• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Andung Pada Masyarakat Batak Toba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tradisi Andung Pada Masyarakat Batak Toba"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep

2.1.1 Tradisi Lisan

Tradisi merupakan suatu kebiasaan masyarakat yang secara historis keberadaannya dan keberlangsungannya bersifat turun temurun. Tradisi masyarakat dapat berupa adat atau budaya masyarakat setempat8

Roger Tol dan Pudentia (dalam Hoed, 2008:184), mengemukakan,“...oral traditions do not only contain folktales, myths, and legends (...), but store complete

indigeneous cognate system. To name a few: histories, legal practices, adat

lamedication...”.(“...tradisi lisan tidak hanya berisikan pada cerita rakyat, mite, dan legenda saja, melainkan berupa sistem kognasi kekerabatan lengkap misalnya seluruh sejarah hukum adat, praktik hukum, dan pengobatan tradisional...”). Pendapat ini menjelaskan bahwa tradisi lisan memiliki cakupan yang sangat luas untuk didiskusikan.

. Tradisi budaya merupakan berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun temurun yang dijalankan oleh masyarakat dan menjadi kebiasaan yang bersifat rutin. Adat Kebiasaan tersebut disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi dan selanjutnya dilakukan oleh masyarakat setempat menjadi sebuah tradisi. Inilah yang menjadi tradisi lisan.

(2)

Tradisi lisan ini pada umumnya berkembang pesat di dalam masyarakat yang belum atau sedikit mengenal tulisan, dan belum tentu juga di pedesaan. Masyarakat perkotaan yang pada umumnya mengenal tulisan dan juga mengenal tradisi lisan namun peranan tradisi lisan ini dalam komunitas kota pada umumnya relatif kecil dan kurang signifikan. Dalam Sibarani (2012: 43-46) ada beberapa ciri-ciri tradisi lisan sebagai berikut;

1. Merupakan kegiatan budaya, kebiasaan atau kebudayaan berbentuk lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.

2. Memiliki kegiatan atau peristiwa sebagai konteks penggunaannya.

3. Dapat diamati dan ditonton.

4. Bersifat tradisional. Ciri tradisional ini menyiratkan bahwa tradisi lisan harus mengandung unsur warisan etnik, baik murni bersifat etnis maupun kreasi baru yang ada unsur etnisnya.

5. Diwariskan secara turun temurun. Tradisi lisan itu diwariskan dari satu generasi ke generasi lain.

6. Proses penyampaian “dari mulut ke telinga”. Tradisi yang disampaikan, diajarkan, disosialisasikan, dan diwariskan secara lisan disebut tradisi lisan.

(3)

8. Memiliki versi-versi. Sebagai tradisi yang disampaikan secara lisan, sebuah tradisi lisan berpotensi memiliki bentuk-bentuk yang berbeda yang disebut dengan variasi atau versi.

9. Milik bersama komunitas tertentu.

10. Berpotensi direvitalisasi dan diangkat sebagai sumber in dustri budaya.

Tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang diwariskan secara turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lisan yang bukan lisan (non-verbal). Oral Traditions are the community’s traditionally cultural activities inherited orally from one generation to the other generation, either the tradition is verbal or non-verbal (Sibarani, 2012: 47)

Sedangkan sastra lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara turun temurun (Endaswara, 2008:151) dan memiliki ciri-ciri sebagai berikut;

1. Lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional; 2. Menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, yang tidak jelas siapa penciptanya;

3. Lebih menekankan aspek khayalan, ada sindirian, jenaka dan pesan mendidik; 4. Sering melukiskan tradisi kolektif tertentu

(4)

Oleh karena itu sebuah sastra lisan yang penyebarannya melalui mulut ke mulut dapat dikatakan tradisi lisan. Tradisi lisan mempunyai fungsi sosial atau manfaat yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi. Dapat dikatakan bahwa tradisi lisan merupakan tradisi yang mengaitkan kebiasaan/ adat istiadat dengan menggunakan bahasa lisan dalam menyampaikan pengalaman sehari-hari dari seseorang kepada orang lain.

MBT memiliki sebuah tradisi yang unik dalam kehidupannya, yang telah diturunkan secara temurun. Tradisi ini bukan hanya terlihat dalam kegiatan acara perkawinan, acara kelahiran anak, pemberian nama, memasuki rumah baru,tetapi juga terlihat pada acara kematian. Ritual kematian dalam MBT tidak terlepas dari tradisi

andung. Andung merupakan salah satu tradisi lisan MBT yang hampir hilang dan pupus ditelan zaman. Andung dilakukan oleh MBT terhadap anggota keluarga/kerabat yang meninggal. Untuk itu perlu dilakukan dilakukan dokumentasi dan fungsionalisme yang berkelanjutan terhadap tradisi lisan ini.

2.1.2 Masyarakat Batak Toba

(5)

etnis. (3,07%)

Masyarakat Batak dari Sumatra Utara (gambar Peta 1). Daerah asal kediaman orang Batak dikenal dengan Daratan Tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, Simalungun, Toba, Mandailing dan Tapanuli Tengah. Daerah ini dilalui oleh rangkaian Bukit Barisan di daerah Sumatra Utara dan terdapat sebuah danau besar dengan nama Danau Toba. Dilihat dari wilayah administratif, mereka mendiami wilayah beberapa Kabupaten atau bagian dari wilayah Sumatra Utara yaitu, Kabupaten Karo, Simalungun, Dairi, Tapanuli Utara (Silindung, Humbang Hasundutan,Toba, Samosir) dan Asahan.

Gambar 1. Peta Wilayah Sumatera Utara

(6)

Masyarakat Batak merupakan salah satu etnis terbesar yang ada di Indonesia. Masyarakat Batak ini tersebar ke seluruh penjuru Indonesia, dan bahkan hampir mancakup seluruh dunia, itu sebabnya kata “Batak” tidak asing lagi bagi kebanyakan masyarakat Indonesia. Masyarakat Batak sendiri terdiri dari enam sub-suku, yaitu : Toba, Simalunggun, Karo, Pakpak-Dairi, Angkola Sipirok dan Mandailing9

2.1.3 Nilai Budaya Batak Toba

. Masyarakat Batak ini pun bermukim di daerah pegunungan, wilayah darat, dan pedalaman provinsi Sumatera Utara, dan sebahagian besar dari kenam sub-suku ini berdiam di sekeliling Danau Toba, kecuali Angkola dan Mandailing yang hidup di perbatasan Sumatera Barat. Dari keenam sub-suku ini, Batak Toba merupakan suku yang paling banyak jumlahnya. Dari berbagai studi dapat ditemukan bahwa masyarakat Batak terdiri dari enam sub-etnis bahkan ada beberapa penulis yang menambahkan bahwa orang Alas, Gayo, orang Pardembang yang ada di pesisir Sungai Asahan, sebagian orang pesisir yang tinggal di pantai barat Pulau Sumatera juga merupakan keturunan orang Batak tetapi dalam kehidupan keseharian kata “batak” itu sendiri lebih diartikan kepada MBT.

Sistem kebudayaan terdiri atas nilai-nilai budaya berupa gagasan yang sangat berharga bagi proses kehidupan. Oleh karena itu, nilai budaya dapat menentukan karakteristik suatu lingkungan kebudayaan di mana nilai tersebut dianut. Nilai budaya

9

(7)

langsung atau tidak langsung tentu akan diwarnai oleh tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk kebudayaan yang bersifat materil.

Nilai budaya dalam suatu karya sastra sudah berada di luar struktur karya itu sendiri. Budaya itu memberikan arti kepada semua usaha dan gerak-gerik manusia, dan makna-makna kebudayaan itu disampaikan satu sama lain dalam hidup manusia. Nilai budaya ini, juga merupakan suatu bentuk dari kehidupan dan memuat ketentuan-ketentuan mengenai tingkah laku yang menyangkut penilaian baik buruk kehidupan manusia dalam suatu masyarakat. Bisa dikatakan bahwa nilai budaya tersebut berfungsi sebagai pedoman dalam bermasyarakat.

Menurut Koentjaraningrat (2002:190), sistem nilai budaya adalah suatu rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap mempunyai makna penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup. Dalam kehidupan masyarakat , sistem nilai ini berkaitan erat dengan sikap dan tingkah laku manusia. Sistem nilai adalah bagian terpadu dalam etika moral, yang dalam manifestasinya dijabarkan dalam norma-norma sosial, sistem hukum dan adat yang berfungsi sebagai tata kelakuan untuk mengatur masyarakat.

(8)

manifestasi nilai budaya tersebut dapat mencerminkan streotipe tertentu, misalnya orang Jawa diidentifikasikan sebagai orang-orang yang santun, bertindak pelan-pelan, lemah lembut, bertutur kata halus, dan sebagainya.

Ada lima masalah dasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan bagi kerangka variasi sistem nilai budaya menurut Kluckhohn (dalam (Koentjaraningrat, 2002:191), yaitu:

1. Masalah mengenai hakikat dari hidup manusia, 2. Masalah mengenai hakikat dari karya manusia,

3. Masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, 4. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, 5. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya.

Dengan demikian, dalam tiap masyarakat baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain saling berkaitan hingga merupakan suatu sistem. Kemudian, sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan dan menjadi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya.

