• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENELITIAN UNGGULAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS UDAYANA KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN BADUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN PENELITIAN UNGGULAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS UDAYANA KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN BADUNG"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

Bidang Unggulan: Ketahanan Pangan Kode /Nama Rumpun Ilmu : 561/ Ekonomi Pembangunan

LAPORAN PENELITIAN UNGGULAN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS UDAYANA

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP

KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN BADUNG

TIM PENGUSUL

1. Dr. A.A. I. N. Marhaeni, SE., MS 2. Dra. Putu Martini Dewi, Msi 3. Drs. Made Jember, M.Si 4. Ni Made Tisnawati, SE., MSi

JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS UDAYANA

TAHUN 2013

(2)

HALAMAN PENGESAHAN PENELITIAN UNGGULAN FE UNUD

1. Judul Penelitian : Kajian Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Badung

2. Bidang Unggulan : Ketahanan Pangan 3. Ketua Peneliti

a. Nama Lengkap : Dr. A.A. I. N. Marhaeni, SE.,MS b. Jenis Kelamin : Perempuan

c. NIP/NIDN : 196212311986012001/0031126264 d. Pangkat/Gol : Pembina Tingkat I/IV C

e. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala

f. PS/Fakultas : Ekonomi Pembangunan

g. Alamat : Jln. Gelogor Carik Gang Panda No. 11 Denpasar h. Telepon/E-mail : 08123983436/marhaeni_agung@yahoo.com

.

4. Jumlah anggota peneliti : 3 orang 5. Jumlah mahasiswa : 2 orang 5. Lama penelitian keseluruhan: 4 bulan

6. Jumlah biaya yang diajukan: Rp. 10.000.000,- Denpasar, 24 April 2013 Mengetahui, Ketua Jurusan EP Universitas Udayana Ketua Peneliti,

(Prof. Dr. Made Suyana Utama,SE,.MS) (Dr. A.A.I.N. Marhaeni, SE., MS)

NIP. 19610901 198601 1 001 NIP.196212311986012001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Udayana

(Prof. Dr. I Gusti Bagus Wiksuana,SE,.MS) NIP. 195404291983031002

(3)

ABSTRAK

Untuk dapat mencapai tujuan pembangunan nasional yaitu masyarakat adil dan makmur seperti apa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, maka masalah ketahanan pangan menjadi isu yang sangat penting untuk diantisipasi. Jika ketahanan pangan tidak dapat dijaga oleh pemerintah sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk itu, maka dapat dikatakan telah terjadi kegagalan dalam usaha mencapai tujuan pembangunan bangsa. Pangan merupakan kebutuhan paling vital bagi manusia untuk hidup, dengan demikian penelitian tentang ketahanan pangan menjadi sangat penting untuk dilakukan mengingat ada kecenderungan jumlah konsumsi beras tidak mampu dipenuhi oleh hasil produksi dari daerah/kabupaten sendiri.

Melihat pentingnya kegiatan untuk melakukan kajian terhadap ketahanan pangan di Kabupaten Badung, maka dapat dirumuskan tujuan dalam penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui kondisi rata-rata persediaan pangan khususnya beras di Kabupaten Badung; 2) Untuk mengkaji pandangan pimpinan Bulog di Kabupaten Badung tentang kecukupan pangan khususnya beras dari produksi daerah sendiri baik untuk saat ini maupun masa yang akan datang; 3) Untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang diambil selama ini oleh pemerintah daerah Kabupaten Badung dalam menjaga ketahanan pangan khususnya beras; 4) Untuk menganalisis peran ketersediaan air untuk irigasi, biaya pajak bumi dan bangunan, harga produk pertanian, tingkat kecepatan dalam memperoleh penghasilan, dan ketersediaan saprotan terhadap konversi lahan pertanian di Kabupaten Badung;5) Untuk mengkaji pengaruh konversi lahan pertanian dan pertumbuhan penduduk terhadap ketahanan pangan khususnya beras di Kabupaten Badung.

Untuk menjawab tujuan penelitian, akan dilakukan penelitian di Kabupaten Badung dengan jumlah responden sebanyak 50 orang petani yang telah mengkonversi atau menjual tanah pertaniannya untuk kegiatan ekonomi lainnya, dengan rincian masing-masing 10 orang di setiap kecamatan. Metode pengambilan sampel yang digunakan baik untuk responden petani maupun bagi para informan (seperti dari Bulog) adalah purposive sampling yang dikombinasikan dengan

accidental sampling. Metode pengumpulan data yang digunakan ada berbagai metode yaitu

observasi, wawancara, dan wawancara mendalam. Sebelum pengumpulan data dilakukan, uji validitas dan uji reliabilitas dilakukan terhadap instrumen penelitian yang akan digunakan dalam mengumpulkan data. Teknik analisis yang digunakan adalah kombinasi teknik statistik deskriptif baik distribusi frekuensi tunggal maupun tabulasi silang dan teknik statistik asosiatif yaitu teknik regresi linear berganda untuk melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen seperti dalam tujuan ke 3 dan 5. Selain itu juga dilakukan analisis kualitatif atau deskriptif berdasarkan hasil indepth interview yang diperoleh dari informan maupun responden.

Hasil penelitian menunjukkan : 1) tidak ada persoalan kecukupan pangan di Kabupaten Badung, kabupaten ini dapat dikatakan mengalami surplus beras dari hasil produksi sendiri; 2) pimpinan Bulog menyatakan tidak ada kekhawatiran mengenai kekurangan pangan di Kabupaten ini karena selalu ada perdagangan antar pulau yang akan membantu ketersediaan pangan; 3) banyak usaha yang dilakukan oleh Kabupaten Badung untuk menjaga ketahanan pangan seperti program intensifikasi dan ekstensifikasi; 4) Ada 3 variabel yang berpengaruh signifikan terhadap konversi lahan pertanian yaitu ketersediaan air yang memiliki pengaruh negative yang berarti semakin tinggi ketersediaan air maka semakin rendah konversi lahan, persepsi tentang PBB berpengaruh positif yang berarti semakin tinggi persepsi tentang PBB maka semakin tinggi pula kemungkinan konversi lahan yang dilakukan, dan kecepatan dalam memperoleh penghasilan berpengaruh negatif yang berarti semakin cepat kemungkinan memperoleh penghasilan di sektor pertanian, maka semakin rendah konversi lahan yang dilakukan demikian sebaliknya.

(4)

Beberapa saran yang dapat disampaikan antara lain: 1) Melakukan pengendalian pertumbuhan penduduk di Kabupaten Badung, mengingat tingkat pertumbuhan penduduk di kabupaten ini sangat tinggi bahkan tertinggi di Provinsi Bali, dan pertumbuhan penduduk merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi ketahanan pangan suatu daerah. Pengendalian pertumbuhan penduduk dapat dilakukan dengan melakukan berbagai upaya baik secara langsung maupun tidak langsung. 2) Melakukan berbagai upaya untuk membantu agar petani tidak melakukan konversi lahan pertaniannya dan tetap mengusahakannya menjadi lahan pertanian, misalnya melalui keringanan dalam pembayaran pajak PBB, dan pemerintah daerah dapat membantu meringankan beban mereka. 3) Ketersediaan air untuk irigasi sawah para petani menjadi hal yang sangat penting mengingat dari hasil penelitian, ketersediaan air berpengaruh negatif signifikan terhadap konversi lahan pertanian. Perbaikan irigasi seperti yang telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah harus tetap dipertahankan dan malahan harus dicari cara-cara untuk meningkatkan volume air selain untuk irigasi lahan sawah yang baru juga sangat perlu untuk sawah yang lama, sehingga dapat mengerem petani untuk tidak mengkonversikan lahan pertaniannya ke penggunaan lainnya.

(5)

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Untuk dapat mencapai tujuan kemerdekaan dan pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini yaitu mencapai masyarakat yang adil dan makmur material dan spiritual, maka ketahanan pangan menjadi isu yang sangat penting untuk dapat mencapai cita-cita tersebut. Ketahanan pangan sudah menjadi isu dunia terutama di negara-negara yang sedang berkembang dan sering mengalami persoalan dalam hal ketahanan pangan yang dicerminkan oleh kasus-kasus kelaparan. Sesuai dengan Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, yang dimaksud dengan Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 tahun 2006 Tentang Dewan Ketahanan Pangan, menjadi cermin bahwa ketahanan pangan menjadi prioritas dalam pembangunan bangsa Indonesia untuk dapat mencapai tujuan pembangunan nasional. Tujuan keberadaan Dewan Ketahanan Pangan ini adalah untuk membantu presiden dalam menjaga ketahanan pangan nasional.

