Botani Tanaman Karet
Tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) merupakan tanaman tahunan (perennial) dari famili Euphorbiaceae penghasil lateks yang telah lama dibudidayakan. Tanaman turnbuh baik di dataran rendah hingga menengah (0
-
400 m di atas permukaan laut) dengan curah hujan yang cukup sepanjang tahun (1500 - 2500 mrnltahun), dan marnpu hidup di lahan masam (pH 4.0-
4.5) dengan tanah bersolum dalam dan miskin hara (Dijkman, 195 1; Webster & Baulkwill, 1989).Saat ini di Indonesia terdapat 20 klon unggul anjuran dan 18 klon unggul harapan hasil pemuliaan (Puslit Karet, 1995). KIon unggul anjuran adalah klon-klon yang direkomendasikan untuk pertanaman komersial dan dilepas secara resmi men.& benih bina dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian. Klon-klon dimaksud adalah AVROS 2037, BPM 1, BPM 24, BPM 107, BPM 109, GT 1, PB 2 17, PB 235, PB 260, PR 255, PR 261, PR 300, PR 303,
RRIC
100, RRIC 102, RRIC 110, RRIM 600, RRIM 712, TM 2 danTM
9. Klon unggul harapan adalah klon yang dikembangkan secara terbatas di Perusahaan Perkebunan berdasarkan rekomendasi dari Pusat Penelitian Karet, di antaranya adalahIRR
2, IRR 5, IRR 7, PB 280, PB 330,RCG
2604,TM
6 danTM
8 (Woelan et al., 1995).Klon-klon anjuran tidak berlaku universal, tetapi perlu agroekosistem yang tepat dalam ha1 curah hujan dan kelembaban udara, kedalaman solum tanah, topografi, penyakit utarna, dan gangguan angin. Namun berdasarkan ciri genetik yang relatif tidak dipengaruhi oleh umur dan lingkungan tumbuh, klon-klon karet
10 setidaknya dibedakan dalam 6
-
8 kelompok pola pita protein (Pnmatillake & Yapa, 1985; Lasminingsih et at., 1989). Di antara klon-klon anjuran, GT 1 misalnya berbeda kelompok dengan kelompok PR 300-
PR 303 dan kelompok RRIM 600. Pencirian genetik berdasarkan pola pita protein masih memiliki kelemahan, yaitu adanya variasi tampilan elektroforegram suatu klon akibat perbedaan umur penyadapan; atau dengan kata lain faktor penyadapan dapat mempengaruhi kestabilan pola protein dari suatu klon yang diidentifikasi. Oleh karena itu pencirian genetik berdasarkan pola pita isozim (enzim-enzim yang berbeda gugushgsionalnya tetapi aktivitas enzimatiknya sarna) juga sedang diupayakan (Sitompul, 1995).
Keterannan: X- Xylem, Floern (U- h i t keras + ki- lculit lunak),
L ~embuluh lateka C- karnbium dan PV- ~embuluh vaskuler.
Gambar 1. Anatomi batang karet (Hebant, 198 1)
Meskipun lateks terdapat dalarn daun, ranting dan percabangan, namun penyadapan yang menguntungkan adalah pada kulit batang. Anatomi batang karet dapat dilihat pada Gambar 1 (Hebant, 1981). Penyadapan biasanya baru dapat
dilakukan pada tanaman benunur 5
-
6 tahun, yakni apabila telah memenuhi kriteria matang sadap. Kriteria matang sadap yang masih berlaku hingga saat ini adalah lilit batang pada ketinggian 1.0 atau 1.3 m di atas 'kaki gajah' (bekas pertautan okulasi) sebesar 45 cm atau lebih, dan lebih dari 60% populasi telah memenuhi ukuran lilit batang tersebut. Penyadapan diharapkan dapat dilakukan selama 25-
30 tahun. Oleh karena itu hams diusahakan agar kulit pulihan dapat terbentuk dengan baik, sehingga pada saatnya dapat disadap lagi. Pengirisan kulit makin mendekati kambium akan makin banyak mengeluarkan lateks, namun apabila mengenai kambiumdan
kayu akan mengakibatkan buruknya kulit pulihan. Oleh karena itu penyadapan yang baik merniliki kedalaman be rjarak 1.0-
1.5 rnm dari kambium (Junaidi & Kuswanhadi, 1992).1. fraksi karet, berwarna putih
2. partikel Frey Wyssling, kuning-jingga 3. senun-C (sitosol), cairan bening 4. fraksi bawah (lutoid), endapan kuning
Gambar 2. Fraksi lateks setelah sentrifugasi 50 000 g selama 60 menit (d7Auzac &
Jacob, 1989)
Lateks yang keluar dari penyadapan pohon karet sebenarnya merupakan sitoplasma dari sel-sel pembuluh lateks yang mengandung antara lain partikel karet, lutoid, nuklek, mitokondria, ribosom dan partikel Frey Wyssling. Dengan cam sentrifugasi pada 50 000 g (gravitasi) selama 60 rnenit, lateks akan terpisah rnenjadi
12 tiga bagian utama yaitu lapisan atas berupa partikel karet yang berwama putih, lapisan tengah merupakan cairan bening yang dinamakan serum-(: (sitosol), dan endapan kuning pada dasar tabung disebut sebagai 'fraksi bawah' yang terdiri atas partikel lutoid (Gambar 2).
