• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. UMUR SIMPAN CUMI-CUMI (Loligo sp.) OLAHAN DENGAN KEMASAN VAKUM. Oleh : Berlianto Nugroho F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI. UMUR SIMPAN CUMI-CUMI (Loligo sp.) OLAHAN DENGAN KEMASAN VAKUM. Oleh : Berlianto Nugroho F"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

UMUR SIMPAN CUMI-CUMI (Loligosp.) OLAHAN DENGAN KEMASAN VAKUM

Oleh : Berlianto Nugroho

F34102068

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

UMUR SIMPAN CUMI-CUMI (

Loligo

sp.) OLAHAN

DENGAN KEMASAN VAKUM

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

BERLIANTO NUGROHO F34102068

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Berlianto Nugroho. F34102068. Umur Simpan Cumi-cumi (Loligo sp.) Olahan dengan Kemasan Vakum. Di bawah bimbingan Ir. M. Zein Nasution, MAppSc. dan Dr. Ir. Endang Warsiki, MT.

RINGKASAN

Indonesia adalah negara kepulauan dengan luas laut sekitar 5,8 juta km2 yang mempunyai potensi sumber daya perikanan sebesar 6,6 juta ton per tahun. Cumi-cumi adalah salah satu komoditas perikanan Indonesia yang potensinya mencapai 28,25 ribu ton pada tahun 2005 (www.dkp.go.id, 2006). Pemanfaatan cumi-cumi terutama adalah sebagai bahan makanan (seafood). Seperti halnya produk perikanan lainnya, cumi-cumi mudah mengalami penurunan mutu, sehingga memerlukan proses pengolahan lanjutan atau langsung diolah untuk disajikan. Cumi-cumi olahan merupakan salah satu alternatif yang diharapkan dapat mempertahankan mutu sekaligus memberikan kemudahan konsumsi. Cara pengolahan ini menghasilkan produk dengan penampakan yang menarik, dan dengan aroma khas bumbu lokal dengan tetap mempertahankan cita rasa cumi-cumi itu sendiri. Produk cumi-cumi-cumi-cumi olahan ini dapat langsung dikonsumsi atau diolah lagi seperti dikukus, digoreng, dipanggang, atau dibakar. Produk cumi-cumi siap saji ini memerlukan suatu teknik pengemasan yang dapat menjaga keawetan produk tersebut. Pengemasan vakum adalah cara yang dipilih untuk keperluan tersebut.

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan daya simpan cumi-cumi olahan. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk menerapkan teknik kemasan vakum untuk produk cumi-cumi olahan, menduga umur simpan cumi-cumi olahan dalam kemasan vakum, dan mengukur kandungan gizi cumi-cumi olahan selama penyimpanan dalam kemasan vakum.

Penelitian ini dilakukan dengan menyimpan cumi-cumi olahan di dalam kemasan pada tiga variasi suhu yang berbeda, yaitu 30, 10, dan -15oC. Perlakuan yang dilakukan adalah dengan mengemas cumi-cumi olahan dengan kemasan non-vakum, kemasan PP vakum, dan kemasan PE vakum.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, cumi-cumi olahan memiliki kadar air sebesar 72,58%; pH sebesar 6,64; derajat hue sebesar 1,44 untuk bagian luar dan 1,47 untuk bagian dalam; nilai chroma sebesar 1,19 untuk bagian luar dan 1,11 untuk bagian dalam; nilai kekerasan 6,80/mm.det; kadar protein 14,43%; kadar lemak kasar 1,70%; kadar fosfor 1,36%; kadar besi 2,32 mg/kg; dan terdapat total mikroba sebanyak 2,10 – 5,50 x 102 koloni/g.

Selama masa penyimpanan, terjadi perubahan pH, nilai kekerasan, kadar air, kadar protein, dan pertumbuhan total mikroba. Parameter kritis umur simpan cumi-cumi olahan adalah adanya pertumbuhan total mikroba.

Berdasarkan analisis mikroba selama penyimpanan di suhu 30oC, batas umur simpan cumi-cumi olahan dengan kemasan non-vakum, dikemas dengan kemasan PP vakum dan PE vakum adalah 12 jam untuk tiap perlakuan. Cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 10oC memiliki umur simpan 6 hari, 10 hari, dan 4 hari masing-masing untuk perlakuan dengan kemasan non-vakum, perlakuan dengan kemasan PP vakum dan kemasan PE vakum. Cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu -15oC mempunyai umur simpan 4 bulan untuk

(4)

cumi-cumi olahan yang dikemas dengan kemasan non-vakum, cumi-cumi-cumi-cumi olahan dikemas dengan PP vakum, dan cumi-cumi olahan dikemas dengan kemasan PE vakum.

Untuk menentukan perlakuan pengemasan terbaik dilakukan dengan membandingkan biaya produksi dan umur simpan produk. Analisis terhadap biaya produksi menunjukkan bahwa cumi-cumi dengan kemasan non-vakum memerlukan biaya yang lebih rendah daripada dengan kemasan vakum dan memberikan hasil umur simpan yang lebih baik. Dari hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa kondisi pengemasan terbaik adalah dengan kemasan non-vakum.

(5)

Berlianto Nugroho. F34102068.The Shelf Life of Processed Squid (Loligosp.) in the Vacuum Packaging. Supervised by Ir. M. Zein Nasution, MAppSc. and Dr. Ir. Endang Warsiki, MT.

SUMMARY

Indonesia is an archipelago country with 5.8 million km2 of sea territory, which own a potential fishery resource. The resources could be estimated at about 6.6 million tons per year. Squid is one of Indonesia fishery resources, which reached 28.25 thousand tons in year of 2005. The used of squid is usually as seafood. As any other fishery products, squid can easily decay, thus an advance processing is necessary. Processed squid, one among various alternatives to prolong squid shelf life, can be used to maintain the quality of squid and also give the ease of consumption. The products can directly be consumed, stewed, fried, roasted, or grilled. A specific packaging technique is needed to improve quality of this ready food. Vacuum packaging is a technique used to that necessity.

The objective of this study is to obtain the shelf life of processed squid in different condition of storage. The other objective of this study is to apply the vacuum packaging technique for processed squid and to estimate the shelf life of the product in vacuum pack. The quality during storage is measured to know the decreasing of the nutrition contents of processed squid.

The study was held by keeping the processed squid in vacuum pack at three different temperatures i.e.: 30, 10, -15oC. There were three type of packaging methods used in this study, poly propylene vacuum pack, and poly ethylene vacuum pack. Non vacuum pack is conducted as control.

The result of this study showed that, the processed squid has moisture content of 72.58%; pH of 6.64; hue degree of 1.44 for outer and 1.47 for inner surface; chrome value of 1.19 and 1.11 for outer and inner surface respectively; hardness value of 6.80/mm.sec; protein content of 14.43%; crude fat content of 1.70%; phosphor value of 1.36%; iron content of 2.32 mg/kg. The result also showed that processed squid has 2.10 – 5.50 x 102 colony/g of total microbe.

During storage, the processed squid has been a change in pH, hardness, moisture, protein, and total microorganism growth. The critical parameter of processed squid shelf life was the total microorganism growth. Based on the microorganism analysis during the storage at temperature of 30oC, the shelf life limit of processed squid in a non-vacuum pack, poly propylene vacuum pack and poly ethylene vacuum pack was 12 hours for each treatment. The processed squids that were kept in 10oC, has the shelf life of six, ten, and four days for every treatment of non-vacuum, poly propylene, and poly ethylene vacuum pack, respectively. The processed squids that were kept at the temperature of -15oC, has the shelf life of four months for every treatment of non-vacuum pack, poly propylene vacuum pack, and poly ethylene vacuum pack.

(6)

To determine the best packing treatment, production cost and product shelf life were compared. The analysis of production cost showed that the squid packed with non-vacuum pack has lower cost than the vacuum packed squid and has given the better shelf life for the squid. The use of vacuum technique obviously could increase the cots; however the technique was really increase shelf life of the product. With in cost consideration, the study concludes that the best packaging technique for the processed squid was with non-vacuum pack.

(7)

BOGOR

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UMUR SIMPAN CUMI-CUMI (Loligo sp.) OLAHAN DENGAN KEMASAN VAKUM

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

BERLIANTO NUGROHO F34102068

Dilahirkan pada tanggal 10 Desember 1983 di Jakarta Tanggal lulus: 28 April 2007

Menyetujui, Bogor, Mei 2007

Ir. M. Zein Nasution, MAppSc. Dr. Ir. Endang Warsiki, MT. Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(8)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Umur Simpan Cumi-cumi (Loligo sp.) Olahan dengan Kemasan Vakum” adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali dengan jelas ditujukan rujukannya.

Bogor, 19 April 2007 Yang Membuat Pernyataan

Nama : Berlianto Nugroho NRP : F34102068

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, 10 Desember 1983. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Kusnadi dan Ibu Supadmi (almh.). Pada tahun 1988 penulis memulai pendidikan di TK Angkasa III Halim Perdana Kusuma. Tahun 1990 penulis memasuki jenjang pendidikan dasar di SD Angkasa III Halim Perdana Kusuma dan lulus tahun 1996. Penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 128 Halim Perdana Kusuma dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 67 Halim Perdana Kusuma dan lulus pada tahun 2002.

Penulis melanjutkan pendidikannya di Departemen Teknologi Indsutri Pertanian, Fakulatas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002 melalui jalur USMI. Selama menempuh pendidikan tinggi, penulis terlibat aktif dalam organisasi kemahasiswaan sebagai staff Divisi Media Islami Forum Bina Islami (FBI) Fateta (2003-2004), Wakil Ketua UKM Thifan Po Khan IPB (2003-2004), staff Divisi Public Relation FBI-Fateta (2004-2005), Ketua UKM Thifan Po Khan IPB (2004-2005), dan Dewan Penasehat FBI-Fateta (2005-2006). Penulis juga sempat menjadi asisten mata kuliah Pendidikan Agama Islam pada tahun 2004, dan asisten praktikum Peralatan Industri Pertanian pada tahun 2006.

