• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Efektivitas Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral Melalui Model Value Clarification Technique (VCT) terhadap Hasil Belajar PKn dengan Mempertimbangkan Moral Judgement Siswa Kelas 5 SD N Karangdu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Efektivitas Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral Melalui Model Value Clarification Technique (VCT) terhadap Hasil Belajar PKn dengan Mempertimbangkan Moral Judgement Siswa Kelas 5 SD N Karangdu"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

7 2.1 Kajian Teori

2.1.1 Pendidikan Kewarganegaraan 2.1.1.1 Hakekat Pendidikan Kewarganegaraan

Perkembangan mata pelajaran PKn yang dikenal sekarang ini telah mengalami beberapa kali perubahan, dimulai pada tahun 1957 yang diberi nama Kewarganegaraan, tahun 1959 dengan nama Civics, tahun 1962 dengan nama Kewargaan Negara, tahun 1968 dengan nama Pendidikan Kewargaan Negara (PKN), tahun 1975 dengan nama Pendidikan Moral Pancasila (PMP), dan dengan disahkannya Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka penamaannya berubah menjadi PKn. Secara imperatif Pasal 37 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang merupakan landasan yuridis formal menjelaskan bahwa PKn merupakan salah satu muatan wajib dalam kurikulum pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta perguruan tinggi.

PKn merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat penting untuk diajarkan pada jenjang sekolah dasar. Ruminiati (2007:1.15) berpendapat bahwa pelajaran PKn merupakan salah satu pelajaran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat dan cenderung pada pendidikan afektif. Tetapi di dalam pelaksanaan pembelajaran, tidak sedikit yang salah menafsirkan bahwa PKN dengan PKn merupakan hal yang sama. Padahal keduanya memiliki definisi dan fungsi yang berbeda dalam pembelajaran.

(2)

Lebih lanjut Mawardi (2010:11) menjelaskan bahwa terdapat beberapa komponen penting dalam PKn yaitu:

a. PKn merupakan salah satu sub sistem pendidikan nasional.

b. Kajian PKn meliputi pemerintahan, konstitusi, lembaga-lembaga demokrasi, rule of law, HAM, hak dan kewajiban warga negara.

c. PKn merupakan alat pendidikan demokrasi.

d. PKn sebagai wahana pendidikan politik warga negara. 2.1.1.2 Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan

Melalui mata pelajaran PKn, diharapkan kegiatan pembelajaran dapat mencapai tujuan yang diharapkan sebagaimana tercantum pada Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang standar isi yang meliputi:

a. Berpikir secara kritis dan rasional dalam menghadapi isu kewarganegaraan.

b. Berpartisipasi secara aktif, bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta anti korupsi.

c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa lain.

d. Berinteraksi dengan bangsa lain dalam percaturan dunia baik secara langsung maupun tidak langsung dengan memanfaatkan ilmu dan teknologi.

Menurut Mulyasa (dalam Ruminiati, 2007:26) tujuan PKn adalah untuk menjadikan siswa:

a. Mampu berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi persoalan hidup maupun isu kewarganegaraan di negaranya.

b. Mau berpartisipasi dalam segala bidang kegiatan, secara aktif dan bertanggung jawab, sehingga bisa bertindak secara cerdas dalam semua kegiatan.

c. Bisa berkembang secara positif dan demokratis, sehingga mampu hidup bersama dengan bangsa lain di dunia dan mampu berinteraksi, serta mampu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dengan baik.

(3)

2.1.1.3 Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 tahun 2006 (2006:21) tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah bahwa ruang lingkup mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan meliputi aspek-aspek yaitu: Persatuan dan Kesatuan bangsa, Norma, hukum dan peraturan, Hak asasi manusia, Kebutuhan warga Negara, Konstitusi Negara, Kekuasaan dan politik, Pancasila, dan Globalisasi

Adapun penjelasan tiap aspek tersebut dijelaskan oleh Mulyasa (dalam Ruminiati, 2007:34) sebagai berikut :

a. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi hidup rukun dalam perbedaan, cinta lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, sumpah pemuda, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, partisipasi dalam pembelaan negara, sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, keterbukaan dan jaminan keadilan.

b. Norma, Hukum, dan Peraturan, meliputi tertib dalam kehidupan keluarga, tata tertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat, peraturan-peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sistem hukum dan peradilan nasional, dan hukum dan peradilan internasional.

c. Hak Asasi Manusia (HAM), meliputi hak dan kewajiban anak, hak dan kewajiban anggota masyarakat, instrumen nasional dan internasional HAM, kemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.

d. Kebutuhan Warga negara, meliputi hidup gotong royong, harga diri sebagai warga masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan mengeluarkan pendapat, menghargai keputusan bersama, prestasi diri, persamaan kedudukan warga negara.

e. Konstitusi Negara, meliputi proklamasi kemerdekaañ dan konstitusi yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, hubungan dasar negara dengan konstitusi.

f. Kekuasaan dan Politik, meliputi pemerintahan desa dan kecamatan, pemerintahan daerah dan otonomi-pemerintah pusat, demokrasi dan sistem politik, budaya politik, budaya demokrasi menuju masyarakat madani, sistem pemerintahan, pers dalam masyarakat demokrasi. g. Kedudukan Pancasila, meliputi kedudukan pancasila sebagai dasar

negara dan ideologi negara, proses perumusan pancasila sebagai dasar negara, pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, pancasila sebagai ideologi terbuka.

(4)

2.1.1.4 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar PKn Kelas 5 Semester II Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) dimuat dalam Permendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah. Standar Kompetensi (SK) adalah “ukuran kemampuan minimal yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap yang harus dicapai, diketahui, dan mahir dilakukan oleh siswa pada setiap tingkatan dari suatu materi yang diajarkan”, sedangkan kompetensi dasar (KD) adalah “penjabaran standar kompetensi siswa yang cakupan materinya lebih sempit”. Berikut adalah Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) PKn kelas 5 semester II:

Tabel 1

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar PKn SD/MI Kelas 5 Semester II

Stándar Kompetensi Kompetensi Dasar

3 Memahami kebebasan berorganisasi.

3.1 Mendeskripsikan pengertian organisasi. 3.2 Menyebutkan contoh organisasi di lingkungan

sekolah dan masyarakat.

3.3 Menampilkan peran serta dalam memilih organisasi di sekolah.

4 Menghargai keputusan bersama.

4.1 Mengenal bentuk-bentuk keputusan bersama. 4.2 Mematuhi keputusan bersama.

Sumber: Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah

2.1.2 Standar Proses Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

Standar proses digunakan sebagai acuan dalam merancang dan melaksanakan kegiatan pembelajaran serta melakukan penilaian. Berikut adalah standar proses KTSP berdasarkan Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007:

2.1.2.1 Prinsip-Prinsip Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merancang kegiatan

pembelajaran berdasarkan standar proses adalah sebagai berikut:

(5)

2. Mendorong partisipasi aktif peserta didik. Proses pembelajaran dirancang dengan berpusat pada peserta didik untukmendorong motivasi, minat, kreativitas, inisiatif, inspirasi, kemandirian, dansemangat belajar.

3. Mengembangkan budaya membaca dan menulis. Proses pembelajaran dirancang untuk mengembangkan kegemaran membaca,pemahaman beragam bacaan, dan berekspresi dalam berbagai bentuk tulisan

4. Memberikan umpan balik dan tindak lanjut. RPP memuat rancangan program pemberian umpan balik positif, penguatan,pengayaan, dan remedi.

5. Keterkaitan dan keterpaduan. RPP disusun dengan memperhatikan keterkaitan dan keterpaduan antara SK,KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaiankompetensi, penilaian, dan sumber belajar dalam satu keutuhan pengalaman belajar. RPP disusun dengan mengakomodasikan pembelajaran tematik,keterpaduan lintas mata pelajaran, lintas aspek belajar, dan keragaman budaya.

6. Menerapkan teknologi informasi dan komunikasi. RPP disusun dengan mempertimbangkan penerapan teknologi informasi dan komunikasi secara terintegrasi, sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi.

2.1.2.2 Pelaksanaan Pembelajaran

Implementasi dari rancangan pembelajaran harus tetap mengacu pada

standar proses. Pelaksanaan pembelajaran berdasarkan standar proses dilakukan

melalui 3 (tiga) tahap yakni kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan

penutup. Kegiatan inti dibagi kembali menjadi 3 (tiga) yaitu eksplorasi, elaborasi

dan konfirmasi. Berikut uraian masing-masing tahapan yang harus dilaksanakan

guru berdasarkan standar proses:

1. Kegiatan Pendahuluan

a. Menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses

pembelajaran.

b. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan

sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari.

c. Menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akandicapai.

d. Menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai

silabus.

