantahkan sebagai apa yang dikerjakan dan
bagaimana cara mengerjakannya.
Fremont dalam internet Journal (2000) memberikan konsep umum
tentang prestasi adalah kinerja = f (kesanggupan, usaha dan kesempatan).
Persamaan ini menampilkan faktor atau variabel pokok yang menghasilkan
menentukan hasil usaha perorangan dan kelompok. Kesanggupan (ability)
adalah fungsi dari pengetahuan dan skill manusia dan kemampuan
teknologi. Ia memberikan indikasi tentang berbagai kemungkinan prestasi.
Usaha (effort) adalah fungsi dari kebutuhan. Sasaran, harapan dan
imbalan. Besar kemampuan terpendam manusia yang dapat direalisir itu
bergantung pada tingkat motivasi individu dan/atau kelompok untuk
mencurahkan usaha fisik dan mentalnya. Tetapi tak akan ada yang terjadi
sebelum manajer memberikan kesempatan (opportunity) kepada
kesanggupan dan usaha individu untuk dipakai dengan cara-cara yang
bermakna. Prestasi organisasi adalah hasil dari sukses individu dan
kelompok dalam mencapai sasaran yang relevan.
Pada organisasi atau unit kerja di mana input dapat teridentifikasi
secara individu dalam bentuk kuantitas misalnya pabrik jamu, indikator
kinerja pekerjaannya dapat diukur dengan mudah, yaitu banyaknya output
yang dicapai dalam kurun waktu tertentu. Namun untuk unit kerja kelompok
atau tim, kinerja tersebut agak sulit, dalam hubungan ini Simamora4 (1995 :
132) mengemukakan bahwa kinerja dapat dilihat dari indiktor-indikator
sebagai berikut : 1) keputusan terhadap segala aturan yang telah
ditetapkan organisasi, 2) Dapat melaksanakan pekerjaan atau tugasnya
tanpa kesalahan (atau dengan tingkat kesalahan yang paling rendah), 3)
Ketepatan dalam menjalankan tugas.
4
Ukuran kinerja secara umum yang kemudian diterjemahkan ke
dalam penilaian perilaku secara mendasar meliputi: (1) kualitas kerja; (2)
kuantitas kerja; (3) pengetahuan tentang pekerjaan; (4) pendapat atau
pernyataan yang disampaikan; (5) keputusan yang diambil; (6)
perencanaan kerja; (7) daerah organisasi kerja.
Masalah kinerja selalu mendapat perhatian dalam manajemen
karena sangat berkaitan dengan produktivitas lembaga atau organisasi.
Sehubungan dengan itu maka upaya untuk mengadakan penilain kinerja
merupakan hal yang sangat penting.
Kinerja mempunyai hubungan yang erat dengan masalah
produktivitas, karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana
usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu
organisasi. Jadi untuk mendapatkan gambaran tentang kinerja seseorang,
maka perlu pengkajian khusus tentang kemampuan dan motivasi.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi kinerja adalah kemampuan dan
kemauan. Memang diakui bahwa banyak orang mampu tetapi tidak mau
sehingga tetap tidak menghasilkan kinerja. Demikian pula halnya banyak
orang mau tetapi tidak mampu juga tetap tidak menghasilkan kinerja
apa-apa.
Senada dengan pemahaman diatas, Mangkunegara berpendapat
bahwa kinerja merupakan istilah yang berasal dari kata job performance
dicapai seseorang)5. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kinerja karyawan
(prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang
dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai
dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pendapat serupa juga
disampaikan oleh Irawan yang mengemukakan bahwa kinerja merupakan
satu-satunya petunjuk yang dapat kita percayai untuk menyimpulkan
apakah suatu organisasi, unit atau pegawai sukses atau gagal, berprestasi
atau tidak.6
Menurut Hariandja kinerja merupakan hasil kerja yang dihasilkan
oleh pegawai atau perilaku nyata yang dinyatakan sesuai dengan perannya
dalam organisasi atau instansi.7 Sedangkan Husein mendefinisikan kinerja
sebagai hasil kerja yang dicapai seseorang tenaga kerja dalam
melaksanakan tugas dan pekerjaannya yang dibebankan kepadanya.8
Handoko mendefinisikan kinerja adalah hasil kerja yang dicapai
seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya
yang didasarkan atas kecakapan pengalaman dan kesungguhan waktu.9
Sedangkan definisi kinerja menurut Gomes adalah ungkapan seperti out
5
Mangkunegara, Anwar P., Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia, (PT. Refika Aditama, Bandung: 2005), hlm. 9.
6
Irawan, Prasetya et.al, Manajemen Sumber Daya Manusia, (STIA-LAN: Jakarta, 2002), hlm. 11.
