• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. Pendahuluan UKDW. Tobelo ditetapkan menjadi Ibukota Kabupaten Halmahera Utara. 4

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I. Pendahuluan UKDW. Tobelo ditetapkan menjadi Ibukota Kabupaten Halmahera Utara. 4"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

Pendahuluan

I.1 Latar Belakang

Halmahera Utara adalah pulau terbesar yang terdapat di Maluku Utara. Penduduk Halmahera Utara terdiri dari beberapa suku: suku Kao, suku Pagu, suku Modole, Boeng, Towiloko, Tobelo, Galela dan Loloda. Secara administrasi pemerintahan, Kabupaten Halmahera Utara terdiri dari sembilan kecamatan, yakni: kecamatan Loloda Utara, kecamatan Morotai Utara, kecamatan Morotai Selatan, kecamatan Morotai Barat, kecamatan Galela, kecamatan Kao dan kecamatan Malifut.1 Masyarakat yang tinggal di Halmahera Utara dapat dikatakan memiliki hubungan kekeluargaan satu dengan yang lainnya. Walaupun berasal dari suku dan agama yang berbeda-beda, tetapi masyarakat Halmahera Utara khususnya di Tobelo dapat mempertahankan kerukunan di antara masyarakat dalam hidup bersosialisasi.2

Tobelo adalah salah satu wilayah kecamatan yang terletak di Kawasan Utara sebelah timur pulau Halmahera. Dalam konteks provinsi Maluku Utara, wilayah kecamatan Tobelo merupakan kota kedua terbesar setelah kota Ternate. Sedangkan dalam konteks Halmahera Utara, wilayah kecamatan Tobelo merupakan pusat ekonomi dan perdagangan bagi kecamatan-kecamatan di Halmahera Utara dan sekitarnya.3 Ketika pemekaran kabupaten dalam kawasan Provinsi Maluku Utara, wilayah kecamatan Tobelo ditetapkan menjadi Ibukota Kabupaten Halmahera Utara.4

Sejak abad XII orang Tobelo telah mengenal sistem kekerabatan, melalui pembangunan o halu, yaitu rumah adat. Pada masa itu masyarakat Tobelo menempati

o halu bersama. Apabila dalam perkembangannya, terdapat pertambahan anggota dalam keluarga (menikah atau ada keluarga jauh datang berkunjung) maka bentuk rumah pun ada berubah menjadi lebih besar, yaitu di bagian samping rumah dibangun bangun kecil untuk ditempati anggota baru, jika pertambahan anggota terus terjadi

1Ruddy Tindage, Damai yang Sejati :(Rekonsiliasi Di Tobelo, Kajian Teologi dan Komunikasi), ( Jakarta :

YAKOMA-PGI, 2006). Hal 6.

2 Ebin Eyzer Danius, Hubungan Kristen – Islam pasca konflik di Halmahera dan implikasinya bagi upaya

pembangunan jemaat, (Tobelo: Tesis Universitas Halmahera, 2008). Hal.1

3Ruddy Tindage, Damai yang Sejati. Hal 19

4Dalam tulisan ini, saya akan lebih memfokuskan pada kota Tobelo. Alasannya, wilayah Tobelo merupakan

daerah yang mengalami konflik antar Islam dan Kristen. Dan di daerah ini pula berlangsung proses rekonsiliasi sesudah konflik tersebut.

(2)

2

maka bentuk rumah tersebut akan semakin besar. Pada bagian tengah rumah dijadikan tempat musyawarah. Selain sebagai tempat musyawarah, juga sering digunakan sebagai tempat pemujaan kepada kaum leluhur. Dengan semakin bertambahnya jumlah anggota dan juga kegiatan yang dilaksanakan, maka bangunan tersebut tidak memungkinkan lagi dijadikan tempat musyawarah. Kemudian didirikanlah tempat yang ukurannya lebih besar dari bangunan O Halu, yaitu Hibualamo. Secara etimologi, kata Hibualamo berasal dari dua kata bahasa Tobelo, yaitu Hibua yang artinya rumah, dan Lamo yang artinya besar. Jadi Hibualamo berarti Rumah Besar.