2. Kegiatan Inti

(6)

1) Melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang

topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam

takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber.

2) Menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media

pembelajaran,dan sumber belajar lain.

3) Memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antara peserta

didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya.

4) Melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan

pembelajaran.

5) Memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio,

atau lapangan.

b. Elaborasi

1) Membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui

tugas-tugas tertentu yang bermakna.

2) Memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan

lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis.

3) Memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan

masalah, dan bertindak tanpa rasa takut.

4) Memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan

kolaboratif.

5) Memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk

meningkatkan prestasi belajar.

6) Memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan

baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok.

7) Memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual

maupun kelompok.

8) Memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival,serta

produk yang dihasilkan.

9) Memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan

kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik.

(7)

1) Memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan,

tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik.

2) Memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber.

3) Memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan.

4) Memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar.

3. Kegiatan Penutup

a. Bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/

simpulan pelajaran.

b. Melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah

dilaksanakan secara konsisten dan terprogram.

c. Memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran.

d. Merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi,

program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik

tugas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta

didik.

e. Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.

2.1.2.3 Penilaian Hasil Pembelajaran

Penilaian dilakukan oleh guru terhadap hasil pembelajaran untuk

mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta didik, serta digunakan sebagai

bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar, dan memperbaiki proses

pembelajaran. Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematik, dan terprogram

dengan menggunakan tes dan nontes dalam bentuk tertulis atau lisan, pengamatan

kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau

produk,portofolio, dan penilaian diri.

2.1.3 Moral

2.1.3.1 Pengertian Moral

(8)

tabiat, akhlak. Sedangkan menurut Amin Suyitni (dalam Soenarjati 1989:25) dalam perkembangannya moral diartikan sebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik dan susila.

Moral dalam arti yang luas telah mencakup bagaimana hubungan dengan Tuhan, hubungan sesama manusia dan hubungan dengan alam semesta. Menurut Syahrin (2005:45) orang yang memiliki moral yang baik adalah yang mampu menyeimbangkan ketiga hubungan di atas (hubungan dengan Tuhan, hubungan sesama manusia dan hubungan dengan alam semesta) pada setiap tempat dan setiap waktu. Moral juga harus dipandang sebagai suatu yang memiliki nilai otonom dan universal sehingga ia dapat berlaku pada lintas waktu, lintas aktivitas dan lintas tempat.

Menurut Sastraprateja (dalam Adisusilo, 2012:53) moralitas atau juga disebut sebagai moral diartikan sebagai “perilaku manusia dan norma-norma yang dipegang masyarakat yang mendasarinya".

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa moral berkenaan dengan kesusilaan. Seorang individu dapat dikatakan baik secara moral apabila bertingkah laku sesuai dengan kaidah-kaidah moral dan aturan-aturan tentang bagaimana seharusnya seseorang hidup di dalam masyarakat. Sebaliknya jika perilaku individu itu tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada, maka ia akan dikatakan jelek secara moral.

2.1.3.2 Moralitas dalam Perspektif Teori Perkembangan Moral

Moralitas menurut perspektif teori perkembangan moral secara garis besar dapat digolongkan atas pandangan Piaget dan Kohlberg sebagai berikut :

Pertama, pandangan Piaget. Piaget (dalam Sarbaini, 2012:9) menjelaskan “...bahwa pemahaman terhadap resiprositas moral (moral timbal balik) adalah penting dalam rangka memperlakukan orang lain sebagaimana seseorang yang memerlukan perlakuan”.

(9)

dan ketidakbaikan. Sedangkan pandangan abstrak dan idealistik moralitas didasarkan pada memperlakukan orang lain sebagaimana mestinya (Sarbaini, 2012:10).

Dari pengertian menurut Piaget di atas dapat disimpulkan bahwa dalam memahami moral timbal balik seharusnya peserta didik dapat menggunakan cara atau pandangan abstrak dan idealistik sehingga nantinya diharapkan tidak ada unsur balas dendam atau benci pada orang yang berbuat ammoral, namun perlakuan terhadap orang lain akan tetap baik dan berdasarkan atas kaidah moralitas sebagaimana mestinya.

Sarbaini (2012:11) mengungkapkan bahwa pemahaman anak terhadap resiprositas menjadi lebih abstrak dan idealistis pada masa-masa sekolah dasar. Faktor yang paling berperan adalah perkembangan kognitif, namun demikian pengalaman-pengalaman juga bisa menentukan pembentukan kemampuan perkembangan kognitif terhadap resiprositas ideal.

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa faktor kognitif yang sangat berperan dalam perkembangan moral timbal balik berkembang dengan pesat saat anak memasuki usia sekolah dasar. Sehingga pada saat perkembangan yang baik ini siswa memerlukan bimbingan yang lebih intens, sehingga tahap perkembangan ini akan menjadi sarana belajar moral yang efektif.

Kedua, pandangan Kohlberg. Menurut Kohlberg (dalam Sarbaini, 2012:11) “perkembangan moralitas tergantung pada kognitif dan keterampilan-keterampilan pemilihan pandangan pada cara spesifik”. Kohlberg menghipotesiskan bahwa tahap-tahap pemilihan pandangan dari kognitif adalah penting tapi bukan kondisi yang mencukupi untuk tiap tahapan moralitas.

Mengacu pada pandangan Kohlberg tentang asumsi-asumsi kognitif penting namun tidak mencukupi, maka kematangan moral tidak hanya sejajar tapi juga tertinggal dari pemerolehan tahap kognitif dan pemilihan pandangan yang terkait namun tidak mendahuluinya.

(10)

kognitif adalah sangat penting dikembangkan untuk perubahan moral, yakni pengalaman yang menghadapkan seseorang pada informasi yang menyebabkan konflik sedikit di atas tingkat moral yang dimiliki oleh seseorang. Konflik tersebut akan memperbaharui penalaran mereka pada arah pemikiran moral yang lebih maju. Kemampuan menghadapi konflik ini yang menjadi salah satu dasar dalam mengembangkan kemampuan pertimbangan moral (moral judgement).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut Kohlberg moralitas pada dasarnya mengalami perkembangan dan berpusat pada ranah kognitif, bersifat interaksional serta dilandasi oleh prinsip resiprositas dan keadilan. Moral dibatasi oleh konstruksi lain yang disebut pertimbangan (judgement)terutama karakter formal dari pertimbangan.

2.1.3.3 Perkembangan Moral (Moral Development)

Dalam perkembangan moral terdapat beberapa teori, diantaranya adalah perkembangan moral menurut teori psikoanalisis dan perkembangan moral menurut teori Piaget.

Pertama, perkembangan moral menurut teori psikoanalisis. Freud (dalam Adisusilo, 2012:7) berpendapat bahwa “perkembangan moralitas seseorang dimulai sejak anak berkembang ke arah kedewasaannya, dimana energi psikis mereka atau disebut ‘libido’ akan bergerak ke arah pemuasan kebutuhan yang dikaitkan dengan bagian tubuh tertentu”. Bersamaan dengan perkembangan biologisnya anak mulai menyadari kalau mereka harus menyesuaikan tingkah lakunya agar bisa diterima menjadi anggota suatu kelompok. Bertitik tolak dari kebutuhan anak, Freud (dalam Adisusilo, 2012:7-8) mengemukakan tahapan perkembangan moral sebagai berikut :

1. The Oral Stage.Tahap ini berkembang di sekitar usia 1 tahun. Dalam tahap ini anak lebih berorientasi kepada pemuasan kebutuhan semata-mata.

2. The Anal Stage. Tahap ini berkembang di sekitar usia 2 sampai 3 tahun yang umumnya berpusat pada pengenalan cara-cara bagaimana mengatur kebersihan, atau toilet training.

(11)

serta mulai timbul sikap cemburu terhadap orang tua yang mempunyai organ seks yang sama (Oedipus Complex).

4. Latency Period.Di sekitar usia 6 sampai 14 tahun anak-anak mulai memasuki periode yang disebut Latency Period atau periode diam, tidak bereaksi, atau tidak bergerak.

5. The Genital Stage.Mulai usia 14 tahun anak-anak akan memasuki satu tahap yang disebut The Genital Stage, suatu tahap dimana rasa cinta terhadap orang lain mulai berkembang.

Kedua, perkembangan moral menurut teori Piaget. Menurut Piaget (dalam Adisusilo, 2012:8) “perkembangan moral terjadi dalam dua tahapan, yaitu tahap pertama adalah tahap realisme moral atau moralitas oleh pembatasan dan tahap kedua tahap moralitas otonomi (moralitas kerjasama atau hubungan timbal balik)”.