7
Hariandja, Marihot Tua Efendi,Drs.,M.Si., Manajemen Sumber Daya Manusia: Pengadaan, Pengembangan, Pengkompensasian, dan Peningkatan Produktivitas Pegawai, Edisi I, Cetakan ketiga, (Bumi Aksara, Jakarta: 2005), hlm. 195.
8
Husein, Umar. Riset Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi, Edisi Revisi, (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2002), hlm. 14.
9
put, efisiensi serta efektivitas dan sering dihubungkan dengan
produktivitas.10
Kinerja pegawai merupakan suatu hal yang sangat penting dalam
usaha organisasi untuk mencapai tujuannya, sehingga berbagai kegiatan
harus dilakukan orgisasi atau instansi untuk meningkatkannya. Salah satu
diantaranya adalah melalui penilaian kinerja. Menurut Efendi Hariandja
Penilaian kinerja merupakan salah satu proses organisasi atau instansi
dalam menilai kinerja pegawainnya11. Tujuan dilakukannya penilaian kinerja
secara umum adalah untuk memberikan feedback kepada pegawai dalam
upaya memperbaiki tampilan kerja dan upaya meningkatkan produktivitas
organisasi. Secara khusus dilakukan dengan berbagai kebijaksanaan
terhadap pegawai seperti untuk tujuan promosi, kenaikan gaji, pendidikan
dan latihan.
Dikemukakan oleh Tika bahwa kinerja adalah hasil-hasil fungsi
pekerjaan (motivasi, kecakapan, persepsi peranan) seseorang dalam suatu
organisasi atau instansi yang yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk
mencapai tujuan organisasi atau instansi.12 Berkaitan dengan motivasi
kerja, Victor Vroom yang dikutip dalam Efendi Hariandja tentang teori
motivasi expentansi, mengatakan bahwa salah satu unsur penting dalam
motivasi adalah adanya kemungkinan bahwa seseorang dapat mencapai
kinerja yang diharapkan, yang disebut dengan expectancy, disamping
adanya hubungan yang jelas antara kinerja dengan reward/imbalan yang
didapat (instrumentality), serta imbalan yang akan didapat sesuai dengan
bentuk yang sangat diinginkan saat ini (valens).13
Kinerja di dalam suatu organisasi dilakukan oleh segenap sumber
daya manusia dalam organisasi atau instansi, baik unsur pimpinan maupun
pekerja. Banyak sekali aspek maupun faktor yang dapat mempengaruhi
sumberdaya manusia dalam menjalankan kinerjanya. Adapun aspek-aspek
standar pekerjaan menurut Mangkunegara14 terdiri dari aspek kuantitatif
dan aspek kualitatif. Aspek kualitatif meliputi: (1) Proses kerja dan kondisi
pekerjaan; (2) Waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan
pekerjaan; (3) Jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan; dan (4)
Jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekerja. Sedangkan aspek
kualitatif meliputi: (1) Ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan; (2) Tingkat
kemampuan dalam bekerja; (3) Kemampuan menganalisis data/informasi,
kemampuan/kegagalan menggunakan mesin/peralatan; dan (4)
Kemampuan mengevaluasi (keluhan/keberatan konsumen).
Ukuran-ukuran keberhasilan dalam pekerjaan dapat ditentukan
dengan tepat dan lengkap, dan diuraikan dalam bentuk perilaku yang dapat
diamati dan diukur secara cermat dan tepat. Sehingga dalam pelaksanaan
pengelolaan kinerja karyawan, hendaknya mempertimbangkan faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang (karyawan).
Menurut Robbins yang dikutip oleh Rivai dan Basri mengemukakan
bahwa kinerja adalah sebagai fungsi interaksi antara kemampuan atau
13
Hariandja, Op Cit, hlm. 198.
14
Ability (A), motivasi atau Motivation (M) dan kesempatan atau Opportunity
(O), yaitu kinerja = f(A x M x O)”.15 Dengan demikian, kinerja ditentukan oleh faktor-faktor kemampuan, motivasi dan kesempatan. Kesempatan
kinerja adalah tingkat-tingkat kinerja yang tinggi yang sebagian merupakan
fungsi dari tiadanya rintangan-rintangan yang mengendalikan karyawan itu.
Sedangkan menurut Davis dan Newstrom yang di kutip Husein yang
menyebutkan variabel-variabel yang mampu mempengaruhi tingkat prestasi
dan kinerja (performance) organisasi, yakni : kewenangan organisasi,
kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungan organisasi.16
Sementara menurut Wibowo mengemukakan bahwa faktor yang
dapat mempengaruhi sumber daya manusia dalam menjalankan kinerjanya,
terdapat faktor yang berasal dari dalam diri sumber daya manusia sendiri
maupun dari luar dirinya antara lain: (1) Kemampuan berdasar pada
pengetahuan dan keterampilan, kompetensi yang sesuai dengan
pekerjaannya, motivasi kerja dan kepuasan kerja, kepribadian, sikap dan
perilaku; (2) Kepemimpinan dan gaya kepemimpinan dalam organisasi atau
instansi, yaitu: bagaimana pemimpin menjalin hubungan dengan pegawai,
bagaimana mereka memberi penghargaan kepada pegawai yang
berprestasi, dan bagaimana mereka mengembangkan serta
memberdayakan pegawainya; (3) Sumber dana, bahan, peralatan,
teknologi, dan mekanisme kerja yang berlangsung dalam organisasi; dan
(4) Lingkungan kerja atau situasi kerja yang merupakan faktor lingkungan
15
Veithzel Rivai dan, Ahmad F.M. Basri, Performance Appraisal (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2005), hlm. 15.
