• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN GAMBARAN TITER ANTIBODI PASCA VAKSINASI ANTRAKS DENGAN MENGGUNAKAN 2 VAKSIN PRODUKSI DALAM NEGERI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBANDINGAN GAMBARAN TITER ANTIBODI PASCA VAKSINASI ANTRAKS DENGAN MENGGUNAKAN 2 VAKSIN PRODUKSI DALAM NEGERI"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN GAMBARAN TITER ANTIBODI PASCA

VAKSINASI ANTRAKS DENGAN MENGGUNAKAN

2 VAKSIN PRODUKSI DALAM NEGERI

(Antibody Titer Comparison of Post Anthrax Vaccination Using Two

Domestic Vaccine Product)

RAHMAT SETYA ADJI

Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114

ABSTRACT

Anthrax is an infectious bacterial disease affecting herbivore, human and some poultry spesies. It is due to Bacillus anthracis, and Gram positive, non-hemolytic, endospore forms, rod-shape, and produces capsule and toxins. There are some endemic areas in Indonesia. Protection against anthrax infection depends on immune response of protective antigens (PA) and other components (EF and LF). The last two antigens were reported to produce low protection. The purpose of this study was to investigate the antibody titres of anthrax in two local vaccines. Twenty five goats were divided into 3 groups including: I (10) was vaccinated with vaccine A, II (10) was vaccinated with vaccine B, and III (5) was allocated as control. Blood samples were collected in 2 weales interval untik 24 weeks and were analysed using Elisa Test. The results indicated that the antibody titre increased 2 weeks after vaccination with vaccine A (112 EU) and vaccine V 107 EU). The peak of antibody titer was achieved 8 weeks after vaccination as 335 EU (vaccine A), and 305 EU (vaccine B), the titre was then reducing progressively until weeks – 24 with an average titre of 95 EU (A), and 51 EU (B). The shows that the loca vaccines can induce antibody. The vaccine A induced antibody titre was higher than vaccine B.

Key Words: Anthrax, Vaccine, Goats, ELISA

ABSTRAK

Antraks merupakan penyakit bakterial pada mamalia, terutama herbivora, dapat menyerang manusia dan beberapa spesies unggas. Penyakit ini disebabkan oleh Bacillus anthracis, bakteri berbentuk batang, gram positif, non motil, non hemolitik, membentuk spora, dapat membentuk kapsul dan menghasilkan toksin. Di Indonesia sampai saat ini terdapat beberapa daerah endemik antraks Pencegahan penyakit ini dilakukan dengan vaksinasi, terutama di daerah endemik. Proteksi terhadap penyakit antraks pada hewan yang peka hampir seluruhnya tergantung pada respon imun terhadap antigen tunggal yaitu protektif antigen ( PA ), 2 komponen toksin lainnya yaitu LF dan EF hanya beperan kecil dalam memberikan proteksi . Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbandingan titer antibodi terhadap antraks dengan menggunakan 2 vaksin produksi dalam negeri. Dua puluh lima ekor kambing dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok I (10 ekor) divaksin dengan vaksin A, kelompok II (10 ekor) divaksin dengan vaksin B dan kelompok III merupakan kontrol. Uji yang dilakukan adalah ELISA, dengan pengambilan darah dilakukan dengan interval waktu tiap 2 minggu sekali selama 24 minggu. Hasil uji menunjukkan bahwa titer akan naik pada minggu ke-2 setelah vaksinasi dengan vaksin A (112 EU) dan vaksin B (107 EU). Titer puncak akan tercapai pada minggu ke-8 dengan kisaran 335 EU (vaksin A) dan 305 EU (vaksin B), selanjutnya titer akan menurun sampai minggu ke-24 dengan rata-rata 95 EU (vaksin A) dan 51 EU (vaksin B). Hal ini menunjukkan bahwa vaksinasi dengan vaksin lokal dapat menginduksi terbentuknya antibodi. Hasil di atas menggambarkan bahwa vaksin A dapat menginduksi terbentuknya antibodi lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin B.