Begitu juga halnya, MBT memiliki nilai budaya utama (core cultural values), menurut Harahap dan Hotman M.Siahaan (1987:133) ada 9 nilai budaya MBT yang menjadi pedoman dalam kehidupan MBT tersebut. Kesembilan nilai budaya MBT tersebut adalah kekerabatan, religi, hagabeon, hasangapon, hamoraon, hamajuon, hukum, pengayoman, dan konflik.

(9)

Sistem kekerabatan memegang peranan penting dalam jalinan hubungan baik antara individu dengan individu ataupun individu dengan masyarakat lingkungannya. Dari sistem ini biasanya bersumber masalah lain dalam sistem kemasyarakatan, seperti sistem daur hidup, kesatuan hidup setempat dan stratifikasi sosial. Kelompok kekerabatan MBT berdiam di daerah pedesaan yang disebut huta (kampung). Biasanya satu huta didiami oleh keluarga dari satu marga. Marga (klan) tersebut terikat oleh simbol-simbol tertentu misalnya nama marga yang membentuk sebuah klan kecil. Klan kecil tadi merupakan kerabat patrilineal (garis keturunan ayah) yang masih berdiam dalam satu kawasan areal yang menciptakan sosial budaya. Sebaliknya klan besar yang anggotanya sudah banyak hidup tersebar sehingga tidak saling kenal tetapi mereka dapat mengenali anggotanya melalui nama marga yang selalu disertakan dibelakang nama kecilnya. Stratifikasi sosial orang Batak didasarkan pada empat prinsip yaitu : (a) perbedaan tingkat umur, (b) perbedaan pangkat dan jabatan, (c) perbedaan sifat keaslian dan (d) status perkawinan.

(10)

sebenarnya sangat tidak diinginkan di dalam status sosial pada MBT. Dalam kehidupan sehari-hari orang yang berpoligami itu selalu kurang mendapat penghargaan dari masyarakat sekitar dan juga status sosialnya dianggap kurang baik.

Pandangan MBT bahwa anak (laki-laki dan perempuan) merupakan harta yang paling berharga baginya di dalam keluarga. Hal ini dapat di lihat dari semboyan di masyarakatnya yaitu anakhonki do hamoraon di au (anak adalah kekayaan yang dimiliki). Keturunan-keturunan dari orang yang berpoligami dalam kenyataannya lebih banyak menderita karena percekcokan antara anak pihak istri yang pertama dengan pihak istri kedua. Dengan demikian pada prinsipnya MBT tidak menginginkan adanya poligami dari pihak suami , kecuali jika tidak ada keturunan, apalagi tidak mempunyai keturunan laki-laki yang dianggap anak laki-laki merupakan penerus kesinambungan secara genetika.

MBT menganut sistem kekerabatan patrilinieal. MBT mempunyai marga (nama keluarga) yang biasanya dicantumkan diakhir namanya. Nama marga ini diperoleh dari garis keturunan ayah (patrilineal) yang selanjutnya akan diteruskan kepada keturunannya secara terus menerus.

Kekerabatan dalam kehidupan MBT mencakup hubungan primordial suku, kasih sayang atas dasar hubungan darah untuk memujudkan kerukunan hidup antar sesama manusia. Dalihan Na Tolu menjadi lambang sistem sosial MBT yang menjadi tiga tiang penopang, yaitu dongan sabutuha, boru dan hula-hula. Pengambaran

(11)

hidup antarmanusia. Hal ini tercermin dalam ungkapan “somba marhula-hula”

(hormat kepada hula-hula artinya suami hormat kepada keluarga pihak istri), “manat mardongan sabutuha” (berlaku hati-hati kepada saudara semarga), dan elek marboru

(berlaku kasih sayang pada boru artinya hormat kepada keluarga pihak penerima istri). Ungkapan yang mengandung konsep Dalihan Na Tolu ini berakar kuat dalam kehidupan sistem kekerabatan MBT.

Menurut Sihombing terkait dengan dongan sabutuha berlaku semboyan “sekali dongan sabutuha tetap dongan sabutuha”, karena MBT tidak bisa berpindah-pindah marga, sekalipun mereka bermusuhan dengan banyak teman semarganya. Filsafat Batak tentang dongan sabutuha berbunyi, “Tampulon aek do na mardongan sabutuha.” Artinya : Sifat ber-dongan sabutuha sama dengan sifat air biar berkali-kali dipotong tetap bertemu dan bersatu10

Boru menurut Sihombing, dalam kekerabatan MBT terbagi dua, yaitu hela

(suami putri kita) dan Bere (anak saudara perempuan yang memang dipandang oleh MBT unsur boru mengikuti ibunya). Filsafat tentang boru berbunyi: “Bungkulan do

boru.” Artinya: Boru itu adalah bubungan (maksudnya bubungan rumah), maksud

. Fakta ini juga diperkuat oleh Sibarani (2005:47) yang menyatakan bahwa, “Sebagai orang-orang semarga, mereka seperasaan, sepenanggungan sebagai saudara kandung. Ini disebabkan pada mulanya orang-orang yang semarga itu tinggal dalam satu kampung (huta), maka mereka secara gotong royong mengerjakan sawah ladang, mengutip hasil, mengurus pengairan, membersihkan pancuran, dan juga mengawinkan anak.

10

(12)

filsafat itu adalah: kalau ada perselisihan di antara “hula-hula” yang membuat keretakan di antara mereka itu, maka “boru” -lah yang berkewajiban menghilangkan keretakan itu agar mereka yang berselisih itu kembali kompak dan bersatu, serupa dengan balok bubungan rumah yang mengikat dan mempersatukan kedua belah atap rumah . Sudah tentu boru dalam hal ini naik derajat menjadi raja penghukum dan memang ia diperlakukan oleh hula-hula yang bersangkutan sedemikian dan akan mempersilahkan boru itu duduk di juluan (tempat duduk yang terhormat). Namun

boru yang memegang adat teguh tidak mungkin menerima ajakan itu dan akan tetap mempertahankan tempat duduknya di talaga (bagian tempat duduk untuk boru) dan justru sikap serupa itulah yang membuat naik derajat boru itu dalam pandangan hula-hulanya yang tentu mengingat filsafat : “Lam unduk do biur ni eme na marisi.” (Artinya: padi itu makin berisi makin merunduk)11

Sedangkan Hula-hula menurut Sihombing memiliki sifat yang peka dan rapuh. Jika tidak hati-hati dalam tindakan atau perlakuan terhadap hula-hula, mudah saja hubungan yang telah ada menjadi putus dan biasanya tidak dapat diperbaiki dan akhirnya terhapus sama sekali. Filsafat Batak mengenai hula-hula berbunyi: “Sigaton

laila do na marhula-hula.” Artinya: Serupa dengan anak ayam, yang waktu

menentukan kelaminnya, kita memeriksa ekornya. Maka kita pun harus mempelajari

hula-hula bagaimana sifat-sifat serta kemauannya dan hasilnya kita pakai sebagai pedoman dalam pergaulan kita dengan mereka

.

12

11 T.M. Sihombing, Ibid. pp.77-78.

.

(13)

Berkaitan dengan hubungan kekerabatan atas dasar perkawinan, maka semua

dongan sabutuha orang tua pengantin perempuan menjadi hula-hula bagi pihak

pengantin laki-laki. Artinya yang disebut hula-hula itu ialah klan yang memberi putri. Berdasarkan ungkapan diatas, pihak hula-hula dipandang pihak boru sebagai matahari kemuliaan karenadari mereka pihak boru itu mendapat berkah dalam sistem kekerabatan MBT. Risikonya, kalau seorang wanita disia-siakan atau diceraikan oleh suaminya, maka pihak hula-hula harus melindunginya. Hormat kepada pihak hula-hula adalah salah satu sebab mengapa tidak mudah terjadi perceraian di kalangan MBT.

Perkawinan dalam kehidupan MBT menentukan kedudukan seseorang dalam sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu. Secara tradisional, perkawinan yang sah dan memperoleh anak, terutama anak laki-laki, merupakan salah satu harapan MBT.

2.1.3.2 Religi

(14)

penelitian Pastor. Dr . A.B. Sinaga dalam lampiran Sangti (1977:16-19) yang mengatakan bahwa, “Bangsa Batak Tradisional termasuk homo religiosus (manusia beragama) dan mengemban suatu sikap agama tertentu dalam menilai dan menghargai hidup. Bagi MBT, seluruh alam semesta atau hanya lingkungan hidup mereka “sanggup menjadi sakral”. lebih lanjut dia menyimpulkan bahwa, “Allah tertinggi MBT disebut Mulajadi Na Bolon.