Banyak faktor yang ikut terlibat dalam persoalan ketahanan pangan. Salah satu faktor yang paling penting adalah berkaitan dengan isu tentang pertumbuhan penduduk yang terus mengalami kecenderungan peningkatan. Data terakhir menunjukkan pertumbuhan penduduk di Provinsi Bali terus mengalami peningkatan, bahkan berdasarkan hasil Sensus Penduduk yang terakhir tahun 2010 menjadi 2,15 persen, meningkat dari 1,26 persen pada periode Sensus Penduduk sebelumnya. Berdasarkan Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa semua kabupaten/kota mengalami peningkatan pertumbuhan penduduk, bahkan Kota Denpasar dan Kabupaten Badung mengalami peningkatan yang sangat tinggi. Petumbuhan penduduk yang meningkat dengan drastis ini tidak dapat dipungkiri karena persoalan migrasi penduduk. Kondisi migrasi ini pasti akan menambah beban dalam hal ketahanan pangan. Secara rinci tingkat pertumbuhan penduduk di seluruh kabupaten/kota dilihat pada Tabel 1.1.

Selain persoalan pertumbuhan penduduk yang mempengaruhi ketahanan pangan di Provinsi Bali, juga terkait dengan masalah persoalan luas lahan pertanian yang juga terus mengalami penurunan akibat konversinya ke penggunaan lain. Persoalan pangan ini sebenarnya sudah menjadi pembicaraan pada saat penduduk dunia tidak sebanyak sekarang ini. Apa yang

(6)

dikatakan oleh Malthus akan dapat menjadi suatu kenyataan jika tidak ada usaha-usaha yang mengarah kepada pelipatgandaan nyata hasil produksi pertanian melalui penggunaan teknologi yang tepat. Malthus (1798) menyatakan bahwa penduduk bertambah dengan deret ukur (eksponensial) dan makanan bertambah dengan deret hitung/aritmatika (Tawakal, 2011). Dengan pandangan Malthus tersebut dunia akan sangat rentan mengalami defisit pangan, yang berarti persoalan kelaparan dapat dikatakan menjadi sebuah ancaman bagi penduduk dunia. Kenyataan menunjukkan beberapa daerah/wilayah di Indonesia memiliki catatan mengalami kelaparan terutama saat kekeringan melanda wilayah-wilayah tersebut, demikian pula kelaparan di berbagai negara merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri (BKKBN dan PPK&PSDM Unud, 2012). Masalah ketahanan pangan tidak hanya berkaitan dengan luas lahan pertanian yang dapat menghasilkan bahan-bahan makanan, namun sangat erat kaitannya dengan penduduk yang membutuhkan makanan tersebut. Jika pertumbuhan penduduk lebih rendah daripada pertumbuhan bahan pangan, maka mungkin ketahanan pangan tidak menjadi persoalan yang besar, namun jika terjadi hal yang sebaliknya, maka dapat dipahami kelaparan akan dapat menjadi ancaman. Tingkat pertumbuhan penduduk seperti dalam Tabel 1.1 yang terus meningkat di semua kabupaten/kota, dan luas lahan pertanian yang cenderung berkurang tidak menutup kemungkinan ketahanan pangan di Provinsi Bali mengalami masalah, jika tidak dilakukan usaha-usaha atau kebijakan yang tepat untuk mengatasinya.

Tabel 1.1: Perkembangan Tingkat Pertumbuhan Penduduk Tahun 1990, 2000, dan Tahun 2010 di Kabupaten atau Kota di Provinsi Bali (Jiwa) No Kabupaten/ kota Pertumbuhan penduduk

1990-2000 (%) Pertumbuhan penduduk 2000-2010 (%) 1 Jembrana 0,63 1,22 2 Tabanan 0,73 1,12 3 Badung 2,33 4,63 4 Gianyar 1,56 1,81 5 Klungkung 0,31 0,94 6 Bangli 0,94 1,06 7 Karangasem 0,49 0,97 8 Buleleng 0,33 1,12 9 Denpasar 3,20 4,00 10 Provinsi Bali 1,26 2,15

Sumber: BPS Bali, 1992, 2002, dan 2011 dalam Marhaeni, 2011

Untuk dapat mengetahui apakah suatu daerah baik kabupaten/kota maupun provinsi memiliki katahanan di bidang pangan salah satu hal yang dapat dilihat adalah bagaimana perbandingan antara produksi dan konsumsi daerah yang bersangkutan untuk produk pangan

(7)

tertentu. Menurut Undang-undang RI No.7 tahun 1996 Tentang Pangan, yang dimaksud dengan pangan dalam arti luas adalah mencakup makanan dan minuman, hasil-hasil tanaman dan ternak, serta ikan baik produk primer maupun olahan. Untuk masyarakat di Provinsi Bali dapat dikatakan beras sebagai pangan utama yang harus tersedia setiap saat, tidak saja untuk kebutuhan pangan atau makanan, namun juga untuk kebutuhan upacara. Dengan demikian beras yang dibutuhkan tentunya akan lebih banyak jika dibandingkan hanya untuk dikonsumsi (makan).

Data produksi beras atau padi di Provinsi Bali bervariasi menurut kabupaten/kota yang ada. Jumlah produksi padi atau beras berkaitan erat dengan luas lahan pertanian yang dimiliki oleh masing-masing kabupaten/kota. Secara umum semakin luas lahan pertanian khususnya sawah yang dimiliki oleh daerah, maka ada kecenderungan semakin banyak pula jumlah produksi padi atau beras yang dihasilkan, demikian sebaliknya. Berikut disampaikan jumlah produksi padi/beras menurut kabupaten/kota di Provinsi Bali pada tahun 2011.

Tabel 1.2: Jumlah Produksi Padi Sawah, Luas Panen, dan Rata-rata Produksi Per Hektar Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2011

No Kabupaten/Kota Produksi Padi (ton) Luas Panen (Ha) Rata-rata Produksi Per Ha (Kw/Ha) Rata-rata konsumsi beras/kapita (kg)* 1 Jembrana 49.190 8.447 58,23 109,68 2 Tabanan 210.762 40.859 51,58 112,92 3 Badung 124.238 19.954 62,26 93,12 4 Gianyar 180.676 32.074 56,33 108,12 5 Klungkung 31.254 5.749 54,36 112,20 6 Bangli 30.948 6.329 48,90 114,36 7 Karangasem 77.659 11.915 65,18 118,08 8 Buleleng 127.798 22.950 55,69 112,20 9 Denpasar 25.792 4.308 59,87 79,20 10 Provinsi Bali 858.316 152.585 56,25 103,32

Sumber: BPS, Bali Dalam Angka, 2012 *) Angka Sementara Intern BPS

Data Tabel 1.2 menunjukkan bahwa jumlah produksi padi sangat bervariasi menurut kabupaten/kota, dan Kabupaten Tabanan memiliki jumlah produksi padi paling banyak dengan luas panen juga paling luas. Kondisi ini memberikan julukan pada Kabupaten Tabanan sebagai Lumbung Beras-nya Bali. Dalam hal ini terlihat bahwa luas panen (ha) berkorelasi dengan jumlah produksi padi yang dihasilkan, yang juga dapat diartikan jika luas lahan atau luas panen berkurang, misalnya karena terjadi konversi lahan pertanian untuk fungsi yang lainnya, maka

(8)

dapat diperkirakan jumlah produksi padi akan terpengaruh yaitu juga mengalami penurunan. Ketahanan pangan juga akan dapat terpengaruh akibat penurunan jumlah produksi padi. Jumlah produksi padi seperti yang telah disampaikan dalam Tabel 1.2, jumlahnya akan berkurang jika sudah menjadi beras, karena memiliki nilai konversi tertentu dari padi menjadi beras.

Data yang menyatakan rata-rata konsumsi beras per kapita per tahun di masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Bali terlihat sangat bervariasi. Satu pola yang terlihat untuk Kabupaten Badung dan Kota Denpasar rata-rata konsumsi beras per kapita paling rendah dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Kondisi ini dapat mengidentifikasikan bahwa variasi makanan dalam satu wilayah akan mempengaruhi jumlah beras yang dikonsumsi oleh masyarakat. Ada kecenderungan semakin bervariasi makanan yang tersedia, maka konsumsi beras menjadi cenderung menurun, demikian sebaliknya. Untuk dapat mengetahui perbandingan antara jumlah produksi padi/beras dan konsumsi beras untuk dapat menyimpulkan terjadi kekurangan atau kelebihan produksi di masing-masing kabupaten/kota, data jumlah rata-rata konsumsi beras per kapita per tahun harus dikalikan dengan jumlah penduduk yang ada pada tahun yang bersangkutan. Nilai atau jumlah beras dari hasil perkalian jumlah penduduk dengan rata-rata konsumsi beras per kapita/tahun di masing-masing kabupaten/kota menunjukkan jumlah kebutuhan beras di kabupaten/kota tersebut pada satu saat tertentu.