Partikel karet berbentuk bulat berukuran antara 5 nm
-
3 pm, mengandung beberapa ratus molekul cis- l,4-poliisoprena (d' Auzac dan Jacob, 1989). Partikel karet dikelilingi oleh membran berupa fosfolipoprotein yang bermuatan elektronegatif dan berperan untuk menjaga stabilitasnya. Enzim rubber transferase berada pada membran tersebut dan berfimgsi dalam pembentukan molekul karet. Serum C adalah cairan bening yang merupakan sitosol dari sel pembuluh lateks, mengandung berbagai persenyawaan antara lain sukrosa, protein danasam-asam
organik. Adapun lutoid meliputi kurang lebih 10
-
20% dari volume lateks. Lutoid adalah organel yang disebut juga sebagai vakuolisosom karena sifatnya yang menyerupai vakuola (pada sel tanaman) dan lisosom (pada sel hewan). Partikel lutoid berdiarneter 2-
10 pm, dikelilingi oleh satu lapisan membran yang tipis clan bersifat peka terhadap perbedaan tekanan osmosis sehingga dapat pecah pada medium yang hipotonik.Lutoid mengandung cairan (serum lutoid) dengan pH 5.0
-
5.5 yang merupakan tempat akurnulasi senyawa atau ion yang bersifat racun, antara lain asam sitrat, asam oksalat, M ~ ~ + , ca2+, FA, hevein, dan lisosim. Hevein mencakup 70% dari total protein terlarut &lam serum lutoid dan dinyatakan bahwa hevein merupakan suatu pengharnbat protease. Keberadaan hevein dan lisosim dalam lateksini diperkirakan berfhgsi sebagai suatu sistem proteksi tanaman karet untuk menghambat terjadinya infeksi patogen pada saat pelukaan batang akibat penyadapan. Namun, Kush et al. (1990) melaporkan bahwa hevein bila berasosiasi dengan reseptor berukuran 23 kDa pada membran partikel karet akan menyebabkan penggumpalan atau koagulasi lateks. Asosiasi hevein dengan reseptor tersebut kemudian ternyata diduga kuat memerlukan N-asetil glukosamin (Jacob et al., 1998).
Produksi Lateks Tanaman Karet
Dalam metabolisme tanaman, fotosintesis merupakan proses awal penghasil glukosa kemudian te rjadi proses-proses pembentukan sukrosa atau karbohidrat lain, lipid, protein, dan metabolit sekunder melalui berbagai lintasan yang terkoordinasi dengan proses respirasi (glikolisis, siklus trikarboksilat). Metabolit sekunder berupa senyawa fenolik, terpen maupun produk sekunder mengandung N; secara spesifik memiliki lintasan tertentu antara lain lintasan sikimat, malonat maupun mevalonat (Gambar 3) (Taiz & Zeiger, 1991).
.
PEP
Senyawa fenolik
Gambar 3. Berbagai lintasan sintesis produk sekunder dalam tanaman (Taiz &
Lateks mengandung partikel karet (isoprena) yang dihasilkan oleh tanaman karet dan merupakan produk sekunder yang tergolong sebagai terpen (politerpen), yang disintesis melalui lintasan asam mevalonat (MVA). Sebagai prekursor dari isoprena adalah asetil koA atau asam asetat, tetapi dalam jaringan dipersiapkan berupa sukrosa yang mudah ditranslokasikan (Kekwick, 1989; West, 1990; Jacob et al., 1998). Secara fisiologis produksi lateks pada tanaman karet dipengaruhl oleh dua faktor utarna, yaitu biosintesis atau regenerasi lateks antara dua penyadapan, dan lamanya lateks mengalir setelah penyadapan (Kekwick, 1989).