16
kerja internal organisasi atau instansi, seperti kondisi hubungan
antarmanusia di dalam organisasi, baik antara atasan dengan bawahan
maupun diantara rekan sekerja.17
Berpijak dari berbagai pandangan para pakar di atas terdapat
banyak variabel yang mempengaruhi pencapaian kinerja organisasi yaitu
faktor kepemimpinan, faktor motivasi, faktor disiplin dan faktor kinerja dari
sumber daya manusia dalam hal ini adalah pegawai.
Menurut Simamora dalam Mangkunegara bahwa upaya
peningkatan kinerja (performance) pegawai dipengaruhi oleh tiga faktor,
diantaranya :
1) Faktor individual, yang berupa kapasitas untuk mengerjakan sesuatu, terdiri dari kemampuan dan keahlian, latar belakang dan demografi.
2) Faktor psikologis, berupa persepsi, attitude, personality, pembelajaran dan motivasi, yang dapat membentuk keinginan mencapai sesuatu.
3) Faktor organisasi, yang memberikan kesempatan untuk berbuat sesuatu. Terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, penghargaan
(imbalan), struktur dan job design.18
Memahami hal tersebut, kinerja pegawai akan tercipta bila di
dukung oleh adanya kesiapan yang dimiliki karyawan itu sendiri baik secara
kemampuan, mental (psikologis) dan adanya dukungan dari organisasi
berupa kesempatan. Karena acapkali terjadi, meski seorang individu
17Wibowo, Manajemen Kinerja, (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2005), hal.65-66
.
18
bersedia dan mampu, tetapi bisa saja ada rintangan yang ada dapat
menjadi penghambat yang cukup berarti.
Pendapat lain tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja,
antara lain dikemukakan Amstrong dan Baron (1998,16) yang dikutip oleh
Wibowo yaitu, sebagai berikut :
a) Personal factors, ditunjukkan oleh tingkat keterampilan kompetensi
yang dimiliki, motivasi, dan komitmen individu.
b) Leadership factors, ditentukan oleh kualitas dorongan, bimbingan, dan
dukungan yang dilakukan pimpinan dan team leader.
c) Team factors, ditunjukkan oleh kualitas dukungan yang diberikan oleh
rekan sekerja.
d) System factors, ditunjukkan oleh system kerja dan fasilitas yang
diberikan organisasi.
e) Contextual/situational factors, ditunjukkan oleh tingginya tingkat
tekanan dan perubahan lingkungan internal dan eksternal.19
Pelaksanaan kinerja akan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor
baik yang bersumber dari pegawai sendiri maupun yang bersumber dari
organisasi. Dari pegawai sangat dipengaruhi oleh kemampuan atau
kompetensinya. Sementara itu, dari segi organisasi atau instansi
dipengaruhi oleh seberapa baik pemimpin memberdayakan pegawainya,
bagaimana mereka memberikan penghargaan pada pegawai, dan
19
bagaimana mereka membantu meningkatkan kemampuan kinerja pegawai
melalui coaching, mentoring dan counselling.20
Indikator kinerja atau performance indikators kadang-kadang
dipergunakan secara bergantian dengan ukuran kinerja (performance
measures), tetapi banyak pula yang membedakannya. Pengukuran kinerja
berkaitan dengan hasil yang dikuantitatifkan dan mengusahakan data
setelah kejadian. Sementara itu, indikator kinerja dipakai untuk aktivitas
yang hanya dapat ditetapkan secara kualitatif atas dasar perilaku yang
dapat diamati. Menurut Hersey, Blanchard, dan Jhonson yang di kutip oleh
Nengah21, terdapat tujuh indikator kinerja, yang digambarkan sebagai
berikut:
20
Ibid, hlm. 76.
21
Gambar 1: Indikator Kinerja
Gambar ketujuh indikator kinerja diatas dapat dijelaskan, sebagai
berikut:
1) Goals (tujuan) merupakan suatu keadaan yang lebih baik yang ingin
dicapai dimasa yang akan datang. Dengan demikian, tujuan merupakan
arah ke mana kinerja harus dilakuakan. Kinerja individu maupun
organisasi berhasil apabila dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
2) Standard (standar) merupakan suatu ukuran apakah tujuan yang
dinginkan dapat dicapai. Tanpa standar, tidak dapat diketahui kapan
suatu tujuan dapat tercapai. Kinerja seseorang dikatakan berhasil
apabila mampu mencapai standar yang ditentukan atau disepakati
bersama antara atasan dan bawahan.