Kontruksi Hibualamo berbentuk segi delapan, tanpa dinding. Untuk atapnya digunakan daun woka (palem hutan).5 Sebagai rumah besar yang dapat menampung banyak orang, Hibualamo tidak hanya berfungsi sebagai tempat musyawarah atau pemujaan kepada kaum leluhur tetapi kini digunakan juga sebagai tempat pertemuan, makan dan minum bersama baik untuk acara adat, kegiatan sosial maupun agama. Dalam perkembangannya, Hibualamo kini menjadi falsafah hidup masyarakat adat Tobelo. Rumah Adat ini menjadi pemersatu keperbedaan suku dan agama yang ada di Tobelo.

Konflik tahun 1999-2000 telah memberikan kenangan tersendiri bagi masyarakat Tobelo. Rekonsiliasi telah dilakukan, namun konflik-konflik kecil masih sering terjadi di kalangan masyarakat antar agama. Konflik yang sering terjadi di Maluku Utara dan sekitarnya telah mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat, khususnya dalam hal emosi dan tanggapan akan adanya konflik-konflik yang akan terjadi, walaupun telah dilaksanakan rekonsiliasi yang bertempat dilapangan Hibualamo, pada tanggal 19 April 2001, prosesi dan acara yang dilakukan menggunakan adat Hibualamo. Pola hidup Hibualamo telah membudaya dan mewarnai kehidupan masyarakat Tobelo hingga saat ini.6

Konflik antar agama Islam dan Kristen yang terjadi di Halmahera Utara diawali dengan tersiar kabar bahwa telah terjadi penyerangan di kota Ambon dan akan berlanjut ke kota Tobelo. Untuk menangkal isu yang beredar, beberapa kelompok elit, di antaranya tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda baik yang berada di Tobelo maupun di Galela, membentuk kelompok dengan tujuan untuk semakin mempererat solidaritas hubungan antar umat beragama. Kelompok yang berada di Tobelo dibentuk dengan

5 Ruddy Tindage, Damai yang Sejati. Hal 23-24. 6

Ruddy Tindage, Damai yang Sejati. Hal 24

(3)

3

nama Generasi Muda Hibualamo (GEMAHILO) dan forum solidaritas masyarakat Halmahera Utara (FSMHU), dan kelompok yang di bentuk di Galela adalah ikatan kerukunan keluarga masyarakat Galela (IKKMG) dengan nama dalam bahasa Galela

sariloha yang artinya persekutuan yang indah.7

Selain para tokoh masyarakat, pihak gereja (GMIH) pun mengeluarkan himbauan kepada seluruh warga GMIH agar waspada terhadap isu-isu yang beredar pada saat itu, agar warga tidak dengan cepat terpengaruh. Selain itu GMIH juga menghimbau kepada gereja-gereja setempat untuk lebih lagi menjalin hubungan yang erat dengan agama lain, hal demikian pun dilakukan oleh pihak Islam.

Pada pertengahan tahun 1999 konflik terjadi antar warga masyarakat di Halmahera Utara. Konflik awalnya terjadi di Kecamatan Malifut, penyebabnya karena dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 1999 tentang pembentukan dan penataan kembali wilayah Kecamatan di Kabupaten Maluku Utara, sebagian masyarakat tidak menerima dengan batas wilayah yang diberlakukan. Kondisi ini terus dipicu oleh konflik antara masyarakat Kao, serta konflik di Tidore, Ternate, Halmahera Selatan dan Halmahera Tengah. Ketidakpuasaan masyarakat tersebut terus berkembang dan menjadi konflik nuansa keagamaan, keadaan semakin diperburuk dengan beredarnya sebuah surat palsu yang seolah-olah dikirim dari sinode GPM8 (Gereja Protestan di Maluku) sebagai peta penyerangan dari warga Kristen.9

Pada tanggal 26 Desember 1999, terjadi ledakan sebuah bom di sekitar lapangan Karianga di Dusun Gosoma, peristiwa ini menjadi pemicu terjadinya konflik di kota Tobelo.10 Sejak itu konflik meluas dalam kota, kemudian menjalar ke desa-desa, terutama yang berpenduduk Islam dan Kristen.11 Hal tersebut membuat suasana aman yang dulunya terjalin kini berubah, yang ada hanyalah saling membenci. Slogan ngone oria dodoto yang berarti kita semua bersaudara, seperti sudah terlupakan. Kekeluargaan yang terjalin selama ini pun terputus dan yang terjadi hanyalah

membunuh atau dibunuh. Alasan mereka membunuh orang yang mereka kenal adalah

7Ruddy Tindage, Damai yang Sejati. Hal. 10.