Pada tahun 2005, penulis melaksanakan Praktek Lapang (PL) di PT PG Rajawali II Unit PG Subang dengan judul “Teknologi Produksi Gula di PT PG Rajawali II Unit PG Subang”. Sebagai pelaksanaan tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul “Umur Simpan Cumi-cumi (Loligo sp.) Olahan dengan Kemasan Vakum” di Laboratorium Pengemasan Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

(10)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Semesta Alam yang telah memberikan segala nikmat, petunjuk, kehendak, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyajikan hasil penelitan penulis dalam bentuk skripsi ini. Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada Nabi akhir zaman Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabat beliau, dan seluruh pengikut beliau yang memegang teguh ajaran beliau.

Skripsi ini dituliskan untuk menerangkan hasil penelitian penulis mengenai umur simpan produk makanan laut, yaitu cumi-cumi. Cumi-cumi merupakan hasil perikanan yang banyak terdapat di perairan Indonesia. Pengolahan hasil perikanan ini biasanya dalam bentuk seafood yang banyak dijual di rumah makan ataupun restoran. Selama ini belum ada bentuk pengolahan yang dapat membuat makanan laut ini mempunyai umur simpan yang cukup lama. Pun belum banyak dilakukan pengemasan makanan laut (seafood) dengan pengemasan vakum. Penulis mencoba melakukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana pengemasan vakum memberikan dampak terhadap umur simpan cumi-cumi yang sudah diolah ini. Hasil terhadap penelitian itulah yang ditulis dalam bentuk skripsi ini.

Penulis sadar, bahwa usaha penulis dari saat akan memulai penelitian hingga tertuliskannya skripsi ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Ir. M. Zein Nasution, MAppSc selaku pembimbing pertama penulis atas segala arahan dan bimbingan baik selama penulis kuliah di kampus IPB 2. Dr. Ir. Endang Warsiki, MT selaku pembimbing kedua penulis atas segala

arahan, bimbingan, dan dorongan selama penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi ini

3. Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran terhadap isi skripsi ini

4. Bapak dan kedua kakak penulis yang telah banyak memberikan nasehat, dorongan, doa, dan kasih sayang

(11)

5. Kurnia Meirina rekan penelitian sekaligus sebimbingan serta rekan satu bimbingan yang lain, Yuli Handayani, yang telah banyak membantu penulis selama pengerjaan tugas akhir ini

6. PT AGFI yang berkenan memberikan topik permasalahan ini untuk menjadi bahan penelitian penulis, khususnya Pak Johan dan Mbak Wiwit yang telah banyak membantu penulis selama penelitian

7. Teman-teman di laboratorium selama penelitian: Herry, Tarwin, Dodi, Arban, Anna, Fifi, Firda, Maria Ulfah, Evi, Asti, Desi, Vivi, dan Veni yang telah banyak membantu penulis saat menjalani masa-masa penelitian

8. Teman-teman TIN 39 atas segala bantuan dan dorongan kepada penulis selama menjalani masa kuliah di TIN

9. Seluruh pengajar, karyawan, laboran, dan tenaga penunjang di lingkungan Departemen TIN atas segala bantuan yang sudah diberikan kepada penulis selama penulis menempuh studi di TIN

10. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu di sini. Semoga Allah membalas kebaikan kalian dengan kebaikan yang lebih baik lagi.

Bersama kata pengantar ini penulis juga meminta saran dan kritikan dari para pembaca sebagai perbaikan di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi para pembaca.

Bogor, April 2007 Penulis

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ...iii

DAFTAR TABEL ...v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG ... 1

1.2. TUJUAN ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. CUMI-CUMI ... 4

2.2. PENGEMASAN VAKUM ...6

2.3. KEMASAN PLASTIK ... 8

2.4. PENENTUAN UMUR SIMPAN ... 11

III. METODOLOGI ...14

3.1. ALAT DAN BAHAN ... 14

3.2. METODE PENELITIAN ... 14

3.2.1. Penentuan sifat fisis mekanis plastik pengemas ... 14

3.2.2. Pengolahan cumi-cumi ... 14

3.2.3. Karakterisasi awal cumi-cumi ... 15

3.2.4. Penyimpanan cumi-cumi olahan ... 15

3.2.5. Analisa perubahan mutu selama penyimpanan ... 16

3.2.6. Analisis biaya ... 16

3.2.7. Penentuan kondisi pengemasan-penyimpanan terbaik ... 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18

4.1. SIFAT FISIS MEKANIS PLASTIK PENGEMAS ... 18

4.2. KARAKTERISASI AWAL CUMI-CUMI ... 19

4.2.1. Nilai pH ... 19

4.2.2. Warna ...19

(13)

4.2.4. Kadar Air ... 21 4.2.5. Kadar Protein ... 22 4.2.6. Kadar Lemak ... 23 4.2.7. Kadar Fosfor ... 24 4.2.8. Kadar Besi ... 25 4.2.9. Uji Mikroba ... 26

4.3. PERUBAHAN MUTU SELAMA PENYIMPANAN ...27

4.3.1. Perubahan pH ... 27

4.3.2. Kekerasan ... 31

4.3.3. Pertumbuhan Total Mikroba ...34

4.3.4. Analisa Proksimat setelah Penyimpanan ... 38

4.3.4.1. Kadar Air ... 38

4.3.4.2. Kadar Protein ... 41

4.4. PENENTUAN UMUR SIMPAN ... 44

4.5. ANALISIS BIAYA ... 46

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1. KESIMPULAN ... 47

5.2. SARAN ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 49

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Pertumbuhan nilai ekspor cumi-cumi ... 2

Tabel 2.1. Komposisi cumi-cumi per 100 gram ... 6

Tabel 2.2. Daya tembus plastik terhadap N2, O2, CO2, dan H2O ... 9

Tabel 2.3. Ketahanan plastik terhadap bahan-bahan kimia ... 10

Tabel 2.4. Ketahanan plastik terhadap O2, SO2, dan H2O pada suhu 25oC.... 11

Tabel 3. Frekuensi pengujian terhadap cumi-cumi olahan yang disimpan pada variasi suhu yang berbeda ... 16

Tabel 4.1. Sifat fisis-mekanis plastikpolypropylenedanpolyethylene ... 18

Tabel 4.2. Warna sampel dalam derajathue ... 20

Tabel 4.3. Hasil uji mikroba pada cumi-cumi segar dan cumi-cumi olahan 27 Tabel 4.5. Umur simpan cumi-cumi olahan pada tiap perlakuan ... 46

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2. Bagian tubuh cumi-cumi ... 5

Gambar 3. Diagram alir penelitian ... 17

Gambar 4.1. Nilai pH cumi-cumi segar dan cumi-cumi olahan ... 19

Gambar 4.2. Nilai kekerasan cumi-cumi segar dan olahan ... 21

Gambar 4.3. Kadar air cumi-cumi segar dan cumi-cumi olahan ... 21

Gambar 4.4. Kadar protein cumi-cumi segar dan olahan ... 22

Gambar 4.5. Kadar lemak cumi-cumi segar dan cumi-cumi olahan ... 24

Gambar 4.6. Kadar fosfor cumi-cumi segar dan olahan ... 25

Gambar 4.7. Kadar besi cumi-cumi segar dan olahan ... 26

Gambar 4.8. Grafik perubahan nilai pH pada penyimpanan suhu 30±2oC .... 29

Gambar 4.9. Grafik perubahan nilai pH pada penyimpanan suhu 10±2oC .... 29

Gambar 4.10. Grafik perubahan nilai pH pada penyimpanan suhu -15±5oC .. 30

Gambar 4.11. Grafik perubahan nilai kekerasan pada penyimpanan suhu 30±2oC ... 31

Gambar 4.12. Grafik perubahan nilai kekerasan pada penyimpanan suhu 10±2oC ... 32

Gambar 4.13. Grafik perubahan nilai kekerasan pada penyimpanan suhu -15±5oC ... 34

Gambar 4.14. Grafik pertumbuhan total mikroba pada penyimpanan suhu 30±2oC ... 35

Gambar 4.15. Grafik pertumbuhan total mikroba pada penyimpanan suhu 10±2oC ... 36

Gambar 4.16. Grafik pertumbuhan total mikroba pada penyimpanan suhu -15±5oC ... 37

Gambar 4.17. Kadar air selama penyimpanan pada suhu 30±2oC ... 38

Gambar 4.18 Kadar air selama penyimpanan pada suhu 10±2oC ... 39

Gambar 4.19 Kadar air selama penyimpanan pada suhu -15±5oC ... 40

Gambar 4.20 Kadar protein selama penyimpanan pada suhu 30±2oC ... 42

Gambar 4.21 Kadar protein selama penyimpanan pada suhu 10±2oC ... 43

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Prosedur analisa sifat fisis-mekanis bahan kemasan ... 52

Lampiran 2. Prosedur analisa karakterisasi mutu cumi-cumi segar dan cumi-cumi olahan ... 53

Lampiran 3. Rekapitulasi analisis ragam nilai pH ... 58

Lampiran 4. Diagram warna ... 59

Lampiran 5. Warna sampel dalam derajat hue ... 60

Lampiran 6. Rekapitulasi analisis ragam nilai kekerasan ... 61

Lampiran 7. Rekapitulasi analisis ragam kadar air ………...……… 62

Lampiran 8. Rekapitulasi analisis ragam kadar protein ... 63

Lampiran 9. Rekapitulasi analisis ragam kadar lemak ... 64

Lampiran 10. Kurva standar fosfat ……….. 65

Lampiran 11. Rekapitulasi analisis ragam kadar fosfor ... 66

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sumber daya kelautan yang besar. Wilayah daratan Indonesia seluas 1,9 juta km2 tersebar pada sekitar 17.500 buah pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas (sekitar 5,8 juta km2). Panjang garis pantai yang mengelilingi daratan tersebut adalah sekitar 81.000 km, yang merupakan garis pantai tropis terpanjang atau terpanjang kedua di dunia setelah Kanada (Dahuri, 2003).

Perairan Indonesia diperkirakan mempunyai potensi sumber daya perikanan sebesar 6,6 juta ton per tahun. Dari potensi perikanan yang begitu besar tersebut, hanya 38 persen yang digunakan untuk keperluan konsumsi dan ekspor. Sumber daya perairan laut tersebut terdiri atas ikan pelagis besar sebanyak 1,65 juta ton, ikan pelagis kecil 3,6 juta ton, ikan karang 145 ribu ton, udang paneid 94,8 ribu ton, lobster 4,8 ribu ton, dan cumi-cumi 28,25 ribu ton (Dahuri, 2004).