3) Feedback (umpan balik) merupakan masukan yang dipergunakan untuk
mengukur kemajuan kinerja, standar kinerja, dan pencapaian tujuan.
Dengan umpan balik dilakukan evaluasi terhadap kinerja dan sebagai
hasilnya dapat dilakukan perbaikan kinerja. Masukan berupa feedback
motive goals
means
opportunity
standard competenc
e
ini dapat berasal dari dalam dan luar organisasi. Umpan balik dari
dalam organisasi merupakan evaluasi yang dilakukan secara bersama
atau melalui tim khusus yang dibentuk untuk memberikan masukan
terhadap sebuah pencapaian tujuan organisasi. Umpan balik dari luar
organisasi dapat dilihat dari respon masyarakat (pengguna) dari produk
maupun jasa yang di hasilkan oleh organisasi.
4) Means (alat atau sarana) merupakan sumber daya yang dapat
dipergunakan untuk membantu menyelesaikan tujuan dengan sukses.
Alat atau sarana merupakan faktor penunjang untuk pencapaian tujuan.
5) Competence (kompetensi) merupakan kemampuan yang dimiliki oleh
seseorang untuk menjalankan pekerjaan yang diberikan kepadanya
dengan baik. Kompetensi memungkinkan seseorang mewujudkan
tugas yang berkaitan dengan pekerjaan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan.
6) Motive (motif) merupakan alasan atau pendorong bagi seseorang untuk
melakukan sesuatu. Pimpinan memfasilitasi motivasi kepada karyawan
dengan insentif berupa uang, memberikan pengakuan, menetapkan
tujuan menantang, menetapkan standar terjangkau, meminta umpan
balik, memberikan kebebasan melakukan pekerjaan termasuk waktu
melakukan pekerjaan, menyediakan sumber daya yang diperlukan dan
menghapuskan tindakan yang mengakibatkan disintesif.
7) Opportunity (peluang) merupakan peluang untuk menunjukkan prestasi
kekurangan kesempatan untuk berprestasi, yaitu ketersediaan waktu
dan kemampuan untuk memenuhi syarat.22
Kinerja amat bergantung sejauh mana upaya seseorang untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi. Tujuan yang telah
ditetapkan ini merupakan tujuan yang terukur dan dapat diobservasi oleh
seluruh anggota organisasi sehingga tujuan merupakan sesuatu yang
konkrit dan nyata bukan merupakan hal yang abstrak dan mengawang jauh
dari kenyaataan. Kemampuan organisasi untuk meramu bentuk dari tujuan
yang ingin dicapai menjadi amat penting, karena hal itu dapat memberikan
kejelasan kepada anggota organisasi untuk mencapai target tujuan yang
hendak dicapai.
Sarana dan kompetensi merupakan faktor pendukung yang penting
yang diperlukan oleh setiap anggota untuk mencapai tujuan organisasi.
Sarana dan kompetensi memungkinkan seorang anggota organisasi dapat
mewujudkan tugas yang berkaitan dengan pekerjaan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan.
Motif yang dimiliki seorang anggota organisasi merupakan hal yang
cukup penting dalam usaha mendorong seorang anggota organisasi untuk
mencapai tujuan organisasi. Kemampuan seorang pemimpin untuk
memfasilitasi motif dari setiap anggotanya menjadi faktor kunci bagi
kelancaran pergerakan organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.
Peluang yang diperoleh oleh seorang anggota organisasi juga
memegang peranan penting bagi anggota untuk turut andil mencapai tujuan
22
organisasi. Ketersedian waktu yang dimiliki oleh seorang anggota
organisasi memegang peranan penting guna menunjukkan prestasi
kerjanya secara optimal sesuai dengan kebutuhan upaya untuk mencapai
tujuan organisasi. Prestasi kerja seorang anggota organisasi perlu ditunjang
oleh kemampuan untuk memenuhi syarat yang ditetapkan oleh organisasi
untuk melakukan suatu pekerjaan.
Beberapa penjabaran di dapat dirangkumkan kedalam beberapa
kata kunci untuk menunjukkan kinerja seorang anggota satpol PP yaitu:
Hasil pekerjaan, insentif dan produktifitas. Hasil pekerjaan hasil pekerjaan
yang dicapai oleh individu dan terkait pada tujuan organisasi yang telah
ditetapkan oleh organisasi dan tunjang oleh sistem, kepemimpinan, sarana,
dan dukungan organisasi yang diberikan oleh organisasi. Sedangkan
insentif merupakan hal-hal yang berkaitan dengan motif dan kebutuhan
yang ada dalam diri individu. Dan produktifitas berkaitan dengan
kemampuan seorang anggota organisasi untuk menghasikan jumlah
pekerjaan sesuai dengan kompetensi dan peluang yang dimiliki oleh
seorang anggota organisasi menyelesaikan pekerjaannya.