Berdasarkan data yang dapat tersedia jumlah konsumsi beras seluruh penduduk di Provinsi Bali, dan dibandingkan dengan jumlah beras yang mampu diproduksi oleh daerah sendiri, ada kecenderungan terus mengalami kekurangan dari tahun ke tahun.

Tabel 1.3: Kondisi Produksi dan Konsumsi Beras Tahun 2006-2010 di Provinsi Bali No Tahun Produksi beras

(ton) Konsumsi Beras (ton) Selisih (ton) 1 2006 462473,46 456097,5 6375,96 2 2007 461848,04 465219,4 - 3371,41 3 2008 442487,33 474523,8 - 32036,51 4 2009 483287,59 484014,3 - 726,73 5 2010 465804.,7 493694,6 -27890,33

Sumber: BPS, 2010 dalam IGN Santosa, dkk (2011)

Tabel 1.3 menunjukkan bahwa ada kecenderungan konsumsi beras di Provinsi Bali selalu lebih tinggi daripada jumlah produksinya. Kondisi ini tentu saja akan mengancam kondisi ketahanan pangan Provinsi Bali, dan ini juga menunjukkan bahwa Bali sangat tergantung pada

(9)

daerah lain untuk mampu memenuhi kebutuhan pangan utamanya beras. Melihat kondisi ini kiranya sangat penting untuk dikaji mengenai kondisi ketahanan pangan khususnya beras di Provinsi Bali, untuk dapat diketahui faktor-faktor yang berpengaruh, sehingga antisipasinya diharapkan dapat dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan pentingnya ketahanan pangan bagi suatu daerah khususnya Provinsi Bali, kiranya sangat penting untuk dapat diketahui bagaimana kondisi faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah penelitiannya sebagai berikut.

1) Bagaimana kondisi rata-rata persediaan pangan khususnya beras di Kabupaten Badung? 2) Bagaimana persepsi pimpinan Bulog di Kabupaten Badung tentang kecukupan pangan

khususnya beras dari produksi daerah sendiri baik untuk saat ini maupun masa yang akan datang

3) Bagaimanakah langkah-langkah yang diambil selama ini oleh pemerintah daerah dalam menjaga ketahanan pangan khususnya beras di Kabupaten Badung?

4) Bagaimanakah peran ketersediaan air untuk irigasi, biaya pajak bumi dan bangunan, harga produk pertanian, tingkat kecepatan dalam memperoleh penghasilan, dan ketersediaan saprotan terhadap konversi lahan pertanian di Kabupaten Badung

5) Bagaimanakah persepsi informan tentang pengaruh konversi lahan pertanian dan pertumbuhan penduduk terhadap ketahanan pangan khususnya beras di Kabupaten Badung?.

1.3Tujuan Penelitian

Ketahanan pangan khususnya beras di suatu daerah sangat penting untuk dapat dipertahankan agar tidak sampai terjadi kekurangan pangan pada satu saat tertentu. Fenomena menunjukkan jumlah produksi beras ada kecenderungan tidak mampu memenuhi kebutuhan beras di Provinsi Bali. Melihat kondisi tersebut, maka tujuan dari penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut. 1) Untuk mengetahui kondisi rata-rata persediaan pangan khususnya beras di Kabupaten Badung 2) Untuk mengkaji pandangan pimpinan Bulog Kabupaten Badung tentang kecukupan pangan

khususnya beras dari produksi daerah sendiri baik untuk saat ini maupun masa yang akan datang

(10)

3) Untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang diambil selama ini oleh pemerintah daerah dalam menjaga ketahanan pangan khususnya beras di Kabupaten Badung

4) Untuk menganalisis peran ketersediaan air untuk irigasi, biaya pajak bumi dan bangunan, harga produk pertanian, tingkat kecepatan dalam memperoleh penghasilan, dan ketersediaan saprotan terhadap konversi lahan pertanian di Kabupaten Badung

5) Untuk mengkaji persepsi informan tentang pengaruh konversi lahan pertanian dan pertumbuhan penduduk terhadap ketahanan pangan khususnya beras di Kabupaten Badung.

1.4 Urgensi Penelitian

Pembangunan yang dilaksanakan oleh Bangsa Indonesia tiada lain adalah untuk dapat mencapai tujuan pembangunan nasional yaitu terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut maka terpenuhinya kebutuhan pangan sebagai kebutuhan yang paling mendasar (basic needs) menjadi sesuatu yang sangat penting dan harus terpenuhi melebihi kebutuhan yang lainnya. Beras adalah salah satu kebutuhan pangan bagi masyarakat Bali yang sangat penting atau mungkin dapat dikatakan paling penting, mengingat selain sebagai kebutuhan untuk pangan, beras juga sangat dibutuhkan dalam kegiatan-kegiatan upacara yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Dengan demikian ketersediaan beras yang cukup menjadi kebutuhan yang sangat mendasar bagi masyarakat Bali khususnya di Kabupaten Badung. Data tentang konsumsi beras di Provinsi Bali dan jika dibandingkan dengan jumlah produksi beras yang dihasilkan di Provinsi Bali menunjukkan kondisi yang sangat tidak diharapkan. Jumlah produksi beras di Bali tidak dapat mengimbangi konsumai beras yang dilakukan oleh masyarakat yang berarti jumlah kebutuhan beras setiap tahunnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan daerah untuk menghasilkan beras dari daerah sendiri.

Fenomena lain juga terlihat bahwa terjadi konversi luas lahan pertanian ke penggunaan lain di luar pertanian seperti perumahan atau kegiatan usaha lain juga akan mempengaruhi jumlah produksi beras di Provinsi Bali. Pertumbuhan penduduk di satu sisi juga menambah beban daerah dalam menyediakan pangan khususnya beras, sehingga memperkuat terjadinya defisit pangan khususnya beras, sehingga dapat dikatakan ketahanan pangan yang bersumber dari penyediaan lokal menjadi terancam. Fenomena petani menjual lahan pertaniannya atau mengubah fungsi lahan pertanian ke penggunaan lainnya juga menjadi sebuah isu tersendiri dalam usaha menjaga ketahanan pangan daerah. Dengan demikian faktor-faktor yang mendorong petani untuk mengkonversi lahannya atau menjual lahan pertaniannya untuk penggunaan diluar

(11)

pertanian, tentulah menjadi kajian yang sangat penting untuk dapat menghasilkan sebuah informasi, dan harapan untuk mengantisipasi kecepatan konversi lahan yang dilakukan oleh masyarakat. Konversi lahan yang cepat juga ikut memberikan andil terhadap kondisi lingkungan misalnya banjir karena kurangnya penyerapan tanah. Selanjutnya konversi lahan pertanian dan pertumbuhan penduduk yang demikian pesat akhir-akhir ini seperti data yang telah ditampilkan juga menjadi faktor pendorong yang juga memberikan andil terhadap ketahanan pangan daerah Bali khususnya beras.

Selain itu pentingnya ketahanan pangan secara mendasar berkaitan erat dengan kemungkinan terjadinya kelaparan, dalam arti jika daerah tidak memiliki persediaan pangan yang mencukupi, maka tidak mustahil kelaparan menjadi ancaman jika tidak ada usaha-usaha untuk meningkatkan ketersedian pangan. Pentingnya penelitian ini juga berkaitan dengan tujuan pembangunan millennium (Millennium Development Goals/MDGs) khususnya untuk tujuan yang pertama. Ada 8 tujuan/aspek pembangunan dari MDGs yang telah disepakati oleh 189 negara di dunia yang menjadi anggota PBB untuk dicapai pada tahun 2015. Tujuan-tujuan tersebut meliputi: 1) memerangi kemiskinan dan kelaparan; 2) memberikan pendidikan dasar untuk semua; 3) mendukung kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; 4) menurunkan kematian anak; 5) meningkatkan kesehatan ibu; 6) memerangi penyebaran HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya; 7) menjaga kelestarian lingkungan; dan 8) mengembangkan kerjasama global. Dengan demikian pentingnya penelitian ini tidak saja berkaitan dengan usaha-usaha untuk mendapatkan temuan mengenai kondisi ketahanan pangan di Provinsi Bali, serta temuan tentang peran konversi lahan dan pertumbuhan penduduk terhadap ketahanan pangan, penelitian ini juga mendukung tujuan MGDs yang pertama yaitu memerangi kemiskinan dan kelaparan, serta tujuan MDGs ke tujuh, yaitu menjaga kelestarian lingkungan. Kelestarian lingkungan akan dapat terjaga dengan baik, jika dapat dikurangi konversi lahan pertanian ke penggunaan lainnya. Dapat disimpulkan penelitian ini menjadi demikian penting sebagai usaha untuk menjaga ketahahan pangan dan kelestarian lingkungan.