8Isi surat adalah laporan penempatan seorang vikaris yang dilengkapi dengan lampiran peta yang ditugaskan

ke GPM Ternate. Namun kemudian lampiran peta itu diubah judulnya menjadi peta penyerangan. 9Ebin Eyzer Danius, Hubungan Kristen – Islam. Hal.1-2

10Waktu peristiwa ini terjadi penulis pun berada di kota Tobelo dan ikut merasakan ketegangan yang ada

pada waktu itu.

11Julianus Mojau, Pedoman Liturgi Gereja Masehi Injili di Halmahera. (Halmahera: Yayasan Percis, 2010)

Hal.15.

(4)

4

dia bukan saudara saya, karena dia berbeda agama dengan saya. Itulah pemahaman masyarakat Tobelo selama konflik berlangsung tahun 1999-2000.

Konflik yang terjadi di kota Tobelo tidak terlepas dari adanya pengaruh agama. Perbedaan yang dahulu menjadi kesatuan yang indah dan saling melengkapi, kini berubah menjadi alasan bagi masyarakat setempat menjalankan misi mereka untuk ‘membunuh dan dibunuh’. Masing-masing orang menyebut nama Tuhan mereka sebelum membunuh orang lain, dan tidak lagi melihat apakah dia orang yang saya kenal, apakah dia saudara saya, apakah dia tetangga saya. Yang ada dalam pikiran mereka adalah “saya harus membunuh orang-orang yang berbeda agama dengan saya, karena mereka berbahaya bagi agama saya”. Selain karena alasan berbeda keyakinan, keterlibatan politik pun menjadi faktor terjadinya perpecahan.

Pada tahun 2000 pasca konflik, orang enggan untuk membicarakan rekonsiliasi, karena diancam oleh masyarakat setempat. Bagi masyarakat belum saatnya rekonsiliasi dibicarakan dengan kondisi yang masih penuh dengan kebencian dan dendam. Kondisi demikian tidak hanya terjadi di kalangan Kristen, di kalangan Islam pun demikian hal ini disampaikan oleh Djalaludin Hamdja. Namun usaha mempertemukan pihak Islam dan Kristen setelah konflik tetap dilaksanakan, masih dalam keadaan yang tertutup, beberapa bentuk pertemuan yang dilakukan melalui lokakarya atau yang disebut resolusi konflik, bertempat di kota Manado pada tanggal 1-3 April 2000. Pada hari berikutnya juga, yakni tanggal 4-5 April 2000 dilaksanakan pertemuan bersama dengan Ikatan Keluarga Halmahera Utara (IKAHALUT) yang bertempat di kota Manado. Pertemuan IKAHALUT dihadiri oleh para tokoh masyarakat, tokoh agama, politisi, mahasiswa dan tokoh pemuda. Dalam pertemuan kali ini telah dibuat kesepakatan untuk upaya rekonsiliasi, dan saat itu juga membicarakan bahwa akan dilaksanakannya pemekaran kabupaten Halmahera Utara.12 Upaya rekonsiliasi juga dilakukan oleh pihak aparat setempat, yakni dengan dilaksanakan acara silahturahmi pada tanggal 9 dan 10 Agustus 2000 dari pihak aparat TNI kesatuan 401 Banteng Raiders yang bertugas di Tobelo saat itu untuk menjaga keamanaan, dengan dihadiri oleh para kaum elit, yakni para tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat.13

12Ruddy Tindage, Damai yang Sejati. Hal. 56. 13

Ruddy Tindage, Damai yang Sejati. Hal 64.

(5)

5

Masih ada juga kegiatan lainnya dalam menunjang agar terlaksananya sebuah rekonsiliasi, antara lain pertemuan dan dialog Islam dan Kristen yang dilaksanakan di desa Mamuya,14 yang dibagi dalam tiga sesi, yaitu perjumpaan Mamuya-1, berlangsung hari Rabu, 11 Oktober 2000, Perjumpaan Mamuya-2, pertemuan ini merupakan lanjutan dari perjumpaan pertama, berlangsung hari Sabtu, 18 November 2000, dan perjumpaan Mamuya-3, pada tanggal 24 Desember 2000, berlangsung ditempat yang sama dengan pertemuan kedua.15