Biosintesis/Regenerasi Lateks
Biosintesis/regenerasi lateks berlangsung dalam sel pembuluh lateks (laticferous cells) dkngan bahan dasar berupa sukrosa yarig berasal dari daun, sebagai pusat fotosintesis. Metabolisme yang berlangsung terutama berotientasi
untuk pembentukan partikel karet (cis-poliisoprena atau (C&& yang mewakili 33
-
50% bobot segar atau 90% bobot kering lateks. Skema sintesis karet dalam sel pembuluh lateks disajikan pada Gambar 4 (Jacob & Prevot, 1992). Ada dua tahap utama pembentukan karet yaitu glikolisis dan anabolisme cis-poliisopre~.Dalam sel pembuluh lateks, sebagian besar sakarida berbentuk sukrosa (Tupy & Resing, 1968; d'Auzac & Pudarniscle, 1959). Aktivitas jaringan pembuluh lateks tergantung pada ketersediaan sukrosa tersebut (Tupy, 1989). Dalam analisis, kadar sukrosa merupakan residu dari jurnlah sukrosa tersedia dikurangi penggunaannya secara in situ. Penetrasi atau influks sukrosa dalam pembuluh lateks
sangat kompleks, menyangkut mekanisme tingkat membran sel yang memerlukan energi biokimia (Jacob et al., 1995).
Molekul sukrosa melalui serangkaian reaksi enzimatik (invertase clan seterusnya)
akan
membentuk molekul asam asetat atau asetil koA sebagai prekursorutama dari cis-poliisoprena dengan pembentukan energi biokimia berupa ATP serta akurnulasi senyawa pereduksi NAD(P)H. Asetil koA yang dihasilkan dari glikolisis selanjutnya membentuk monomer isoprena yaitu isopentenil pirofosfat (IPP). Proses pembentukan IPP ini memerlukan energi terutama dalam bentuk ATP dan tenaga pereduksi NADH yang dihasilkan dari proses glikolisis. Dari IPP secara berturut- turut terbentuk partikel karet (poliisoprena) yang makin besar. Biosintesis lateks dikendalikan antara lain oleh pengaturan pH dan komposisi ion dalam sitosol lateks. Adanya korelasi positif antara produksi lateks dan pH sitosol telah terbukti dengan r
= 0.639 (Brzozowska et al., 1979).
Biosintesis karet sebenarnya melalui reaksi biokimia yang melibatkan sangat banyak enzim sebagai biokatalisator. Namun untuk lintasan utama dapatlah disederhanakan dalam lima tahap sebagai berikut :
1. Pembentukan 3-hidroksi 3-metil ~lutaril koA
112
asetil koA
*
asetoasetil koA+
asetil koA,
3-5-3-hidroksi 3-metil glutaril koAEl = asetil koA asil transferase (EC 2.3.1.9, serum)
(H
MG-k0A)E2 = 3Wmksi 3-metil glutaril koA sinthase (K 4.1.3.5, serum)
2. Reduksi 3-hidroksi 3-metil glutaril koA dm ~embentukan mevalonat pirofosfat
I S I 4
3-5-3-hidroksi 3-metil glutaril koA
+
2 NADPH+
2H++ 3-R-mevalonat+
mevalonat 5-PP(HMG-koA) (MVA) Is (MVA-PP)
E3 = 3 h imetil glutad koA reduktase (K 1.1 .I .3.4, fraksi bawah RE) E4 = meMknat kinase (K 2.7.1.3.6, serum)
E5 = mevabnat-PP base (EC 2.7.4.2, serum)
3. Pembentukan monomer isoprenoid: iso~entenil pirofosfat dan primer dimetilalil pirofosfat
.