2.1.3.2.1 Pandangan Hidup Masyarakat Batak Toba sebelum Memeluk Agama

Paganisme MBT menyakini bahwa Mulajadi Na Bolon menciptakan langit, bumi, dan segala isinya. Bahkan menurut Siahaan (2005:15), Debata Mulajadi Na

Bolon dapat menjelma sebagai Debata Na Tolu (dewa benua bawah, dewa benua

tengah, dan dewa benua atas). Kekuatan Pancaran Kuasa Debata Na Tolu, yaitu

Hahomion, Habonaran, dan Hagogoon dari Mulajadi Na Bolon. Kepercayaan MBT

tua bersumber dari sabda Mulajadi Na Bolon kepada Siraja Ihatmanisia dan Siboru Ihatmanisia pada saat Mulajadi Na Bolon memberkati mereka, bahwa kaitan

Mulajadi Na Bolon dengan kuasa kemuliaan penghuni Banua Atas erat kaitannya

dengan alam ciptaannya, termasuk penghuni Banua Tonga. Penghuni Banua Atas dengan penghuni Banua tonga dapat bertemu dalam persekutuan roh dengan jalan memberikan sesajen yang dihantar asap daupa dan air suci. Inilah yang akhirnya mengarah menjadi Animisme dan Dinamisme. Pemujaan terhadap kemahakuasaan

Debata Mulajadi Na Bolon menyatu dengan pemujaan terhadap tondi, sahala dan

(15)

MBT juga percaya bahwa roh dan jiwa juga mempunyai kekuatan. Siahaan (2005:19-23) menjelaskan roh dan jiwa dalam MBT dibagi menjadi tiga yaitu:

a. Tondi adalah roh atau “daya hidup” yang terdapat pada makhluk hidup yang

menghidupkan segala sesuatu yang ada di bumi. Tondi menentukan nasib manusia yang ditempatinya karena dia dapat bersahabat tetapi juga bermusuhan terhadap tubuh yang dialminya.

Tondi juga dapat diartikan sebagai jiwa atau roh seseorang yang merupakan

kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap

(menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.

b. Sahala adalah keunggulan yang diberikan Tuhan kepada seseorang dan untuk

setiap pribadi berbeda kualitas maupun jumlahnya. Semakin tinggi sahala seseorang semakin berwibawa orang tersebut. Sahala juga adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.

c. Begu roh orang yang sudah meninggal dunia yang jika disembah dan diberi

(16)

sehari-hari MBT yang menyatakan bahwa “begu ima tondi ni na mate” yang artinya begu adalah roh orang yang sudah meninggal, maka tondi dapat berubah menajdi begu.

MBT dulu takut akan kematian, dan yang menyebabkan kematian itu disebut

begu13. Begu itu menghantui hidup manusia, artinya bahwa kematian itu menjadi selalu mengganggu pikiran manusia. Akibat mitos ini timbul berbagai jenis begu

yang menyebabkan kematian itu, seperti; begu ganjang, begu nunur, begu antuk,

begu Toba, begu jau dan banyak lagi seperti begu ladang. Dampak dari perubahan itu maka timbullah ungkapan : “Martondi Na Mangolu, Marbegu Na Mate (Orang hidup punya roh/jiwa, orang mati berhantu.)14

2.1.3.2.2 Pandangan Hidup Masyarakat Batak Toba Setelah Memeluk Agama

. Inilah penyebab MBT dulu sangat mempercayai bahwa apabila seseorang meninggal dia akan meninggalkan sahala-nya yang dapat digunakan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya.

Penyebaran agama Kristen, awalnya dimulai oleh Pendeta Burton dan Ward dari Gereja Baptis Inggris tahun 1824. Kedua pendeta ini mencoba memperkenalkan Injil di kawasan Silindung (sekitar Tarutung sekarang). Kehadiran mereka tidak diterima oleh masyarakat Batak Toba. Kemudian tahun 1834 Kongsi Zending Boston

(17)

Amerika Serikat, mengirimkan dua orang pendeta, yaitu Munson dan Lyman. Kedua misionaris ini dibunuh oleh penduduk di bawah pimpinan Raja Panggalamei, di Lobupining, sekitar Tarutung, pada bulan Juli 1834. Tahun 1894, Kongsi Bibel Nederland mengirim ahli bahasa Dr. H.N. Van Der Tuuk untuk menyelidiki budaya Batak. Van Der Tuuk menyusun kamus Batak-Belanda, dan menyalin sebahagian isi Alkitab ke bahasa Batak. Tujuan utama Kongsi Bibel Nederland ini adalah merintis penginjilan ke Tanah Batak melalui budaya. Masuknya agama kristen ke tanah Batak abad ke 19 oleh seorang misionaris Jerman bernama Dr. I. L Nommensen, kebudayaan religi masyarakat Batak mengalamai transformasi. Dr I. L. Nommensen memulai tugas misinya pada tahun 1962 di Barus yang merupakan utusan Rheinische Mission Gesellschaft (RGM). Penyebaran ajaran agama kristen di bawah pimpinannya terjadi dengan pesat.

(18)

yang sama dalam kebudayaan Batak Toba. Perilaku adat yang menyatu dengan keilahian tersebut tertera pada hasil penelitian berikut ini;

Perilaku religi membangun tugu sebagai penghormatan bagi roh nenek moyang erat hubungannya dengan hakekat hidup dan persepsi masyarakat Toba terhadap waktu. Waktu dipandang sangat menguasai kehidupan manusia. Waktu diatur oleh Debata Mulajadi Na Bolon. Nenek Moyang sebagai wakil Debata Mulajadi Na Bolon, juga sangat besar pengaruhnya terhadap perjalanan hidup orang Toba. Oleh karena itu, pemujaan terhadap roh nenek moyang terus dilakukan sebagai perilaku religi kultural.(...) Pelanggaran terhadap petuah nenek moyang, akan menyebabkan kemurkaan roh nenek moyang. Dengan kata lain, kesetiaan dan kecintaa kepada roh-roh nenek moyang orang Batak Toba merupakan perilaku religius. Itu pula sebabnya, masa kini dan masa depan harus senantiasa mendapat acuan masa lampau yaitu kehidupan nenek moyang.(Harahap dan Hotman M. Siahaan, 1987:153)

MBT melihat bahwa etika berdasarkan Kepercayaan lama Batak toba itu sudah menjadi hayatnya dan tidak dapat dilepaskan dari sikap Prilaku kehidupannya sehari-hari. Pandangan MBT bahwa untuk mendapatkan hidup yang kekal adalah dengan menganut agama Kristen, sedang menata sistem kemasyarakatannya sehari-hari, dalam hal ini adat istiadat mempergunakan sistem kepercayaan yang sudah menjadi budaya itu, cukup ampuh menjalani hidup di dunia ini.

2.1.3.3 Hagabeon

Hagabeon dalam kebudayaan Batak bermakna banyak keturunan dan panjang

(19)

saat upacara pernikahan ialah ungkapan yang mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniai putra 17 dan putri 16.” Konsep hagabeaon ini pada hakikatnya berakar dari budaya bersaing pada zaman purba yang terwujud dalam perang antar huta.

Secara tradisional, MBT sangat ingin mempunyai anak karena itu sangat sayang kepada anak-anaknya, baik anak laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, kalau MBT ingin memberi doa restu (istilah Batak: masumasu) maka MBT selalu menitik beratkan doanya pada permohonan agar Tuhan memberi kepada orang atau keluarga yang direstui itu hagabeon (banyak anak). Menurut Sihombing (2000:25), MBT tidak pernah memulai berdoa dengan mendoakan kekayaan atau kekuasaan atau kebahagaian yang lain, sesuai dengan makna yang terkandung dalam filsafat

hagabeon, yakni “Hagabeon” itulah kekayaan dan kemakmuran, hagabeoan itulsh kekuasaan dan kekuatan dan Hagabeon itulah derajat tinggi.

Untuk mencapai hagabeon, maka MBT haruslah memperhatikan nilai-nilai religi yang dianutnya. Kehormatan dan kemuliaan MBT dalam memperoleh banyak anak dan panjang umur tidak akan menjadi panutan masyarakat apabila tidak memiliki perilaku religi yang kuat. Hal ini disebabkan kehormatan dan kemuliaan

(20)

Hotman M. Siahaan (1987:160), “Ukuran hagabeon adalah keluarga yang besar dan usia lanjut sekaligus menjadi panutan masyarakat”.

2.1.3.4 Hasangapon

Hasangapon (kemuliaan, kewibawaan, kharisma) suatu nilai utama yang

memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan (Harahap dan Hotman M. Siahaan, 1987:134) Dorongan yang kuat untuk meraih hasangapon dalam kehidupan MBT tidak hanya berdasarkan kondisi kini dan masa yang akan datang melainkan juga didasarkan pada pencapaian leluhurnya.

Harahap dan Hotman M. Siahaan (1987:184) berpendapat bahwa seseorang yang telah berhasil meraih hagabeon dan hamoraon tidak dengan sendirinya meraih

hasangapon apabila nilai-nilai hasangapon terutama bisuk, arif, dan bijaksana, belum dimiliki. Kharisma, wibawa, terpandang dan terhormat baru lebih bermakna

hasangapon apabila telah memiliki bisuk, yang merupakan nilai dasar dalam nilai

hasangapon.

2.1.3.5 Hamoraon

(21)

Sebaliknya, Vergouwen (2004:164) melihat bahwa hamoraon merupakan sumber otoritas kesuksesan dan kedermawanan seorang raja sejati sebagaimana tersebut di bawah ini.