Potensi cumi-cumi ini cukup besar melihat kecenderungan pangan dunia yang berkembang ke arah cara makan (diet) yang sehat. Cumi-cumi mengandung asam lemak tidak jenuh seperti EPA dan DHA yang diyakini mampu mengurangi resiko penyumbatan pembuluh darah, stroke, dan penyakit jantung. Potensi cumi-cumi di perairan Indonesia sendiri diperkirakan 28.250 ton per tahun, dengan tingkat produksi sebesar 21.390 ton per tahun (Dahuri, 2003).

Potensi besar ini juga dapat dilihat dari data nilai ekspor cumi-cumi. Nilai ekspor binatang laut yang dikelompokkan ke dalam hewan yang memiliki kaki di kepala ini (keluarga chephalopoda) selama lima tahun terakhir terus meningkat. Eskpor cumi-cumi yang pada tahun 2001 mencapai 13 ribu ton lebih (senilai US$ 22 ribu) nilai produksi ekspornya menunjukkan peningkatan yang cukup tajam pada tahun 2005. Tahun 2005 lalu jumlahnya berlipat menjadi 25 ribu ton lebih (senilai lebih dari US$ 42 ribu). Peningkatan nilai ekspor ini ternyata masih jauh lebih kecil dari kebutuhan cumi-cumi di pasar dunia. Di Amerika tahun 2005 lalu membutuhkan 640 ribu ton cumi-cumi. Di saat yang sama Jepang membutuhkan 580 ribu ton, sementara produksi dalam negerinya hanya mampu menghasilkan

(18)

sekitar 200 ribu ton saja (www.dkp.go.id, 2006). Pertumbuhan ekspor cumi-cumi dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Pertumbuhan nilai ekspor cumi-cumi

Tahun Nilai (US$)

2001 21.975

2002 20.397

2003 25.109

2004 32.091

2005 42.380

Sumber: Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan,DKP

Pemanfaatan cumi-cumi terutama adalah sebagai bahan makanan (seafood), seperti cumi bakar, kering cumi, dan berbagai macam hidanganseafood lainnya. Selain bahan makanan, limbah cumi-cumi berguna sebagai sumber khitosan.

Seperti halnya produk perikanan lainnya, cumi-cumi mudah mengalami penurunan mutu, sehingga memerlukan proses pengolahan lanjutan atau langsung diolah untuk disajikan. Pengolahan lanjutan untuk mempertahankan mutu cumi-cumi yang biasa dilakukan adalah dengan pengeringan, pengasapan, dan pembekuan. Jenis pengolahan ini memerlukan pengolahan lanjutan untuk dapat dikonsumsi manusia.

Dari cara-cara yang ada untuk mengurangi kerugian fisik, gizi, dan ekonomi belum ada cara pengolahan yang praktis yang dapat mengakomodasi dua tujuan; (i) mempertahankan mutu dan (ii) kemudahan konsumsi. Cumi-cumi olahan merupakan salah satu alternatif yang diharapkan dapat mengakomodasi dua tujuan tersebut. Cara pengolahan cumi-cumi olahan ini menghasilkan produk dengan penampakan yang menarik dan dengan aroma khas bumbu lokal, dengan tidak menghilangkan cita rasa cumi-cumi itu sendiri. Produk cumi-cumi olahan dapat langsung dikonsumsi atau diolah lagi seperti dikukus, digoreng, dipanggang, atau dibakar. Produk cumi-cumi olahan ini juga diharapkan mempunyai daya tahan yang cukup lama sehingga dapat didistribusikan ke tempat yang cukup jauh, sehingga memerlukan suatu teknik pengemasan yang dapat menjaga keawetan produk tersebut. Pengemasan vakum adalah teknik pengemasan yang dipilih untuk keperluan tersebut.

(19)

Teknik pengemasan vakum dilakukan dengan menurunkan kandungan udara di dalam kemasan, termasuk di dalamnya oksigen. Pengemasan vakum terbukti mampu menghambat pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan mikroba inilah yang menjadi salah satu penyebab utama penurunan mutu produk makanan, terutama produk hasil perikanan.

1.2. TUJUAN

Tujuan umum penelitian ini adalah meningkatkan daya simpan cumi-cumi olahan dengan tetap mempertahankan nilai gizi, sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Menerapkan teknik kemasan vakum untuk produk cumi-cumi olahan 2. Menentukan umur simpan cumi-cumi olahan dalam kemasan vakum

3. Mengukur kandungan gizi cumi-cumi olahan selama penyimpanan dalam kemasan vakum

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. CUMI-CUMI

Cumi-cumi (Loligo sp.) termasuk dalam kelas Cephalopoda (Buchsbaum, 1948). Klasifikasi cumi-cumi selengkapnya adalah (Kreuzer, 1984)

Phylum : Mollusca Kelas : Cephalopoda Ordo : Teuthoidea Subordo : Myopsida Famili : Loliginidae

Genus :Loligosp.,Ommastrephes sp.,Todarodes sp.,Illex illecebrosus

Walaupun termasukphylum moluska, cumi-cumi tidak seperti jenis-jenis moluska lainnya. Cumi-cumi, sotong, dan gurita tidak memiliki cangkang luar. Cumi-cumi memiliki kerangka tipis dan bening yang terdapat di dalam tubuhnya (Dahuri, 2003).

Tubuh cumi-cumi berbentuk kerucut dilapisi otot mantel berwarna putih dengan sirip berbentuk segi tiga pada bagian punggung. Pada ujung mantel bagian perut terbuka dan disebut “collar” dihubungkan dengan ujung leher oleh semacam tulang rawan sehingga memungkinkan efektifitas penutupan rongga mantel. Karakteristik yang dimiliki cumi-cumi adalah adanya kantung tinta yang terdapat di atas usus besar yang bermuara di dekat anus sebagai benteng pertahanan dan perlawanan yang akan berkontraksi dan mengeluarkan cairan berwarna hitam ketika diserang musuh sehingga membentuk awan berwarna hitam di sekelilingnya yang memungkinkan cumi-cumi terhindar dari predator lain (Johnsonet al, 1977). Gambar bagian tubuh cumi-cumi dapat dilihat pada Gambar 2.

(21)

Gambar 2. Bagian tubuh cumi-cumi (www.e-dukasi.net)

Cumi-cumi (Loligo sp.) tidak seperti binatang bilateral lainnya yang memanjang anteroposterior, sumbu panjang tubuh cumi-cumi memanjang dorsoventral. Cumi-cumi berenang dengan permukaan ventral yang maju sedangkan permukaan dorsal ada di bagian belakang, permukaan anterior di atas dan posterior di bawah (Buchsbaum, 1948).

Cumi-cumi (Loligo sp.) mempunyai kandungan protein yang tinggi dan kandungan lemak yang rendah. Kandungan protein, lemak dan komponen-komponen lainnya dari tubuh cumi-cumi dalam 100 gram bahan dapat dilihat pada Tabel 2.1.

(22)

Tabel 2.1. Komposisi cumi-cumi per 100 gram

Komposisi Satuan Jumlaha Jumlahb

Energi Kalori 75

Kadar air gram 82,0 81,8

Protein gram 15,3 15,6

Lemak gram 0,8 1,0

Kadar abu gram 1,2 1,5

Karbohidrat gram 0,7 Kalsium mg 15 18 Phospor mg 194 170 Besi mg 1,0 0,2 Natrium mg 176 200 Kalium mg 266 290 Retinol mg 15 Tiamin mg 0,03 Riboflavin mg 0,008 Niasin mg 32 Sumber:aFAO (1972) b

Okuzumi dan Fujii (2000)

2.2. PENGEMASAN VAKUM

Tujuan dari pengemasan pangan adalah untuk melindungi produk dari lingkungan sekitarnya dalam rangka peningkatan mutu simpan. Menurut Buckle et al(1988), pengemasan bahan pangan harus memperlihatkan lima fungsi-fungsi utama :

1) Harus dapat mempertahankan produk agar bersih dan memberikan perlindungan terhadap kotoran dan pencemaran lainnya

2) Harus memberikan perlindungan pada bahan pangan terhadap kerusakan fisik, air, oksigen dan sinar

3) Harus berfungsi secara benar, efisien dan ekonomis dalam proses pengepakan yaitu selama pemasukan bahan pangan ke dalam kemasan. Hal ini berarti bahan pengemas harus sudah dirancang untuk siap pakai pada

(23)

mesin-mesin yang ada atau yang baru akan dibeli atau disewa untuk keperluan tersebut

4) Harus mempunyai suatu tingkat kemudahan untuk dibentuk menurut rancangan, di mana bukan saja memberi kemudahan pada konsumen misalnya kemudahan dalam membuka atau menutup kembali wadah tersebut, tetapi juga harus dapat mempermudah pada tahap selanjutnya selama pengolahaan di gudang dan selama pengangkutan untuk distribusi. Terutama harus dipertimbangkan dalam ukuran, bentuk dan berat dari unit pengepakan

5) Harus memberi pengenalan, keterangan dan daya tarik penjualan. Unit-unit pengepakan yang dijual harus dapat menjual apa yang dilindunginya dan melindungi apa yang dijual.

Sistem pengemasan dengan gas hampa (tekanan kurang dari 1 atm) yang dilakukan dengan mengeluarkan oksigen dari kemasan (Syarief dan Halid., 1989), dikenal sebagai kemasan vakum. Kemasan vakum dibuat dengan memasukkan produk ke dalam plastik, diikuti dengan pemompaan udara keluar kemudian ditutup dan setelah itu plastik kemasan direkatkan dengan panas (Jay, 2000).

Proses pengvakuman dalam kemasan bertujuan untuk menurunkan kandungan udara di dalam kemasan, termasuk oksigen. Kandungan oksigen yang rendah terbukti mampu menghambat pertumbuhan mikroba. Menurut Petersenet. al. (1999) rendahnya oksigen yang terdapat dalam kemasan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan mikroba seperti Pseudomonas, Moraxella, Acinetobacter, Flavobacterium danCytophaga.