Perjumpaan tersebut kemudian diikuti dengan serangkain perjumpaan dan dialog antara pihak Islam dan Kristen bertempat di Tobelo, Galela dan Morotai untuk melaksanakan rekonsiliasi. Akhir tahun 2000 masih tetap dilaksanakan pertemuan-pertemuan antar agama sampai memasuki tahun 2001 proses rekonsiliasi dilakukan. Tanggal 19 April 2001, rekonsiliasi berhasil dilaksanakan di tempat terbuka, yakni di lapangan Hibualamo Tobelo. Salah satu faktor pendukung rekonsiliasi ini berhasil, yakni karena dilaksanakan dilokasi terbuka, maka upacara deklarasi tersebut disaksikan langsung oleh warga masyarakat Tobelo.16 Tujuan dilaksankannya rekonsiliasi di lapangan Hibualamo, tidak terlepas dari falsafah masyarakat Tobelo dan juga pola hidup masyarakat setempat yang masih sangat dipengaruhi oleh adat. FungsiHibualamo itu sendiri adalah tempat orang-orang berkumpul, untuk merayakan pesta adat dan musyawarah untuk lebih mempersatukan suku Tobelo, pemahaman bagi masyarakat Tobelo, ketika melaksanakan pertemuan dan apapun hasil keputusan yang telah disepakati dalam pertemuan adat itu, maka sudah menjadi kewajiban semua warga Tobelo untuk mematuhi kesepakatan tersebut. Itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa rekonsiliasi dapat berhasil, karena rekonsiliasi dilaksanakan di lapangan Hibualamo dan dikatakan berhasil.

Jika diamati ternyata rekonsiliasi ini telah memberikan dampak yang positif bagi masyarakat Tobelo yang berkonflik. Masyarakat Kristen dan Islam mengatakan ingin berdamai dan tidak akan lagi melakukan tindakan-tindakan anarkis. Rekonsiliasi yang dilaksanakan pada tanggal 19April 2001 telah benar-benar terjadi dan dirasakan oleh masyarakat Tobelo. Walaupun dalam kenyataannya konflik-konflik kecil masih sering

14Desa Mamuya merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Galela, letaknya di bagian Selatan dan

berbatasan dengan wilayah Kecamatan Tobelo.

15 Ruddy Tindage, Damai yang Sejati.Hal 73 16

Ruddy Tindage, Damai yang Sejati. Hal 87

(6)

6

terjadi, misalnya seperti pertikaian kaum pemuda antar kedua agama ketika dalam kondisi mabuk alkohol dan masalah sesama anak muda yang sering kali hanya ingin menunjukan kekuatan dari masing-masing kelompok. Kasus lainnya, penembakan, perampokan dan pembunuhan. Namun dari konflik seperti ini tidak memicu warga Tobelo untuk melakukan penyerangan tetapi memilih untuk menenangkan para pemuda yang bertikai. Harus dapat dipahami bahwa sebuah tindakan rekonsiliasi membutuhkan waktu, oleh karena itu harus dapat dipahami apabila sampai saat ini masih ada beberapa orang yang mungkin masih menyimpan kemarahan dan kebencian dalam hati mereka. Penulis berangkat dari apa yang dikatakan oleh Schreiter bahwa yang terpenting dalam sebuah rekonsiliasi adalah siapa yang perlu dilibatkan, apa yang perlu dilibatkan, apa yang perlu diatasi atau dihapuskan, apa yang akan dianggap sebagai kebenaran dan keadilan dalam situasi baru, dan apa yang dipandang sebagai akhir dari proses ini – inilah yang sangat mempengaruhi keberhasilan sebuah rekonsiliasi.17

Jika pada tahun 1999 Halmahera Utara diperhadapkan dengan konflik esternal, maka tepatnya pada tahun 2013 Halmahera Utara khususnya masyarakat GMIH harus kembali merasakan konflik. Jika merunut dari awal konflik yang terjadi, dan hasil penelitian yang penulis lakukan, maka akan terlihat bawa konflik sudah dimulai ketika dilangsungkan pemilihan Badan Pekerja Harian Sinode GMIH (BPHS) dalam sidang sinode Dorume, terjadi penggelembungan suara18. Berawal dari konflik inilah, kini terus berkembang dan menjadi semakin kompleks ketika kelompok Pembaharuan mengeluarkan 28 poin yang diajukan ke BPHS sinode GMIH (selanjutnya akan penulis bahas dalam bab 2). Konflik internal yang terjadi mengakibatkan hubungan antar jemaat tidak lagi terjalin dengan baik, jika ada jemaat yang telah beralih ke sinode Pembaharuan maka ada kemungkinan untuk mempersalahkan sinode GMIH, atau juga sebaliknya. Konflik tersebut telah merugikan jemaat, karena pada akhirnya mereka harus memilih salah satu sinode dan itu telah menciptakan hubungan yang kurang baik. Dari konflik yang terjadi, tim sedang mengupayakan rekonsiliasi, namun harapan akan terciptanya perdamaian belum berhasil sampai saat ini. Permasalahan semakin rumit, ketika sinode GMIH melaksanakan sidang sinode istimewa (SSI) dan memecat para pendeta yang telah bergabung dalam sinode Pembaharuan.