Tahap pertama, perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Mereka menganggap orang tua dan semua orang dewasa yang berwenang sebagai maha kuasa dan mengikuti peraturan yang diberikan pada mereka tanpa mempertanyakan kebenarannya. Dalam tahap ini anak menilai tindakannya benar atau salah berdasarkan konsekuensinya dan bukan berdasarkan motivasi di belakangnya. Mereka sama sekali mengabaikan tujuan tindakannya tersebut.

Tahap kedua, anak menilai perilaku atas dasar tujuan yang mendasarinya. Tahap ini biasanya dimulai antara usia 7 atau 8 tahun dan berlanjut hingga usia 12 tahun atau lebih. Gagasan yang kaku dan tidak luwes tentang benar salah perilaku mulai dimodifikasi. Anak mulai mempertimbangkan keadaan tertentu yang berkaitan dengan suatu pelanggaran moral.

2.1.3.4 Pertimbangan Moral (Moral Judgement)

(12)

yang dikemukakan oleh Kohlberg (dalam Adisusilo, 2012:2) bahwa “pertimbangan moral merupakan faktor yang amat menentukan perilaku moral”.

Menurut Kohlberg (dalam Soerdarsih, 2000:121) pertimbangan atau juga disebut penalaran moral adalah “suatu pemikiran tentang masalah moral”. Pemikiran itu merupakan prinsip yang dipakai dalam menilai dan melakukan suatu tindakan dalam situasi moral. Penalaran moral dipandang sebagai suatu struktur bukan isi. Jika penalaran moral dilihat sebagai isi, maka sesuatu dikatakan baik atau buruk akan sangat tergantung pada lingkungan sosial budaya tertentu, sehingga sifatnya akan sangat relatif. Tetapi jika penalaran moral dilihat sebagai struktur, maka apa yang baik dan buruk terkait dengan prinsip filosofis moralitas, sehingga penalaran moral bersifat universal. Penalaran moral inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahap kematangan moral.

Memperhatikan penalaran mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan dari pada memperhatikan perilaku seseorang atau bahkan mendengar pernyataannya bahwa sesuatu itu salah (Duska dan Whelan, 1975).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pertimbangan moral atau yang sering juga disebut sebagai penalaran moral adalah kemampuan (konsep dasar) seseorang untuk dapat memutuskan masalah sosial-moral dalam situasi kompleks dengan melakukan penilaian terlebih dahulu terhadap nilai dan sosial mengenai tindakan apa yang akan dilakukannya.

Tahap-tahap perkembangan penalaran moral dibagi menjadi 3 tingkat yang terdiri dari prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Tiga tingkat tersebut kemudian dibagi atas enam tahap (Kohlberg dalam Sarbaini, 2012:21-25).

1 Tingkat Prakonvensional

(13)

Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan. Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Dinilai sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas.

Tahap 2: Orientasi relativis-instrumental. Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar. Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan hal ”Jika engkau menggaruk punggungku, nanti aku juga akan menggaruk punggungmu”, dan bukan karena loyalitas, rasa terima kasih atau keadilan.

2 Tingkat Konvensional

Individu pada tingkat konvensional menemukan pemikiran-pemikiran moral pada masyarakat. Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai seorang individu di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya. Keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki kebenarannya sendiri, karena jika menyimpang dari kelompok ini akan terisolasi. Oleh karena itu, kecenderungan individu pada tahap ini adalah menyesuaikan diri dengan aturan-aturan masyarakat dan mengidentifikasikan dirinya terhadap kelompok sosialnya. Kalau pada tingkat prakonvensional perasaan dominan adalah takut, pada tingkat ini perasaan dominan adalah malu. Tingkat ini berkisar usia 10 sampai 13 tahun. Tingkat ini mempunyai dua tahap yakni:

(14)

”alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan ”dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi baik. Konsep seperti kesetiaan, kepercayaan dan rasa terima kasih mulai dikenal. Individu mulai mengisi peran sosial yang diharapkan masyarakatnya. Sesuatu dikatakan benar jika memenuhi harapan masyarakat dan dikatakan buruk jika melanggar aturan sosial.

Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban. Pada tahap ini, individu dapat melihat sistem sosial secara keseluruhan. Aturan dalam masyarakat merupakan dasar baik atau buruk, melaksanakan kewajiban dan memperlihatkan penghargaan terhadap otoritas adalah hal yang penting. Alasan mematuhi peraturan bukan merupakan ketakutan terhadap hukuman atau kebutuhan individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum dan aturan harus dipatuhi untuk mempertahankan tatanan dan fungsi sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri. 3 Tingkat Pasca-konvensional

Tingkat ini disebut juga moralitas yang berprinsip (principled morality). Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Baik atau buruk didefinisikan pada keadilan yang lebih besar, bukan pada aturan masyarakat yang tertulis atau kewenangan tokoh otoritas. Tahap ini sudah dimulai dari remaja awal sampai seterusnya. Ada dua tahap pada tingkat ini yaitu:

(15)

pendapat pribadi bersesuaian dengannya, terdapat suatu penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (dan bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya tahap 4).

Tahap 6: Orientasi prinsip etika universal. Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensifitas logis, universalitas dan konsistensi logis.

Keenam tingkat penalaran moral yang dikemukakan oleh Kohlberg tersebut dibedakan satu dengan yang lainnya bukan berdasarkan keputusan yang dibuat, tetapi berdasarkan alasan yang dipakai untuk mengambil keputusan.

2.1.4 Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral

2.1.4.1 Teori Perkembangan Kognitif untuk Pembelajaran Moral

Berkenaan dengan korelasi pengetahuan moral dan perilaku moral, Sarbaini (2012:33) menjelaskan sebagai berikut:

Moralitas individu dapat dipengaruhi oleh pengetahuan moral, kuantitas dan kualitas pengetahuan nilai moral, serta "tidak selalu menjamin" kualitas perilaku moral seseorang sehingga tidak selalu berkorelasi (moral knowledge moral behavior), akan tetapi dapat membantu perkembangan moral.

Mengacu pada pengertian di atas dapat dimaknai bahwa pengetahuan (aspek kognitif) dapat mempengaruhi sikap seseorang, oeh karena itu hal tersebut sangat penting karena merupakan awal dari perubahan perilaku.

Berdasarkan teori perkembangan moral kognitif, maka perkembangan tahapan kognitif moral menurut Kohlberg (dalam Adisusilo, 2012:24) terdiri dari tiga tingkatan, masing-masing tahapan terdiri dari dua tahapan yang dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

1. Tingkatan Pre-konvensional

(16)

b. Tahapan 2, berorientasi pada relativis instrumental (praktis-pragmatis) 2. Tingkatan Konvensional

a. Tahapan 3, berorientasi konformitas terhadap citra stereotipe mayoritas (orientasi masuk kelompok goodboydan nicegirls).

b. Tahapan 4, berorientasi pada ketertiban hukum, sosial dan agama (orientasi hukum dan ketertiban).

3. Tingkatan Post-konvensional

a. Tahapan 5, berorientasi pada kontrak sosial legalistis (berorientasi pada kemanfaatan sosial berdasarkan hak-hak individual dan berdasarkan standar yang telah dikaji secara kritis, dan disetujui oleh masyarakat).

b. Tahapan 6, berorientasi pada asas etika (berorientasi pada keputusan hati nurani berdasarkan prinsip-prinsip etika pilihan sendiri secara rasional, dan komprehensif).

Perkembangan moral kognitif demikian dialami oleh seseorang dan setiap perilaku moral yang dilakukan terhadap sesuatu hal, termasuk masalah moral dan sosial, tidak terlepas dari pertimbangan moral yang menjadi landasan orientasi penilaian moralnya. Karena tahapan perkembangan moral merupakan satu sistem pemikiran yang terorganisir, yang memperkuat dan sekaligus mengarahkan kepada keputusan-keputusan moral tertentu.

Pertimbangan moral dan landasan orientasi moral seseorang, menurut Kohlberg (dalam Sarbaini, 2012:34) akan dapat ditingkatkan melalui model pembelajaran moral yang menekankan pada perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif moral seseorang melalui tahapan-tahapan yang harus dilaluinya, dapat ditingkatkan dengan meminta siswa untuk mengambil keputusan moral yang menantang melalui isu nilai-nilai tertentu atau nilai-nilai yang berdimensi dilema moral yang dihadapkan kepada siswa.

(17)

kognitif moral sudah dicapainya dan untuk mencapai tahapan yang lebih tinggi lagi.

2.1.4.2 Konsep Perkembangan Kognitif untuk Pembelajaran Moral

Pembelajaran berbasis perkembangan moral kognitif adalah berdasarkan pada teori perkembangan moral kognitif yang dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg dan bertolak pada pendapat Dewey dan Piaget mengenai perkembangan berpikir moral.