(2)

PENDAHULUAN

Anthrax merupakan penyakit bakterial pada mamalia, terutama herbivora, dapat menyerang manusia dan beberapa spesies unggas (OIE, 2004). Penyakit ini disebabkan oleh Bacillus anthracis, bakteri berbentuk batang, gram positif, ukuran 1 – 1,5 µ X 3 – 5µ, non motil, non hemolitik, membentuk spora, dapat membentuk kapsul dan menghasilkan toksin. Anthrax merupakan penyakit zoonosis penting dan strategis sehingga perlu ditangani dengan baik (TURNBULLet al., 1998). Tingkat kematian karena anthrax sangat tinggi terutama pada hewan herbivora, mengakibatkan kerugian ekonomi dan mengancam keselamatan manusia. Sampai saat ini, masih banyak daerah endemik anthrax di Indonesia seperti di propinsi Sumatera Barat, Jambi, DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, NTT, NTB dan Papua (SIREGAR, 2002). Penyakit ini tetap enzootic di hampir semua negara Afrika dan Asia, beberapa negara di Eropa, beberapa negara bagian Amerika dan beberapa daerah di Australia (OIE, 2004).

Patogenitas anthrax ditentukan oleh dua faktor virulensi yaitu kapsul poly-D-glutamic acid yang akan melindungi dari fagositosis dan toksin yang terdiri dari tiga protein: protektif antigen (PA), oedema faktor (EF) dan lethal faktor (LF). Interaksi ketiga komponen toksin tersebut akan menyebabkan kerusakan sel inang dan kematian.

Proteksi terhadap penyakit anthrax pada hewan yang peka hampir seluruhnya tergantung pada respon imun terhadap antigen tunggal yaitu protektif antigen (PA), 2 komponen toksin lainnya yaitu LF dan EF hanya beperan kecil dalam memberikan proteksi (TURNBULL et al., 1998). Efektifitas vaksin tergantung pada kemampuan untuk menginduksi antibodi anti- protektif antigen (anti-PA) (TURNBULL et al., 1998). Penelitian tentang vaksin juga menunjukkan bahwa antigen spora dalam vaksin yang mengandung spora hidup mempunyai peranan dalam proteksi (COHEN et al., 2000 ;BROSSIERet al., 2002).

Di Indonesia, penyakit anthrax kejadian sering berulang dan selalu menimbulkan polemik dan masalah. Pengendalian anthrax di daerah endemik yang paling tepat adalah dengan vaksinasi dan pengawasan daerah

tersebut dengan baik. Untuk vaksinasi anthrax pada hewan sampai saat ini masih menggunakan vaksin anthrax yang umumnya mengandung spora Bacillus anthracis galur 34F2, toksigenik dan tidak berkapsul (live spora vaccine) (OIE, 2004; WHO, 1967). Vaksin A yang akan diuji mengandung kira-kira 10 juta/ml spora Bacillus anthracis galur Sterne 34 F2 (noncapsulated, toxigenic) yang disuspensikan dalam 0,05% saponin + 50% glycerine-saline. Sedangkan Vaksin B mengandung kira-kira 10 juta/ml spora antraks dengan galur yang sama dan disuspensikan dalam 0,02% saponin + 50% glycerine-saline. Vaksin tersebut digunakan untuk pengebalan terhadap penyakit antraks pada sapi, kerbau, kuda, babi, kambing dan domba.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran titer antibodi dari hewan yang divaksin anthrax dengan menggunakan Vaksin A dan Vaksin B.

MATERI DAN METODE Vaksinasi

Pada uji ini hewan yang digunakan adalah 25 ekor kambing sehat berumur ± 1 tahun dengan berat badan 20 – 25 kg dan belum pernah divaksinasi anthrax. Hewan percobaan ini dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok I divaksinasi dengan vaksin A, kelompok II divaksin dengan vaksin B dan kelompok III merupakan kontrol. akan divaksinasi dengan dosis 0,5 ml. Kambing tersebut dipelihara selama 6 bulan. Pengukuran titer antibodi dilakukan pada 0 hari (sebelum divaksin), minggu ke-2, minggu ke-4, minggu 6, minggu 8, minggu 10, minggu 12 minggu 14, minggu 16, minggu ke-18, minggu ke-20, minggu ke-22 dan minggu ke-24. Pada uji ini akan diamati saat mulai adanya kenaikan titer antibodi, saat titer antibodi mencapai puncak atau optimal dan saat terjadi penurunan titer antibodi.

Vaksin antraks yang digunakan adalah vaksin hidup yang mengandung 10 juta/ml spora Bacillus anthracis strain 34 F2 dengan adjuvant saponin. Dosis penggunaan vaksin ini pada kambing adalah 0,5 ml/ekor dan disuntikan secara subkutan.