E 6 I7
mevalonat-5PP
-+
isopentenil pirofosfat
<-
dimetilalil pirofosfat
(
MVA-PP)
(Ipp)
(DMAPP)
E6 = mevalonat-5PP dekarboksilase (EC 4.1.1.3.3, serum)11 8
dimetilalil pirofosfat
+
3 isopentenil pirofosfat ->
geranil geranil pirofosfat
(DMApp)
(Ipp)
(GGPP)
E8 = prenil transferase (EC 2.5.1 .l, serum)
5. Pembentukan cis-wliiso~rena E 9 E 9 E 9
geranil geranil pirofosfat
+
isopentenil pirofosfat
+
-,
+
cis-poliisoprena
(GGPP)
(Ipp)
E9 = rubber transferase (K 2.5.1.20, permukaan partikel k tkecil)
(KARET)
Dari lima tahapan reaksi di atas terdapat sembilan enzim yang terlibat langsung dalarn biosintesis partikel karet (cis- l,4-poliisoprena). Menurut Kekwick (1989) sembilan enzim tersebut, yang termasuk dalam kelas oksidoreduktase ialah enzim HMG-koA reduktase, dalam kelas transferase ialah enzim asetil-koA-asil transferase, MVA kinase, WA-PP kinase, prenil transferase, dan rubber transferase; dan dalam kelas liase ialah enzim HMG-koA sinthase dan MVA-PP dekarboksilase. Terdapat satu enzim dalam kelas isomerase yaitu enzim IPP isomerase. Sebagian besar enzim-enzim utama pembentuk karet ini terdapat dalam serum atau sitosol sel pembuluh lateks, kecuali enzim
HMG
koA reduktase yang terdapat pada fhksi bawah (lutoid) dan enzim rubber transferase yang terdapat di permukaan partikel karet. Kedudukan enzim ini berkaitan langsung dengan bgsinya dalam reaksi biokimia dalam sel.Lama Aiiran Lateks
Penyadapan dilakukan pada kulit pohon hingga mencapai dekat kambium. Lateks berada dalam pembuluh lateks pada tekanan turgor 10-14 atmosfer. Segera setelah pohon disadap, tekanan turgor menurun dan air dari sel-sel tetangga
18
menembus dinding sel pembuluh lateks sehingga lateks mengalir sepanjang irisan
sadap. Lateks yang diperoleh dari penyadapan tidak saja berasal dari sel-sel
pembuluh lateks yang terlukai tetapi merupakan kumpulan lateks yang mengalir dari daerah aliran lateks. Lamanya aliran lateks ditentukan oleh besarnya tekanan turgor
&lam pembuluh lateks
dan
kecepatan koagulasi pada alur sadap. Kandunganosmotikurn yang tinggi pada lateks seperti sukrosa, ion mineral, serta diimbangi oleh tersedianya air yang cukup, merupakan kondisi ideal agar tekanan turgor mencapai maksimum. Kondisi tersebut memungkinkan berlangsungnya aliran lateks yang
cukup lama serta indeks penyumbatan (plugging index) yang relatif rendah sehingga
produksi meningkat, sebagaimana terbukti dalam penggunaan stimulasi etepon (Pakianathan et al., 1989) pada Gambar 5.
!% penurunan tckanan turgor
Gambar 5. Pengaruh stimulasi etepon terhadap daerah aliran lateks
Berhentinya aliran lateks lebih disebabkan oleh adanya koagulasi partikel karet yang menyurnbat luka irisan sadap sebagai akibat dari perusakan lutoid dan partikel Frey
Wyssling. Organel tersebut melepaskan beberapa senyawa yang berperan secara
langsung sebagai penyebab koagulasi karet.
Terdapat dua enzim penting yang terlibat dalam proses koagulasi karet, yaitu 0-difenol oksidase yang terdapat dalarn partikel Frey Wyssling dan enzim fosfolipase-D yang terdapat pada serum sitosol. 0-difenol oksidase mengkatalisis tejadinya koagulasi apabila senyawa fen01 berasosiasi dengan oksigen udara. Adapun fosfolipase-D (PLD) marnpu menghidrolisis komponen utama membran lutoid, yakni fosfolipid. Enzim ini dapat terpacu aktivitasnya oleh ion ca2+ yang keluar dari lutoid yang mengalami kebocoran atau kerusakan, sehingga akan mempercepat proses koagulasi (d'Auzac & Jacob, 1989). Degradasi fosfolipid pada membran sel oleh PLD belakangan dilaporkan diinduksi oleh etilen (pada wortel), yang diikuti oleh aktivitas enzim lipolitik asil-hidrolase (LAH) (Soo et al., 1998).