Kohlberg (dalam Djahiri dan Wahab, 1996:41) meyakini bahwa nilai-moral-norma hanya akan mempribadi (personalized), melalui struktur kognitif, cognitive conflict dan penalaran, di mana akan terjadi transaksi intelektual taksonomi tinggi dalam mencari pemecahan suatu masalah yang termuat dalam stimulus pembelajaran. Kadar dilema dalam stimulus menentukan peringkat transaksi intelektual.

Hal tersebut di atas juga sejalan seperti apa yang dijelaskan Sarbaini (2012:36): Moralitas individu dapat dipengaruhi oleh pengetahuan moral, tetapi tidak selalu berkorelasi (moral knowledge tidak sama dengan moral behaviour), dan dapat membantu perkembangan moral. Pengetahuan (aspek kognitif) yang mempengaruhi sikap seseorang penting, karena merupakan awal dari perubahan perilaku.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat dimaknai bahwa kuantitas dan kualitas pengetahuan moral tidak selalu menjamin kualitas perilaku moral seseorang, namun paling tidak melalui pengetahuan moral tersebut dapat menjadi titik awal dalam perubahan perilaku seseorang.

Pembelajaran moral dalam konsep perkembangan kognitif adalah tipe pembelajaran yang mengarahkan atau menstimulasikan perkembangan moral peserta didik selaras dengan keadilan dan bisa dianggap memenuhi keabsahan. Hal ini disebabkan pembelajaran moral menurut konsep ini tidak bersifat memaksa dan netral. Selain itu, kerangka metodologisnya begitu menghargai kemampuan peserta didik dalam melakukan refleksi dan pilihan.

(18)

Pertama, moralitas. Perkembangan moralitas seseorang terletak pada penekanannya yang konsisten terhadap peranan kognisi dalam moralitas. Peran kognisi merupakan pintu masuk bagi perkembangan moralitas seseorang.

Kedua, orang yang bermoral. Menurut konsep perkembangan kognitif dalam pembelajaran nilai moral diharapkan akan menghasilkan pribadi yang terdidik secara moral.

Ketiga, guru/ pendidikan. Guru dalam pembelajaran nilai moral hendaknya melaksanakan tugas utama, yakni memberikan kontribusi terhadap proses perkembangan moral peserta didik dengan berperan sebagai fasilitator. Hakekat dari tugas tersebut adalah mengembangkan kemampuan peserta didik dalam proses berpikir, mempertimbangkan dan memutuskan.

Sarbaini (2012:37-38) juga turut mendeskripsikan secara lebih rinci tentang pribadi yang terdidik secara moral sebagai berikut:

Pertama, pribadi yang mampu menunjukkan suatu kombinasi dari berbagai karakteristik, seperti refleksi, prinsip, memancarkan nilai-nilai moral keadilan, memiliki disposisi dalam bertindak, sadar akan keharusan berinteraksi dengan situasi sosial dan dalam menghadapi situasi moral Kedua, pribadi yang mampu menyerap proses pertimbangan moral maupun melaksanakan proses tersebut, sehingga memiliki kesadaran akan adanya prinsip-prinsip di dalam kehidupan.

2.1.4.3 Model Pembelajaran Berbasis Perkembangan Kognitif Moral

Substansi pembelajaran yang menggunakan model perkembangan kognitif moral menurut Sarbaini (2012:42) harus terdiri dari 5 (lima) hal yang merupakan substansi (inti) dari model pembelajaran perkembangan kognitif moral, yaitu:

Pertama adalah fokus. Fokus dari model pembelajaran ini adalah berupa atau dalam bentuk adanya situasi dilematis. Situasi dilematis ini harus antara lain: terfokus pada kehidupan peserta didik, isi/ materi pelajaran, atau pada kehidupan masyarakat, pemerintahan, dan negara yang aktual. Situasi dilema yang dikehendaki harus asli atau mencerminkan hal yang sesungguhnya dari kehidupan nyata.

(19)

Ketiga adalah pilihan. Tokoh utama harus memiliki dua pilihan alternatif tindakan yang membutuhkan satu konflik tertentu. Pilihan tidak harus berupa jawaban yang benar menurut kelaziman di masyarakat.

Keempat, isu-isu moral. Situasi dilema dan tokoh utama berkaitan dengan norma-norma sosial, politik, ekonomi, budaya, keluarga, masyarakat, dan lain-lain, misalnya hukuman, seks, politisi busuk, dan koruptor.

Terakhir, kelima adalah pertanyaan tindakan. Pertanyaan tindakan adalah berupa tindakan apa yang harus dilakukan tokoh utama. Tindakan ini merupakan inti kegiatan diskusi yang berpusat pada penilaian moral dalam suatu dilema.

Agar pelaksanaan strategi pembelajaran dengan menggunakan model perkembangan kognitif moral ini sesuai dengan asumsi dan tujuannya, maka pembelajaran tersebut harus dijabarkan ke dalam langkah-langkah prosedur pelaksanaan pembelajaran. Adapun langkah-langkah pembelajaran berbasis kognitif moral menurut Sarbaini (2012:43) adalah sebagai berikut :

1. Menghadapkan peserta didik dengan satu dilema moral, dapat berupa antara lain lembar cerita, role playing, fragmenfilm, atau kliping koran. Peserta didik harus dapat memahami masalah yang dilematis yang dihadapi tokoh utama dalam cerita.

2. Menetapkan posisi sementara. Guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menetapkan posisi sementara dirinya dalam dilema moral yang dihadapi, dengan cara menuliskan posisinya. Kemudian guru mengelompokkan visi yang sama.

3. Mengkaji penalaran/pertimbangan moral. Peserta didik dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil untuk mengkaji pertimbangan moralnya (moral reasoning)dalam kelompoknya.

4. Memikirkan cara mendalam setiap visi individual (Reflect on the Individual Position). Guru membantu peserta didik sekali lagi untuk merenungi posisinya dalam dilema moral tersebut.

5. Dilema moral disesuaikan dengan perkembangan peserta didik dalam pendidikan dasar tingkat SD, misalnya dilema tentang kerjasama, sikap adil, memahami orang lain, serta kerukunan dalam keragaman.

2.1.5 Model Pembelajaran Value Clarification Technique(VCT) 2.1.5.1 Pengertian Model Pembelajaran VCT

(20)

peserta didik dalam mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri dan nilai-nilai orang lain. Karakteristik individu dalam menentukan nilai sangat fluktuatif, dalam arti bisa suatu saat mengalami kenaikan maupun penurunan. Fluktuatif dalam menentukan nilai ini dipengaruhi oleh perkembangan individu sendiri. Dengan menggunakan VCT diharapkan dapat memberikan penyegaran nilai-nilai yang fluktuatif tersebut agar nilai yang baik dapat diyakini oleh peserta didik (Claudia Macari, 1972:621)

Model pembelajaran sendiri menurut Trianto (2010:53) adalah sebagai berikut: Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dan para guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran.

Karakteristik VCT sebagai model pembelajaran dalam strategi pembelajaran nilai/moral bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan peserta didik dalam dalam mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri dan nilai-nilai-nilai-nilai orang lain. (Nurul Zuriah, 2007:75)

Model pembelajaran klarifikasi nilai membantu peserta didik untuk mampu mengkomunikasikan secara jujur dan terbuka tentang nilai-nilai mereka sendiri kepada orang lain dan membantu peserta didik dalam menggunakan kemampuan berpikir rasional dan emosional dalam menilai perasaan, nilai dan tingkah laku mereka sendiri.

Hall (dalam Adisusilo, 2012:145) mengartikan teknik klarifikasi nilai (VCT) sebagai:

“By value clarification we mean a methodology or process by which we help a person to discover values through behavior, feelings, ideas, and through important choices he has made and is continually, in fact, acting uppon in and through his life.”

(21)

Menurut Sanjaya (2008:88) VCT merupakan “teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa”.

Menurut Adisusilo (2012:141) “Value Clarification Technique (VCT) adalah pendidikan nilai dimana peserta didik dilatih untuk menemukan, memilih, menganalisis, memutuskan, mengambil sikap sendiri nilai-nilai hidup yang ingin diperjuangkannya”.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa VCT merupakan pembelajaran nilai yang mampu mengarahkan peserta didik mempunyai keterampilan atau kemampuan menentukan nilai-nilai hidup yang tepat sesuai dengan tujuan hidupnya.