Berdasarkan penjabaran konsep di atas maka kinerja yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah perbuatan seseorang dalam
melaksanakan pekerjaan untuk mencapai hasil tertentu. Perbuatan tersebut
mencakup hasil, insentif dan produktifitas yang hasilkan melalui proses
yang terfokus pada tujuan yang hendak dicapai serta dengan terpenuhinya
2. Dimensi dan Indikator Kerja
Sebagaimana definisi kinerja yang dirumuskan di atas, maka dalam
mengukur kinerja terdapat beberapa faktor atau dimensi yang harus
terpenuhi yaitu kualitas kerja, kunatitas kerja, pengetahuan, keandalan,
kehadiran dan kerjasama. Masing-masing faktor tersebut dijabarkan dalam
Tabel 2.1 Dimensi dan Indikator Kinerja
No Dimensi Indikator
1 Kualitas Kerja - Ketelitian bekerja
- Ketepatan dalam berkerja - Kerapian bekerja
- Keterampilan dan kecakapan kerja
- Empati dalam bereja bersama dengan masyarakat 2 Kuantitas kerja - Jumlah hasil kerja yang telah dicapai
- Kecepatan dalam menyelesaikan pekerjaan
- Menurunnya kecenderungan penyimpangan dan pelanggaran dalam masyarakat
3 Pengetahuan - Pemahaman terhadap tugas yang dikerjakan - Etika bekerja bersama masyarakat sipil 4 Keandalan - Mengikuti instruksi pimpinan
- Memiliki inisiatif - Disiplin dalam kerja
- Memiliki empati dalam bekerja 5 Kehadiran - Hadir dalam rapat rutin
- Aktif dalam setiap rapat
- Aktif melaksanakan tugas piket harian dan lapangan - Aktif melakukan patroli keliling
- Aktif melakukan penjangkauan masyarakat yang bermasalah
6 Kerjasama - Kemampuan bekerjasama dengan teman seprofesi
- Kemampuan bekerjsama dengan atasan
- Kemampuan dalam melaksanakan fungsi referal - Kemampuan dalam menjalin jejaring kemasyarakatan
khususnya bidang layanan perlindungan dan penegakan ketertiban
No Dimensi Indikator
madani menyelenggarakan sistem kontrol sosial untuk mnegakkan perlindungan dan ketertiban bermasyarakat
- Kemampuan menjadikan dirinya petugas Satpol PP yang ramah terhadap lingkungan dimana bekerja.
B. Pendidikan dan Pelatihan
1. Pengertian Pendidikan dan Pelatihan
Pendidikan dan Pelatihan (Education and Training) atau biasa
disingkat Diklat adalah bagian yang tak terpisahkan dan terpenting dalam
peningkatan kinerja. Mengacu dalam bahasa inggris, education
(pendidikan) berasal dari kata educate (mendidik) artinya memberi
peningkatan.23 Dalam pengertian sempit, McLeod mendefinisikan
pendidikan sebagai perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh
pengetahuan.24 Tardif yang dikutip Syah mendefisikan pendidikan sebagai
seluruh tahapan pengembangan kemampuan dan perilaku manusia dan
proses penggunaan pengalaman kehidupan.25 Nedle dalam Tilaar
mengartikan pendidikan adalah proses belajar mempersiapkan individu
untuk pekerjaan yang berbeda pada masa yang akan datang.26
M. Chabib Thoha menyatakan bahwa untuk memahami pengertia
npendidikan dengan benar, pendidikan perlu dibedakan menjadi dua
23
John M. Echols dan Hassan Shadily Kamus Inggris Indoensia (Jakarta: PT Gramedia, 2005), h. 205
24
William T McLoad, (edt.), The New Collins Dictionary and Thesaurus ( Glasgow: William Collins Sons and Co.Ltd., 1989).
25
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru (Bandung: Rosdakaya, 2008), h.10
26
pengertian yaitu pengertian yang bersifat teoritis dan pengertian pendidikan
dalam arti praktis.27 Menururtnya, pendidikan dalam arti pertama adalah
pemikiran manusia terhadap masalah-masalah kependidikan untuk
memecahkan dan menyusun teori-teori baru dengan mendasarkan pada
pemikiran normative spekulatif rasional empirik, rasional filosofik maupun
historic filoisofik.28
Pendidikan dalam arti praktis para ahli pendidikan merumuskan
secara bervariasi.
a. Menurut Goerge F. Kneller.