Pemberian Etepon
Penggunaan stimulan untuk meningkatkan produksi lateks pada mulanya berawal dengan pemberian bahan-bahan tradisional, yaitu dengan memoleskan campuran kotoran lembu dengan tanah liat ke bidang sadap, maupun minyak yang mengandung hormon tanaman (Webster & Baulkwill, 1989); kemudian berkembang berbagai penggunaan zat pengatur tumbuh sintetik antara lain 2,4-D, 2,4,5-T, Cu-
sulfat yang diinjeksikan ke &lam kayu (Mainstone &
Tan,
1964, dan Lowe, 1964) , gas etilen oksida, gas asetilen, dan etepon (CEPA) yang mampu melepaskan gas etilen (Abraham et al., 1971% b, c) dan secara komersial diproduksi dengan nama ~threl", cephaa,lot?'
dan ~thad@.(Lukrnan, 197 1 ; Tjasadihardja, 1976; 1977)Penelitian dan penerapan di perkebunan selama periode 1955 hingga 1980- an membuktikan bahwa penggunaan stimulan sebaiknya dilakukan pada tanaman karet yang cukup tua yaitu sudah disadap lebih dari 12 tahun. Penerapan stimulan bagi tanaman yang lebih muda umurnnya lebih berisiko. Berbagai faktor yang diketahui berpengaruh terhadap respons tanarnan antara lain adalah kualitas kulit, umur pohon, kultivar (klon), sistem sadap, konsentrasi bahan aktif dalam campuran, serta cara dan frekuensi aplikasi (Webster & Baulkwill, 1989).
Pengaruh stimulasi dengan etepon terutarna adalah meningkatkan produksi lateks, menurunkan kadar karet keririg (KKK), namun juga berpengaruh terhadap komposisi lateks, sifat teknis lateks dan karet (antara lain viskositas, plastisitas, stabilitas mekanis dan warna), kekeringan batang, perturnbuhan lilit batang, kulit pulihan, komposisi dam; dan memiliki pengaruh jangka panjang yang berkaitan dengan kapasitas produksi (Sivakumaran et al., 1984).
Peningkatan produksi lateks berkisar antara 20
-
100% selama satu siklus stimulasi, terutarna disebabkan oleh lamanya aliran lateks. Pemanjangan waktu aliran lateks disebabkan oleh turunnya tingkat penyumbatan lateks. Secara normal pohon karet yang disadap akan mengeluarkan lateks dalam jangka waktu tertentu, yang berhubungan dengan panjangnya irisan sadap; dan dinyatakan sebagai indekspenyumbatan terjadi akibat pecahnya lutoid dalam sel pembuluh lateks, dan ini berarti pemberian stimulan akan lebih menstabilkan lateks (lutoid tidak pecah), sehingga Iateks tetap mengalir. Pemberian stimulan umurnnya memberi tambahan hasil setelah lateks dikutip, yakni berupa lump mangkok pada hari berikutnya.
Etepon biasanya diaplikasikan pada pohon karet dalam bentuk produk komersial ~threl" (Am.Chem.; Rhone Poullenc) dengan konsentrasi 10.0% dan kemudian dapat diencerkan dengan minyak kelapa sawit sampai dengan konsentrasi 2.5%. Pada sistem eksploitasi dengan frekuensi sadap yang lebih rendah, konsentrasi etepon dapat ditingkatkan sampai 5.0
-
10.0%. Aplikasi etepon pada pohon ada dua macam yaitu pada alur irisan sadap (Ga=groove application) atau pada kulit bidang sadap dengan pengerokan (Ba=bark application). Bagi tanaman karet dengan kondisi normal dan cukup urnur (lebih dari 10 tahun), sistem eksploitasi yang sering dianjurkan adalah %S&3.ET2.5%.Ba1.0(1.5)9/y(m); yaitu sadapan % spiral, disadap 3 hari sekali dengan pemberian etepon 2.5% sebanyak 1.0 gram yang diaplikasikan pada bidang sadap yang dikerok selebar 1.5 cm selama 9 bulan per tahun; berarti selama 3 bulan gugur daun, tanaman diistirahatkan (Lukman, 1971; Santoso, 1993).Klon-klon karet yang dibudidayakan saat ini ternyata memiliki respons terhadap stimulasi etepon yang berbeda-beda (Puslit Karet, 1993). Di antara klon- klon anjuran yang responsif terhadap etepon adalah AVROS 2037 dan RRIM 600. Klon GT 1 dan RRIM 7 12 mempunyai respons yang moderat, sedangkan BPM 1 dan BPM 24 dikenal kurang responsif (Tabel 1).