Ketersediaan oksigen dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Kapang bersifat aerobik sedangkan sebagian besar khamir bersifat aerobik fakultatif. Bakteri sendiri ada yang bersifat aerobik maupun anaerobik. Berdasarkan kebutuhan akan oksigen, mikroorganisme dapat dibedakan atas tiga grup (Fardiaz dan Haryadi, 1997), yaitu:

• aerob : hanya dapat tumbuh jika terdapat oksigen di lingkungannya

• anaerob : tidak memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya, terhambat dan sangat sensitif dengan adanya oksigen

(24)

• anaerob fakultatif : dapat tumbuh tanpa atau dengan adanya oksigen. Khusus untuk produk-produk perikanan, Saccharow dan Griffin (1980) menjelaskan bahwa bahan pengemas harus dapat (i) mengurangi oksidasi lemak; (ii) mengurangi dehidrasi; (iii) menekan kerusakan akibat bakteri dan bahan kimia; (iv) menghilangkan tetesan; dan (v) mencegah penyebaran bau.

2.3. KEMASAN PLASTIK

Bahan plastik mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam daya tembusnya terhadap gas seperti nitrogen, oksigen, belerang oksida dan uap air. Karena fungsi bahan pengemas dalam menurunkan tingkat pembusukan dari beberapa bahan pangan sangat erat hubungannya dengan penembusan gas, baik ke dalam maupun ke luar dari kemasan, keterangan mengenai daya tembus kemasan sangat penting dalam penelitian pengawetan. Sifat-sifat daya tembus dipengaruhi oleh suhu, ketebalan lapisan, orientasi dan komposisi, kondisi atmosfer (seperti RH, untuk pemindahan uap air) dan faktor lainnya (Buckleet al, 1988).

Polyethylene (PE) merupakan plastik tipis berlapis tunggal yang banyak digunakan dalam industri pengemasan fleksibel. Kemasan HDPE (High Density Polyethylene) merupakan salah satu jenis plastik yang populer di kalangan masyarakat. Plastik ini dihasilkan pada tekanan dan suhu rendah (50 – 70oC), tahan terhadap suhu 120oC, kedap air dan kedap udara (Syarief dan Halid, 1989). Menurut Buckle et. al. (1987), plastik HDPE mampu memberikan perlindungan terbaik terhadap air (uap air), lemak serta asam dan basa.

Di dalam Buckle et. al. (1988), Polypropylene lebih kaku, kuat dan ringan daripadapolyethylene dengan daya tembus uap air yang rendah, ketahanan yang baik terhadap lemak, stabil terhadap suhu tinggi dan cukup mengkilap. Plastik tipis yang tidak mengkilap mempunyai daya tahan yang cukup rendah terhadap suhu tetapi bukan penahan gas yang baik.

Menurut Saccharow dan Griffin (1980), pada umumnya plastik yang digunakan untuk pengemasan vakum segar adalah polyvinyledene chlorida (PVDC). Plastik ini memiliki karakteristik permeabilitas oksigen yang rendah dan tidak mudah mengkerut. Kemampuan barrier yang tinggi terhadap oksigen seperti

(25)

PVDC diperlukan untuk teknik penyimpanan vakum. Plastik lain yang bisa digunakan adalah PVDC-cellophane,polyethyelne, polypropylenesataupolyester.

Tabel 2.2. Daya tembus plastik terhadap N2, O2, CO2 dan H2O

Daya tembus (cm3/cm2/mm/det/cmHg) x 1010 Plastik tipis N2 O2 (suhu 30oC) CO2 H2O (25oC, RH 90%)

Polyethylene(kerapatan rendah) 19 55 352 800

Polyethylene (kerapatan tinggi) 2,7 10,6 35 130

Polystyrene 2,9 11,0 88 12000

Polyamide (nylon 6) 0,1 0,38 1,6 7000

Polypropylene - 23,0 92 680

Polyvinyl chlorida (rigid) 0,4 1,2 10 1560

Polyester (mylar) 0,05 0,22 1,53 1300

Polyvinylidene chlorida 0,0094 0,053 0,29 14

Rubber hydrochloride (pliofilm NO)

0,08 0,3 1,7 240

Polyvinyl acetat - 0,5 - 100000

Ethyl cellulosa 84 265 2000 130000

Cellulose acetat 2,8 7,8 68 75000

Sumber: Buckleet. al. (1988)

Nilai-nilai pada Tabel 2.2 di atas menunjukkan daya tembus gas N2, O2, CO2, dan H2O terhadap berbagai jenis plastik. Semakin besar nilai yang ditunjukkan berarti semakin besar pula daya tembus gas tersebut terhadap plastik. Daya tembus gas yang besar pada suatu plastik menunjukkan bahwa plastik tersebut bukanlah barrier yang baik terhadap gas yang dimaksud. Daya tembus gas dan uap air berbanding terbalik dengan densitas plastik. Semakin besar densitas plastik, maka daya tembus gas dan uap air terhadap plastik tersebut semakin kecil.

(26)

Tabel 2.3. Ketahanan plastik terhadap bahan-bahan kimia Ketahanan terhadap Bahan plastik

Lemak dan minyak Pelarut organik Air Asam Basa

Cellophan biasa (plain) Tak tembus (impermeable) Tak larut Sedang Asam-asam lemah

sampai kuat

Basa-basa lemah sampai kuat

Berlapis NC (NC coated) Tak tembus Lapisan terserang Sedang Asam-asam lemah

sampai kuat

Basa-basa lemah sampai kuat Berlapis saran (saran

coated)

Tak tembus - - Sangat baik kecuali

H2SO4 & HNO3

Baik kecuali amonia

Berlapis polyethylene Seperti polyethylene Seperti polyethylene - Sangat baik Sangat baik

Cellulosa asetat Baik Larut kecuali dalam

hidrokarbon

- Asam-asam lemah

sampai kuat

Basa-basa lemah sampai kuat

Polyamide (Nylon 6) Sangat baik Sangat baik Sangat baik Jelek Sangat baik

Polyethylen dengan

- kerapatan (density)

rendah

Dapat sedikit menggembung pada perendaman yang lama

Baik kecuali pelarut-pelarut hidrokarbon yang

mengandung khlor

Sangat baik Sangat baik Sangat baik

- kerapatan sedang Baik Baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik

- Kerapatan tinggi Sangat baik Baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik

Polyester (mylar, scotch,

pak, videne)

Sangat baik sangat baik Sangat baik Baik Baik

Polystirene (oriented) Baik Sangat baik sampai jelek Sangat baik Baik Sangat baik

Rubber hydrochloride (Pliofilm)

Sangat baik Baik kecuali dalam larutan

hidrokarbon yang mengandung khlor (chlorinated)

Sangat baik Baik Baik

Vinylidene Cryovac Sangat baik Baik sampai sangat baik Sangat baik Sangat baik Baik kecuali

amonia

Saran Sangat baik Baik sampai sangat baik Sangat baik Sangat baik kecuali

H2SO4 & HNO3

Baik kecuali amonia

Vinyl chloride Sedang sampai baik Jelek sampai baik Sangat baik Baik Baik

(27)

Tabel 2.4. Daya tembus plastik terhadap O2, SO2 dan H2O pada suhu 25oC

Daya tembus (cm3/cm2/mm/det/cmHg) x 1010

Plastik tipis Ketebalan

(mm x 102) O2 SO2 H2O*

Polyethylene(kerapatan rendah) 3,8 30,9 193 876

Polyethylene (kerapatan tinggi) 2,1 10,5 56,8 305

Polycarbonate 2,5 15,4 210 >10000

Polystyrene 3,8 18,8 220 9280

Polyamide (nylon 11) 4,1 1,40 21,6 2940

Polypropylene 2,5 6,81 7,13 303

Polyvinyl chloride (rigid) 14,5 0,667 1,16 2540

Polyester 1,3 0,339 2,01 1560

PVDC/polypropylene/PVDC 2,8 0,0697 0,103 212

PVDC/regenerated cellulose/PVDC 2,6 0,0398 0,374 202 * Diukur terhadap RH 75%

Sumber: Buckleet. al. (1988)

2.4. PENENTUAN UMUR SIMPAN

Istilah umur simpan secara umum mengandung pengertian tentang waktu antara saat produk mulai dikemas atau diproduksi sampai dengan mutu produk masih memenuhi syarat untuk dikonsumsi. Floros (1993) menyatakan bahwa umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan, dalam kondisi penyimpanan, untuk sampai pada suatu level atau tingkatan degradasi mutu tertentu.

Floros (1993) lebih lanjut menyatakan umur simpan produk pangan dapat diduga dan kemudian ditetapkan waktu kadaluwarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu dengan Extended Storage Studies(ESS) dan Accelerated Shelf Life Testing (ASLT). ESS yang sering juga disebut sebagai metoda konvensional adalah penentuan tanggal kadaluwarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari dan dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Penentuan umur simpan produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat lagi diterima oleh konsumen.

(28)

Asumsi dasar yang mendasari pengujian dengan metode ASLT adalah bahwa prinsip kinetika kimia dapat diaplikasikan untuk mengukur efek yang disebabkan oleh faktor eksternal seperti temperatur, kelembaban, cahaya dan atmosfer gas yang mempengaruhi tingkat kerusakan. Metode ASLT dilakukan dengan memberikan perlakuan terhadap makanan pada lingkungan terkendali di mana satu atau lebih faktor eksternal ditetapkan pada tingkat yang lebih tinggi dari keadaan normal, tingkat kerusakan akan semakin cepat atau terakselerasi, menghasilkan waktu yang lebih singkat hingga produk rusak. Karena efek dari faktor eksternal yang menyebabkan kerusakan dapat diukur, besar akselerasi dapat dihitung dan umur produk sebenarnya di bawah kondisi normal juga dapat dihitung (Robertsen, 1993).

Salah satu faktor eksternal yang sering digunakan sebagai acuan untuk pendugaan umur simpan adalah suhu. Pengaruh suhu pada tingkat reaksi dijelaskan melalui persamaan Arrhenius (Syarief dan Hariyadi, 1993):

k

=

k

o

e

-E/RT

di mana k adalah konstanta penurunan mutu; ko merupakan konstanta tidak terpengaruh suhu; E adalah energi aktivasi; R adalah konstanta gas (1,986 kal/mol); dan T adalah suhu mutlak.

Parameter lain yang sering digunakan untuk menjelaskan hubungan antara suhu dan konstanta tingkat reaksi menurut Singh (1994) adalah dengan Q10. Q10 didefinisikan sebagai berikut:

(

)

C T suhu pada reaksi tingkat C 10 T suhu pada reaksi tingkat Q o o 10 + =

Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik, ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume, kondisi atmosfer, terutama suhu dan kelembaban dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan, serta kemasan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya

(29)

air, gas, dan bau termasuk perekatan, penutupan, dan bagian-bagian yang terlipat (Labuza, 1982).