“Education is the Process of self realization. In which the self realizesand develops all its parentialitles.”29 Artinya : “Pendidikan dalam realisasi diri dimana (pribadi Individu) merealisasikan dan
mengembangkan semua potensi-potensinya”. b. Menururt Frederick J. McDonald
“Education is a process aran activity which is directed at producing desirable changes in the behavior of human being.” Artinya: pendidikan adalah suatu prosews atau aktivitas yang secara langsung
diharapkan dapat menghasilkan bisa menghasilkan perubahan tingkah
laku.30
27Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), hlm. 98. 28Ibid, hlm. 23 29
Goerge F. Kneller, Logic and Language Of Education John And Willey Ine, (New York, 1996), hlm. 14-15.
30 Frederick J. Mc Donald, Educational Pshycology Wods Worrth Publishing
Company
c. Menurut John Dewey
“Etimologycall the world education means just a proccess of leading or bringing of. When we have the out come of the process in
mind we speakz of education as shaping, forming, molding activity that
is, a shaping into the standart from of social activity.”31 Artinya, secara etimologi, kata pendidikan hanya berarti suatu proses memimpin atau
mengasuh, jika kita telah menghsilkan proses kejiwaan, kita katakan
bahwa pendidikan adalah proses pembentukan pembinaan, dan
percetakan aktivitas, yakni pembentukan ke dalam bentuk standar dari
aktivitas sosial.
Menurut Chabib Thoha, Pendidikan dalam arti praktek atau
“suatu proses pemindahan pengetahuan ataupun pengembangan
potensi-potensi yang dimiliki subjek didik untuk mencapai
perkembangan secara optimal serta membudayakan manusia melalui
proses tranformasi nilai-nilai yang utama.”32
Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa pendidikan merupakan suatu proses pengembangan pribadi
dalam semua aspek-aspeknya. Atau dapat juga diartikan sebagai suatu
proses pengembangan pribadi dalam semua aspek-aspeknya untuk
merealisasikan manusia yang berbudi luhur.
31
John Dewey, Democratic And Education, (New York: The Macmillian Company, 1964), hlm. 10
32
Pelatihan adalah suatau kegiatan untuk memperbaiki kemampuan
kerja seseorang dalam kaitannya dengan aktivitas tertentu.33 Dessler
mengartikan pelatihan sebagai proses pembelajaran.34 Donaldson dan
Scannel memaknai pelatihan sebagai upaya perubahan perilaku. 35
menurutnya pendikan dan pelatihan harus diorganisir agar dapat
mengantarkan perubahan perilaku peserta pelatihan.
Jucius dalam Bernardin menyatakan bahwa pendidikan dan
pelatihan digunakan untuk menunjukkan setiap proses, dimana bakat,
kecakapan dan kemampuan para pegawai dikembangkan agar mereka
dapat menyelsaikan pekerjaan tertentu. Kemudian Bernardin menyebutkan
secara ideal bahwa pelatihan harus disesuaikan dengan keinginan
mewujudkan dan mencapai tujuan organisasi.36
Pelatihan bagi Bosker adalah suatu kegiatan pembelajaran yang
terprogram dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan dan
keterampilan peserta.37 Makna kemampuan dan keterampilan di sini tidak
hanya sekadar ranah psikomotorik, namum juga meliputi aspek
kemampuan dan keterampilan yang utuh. Termasuk dalam makna
kemampuan di sini adalah kecerdasan majemuk (multiple intelegencies)
dan aspek-aspek psikologis lain, seperti motivasi kerja, kecerdasan sosial,
kecerdasan emosional, dan sebagainya yang dapat dikembangkan melalui
pelatihan.
33
Ranupanjoyo dan Husnan, Manajemen Personalia (Yogyakarta: BPFE, 1995), h.77
34
Gary Deseler, Personal Management, Ter. Agung Dharma (Jakarta: Erlangga, 1997), h.266
35
Donaldson dan Scannel, Human Resources Development, terj.Ya’kub (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1993), h.7
36
Bernardin, Human Resources Management (Jakarta: Mc. Graw-Hill Inc., 1993), h.297
37
Menurut Brown, pelatihan merupakan salah satu kegiatan pokok
dalam pengembangan sumberdaya manusia.38 Hal ini karena kondisi dan
tuntutan lingkungan yang selalu berubah, serta perkembangan ilmu dan
teknologi, menyebabkan organisasi atau lembaga harus selalu
menyesuaikan diri. Untuk itu sumberdaya manusia yang ada dalam
organisasi harus selalu ditingkatkan kemampuannya. Sebagian besar
kegiatan pengembangan sumberdaya manusia dilakukan melalui program
pelatihan.