Tabel 1. Sifat beberapa klon skala besar (dalarn nilai skor)
JENIS Respons terhadap
No. KLON PRODUKSI Stimulan
1. BPM 1 4 - 5 2 2. BPM 24 5 2 3. GT 1 4 - 5 2 - 3 4. PR 26 1 5 4 5. PR 300 4 - 5 4 6. AVROS2037 3 - 4 5 7. RRIM 600 4 - 5 5 8. RRIM712 5 3 Pelukaan KAS
Keterangan skor: 1 = buruk, 2 = kurang, 3 = sedang, 4 = baik, 5 = sangat baik Sumber: Puslit Karet (1993)
Biosintesis Etilen Tanaman
Lintasan biosintesis etilen pada tanaman telah banyak diteliti selama dua dekade terakhir dan secara umum dapat dilihat pada Gambar Lampiran 1, yaitu: metionin (MET)
+
S-adenosyl-L-methionine (SAM)+
I-arninocyclo~ropane-I-c a r b q l i c acid (ACC)
+
etilen (Yang et al., 1990; Mathooko, 1996, Harrison,1997). Konversi metionin menjadi SAM dikatalisis oleh enzim SAM-sintase (EC 2.5.1.6), sedangkan konversi SAM menjadi ACC dikatalisis oleh enzim ACC- sintase (EC 4.4.1.14), clan terakhir ACC menjadi etilen dengan bantuan enzim ACC- oksidase yang juga dikenal sebagai enzim pembentuk etilen (ethylene forming elzyme = EFE).
Dalam lintasan tersebut, terlihat bahwa laju pembentukan etilen dapat dipengaruhi oleh jalur-jalur lain. Alternatif reaksi dapat membelok menjadi senyawa-
senyawa poliamin (yaitu putresin, spermidin dan spermin), tersimpan sementara menjadi malonil-ACC (MACC), sianoalanin (Mathooko, 1996) atau Y-glutamil-ACC (GACC) (Harrison, 1997). Te rjadinya senyawa-senyawa tersebut dipengaruhi oleh keseimbangan substrat, produk dan aktivitas enzim yang lebih kuat.
ACC-sintase dan ACC-oksidase diregulasi selama perkembangan tanaman (developmentally regulated) dan gennya terekspresi sebagai respon berbagai induser yaitu etilen, auksin, pelukaan, suhu dan ion logam seperti cd2+ dan ~i'. MACC dan GACC merupakan produk akhir yang tidak aktif di dalam jaringan tanaman atau sebagai ACC konjugat, dan ha1 ini dipenganihi langsung oleh adanya enzim ACC- maloniltransferase dan Y-glutarnil transpeptidase (Harrison, 1997). Aktivitas ACC- oksidase secara umurn didorong oleh pemasakan dan pelukaan, sedangkan beberapa ha1 yang menghambat aktivitasnya adalah anaerobiosis, uncouplers, kobalt (Co), asam salisilat, suhu di atas 35"C, dan radikal bebas.
Setelah pembentukan SAM, C02 dapat mengatur biosintesis etilen melalui tiga cara, yakni 1) konvetsi SAM menjadi ACC dikatalisis oleh ACC-sintase, 2) konversi ACC menjadi etilen dikatalisis oleh ACC-oksidase, dan 3) konjugasi ACC dikatalisis oleh ACC maloniltransferase dan Y-glutamil transpeptidase. Di samping itu SAM juga dapat dekarboksilasi dan menyediakan prekursor bagi biosintesis poliamin. Penambahan hasil dekarboksilasi (aminopropil) terhadap putresin akan membentuk spermidin, dan selanjutnya terhadap spermidin akan membentuk spermin (Yang et al., 1990; Mathooko, 1996; Harrison, 1997).
Protein Responsif Etilen pada Tanaman Karet
Sekuens DNA pada GCC-box berukuran 11 bp (TAAGAGCCGCC) didemonstrasikan conserved dalam sintesis protein pengikat elemen yang responsif terhadap etilen (EREBPs=ethylene responsive element binding proteins) pada tembakau dan beberapa tanaman lain (Ohme & Shinshi, 1995). Pada tanaman karet, ekspresi berbagai gen pada sel pembuluh lateks berbeda dengan pada sel daun.