Melalui klarifikasi nilai, peserta didik tidak diminta menghafal dan ‘disuapi’ dengan nilai-nilai yang sudah dipilihkan pihak lain, melainkan dibantu untuk menemukan, menganalisis, mempertanggungjawabkan, mengembangkan, memilih, mengambil sikap dan mengamalkan nilai-nilai hidupnya sendiri. Peserta didik tidak dipilihkan nilai mana yang baik dan benar untuk dirinya, melainkan diberi kesempatan untuk menentukan pilihan sendiri nilai-nilai mana yang mau dikejar, diperjuangkan dan diamalkan dalam hidupnya. Dengan demikian, peserta didik semakin mandiri, semakin mampu mengambil keputusan sendiri dan mengarahkan hidupnya sendiri, tanpa campur tangan yang tidak perlu dari pihak lain. Dalam hidup manusia selalu berhadapan dengan situasi yang mengundangnya untuk membuat pilihan. Tanpa keterampilan menentukan pilihan sendiri, orang akan banyak mengalami kesulitan dalam perjalanan hidupnya. 2.1.5.2 Tujuan Model Pembelajaran VCT

Taniredja (2011:88) mengungkapkan tujuan VCT dalam pembelajaran PKn adalah:

a. Mengetahui dan mengukur tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pijak menentukan target nilai yang akan dicapai.

(22)

selanjutnya ditanamkan ke arah peningkatan dan pencapaian target nilai.

c. Menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang rasional (logis) dan diterima siswa, sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan menjadi milik siswa sebagai proses kesadaran moral bukan kewajiban moral.

d. Melatih siswa dalam menerima serta menilai dirinya dan posisi nilai orang lain, menerima serta mengambil keputusan terhadap suatu persoalan yang berhubungan dengan pergaulannya dan kehidupan sehari-hari.

Menurut Sanjaya (2008:82) VCT memiliki beberapa tujuan yaitu:

a. Untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai.

b. Membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik tingkatannya maupun sifatnya (positif dan negatifnya) untuk kemudian dibina ke arah peningkatan dan pembetulannya.

c. Untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima siswa sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan menjadi milik siswa.

d. Melatih siswa bagaimana cara menilai, menerima, serta mengambil keputusan terhadap suatu persoalan dalam hubungannya dengan kehidupan sehari-hari masyarakat.

Adisusilo (2012:142) juga mengungkapkan tujuan menggunakan pembelajaran VCT antara lain :

a. Membantu peserta didik untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai-nilai-nilai orang lain.

b. Membantu peserta didik agar mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berkaitan sengan nilai-nilai yang diyakininya. c. Membantu peserta didik agar mampu menggunakan akal budi dan

kesadaran emosionalnya untuk memahami perasaan, nilai-nilai dan pola tingkah lakunya sendiri.

(23)

2.1.5.3 Sintaks Model Pembelajaran VCT

Klarifikasi nilai adalah proses pemilihan dan penentuan nilai (the process of valuing)serta sikap terhadap nilai tersebut dan bukan isi nilai-nilai atau daftar nilai-nilai hidup. Klarifikasi nilai juga bukan untuk melatih peserta didik menilai salah benarnya suatu nilai, tetapi melatih peserta didik untuk proses menghargai dan melaksanakan nilai-nilai yang dipilih secara bebas.

Menurut Kaswardi (dalam Adisusilo, 2012:146) fokus VCT adalah “bagaimana orang sampai pada pemilihan nilai-nilai tertentu dan menginternalisasikannya dalam tingkah laku serta sikap”.

Menurut John Jarolimek (dalam Wina Sanjaya, 2006:284-285) pembelajaran VCT dilaksanakan dalam tujuh tahap yang dibagi dalam tiga tingkat. Adapun setiap tahapan adalah sebagai berikut :

1. Kebebasan memilih

Pada tingkat kebebasan memilih ada tiga tahap yaitu:

a. Memilih secara bebas, artinya kesempatan untuk menentukan pilihan yang menurutnya baik.

b. Memilih dari beberapa alternatif, artinya menentukan pilihannya dari beberapa alternatif pilihan secara bebas.

c. Memilih setelah melakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang akan timbul sebagai akibat atas pilihannya itu.

2. Menghargai

Pada tingkat menghargai ada dua tahap yaitu:

a. Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi pilihannya, sehingga nilai tersebut akan menjadi integral pada dirinya.

b. Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya di depan umum.

3. Berbuat

Pada tingkat berbuat ada dua tahap yaitu:

a. Adanya kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya.

b. Mau mengulangi perilaku sesuai dengan nilai pilihannya.

(24)

Tabel 2

Tiga proses klarifikasi nilai menurut pendekatan VCT

Sumber : Sutarjo Adisusilo 2012:147

Lebih lanjut Hall (dalam Adisusilo, 2012: 160) menjelaskan langkah-langkah pembelajaran VCT yang di tampilkan dalam bentuk bagan berikut ini :

1. Memilih 1) Memilih dengan bebas.

2) Memilih dari berbagai alternatif.

3) Memilih dari berbagai alternatif setelah mengadakan pertimbangan tentang berbagai akibatnya.

2. Menghargai/ menjunjung tinggi

4) Menghargai dan merasa bahagia dengan pilihannya. 5) Bersedia mengakui/ menegaskan pilihannya itu di depan

umum.

3. Bertindak 6) Berbuat atau berperilaku sesuatu sesuai dengan pilihannya.

(25)

PENDIDIK 4. Menyampaikan pertanyaan yang

bersifat menyelidik

4. Menyusun dan mengurutkan nilai-nilai dan mengamati sikap

alasannya serta mengambil sikap

1. Memperdalam jawaban atas pertanyaan/tugas

(26)

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam model pembelajaran VCT siswa diberi kebebasan untuk menentukan, memilih, bertindak, dan bersikap berdasarkan nilainya sendiri dengan bimbingan seorang guru. Peran guru di sini bukan sebagai pengajar nilai tetapi sebagai motivator dan fasilitator. Pada kegiatan pembelajarannya guru dituntut memiliki keterampilan bertanya tingkat tinggi untuk mengungkap nilai yang ada di dalam diri siswa. Pendekatan pada pemilihan dan penentuan nilai secara bebas berdasarkan pengalaman dan nalarnya sendiri, tidak ditentukan secara sepihak oleh pengaruh lain seperti agama, masyarakat dan lain-lain.

Pelaksanaan model pembelajaran VCT sangat fleksibel dalam pemilihan metode, atau juga jika dikolaborasikan dengan model pembelajaran lain. Peranan guru sebagai role model atau pendorong harus mendorong siswa dengan pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai atau mengklarifikasi nilai. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran model pembelajaran VCT menurut Wina Sanjaya (2008:285) adalah sebagai berikut:

a. Hindari penyampaian pesan melalui proses pemberian nasehat, yaitu memberikan pesan moral yang menurut guru dianggap baik.

b. Jangan memaksa siswa untuk memberikan respons tertentu apabila memang siswa tidak menghendakinya.

c. Usahakan dialog dilakukan secara bebas dan terbuka sehingga siswa akan mengungkapkan perasaannya secara jujur dan apa adanya.

d. Dialog dilakukan kepada individu, bukan kepada kelompok.

e. Hindari respons yang dapat menyebabkan siswa terpojok sehingga ia menjadi defensif.

f. Tidak memaksa siswa pada pendirian tertentu g. Jangan mengorek alasan siswa secara mendalam.

2.1.5.4 Sintaks Pembelajaran Kognitif Moral melalui Model VCT Berdasarkan Standar Proses

(27)

Tabel 3

Sintaks Pembelajaran Kognitif Moral melalui Model VCT Berdasarkan Standar Proses

Kegiatan Deskripsi Kegiatan

Siswa mempersiapkan diri secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran.

Kegiatan pendahuluan

Guru bersama siswa melakukan tanya jawab untuk mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari.

Siswa menyimak tujuan pembelajaran. Siswa menyimak penjelasan guru tentang cakupan materi dan uraian kegiatan yang akan dilakukan dalam kegiatan pembelajaran.

Kegiatan inti

Eksplorasi Penyajian dilemma

Siswa menyimak penjelasan guru tentang cerita dilematis moral.

Guru bersama siswa melakukan kegiatan tanya jawab kepada siswa tentang pengalaman kasus dilematis yang pernah dialami.

Siswa menyimak penjelasan guru tentang tata cara penyelesaian kasus dilematis moral dengan pendekatan pengelompokan fakta yang terjadi dalam suatu kasus. Guru menyampaikan kasus dilematis moral. Elaborasi Tugas

mandiri

Siswa secara individu menganalisis cerita dilematis moral.

Siswa mengidentifikasi nilai-nilai moral yang terkandung dalam kasus dilematis moral.

Siswa menyusun skala prioritas nilai moral pada nilai-nilai yang telah diidentifikasi serta alasan penentuan skala prioritas. Diskusi

kelompok kecil

Siswa membentuk kelompok kecil.

