• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kedondong Hutan 2.1.1. Klasifikasi Tanaman Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermase Kelas : Dicotyledonnae Bangsa : Sapindales Suku : Anacardiaceae Marga : Spondias

Jenis : Spondias pinnata (L. F.) Kurz

(Hutapea, 1994) 2.1.2. Deskripsi Tanaman

Spondias pinnata merupakan pohon yang memiliki tinggi ±20 m

dengan batang tegak, bulat, berkayu, permukaan batang halus, percabangan simpodial dimana batang pokok sulit ditentukan.

Daun tanaman S. pinnata berwarna hijau, termasuk tipe daun majemuk yang berbentuk lonjong dengan jumlah ganjil. Letaknya tersebar dengan pangkal runcing, ujung meruncing, pertulangan daun menyirip, tepi daun rata, panjang daun 5-8 cm, dan lebar daun 3-5 cm.

(2)

Bunga tanaman S. pinnata merupakan bunga majemuk yang berwarna putih kekuningan, berbentuk malai, terletak pada ketiak daun dan pada ujung cabang. Panjang bunga 24-40 cm dengan kelopak berwarna ungu yang memiliki panjang ±5 cm. Benang sari berjumlah delapan dengan warna kuning, mahkota bunga berjumlah empat sampai lima, berbentuk lanset dan berwarna putih kekuningan.

Tanaman S. pinnata memiliki buah puni yang berbentk lonjong, berdaging, dengan diameter ±5 cm, berserat, dan berwarna hijau kekuningan. Biji buah berbentuk bulat, berserat kasar dan berwarna putih kekuningan. Akar tanaman S. pinnata merupakan akar tunggang yang berwarna coklat tua (Hutapea, 1994). Gambar tanaman S. pinnata ditampilkan pada gambar 2.1.

Gambar 2.1. (a) Daun tanaman S. pinnata, (b) buah tanaman S. pinnata, dan (c) tanaman S. pinnata.

a

(3)

2.1.3. Kandungan Kimia Tanaman

Ekstrak metanol daun S. pinnata mengandung senyawa triterpenoid dan flavonoid (Dwija et al., 2013). Ekstrak etanol 80% daun S. pinnata mengandung terpenoid, polifenol, dan flavonoid (Medisina, 2012).

2.1.4. Bioaktivitas Tanaman

Secara tradisional daun S. pinnata memiliki khasiat sebagai obat batuk, sedangkan kulit kayunya berkhasiat sebagai obat disentri (Hutapea, 1994). Studi bioaktivitas yang dilakukan dengan ekstrak daun S. pinnata menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri Klebsiella sp. (Sharmeen et al., 2012). Ekstrak etanol dan kloroform tanaman S. pinnata juga memiliki aktivitas antibakteri, ekstrak etanol S. pinnata aktif terhadap bakteri Salmonella tyhpi dan

Vibrio cholera, sedangkan ekstrak kloroform aktif terhadap bakteri S. thypi (Das

et al., 2011).

Beberapa penelitian yang telah dilakukan juga menunjukkan aktivitas antituberkulosis ekstrak daun S. pinnata. Penelitian Dwija et al. (2013), menggunakan ekstrak metanol daun S. pinnata menunjukkan aktivitas hambatan terhadap isolat M. tuberculosis MDR. Penelitian selanjutnya menggunakan ekstrak etanol 80% daun S. pinnata menunjukkan aktivitas antituberkulosisnya terhadap isolat M. tuberculosis MDR dengan persentase hambatan sebesar 94,94% pada konsentrasi 10 mg/mL dan sebesar 100% pada konsentrasi 100 mg/mL (Medisina, 2012). Penelitian lainnya menggunakan ekstrak etanol terpurifikasi daun S. pinnata, menunjukkan aktivitas antituberkulosis yang lebih baik

(4)

dibandingkan dengan ekstrak etanol total dengan persentase hambatan sebesar 98,1% pada konsentrasi 10 mg/mL (Savitri, 2013).

2.1.5. Studi Keamanan

Evaluasi keamanan ekstrak S. pinnata telah dilakukan pada uji toksisitas akut dan subakut. Penelitian yang dilakukan oleh Purwani (2013) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol total pada uji toksisitas akut termasuk dalam kategori slightly toxic baik pada mencit betina maupun mencit jantan masing-masing dengan LD50 sebesar 8,662 g/kgBB dan 8,800 g/kgBB.