Hamoraon (kekayaan) juga merupakan sumber penting otoritas. Ia

mencerminkan kehidupan yang sukses, mujur dalam permainan, menang perang, untung dalam perdagangan, nasib baik dalam bercocok tanam, dan keberhasilan dalam berternak. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan kekuasaan seseorang menjadi kuat di dalam lingkungannya: pada masa lalu, berdasarkan kekayaan seseorang dapat menjalankan perang dalam waktu lama, dan saat sekarang ia menungkinkan orang mendapatkan uang emas yang lebih tinggi dari seorang putri yang dikawinakn, dan dengan demikian affina yang berpengaruh. (...) Namun, wujud utama hamoraon adalah pangalangon atau

partamueon (senang menjamu); kedermawanan akan menunjukkan kadar

kualitas seorang kepala yang sejati.

Pada hakikatnya, perilaku hamoraon dalam kehidupan MBT didasari religi yang kuat, secara serempak pula diusahakan meraih hagabeon.

2.1.3.6 Hukum

Secara tradisional, hukum dalam kehidupan MBT tidak dapat diubah sebelum diyakini benar bahwa aturan dan hukum yang baru lebih baik daripada hukum adat yang diiwariskan oleh nenek moyangnya. Hukum dalam adat MBT disebut patik

dohot uhum yang mengandung makna aturan dan hukum. Nilai patik dohot uhum

(22)

Vergouwen (2004:176) berpendapat “Hukum diangankan sebagai ‘adat istiadat leluhur yang pertama lahir ke dunia, sahala leluhur, adat ni impunta na

jumolo tubu, sahala ni amanta’. Satu konsep yang menyanjung kearifan nenek

moyang, yang merumuskan hukum seklaigus mendukung otoritasnya.”

Hukum adat merupakan seperangkat aturan yang datang dari Debata Mulajadi Na Bolon melalui hula-hula. Secara tradisional, hukum adat ini mengatur kehidupan MBT, baik dengan sesama manusia, alam sekitarnya, roh nenek-moyang, maupun dengan Debata Mulajadi Na Bolon. Oleh karena itu Bagi MBT, kesadaran hukum adat mengandung makna religi sedangkan kesadaran hukum formal mengandung makna hubungan antarmanusia.

2.1.3.7 Hamajuaon

Di dalam MBT, hamajuon yang berarti kemajuan hanya dapat diraih dengan cara merantau dan menuntut ilmu. Hal ini disebabkan tanah pertanian di sekitar Danau Toba pada umumnya berbatu-batu dan terbatas untuk dijadikan lahan pertanian, terutama persawahan, sehingga MBT terpaksa bermigrasi ke berbagai daerah di luar Tanah Batak.

(23)

Keberhasialn Nommensen diikuti oleh kehadiran penjajahan Belanda di Tanah Batak sehingga memberikan perubahan yang mendasar terhadap peningkatan taraf hidup MBT. Nomensen dan Belanda mendirikan pendidikan formal, gereja, dan sarana kesehatan sehingga membuka isolasi kawasan budaya Batak Toba. Dengan demikian konsep hamajuon mendapat sambutan yang baik di kalangan MBT yang ketika itu masih pagan atau beragama tradisional Batak.

Sejak MBT menemukan jalan ke Sumatera Timur serta wawasan baru dari Nomensen dan Belanda maka MBT mulai berimigrasi ke daerah daerah yang mampu memberi kehidupan yang lebih baik. Merantau atau marjojo, keluar wilayah budaya Batak Toba pun menjadi tradisi dalam kehidupan MBT. Menurut Harahap dan Hotman M. Siahaan (1987: 170-171), “Hanya orang-orang yang memiliki berbagai kelebihan melakukan tindakan merantau. Kelebihan itu antara lain cita-cita yang kuat untuk meraih kemajuan, daya tarik kerabat yang sudah lama bermukim di rantau, kemampuan untuk menghadapi segala kemungkinan yang sulit di tempat baru.

2.1.3.8 Konflik

(24)

Penyelesaian konflik dalam kebudayaan MBT digambarkan oleh Harahap dan Hotman M. Siahaan (1987:178) sebagai berikut;

Konflik pada MBT umunya lahir dari perlakuan tidak adil sehingga ada pihak yang menderita atas perbuatan itu. Penyelesaian secara kekeluargaan yang terbuka di forum keluarga dekat dengan forum Dalihan Na Tolu menghadirkan pihak yang berkonflik. Kepada kedua itu diberikan kesempatan untuk berbicara tentang asal muasal konflik. Dengan demikian pihak yang menengahi konflik ini mengetahui dengan pasti sumber konflik, proses kejadian konflik, akibat-akibat konflik untuk jadi bahan pertimbangan mencari jalan keluar dari konflik itu. Pihak penengah yang biasanya terdiri dari hula-hula, sespuh atau tokoh masyarakat, menekankan agar kedua pihak yang berkonflik mawas diri dengan mengungkapkan betapa pentingnya kerukunan dalam kekerabatan.

Kemampuan MBT dalam berkonflik dan berperang telah terbukti dengan pemunculan Sisingamangaraja XII melawan penjajahan Belanda di Tanah Batak.

2.1.3.9 Pengayoman

Pengayoman dalam adat MBT adalah pemberi kearifan, pemberi kesejahteraan, pelindung yang ditaati, pencipta ketentraman batin yang dalam sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu diperankan oleh hula-hula. Di samping itu, raja atau penguasa dan anak raja, baik dalam kedudukan hula-hula maupun dalam kedudukan penguasa dan bawahannya harus dipatuhi.

Menurut penelitian Hesselgren (2008:69), “Sistem Dalihan Na Tolu

mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang kaku. Selalu ada hula-hula

(25)

yang paling menonjol dalam kehidupan MBT adalah kekentalan hubungan kekerabatan berdasarkan hubungan darah, disusul seia sekata dan tolong menolong berdasarkan kasih sayang. Dengan demikian, pengayoman dalam sistem budaya Batak toba diperankan hula-hula.

Kedudukan hula-hula- tercermin dalam ungkapan yang diberikan kepadanya berikut ini.

Hula-hula do bona ni ari, bona ni ari hangoluan, na manumpak manggabei di angka boruna, tudoshon mata ni ari bona ni hangoluan, na mangalehon sondang dohot halason tu nasa na tinompa. (artinya: Hula-hula sumber hari, sumber hari kehidupan, yang menempa kemuliaan dan kebahagiaan kepada borunya, seperti matahari sumber kehidupan, yang memberikan cahayadan kesenangan kepada segenap makhluk (Harahap dan Hotman M. Siahaan, 1987:164)

(26)

Menurut Vergouwen (2004:61), ulos menjadi satu di antara sarana yang dipakai hula-hula untuk mengalihkan sahala kepada boru-nya jika memerlukan perlindungan. Ungkapan filsafat MBT yang berkaitan dengan ulos sebagai simbol kasih sayang pengayom keluarga adalah Ijuk pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong . Artinya : ijuk ialah pengikat pelepah pada batangnya dan ulos ialah pengikat kasih sayang antara orang tua dan anak-anak atau antara seseorang dengan orang yang lain ( Sihombing, 2004:42).

Berdasarkan paparan di atas, ulos dalam kehidupan MBT berfungsi sebagai simbol kasih sayang. Oleh karena itu, hanya natoraslah (orang tua) yang patut

mangulosi ianakkon (anak-anak kita). Mangulosi orang yang di atas kita adalah pantang sehingga boru tidak boleh sekali-kali mangulosi hula-hula-nya. Ulos yang diberikan tidak boleh sembarangan. Misalnya, ulos ragidup akan diberikan kepada

boru yang akan melahirkan anak sulungnya. Ulos ini harus memenuhi syarat tertentu dan ulos ini dinamai ulos sinagok, yang artinya ulos yang penuh segala-galanya (Sihombing, 2004:46-47). Dengan demikian, prinsip pengayoman berjalan dengan baik dalam adat MBT, baik diperankan oleh hula-hula maupun melalui simbolisasi

ulos.

2.1.4 Jenis Upacara Adat Masyarakat Batak Toba

(27)

mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan merupakan identitas budaya dalam khasanah kebhinekaan di dalam negara tercinta ini. Pada dasarnya adat di dalam implementasinya berfungsi menciptakan dan memelihara keteraturan, ketentuan-ketentuan adat dalam jaringan hubungan sosial diadakan untuk menciptakan keteraturan, sehingga tercapai harmonisasi hubungan secara horizontal sesama warga dan hubungan vertikal kepada Tuhan. Dengan demikian adat adalah aturan hukum yang mengatur kehidupan manusia sehingga bisa menciptakan keteraturan, ketentraman dan keharmonisan (Simanjuntak, 2001).

Upacara-upacara di sepanjang lingkaran hidup manusia di dalam antropologi dikenal dengan istilah rites de passages atau life cycle rites. MBT memiliki beberapa upacara adat. Jenis upacara adat MBT sudah dimulai dari masa dalam kandungan, kelahiran, penyakit, malapetaka, hingga kematian. Peralihan dari setiap tingkat hidup ditandai dengan pelaksanaan suatu upacara adat khusus. Upacara adat dilakukan agar terhindar dari bahaya/celaka yang akan menimpa, memperoleh berkat, kesehatan dan keselamatan. Ini merupakan salah satu prinsip yang terdapat di balik pelaksanaan setiap upacara adat MBT. Life cycle rites yang dijumpai pada MBT:

a. kehamilan (mangganje) disebut juga upacara adat mangirdak atau mambosuri

boru (adat tujuh bulanan).