Siswa melakukan kegiatan diskusi untuk menentukan tindakan atas penyelesaian kasus dilematis moral beserta alasan logis yang mendasarinya.

Siswa menyusun laporan kelompok.

(28)

tahap pertama

difasilitasi oleh guru.

Setiap satu kelompok selesai melaporkan hasil diskusi, guru memberikan kesempatan 2 kelompok yang lain untuk menanggapi, begitu seterusnya sampai semua kelompok selesai melaporkan.

Sekretaris mencatat hal-hal yang penting dalam tanggapan kelompok.

Diskusi pleno tahap kedua

Siswa semua kelompok menggeneralisasi nilai moral yang disepakati oleh semua kelompok dengan dipandu oleh guru sebagai moderator.

Jika ada kelompok yang tidak setuju dengan generalisasi, guru memberikan kesempatan untuk menyampaikan alasan dan meminta kelompok lain untuk menanggapi.

Sekretaris mencatat hasil diskusi nilai yang telah disepakati oleh semua kelompok. Jeda waktu untuk diskusi kelompok kecil sebagai persiapan diskusi pleno hierarki nilai moral yang akan dilakukan.

Siswa mealkukan diskusi penyusunan hierarki nilai moral yang disampaikan oleh tiap kelompok beserta alasan yang mendasarinya dengan dibimbing oleh guru. Sekretaris mencatat hierarki moral yang telah disepakati.

Berdasarkan hierarki nilai moral yang disepakati, berarti sudah dapat dipastikan mana nilai yang paling penting dan mana tidak perlu.

Diskusi keputusan akhir berdasarkan skala hierarki nilai untuk menentukan tindakan moral dalam kasus dilematis.

Konfirmasi Penutup diskusi

Siswa menyimak tanggapan dan review guru tentang semua alasan yang telah disampaikan oleh semua kelompok

(29)

Siswa diberikan penguatan atas tindakan penyelesaian dalam kasus dilematis moral. Siswa diberikan apresiasi atas keaktifan siswa dalam berdiskusi dan memotivasi siswa yang masih belum aktif.

Siswa bertanya tentang hal yang kurang dimengerti.

Siswa diminta untuk terus berlatih dalam menganalisis dan menyusun skala prioritas nilai moral dalam kasus-kasus dilematis. Kegiatan

penutup

Guru bersama dengan siswa menyimpulkan hasil pembelajaran tentang cerita dilematis moral beserta tindakan penyelesaiannya. Guru memberikan penilaian secara klasikal tentang diskusi kelompok yang telah dilakukan.

Siswa mengerjakan soal evaluasi.

Siswa diberikan tugas rumah secara individual tentang kasus dilematis moral.

2.1.5.5 Kelebihan dan Kelemahan Model VCT

Adisusilo (2012:152) mengungkapkan bahwa VCT memiliki kelebihan diantaranya:

a. Membantu siswa untuk berproses menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai-nilai-nilai orang lain.

b. Membantu siswa supaya mereka mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri. c. Membantu siswa supaya mampu menggunakan secara bersama-sama

kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, sikap dan pola tingkah laku mereka sendiri dan akhirnya didorong untuk menghayatinya.

Menurut A. Kosasih Djahiri (1979:28), kelebihan dari model VCT adalah: a. Mampu membina dan mempribadikan nilai dan moral.

b. Mampu mengklarifikasi dan mengungkapkan isi pesan dari materi yang disampaikan.

c. Mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai moral diri siswa dan nilai moral dalam kehidupan nyata.

d. Mampu mengundang, melibatkan, membina, dan mengembangkan potensi siswa, terutama afektifnya.

(30)

f. Mampu menangkal, meniadakan, mengintervensi dan menyubversi berbagai nilai moral yang ada di dalam diri seseorang.

g. Menuntun dan memotivasi untuk hidup layak dan bermoral tinggi. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keunggulan dalam pengajaran VCT adalah semua aspek yang ada dalam diri peserta didik atau siswa dilibatkan sehingga hal ini dapat mewujudkan pengajaran VCT yang utuh, bulat dan berkesinambungan. Selain itu, VCT juga mampu membina dan mengembangkan nilai moral tanpa memaksakan nilai-nilai tersebut, melainkan memberi keterampilan pada siswa supaya siswa mampu memilih, mengembangkan, dan mempertanggungjawabkan nilai-nilainya sendiri, siswa dilatih untuk memecahkan persoalan hidup dan siswa terlibat dalam menolak, mengambil atau mempertahankan keputusan.

Sebuah model pembelajaran tentunya juga memiliki beberapa kelemahan. Beberapa kelemahan model VCT menurut Zuchdi (2008:10) adalah klarifikasi nilai dapat berimplikasi pada relativisme nilai dan menganggap semua nilai sama. Selain itu, klarifikasi nilai merupakan modifikasi perilaku yang kompleks karena menyangkut konsep, ide dan penerapannya, sehingga dalam pelaksanaanya membutuhkan persiapan yang matang dan dukungan guru yang benar-benar profesional.

Djahiri (dalam Taniredja, 2011:91) juga mengungkapkan kelemahan pembelajaran VCT adalah sebagai berikut:

a. Apabila guru/dosen tidak memiliki kemampuan melibatkan peserta didik dengan keterbukaan, saling pengertian dan penuh kehangatan maka siswa akan memunculkan sikap semua atau imitasi/palsu. Siswa akan bersikap menjadi sangat baik, ideal, patuh dan penurut, namun hanya bertujuan untuk menyenangkan guru atau memperoleh nilai yang baik.

b. Sistem nilai yang dimiliki dan tertanam guru/dosen, peserta didik dan masyarakat yang kurang atau tidak baku dapat mengganggu tercapainya target nilai baku yang ingin dicapai/nilai etik.

(31)

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kelemahan VCT adalah proses pembelajaran ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan guru dalam mengajar terutama kemampuan keterampilan bertanya tingkat tinggi yang mampu mengungkap nilai yang ada pada siswa. Jika guru yang mengajar kurang menguasai keterampilan bertanya dan kurang melibatkan peserta didik dengan suasana keterbukaan maka proses pembelajaran kurang efektif dan tidak tercipta pembelajaran yang demokratis

2.1.6 Pembelajaran Konvensional dan Ceramah Bervariasi 2.1.6.1 Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang menjadikan guru sebagai pusat dari pembelajaran(teacher center), dimana guru adalah tokoh utama dalam pembelajaran. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sukra dalam Scholaria jurnal pendidikan ke-SD-an (2011:215) yang menyatakan bahwa “metode pembelajaran konvensional merupakan metode pembelajaran yang berpusat pada guru, yang hampir seluruh kegiatan pembelajaran dikontrol oleh guru”.

Sudjana (2009:13) berpendapat bahwa “konvensional merupakan suatu cara penyampaian informasi dengan lisan kepada sejumlah pendengar”. Kegiatan ini berpusat pada penceramah dan komunikasi terjadi searah. Dalam pembelajaran konvensional, siswa dalam proses pembelajaran dipandang sebagai orang yang belum mengetahui apa-apa dan hanya menerima bahan-bahan ilmu pengetahuan yang diberikan guru.

Sukandi dalam Scholaria jurnal pendidikan ke-SD-an (2011:215) mendeskripsikan bahwa:

(32)

Pembelajaran ini cenderung menempatkan siswa dalam posisi pasif sehingga kurang mengoptimalkan kemampuan siswa serta pembelajaran menjadi kurang bermakna.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang berpusat kepada guru dimana guru menjadi sumber utama dalam pembelajaran. Pembelajaran ini ditandai dengan kegiatan guru ceramah di depan kelas dan cenderung menempatkan siswa dalam posisi pasif.

Menurut Sudjana (2009:45), adapun ciri-ciri pengajaran konvensional adalah sebagai berikut:

1. Mengajar berpusat pada bahan pelajaran.

Tujuan utama pengajaran konvensinal adalah pengembangan daya intelektual siswa, maka pengajaran berpusat pada usaha penyampaian pengetahuan. Tugas guru adalah menyampaikan semua bahan pengajaran yang baru

2. Mengajar berpusat pada guru

Menurut konsep pengajaran konvensional, mengajar yang baik dinilai dari sudut guru yaitu berdasarkan apa yang dilakukannya dan bukan apa yang terjadi pada siswa

Mawardi dan Puspasari dalam Scholaria jurnal pendidikan ke-SD-an (2011:219) mengemukakan karakteristik model pembelajaran konvensional dalam penerapannya di kelas, antara lain:

1. Siswa adalah penerima informasi.

2. Siswa cenderung bekerja secara individual. 3. Pembelajaran cenderung abstrak dan teoritis. 4. Perilaku dibangun atas kebiasaan.

5. Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan.