(12)

BAB II. STUDI PUSTAKA

2.1 Tekanan Penduduk

Kualitas hidup penduduk dapat mengalami penurunan, antara lain karena adanya tekanan penduduk akibat ketidakseimbangan antara kuantitas penduduk dengan sumber daya alam yang tersedia khususnya penduduk yang hidup di daerah agraris. Persoalan tentang bagaimana ketahanan pangan satu wilayah jika dikaitkan dengan pertumbuhan sudah lama menjadi perbincangan yaitu pada jamannya Malthus. Malthus telah menyampaikan bahwa kecepatan pertambahan penduduk seperti deret ukur sedangkan kecepatan pertmabahan bahan pangan mengikuti deret hitung. Pernyataan ini menunjukkan bahwa suatu saat dimana pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali akan membawa persoalan pada ketersediaan pangan, yang tidak mustahil akan menyebabkan terjadinya kelaparan. Dengan demikian untuk mengatasi masalah kelaparan atau terancamnya ketahanan pangan suatu daerah, maka semestinya kedua faktor yaitu penduduk dan ketersediaan pangan harus mendapatkan perhatian yang semestinya dari masyarakat dan pemerintah. Ketahanan pangan melalui usaha-usaha peningkatan produktivitas lahan ataupun pengurangan kecepatan konversi lahan pertanian di satu sisi dan penurunan pertumbuhan penduduk di sisi lainnya menjadi suatu kegiatan yang harus dilakukan secara bersama-sama baik oleh masyarakat maupun pemerintah.

Penduduk di wilayah agraris yang umumnya menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian, akan mengalami tekanan penduduk jika pertumbuhan penduduk di wilayah agraris yang akan mempengaruhi pertumbuhan angkatan kerja tidak mampu diserap oleh lahan pertanian yang tersedia. Secara umum lahan pertanian tidak akan dapat berkembang secepat pertumbuhan penduduk atau angkatan kerja, bahkan malah lebih sering terjadi pengurangan lahan pertanian. Dengan demikian untuk mengurangi tekanan penduduk khususnya di daerah agraris, maka pertumbuhan angkatan kerja yang utamanya berasal dari pertumbuhan penduduk harus dapat dikendalikan, demikian pula konversi lahan pertanian menjadi fungsi yang lainnya seyogyanya juga dikendalikan. Secara teoritis termasuk pula pada lahan pertanian, teknologi di bidang pertanian yang dapat meningkatkan produktivitas lahan, juga dimungkinkan menjadi faktor yang dapat mengurangi tekanan penduduk. Tekanan penduduk dapat diketahui melalui indikator kapadatan penduduk dan kepadatan agraris. Mantra (2004) menyatakan kepadatan penduduk kasar adalah jumlah penduduk per km2 . Jadi kepadatan penduduk kasar atau kepadatan

(13)

penduduk aritmatik dihitung dengan membandingkan banyaknya penduduk per satuan luas seperti ha atau km2. Di sisi lain kepadatan yang berkaitan dengan ketersediaan lahan pertanian disebut sebagai kepadatan agraris dimana kepadatan penduduk agraris pembilangnya adalah jumlah petani setiap km² atau setiap ha (hektar) tanah pertanian. Jika luas lahan pertanian terus mengalami penyusutan di satu sisi, sedangkan di sisi lainnya pertumbuhan penduduk khususnya pertumbuhan penduduk yang bekerja di sektor pertanian (petani) maka kepadatan penduduk agraris akan semakin tinggi, yang menjadi cermin terjadi tekanan pada lahan pertanian yang selanjutnya dapat mengancam kondisi ketahanan pangan daerah.

Persoalan ketahanan pangan ini tidak hanya masalah produksi semata dari lahan pertanian yang ada, namun juga sangat penting menyangkut persoalan distribusi terhadap hasil produksi tersebut. Dengan kata lain ketahanan pangan tidak hanya menyangkut kecukupan produksi di tingkat nasional, namun juga di tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan yang terpenting adalah di tingkat keluarga atau rumah tangga (BKKBN dan PPK&PSDM Unud, 2012). Selanjutnya disampaikan bahwa persoalan distribusi pangan sebagai bagian dari usaha untuk menjaga ketahanan pangan, sama pentingnya dengan persoalan produksi, karena tidak ada gunanya produksi melimpah tetapi keluarga atau rumah tangga yang membutuhkannya tidak kebagain sesuai dengan jumlah dan waktu kebutuhannya. Dengan demikian dalam rangka mewujudkan cita-cita pembangunan nasional yaitu untuk mencapai masyarakat adil dan makmur, maka ketahanan pangan pada tingkat paling bawah yaitu di tingkat keluarga, seharusnya sangat diperhatikan dan akhirnya dapat menjadi ukuran untuk melihat keberhasilan kebijakan ketahanan pangan suatu Negara tidak terkeculai Negara Indonesia.

Untuk menjaga kondisi ketahanan pangan di Indonesia pemerintah membuat lembaga yang disebut Dewan Ketahanan Pangan yang diatur melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 83 tahun 2006. Adapun tugas yang dibebankan kepada Dewan Ketahanan Pangan yang dibentuk oleh pemerintah ini sesuai yang tercantum dalam pasal 2 ayat (1) peraturan presiden tersebut dinyatakan Dewan membantu presiden dalam merumuskan kebijakan, melakukan evaluasi dan pengendalian guna mewujudkan ketahanan pangan nasional. Pasal 2 ayat (2) dalam peraturan presiden RI tersebut menyatakan kegiatan yang harus dilakukan oleh Dewan Ketahanan Pangan meliputi beberapa hal yaitu di bidang penyediaan pangan, distribusi pangan, cadangan pangan, penganekaragaman pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan dan gizi (BKKBN dan PPK&PSDM Unud, 2012). Persoalan pangan telah menjadi isu

(14)

yang sangat sensitif mengingat pangan merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi kehidupan manusia, yang mendorong pemerintah harus mengatur dengan sebaik-baiknya agar masyarakat terjamin kecukupan pangannya.

Mengingat masalah pangan merupakan isu yang sensitive, maka jika muncul masalah pangan, misalnya kekurangan pangan atau kelaparan maka persoalan ini akan dapat merambat ke masalah politik. Kelaparan atau terancamnya ketahanan pangan suatu daerah dapat mencerminkan ketidakberhasilan pemerintah dalam pembangunan khususnya pada pembangunan ekonomi yang telah dilakukan. Dengan demikian tujuan pembangunan nasional sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mencapai masyarakat yang adil dan makmur tentu saja akan sulit untuk dicapai. Untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional tersebut maka ketersediaan pangan dalam jumlah yang mencukupi dapat dikatakan menjadi syarat mutlak dan mendasar bagi tercapainya tujuan pembangunan nasional tersebut. Jadi kecukupan pangan sangat dibutuhkan untuk dapat melanjutkan kehidupan secara layak dan dapat dikatakan sebagai hak warga negara yang harus dapat dipenuhi oleh pemerintah sebagai penyelenggara Negara (BKKBN dan PPK&PPSDM Unud, 2012). Tanpa ketahanan pangan maka suatu daerah tidak akan dapat melanjutkan pembangunan di bidang yang lainnya, artinya secara sederhana penduduk harus sehat barulah mampu melakukan kegiatan lainnya untuk mendukung pembangunan secara menyeluruh. Jika dilihat dalam sejarahnya kebijakan pangan sebenarnya sudah ada semenjak jaman penjajahan Belanda, dan pada sekitar tahun 1950-an tepatnya tahun 1959 pada jaman Orde Lama, sebuah program diluncurkan yang disebut Program Padi Sentra bertujuan untuk mencapai swasembada beras, meskipun tidak berhasil pada saat itu (Nehen, 2012). Kondisi ini menunjukkan bahwa kecukupan ketersediaan pangan menjadi kebijakan yang harus dicapai untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional.