(3)

Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Antigen antraks (toksin) dilarutkan 1/2000 dalam carbonate buffer pH 9,6, selanjutnya 100 ul dimasukkan ke dalam tiap lubang mikroplat, tutup plat dengan plastik adesif dan diinkubasikan pada suhu 4°C selama satu malam. Selanjutnya mikroplat dicuci sebanyak 4 kali dengan phosphate buffer saline – Tween 20 0,05% pH 7,4 (PBS-T). 150 ul PBS-casein 1% pH 7,4 dimasukkan ke dalam tiap lubang mikroplat, tutup dengan plastik adesif dan diinkubasikan pada suhu 37°C selama 1 jam. Selanjutnya mikroplat dicuci sebanyak 4 kali dengan PBS-T. Serum sampel dan serum kontrol dilarutkan 1/100 dalam PBS-T dan dimasukkan ke dalam lubang plat sebanyak 100 ul, tutup dengan plastik adesif dan diinkubasikan pada suhu kamar selama 1 jam. Selanjutnya mikroplat dicuci sebanyak 4 kali dengan PBS-T. Konjugat anti-goat HRP (JACKSON) dilarutkan 1/6000 dalam PBS-T casein 0,5% dan dimasukkan kedalam tiap

lubang plate, tutup dengan plastik adesif dan diinkubasikan pada suhu kamar selama 1 jam. Selanjutnya mikroplat dicuci sebanyak 4 kali dengan PBS-T. Substrat ABTS sebanyak 100 ul dimasukkan ke dalam tiap lubang mikroplat dan diinkubasikan selama 45 – 60 menit pada suhu kamar dan ditempat gelap. Selanjutnya dibaca dengan menggunakan ELISA reader dengan panjang gelombang 405 nm. Hasil Optical Density (OD) selanjutnya dikonversi menjadi Elisa Unit (EU). Intepretasi hasil yang digunakan adalah jika nilai kurang dari 77 EU (< 77 ) menunjukkan tidak adanya antibodi anti antraks dan jika nilainya sama atau lebih dari 77 EU (≥ 77) menunjukkan adanya antibodi anti antraks.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji ELISA terhadap serum kambing sebelum dan pascavaksinasi antraks menunjukkan adanya kenaikan titer antibodi. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil ELISA terhadap serum kambing sebelum dan pascavaksinasi antraks Minggu Vaksin 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Vaksin A 40 112 125 175 335 302 276 268 210 192 139 108 95 Vaksin B 28 107 122 168 305 247 142 128 120 114 93 79 51 Kontrol 38 40 39 38 41 41 38 39 38 38 38 38 39

Gambar 1. Gambaran titer antibodi pascavaksinasi antraks

0 50 100 150 200 250 300 350 400 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 Minggu Elisa unit ( E U)

(4)

Vaksin spora hidup (live spora vaccine) yang disuntikkan pada kambing dapat menginduksi terbentuk antibodi terhadap antraks, hal ini karena spora tersebut akan mengalami germinasi, multiplikasi dan menghasilkan toksin yang terbatas setelah masuk ke dalam tubuh. Komponen inilah yang akan merangsang terbentukkan antibodi anti-PA yang merupakan komponen utama dalam proteksi terhadap antraks (TURNBULL et al., 1998), disamping itu komponen spora juga dapat berperanan dalam proteksi terhadap penyakit ini (COHEN et al., 2000 ; BROSSIERet al, 2002).

Vaksin untuk penelitian ini menggunakan seed vaksin dan mempunyai kandungan spora dengan jumlah yang sama, tetapi adjuvan yang digunakan adalah saponin dengan konsentrasi berbeda, yaitu 0,05% (vaksin A) dan 0,02% (vaksin B).

Titer antibodi akan naik pada minggu ke-2, 112 EU (vaksin A) dan 107 EU (vaksin B). Titer optimal akan tercapai pada minggu ke-8, 335 EU (vaksin A) dan 305 (vaksin B), selanjutnya akan mengalami penurunan sampai minggu ke-24, 95 EU (vaksin A) dan 51 EU (vaksin B). Hasil ini menunjukkan bahwa vaksin spora hidup dapat menginduksi terbentuk antibodi anti-PA, dimana antibodi ini yang akan menghambat penempelan protektif antigen (PA) pada sel, sehingga komponen toksin lain seperti edema factor (EF) dan lethal factor (LF) tidak dapat menempel pada sel dan ini akan melindungi hewan dari efek toksin anthtax yang mematikan (COHEN et al, 2000; TURNBULL et al., 1998). Data di atas mengambarkan bahwa vaksin A dapat menginduksi terbentuknya antibodi lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin B. Vaksinasi ulang sebaiknya dilakukan minimal pada minggu ke-22 untuk vaksin B dan minggu ke-24 untuk vaksin A, hal ini karena titer antibodi sudah sangat rendah.