Suatu gen berasal dari tanaman karet yang terinduksi oleh stres yaitu HEVER (Hevea ethylene-responsive) telah berhasil diisolasi dan dikarakterisasi (Sivasubramaniam et al., 1995).
HEVER ternyata dikode oleh famili dari banyak gen (multigene family). Transkrip dari HEVER terekspresi pada level dasar dalam jaringan tanaman karet dan diregulasi sesuai dengan perkembangan tanaman (developmentally regulated). Telah terbukti bahwa transkrip HEVER dan protein yang dihasilkan ternyata diinduksi oleh perlakuan stres yakni dengan etepon clan asam salisilat (Gambar Lampiran 2).
Analisis terhadap urutan asam amino menunjukkan bahwa HEVER rhengkode suatu protein dengan BM (berat molekul) sebesar 33 kDa yang diduga memiliki homologi tinggi terhadap protein SLEXORFA-1 dari tumbuhan Stellaria longipes, dan dua protein bakteri yaitu BAC18OK-75 dari Bacillus subtilis dan MVRN03- 1 dari Methanococcus vannielii.
Elektroforesis SDS-PAGE
SDS-PAGE (Sodium dodecyl sulphate
--
polyacrilamide gel electrophoresis)terutama dilakukan untuk mengetahui apakah suatu protein monomerik ataukah oligomerik, selain itu untuk menetapkan bobot molekul dan jumlah rantai polipeptida sebagai subunit atau monomer (Anwar-Nur & Adijuwana, 1989).
SDS-PAGE dilakukan pada pH sekitar netral. Pada metode ini digunakan SDS (sodium dodecyI sulphate) dan beta markaptoetanol. SDS merupakan dete rjen anionik yang bersama dengan beta merkaptoetanol dan pemanasan menyebabkan rusaknya struktur tiga dimensi protein menjadi k ~ ~ g u r a s i random coil. Hal ini disebabkan oleh terpecahnya ikatan disulfida yang selanjutnya tereduksi menjadi gugus-gugus sulfhidril.
SDS akan membentuk kompleks dengan protein clan kompleks ini bermuatan negatif karena gugus-gugus anion dari SDS. Kompleks SDS-protein yang lebih besar mempunyai mobilitas yang lebih kecil. Bobot molekul protein, secara estimasi, dapat ditentukan dengan kalibrasi menggunakan standar protein yang sudah diketahui bobot molekulnya.
Elektroforesis 2D (IEF-SDS-PAGE)
Ini merupakan teknik analisis yang lebih rinci dibandingkan dengan teknik SDS-PAGE, karena pita yang dihasilkan dari pemisahan dalam dua dimensi, berbeda dengan SDS-PAGE yang hanya satu dimensi. Prinsip pelaksanaan teknik ini ada dua
tahap, yakni pertama sampel protein &lam bentuk native dipisahkan dengan metode IEF (isoelectric focussing) berdasarkan nilai PI-nya dengan menggunakan gradien pH dan senyawa ampholite dengan kisaran pH tertentu (misalnya pH 4
-
7); kemudian dilanjutkan pada dimensi kedua dengan metode pemisahan SDS-PAGE berdasarkan ukuran bobot molekulnya (BM) dari protein dalam keadaan sudah terdenaturasi (Robertson et al., 1987). Hasil pemisahan dua dimensi biasanya membutuhkan waktu agak lama yakni sekitar satu hari.Dengan dua kali running, maka pita yang diperoleh &lam analisis ini dapat membedakan protein-protein yang sama berat molekulnya tetapi berbeda muatan listriknya atau sifat kimianya, yang dikenal sebagai anggota-anggota famili suatu protein. Oleh karena itu hasil analisis ini akan lebih teliti untuk carnpuran protein yang diuji.
Karakter Fisiologi
Dalam diagnosis lateks terdapat tujuh karakter fisiologi yang digunakan untuk menduga potensi produksi tanaman karet yakni sukrosa, fosfat anorganik, tiol, magnesium, pH, total solid content atau kadar karet kering dan bursting index (Jacob et al., 1989; Chrestin, 1989; Jacob et al., 1998).