Faktor-faktor yang mempengaruhi daya awet bahan pangan yang telah dikemas adalah :

1) Sifat alamiah dari bahan pangan dan mekanisme di mana bahan ini mengalami kerusakan, misalnya kepekaannya terhadap kelembaban dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan kimia dan fisik di dalam bahan pangan

2) Ukuran bahan pengemas sehubungan dengan volume bahan yang dikemas 3) Kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban) di mana kemasan

dibutuhkan untuk melindungi selama pengangkutan dan sebelum digunakan. 4) Ketahanan bahan pengemas secara keseluruhan terhadap air, gas atmosfer

dan bau, termasuk ketahanan dari tutup, penutupan dan lipatan.

Pengaruh kadar air dan aktivitas air (water activity) sangat penting sekali dalam menentukan daya awet dari bahan pangan, karena keduanya mempengaruhi sifat-sifat fisik (misalnya pengerasan, pengeringan) dan sifat-sifat fisiko-kimia, perubahan-perubahan kimia (misalnya pencoklatan), kebusukan oleh mikroorganisme, dan perubahan enzimatis, terutama pada bahan-bahan pangan yang tidak diolah (Buckleet. al., 1988).

(30)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. ALAT DAN BAHAN

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah cumi-cumi (Loligo sp) segar dan cumi-cumi olahan yang diperoleh dari salah satu rumah makan di Bogor. Keperluan lainnya adalah bahan kimia yang digunakan untuk analisis seperti HNO3, H2SO4 pekat, HCl 0,02 N, NaOH 50%, NaOH 0,02 N, hexan,Plate

Count Agar (PCA), dan pereaksi Vanadat-Molibdat. Bahan kemasan yang digunakan terdiri dari plastik HDPE tebal, PP tebal, dan PE campuran.

Peralatan penelitian yang digunakan adalah timbangan analitik, oven, inkubator, referigerator, freezer, pH meter, penetrometer, Color Measuring Digital Display System, destruktor, erlenmeyer, tabung reaksi, autoclave, spektrofotometer, blender, gelas piala, pipet, buret, cawan porselen, dan alat-alat gelas lainnya.

3.2. METODE PENELITIAN

3.2.1. Penentuan sifat fisis mekanis plastik pengemas

Sifat fisis mekanis plastik pengemas dianalisis untuk memberikan gambaran awal mengenai plastik yang digunakan untuk mengemas cumi-cumi olahan yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun sifat-sifat tersebut meliputi ketebalan, gramatur, dan densitas. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 1.

3.2.2. Pengolahan cumi-cumi

Pembuatan cumi-cumi olahan dilakukan dengan membersihkan cumi-cumi dari kotoran sebagai tahap awal pengolahan. Sebagai persiapan untuk tahap pengolahan selanjutnya ialah dengan menyiapkan bumbu halus, yaitu kemiri yang dihaluskan. Selain bumbu halus, bumbu kering yang terdiri dari bawang merah, bawang putih, garam, kunyit, cabai merah dan santan juga disiapkan. Pengolahan cumi-cumi olahan dilakukan dengan memasak cumi-cumi bersama dengan bumbu halus, bumbu kering, dan air yang dimasukkan ke dalam wajan. Pengolahan dilakukan dengan menggunakan api kecil selama ±5 menit. Setelah 5 menit

(31)

cumi-cummi diangkat dan ditiriskan. Air bumbu yang tersisa dipanaskan hingga kental. Setelah air bumbu kental dan mengering, cumi-cumi dimasukkan kembali ke dalam wajan untuk kemudian diaduk bersama bumbu hingga rata.

3.2.3. Karakterisasi awal cumi-cumi

Karakterisasi cumi bertujuan untuk mengetahui kondisi awal cumi-cumi sebagai acuan untuk mengetahui perubahan mutu cumi-cumi selama penyimpanan. Ada dua macam cumi-cumi yang dianalisis dalam penelitian ini, yaitu cumi-cumi segar dan cumi-cumi olahan. Uji-uji yang dilakukan terhadap cumi-cumi segar dan cumi-cumi olahan adalah sebagai berikut.

i. Cumi-cumi segar

Dalam penelitian ini, cumi-cumi segar dianalisis kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar fosfor, kadar besi, total mikroba, tekstur, pH, dan warna. Metode analisis karakterisasi cumi-cumi segar disajikan pada Lampiran 2.

ii. Cumi-cumi olahan

Cumi-cumi segar setelah diolah (dimasak) kembali dianalisis untuk mengetahui kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar fosfor, kadar besi, total mikroba, tekstur, pH, dan warna. Metode analisis karakterisasi cumi-cumi olahan disajikan pada Lampiran 2.

3.2.4. Penyimpanan cumi-cumi olahan

Cumi-cumi olahan disimpan dengan tiga jenis kemasan yang berbeda dalam tiga variasi suhu. Jenis kemasan pertama adalah kemasan non-vakum dengan jenis plastik yang digunakan adalah high density polyethylene (HDPE). Jenis kemasan kedua adalah kemasan vakum dengan plastik pengemasnya berjenis polypropylene. Jenis kemasan ketiga adalah kemasan vakum dengan plastik pengemasnya adalahpolyethylene campuran nylon 1,5/PE 15/LLDPE 40. Cumi-cumi dalam kemasan ini kemudian disimpan sampai diperkirakan mutu Cumi- cumi-cumi tersebut tidak layak untuk dikonsumsi. Variasi suhu penyimpanan dilakukan pada suhu -15, 10, dan 30oC dengan dua kali ulangan.

Perkiraan suhu penyimpanan yang digunakan oleh konsumen menjadi dasar penggunaan tiga variasi suhu ini. Suhu 30oC diperkirakan merupakan suhu di mana knsumen menyimpan cumi-cumi olahan dalam ruang tanpa pendingin. Suhu

(32)

10oC merupakan rata-rata suhu referigerator (kulkas) tempat konsumen biasa menyimpan bahan makanan untuk jangka waktu cukup lama (menengah). Penggunaan suhu -15oC karena suhu ini merupakan suhu rata-rata freezer jika konsumen ingin menyimpan bahan makanan, termasuk cumi-cumi olahan, untuk jangka waktu yang sangat lama.

3.2.5. Analisis perubahan mutu selama penyimpanan

Cumi-cumi olahan dalam kemasan diuji tekstur (kekerasan), warna, pH, dan TPC secara periodik. Frekuensi pengujian untuk masing variasi suhu dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Frekuensi pengujian terhadap cumi-cumi olahan yang disimpan pada variasi suhu yang berbeda.

Suhu Frekuensi pengujian

-15oC Setiap minggu 10oC Setiap dua hari

30oC Setiap 6 jam (kekerasan, pH, warna) dan 12 jam 1x (uji mikroba)

3.2.6. Analisis biaya

Analisis biaya dilakukan untuk memperkirakan kenaikan biaya produksi dan kaitannya dengan nilai tambah produk. Biaya yang dihitung meliputi harga dasar cumi-cumi olahan, harga plastik, dan biaya pengemasan.

3.2.7. Penentuan kondisi pengemasan terbaik

Hasil analisis penurunan mutu cumi olahan dan analisis umur simpan digunakan untuk menentukan kondisi pengemasan dan penyimpanan terbaik. Penentuan kondisi penyimpanan terbaik dilakukan dengan membandingkan umur simpan cumi-cumi olahan dalam tiap perlakuan ditambah dengan perbandingan melalui analisis biaya. Kondisi terbaik adalah kondisi penyimpanan yang dapat memberikan umur simpan paling lama dan biaya yang paling sedikit. Detail Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 3.

(33)

Analisis Mutu Cumi-cumi olahan Analisis Mutu Penyimpanan (-15, 10, 30oC) Umur Simpan Cumi Olahan Pengemasan vakum dengan 3 jenis kemasan

(PE,PP, kontrol) Analisis Mutu Penentuan kondisi pengemasan terbaik Pemasakan/pengolahan Cumi-cumi segar

(34)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. SIFAT FISIS MEKANIS PLASTIK PENGEMAS

Sifat fisis-mekanis plastik yang digunakan untuk mengemas cumi-cumi olahan dapat dilihat pada Tabel 4.1. Dari tabel tersebut terlihat bahwa plastik PE yang digunakan untuk kemasan vakum lebih tipis daripada plastik PP dan HDPE. Perbandingan gramatur juga meperlihatkan bahwa plastik PE memiliki gramatur yang lebih rendah dibandingkan plastik PP dan HDPE. Sebaliknya, densitas menunjukkan bahwa plastik PE campuran memiliki densitas yang lebih tinggi daripada plastik PP dan HDPE. Plastik PP yang digunakan untuk kemasan vakum memiliki densitas terendah bila dibandingkan dengan dua jenis plastik lainnya.

Nilai gramatur plastik menunjukkan bobot plastik per satuan luas, sedangkan densitas menunjukkan bobot plastik per satuan volume. Nilai densitas menunjukkan tingkat kerapatan plastik tersebut. Nilai densitas yang besar menunjukkan bahwa kerapatan plastik tersebut tinggi sehingga lebih sukar ditembus oleh uap air.

Tabel 4.1. Sifat fisis-mekanis plastikpolypropylene danpolyethylene

Sifat HDPE (kemasan non-vakum) PE PP Tebal (mm) 0,103 0,0728 0,1026 Gramatur (g/m2) 90,71 68,79 82,78 Densitas (g/m3) 0,88068 0,944918 0,806823

Jika informasi pada Tabel 4.1 di atas dibandingkan dengan informasi yang didapat dari studi pustaka, maka dapat disimpulkan bahwa plastik yang paling dapat menghambat O2 dan H2O adalah PE, kemudian HDPE dan PP. Hal ini dapat dimungkinkan karena jenis plastik PE yang digunakan merupakan jenis plastik campuran nylon-PE-LLDPE.