(28)

b. kelahiran (mangaharoan).

Upacara adat mangharoan adalah upacara adat yang dilaksanakan setelah dua minggu kelahiran bayi untuk menyambut kedatangan bayi tersebut dalam keluarga tersebut.

c. pemandian dan pemberian nama (martutu aek dan mampe goar).

Upacara adat martutu aek adalah upacara adat pemberian nama kepada bayi. Namun, pada saat ini, upacara ini sudah tidak dilakukan lagi karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama dan pemandian dilakukan dengan membawa bayi tersebut ke gereja untuk dipermandian (baptis).

d. Upacara adat marhajabuan

Upacara adat marhajabuan adalah upacara adat pernikahan sesuai dengan adat Batak Toba.

e. menyulangi (manulangi).

Upacara adat manulangi adalah upacara adat yang diberikan kepada orang tua yang lanjut usianya dengan menyulangkan makanan kesukaan.

f. kematian (hamatean).

Upacara adat hamatean adalah upacara adat kematian sesuai dengan adat Batak Toba.

g. mengali tulang belulang (mangongkal holi).

(29)

Pada setiap upacara adat tradisional MBT, 'Dalihan Na Tolu' adalah unsur penting. 'Dalihan Na Tolu' terdiri dari 'hula-hula', 'dongan sabutuha' dan 'boru' yang berpartisipasi aktif dalam setiap upacara tersebut.

2.1.5 Kematian Pada Mayarakat Batak Toba

2.1.5.1 Klasifikasi Upacara Kematian Masyarakat Batak Toba

Sesuai dengan rumusan permasalahan, penelitian ini hanya difokuskan pada upacara kematian maka di sini akan diuraikan jenis upacara kematian MBT. Upacara kematian pada MBT merupakan pengakuan bahwa ada kehidupan lain di balik kehidupan di dunia ini. Dalam tradisi MBT, orang yang meninggal akan mengalami perlakuan khusus, dalam sebuah upacara adat kematian.

Upacara adat kematian tersebut berkategori berdasarkan usia dan status orang yang meninggal seperti berikut15

a. Kematian ketika masih di dalam kandungan (mate di bortian) belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati),

;

b. Meninggal ketika masih bayi (mate poso-poso), meninggal ketika anak-anak

(mate dakdanak), meninggal ketika remaja (mate bulung), dan meninggal

ketika sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol), keseluruhan

(30)

kematian tersebut mendapat perlakuan adat mayatnya ditutupi selembar ulos

(kain tenunan khas MBT) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk

mate poso-poso berasal dari orang tua yang meninggal sedangkan untuk mate dakdanak dan mate bulung berasal dari tulang (saudara laki-laki ibu) yang meninggal.

c. Meninggal telah berumah tangga namun belum mempunyai anak (mate di

paralang-alangan/mate punu), ada dua ulos yang disediakan satu untuk

penutup mayat dan satu lagi untuk

d. Telah berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil (mate mangkar), apabila kepala keluarga yang meninggal (matipul ulu) dan bila istri yang meninggal dunia (matompas tataring),

e. Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang menikah, namun belum bercucu (mate hatungganeon),

f. Telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang belum menikah (mate sari matua),

(31)

h. Meninggal ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan yaitu mate saur matua bulung.

Jenis kematian yang paling ideal dalam MBT menurut Delfi (2008;20) adalah kematian saur matua karena kematian di usia yang sudah sangat tua,di mana semua anak-anaknya telah menikah dan telah memiliki cucu dari anak-anaknya. Kematian di usia yang sudah sangat tua, merupakan kematian yang paling diiginkan oleh MBT .

Upacara kematian MBT sangat erat kaitannya dengan kepercayaan agama, struktur sosial, dan nilai budaya. Sistem upacara kematian yang dilakukan dalam setiap kematian menggambarkan jenis kematian yang sedang terjadi. Jenis kematian memberi hak dan kewajiban kepada ahli waris untuk memberlakukan suatu sistem upacara kepada mendiang. Kajian tradisi andung yang dibahas dalam penelitian ini terbatas hanya pada acara kematian MBT secara umum, untuk melihat bagaimanakah fungsi andung dalam acara kematian itu.

2.1.6 Andung

Andung sebagai tradisi lisan, tidak hanya dikenal di daerah MBT saja. Andung

dalam Masyarakat Batak (MB)mempunyai beragam sebutan. MBT mengenal tradisi ratapan dengan nama andung, sedangkan Masyarakat Batak Simalungun mengenalnya dengan istilah suman-suman, dalam Masyarakat Batak Karo disebut

(32)

Angkola-Mandailing mempergunakan nama yang sama seperti yang dikenal dalam MBT, yaitu andung16

Tradisi MBT mangandung “meratap dalam acara kematian lebih banyak dilakukan melalui penceritaan kembali kehidupan “yang mati” semasa hidupnya. Semua ini dituturkan kembali oleh pangandung “peratap melalui ratapan dalam tuturan yang disebut andung. Jadi, dalam acara kematian tersebut melalui andung

seakan-akan peratap berkomunikasi kembali dengan “yang mati” tadi. Suasana berkabung bertambah sedih dan menambah kepiluan di sekitar area, tempat mayat tersebut dibaringkan. Orang-orang yang berada di dekat “yang mati” saut -menyahut meratapi kematiannya. Isi andung biasanya dituturkan dalam rangkaian kata, pujian, sanjungan atau kebaikan dengan turun naiknya nada dan intonasi petutur

pangandung. Akibatnya, andung tadi terasa sangat syahdu dan menyayat hati setiap orang yang mendengar. Deretan andung dapat berupa elegi (puisi yang berupa ratap tangis atau kesedihan) bahkan rangkaian cerita dalam bentuk prosa liris.

.

Andung adalah “cetusan perasaan duka cita” dengan kata –kata yang teratur, indah dan penuh kesedihan terhadap seorang tercinta yang meninggal. Andung

merupakan ratapan, jerit tangis atau senandung hati yang diuntai dalam syair sastra dan lagu spontan, sebagai ungkapan perasaan mendalam17.

16 Uli Kozok, Warisan Leluhur Sastra Lama dan Aksara Batak ( Jakarta :Kepustakaan Popular Gramedia, 1999), .pp.15-17 Sesuatu yang wajar jika satu keluarga menangis di sekeliling anggota keluarga / kerabat yang meninggal dan terbujur kaku. Mereka menangisi si mati, dan yang lainnya meratapi kematiannya.

17

(33)

Meratap berbeda dengan menangis. Meratap dalam bahasa Batak Toba disebut

mangandung. Mangandung ialah menangis sambil melantunkan bait-bait syair

kematian dan syair kesedihan hati. Karena sepenuhnya terikat dengan komponen syair-syair maka mangandung adalah satu bentuk seni yang menuntut keahlian. Untuk memperoleh kepiawaian harus belajar.

Menurut Harahap dan Siahaan (1987: 155-156) andung atau ratapan dilagukan dengan penuh penjiwaan yang mengharukan. Contoh andung seorang anak ketika ayahnya meninggal.

Tua ni marampang untung memiliki ampang

marpanggaru-garuan mempunyai siku-siku penopang

Tua ni na marama untung yang berayah

marpangalu-aluan mempunyai tempat mengadu

Andung ini diratapkan anak ketika ayahnya meninggal. Ungkapan ini

merupakan nasihat bagi pendengarnya agar mencintai orangtuanya. Orang tua, khususnya ayah adalah tempat mengadu. Ketiadaan ayah merupakan hambatan perjuangan hidup. Walaupun hubungan ayah, ibu dan anak pada dasarnya adalah hubungan antara manusia, namun memiliki nilai religi. Takdir yang ditentukan oleh Debata Mulajadi Na Bolon diterima dengan pasrah.

Dalam tradisi andung digunakan lagu-lagu ratapan yang disebut dengan

andung-andung. Khusus andung dalam konteks kematian merupakan ekspresi duka

(34)

yang meninggal (roh/tondi). Andung juga berfungsi sebagai saluran komunikasi dunia nyata dengan dunia fana, maksudnya komunikasi antara orang yang masih hidup dengan orang yang meninggal. Syair-syair dalam andung bervariasi sesuai dengan sosok yang di-andung-kan dan orang yang melantunkan andung tersebut. Dalam konteks kesedihan atau dukacita bentuk andung terkadang ditujukan bukan hanya kepada orang yang meninggal tetapi juga kepada orang yang datang melayat (maningkir)18.

18

W. Robert Hodges.. “Tu Dia Ho, Dung Mate Ho?” (Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Seni. Vol.2. No.1.

Andung tidak sama dengan Andung-andung. Andung adalah sejenis ratapan pada waktu orang meninggal, saat yang meratap itu menuturkan semua kesedihannya dengan kata-kata khusus atau “bahasa andung” yang merupakan “bahasa Batak Toba yang halus”. Sebaliknya Andung-andung tidak dikumandangkan ketika ada yang meninggal dunia dan biasanya berupa gabungan ratapan dengan nyanyian dan andung andung dapat diiringi musik seperti kecapi dan seruling (Sibarani,dkk.1999:85). Dengan kata lain bahwa orang yang membawakan andung (mangandung) akan menitikkan air mata karena langsung menghadapi orang meninggal, sedangkan orang yang membawakan andung-andung (mengandung-andung) belum tentu menitikkan air mata sebab tidak ada musibah yang dihadapinya.