KESIMPULAN

Vaksin antraks lokal dapat menginduksi terbentuknya antibodi, dimana titer mulai naik pada minggu ke-2, kemudian mencapai titer optimal pada minggu ke-8 dan akan turun secara bertingkat hingga mencapai titer rendah pada minggu ke-24. Vaksin A dapat menginduksi terbentuknya antibodi lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin B.

DAFTAR PUSTAKA

BROSSIER,F.M.,LEVY and M.MOCK. 2002. Anthrax spores make an essential contribution to vaccine efficacy. Infect. Immun. 80(2): 661 – 664.

COHEN,S.,I.MENDELSON,Z.ALTHOUM,D.KOHLER, E.ETHANANY,T.BINO,M.LEITNER,I.INBAR, H. ROSENBERG, Y. GOZES, R. BARAK, M. FISHER, C. KRONMAN, B. VELAN and A. SHAFFERMAN. 2000. Attenuated nontoxigenic and nonencapsulated recombinant Baciilus anthracis spore vaccines protect against anthrax. Infect. Immun. 68: 4549 – 4558. OFFICE INTERNATIONAL DES EPIZOOOTIES, 2004.

Anthrax. In : Manual of Standards Diagnostic and Vaccines, World Health Organization, 235 – 239.

SIREGAR, E.A. 2002. Antraks: sejarah masa lalu, situasi pada saat ini, sejarah diagnosa dan kecenderungan perkembangan ilmu di masa depan. Simposium sehari Penyakit Antraks: Antraks di Indonesia, Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Depan. Bogor, 17 Juli 2002. Balitvet, Bogor.

TURNBULL, P.C.B., R. BOHM, O. COSIVI, M. DOGANAY, M.E. HUGH JONES, D.D. JOSHI, M.K. LALITHA and V DEVOS. 1998. Guidelines for the Surveillance and Control of Anthrax in Humans and Animals, 3rd Ed. Departement of Communicable Disease Surveillance and Response, World Health Organization. pp. 51 – 61.

WHO. 1967. Requirements for anthrax spore vaccine (live – for veterinary use) (requirements for biological substances no. 13). World Health Organization Technical Report Series 1967; No. 361.

(5)

DISKUSI Pertanyaan:

1. Kejadian anafilaksi post valesinasi?

2. Post vaksinasi anthraks kadang-kadang terjadi reaksi anafilaksis jelaskan? 3. Terapinya apa?

Jawaban:

1. Faktor individual. 2. Histamin.

Gambar

Tabel 1. Hasil ELISA terhadap serum kambing sebelum dan pascavaksinasi antraks  Minggu  Vaksin  0  2  4  6  8  10  12  14 16 18 20 22 24  Vaksin  A  40  112 125 175 335 302  276  268 210 192 139 108 95  Vaksin  B  28  107 122 168 305 247  142  128 120 114

Referensi

Dokumen terkait

Keadaan kegemukan pada seseorang yang terjadi tanpa sebab penyakit secara jelas, tetapi semata-mata disebabkan oleh interaksi faktor genetik dan lingkungan Paling sering

Penelitian dalam tugas akhir ini berjudul “Pengaruh Ekstrak Alpukat (Persea Americana) Terhadap Penurunan Kadar Low Density Lipoprotein (LDL) Pada Tikus Putih

Tingkat kecemasan yang paling banyak dialami pada mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura dalam menghadapi ujian skripsi adalah kecemasan ringan.. Peneliti

Analisis Hasil Tes Diagnostik Wawancara peserta didik terindikasi miskonsepsi Penyusunan laporan Instrumen siap digunakan Validasi oleh validator ahli Penyusunan instrumen

Bobot polong segar (ton ha -1 ) varietas Saka lebih tinggi dan berbeda dengan varietas Peleton, perlakuan mulsa jerami padi terlihat memberikan hasil tertinggi (36,92 ton

Prospektus Final, Formulir Pemesanan Pembelian Saham Tambahan (“FPPS Tambahan”) dan formulir lainnya tersedia dan dapat diperoleh pemegang saham di kantor BAE, yaitu PT

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang peneliti lakukan dengan seorang guru bidang studi PENJASORKES di SMP Methodist Pekanbaru diperoleh informasi bahwa

Lama pemasakan merupakan tahap pengolahan yang paling penting dalam pembuatan permen yaitu untuk memanaskan dan melarutkan semua bahan yang akan berpengaruh pada