(35)

4.2. KARAKTERISASI AWAL CUMI-CUMI 4.2.1. Nilai pH 0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0 7,0 cumi-cumi N ila i p H segar olahan

Gambar 4.1. Nilai pH cumi-cumi segar dan cumi-cumi olahan

Dari Gambar 4.1 di atas terlihat bahwa pH cumi-cumi segar tidak mengalami perubahan yang signifikan setelah diolah menjadi produk cumi-cumi olahan. Untuk memperkuat penilaian ini, dengan menggunakan analisis ragam terhadap atribut pH pada taraf signifikansi = 0,05 didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara nilai pH cumi-cumi segar dengan pH cumi-cumi olahan. Rekapitulasi analisis ragam nilai pH disajikan pada Lampiran 3. Nilai pH cumi-cumi segar adalah 6,62 ± 0,02 dan nilai pH cumi-cumi olahan adalah 6,64 ± 0,05. Nilai pH yang berada pada kisaran 6 – 7 pada cumi-cumi olahan merupakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Kondisi pH optimum bagi pertumbuhan bakteri, kapang dan khamir berada pada kisaran 6,5 – 7,5, walaupun khamir lebih suka tumbuh pada kondisi asam (pH 4 – 4,5).

4.2.2. Warna

Pengukuran terhadap warna cumi-cumi dilakukan pada dua sisi cumi. Sisi bagian dalam dan sisi bagian luar cumi-cumi. Hasil pengukuran terhadap warna cumi-cumi segar dan olahan disajikan pada Tabel 4.2.

(36)

Tabel 4.2. Hasil pengukuran terhadap warna cumi-cumi

Sampel ohue Chroma

Bagian dalam 63,52 ± 1,42 31,24 ± 3,74 Segar Bagian luar 78,67 ± 12,7 81,03 ± 6,16 Bagian dalam 84,37 ± 1,16 89,56 ± 8,74 Olahan Bagian luar 82,55 ± 0,99 139,00 ± 0,41

Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa antara bagian dalam dengan bagian luar cumi-cumi tidak terdapat perbedaan warna yang nyata. Warna kedua bagian tersebut, baik cumi-cumi segar maupun cumi-cumi olahan berada pada kisaran derajat hue yang menunjukkan warna yellow red (kuning-merah). Diagram warna dapat dilihat pada Lampiran 4, sedangkan keterangan warna sampel dalam derajat hue dapat dilihat pada Lampiran 5.

Untuk intensitas warna, berdasarkan nilaichroma, warna cumi-cumi bagian dalam lebih tinggi intensitasnya daripada bagian luar. Hal ini berlaku pada cumi-cumi segar dan cumi-cumi-cumi-cumi olahan. Warna bagian luar cumi-cumi-cumi-cumi lebih redup daripada bagian dalam. Secara penglihatan visual pun dapat dilihat bahwa warna bagian dalam berwarna lebih putih cemerlang.

4.2.3. Kekerasan

Nilai kekerasan yang diperoleh berbanding terbalik dengan kekerasan. Semakin besar nilai, maka kekerasan cumi-cumi semakin lunak. Nilai yang diperoleh untuk cumi-cumi segar berada dalam kisaran 3,2 – 4,3 /mm.det dan cumi-cumi olahan berada dalam kisaran 6,3 – 7,3 /mm.det.

Hasil analisis ragam terhadap nilai kekerasan pada taraf signifikansi = 0,05 didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan nyata antara nilai kekerasan cumi-cumi segar dengan cumi-cumi olahan. Rekapitulasi analisis ragam kekerasan cumi-cumi dapat dilihat pada Lampiran 6.

Cumi-cumi segar memiliki tekstur yang kenyal dan padat sedangkan cumi-cumi olahan karena pengaruh pemasakan terutama pemanasan, memiliki tekstur yang lebih lunak daripada cumi-cumi segar, seperti yang terlihat pada Gambar 4.2.

(37)

0,0 2,0 4,0 6,0 8,0 10,0 cumi-cumi N ila i k eker as a n (1/mm. d et) segar olahan

Gambar 4.2. Nilai kekerasan cumi-cumi segar dan olahan

4.2.4. Kadar Air

Pengukuran kadar air cumi-cumi segar dan olahan menunjukkan bahwa kadar air cumi-cumi segar lebih tinggi dari kadar air cumi-cumi olahan, seperti yang terlihar pada Gambar 4.3. Kadar air cumi-cumi segar sebesar 84,54%, sedangkan kadar air cumi-cumi olahan sebesar 72,57%. Kadar air yang cukup tinggi ini cocok untuk pertumbuhan mikrorganisme seperti bakteri, sehingga bahan makanan yang memiliki kadar air tinggi rentan terhadap kerusakan akibat bakteri. Selain bakteri, kapang dan khamir juga dapat hidup pada kondisi ini.

64 68 72 76 80 84 88 cumi-cumi Kad ar air (%) segar olahan

(38)

Hasil analisis ragam terhadap kadar air cumi-cumi pada taraf signifikansi = 0,05 didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan nyata antara kadar air cumi segar dengan cumi olahan. Rekapitulasi analisis ragam kadar air cumi-cumi dapat dilihat pada Lampiran 7.

Penurunan kadar air cumi-cumi olahan ini disebabkan karena pemanasan yang dilakukan saat mengolah cumi-cumi. Pemanasan ini yang menyebabkan kadar air cumi-cumi menurun karena menguap. Selain itu, penambahan garam, yang merupakan salah satu bumbu yang digunakan untuk mengolah cumi-cumi, dapat mengikat air sehingga menurunkan kadar air cumi-cumi.

4.2.5. Kadar Protein

Kadar protein yang diukur adalah kadar protein kasar dengan menggunakan metode Kjeldahl. Kadar protein untuk cumi-cumi segar adalah sebesar 5,9 – 10,3%, sedangkan cumi-cumi olahan memiliki kadar protein sebesar 13,6 – 15,1% (Gambar 4.4). Hasil analisis ragam terhadap kadar protein pada taraf signifikansi = 0,05 didapatkan hasil tidak terdapat perbedaan nyata antara kadar protein cumi-cumi segar dengan cumi-cumi olahan. Rekapitulasi analisis ragam kadar protein disajikan pada Lampiran 8.

0,0 3,0 6,0 9,0 12,0 15,0 18,0 cumi-cumi Kad ar Pr ot ein ( %) segar olahan

(39)

Berdasarkan Okuzumi dan Fujii (2000), kadar protein cumi-cumi segar berkisar antara 15 – 20%. Rendahnya kadar protein cumi-cumi kemungkinan disebabkan variasi sampel yang diambil. Perbedaan spesies, waktu panen, masa kembang-biak, usia cumi-cumi bisa menjadi faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan nilai protein yang diperoleh dibandingkan dengan literatur. Ini diakui juga oleh Okuzumi dan Fujii (2000), bahwa sifat umum cumi-cumi yang terdeteksi bisa berbeda-beda dipengaruhi oleh faktor-faktor di atas.

Berdasarkan Sahidi dan Botta (1994), kebanyakan ikan segar mengandung 16 – 24% protein. Nilai ini dapat meningkat hingga 35% pada ikan yang sudah dimasak. Tingginya kadar air pada golongan moluska berpengaruh pada rendahnya kadar protein (8 – 18%).

4.2.6. Kadar Lemak

Hasil pengukuran kadar lemak terhadap cumi-cumi segar dan cumi-cumi olahan dengan dua kali ulangan menunjukkan hasil berada dalam kisaran 0,372 – 0,763% untuk cumi segar dan 1,727 – 2,213% untuk cumi olahan (Gambar 4.5). Hasil analisis ragam terhadap kadar lemak cumi-cumi segar dengan cumi-cumi olahan pada taraf signifikansi = 0,05 didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara nilai keduanya. Rekapitulasi analisis ragam terhadap kadar lemak disajikan pada Lampiran 9.

Dari grafik pada Gambar 4.5 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan kadar lemak setelah cumi-cumi diolah. Peningkatan ini kemungkinan dikarenakan pada pengolahan cumi-cumi ditambahkan santan yang merupakan emulsi minyak dalam air, sehingga menambah kandungan lemak terukur. Berdasarkan Okuzumi dan Fujii (2000), cumi-cumi mengandung lemak kasar sebesar 1 – 10%.

(40)

0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 cumi-cumi Ka d a r L e ma k (%) segar olahan

Gambar 4.5. Kadar lemak cumi-cumi segar dan cumi-cumi olahan

4.2.7. Kadar Fosfor

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kadar fosfor pada cumi-cumi segar sebesar 1,0 – 1,2%. Pengukuran pada cumi-cumi olahan menunjukkan bahwa kadar fosfor yang terkandung di dalamnya sebesar 1,34 – 1,38%. Hasil analisis ragam terhadap kadar fosfor pada taraf signifikansi = 0,05 didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan nyata antara kadar fosfor cumi-cumi segar dengan cumi-cumi olahan. Rekapitulasi analisis ragam terhadap kadar fosfor disajikan pada Lampiran 11.

Pada Gambar 4.6 di bawah dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan kadar fosfor selama pengolahan. Terjadi peningkatan kadar fosfor kemungkinan karena pengaruh penambahan bumbu saat pengolahan, sehingga menambah kandungan fosfor terukur.

(41)

0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 cumi-cumi Ka d a r Fo sfo r (%) segar olahan

Gambar 4.6. Kadar fosfor cumi-cumi segar dan olahan

4.2.8. Kadar Besi

Berdasarkan Gaman dan Sherrington (1981), fungsi zat besi adalah sebagai salah satu pembentuk sel darah merah. Zat besi tidak dirusakkan oleh pemasakan, tetapi sejumlah kecil akan hilang bersama air karena zat besi larut dalam air. Hasil pemeriksaan terhadap kandungan zat besi pada cumi segar dan olahan menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan di antara keduanya. Hasil analisis ragam terhadap kadar besi pada taraf signifikansi = 0,05 memperlihatkan perbedaan nyata antara kadar besi cumi-cumi segar dengan cumi-cumi olahan. Rekapitulasi analisis ragam kadar besi disajikan pada Lampiran 10.

(42)

0,0 2,0 4,0 6,0 8,0 10,0 cumi-cumi K adar B e s i (m g/ k g) segar olahan

Gambar 4.7. Kadar besi cumi-cumi segar dan olahan

Dapat dilihat pada Gambar 4.7 bahwa kandungan zat besi cumi-cumi segar lebih tinggi dibandingkan cumi-cumi olahan. Cumi-cumi segar memiliki kandungan zat besi sebanyak 7,7 hingga – 8,7 mg/kg (0,7 – 0,9 mg/100g). Kandungan zat besi cumi-cumi olahan sebesar 1,7 – 2,9 mg/kg (0,1 – 0,3 mg/100g).