6. Siswa tidak melakukan yang jelek karena dia takut hukuman. 7. Bahasa diajarkan dengan pendekatan stuktural.

Setiap pembelajaran pasti memiliki kekurangan dan kelebihan, begitu juga dengan pembelajaran knvensional. Berikut adalah kekurangan dan kelebihan pembelajaran konvensional menurut Mawardi dan Puspasari.

(33)

1. Berbagi informasi yang tidak mudah ditemukan di tempat lain. 2. Menyampaikan informasi dengan cepat.

3. Membangkitkan minat akan informasi.

4. Mengajari siswa yang cara belajar terbaiknya dengan mendengarkan. Namun pembelajaran konvensional juga mempunyai beberapa kelemahan yaitu:

1. Tidak semua siswa memiliki cara belajar dengan mendengarkan

2. Siswa cepat bosan karena pendidik sering kesulitan untuk menjaga agar siswa tetap tertarik dengan apa yang dipelajari

3. Tidak membangkitkan pemikiran kritis siswa

4. Pembelajaran konvensional mengansumsikan bahwa cara belajar siswa itu sama dan tidak bersifat individual.

2.1.6.2 Metode Pembelajaran Ceramah

Wina Sanjaya (2006: 147) mengemukakan bahwa “Metode ceramah dapat diartikan sebagai cara menyajikan pelajaran melalui penuturan secara lisan atau penjelasan langsung kepada sekelompok siswa.”

Menurut James Popham, mendefinisikan metode ceramah sebagai suatu metode mengajar dimana guru menyajikan informasi secara lisan (Etin Solihatin, 2012: 122).

Metode ceramah yang berasal dari kata lecture, memiliki arti dosen atau metode dosen, metode ini lebih banyak dipergunakan di kalangan dosen, karena dosen memberikan kuliah mimbar dan disampaikan dengan ceramah dengan pertimbangan dosen berhadapan dengan banyak mahasiswa yang mengikuti perkuliahan. Metode ceramah ini berbentuk penjelasan konsep, prinsip, dan fakta, pada akhir perkuliahan ditutup dengan tanya jawab antara dosen dan mahasiswa, namun demikian pada sekolah tingkat lanjutan metode ceramah dapat dipergunakan oleh guru, dan metode ini divariasi dengan metode lain (Martinis Yamin, 2007: 139-140).

(34)

metode ini, maka guru haruslah memiliki keterampilan menjelaskan (explaining skills) dan kemampuan memilih dan menggunakan alat bantu penjelasan yang tepat.

Kecenderungan guru menganggap metode ceramah sebagai metode pembelajaran yang paling mudah. Anggapan demikian sebenarnya kurang tepat Mc. Leish sebagaimana yang dikutip oleh Sudarsono Sudirdjo memandang bahwa keberhasilan metode ceramah tergantung harapan siswa. Jika siswa menyukai, maka penggunaan metode ceramah akan berfaedah, sebaliknya jika siswa tidak menyukai, maka penggunaan metode ceramah akan menemui kegagalan.

Berbagai macam metode pembelajaran yang ada pasti mempunyai kelebihan dan kelemahan. Berikut ini diuraikan mengenai kelebihan dan kekurangan metode ceramah:

Menurut Wina Sanjaya (2006: 148) beberapa kelebihan metode ceramah diantaranya:

a. Ceramah merupakan metode yang murah dan mudah, murah maksudnya ceramah tidak memerlukan peralatan yang lengkap, sedangkan mudah karena ceramah hanya mengandalkan suara guru dan tidak memerlukan persiapan yang rumit.

b. Ceramah dapat menyajikan materi pelajaran yang luas, artinya materi pelajaran yang banyak dapat dijelaskan pokok-pokoknya saja oleh guru. c. Ceramah dapat memberikan pokok-pokok materi yang perlu

ditonjolkan, artinya guru dapat mengatur pokok-pokok materi yang perlu ditekankan sesuai kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai.

d. Melalui ceramah guru dapat mengontrol keadaan kelas, karena kelas merupakan tanggung jawab guru yang ceramah.

e. Organisasi kelas dengan menggunakan ceramah dapat diatur menjadi lebih sederhana.

Selain kelebihan di atas, ceramah juga memiliki beberapa kelemahan sebagaimana yang dijelaskan oleh Wina Sanjaya (2006: 148) sebagai berikut:

a. Materi yang dikuasai siswa dari hasil ceramah akan terbatas pada yang dikuasai guru.

b. Ceramah yang tidak disertai peragaan dapat mengakibatkan terjadinya verbalisme.

c. Guru yang kurang memiliki kemampuan bertutur yang baik, ceramah sering dianggap sebagai metode yang membosankan.

(35)

2.1.6.3 Ceramah Bervariasi

Menurut Sudjana (2010:123) ceramah bervariasi adalah “suatu teknik penjelasan lisan yang dilengkapi dengan penggunaan alat-alat bantu pandang dengar (audio visual) dan teknik-teknik kegiatan belajar lainnya seperti diskusi, demonstrasi, simulasi, penugasan, dan kunjungan studi”. Dengan teknik ceramah bervariasi ini, akan merubah metode ceramah yang biasanya hanya sebagai cara menjelaskan dengan satu arah dari pendidik kepada peserta didik, akan lebih efektif karena memberikan rangsangan kepada peserta didik untuk lebih aktif berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran.

Teknik ceramah bervariasi juga merubah sebuah pandangan negatif tentang metode ceramah yang sering disebut sebagai metode kuno atau konvensional, kurang efektif, serta bersifat teacher centered. Dengan teknik ini, diharapkan ceramah dapat menjadi sebuah metode yang menarik dan merangsang siswa untuk berpartisipasi secara aktif tidak hanya diam dan mendengarkan penjelasan guru saja.

Ceramah bervariasi dilaksanakan melalui langkah-langkah yang menjadi pedoman dalam implementasinya. Sudjana (2010:124) menjelaskan langkah-langkah teknik ceramah bervariasi sebagai berikut:

1. Pendidik, mungkin pula dengan mengikutsertakan peserta didik, menyusun topik yang akan dipelajari berdasarkan kebutuhan belajar. Kemudian pendidik menyusun pokok-pokok informasi yang akan disampaikan kepada para peserta didik.

2. Pendidik memilih, menetapkan, dan menyiapkan alat-alat bantu pandang dengar yang cocok dengan pokok-pokok informasi, sebagai alat bantu dalam penyampaian informasi itu dan menetapkan sumber-sumber lainnya yang akan dipelajari pleh para peserta didik.

3. Pendidik menetapkan teknik-teknik kegiatan belajar partisipatif lainnya yang akan digunakan setelah pokok-pokok informasi itu disampaikan. 4. Pendidik membantu peserta didik untuk melakukan kegiatan belajar

dengan tahapan sebagai berikut:

a. Pendidik menjelaskan pokok-pokok informasi

(36)

c. Para peserta didik, dalam sub-sub kelompok atau kelompok besar, mempelajari sumber-sumber lain untuk memperdalam pemahaman tentang informasi yang disampaikan oleh pendidik.

d. Pendidik memberi tugas kepada para peserta didik untuk menggunakan teknik-teknik lain dalam membahas pokok-pokok informasi ini dengan teknik lain itu para peserta didik dapat menyusun tanggapan, pertanyaan, sanggahan dan lain sebagainya yang dapat diajukan kepada pendidik dan semua peserta didik.

e. Pendidik bersama para peserta didik memberi jawaban terhadap pertanyaan dan memberi penjelasan tentang hasil kegiatan dari kelompok atau dari seluruh peserta didik.

5. Pendidik bersama peserta didik melakukan evaluasi terhadap proses dan hasil kegiatan belajar dengan penggunaan teknik ini.

Suatu teknik pembelajaran pasti memiliki kekurangan dan kelebihan, begitu juga dengan teknik ceramah bervariasi. Menurut Sudjana (2010:125) keunggulan dan kelemahan teknik ceramah bervariasi sebagai berikut:

Keunggulan teknik ceramah bervariasi diantaranya:

1. Waktu yang disediakan dapat digunakan secara efektif dan efisien. 2. Dapat digunakan pada kelompok peserta didik yang besar jumlahnya. 3. Dapat digunakan untuk merangsang peserta didik guna memperluas

atau memperdalam informasi melalui kegiatan belajar dengan teknik-teknik lain.

4. Lebih efektif apabila digunakan bagi para peserta didik yang telah dewasa.

5. Kegiatan belajar dapat menampung pendapat, tanggapan, dan pertanyaan dalam suasana yang mungkin menggembirakan.

Sedangkan kelemahannya yakni:

1. Peserta didik terhalang untuk merespon secara langsung pada saat pokok-pokok informasi yang disampaikan.

2. Waktu yang digunakan mungkin tidak cukup terutama apabila peserta didik sangat aktif dalam kegiatan melalui teknik-teknik lainnya.