Pelatihan menurut Wexley dan Yukl adalah suatu proses di mana
pegawai mempelajari keterampilan, pengetahuan, sikap, dan perilaku yang
diperlukan guna melaksanakan pekerjaannya secara efektif.39 Sementara
menurut Amstrong, pelatihan adalah kegiatan untuk mengisi kesenjangan
antara apa yang dapat dikerjakan seseorang dan siapa yang seharusnya
mampu mengerjakannya, agar secepat mungkin pegawai dapat mencapai
suatu tingkat kemampuan kerja dalam jabatan mereka, dan menambah
keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk memperbaiki prestasi
dalam jabatan yang sekarang atau mengembangkan potensinya untuk
masa yang akan datang.40
Berpijak pada beberapa pengertian di atas, maka pengertian
pendidikan dan pelatihan dalam penelitian ini adalah kegiatan yang
dilakukakan untuk membina kepribadian, meningkatkan dan
38
M. J. Brown, The Effectiveness Of Organization, (California, Fearon, Belmont California, 1999), p: 26
39
Kenneth Wexley dan Gary A Yukl, Organizational Behavior and personal Psychology, (Ontorio, Richard D. Irwan. Inc, 1997), p: 301
40
mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan karyawan dalam
bekerja.
Pelaksanaan diklat sangat beragam jenis program dan model yang
digunakan. Berikut adalah dua model diklat yang biasa dilakukakan dalam
berbagai kegiatan.
2. Competence Based Education and Training (CBET)
Competence Based Education Training (Pendidikan dan Pelatihan
Berbasis Kompetensi) merupakan suatu proses pendidikan dan pelatihan
yang dirancang untuk mengembangkan kemampuan dan ketrampilan
secara khusus, untuk mencapai hasil kerja yang berbasis target kinerja
(performance target) yang telah ditetapkan. Target kinerja yang dimaksud
adalah kompetensi. Artinya, pendidikan dan pelatihan yang diperuntukkan
bagi sumberdaya bukan sekedar membentuk kompetensi, tetapi
kompetensi tersebut harus relevan dengan tugas dan jabatannya. Dengan
kata lain, kompetensi itu secara langsung dapat membantu di dalam
melaksanakan tugas sehari-hari dari sumber daya tersebut.
Makna kompetensi secara umum menurut Anderson adalah
sebagai sebagai karakteristik dasar yang terdiri dari kemampuan (skill),
pengetahuan (knowledge) serta atribut lainnya yang mampu membedakan
seseorang yang perform dan tidak perform. Berdasarkan pengertian
tersebut diatas, kompetensi dipandang sebagai alat penentu untuk
Senada dengan pengertian tersebut, Mulyasa41 menjelaskan bahwa
kompetensi merupakan indikator yang menunjuk pada perbuatan yang bisa
diamati dan sebagai konsep yang mencakup aspek–aspek pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap serta tahap–tahap pelaksanaannya secara utuh.
Bagi Spencer dan Spencer kompetensi adalah karakteristik yang
mendasari seseorang dan berkaitan dengan efektifitas kinerja individu
dalam pekerjaannnya.42 Kompentensi seorang individu merupakan sesuatu
yang melekat dalam dirinya yang dapat digunakan untuk memprediksi
tingkat kinerjanya. Sesuatu yang dimaksud bisa menyangkut motif, konsep
diri, sifat, pengetahuan maupun kemampuan/keahlian. Kompentensi
individu yang berupa kemampuan dan pengetahuan bisa dikembangkan
melalui pendidikan dan pelatihan.
Selanjutnya menurut Spencer dan Spencer kompetensi dapat
dibagi atas 2 (dua) kategori yaitu threshold competencies dan differentiating
compentencies. Threshold competencies adalah karakteristik utama yang
harus dimiliki oleh seseorang agar dapat melaksanakan pekerjaannya.
Tetapi tidak untuk membedakan seorang yang berkinerja tinggi dan
rata-rata. Sedangkan differentiating competiencie adalah factor-faktor yang
membedakan individu yang berkinerja tinggi dan rendah.43 Misalnya
seorang dosen harus mempunyai kemampuan utama mengajar, itu berarti
41
E. Mulyasa, Dr., M.Pd., Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2007), h. 88
42
M.Lyle Spencer and M.Signe Spencer , Competence at Work:Models for Superrior Performance (New York: John Wily & Son,Inc,New York,1993), h.120
43
pada tataran threshold competencies, selanjutnya apabila dosen dapat
mengajar dengan baik, cara mengajarnya mudah dipahami dan analisanya
tajam sehingga dapat dibedakan tingkat kinerjanya maka hal itu sudah
masuk kategori differentiating competencies.
Mengacu pada berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa kompetensi yang dimaksud adalah kompetesi yang mencakup
tugas, ketrampilan, sikap dan apresiasi yang harus dimiliki oleh seseorang
untuk dapat melaksanakan tugas-tugas sesuai tugas pokok dan fungsi
sumber daya tersebut.
Kompetensi seseorang dapat berkembang atau meningkat melalui
beberapa cara, seperti melalui pengalaman, belajar sendiri, pendidikan
formal maupun melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) tertentu.
Masing-masing pola perkembangan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan,
namun sebaiknya diperoleh melalui perpaduan dari semua cara tersebut.