Persoalan ketahanan atau keamanan pangan tidak hanya menjadi isu penting bagi negara lain seperti Negara China. Republik Rakyat China memiliki Undang-undang khusus untuk pangan/makanan. Undang-undang tersebut merupakan satu dari undang-undang dasar terakhir yang dimiliki negara tersebut untuk ketahanan/keamanan pangan memfokuskan pada pencegahan, pengontrolan, dan mengeliminasi faktor-faktor yang merusak/membahayakan dalam makanan untuk memastikan ketahanan/keamanan pangan. Undang-undang tersebut memasukkan sejumlah mekanisme yang resmi dan modern, termasuk sistem kriteria dari pangan yang aman, system evaluasi dari makanan yang bersiko, ganti rugi, dan pengungkapan informasi

(15)

keamanan pangan yang menjadi tonggak sejarah dari Undang-undang keamanan pangan negara China (Ming Qi, 2012)

2.2 Konversi Lahan Pertanian

Konversi lahan pertanian di Provinsi Bali berkaitan erat dengan proses pembangunan yang dilaksanakan. Pembangunan yang lebih menekankan pada pembangunan sektor-sektor di luar pertanian seperti sektor jasa selain sektor manufaktur, mendorong konversi lahan akan semakin cepat. Pembangunan di sektor jasa misalnya akan membutuhkan lahan untuk pembangunan gedung, permukiman, perkantoran yang pasti akan mengurangi lahan pertanian yang ada. Banyak hal yang ikut memberikan andil terhadap terjadinya konversi lahan pertanian ke sektor lainnya, antara lain balas jasa di sektor lainnya yang dipandang lebih tinggi dibandingkan dengan di sektor pertanian. Jika bekerja di sektor jasa, maka penghasilan akan sudah diperoleh setiap bulan, namun jika bekerja di sektor pertanian tentu harus menunggu yang jauh lebih lama dari 1 bulan untuk mendapatkan hasilnya. Fenomena juga menujukkan bahwa penduduk yang tergolong miskin sebagian besar berada di sektor pertanian dibandingkan dengan di luar sektor pertanian. Pembangunan di sektor-sektor lain yang lebih ditekankan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tidak dapat dipungkiri memberikan andil pada kecepatan konversi lahan pertanian untuk penggunaan lain. Berikut disampaikan perubahan penggunaan luas lahan di Provinsi Bali.

Tabel 2.1 menunjukkan bahwa di seluruh kabupaten/kota terjadi konversi lahan pertanian kecuali di Kabupaten Bangli dan Kabupaten Karangasem. Kabupaten Bangli tidak mengalami penurunan lahan pertanian ataupun peningkatan, selama periode 1999-2011 dimana jumlah luas lahan pertanian dan non pertaniannya jumlahnya tetap sama. Di sisi lain Kabupaten Karangasem adalah satu-satunya kabupaten di Provinsi Bali yang mengalami kenaikan lahan pertanian, namun lahan bukan pertaniannya mengalami penurunan, jadi lahan yang sebelumnya tidak digunakan sebagai lahan pertanian di kabupaten ini diubah menjadi lahan pertanian. Lahan-lahan yang sebelumnya merupakan lahan yang tidak dikelola atau lahan istirahat diubah menjadi lahan pertanian. Kabupaten/kota lainnya selain kedua kabupaten tersebut semuanya mengalami konversi lahan ke penggunaan di luar lahan pertanian, bahkan Kabupaten Jembrana mengalami konversi yang paling banyak. Selama tahun 2009-2011 luas lahan pertanian yang dikonversi di seluruh kabupate/kota di Provinsi Bali sebagian besar yaitu sekitar 89 persen terjadi di

(16)

Kabupaten Jembrana, sisanya tersebar di seluruh kabupaten/kota. Kondisi penurunan luas lahan pertanian secara terus menerus dapat mengancam ketahanan pangan daerah. Secara umum lahan pertanian yang berkurang luasnya yang diganti dengan gedung-gedung, dengan demikian permukaan tanah tertutup oleh bangunan atau beton, resapan air menjadi terganggu, sehingga rentan terhadap bahaya banjir. Berkurangnya lahan pertanian tidak saja mengancam ketahanan pangan juga mengancam kelestarian lingkungan.

Tabel 2.1: Penggunaan Lahan Tahun 2009 dan 2011 di Provinsi Bali (Ha)

No Kabupaten 2009 2011 2009-2011 Lahan Pertanian Lahan Bukan Pertanian Lahan Pertanian Lahan Bukan Pertanian Perubahan lahan pertanian 1 Jembrana 33 241 50 939 32 687 51 493 -554 2 Tabanan 62 491 21 442 62 483 21 450 -8 3 Badung 28 299 13 553 28 192 13 660 -107 4 Gianyar 27 337 9 463 27.276 9 524 -61 5 Klungkung 23 210 8 290 23.182 8 318 -28 6 Bangli 36 370 15 711 36.370 15 711 0 7 Karangasem 60 283 23 671 60.678 23 276 + 395 8 Buleleng 81 583 55 005 81.418 55 170 -165 9 Denpasar 3 209 9 569 3 113 9 665 -96 10 Total 356 023 207 643 355 399 208 267 -624

Sumber: Bali Dalam Angka 2010, dan 2011 dalam BKKBN dan PPK&PSDM, 2012

Selain mengancam ketahanan pangan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, konversi lahan pertanian ke penggunaan lainnya juga akan dapat mengancam kelestarian nilai-nilai budaya yang ada di Daerah Bali. Lahan pertanian secara fisik untuk menghasilkan padi (beras), namun lahan pertanian juga memiliki nilai sosial budaya, dimana keberadaan lahan pertanian khususnya sawah akan mendukung kelestarian lembaga sosial budaya yang dikenal dengan nama Lembaga Subak, sebagai organisasi tradisional yang mengatur pengairan atau irigasi di pertanian sawah. Dengan demikian konversi lahan pertanian yang tidak dapat dibendung tentu saja akan mengancam kelestarian Lembaga Subak di Bali.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suhaimi (2012) menujukkan bahwa secara umum telah terjadi konversi lahan pertanian ke penggunaan lain di Indonesia. Hasil penelitian tersebut

(17)

memperlihatkan bahwa desa-desa di Provinsi Bali yang telah mengalami konversi pada lahan pertaniannya sekitar 70, 5 persen, sedangkan wilayah Jawa-Bali yang mengalami konversi sebanyak 52,7 persen, sedangkan secara nasional konversi lahan pertanian hanya terjadi sekitar 32,8 persen. Melihat data ini dapat disimpulkan bahwa desa-desa yang ada di Bali mengalami konversi lahan pertanian paling tinggi atau paling cepat di antara desa-desa yang ada di Indonesia. Hasil penelitian Suhaimi (2012) ini memperlihatkan bahwa jika dibandingkan dengan desa-desa yang ada di Indonesia, desa-desa di Bali mengalami konversi lahan 2 kali lipat dibandingkan desa-desa lainnya di Indonesia. Kondisi ini tentu saja memerlukan kajian faktor-faktor apa saja yang ikut memberikan kontribusi terhadap kecepatan konversi tersebut. Penelitian yang akan dilakukan ini mencari jawaban terhadap faktor-faktor yang menjadi penyebab. Dengan demikian penelitian penting dilakukan, agar dapat dapat diperoleh informasi yang dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam rangka mengerem laju konversi lahan pertanian.

(18)

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian tentang ketahanan pangan ini akan dilakukan di Kabupaten Badung. Alasan pemilihan lokasi ini adalah Kabupaten Badung berkaitan dengan paling tingginya pertumbuhan penduduk di Kabupaten Badung pada periode Sensus Penduduk yang terakhir seperti yang terlihat pada Tabel 1.1. Pertumbuhan penduduk yang dalam katagori meledak sangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan daerah. Dengan adanya fenomena konversi lahan pertanian khususnya lahan sawah yang dapat mengancam ketahanan pangan mengingat fenomena konversi lahan dan pertumbuhan penduduk yang meningkat terjadi di seluruh wilayah kabupaten/kota di Provinsi Bali termasuk di Kabupaten Badung. Selain itu konversi lahan pertanian di Kabupaten ini untuk fasilitas kepariwisataan juga mempengaruhi luas lahan pertanian yang pada akhirnya juga berpengaruh terhadap ketahanan pangan dari daerah yang bersangkutan. Data menunjukkan lahan di Kabupaten Badung juga mengalami penurunan yang cukup banyak, sehingga akan berpengaruh terhadap jumlah produksi beras dan pada akhirnya juga akan berpengaruh terhadap ketahanan pangan di Kabupaten Badung.