Penelitian yang dilakukan oleh Mahadewi (2014) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol S. pinnata terstandar pada uji toksisitas akut termasuk dalam kategori practically nontoxic dengan LD50 sebesar 15,002 g/kgBB dan pada uji toksisitas subakut dengan pemberian dosis 0,2; 1 dan 2 g/kgBB selama 31 hari perlakuan dapat menyebabkan terjadinya degenerasi dan nekrosis sel hati dan ginjal pada mencit betina. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Kusuma (2014) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol S. pinnata terstandar pada uji toksisitas akut termasuk dalam kategori relatively harmless dengan LD50 sebesar 33,210 g/kgBB dan pada uji toksisitas subakut dengan pemberian dosis tinggi yaitu 2 g/kgBB tidak memberikan potensi ketoksikan pada parameter fungsi dan gambaran histologi hati dan ginjal pada mencit jantan. Ekstrak terstandar dalam penelitian tersebut, diperoleh dengan cara maserasi menggunakan n-heksana kemudian dilanjutkan dengan metode digesti menggunakan etanol 80%. Nilai parameter ekstrak etanol S. pinnata terstandar meliputi susut pengeringan sebesar 25,9864% ± 0,1272%, bobot jenis sebesar 0,8929 g/mL ± 0,007 g/mL, kadar abu

(5)

total sebesar 2,1253% ± 0,7234%, kadar abu tidak larut asam sebesar 0,2406% ± 0,0017%, cemaran logam berat Pb tidak terdeteksi dan cemaran Cu sebesar 0,170 mg/L, senyawa larut air sebesar 11,9194% ± 1,1924% dan senyawa larut etanol sebesar 7,3510% ± 1,0010% (Kusuma, 2014; Mahadewi, 2014).

2.2.Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu cara penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Depkes RI, 2000). Maserasi merupakan suatu proses ekstraksi simplisia menggunakan pelarut dengan menggunakan alat sederhana. Metode ini dilakukan dengan merendam serbuk simplisia pada pelarut yang sesuai, tempat tertutup dan pada suhu ruangan. Pengadukan dapat dilakukan untuk mempercepat proses ekstraksi. Proses ekstraksi berhenti ketika terjadi kesetimbangan antara konsentrasi metabolit dalam pelarut dan serbuk simplisia. Keuntungan metode ini adalah penggunaan peralatan yang sederhana dan mudah diperoleh serta pengerjaannya yang mudah (Tiwari et al., 2011; Seidel, 2012).

Digesti adalah cara maserasi dengan menggunakan pemanasan lemah, yaitu pada suhu 40°-50°C. Metode ini digunakan apabila zat aktif stabil terhadap pemanasan. Peningkatan suhu dapat meningkatkan kemampuan pelarut untuk mengekstraksi zat aktif (Crowley, 2006; Tiwari et al., 2011).

(6)

2.3.Uji Toksisitas

Banyak tanaman dan hewan menghasilkan racun baik untuk tujuan bertahan maupun menyerang. Racun alami yang dimiliki oleh tanaman, hewan dan bakteri terdiri dari berbagai senyawa kimia yang dapat menyebabkan keracunan (Timbrell, 2001).

Toksisitas merupakan suatu ungkapan yang digunakan untuk sesuatu yang memiliki efek berbahaya yang disebabkan oleh interaksi antara suatu senyawa beracun dengan sel target. Berdasarkan lamanya pemaparan toksin, toksisitas dibedakan menjadi toksisitas akut, toksisitas subakut, dan toksisitas kronis (Bhardwaj and Gupta, 2012; Lu, 2009).

2.3.1. Uji Toksisitas Akut

Uji toksisitas akut dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam waktu 24 jam. Sebagian besar penelitian ini dirancang untuk menentukan LD50 obat. Lethal Dose 50 (LD50) obat didefinisikan sebagai dosis tunggal suatu zat yang secara statistik diperkirakan akan membunuh 50% hewan percobaan. Uji toksisitas akut juga dapat menunjukkan organ sasaran yang mungkin dirusak dan efek toksik spesifiknya, serta memberikan petunjuk tentang dosis yang sebaiknya digunakan dalam pengujian yang lebih lama (Harmita dan Radji, 2006).