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa kadar besi setelah pemasakan mengalami penurunan yang cukup besar. Adanya penurunan ini kemungkinan karena pengaruh pemasakan. Berdasarkan Bender (1987), hilangnya zat besi akibat pemasakan bisa mencapai 32%.

4.2.9. Uji Mikroba

Hasil yang didapat menunjukkan bahwa cumi-cumi segar tercemar oleh bermacam-macam mikroba. Pengujian yang dilakukan terhadap cumi-cumi olahan menunjukkan bahwa terdapat cemaran mikroba, tetapi tidak sebanyak seperti yang tampak pada cumi-cumi segar. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengolahan cumi-cumi dapat mengurangi mikroba yang terdapat pada cumi-cumi. Mikroorganisme yang terdapat pada cumi-cumi olahan tidak hanya bakteri, tetapi juga sedikit kapang dan khamir. Hal ini menunjukkan bahwa cumi-cumi olahan rentan terhadap kerusakan akibat bakteri dan juga kapang dan khamir.

(43)

Jumlah total mikroba yang terdapat pada cumi-cumi olahan masih berada dalam batas aman konsumsi jika dibandingkan dengan SNI 01-2719-1992 untuk cumi-cumi kering dan SNI 01-2731-1992 untuk cumi-cumi beku. Jumlah maksimum total mikroba untuk cumi-cumi kering adalah sebanyak 4 x 104 koloni/g dan jumlah maksimum total mikroba untuk cumi-cumi beku adalah 5 x 105 koloni/g.

Tabel 4.3. Hasil uji mikroba pada cumi-cumi segar dan olahan Sampel Ulangan Standard Plate Count (SPC)

Total Mikroba Segar I 4,00 x 104 koloni/g

II 1,20 x 104 koloni/g Olahan I 5,50 x 102koloni/g II 2,10 x 102 koloni/g

Ada beberapa faktor yang menyebabkan jumlah mikroba pada cumi-cumi olahan lebih rendah daripada cumi-cumi segar. Salah satunya adalah pemanasan. Selama pengolahan, cumi-cumi mengalami pemanasan dengan memasaknya di atas api. Proses pemanasan ini menyebabkan sebagian besar mikroorganisme yang terdapat pada cumi-cumi segar mati. Selain itu, bumbu yang digunakan juga berperan dalam mengurangi jumlah mikroba yang terdapat pada cumi-cumi. Beberapa bumbu yang digunakan seperti bawang merah, bawang putih, dan kunyit memiliki kandungan senyawa antimikroba. Pada bawang merah dan bawang putih terdapat senyawa allicin yang berperan sebagai zat antibakteri (Palungkun dan Budhiarti, 1992; Wibowo 1991). Selain itu, kunyit mengandung minyakcurcumin yang mempunyai sifat sebagai antioksidan dan antibakteri.

4.3. PERUBAHAN MUTU SELAMA PENYIMPANAN 4.3.1. Perubahan pH

Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu penyebab produk perikanan menjadi rusak. Derajat keasaman yang rendah menunjukkan produk mengalami proses pembusukan karena terjadi penguraian protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Derajat keasaman daging ikan yang cenderung netral yaitu

(44)

6,4 – 6,6 disebabkan oleh rendahnya cadangan glikogen dalam daging ikan, ini yang menjadikan produk perikanan mudah rusak.

Nilai pH cumi-cumi olahan cenderung mengalami penurunan selama penyimpanan. Gambar 4.8 menunjukkan grafik perubahan pH cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 30oC. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa ketiga perlakuan menunjukkan kecenderungan penurunan nilai pH selama penyimpanan. Dari grafik juga dapat dilihat bahwa cumi-cumi olahan yang disimpan dengan menggunakan kemasan PE vakum cenderung mengalami penurunan pH yang lebih besar dibandingkan perlakuan lainnya. Perlakuan yang dapat mempertahankan pH tidak mengalami penurunan yang besar adalah penyimpanan dengan menggunakan PP vakum.

Persentase penurunan pH terbesar terjadi pada jam penyimpanan ke-18 hingga jam ke-30. Persentase penurunan pH untuk cumi-cumi olahan yang disimpan dalam kemasan PP sebesar 9,21%; 11,10% untuk cumi-cumi olahan yang disimpan dalam kemasan PE; dan sebesar 8,10% untuk cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan non-vakum. Titik pH terendah yang dicapai adalah 5,36. Sedangkan titik pH terendah yang dicapai oleh cumi olahan yang disimpan dengan kemasan non-vakum dan dalam kemasan PP adalah 6,15 dan 5,93.

Dari grafik perubahan pH selama penyimpanan pada Gambar 4.8, dapat dilihat bahwa pada awalnya pH meningkat kemudian menurun. Peningkatan nilai pH pada awal penyimpanan kemungkinan dikarenakan aktivitas mikroba yang mengurai asam amino yang menghasilkan senyawa-senyawa yang bersifat basa sehingga nilai pH meningkat. Nilai pH yang menurun kemungkinan disebabkan pertumbuhan mikroba yang menggunakan gula-gula sederhana sebagai sumner metabolismenya sehingga menghasilkan senyawa-senyawa bersifat asam sehingga menyebabkan nilai pH menurun.

(45)

5,0 5,5 6,0 6,5 7,0 7,5 0 10 20 30 40 50 60

Lama Penyimpanan (jam)

Nilai

pH

Non-vakum PP PE

Gambar 4.8. Grafik perubahan pH pada penyimpanan suhu 30±2oC

Kecenderungan ini juga terlihat pada cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 10 dan -15oC. Hanya saja pada perlakuan penyimpanan di suhu 10oC penurunan grafik perubahan pH tidak setajam perlakuan penyimpanan di suhu 30oC. Kecenderungannya nilai pH mengalami peningkatan di awal dan kemudian menurun di akhir. Berdasarkan grafik (Gambar 4.9), cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 10oC dan dengan kemasan PE vakum mengalami penurunan pH yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya pada suhu penyimpanan yang sama. Nilai pH cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 10oC berada pada kisaran 6,46 – 7,01.

5,8 6,2 6,6 7,0 7,4 0 2 4 6 8 10 12 14 16

Lama Penyimpanan (hari)

Nilai

pH

Non-vakum PP PE

(46)

Perbedaan kecenderungan terlihat pada cumi olahan yang disimpan pada suhu -15oC. Cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan non-vakum dan PP vakum memiliki kecenderungan nilai pH yang menurun selama penyimpanan, tetapi cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PE vakum mengalami kecenderungan nilai pH yang meningkat (Gambar 4.10). Peningkatan nilai pH ini kemungkinan karena adanya proses penguraian asam-asam amino menjadi senyawa yang lebih sederhana, seperti NH3 yang bersifat basa, sehingga menyebabkan peningkatan nilai pH selama penyimpanan. Kondisi ini juga terlihat pada cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 30 dan 10oC, hanya saja berlangsung lebih cepat di awal penyimpanan.

5,8 6,2 6,6 7,0 7,4 0 1 2 3 4 5 6 7 8

Lama Penyimpanan (minggu)

Nilai

pH

Non-vakum PP PE

Gambar 4.10. Grafik perubahan pH pada penyimpanan suhu -15±5oC

Untuk jenis kemasan yang sama, cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 30oC mengalami penurunan pH yang paling besar. Hal ini menunjukkan bahwa suhu penyimpanan mempengaruhi laju penurunan pH. Suhu penyimpanan yang tinggi semakin mempercepat laju penurunan pH cumi-cumi olahan.

Selama penyimpanan, pH cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 30, 10, dan -15oC cenderung mengalami penurunan. Penurunan pH cumi-cumi olahan dikarenakan proses pembusukan yang menyebabkan daging cumi-cumi semakin asam. Berdasarkan Ilyas (1983), turunnya pH cumi-cumi disebabkan rendahnya cadangan glikogen, karena terurai menjadi asam laktat. Peningkatan jumlah asam

(47)

laktat akibat terurainya glikogen inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan pH pada cumi-cumi olahan.

4.3.2. Kekerasan

Bahan pangan yang rusak dan mengalami pembusukan selama penyimpanan teksturnya akan melunak. Seiring dengan tingkat kerusakan, tekstur bahan pangan tersebut akan semakin lunak. Untuk produk perikanan dan sejenisnya, daging ikan akan terasa kenyal jika masih dalam keadaan segar, dan akan terasa lembek/lunak jika sudah busuk. Untuk kasus penelitian ini, tekstur cumi-cumi olahan akan semakin melunak seiring dengan laju kerusakan atau pembusukan dari cumi-cumi tersebut.

Perubahan nilai kekerasan selama penyimpanan pada suhu 30oC (Gambar 4.11) menunjukkan kecenderungan peningkatan nilai kekerasan yang berarti tekstur cumi-cumi olahan cenderung melunak. Peningkatan terbesar untuk nilai kekerasan dialami oleh cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PE vakum. Hal ini menunjukkan tingkat kerusakan terbesar dialami oleh cumi olahan dengan kemasan PE vakum. Jika dibandingkan dengan perubahan nilai pH, terlihat korelasi tingkat penurunan pH dengan peningkatan nilai tekstur. Penurunan pH sejalan dengan kerusakan daging cumi olahan yang ditandai dengan meningkatnya nilai tekstur (daging cumi-cumi semakin lunak).

5 7 9 11 13 15 0 10 20 30 40 50 60

Lama Penyimpanan (jam)

N ilai keke rasan (1 /m m.det ) Non-vakum PP PE

(48)

Dari informasi daya tembus O2 terhadap plastik, didapatkan bahwa plastik PE memiliki daya tembus O2 yang paling kecil karena densitasnya yang besar, kemudian HDPE dan PP. Sedikitnya O2 yang terdapat di dalam kemasan dapat memacu pertumbuhan mikroba anaerob. Pertumbuhan mikroba ini dapat menyebabkan penurunan mutu pada cumi-cumi olahan, salah satunya ditunjukkan dengan meningkatnya nilai kekerasan.

Penyimpanan cumi-cumi olahan pada suhu 10oC juga menunjukkan perubahan nilai tekstur yang cenderung meningkat. Hanya saja, perbandingan perubahan nilai tekstur cenderung tidak tampak perbedaan yang nyata seperti yang terlihat pada perubahan nilai tekstur di dalam penyimpanan suhu 30oC. Perubahan nilai tekstur cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 10oC dapat dilihat pada Gambar 4.12.