17

Robert J. Schreiter, C.PP.S. Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru. (Ende: Nusa Indah, 2001). Hal 28

18Lampiran III, Hal. 7

(7)

7

Konflik yang terjadi dalam tubuh GMIH saat ini membutuhkan sebuah upaya rekonsiliasi yang lebih menyentuh setiap pribadi yang terlibat dalam permasalahan ini sehingga ada keterbukaan dari masing-masing pihak. Sekarang usaha yang telah dilakukan untuk rekonsiliasi adalah lewat pertemuan formal seperti lokakarya, rapat terbuka dan sejenisnya. Rekonsiliasi yang dilakukan seperti itu hanya akan dihadiri oleh oknum-oknum tertentu atau kaum elit, (pemimpin gereja atau orang penting dalam sinode) dan jarang untuk melibatkan jemaat langsung. Pertemuan yang dilaksanakan di kota Manado merupakan salah satu upaya rekonsiliasi. Peserta yang hadir dalam pertemuan itu adalah enam orang perwakilan dari sinode GMIH, enam orang perwakilan dari sinode Pembaharuan dan perwakilan dari PGI yang bertugas sebagai mediator. Namun setelah pertemuan di Manado dan para peserta kembali di kota Tobelo tidak lagi didampingi oleh tim PGI sebagai perantara. Maka keputusan yang telah disepakati di Manado tidak dapat sepenuhnya dilaksanakan.

Pertemuan seperti itu juga hanya dihadiri oleh para petinggi gereja, bagaimana dengan jemaat yang juga mengalami konflik tersebut? Oleh karena itu, perlu untuk dipikirkan rekonsiliasi seperti apa yang penting dilakukan kepada masyarakat yang juga mengalami secara lebih mendalam luka batin dampak konflik yang terjadi, dalam hal ini kehilangan anggota keluarga, kehilangan harta benda, kehilangan pekerjaan, dan rasa trauma serta kebencian yang masih dialami masyarakat. Tindakan-tindakan anarkis telah terjadi selama konflik GMIH berlangsung. Sehingga sangat perlu untuk menyadari tindakan rekonsiliasi yang memadai.

Pemahaman mereka tentang “kita semua bersaudara” sudah mulai terkikis dengan konflik-konflik yang terjadi di Halmahera Utara terkhususnya di kota Tobelo. Selain alasan ini, kecurigaan yang ada juga disebabkan oleh penyelesaian konflik yang pernah dilakukan belum benar-benar berjalan dengan baik, sehingga untuk menciptakan hubungan baik antar kedua sinode yang berkonflik ini masih sering mengalami kesulitan, Konflik yang telah terjadi, meninggalkan rasa ketakutan tersendiri dan biasanya orang akan melakukan segala cara untuk mempertahankan dirinya agar berada di posisi aman. Peristiwa ini yang juga tercipta dalam umat Kristen di kota Tobelo, yakni bagaimana mereka terus membela kelompoknya sendiri.

(8)

8 I.2 Rumusan Masalah

melihat kondisi seperti ini apa yang dilakukan gereja? apakah masih belum menyadari akan tugas dan tanggung jawabnya dalam mendampingi jemaat untuk bisa mengubah cara pandang jemaat sehingga mau menghormati keberbedaan yang ada. Dalam hal liturgi yang dilakukan setiap hari Minggunya, dapat dikatakan belum menjangkau keberadaan jemaat (liturgi tidak kontekstual) tidak mencoba untuk memberikan gambaran pada jemaat agar mau untuk berdamai dengan lebih sungguh-sungguh. Dari pemaparan latar belakang yang telah disampaikan, maka timbul beberapa pertanyaan : 1. Sejauh konflik ini terjadi apakah telah dilakukan upaya untuk rekonsiliasi dengan

sungguh-sungguh ?