Secara umum, obat harus diberikan melalui jalur yang sama pada saat pengaplikasian obat pada manusia seperti jalur oral. Jalur oral merupakan jalur yang paling umum digunakan, dan bila diberikan secara oral maka zat tersebut harus diberikan dengan menggunakan alat sonde (Harmita dan Radji, 2006).

(7)

Setelah toksikan diberikan, jumlah hewan yang mati dan waktu kematian harus diamati untuk memperkirakan LD50, tanda-tanda toksisitas juga dicatat. Jangka waktu pengamatan harus cukup panjang sehingga efek yang muncul lambat, termasuk kematian, tidak luput dari pengamatan. Jangka waktu tersebut biasanya 7-14 hari tetapi dapat jauh lebih lama (Lu, 2009).

2.3.2. Uji Toksisitas Subakut

Metode toksisitas subakut dilakukan dengan memberikan bahan uji berulang-ulang, biasanya setiap hari atau lima kali dalam seminggu, selama jangka waktu kurang lebih 10% dari masa hidup hewan, yaitu satu atau dua bulan untuk mencit, tiga bulan untuk tikus dan satu atau dua tahun untuk anjing. Meskipun demikian, beberapa peneliti menggunakan jangka waktu yang lebih pendek misalnya pemberian zat selama 14 sampai 28 hari (Lu, 2009).

Hewan yang digunakan adalah hewan yang dapat memetabolisme zat kimia tersebut dengan cara yang sama dengan manusia. Karena itu dipilih tikus atau anjing yang didasari dengan ukuran yang sesuai, kemudahan untuk mendapatkan hewan coba dan banyaknya informasi toksikologi pada hewan-hewan ini. Pada umumnya digunakan 10-30 ekor tikus dalam setiap kelompok dosis dan kelompok pembanding. Zat kimia yang diuji harus diberikan lewat jalur yang sama dengan manusia. Bagi kebanyakan zat kimia, jalur yang paling biasa adalah oral (Lu, 2009).

Tujuan penelitian toksisitas subakut adalah untuk menentukan sifat dan tempat efek toksik selain menentukan no effect level, oleh sebab itu disarankan untuk menggunakan tiga dosis: satu dosis yang cukup untuk menimbulkan tanda

(8)

toksisitas yang pasti tetapi tidak cukup untuk membunuh sebagian besar hewan uji, dosis rendah yang diharapkan tidak memberikan efek toksik sama sekali dan dosis menengah sehingga ditambahkan satu dosis atau lebih. Kelompok pembanding tidak mendapatkan perlakuan zat uji, namun harus menerima semua bahan selain zat uji yang digunakan (kelompok plasebo). Dosis yang digunakan dipilih berdasarkan informasi yang diperoleh dari uji toksisitas akut, baik berupa LD50 maupun kemiringan kurva dosis-respon (Lu, 2009).

2.3.3. Uji Hematologi

Metode ini didasarkan pada metode toksisitas subakut, dengan sekurang-kurangnya digunakan tiga kelompok dosis dan satu kelompok Kontrol. Dosis paling tinggi menggunakan 10-20% dari nilai LD50, kemudian dosis lain ditetapkan dengan menggunakan faktor perkalian 2 sampai 10. Perlakuan diawali dengan aklimatisasi didalam ruang percobaan selama kurang lebih tujuh hari, kemudian diberikan zat uji selama waktu yang ditentukan biasanya antara 28 sampai 90 hari. Pada akhir periode pemberian zat uji, dilakukan pemeriksaan parameter hematologi (Harmita dan Radji, 2006).