3. Pendidik harus menguasai pokok-pokok informasi dan sumber-sumber lain, terlatih dalam memotivasi dan menyampaikan informasi.

4. Relatif sulit digunakan bagi peserta didik yang belum dewasa, tuna aksara, dan berkelainan.

5. Tidak semua jawaban dan penjelasan dari pertanyaan dan tanggapan peserta didik dapat memuaskan setiap orang.

2.1.6.4 Pembelajaran Konvensional Ceramah Bervariasi

(37)

ke-SD-an Scholaria Volume 1 Nomor 1, (2011:216-220) yang menyatakan bahwa “pembelajaran konvensional ditandai dengan ceramah, pemberian tugas dan latihan”. Ceramah adalah pembelajaran yang sering juga dikenal sebagai pembelajaran pasif, satu arah, dan teacher centered. hal tersebut membuat sebagian orang terkadang memandang sebelah mata terhadap pembelajaran konvensional. Padahal, pembelajaran ini ataupun ceramah akan tetap diperlukan untuk menerangkan beberapa konsep-konsep baru atau pembelajaran yang bersifat klasikal. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan optimalisasi pembelajaran konvensional sehingga seiring dengan perkembangan jaman pembelajaran konvensional tidak hanya stagnan saja namun dinamis.

Sebagai salah satu upaya dalam optimalisasi tersebut, ceramah bervariasi adalah perpaduan yang tepat dalam mengembangkan pembelajaran konvensional. Ceramah bervariasi yang dimaksud adalah ceramah yang divariasi dengan diskusi kelompok. Dengan divariasi dengan diskusi, pembelajaran akan membuat siswa lebih aktif dan kreatif dalam berkomunikasi dan mengungkapkan pendapat.

(38)

Tabel 4

Sintaks Pembelajaran Konvensional Ceramah Bervariasi dalam Pembelajaran Dilematis Moral Berdasarkan Standar Proses

Kegiatan Deskripsi Kegiatan

Kegiatan pra pembelajaran Guru menyusun pokok-pokok informasi cerita dilematis moral yang akan disampaikan kepada peserta didik.

Guru menyiapkan beberapa teks cerita dilematis moral sebagai media pembelajaran.

Guru menetapkan metode ceramah bervariasi dengan diskusi dan tanya jawab sebagai metode untuk membelajarkan cerita dilematis moral.

Kegiatan awal Siswa mempersiapkan diri secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran.

Guru bersama siswa melakukan tanya jawab untuk mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari.

Siswa menyimak tujuan pembelajaran.

Siswa menyimak penjelasan guru tentang cakupan materi dan uraian kegiatan yang akan dilakukan dalam kegiatan pembelajaran.

Kegiatan inti Eksplorasi Siswa menyimak penjelasan guru tentang pengertian cerita dilematis moral beserta contoh yang sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari.

Siswa menyimak penjelasan guru tentang cara penyelesaian kasus dilematis moral.

Guru bersama dengan siswa mengerjakan soal dilematis moral di materi ajar sebagai contoh penyelesaian kasus.

Siswa membentuk kelompok yang beranggotakan 4 orang.

Tiap kelompok diberikan soal yang beragam serta berbeda dengan kelompok lain.

Elaborasi Siswa melakukan kegiatan berdiskusi untuk mengerjakan tugas kelompok.

Siswa membuat laporan hasil diskusi kelompok dengan menjawab soal beserta alasan tindakan penyelesaian yang diajukan.

(39)

Kelompok yang tidak maju diberikan kesempatan bertanya, menyanggah atau menanggapi jawaban teman mereka yang presentasi.

Siswa membuat laporan kelompok akhir yang telah disusun berdasarkan tenggapan dan pendapat kelompok lain.

Konfirmasi Siswa menyimak penjelasan guru tentang pendalaman nilai dalam menyelesaikan soal dilematis moral.

Siswa menyimak penjelasan guru tentang jawaban yang masih salah dan memberikan penguatan atas jawaban yang sudah benar/sesuai.

Siswa diminta untuk terus berlatih dalam menyelesaikan kasus dilematis moral.

Siswa diberikan apresiasi atas kegiatan diskusi yang telah dilakukan siswa dan memotivasi siswa yang masih belum aktif.

Kegiatan penutup Siswa dengan bimbingan guru menyimpulkan hasil pembelajaran tentang cerita dilematis moral beserta tindakan penyelesaiannya.

Guru memberikan penilaian secara klasikal tentang diskusi kelompok yang telah dilakukan.

Siswa mengerjakan soal evaluasi.

Siswa diberikan tugas rumah secara individual tentang kasus dilematis moral.

2.1.7 Hasil Belajar

2.1.7.1 Pengertian Hasil Belajar

Belajar merupakan aktivitas penting dalam kehidupan manusia. Ruminiati (2007:2) menyatakan bahwa “seseorang dapat dikatakan belajar apabila di dalam diri orang tersebut terjadi suatu aktivitas yang mengakibatkan perubahan tingkah laku yang diamati relatif lama”. Menurut Hernawan (2007: 2) “belajar merupakan proses perubahan perilaku dimana perubahan perilaku tersebut dilakukan secara sadar dan bersifat menetap, yang mencakup dalam hal kognitif, afektif, dan psikomotor”.

(40)

dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku akibat interaksi individu dengan lingkungannya.

Purwanto (2006: 84) mengemukakan adanya beberapa elemen penting yang mencirikan pengertian belajar, yaitu :

a. Belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku, di mana perubahan itu bisa mengarah pada tingkah laku yang lebih baik, tetapi juga ada kemungkinan mengarah kepada tingkah laku yang lebih buruk. b. Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan atau

pengalaman.

c. Untuk dapat disebut belajar, maka perubahan itu harus relatif mantap, harus merupakan akhir daripada suatu periode waktu yang cukup panjang.

Usai melakukan kegiatan belajar, seseorang akan memperoleh hasil dari apa yang telah dipelajari. Menurut Nawawi (dalam Ahmad Susanto 2013:5) “hasil belajar dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah dengan dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu”.

Selanjutnya Ruminiati (2007:8) menyatakan bahwa “hasil belajar merupakan hasil interaksi stimulus dari luar dengan schematasiswa”. Sedangkan Sardiman (2007: 2) menyatakan bahwa “hasil belajar merupakan hasil perubahan tingkah laku dalam dirinya, baik perubahan yang bersifat pengetahuan, keterampilan, sikap, dan bersifat relatif permanen”.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan hasil proses belajar individu akibat interaksi pengetahuan yang dimiliki dengan stimulus dari luar dirinya berupa pengetahuan, keterampilan, sikap, dan bersifat permanen.

2.1.7.2 Aspek-Aspek Hasil Belajar

Menurut Ahmad Susanto (2013:6-10) hasil belajar meliputi tiga aspek, yaitu sebagai berikut:

a. Pemahaman Konsep (Aspek Kognitif).

Gambar

Tabel 1Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar PKn SD/MI Kelas 5 Semester II
Tabel 2Tiga proses klarifikasi nilai menurut pendekatan VCT
Gambar 1Langkah-Langkah Pembelajaran VCT
Tabel 3Sintaks Pembelajaran Kognitif Moral melalui
+4

Referensi

Dokumen terkait

Organizational Psychology: bidang psikologi yg menggabungkan hasil penelitian dlm bidang Psi sosial dan perilaku organisasi untuk diterapkan pada sisi emosional dan

Selama Praktik Kerja Lapangan berlangsung penulis sebagai penstudi mempelajari proses serta teknik digital forensic sehingga digital evidence bisa diakui secara

Finish struktur adalah penutup atau pelapisan pada bagian/struktur utama dari sebuah bangunan. Finish Plafon Finish plafon adalah penutup atau pelapisan pada plafon dari

A hypothesis that some groups are the same with respect to some characteristic, or that several treatments are the same with respect to some outcome, or that

Sensor non-fotografik berupa scanner menerima pantulan dari satu wilayah sangat sempit pada permukaan bumi (instanteous field of view/IFOV = medan pandang sesaat) yang masuk ke

Dalam analisis fungsional ada banyak topik yang mengacu pada ruang, misal ruang Hilbert, dalam ruang Hilbert ada beberapa konsep dasar yang perlu diketahui terlebih dahulu yaitu

Jika bangunan kaku (fixed) terhadap tanah (dan tidak dapat tergeser) gaya inersia yang menahan percepatan tanah akan bekerja pada tiap-tiap elemen struktur

Tujuan diadakan karena peneliti ingin mengetahui tentang peran kepemimpinan kepala sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di MI Ma’arif NU Mangunsari