2. Apakah ada keterbukaan dalam upaya rekonsiliasi, sehingga bisa untuk diteliti dan melihat alasan rekonsiliasi masih sulit untuk dilaksanakan ?

3. Apakah mungkin jemaat GMIH untuk dapat kembali bersatu setelah dilaksanakannya rekonsiliasi, dan apakah liturgi bisa menjadi sumbangan dalam proses rekonsiliasi ?

I.3 Batasan Masalah

Penulis mencoba untuk membatasi masalah, dengan lebih memfokuskan pada persoalan yang sedang terjadi dalam tubuh GMIH dan proses rekonsiliasi seperti apa yang dilakukan. Meneliti kembali konflik yang terjadi, berangkat dari pemahaman sinode GMIH dan sinode Pembaharuan yang pada saat ini sedang berkonflik, dengan wawancara kepada kedua jemaat, yakni jemaat Imanuel Mamuya dan jemaat Alfa Omega sebagai perwakilan dari kedua sinode. Alasan penulis memilih kedua jemaat ini sebagai perwakilan, karena yang pertama gedung gereja dari jemaat Alfa Omega memiliki jarak yang sangat dekat dengan kantor sekretariat sinode Pembaharuan, dan dari hasil pengamatan yang dilakukan terlihat bahwa setiap informasi lisan ataupun tulisan yang dikeluarkan dari sinode Pembaharuan akan dengan cepat sampai ke jemaat Alfa Omega. Selain itu dengan adanya konflik yang terjadi jemaat Alfa Omega tetap memfokuskan diri kepada kehidupan pelayanan tanpa harus terpengaruh oleh konflik yang terjadi. Selanjutnya alasan penulisa memilih jemaat Imanuel Mamuya ialah karena penulis melihat bahwa dampak dari konflik yang sedang terjadi di GMIH saat ini dirasakan oleh jemaat Imanuel. Tidak hanya terjadi perpecahan dalam jemaat itu sendiri, tetapi lebih kepada kekerasan fisik ataupun non-fisik yang sudah di alami

(9)

9

jemaat. Dari alasan inilah yang membuat penulis memilih kedua jemaat ini sebagai perwakilan dari kedua sinode. Di awal, penulis telah memberikan gambaran singkat kehidupan masyarakat Tobelo dan konflik yang pernah terjadi.

Judul skripsi :

“Berikanlah Damai-Mu Untuk Melepaskan Kebencian Yang Kami Genggam”

Sub judul :

Tinjauan Teologis Terhadap Proses Rekonsiliasi dalam Konflik di GMIH

I.4 Alasan Pemilihan Judul

Berangkat dari konflik yang terjadi di Tobelo, timbul pertanyaan dan kemudian penulis rumuskan menjadi satu judul, yaitu Berikanlah damai-Mu untuk melepaskan kebencian yang kami genggam. Kata pertama dalam judul skripsi ini adalah “berikanlah” karena penulis merasa bahwa siapa pun menginginkan untuk bisa hidup damai, aman dan hidup saling berdampingan. Penulis melihat bahwa pada dasarnya sebuah keadaan damai telah diberikan oleh Tuhan, tapi manusia yang selalu merasa tidak cukup dengan apa yang telah diberikan, membuat mereka terus berpikir agar Tuhan mau memberikan damaiNya kepada manusia. Dengan adanya konflik interen yang terjadi semuanya telah mengubah kehidupan kekeluargaan yang ada. Biarlah dengan tulisan ini akan sedikit mengubah pemahaman warga GMIH bahwa yang dapat menyelesaikan konflik ini adalah mereka sendiri, mungkin dengan cara bersedia untuk mengakui kesalahan dan mau untuk kembali berdamai.

I.5 Tujuan dan Alasan Penulisan

Saat ini, masyarakat Tobelo khususnya umat Kristiani mendambakan keadaan damai, namun dalam kenyataannya konflik masih sering terjadi, semenjak konflik antar agama tahun 1999-2000, sekarang berlanjut dengan konflik yang terjadi dalam tubuh GMIH sendiri. Tulisan ini akan mencoba untuk meninjau kembali proses rekonsiliasi yang dilakukan dari pihak GMIH ataupun Tim PGI, dan bagaimana rekonsiliasi tersebut bisa terjadi dalam kehidupan orang-orang Tobelo. Berangkat dari falsafah masyarakat Tobelo tentang kebersamaan dalam persekutuan. Slogan “kita semua bersaudara” sudah mulai terlupakan ketika berkonflik.