Pemeriksaan hematologi merupakan sekelompok pemeriksaan laboratorium klinik yang terdiri dari beberapa macam pemeriksaan seperti hematokrit, hemoglobin, eritrosit, leukosit, trombosit (platelet), Laju Endap Darah (LED), waktu protrombin, International Normalized Ratio, waktu thrombin, fibrinogen dan D-Dimer (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Beberapa parameter pada pemeriksaan hematologi yang digunakan untuk mengetahui tingkat toksisitas yaitu jumlah eritrosit, leukosit, differential count, hematokrit, hemoglobin/Hb

(9)

(Derelanko dan Holinger, 2002; Harmita dan Radji, 2006). Pemeriksaan hemoglobin memiliki prinsip pengerjaan dengan penambahan larutan asam hidroklorida mengubah hemoglobin menjadi asam hematin yang berwarna coklat kehitaman yang kemudian akan dibandingkan dengan standar pada alat hemoglobinometer. Pemeriksaan eritrosit memiliki prinsip pengerjaan dengan penambahan larutan hayem yang bersifat isotonis dan tidak menyebabkan hemolisis, krenasi dan menjaga bentuk dari eritrosit. Pemeriksaan leukosit memiliki prinsip pengerjaan dengan penambahan larutan turk yang dapat menghancurkan eritrosit dengan asam asetat dan adanya reaksi pewarnaan leukosit (Ghai,2013) Nilai parameter darah normal pada mencit Balb/c ditampilkan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Rentang Nilai Normal Pengukuran Hematologi pada Mencit Balb/c (Derelanko dan Holinger, 2002)

Parameter Mencit Balb/c usia 1-3 bulan

Mencit Balb/c usia 6-12 bulan Eritrosit (106/mm3) 8,5-10,5 8,8-10,6 Hematokrit (%) 42,5-47,9 38,3-46,9 Hemoglobin (g/dl) 14,5-16,8 14,2-17,0 Leukosit total (103/mm3) 2,0-5,7 2,0-5,0 Platelet (103/mm3) - - Retikulosit (%RBC) - -

Parameter hematologi memiliki peranan penting dalam fungsinya sebagai bagian dari komposisi darah sehingga dapat digunakan sebagai indikator toksisitas. Pemberian suatu bahan dapat mengubah parameter hematologi, seperti pada penelitian Pillaia dan Suresh (2011) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak metanol Caesalpinia bonducella menyebabkan terjadinya peningkatan nilai eritrosit dan leukosit walaupun tidak signifikan. Jumlah eritrosit yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya hambatan aliran darah pada pembuluh kapiler, namun

(10)

apabila jumlah eritrosit sedikit dapat menyebabkan kurangnya asupan oksigen. Hematokrit digunakan untuk memonitor sirkulasi sel darah merah, sehingga hematokrit abnormal menunjukkan adanya masalah pada sirkulasi darah merah. Leukosit berfungsi sebagai pertahanan tubuh, sehingga apabila terjadi abnormalitas leukosit maka akan mempengaruhi sistem imun tubuh manusia (Tortora dan Anagnostakos, 2006; Martini et al., 2006)

Gambar

Gambar 2.1.  (a) Daun tanaman S. pinnata, (b) buah tanaman S. pinnata,  dan (c) tanaman S
Tabel 2.1 Rentang Nilai Normal Pengukuran Hematologi pada Mencit Balb/c  (Derelanko dan Holinger, 2002)

Referensi

Dokumen terkait

Analisis Sistem Berjalan yaitu menganalisis permasalahan yang sedang berjalan pada saat ini yang ada pada proses kegiatan penjualan dan dalam mempromosikan produk, dari hasil

Berkaitan dengan hal tersebut Yudistira, Aji & Sutriono (2015) mengemukakan bahwa cahaya berpengaruh nyata terhadap perkecambahan dan pertumbuhan benih gaharu

Sehingga dalam susunan frasa awet muda dalam teks di atas bermakna sebenarnya atau denotatif mengacu pada referen atau acuan di luar bahasa yang bermakna „selalu awet tidak

Untuk mengetahui dan mendeskripsikan wujud gaya kata dan gaya kalimat yang digunakan oleh Lintang Sugianto dalam novel Matahari di Atas Gilli.. Untuk mengetahui

Hasil dari keseriusan berbagai pihak terkait dalam mengelola produk hasil rekayasa genetika salah satunya adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No 21

Piranti keluaran adalah lebih dikenal dengan istilah aslinya, output devices adalah bagian dari perangkat keras atau hardware dalam komputer yang bertugas menampilkan instruksi,

Every school and school committee develop the education unit level curriculum and syllabus based on curriculum planning and standard of graduate competence, under the supervision

dengan bulu ayam anak tidak akan bosan dengan pembelajaran yang lain. yang ada di dalam kelas, anak akan merasa senang dan