Beberapa karakter fisiologi lain dipertimbangkan perlu dikaji untuk menduga potensi produksi lateks, antara lain indeks penyurnbatan (Milford et al, 1969); serta etilen endogen yang tercermin dari produksi etilen, ACC bebas atau konjugat dan
aktivitas ACC-oksidase (Paranjothy et al., 1979; Sivakumaran et al., 1984; dan Dominguez & Vendrell, 1993; Harrison, 1997).
Disamping itu faktor yang berperan positif dalam kestabilan lateks antara lain adalah aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, NAD(P)H-oksidase dan peroksidase (Chrestin, 1989; Jacob et al., 1995).
Masing-masing karakter fisiologi &lam lateks clan jaringan kulit yang akan digunakan didiskripsikan sebagai berikut :
H Sukrosa sebagai prekursor untuk sintesis partikel karet (cis-poliisoprena). Kandungan sukrosa yang tinggi menunjukkan adanya influks yang cukup baik dalam sel pembuluh lateks yang mungkin diikuti oleh suatu metabolisme yang aktif Namun kandungan sukrosa yang tinggi mungkin juga disebabkan oleh rendahnya metabolisme penggunaan sukrosa sehingga produksi aktual juga rendah.
H Fosfat anorganik (FA) yang tinggi adalah pencerminan metabolisme yang aktif, karena fosfat berfungsi sebagai senyawa fosforilasi dan sebagai komponen pembentuk energi.
H Ti01 (R-SH) selain sebagai aktivator pada berbagai enzim, senyawa ini juga diperlukan untuk kestabilan membran lutoid yaitu untuk menetralisasi beberapa macam senyawa oksigen toksik seperti : 02'-, H202 dan OH*.
H pH lateks yang berhubungan dengan aktivitas metabolisme lateks terutama melaui aktivitas glikolisis clan invertase. Umurnnya enzim yang berperan pada biosintesis lateks menghendaki pH yang relatif basa.
H Total solid content (TSC) atau kadar karet kering (KKK) merupakan
pencennin& dari kemampuan biosintesis lateks in situ. Namun kadarnya yang terlalu tinggi dapat memperlambat aliran lateks.
Indeks penyumbatan (IP, plugging index) sebagai nilai yang menggambarkan tingkat koagulasi lateks dalam jaringan pembuluh lateks. Pada
IP
tinggi aliran lateks cepat berhenti, sebalilcnya pada P rendah aliran lateks lama berhenti. Etilen endogen. Pemberian etilen eksogen dari etepon yang mempengaruhi produksi lateks diduga berinteraksi dengan metabolisme etilen endogen dalam jaringan kulit. Karakter fisiologi yang berhubungan dengan metabolisme etilen antara lain adalah laju produksi etilen, kadar ACC (1-aminocyclopropane-1- carboxylic acid) dan aktivitas enzim ACC-oksidase.Aktivitas enzim superoksida dismutase
(SOD)
ikut menentukan kestabilan membran lutoid karena berhubungan dengan netralisasi senyawa radikal bebas yang terbentuk oleh stres pelukaan sadap maupun stimulasi etepon (Gambar 6).NADH-oksidase
1 Katalase
112 0 2
Tanaman produksi tinggi
Peroksidase sitosolik
1
Antioksigen NADH-oksidaseKatalase
Kekeringan alur sadap
Gambar 6. Degradasi membran lutoid dari tanaman produksi tinggi dan yang terserang
KAS
(Chrestin, 1989)Kekeringan alur sadap (KAS) atau brown bast (BB) atau tapping panel dryness (TPD) adalah gangguan fisiologis pada tanaman karet yang alur sadapnya kering dan tidak mengalirkan lateks bila disadap. Secara morfologis tanaman terserang KAS tumbuh dengan baik, tetapi pada serangan lebih lanjut bidang sadap menjadi kering, mengelupas dan pecah-pecah, sehingga produktivitas tanaman dapat menurun drastis. Secara histologis KAS dicirikan oleh adanya kerusakan membran sel dan lutoid (Hao & Wu, 1993), koagulasi lateks dan pembentukan sel tilosoid dalam jaringan pembuluh lateks sehingga mengganggu atau menutup aliran lateks (Chrestin, 1989 dan Jacob et al., 1994).
Menurut Jacob et al. (1998) KAS linduksi oleh cekaman penyadapan dan berhubungan dengan mekanisme penuaan akibat pembentukan molekul-molekul oksigen toksik (02- dan H202); terutama bila enzim-enzim SOD, katalase, askorbat peroksidase dan glutation peroksidase tidak cukup aktif