3.2. Populasi, Sampel dan Metode Penentuan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah para petani yang telah menjual sawahnya atau mengkonversi lahan pertaniannya untuk penggunaan di luar sektor pertanian. Selain itu untuk menjawab tujuan penelitian dan memperkuat hasil-hasil penelitian, juga dibutuhkan informan seperti dari BULOG dan Dinas Pertanian serta Pemerintah Daerah Kabupaten Badung. Untuk memperoleh informasi tentang konversi lahan pertanian untuk penggunaan di sektor-sektor lainnya, maka akan diteliti juga informan dari Kantor Kecamatan yang mengetahui tentang keadaan tersebut. Informan-informan tersebut akan dipilih di beberapa kecamatan yang menghasilkan produksi padi yang relatif tinggi. Total responden dan informan di setiap kecamatan adalah sebanyak 10 orang. Dengan demikian total responden di seluruh kabupaten di 5 kecamatan adalah sebanyak 50 orang. Metode pengambilan sampel baik untuk responden petani yang telah mengkonversi lahannya untuk penggunaan non pertanian atau menjual atau menyewakan lahan pertaniannya maupun masing-masing informan di 3 bidang tersebut, dilakukan secara non probability sampling khususnya purposive sampling, yaitu dengan sengaja ditentukan sesuai dengan tujuan penelitian, yang dikombinasikan dengan accidental sampling.

(19)

3.3. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan berupa daftar pertanyaan. Instrumen penelitian yang digunakan ada 2 jenis yaitu untuk responden para petani yang mengkonver lahan pertaniannya di Kabupaten Badung, dan bagi informan di masing-masing bidang. Untuk menilai peranan berbagai variabel penelitian yang mempengaruhi konversi lahan pertanian instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data yang berupa kuesioner atau daftar pertanyaan, jawabannya dicarikan dari responden para petani. Pengujian validitas dan reliabilitas dari instrumen tersebut terlebih dahulu dilakukan sebelum kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data. Jika instrumen sudah valid dan reliabel, maka barulah akan digunakan untuk pengumpulan data. Instrumen penelitian yang akan diuji validitasnya adalah instrument yang digunakan untuk menilai persepsi responden tentang sesuatu hal. Uji validitas yang akan digunakan adalah validitas isi, dan validitas konstruk, sedangkan uji reliabilitas akan menggunakan internal consistency.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian sosial termasuk dalam penelitian ini terdapat berbagai jenis metode pengumpulan data. Metode pengumpulan data yang akan dipilih tergantung dari tujuan penelitian dan jenis data yang dibutuhkan. Beberapa metode pengumpulan data yang dapat digunakan dalam penelitian sosial antara lain metode atau teknik observasi, wawancara, eksperimen, dan teknik survey (Jogiyanto, 2004). Untuk memperoleh data primer beberapa metode pengumpulan data akan digunakan seperti metode atau teknik observasi baik observasi non perilaku maupun observasi perilaku (Cooper & Emory, 1997). Metode observasi merupakan metode atau cara untuk mendapatkan data primer yang dilakukan melalui pengamatan langsung terhadap objek datanya. Selain teknik atau metode observasi, dalam penelitian ini juga akan digunakan metode wawancara atau interview yang merupakan komunikasi dua arah yang didasarkan atas daftar pertanyaan atau instrumen penelitian yang telah disiapkan sebelumnya. Pada penelitian ini wawancara yang digunakan adalah wawancara personal yang dalam hal ini interview dilakukan kepada responden yaitu para petani yang mengkonversi lahan pertaniannya untuk penggunaan lain atau petani yang telah menjual tanahnya. Metode pengumpulan data lainnya yaitu wawancara mendalam (indepth interview) juga akan digunakan untuk memperoleh informasi guna melengkapi data yang telah dikumpulkan melalui metode yang

(20)

lainnya. Dengan wawancara mendalam kepada informan, peneliti dapat mengetahui alasan sebenarnya dari responden tentang suatu hal (Mantra, 2004). Indepth interview rencananya akan dilakukan pada responden informan yang terkait dengan obyek penelitian seperti dari BULOG, Dinas Pertanian, dan Pegawai atau staf atau kepala kecamatan.

3.5. Metode Analisis Data

Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah disampaikan, maka dalam penelitian ini akan disampaikan hipotesis yang akan dibuktikan dengan menggunakan teknik statistik yang sesuai yaitu statistik dengan tingkatan asosiatif. Selain teknik statistik asosiatif untuk menjawab tujuan penelitian yang lainnya juga akan digunakan teknik statistik deskriptif. Selanjutnya distribusi frekuensi tunggal maupun tabulasi silang akan dibuat setelah data diolah, untuk dapat melihat pola sebaran dari semua veriabel penelitian yang dikumpulkan. Dengan demikian data yang telah dikumpulkan akan ditabulasi dan juga menggunkan statistik deskriptif lainnya. Berdasarkan hasil tersebut akan dibuatkan analisis secara deskriptif atau kualitatif untuk membahas pola maupun kecenderungan yang terjadi. Dengan demikian dalam penelitian ini teknik statistik yang akan digunakan adalah statistik deskriptif, dan teknik statistik asosiatif. Teknik statistik asosiatif yang akan digunakan adalah crosstas (Chi square) dan juga teknik regresi linear berganda.

3.6. Rancangan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitia ini adalah pendekatan kuantitatif, sehingga pendekatan ini akan menentukan rancangan atau design yang akan digunakan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian survai yang dicirikan oleh pengumpulan datanya dengan menggunakan kuesioner atau instrumen penelitian yang telah disiapkan sebelumnya. Untuk menyusun instrumen penelitian semua variabel penelitian seperti yang tertulis dalam tujuan penelitian diberikan definisi operasional yang telah memberikan petunjuk bagaimana variabel penelitian tersebut diukur. Sebelum digunakan instrumen penelitian yang dirancang akan diuji terlebih dahulu validitas atau reliabilitasnya, dan setelah itu barulah instrumen penelitian akan digunakan dalam pengumpulan data. Kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya akan dicarikan jawabannya melalui responden dengan wawancara atau interview. Dengan model atau cara seperti itu, maka dapat dikatakan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif atau positivisme dengan menggunakan teori-teori

(21)

tertentu yang sudah ada dan hasil-hasil penelitian yang relevan. Setelah kegiatan pengumpulan data selanjutnya akan dilakukan editing terhadap data mentah yang masuk, sebelum dilakukan entry data yang merupakan bagian dari pengolahan data. Hasil pengolahan pertama berupa distribusi frekuensi tunggal yang akan dilanjutkan dengan tabulasi silang. Setelah kegiatan tersebut data dianalisis dengan teknik statistik asosiatif sesuai dengan tujuan penelitiannya. Hasil pengolahan data tersebut digunakan sebagai dasar untuk menulis laporan penelitian dalam menjawab tujuan penelitia. Digunakannya rancangan penelitian survai dan pendekatan kuantitatif atau positivisme ini karena sesuai dengan tujuan penelitian dan tergolong penelitian sosial dengan responden orang atau masyarakat, yang terkait erat dengan ketahanan pangan.

(22)

BAB IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN BADUNG 4.1 Perkembangan Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk merupakan salah satu variabel yang sangat penting dalam kaitannya dengan persoalan ketahanan pangan. Jumlah penduduk merupakan faktor pengali dalam menentukan jumlah kebutuhan akan pangan. Semakin banyak penduduk di suatu daerah yang dapat disebabkan oleh migrasi masuk maupun kelahiran, maka kebutuhan pangan akan meningkat pula, demikian sebaliknya. Kenyataan ini terjadi di Kabupaten Badung dimana pertumbuhan penduduknya dari data hasil sensus penduduk yang terakhir yaitu tahun 2010 memiliki tingkat pertumbuhan penduduk paling tinggi dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten/kota yang lainnya. Tingkat pertumbuhan penduduk Kabupaten Badung pada tahun 2010 dari hasil Sensus Penduduk jika dibandingkan dengan hasil Sensus Penduduk sebelumnya mencapai rata-rata per tahun 4,63 persen yang merupakan tingkat pertumbuhan penduduk yang tertinggi di kabupaten/kota maupun jika dibandingkan dengan Provinsi Bali. Tingkat pertumbuhan penduduk Provinsi Bali pada tahun yang sama mencapai 2,15 persen (BPS, 2012, dan BPS, 2002). Jika di perhatikan tingkat pertumbuhan penduduk Kabupaten Badung tersebut lebih berkaitan dengan migrasi masuk yang datang ke kabupaten ini. Hal ini dapat dilihat dari Sex Ratio (Rasio Jenis Kelamin) Kabupaten Badung pada tahun 2010 mencapai 104, yang berarti jumlah penduduk laki-laki di kabupaten ini dibandingkan dengan penduduk perempuan adalah 104 berbanding 100. Hal ini berarti jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan penduduk perempuan. Penduduk laki-laki yang lebih banyak di satu daerah atau atau sex ratio di atas 100 dapat merupakan sebuah indikasi terjadi migrasi masuk yang besar ke daerah tersebut. Demikian pula yang terjadi di Kabupaten Badung dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi dan ratio jenis kelamin lebib besar daripada 100, menjadi indikasi bahwa terjadi migrasi masuk yang tinggi ke daerah tersebut.

Perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Badung dari tahun 2010-2012 dan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Bali dapat dilihat dalam Tabel 4.1 berikut. Data Tabel 4.1 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di kabupaten/kota di Provinsi Bali pada ketiga periode tersebut terus mengalami kenaikan. Kenaikan jumlah penduduk di setiap kabupaten/kota menyebabkan jumlah penduduk secara total di Provinsi Bali mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Jumlah penduduk di Kabupaten Badung menduduki urutan ketiga dari segi jumlahnya setelah Kota Denpasar, dan Kabupaten Buleleng. Jumlah penduduk yang terus bertambah ini

(23)

pasti akan mempengaruhi jumlah kebutuhan pangan yang harus disediakan oleh daerah untuk menjamin kecukupan pangan bagi penduduknya.

Tabel 4.1: Perkembangan Jumlah Penduduk di Kabupaten/Kota pada Tahun 2010, 2011, dan 2012 di Provinsi Bali

No Kab/Kota SP Mei 2010 Juni 2011* Juni 2012* 1 Jembrana 261.638 267.051 268.884 2 Tabanan 420.913 429.622 432.407 3 Badung 543.332 554.574 578.275 4 Gianyar 469.777 479.497 487.866 5 Klungkung 170.543 174.073 175.053 6 Bangli 215.353 219.809 221.164 7 Karangasem 396.487 404.690 406.992 8 Buleleng 624.125 637.038 641.136 9 Denpasar 788.589 804.905 834.881 10 Bali 3.890.757 3.971.259 4.046.658 Sumber : BPS, 2012

4.2 Perkembangan Luas Lahan

Luas lahan menjadi salah satu faktor yang juga mempengaruhi ketahanan pangan di suatu daerah. Secara umum terjadi penurunan luas lahan terutama luas lahan pertanian di berbagai daerah yang diperuntukkan bagi kegiatan-kegiatan di luar sektor pertanian. Kondisi ini tentu saja akan menyebabkan luas produksi di sektor pertanian akan cenderung berkurang, dan jika ini terus menerus terjadi, maka dapat mengancam keadaan ketahanan pangan di suatu daerah. Jumlah luas wilayah di Kabupaten Badung berbeda antar satu kecamatan dengan kecamatan lainnya. Secara rinci luas lahan di setiap kecamatan di Kabupaten Badung, disajikan dalam Tabel 4.2 berikut.

(24)

Tabel 4.2: Luas Lahan Menurut Kecamatan di Kabupaten Badung Tahun 2012 (Hektar) No Kecamatan Jumlah 1 Kuta Selatan 3.614 2 Kuta 194 3 Kuta Utara 1.863 4 Mengwi 6.811 5 Abiansemal 5.959 6 Petang 10.112 7 Total 28.553 Sumber : BPS, 2012

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa luas lahan di setiap kecamatan di Kabupaten Badung sangat bervariasi. Kecamatan Kuta memiliki luas wilayah yang paling sempit, dan sepertinya di kecamatan ini tidak diperuntukkan bagi lahan pertanian, namun untuk kegiatan non pertanian. Kecamatan Petang merupakan kecamatan yang memiliki lahan yang paling luas, yang diikuti oleh Kecamatan Mengwi, dan Kecamatan Abiansemal. Jika diperhatikan ke 3 kecamatan ini berlokasi di sebelah utara dari pusat pemerintahan Kabupaten Badung, dan merupakan kecamatan yang menjadi andalan dalam menghasilkan produk pertanian, dalam menjaga ketahanan pangan di Kabupaten Badung. Dengan demikian 3 kecamatan yang berada di sebelah utara PUSPEM merupakan wilayah yang memberikan hasil dari produksi pertanian, sedangkan 3 kecamatan lainnya yang berlokasi di sebelah selatan PUPEM, adalah kecamatan yang memberikan hasil di luar sektor pertanian, yaitu yang berkaitan erat dengan segala jenis usaha yang mendukung keberhasilan sektor pariwisata di kabupaten ini.

4.3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Perkembangan kondisi ekonomi suatu wilayah dapat dilihat secara global dari perkembangan jumlah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dihasilkan oleh daerah yang bersangkutan. Selain itu untuk melihat secara lebih baik kondisi ekonomi penduduknya,

(25)

maka data yang dapat digunakan untuk mencerminkan hal tersebut adalah pendapatan per kapita, yang merupakan hasil bagi PDRB pada tahun tertentu dengan jumlah penduduk pada tahun yang sama. PDRB umumnya dihitung berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan, dan untuk data PDRB pada tahun terakhir dihitung dengan harga konstan tahun 2000. Dalam PDRB dengan harga berlaku didalamnya terlihat ada unsure inflasi atau kenaikan harga dari produk yang dihasilkan, sedangkan pada harga konstan kenaikan harga tersebut tidak diperhitungkan sehingga umumnya nilainya lebih rendah daripada PDRB dengan harga berlaku. PDRB Kabupaten Badung selama 5 tahun terakhir berdasarkan harga konstan tahun 2000 secara total disampaikan dalam Tabel 4.3 berikut.

Tabel 4.3: Perkembangan PDRB 2008-2012 Berdasarka Harga Konstan Tahun 2000 di Kabupaten Badung (Jutaan rupiah).

No Tahun PDRB 1 2008 10.478.390,93 2 2009 12.875.498,13 3 2010 14.926.782,18 4 2011 16.403.381,18 5 2012 18.996.102,98 Sumber: BPS, 2012

(26)

BAB V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Responden

1) Distribusi responden menurut daerah tempat tinggal, dan umur

Jumlah responden pada penelitian ini tersebar di 4 kecamatan yaitu di Kecamatan Kuta Utara, Petang, Abiansemal, dan Kecamatan Mengwi. Wilayah atau kabupaten ini dipilih secara purposive mengingat di kecamatan inilah banyak terdapat atau terindikasi petani lahan sawah yang melakukan alih fungsi lahan. Responden terdistribusi paling banyak di Kecamatan Mengwi, yaitu sebanyak 40 persen, sedangkan di 3 kecamatan lainnya masing-masing responden terdistribusi sebanyak 20 persen. Paling banyaknya responden terdistribusi di Kecamatan Mengwi, karena dari hasil observasi di kecamatan ini petani banyak mengkonversikan lahannya. Dengan demikian petani juga cepat menemukan responden petani tersebut di kecamatan ini.

Jika dilihat dari umur responden, boleh dikatakan sebagian besar dalam umur produktif, namun ada juga yang tergolong Lansia (usia lanjut). Responden terdistribusi pada berbagai kelompok umur, yang berarti umur responden dalam penelitian ini bervariasi, seperti dalam Tabel 5.1 berikut.