Bila dikaitkan dengan perubahan nilai pH pada penyimpanan suhu 10oC, hasil ini terlihat sejalan. Perubahan nilai pH pada penyimpanan suhu 10oC cenderung tidak tampak perbedaan yang nyata, begitu juga perubahan nilai kekerasan pada penyimpanan suhu 10oC.

5 7 9 11 13 15 0 2 4 6 8 10 12 14 16

Lama penyimpanan (hari)

N ila i keker asan ( 1/mm. de t) Non-vakumPP PE

Gambar 4.12. Grafik perubahan nilai kekerasan pada penyimpanan suhu 10±2oC

Jika dilihat pada hari ke-4 penyimpanan, nilai kekerasan cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PE vakum lebih tinggi daripada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan dua jenis kemasan lainnya. Ini berhubungan dengan pertumbuhan mikroba yang terjadi selama penyimpanan di suhu 10oC. Cumi-cumi

(49)

olahan yang disimpan dengan kemasan PE vakum menunjukkan pertumbuhan mikroba pada hari ke-4 penyimpanan.

Hal yang sama juga terlihat pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan non-vakum. Nilai kekerasan yang meningkat, terutama pada hari ke-6 penyimpanan, juga diiringi dengan pertumbuhan mikroba yang terjadi pada hari ke-6 penyimpanan. Pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PP vakum menunjukkan nilai kekerasan yang tinggi pada hari ke-10 penyimpanan. Hal ini juga diiringi dengan pertumbuhan mikroba yang tinggi pada hari ke-10 penyimpanan.

Hasil-hasil yang berkaitan ini menunjukkan bahwa nilai kekerasan pada penyimpanan cumi-cumi olahan di suhu 10oC dipengaruhi oleh aktivitas mikroba. Cumi-cumi olahan yang kaya akan zat gizi dan memiliki kadar air yang tinggi merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan mikroba pada cumi-cumi olahan ini menyebabkan perubahan tekstur yang ditandai dengan meningkatnya nilai kekerasan.

Perubahan nilai kekerasan selama penyimpanan suhu -15oC dapat dilihat pada Gambar 4.13. Terlihat peningkatan nilai kekerasan yang cukup drastis pada minggu pertama penyimpanan. Peningkatan nilai kekerasan cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan non-vakum pada minggu pertama sebesar 44,49%. Peningkatan nilai kekerasan pada minggu pertama penyimpanan cumi-cumi olahan yang disimpan menggunakan plastik PP vakum sebesar 43,71%. Peningkatan nilai kekerasan cumi-cumi olahan yang disimpan menggunakan plasitk PE vakum selama satu minggu pertama penyimpanan sebesar 44,85%.

Peningkatan nilai kekerasan pada cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu -15o kemungkinan disebabkan oleh rusaknya tekstur akibat pembekuan (freeze injury). Pendinginan cumi-cumi olahan di bawah suhu 0oC memungkinkan terjadinya pengkristalan air yang terkandung di dalamnya. Terbentuknya kristal-kristal es ini dapat merusak tekstur cumi-cumi olahan sehingga nilai kekerasannya menjadi semakin tinggi.

(50)

6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 0 1 2 3 4 5 6 7 8

Lama penyimpanan (minggu)

N il ai k ek er as an (1 /mm .det ) Non-vakum PP PE

Gambar 4.13. Grafik perubahan nilai kekerasan pada penyimpanan suhu -15±5oC

Nilai kekerasan cumi dengan berbagai suhu penyimpanan dan berbagai teknik pengemasan terlihat kecenderungan yang sama yaitu meningkat tajam pada awal penyimpanan dan kemudian cenderung stabil atau meningkat dengan lambat pada periode penyimpanan yang lama. Hal ini dapat dijelaskan bahwa penurunan tekstur kekerasan cumi-cumi olahan selama penyimpanan mempunyai dua tahap laju penurunan yaitu laju penurunan cepat dan laju penurunan lambat dengan titik perubahan di jam ke-20 pada suhu 30oC, 1 hari pada penyimpanan 10oC dan 1 minggu pada penyimpanan -15oC.

4.3.3. Pertumbuhan Total Mikroba

Adanya mikroba merupakan salah satu penyebab kerusakan atau penurunan mutu pada bahan pangan. Ada tidaknya mikroba pada bahan pangan juga dapat digunakan sebagai indikator keamanan pangan. Pengujian total mikroba terhadap cumi-cumi olahan selama penyimpanan dilakukan untuk mengetahui jumlah total mikroba baik kapang, khamir, maupun bakteri.

Berdasarkan hasil analisis terhadap cumi-cumi yang disimpan pada suhu 30oC, didapat bahwa pertumbuhan mikroorganisme tetap berjalan walaupun dikemas dengan kemasan vakum. Pertumbuhan mikroorganisme mengalami fase log pertumbuhan pada 24 jam pertama. Analisis yang dilakukan pada jam ke-12 penyimpanan sudah menunjukkan hasil yang positif adanya mikroorganisme pada

(51)

makanan. Pada jam ke-12 penyimpanan, jumlah mikroba pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan non-vakum adalah sebanyak 1,40 x 106 koloni/g. Pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PP vakum menunjukkan jumlah mikroba sebanyak 1,77 x 105 koloni/g. Jumlah mikroba pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PE vakum adalah 1,75 x 105 koloni/g. Grafik pertumbuhan mikroorganisme pada cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 30oC dapat dilihat pada Gambar 4.14.

0 2 4 6 8 0 12 24 36 48

Lama penyimpanan (jam)

lo g Ju ml a h ko lo n i Non-vakum PP PE

Gambar 4.14. Grafik pertumbuhan total mikroba pada penyimpanan suhu 30±2oC

Grafik pertumbuhan yang terus meningkat menunjukkan bahwa mikroorganisme yang terdapat pada cumi-cumi terus tumbuh memanfaatkan kandungan gizi yang terdapat di dalam cumi-cumi olahan. Kurva yang sedikit mendatar dan menurun kemungkinan menunjukkan adanya produksi senyawa yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme, seperti H2S oleh mikroorganisme itu sendiri.

Dari Gambar 4.14 di atas dapat dillihat bahwa baik pada cumi-cumi olahan yang dikemas dengan kemasan vakum maupun non-vakum terdapat pertumbuhan mikroorganisme. Hal ini bisa terjadi karena mikroba itu sendiri dibedakan menjadi mikroba aerobik, anaerobik, dan anaerobik fakultatif. Pada cumi-cumi olahan ini terdapat kemungkinan terdapatnya mikroba dari berbagai macam jenis tersebut, sehingga pada kondisi penyimpanan minim oksigen (vakum) maupun terdapat oksigen (non-vakum) masih terdapat mikroba yang tumbuh.

(52)

Hasil analisis terhadap cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 10oC menunjukkan bahwa sudah terjadi pertumbuhan mikroorganisme semenjak hari kedua penyimpanan pada tiap perlakuan pengemasan. Grafik pertumbuhan mikroorganisme pada cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 10oC dapat dilihat pada Gambar 4.15.

0 2 4 6 8 0 2 4 6 8 10 12 14 16

Lama Penyimpanan (hari)

log J um lah k oloni Non-vakum PP PE

Gambar 4.15. Grafik pertumbuhan total mikroba pada penyimpanan suhu 10±2oC

Bedasarkan Gambar 4.15, grafik pertumbuhan yang terus meningkat menunjukkan bahwa mikroorganisme yang terdapat pada cumi-cumi terus tumbuh memanfaatkan kandungan gizi yang terdapat di dalam cumi-cumi olahan. Kurva yang sedikit mendatar dan menurun kemungkinan menunjukkan adanya produksi senyawa yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme, seperti H2S oleh mikroorganisme itu sendiri.

Jumlah mikroorganisme yang terdapat pada cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 10oC lebih sedikit bila dibandingkan dengan cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 30oC. Pertumbuhan mikroorganisme pada cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 10oC juga lebih lambat bila dibandingkan dengan cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 30oC. Hasil ini menunjukkan bahwa penyimpanan dingin dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme.

Hasil analisis terhadap cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu -15oC (Gambar 4.16) menunjukkan bahwa pertumbuhan mikroorganisme sempat terhambat pada minggu pertama penyimpanan. Setelah minggu pertama

Gambar

Gambar 2. Bagian tubuh cumi-cumi (www.e-dukasi.net)
Tabel 2.1.  Komposisi cumi-cumi per 100 gram
Tabel 2.2. Daya tembus plastik terhadap N 2 , O 2 , CO 2  dan H 2 O Daya tembus (cm 3 /cm 2 /mm/det/cmHg) x 10 10 Plastik tipis N 2 O 2 (suhu 30 o C) CO 2 H 2 O(25o C, RH 90%) Polyethylene  (kerapatan  rendah)  19    55   352        800 Polyethylene (kerap
Tabel 2.4. Daya tembus plastik terhadap O 2 , SO 2  dan H 2 O pada suhu 25 o C Daya tembus (cm 3 /cm 2 /mm/det/cmHg) x 10 10 Plastik tipis Ketebalan
+7

Referensi

Dokumen terkait

PERANCANGAN SIMULASI KENDALI PENGISIAN BARANG KE KAPAL DENGAN MENGGUNAKAN PENGENDALI LOGIKA.. TERPROGRAM (PLC) OMRON

(g) Pertemuan ke 7 pada tanggal 25 Maret 2013 dengan tujuan pembelajaran yakni agar peserta didik dapat menjelaskan simetri lipat dengan baik; dan menunjukkan cara mencari..

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai strategi komunikasi pemasaran produk untuk meningkatkan volume penjualan perspektif ekonomi Islam dengan

Maka dengan pandangan kerangka teori diatas penulis dapat menganalisis watak psikologis tokoh Yoru Morino dalam komik Goth karya Otsu Ichi yang berkaitan dengan struktur jiwa

Dengan pengumpulan data menggunakan metode wawancara sangat bermanfaat karena data yang di butuhkan yang tidak di ketahui dapat mengetahui dengan interview pada

Dalam mengolah suatu jenis air limbah tertentu, dapat menggunakan salah satu dari ketiga jenis proses dan alat pengolahan tersebut, atau dapat juga diaplikasikan secara gabungan

data penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan prinsip kerja sama yang dilakukan siswa dalam percakapan di kelas dapat berupa tindak tutur yang mematuhi maksim

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, penelitian ini dapat disimpulkan walaupun secara statistik rerata VAS antara grup kontrol dan intervensi tidak berbeda