(35)

2.1.6.1 Asal Mulanya andung

Jadi dapat disimpulkan bahwa andung sebuah ratapan atau ungkapan perasaan hati yang mendalam untuk mengekspresikan sebuah kesedihan baik dalam bentuk kata-kata maupun nyanyian.

Sebagai keterangan dari permulaan “mangandung” itu, menurut Sihombing19

Pada zaman dahulu ada seorang raja, yang pada waktu dia hendak meninggal dunia berpesan kepada keluarganya, “kalau saya mati, janganlah kalin hanya menangisi saya, tetapi dalam menangisi saya itu, ceritakanlah semua perbuatan-perbuatanku yang telah membuat hidupku termasyur.”

seorang tua-tua mengatakan sebagai berikut ;

Setelah sang raja wafat, maka istri, anak-anak lelaki dan perempuan, serta famili terdekat sang raja, harus menangisi jenajahnya.Untuk itu mereka berkumpul dan membicarakan perbuatan-perbuatan raja selama hayatnya. sementara itu semua alat-alat yang mungkin pernah dipakai oleh raja waktu berperang dan berburu binatang, dikeluarkan dari tempat penyimpanannya. Sambil melihat-lihat alat –alat yan g beraneka ragam itu, mereka bertanya kepada istri raja yaitu orang yang paling dekat kepada raja dan yang selalu setia melayaninya alat-alat mana yang pernah dipakai oleh raja. Maka ramailah mereka bertanya kepada istri raja dengan kata-kata : ‘On dung?’ (artinya: ‘ini pernah?’ maksudnya pernahkah alatyang ditunjukkan itu dipakai oleh raja.). Kemudian ditunjuk lagi alat yang lain dan bertanya : ‘An dung? (artinya: ‘Yang itu pernah?’). Demikianlah kedengaran pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bertubi-tubi: ‘On dung ? An dung?’. Dan karena seringnya kata-kata tersebut diucapkan, maka dalam menangisi raja yang meninggal itu kata-kata yang dipakai disebut ‘ondung-andung’. Lama-kelamaan bunyi huruf ‘o’ pada perkataan ‘ondung’ berganti menjadi bunyi ‘a’ sehingga terjadilah perkataan ‘andung-andung’. Dan sebagai kata kerja ‘mangandung.’ Sejak itulah kebiasaan ‘mangandung’ (meng-‘andung’-i) orang yang meninggal sebagai cetusan duka cita , tetapi juga untuk menceritakan perbuatan-perbuatan orang yang meninggal itu baik yang bagus maupun yang jelek. Sihombing juga menanyakan terjadinya bahasa andung kepada orang tua-tua dan keterangan yang didapatnya bermacam-macam pendapat. Namun ada dua buah keterangan yang paling tepat ceritanya20

19

baca T.M. Sihombing. Op.cit.pp .123-124

(36)

Keterangan Pertama :

Dahulu kala, pada zaman ‘hasipelebeguon’ (animisme) orang berpendapat bahwa “begu’-lah (roh-roh jahat) yang membuat kesengsaraan terlebih-lebih kematian kepada manusia. Oleh karena itu orang selalu berikhtiar untuk melumpuhkan kekuatan begu-begu itu dengan berbagai cara. Cara yang pertama ialah menjinakkan “begu-begu” itu dengan memberikannya persembahan-persembahan makanan. Cara yang kedua ialah memperdayakan

“begu-begu” itu dan membuatnya keliru. Untuk itu dibentuklah kata-kata

andung , supaya begu-begu itu keliru mengartikan kata-kata yang disebut orang pada waktu mangandung itu, sehingga begu itu tak berdaya lagi membuat kejahatan kepada famili orang yang meninggal itu.

Keterangan Kedua:

Andung’ itu adalah penghormatan terhadap yang meninggal ; karena itu

bahasanya pun harus indah, sehingga kata-kata sehari-hari sedapat mungkin diganti dengan kata-kata lain yang benar-benar indah kedengaran. Karenanya dibentuklah kata-kata baru seperti anak laki-laki disebut sinuan tunas (artinya : tunas ditanam tentu dengan maksud supaya tumbuh dan menjadi kayu besar).

Ada juga kata-kata andung yang dibentuk dengan cara lain. Kata biasa dibiarkan tetapi ditambah dengan kata-kata penghias. Contoh Bapak (hata somal: ama) disebut “ama na marsinuan”( artinya: bapak yang menanam) Lihat tabel hata

andung ( lampiran 2) . Oleh karena itu dulunya andung dianggap sebagai

penghormatan terhadap yang meninggal. 2.1.7 Konteks

Teori konteks ada sebelum lahir teori tentang teks. Teori konteks diperkenalkan oleh Malinowski (1923-1935) yang dinamakannya konteks situasi. J.R Firth seorang linguis mengembangkan pandangan Malinowski dan melengkapkan konsep konteks situasi yang terdiri atas 4 konsep yaitu participant, verbal/ non verbal

20

(37)

action, relevant situations dan implication. Sedangkan Halliday yang menjadi mahasiswa Firth kemudian mengembangkan kerangka konsep menjadi Field, tenor,

and mode (medan, pelibat, dan sarana). Dan mahasiswa Halliday menambah satu

konsep konteks budaya dan konteks ideologi dalam paradigma konteks sosial.

Peranan konteks sangat penting dalam kajian tradisi lisan. Menurut Sibarani (2012: 324) dalam memahami kajian tradisi lisan ada beberapa jenis konteks yaitu konteks budaya, konteks sosial, konteks situasi, dan konteks ideologi yang perlu dikaji dalam memahami makna, maksud, pesan, dan fungsi tradisi lisan, yang pada gilirannya diperlukan untuk memahami nilai dan norma budaya yang terdapat dalam tradisi lisan.

Menurut Halliday (2017:258) Social context is a semiotic structure which we may interpret in terms of three variables: a ‘field’ of social process (what is going on), a ‘tenor’ of social relationships (who are taking part) and a ‘mode’ of symbolic interaction (how are the meanings exchanged), (konteks sosial adalah sebuah struktur semantik yang mana kita intrepetasikan dalam 3 jenis variabel: sebuah medan proses sosial (apa yang terjadi), sebuah tenor hubungan sosial (siapa yang mengambil bagian) dan sebuah mode hubungan simbolik (bagaimana artinya dirubah).

Sedangkan menurut Sinar, T.S (2010: 54) sistem konteks sosial berada pada tingkat semiotik konotatif bahasa yang terdiri dari konteks situasi, konteks budaya dan ideologi.

(38)

(bagaimana). Dimana ketiga istilah tersebut terangkum pada konteks sosial dan konteks situasi dalam pemahaman tradisi lisan.

Dalam penelitian tradisi lisan andung, konteks merupakan salah satu yang harus diamati sehingga pemaknaan andung dapat dilihat secara keseluruhan. oleh karena itu penulis tertarik dalam mendeskripsikan andung dalam konteks sosial dan konteks situasi yang dikemukan oleh Sibarani.

Dalam Sibarani (2012:326) konteks sosial mengacu pada faktor-faktor sosial yang mempengaruhi atau menggunakan teks. Konteks sosial ini meliputi orang-orang yang terlibat seperti pelaku, pengelola, penikmat dan bahkan komunitas pendukungnya. Konteks situasi mengacu pada waktu, tempat, dan cara penggunaan teks. Hal ini terlihat jelas pada andung kematian masyarakat Batak Toba siapakah penutur, pengelola, dan penikmatnya. Dan kapan andung itu dilakukan, di mana tempatnya, serta bagaimana melakukannya.

2.1.8 Pengertian Kearifan Lokal

(39)

Dalam pengertian kamus, kearifan lokal terdiri dari 2 kata, yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hasan Syadily, Local yang berarti setempat, sementara wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan demikian maka dapat dipahami, bahwa pengertian kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan atau nilai-nilai, pandangan-padangan setempat atau (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. I Ketut Gobyah (dalam Sartini, 2004)21

Kebudayaan dan kearifan lokal sangat erat hubungannya denga

mengatakan bahwa kearifan lokal adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.

maknanya bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Kebudayaan dapat dipandang sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganik.

21

(40)

Kearifan lokal memiliki suatu nilai tersendiri yang mana nilai- nilai yang terkandung dalam kearifan lokal dapat tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Adapun kearifan lokal yang mencerminkan nilai budaya di antaranya adalah kesejahteraan, kerja keras, disiplin, pendidikan, kesehatan, gotong royong, pengelolaan gender, pelestarian dan kreativitas budaya, peduli lingkungan, kedamaian, kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukunan dan penyeselesaian konflik, komitmen, pikiran positif, dan rasa syukur (Sibarani 2012: 133-134) yang dikelompokkan menjadi kearifan lokal inti (core local wisdom) yaitu kesejateraan dan kedamaian.