Merujuk pada aspek teoritis dan praktis perkembangan kompetensi
yang diperoleh melalui Diklat dapat dikatakan lebih lengkap dan mendalam
dari pada melewati pengalaman. Hal ini karena pada pelaksanaan diklat
dirancang berdasarkan sistem belajar yang terstruktrur yang dibimbing oleh
banyak fasilitator dan penyelenggara. Lain halnya dengan perkembangan
kompetensi yang diperoleh melalui pengalaman, dimana lebih banyak
didasarkan pada kegiatan praktek langsung sebagai respon dari kebutuhan
hidup dimana selama ini sumber daya tersebut tinggal dan bermukim.
Competency Based Education and Training (CBET) merupakan
manusia yang berfokus pada hasil akhir (outcome). Competency Based
Education and Training (CBET) sangat fleksibel dalam proses kesempatan
untuk memperoleh kompetensi dengan berbagai cara. Hasil Competency
Based Education and Training (CBET) menuntut persyaratan dan
karakteristik tersendiri, khususnya bila diterapkan untuk diakui secara
nasional. Hal ini berbeda dengan pendidikan dan pelatihan yang pada
umumnya dilakukan (tradisional) yang berfokus pada masukan (input),
proses, dan keluaran (output) yang sangat bervariasi dan bisa jadi tidak
sesuai dengan standar kebutuhan pekerjaan / tugas.
Tujuan Competency Based Education and Training (CBET) adalah
agar peserta didik dan latih mampu mengerjakan tugas dan pekerjaan
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Secara khusus, tujuan utama
Competency Based Education and Training (CBET) adalah menghasilkan
kompetensi dalam menggunakan ketrampilan yang ditentukan untuk
pencapaian standar pada suatu kondisi yang telah ditetapkan dalam
berbagai pekerjaan dan jabatan.
Penelusuran (penilaian) kompetensi yang telah dicapai dan
sertifiikasi. Hasil Competency Based Education and Training (CBET)
hendaknya dihubungkan dengan standar kompetensi yang akan diberikan.
Program pendidikan dan pelatihan didasarkan atas uraian kerja Kebutuhan
multi – skilling Alur karir (career path). Menurut Rylatt 44, terdapat 9 prinsip yang harus diperhatikan dalam Competency Based Education and Training
(CBET):
44
a) Bermakna.
Praktek terbaik Kompetensi harus merefleksikan kebutuhan utama
bisnis, yang didasarkan atas standar industri / kejuruan yang terbaik.
b) Hasil pembelajaran
Competency Based Education and Training (CBET) lebih difokuskan
pada hasil pembelajaran, bukan pada penyampaian pendidikan dan
pelatihan.
c) Fleksibel
Competency Based Education and Training (CBET) dapat dilakukan
dengan berbagai cara dan metode, baik yang bersifat formal maupun
informal.
d) Mengakui pengalaman belajar sebelumnya.
Competency Based Education and Training (CBET) mengakui
pengalaman belajar yang dimiliki oleh peserta, sehingga mereka tidak
dituntut harus mengikuti pendidikan dan pelatihan sampai akhir. Bila
kemudian peserta mengikuti ujian dan lulus ujian kompetensi maka
mereka berhak memperoleh kelulusan dan kualifikasi.
e) Tidak didasarkan atas waktu.
Competency Based Education and Training (CBET) tidak dibatasi oleh
waktu. Perbedaan kemampuan setiap peserta akan menentukan
f) Penilaian yang diperlukan.
Competency Based Education and Training (CBET) sangat
memperhatikan kemampuan memperagakan kompetensi sehingga
setiap orang perlu untuk dnilai tingkat kompetensinya.
g) Monitoring dan evaluasi.
Proses ini mutlak diperlukan mulai dari masukan, proses sampai pada
keluaran.
h) Konsistensi secara nasional.
Competency Based Education and Training (CBET) berlandaskan pada
penampilan kompetensi yang secara nasional konsisten dengan
kebutuhan industri sehingga hasilnya seseorang karyawan dapat
dterima di tempat lain dan dapat dipekerjakan secara nasional.
i) Akredetasi pembelajaran
Kurikulum yang digunakan dalam Competency Based Education and
Training (CBET)harus memperoleh pengakuan dari badan / instansi
yang berkompeten.
Sistem Competency Based Education and Training (CBET) dapat
dilakukan dengan berbagai model, salah satu diantaranya adalah Model
Sistem Strategik Competency Based Education and Training (CBET) pada
perusahaan yang dilakukan melalui 5 tahap. Menurut Dubois45, tahap-tahap
tersebut adalah Analisis kebutuhan penilaian dan perencanaan,
Pengembangan Model Kompetensi, Perencanaan Kurikulum, Perancangan
dan Pengembangan Intervensi Pembelajaran, dan Evaluasi.
45