(10)

10 I.6 Metode Penelitian

Metode yang akan digunakan ialah deskriptif-analitis, dengan mengumpulkan data dilakukan metode kualitatif yaitu dengan wawancara, dan kemudian akan dianalisis untuk bisa menunjang apa yang telah penulis paparkan dalam bab sebelumnya. Penulis juga akan melakukan penelitian lapangan (observasi-partisipatif). Dengan turun langsung ke kota Tobelo dan melalui wawancara dengan masyarakat setempat. Wawancara ditujukan kepada beberapa pendeta dan jemaat yang bisa mewakili kedua sinode. Penelitian ini akan difokuskan kepada jemaat Imanuel desa Mamuya dan jemaat Alfa Omega yang berada di kota Tobelo, karena bagi penulis kedua jemaat ini sudah cukup mewakili kedua sinode yang sedang berkonflik, yang dimana mereka merasakan langsung dampak dari konflik tersebut. Selanjutnya penulis akan mencoba untuk menganalisa sebab akibat dari konflik yang terjadi di GMIH, dan merefleksikan menggunakan literatur-literatur yang berbicara tentang rekonsiliasi

I.7 Sistematika Penulisan Bab I : Pendahuluan

Bab ini berisi pemaparan dan pembahasan mengenai hal-hal yang mencakup latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, alasan pemilihan judul, tujuan dan alasan penulisan, metode penelitian, serta Sistematika penyusunan.

Bab II : Deskripsi Keadaan di Tobelo

Bab ini berisi informasi sejarah GMIH dan konflik antar agama maupun konflik interen yang dialami oleh sinode GMIH, dalam bab ini juga akan dipaparkan sejarah terbentuknya sinode Pembaharuan, dan melihat dampak dari konflik yang terjadi.

Bab III : Istilah Rekonsiliasi dalam Literatur dan Meninjau dari Teks Alkitab Kemudian Direfleksikannya

Bab ini berisi pemaparan dan pembahasan mengenai makna dari rekonsiliasi dan pemaparan ini diawali dengan apa yang dikatakan para tokoh tentang rekonsiliasi

Bab IV : Langkah-langkah Rekonsiliasi yang Telah Dilakukan

Bab ini berisikan interpretasi teologis dan refleksi teologis menyangkut konflik yang sedang berlangsung dan menganalisa proses rekonsiliasi yang telah dilakukan baik

(11)

11

ketika konflik antar agama tahun 1999-2000, maupun konflik interen GMIH. Penulis akan meninjau ulang proses rekonsiliasi yang telah dilakukan apakah benar-benar telah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Dalam langkah menuju rekonsiliasi yang sesungguhnya, maka penulis akan memberikan sumbangan konkrit, ialah liturgi bagi jemaat yang mengalami konflik dan mengharapkan sebuah rekonsiliasi.

Bab V : Kesimpulan

Referensi

Dokumen terkait

observasi/sikap Memperhatikan - Mencatat - Bertanya - Praktik - memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya - Menegaskan materi, menyimpulkan, dan memberikan

a) Melakukan identifikasi kurikulum berjalan untuk memahami aspek, teknik serta indikator materi lingkungan yang telah tercakup di dalam kurikulum SMA IT Nur Hidayah. b)

Program Pembinaan Eks Penyandang Penyakit Sosial (Eks Narapidana, PSK, Narkoba Dan Penyakit Sosial Lainnya) dilaksanakan dengan dasar Undang- Undang Nomor 13 Tahun 1998

Mangga kweni (Mangifera odorata Griff) merupakan salah satu anggota genus Mangifera yang memiliki aroma yang khas pada buah yang telah masak, sehingga mangga

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3685)

Uji Heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari satu observasi ke observasi yang lain, apabila kesalahan

Dalam bukunya Prayitno mengemukakan, Asas kerahasiaan yaitu asas bimbingan dan konseling yang menuntut dirahasiakannya segenap data dan keterangan tentang peserta

Bedasarkan latar belakang masalah d i atas penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang bagaimana upaya guru dalam menanamkan akhlak dermawan di TK ABA 03 Dau