Kearifan lokal merupakan modal utama masyarakat dalam membangun dirinya tanpa merusak tatanan sosial yang adaptif dengan lingkungan alam sekitarnya. Kearifan lokal dibangun dari nilai-nilai sosial yang dijunjung dalam struktur sosial masyarakat sendiri dan memiliki fungsi sebagai pedoman, pengontrol, dan rambu-rambu untuk berperilaku dalam berbagai dimensi kehidupan baik saat berhubungan dengan sesama maupun dengan alam. Sekarang eksistensi kearifan lokal dirasakan semakin memudar pada berbagai kelompok masyarakat.

2.2. Landasan Teori

(41)

dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia. Jadi kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan, meliputi gagasan yang mendasari tingkah laku seperti kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, cara-cara berlaku, juga hasil kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat kelompok tertentu.

Dikaitkan dengan tradisi lisan, antropologi budaya dianggap ilmu bantu yang paling relevan menjadi “pisau analisis” seluk beluk atau corak kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Pendekatan antropologi termasuk ke dalam pendekatan arketaipal, yaitu kajian yang menekankan pada warisan budaya masa lalu sehingga peneliti antropologi dapat mengkaji dalam bentuk paparan etnografi22. Dalam paparan etnografi itu, antropologi memberikan perhatian pada manusia sebagai agen kultural, sistem kekerabatan, sistem mitos, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya23

2.2.1 Teori Arkitaipal (archetype)

. Pendekatan antropologi lebih menekankan segi kebudayaannya dan akan melihat kebiasaan-kebiasaan masa lampau yang berulang-ulang yang masih dilakukan oleh masyarakat setempat. Peneliti memperhatikan bagaimana proses pewarisan tradisi tersebut dari dan melihat simbol-simbol mitologi dan pola pikir masyarakat tersebut.

Arketaipal atau archetype berasal dari Bahasa Greek yang makna asalnya ialah bentuk asli atau original pattern, yang maknanya dekat dengan prototaip. Dapat

22

baca Endaswara.. Metode Penelitian Sastra. (Yogyakarta, 2008), p109 23

(42)

juga dikatakan sebagai An archetype as a basic model from which copies are made

(Peck, John & Coyle, Martin dalam Sikana (2009: 136)). Dalam keterangan yang lain disebutkan ... the most basic archetypes, a story of death and rebirth...the story of man’s journey through life and the story that deal with a search for a father.

Wilber Scott dalam (Sikana, 2009: 137) menjelaskan artikaipal menjurus kepada pencarian makna simbol, ritual, dan unsur-unsur tradisi. Arketaipal lebih tertumpu kepada analisis yang bersifat mengkaji manusia, dengan tindakan-tanduknya daripada mengkaji unsur estetik dan intrinsik karya. Manusia dalam setiap zaman dan masa tidak akan terlepas dengan amalan-amalan yang berbentuk budaya dan kesenian, di mana keseluruhannya itu memberi arti bagi masyarakat dan bangsa itu.

(43)

melihat apakah tradisi tersebut telah mengakar di hati pemiliknya. Satu lagi yang menjadi inti pendekatan arketaipal ini ialah penelitian terhadap konsep kesadaran kolektif dan primordial images (rangsangan bawah sadar) yang terungkap dalam karya sastra dalam hal ini teks andung. Dalam pengaplikasiannya seseorang dituntut menguasai sistem dan budaya masyarakat.

Jung (1875-1961) kelahiran Swiss adalah pelopor teori arketaipal. Jung juga merupakan psikiater. Teori ini merupakan lanjutan falsafah psikologis Jung. Lebih lanjut, Jung (Sikana, 2009:138) mengemukakan bahwa dalam diri manusia, memiliki suatu indera dan intuisi. Tanpa sadar, penceritaan terhadap sesuatu akan dilakukan secara turun-temurun. Jung juga menyebutkan bahwa manusia mempunyai persamaan pengalaman dan asas serta tidak berubah-ubah. Di samping itu, terdapat juga penyimpangan gaya hidup terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya.

(44)

konsep pemikiran, watak, aspirasi, harapan masyarakat, serta nilai-nilai yang diharapkan.

Objek kajian dalam penelitian ini adalah tradisi lisan andung maka aspek pertama kajian yang harus dilakukan adalah membicarakan eksitensi andung dalam MBT masih mudah ditemukan atau tidak. Dengan demikian dapat diketahui apakah

andung itu memiliki unsur-unsur arketaipal atau tidak.

Aspek kedua, mengkaji unsur perulangan daripada sudut kejiwaan arketaipal, yaitu unsur perulangan itu mempunyai kesan dan pesan yang tersembunyi. Biasanya sejarah, tradisi dan warisan akan hidup ulang berulang dalam kehidupan masyarakat tersebut.

Aspek ketiga, arketaipal menganalisis aspek lambang atau simbol/makna dalam tradisi andung pada upacara kematian MBT. Berikutnya, aspek keempat dalam kajian arketaipal ialah mengkaji dan menganalisis konsep magis tradisi lisan

andung. Pendekatan arketaipal dapat diterapkan pada karya yang kaya unsur-unsur mitos (termasuk tradisi lisan andung). Hal ini sejalan dengan pendapat Frye yang menegaskan bahwa karya yang paling banyak dapat dihubungkan dengan mitologis dan arkeisme ini ialah yang bercorak keagamaan, yaitu segala bentuk kepercayaan tradisi: seperti animisme, totemisme, berhala dan agama kristiani sendiri24

Dengan demikian, pendekatan arketaipal menekankan kajian terhadap warisan budaya masa lalu yang mempunyai hubungan antara bidang psikologi dan

.

(45)

antropologi (sastra). Warisan budaya tersebut dapat juga dilihat dalam tradisi lisan

andung MBT. Dalam penelitian ini, kajian andung dalam teori arketaipal untuk

melihat bagaimana unsur-unsur tradisi andung pada upacara kematian MBT, kemudian mendeskripsikan simbol-simbol ritual serta melihat kearifan apa yang terdapat dalam tradsisi andung tersebut.

2.2.2 Semiotika

Semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu kata seme atau semeion, yang berarti penafsiran tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori semiotika, berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda dengan perantaraan tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia. Dengan demikian, manusia adalah homo semioticus.

Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Tanda-tanda itu mempunyai arti dan makna, yang ditentukan oleh konvensinya, karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Karya sastra menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahasa sebagai medium karya sastra merupakan sistem semiotika ketandaan. Sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun nonverbal.

(46)

sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada (ditentukan) konvensi-konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna (Pradopo, 2003:119).

Tokoh yang dianggap sebagai pendiri semiotik adalah dua orang yang hidup sezaman, yang bekerja secara terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama (tidak saling memengaruhi), yang seorang ahli linguistik, yaitu Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat yaitu, Charles Sander Peirce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu itu dengan nama semiologi, sedang Peirce menyebutnya semiotik (semiotics). Kemudian nama itu sering dipergunakan berganti-ganti dengan pengertian yang sama. Di Perancis dipergunakan nama semiologi untuk ilmu itu, sedang di Amerika lebih banyak dipakai nama semiotik.

(47)

Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya. Potret menandai orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon.

Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api, alat penanda angin menunjukkan arah angin, dan sebagainya.

Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer (manasuka). Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. ‘Ibu’ adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Orang Inggris menyebutnya mother, Perancis menyebutnya la mere, dsb. Adanya bermacam-macam tanda untuk satu arti itu menunjukkan “kesemena-menaan” tersebut. Dalam bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol.

Pada penelitian sastra, tanda berupa indekslah yang paling banyak dicari (diburu) dalam pendekatan semiotik, yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat (dalam pengertian luasnya).

(48)

(1) Aliran semiotika komunikasi, dengan intensitas kualitas tanda dalam kaitannya dengan pengirim dan penerima, tanda yang disertai dengan maksud, yang digunakan secara sadar, sebagai signal, seperti rambu-rambu lalu lintas, dipelopori oleh Buyssens, Prieto, dan Mounin.

(2) Aliran semiotika konotatif, atas dasar ciri-ciri denotasi kemudian diperoleh makna konotasinya, arti pada bahasa sebagai sistem model kedua, tanda-tanda tanpa maksud langsung, sebagai symtom, di samping sastra juga diterapkan dalam berbagai bidang kemasyarakatan, dipelopori oleh Roland Barthes.

(3) Aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang psikologi (Freud) dan sosiologi (Marxis), termasuk filsafat, dipelopori oleh Julia Kristeva.

Ada banyak cara yang ditawarkan dalam rangka menganalisis karya sastra secara semiotik. Abrams (dalam Ratna, 2004:105), dilakukan dengan menggabungkan empat aspek, yaitu: a) pengarang (ekspresif), b) semestaan (mimetik), c) pembaca (pragmatik), dan objektif (karya sastra itu sendiri). Dengan adanya tanda-tanda sebagai ciri khas yang meliputi seluruh kehidupan manusia, dari komunikasi yang paling alamiah hingga sistem budaya yang paling kompleks, maka bidang penerapan semiotika pada dasarnya tidak terbatas. Penerapan semiotika dalam ilmu sastra jelas merupakan masalah tersendiri, dengan pertimbangan bahwa bahasa dianggap sebagai salah satu sistem tanda yang sangat kompleks.

(49)

Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

Barthes mengembangkan semiotik menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjalaskan hubungan penanda dan petanda di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Barthes, 2007:82). Roland Barthes menegaskan bahwa komponen-komponen tanda , penanda dan petanda terdapat juga pada tanda-tanda bukan bahasa antara lain terdapat pada mite yakni keseluruhan sistem sastra dan kepercayaan yang dibentuk masyarakat untuk mempertahankan dan menonjolkan idnetitas.

Menurut Barthes (1985:89) sebuah ekspresi (expression) atau tanda, bisa memiliki beberapa isi (content) atau penanda melalui sebuah relasi (relation) tertentu. Dengan demikian, untuk menganalisis makna teks andung ini akan digunakan semiotika yang dikemukakan oleh Roland Barthes.

2.3. Kajian Pustaka

(50)

Berdasarkan studi kepustakaan, ada beberapa penelitian yang relavan atau yang mendiskusikan tentang andung pada MBT baik itu berupa tulisan –tulisan karya ilmiah seperti artikel, jurnal, buku, skripsi, dan tesis.

W. Robert Hodges (2006), “Tu Dia Ho, Dung Mate Ho?” Manifestasi dan Mediasi disonansi kognitif dalam konteks lagu-lagu ratapan di Kalangan Kristen Protestan Batak Toba. Makalah ini membahas isu-isu sehubungan dengan

“coexistence” (kehidupbersamaan) antara ideologi-ideologi keagamaan, yang

“pribumi/asli” dan yang dibawa oleh penginjil dari Eropa, yang dinyatakan di dalam konteks ritus kematian (pra-pemakaman) orang Batak Toba. Kenyataan ini dilihat dari ekspresi kehilangan/kesedihan melalui lagu-lagu ratapan “tradisional” (andung) dan lagu-lagu gerejawi (ende huria). Dalam Makalah ini juga dibahas tentang bagaimanan poin-poin oposisi di antara nilai/kebiasaan adat Batak Toba dan nilai/kebiasaan agama Kristen Protestan diwujudkan dan juga bagaimana oposisi tersebut diperantarakan secara musikal didalam konteks ritus kematian Batak Toba sehingga bertumbuh semacam kehidupbersamaan ideologi religius. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa perubahan-perubahan sosio religius yang dibawa oleh para misionaris dan yang dipegang oleh gereja protestan sebagai ajaran dogmatisnya tidak mampu menggeser atau mengganti baik kebiasaan-kebiasaan sosio-religius berhubungan dengan kematian, maupun persepsi-persepsi yang melatarbelakangi kebiasaan tersebut. Melainkan, perubahan sosio-religius Kristen Protestan mengakibatkan semacam oposisi intern/disonan kognitif antara pandangan dunia

(51)

Dalam Hal ini Hoges lebih memfokuskan pada etnomusikogi yaitu perubahan nyanyian ratapan menjadi lagu gereja secara musikal.

Junita Batu Bara (2006), VIO: Opera Monolog. Makalah ini mengggambarkan seorang perempuan dari suku Batak Toba dengan nama Vio, di mana dalam Opera monolog ini menggambarkan seorang wanita yang ditinggal suaminya meninggal dan dengan penuh kesedihan meratapi suaminya atau disebut

andung pada MBT dengan menyanyikan kebaikan-kebaikan suami selama hidup.

Opera monolog ini adalah drama yang terdiri dari beberapa bagian yaitu vokal, instrumen, dan gerakan-gerakan yang bersifat deskriptif, naratif dan filosofis. dengan menggabungkan ketiga sifat musik opera tersebut dengan ekspresi dan imajinasi yang berdasarkan pada adat istiadat MBT yaitu upacara kematian matipul ulu dengan sebuah bentuk komposisi musikal bergaya modern yang digabung dengan teknik teater. Konsep dari karya Vio : Opera Monolog ini adalah ambiguitas seorang wanita dalam sistem kekerabatan Batak Toba dan bagaimana ketegangan hidup, persaingan, konflik, serta perjuangan keras seorang perempuan setelah ditinggal mati oleh suaminya. Di mana kesedihan istri yang dengan meratap(andung) di padukan dengan nuansa musikal.

Amudi Lumban Tobing25

25

Seorang Dosen STPAKN Tarutung

(52)

andung ni namabalu, di desa Hutagaol Liga Liga, Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Pengkajian yang dilakukan dalam tulisan andung ni namabalu ini adalah dengan pendekatan etnomusikologis dan ilmu bahasa. Berdasarkan pengamatan andung ni namabalu di desa Hutagaol Liga Liga, keberadaannya masih berlangsung, tetapi sudah dalam keadaan yang perlu diperhatikan. Proses regenerasi

andung ni namabalu sebagai salah satu bentuk kesenian MBT tidak berlangsung

sebagaimana mestinya. Hal ini dapat dilihat dari kondisi andung tersebut karena yang mengetahui dan menguasainya hanyalah kalangan orang tua. Situasi akibat adanya perubahan dalam pandangan masyarakat terhadap andung ni namabalu, yang disebabkan masuknya agama, pola hidup yang makin berorientasi kepada hal-hal yang bersifat ekonomis, dan masuknya bentuk hiburan yang lebih memikat perhatian masyarakat, seperti televisi. Mengungkapkan kesedihan atau meratapi akibat ditinggal oleh kematian, MBT memiliki cara tersendiri secara umum memang dapat dikategorikan sebagai menangis, namun caranya bukanlah seperti menangis yang biasa. Mengungkapkan kesedihan ini, MBT menyebutnya mangandung. Andung ni

namabalu bukanlah suatu bentuk pertunjukan dengan unsur musik semata, dari

tekstual terdapat suatu bahasa khusus yang disebut bahasa andung, yang hanya dipergunakan dalam andung. Ragam bahasa ini merupakan suatu kekayaan budaya, dan memiliki nilai-nilai filosofhis tentang pandangan hidup masyarakat Batak Toba.

Andung ni namabalu bagi masyarakat Batak Toba kegunaannya adalah sebagai

(53)

hal yang dianggap mampu mempertahankan keberadaan andung ni namabalu ini adalah dengan mengubah konteks penyajian dan fungsinya, misalnya dijadikan sebagai seni pertunjukan. Selain itu membuat transkripsi dan deskripsi mengenai penyajian andung ni namabalu akan membantu generasi muda untuk mempelajarinya sehingga terjadi proses belajar yang lebih praktis dan mudah, dan andung ni namabalu tetap ada di masyarakat sebagai suatu bentuk kesenian masyarakat Batak Toba.

Acharani Hutagalung26

Penelitian lain yang relevan tentang ratapan (nyanyian ratapan) ada juga pada etnis lain seperti; Dra Zahara Kamal

(2001), Klasifikasi Andung pada MBT di Desa Pintu Bosi Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Berdasarkan penelitiannya, dia mengidentifikasikan ada 10 jenis andung di desa Pintu Bosi, yaitu; andung ni na mate, andung salik, andung parsoban, andung ni doli-doli, andung paragat, andung

parmahan, andung tu natua-tua na di ajal ni jolma, andung parbabo, andung

martonun dan andung mangokal holi.

27

26 Seorang guru Kesenian Methodis 2. Medan

(2007), penelitian yang berjudul “Wanita Lansia dan Nyanyian Ritual dalam Ratapan Kematian (Bailau)”, (Elderly Women and Ritual songs in Bailau (the Mourning of Death)). Penelitian terhadap “Wanita Lansia dan Nyanyian Ritual Dalam Ratapan Kematian (Bailau)”, membahas tentang masyarakat nagari Salayo sebagai pemilik kesenian Ilau dari aspek budaya Minangkabau. Pembahasan ini meliputi peranan wanita lansia dalam tradisi bailau

27 Dosen tetap di Jurusan Karawitan STSI Padangpanjang. Di samping mengajar, aktif meneliti seni pertunjukan tradisional

(54)
(55)

Referensi

Dokumen terkait

andung yang seharusnya digunakan dengan hata andung tidak lagi digunakan, sehingga sudah tidak memiliki nilai tradisi yang melekat pada masyarakat Batak Toba di

adat, dan siklus pekerjaan umum yang terdapat masyarakat Batak Toba di.

Setiap masyarakat yang sudah maju maupun yang masih sederhana, ada sejumlah nilai Budaya yang satu dengan yang lain saling berkaitan, sehingga merupakan

Lokasi penelitian ini berada di desa Sigapiton, Kecamatan Ajibata Kabupaten Toba, yang hingga pada saat ini masih ada tradisi gotong-royong. Di desa ini, penulis dapat

Sentuhan musik gondang hasapi yang khas dengan kegemulainya, khas dengan nada nya yang sederhana, lebih ringan dan lambat akan membuat masyarakat parmalim sebagai

Apabila memohon dengan memberikan uang atau barang yang disukai kakak atau abangnya tanpa sirih dianggap tidak berharga atau tidak menghormati karena dalam budaya

Namun, walau demikian, interaksi komunikasi antara keluarga yang satu dengan keluarga lainnya juga bisa terhambat, apalagi dengan keluarga yang berbeda latar belakang budaya,

SIMPULAN Penelitian ini telah mengungkapkan bahwa andung Batak Toba, khususnya andung yang ditampilkan dalam pertunjukkan seperti andung “Tangis ni Tao Toba” mengandung bahasa yang