Tabel 5.1: Distribusi Responden Menurut Kelompok Umur 5 Tahunan Tahun 2013 No Kelompok Umur Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 30-34 7 14,0 2 35-39 6 12,0 3 40-44 9 18,0 4 45-49 9 18,0 5 50-54 7 14,0 6 55-59 4 8,0 7 60-64 4 8,0 8 65-69 3 6,0 9 70-74 1 2,0 10 Total 50 100,0

Sumber: Data Primer, 2013

Jika dilihat Tabel 5.1 pola distribusi responden (penduduk/petani yang telah mengkonversikan lahan pertaniannya) menurut umur dapat dikatakan seperti huruf U terbalik

(27)

dan mengalami puncak pada 2 kelompok umur 5 tahunan yaitu pada umur 40-44 tahun, dan 45-49 tahun yang mencapai masing-masing 18 persen. Setelah umur tersebut persentase responden terus mengalami penurunan sampai yang terendah pada kelompok umur 70-74 tahun. Kondisi ini dapat dikatakan sebagai kondisi alamiah mengingat penduduk secara umum juga memiliki distribusi yang semakin rendah dengan semakin tingginya umur penduduk, sehingga pada kelompok umur yang sudah cukup tua (Lansia) jumlah responden semakin berkurang dan paling rendah persentasenya pada kelompok umur yang paling tua. Berdasarkan data primer yang terkumpul umur responden paling muda adalah 31 tahun dan yang paling tua 71 tahun. Jadi dalam penelitian ini tidak ada responden yang berumur di bawah 30 tahun, ini dapat dimaknai bahwa golongan muda atau penduduk muda kurang tertarik bekerja di sektor pertanian, seperti sinyalemen yang ada selama ini dimasyarakat. Hal ini didukung oleh temuan dalam penelitian ini, responden yang bekerja di sector pertanian, yaitu yang masih mengelola pertaniannya hanya sekitar 14 persen dari total responden. Penduduk muda kurang tertarik untuk bekerja di sektor pertanian yang barangkali disebabkan oleh banyak hal, seperti dengan pendidikan yang semakin tinggi mereka akan berusaha mencari pekerjaan di tempat lain yang dianggap lebih menjanjikan dibandingkan dengan di sektor pertanian. Sering juga di sektor pertanian dikonotasikan sebagai pekerjaan yang kotor berlumpur sehingga tidak menarik penduduk muda untuk masuk ke sektor tersebut. Pandangan seperti itu boleh dikatakan didukung oleh data hasil penelitian ini yang tidak menemukan ada responden yang berumur di bawah 30 tahun, meskipun tetap ada kemungkinan karena responden relatif sedikit dari segi jumlah, maka tidak ditemukan responden sebagai petani yang berusia muda.

2) Distribusi responden menurut jenis kelamin dan pendidikan

Jenis kelamin responden berdasarkan hasil penelitian, ditemukan dalam penelitian ini sekitar 80 persen responden adalah laki-laki, dan hanya 20 persen yang perempuan. Kondisi distribusi responden menurut jenis kelamin ini sesuai dengan distribusi responden di sektor pertanian berdasarkan data makro yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) baik dari hasil Sensus Penduduk maupun berdasarkan hasil survai. Jauh lebih sedikitnya pekerja perempuan di sektor pertanian ada kemungkinan berkaitan dengan kondisi pekerjaan di sektor pertanian terutama pertanian sawah yang memang sepertinya membutuhkan tenaga yang cukup kuat, misalnya untuk kegiatan membajak sawah. Pekerja perempuan di sektor pertanian kemungkinan besar hanya sebagai pekerja yang membantu pekerja laki-laki misalnya membantu

(28)

suaminya untuk kegiatan-kegiatan di sector pertanian yang memungkinkan dikerjakan oleh pekerja perempuan.

Pendidikan responden berdasarkan temuan penelitian ini lebih banyak terdistribusi pada pendidikan SLTA ke atas, suatu kondisi yang sangat menggembirakan. Kondisi ini dapat dimaknai sudah terjadi perubahan pendidikan penduduk yang memiliki lahan pertanian, yang sebelumnya dengan data sekunder, lebih banyak pekerja pertanian yang berpendidikan rendah sehingga terlihat juga fenomena kemiskinan paling banyak di sektor tersebut. Responden menurut pendidikan dapat dilihat dalam Tabel 4.2 berikut.

Tabel 5.2: Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan

No Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 Tidak tamat SD 1 2,0 2 SD 11 22,0 3 SLTP 4 8,0 4 SLTA 23 46,0 5 PT 11 22,0 6 Total 50 100,0

Sumber: Data Primer, 2013

Data Tabel 5.2 menunjukkan bahwa responden paling banyak terdistribusi pada pendidikan SLTA yang hampir mencapai setengah dari total responden. Responden yang berpendidikan SD ke bawah hanyalah kurang dari seperempat dari total responden, dan responden dengan pendidikan SLTA ke atas hampir mencapai 70 persen, sebuah persentase yang sangat tinggi untuk penduduk yang memiliki lahan pertanian, yang sebelumnya dapat diduga orang tuanya, atau kakek dan neneknya bekerja di lahan pertanian yang dimiliki. Walaupun tetap ada kemungkinan mereka bekerja tidak di sektor pertanian karena sudah memiliki pekerjaan di sektor lainnya apalagi mereka ini telah mengkonversikan lahan pertaniannya untuk kegiatan atau aktivitas di sektor non pertanian. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa responden sebagian besar terdistribusi pada pendidikan yang relatif tinggi yaitu SLTA keatas, suatu kondisi yang sangat diharapkan.

3) Distribusi responden menurut status perkawinan dan jumlah anak

Responden dalam penelitian ini juga dapat diklasifikasikan berdasarkan kondisi demografi mereka seperti dari status perkawinan dan jumlah anak yang dimiliki. Temuan dari

(29)

penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini dalan status kawin yang mencapai 96 persen, dan sisanya hanya 2 persen yang belum kawin, dan yang berstatus jan/cerai juga hanya 2 persen. Kondisi ini adalah kondisi yang umum terjadi dalam sebuah penelitian dimana responden yang sudah bekerja dan berumur dewasa umumnya dalam status kawin. Dari total responden sebanyak 98,0 persen atau hampir seluruhnya sudah memiliki anak bagi mereka yang sudah berkeluarga, dan kelihatannya hanya responden yang belum kawin yang belum mempunyai anak. Berikut disampaikan data tentang distribusi jumlah anak dari responden.

Tabel 5.3: Distribusi Responden Menurut Jumlah Anak yang Dilahirkan No Jumlah Anak

(orang)

Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 1 9 18,0 2 2 22 44,0 3 3 15 30,0 4 4 2 4,0 5 6 1 2,0 6 Missing 1 2,0 7 Total 50 100,0

Sumber: Data Primer, 2013

Tabel 5.3 menunjukkan sebagian besar responden memiliki anak sebanyak 2 orang, yang hampir mencapai setengah dari responden. Urutan ke dua ditempati oleh responden dengan jumlah anak sebanyak 3 orang. Kondisi ini juga dapat dikatakan responden terdistribusi sebagian besar atau hampir tiga perempat dari jumlah responden memiliki anak 2 -3 orang. Hal ini juga menunjukkan slogan BKKBN tentang “2 anak cukup”, dapat dikatakan menjadi inspirasi bagi masyarakat di dalam menentukan jumlah anak mereka, walaupun tetap ada kemungkinan mereka ke depan akan menambah jumlah anaknya lagi. Tabel tersebut juga menunjukkan sangat sedikit atau hanya sekitar 6 persen responden yang mempunyai anak 4-6 orang. Dewasa ini dapat dirasakan jumlah anak yang dimiliki akan berkorelasi dengan kebutuhan untuk biaya hidup dalam rangka meningkatkan kualitas anak, sehingga akan dirasakan susah jika memiliki banyak anak, misalnya 4 orang ke atas. Responden yang masih memiliki kemungkinan yang paling beasr untuk menambah jumlah anaknya adalah pada mereka yang masih memiliki anak 1 orang,

(30)

sehingga kemungkinan besar mereka akan memiliki anak sebanyak 2 orang. Pemaparan jumlah anak pada tulisan ini berkaitan dengan motivasi dari keluarga untuk bekerja nafkah. Jika sudah berkeluarga dan memiliki anak, maka motivasi untuk bekerja akan semakin tinggi, dan dimana kesempatan untuk memperoleh pendapatan yang lebih banyak disanalah lapangan pekerjaan akan dicari termasuk di luar sektor pertanian dengan mengkonversikan lahan pertaniannya.

4) Distribusi Responden Menurut Lapangan Pekerjaan, dan Penghasilan

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden yaitu 92 persen adalah dalam status bekerja, dan sisanya hanya 4 persen yang tidak bekerja. Responden yang bekerja terdistribusi pada berbagai lapangan pekerjaan seperti di pertanian, jasa kepariwisataan, PNS, dan usaha perdagangan. Secara rinci responden terdistribusi seperti dalam Tabel 5.4 berikut.

Tabel 5.4: Distribusi Responden Menurut Lapangan Pekerjaan

No Lapangan Pekerjaan Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 Pertanian 7 14,0 2 Pariwisata 3 6,0 3 Perdagangan 25 50,0 4 PNS 2 4,0 5 Pegawai swasta 4 8,0 6 Tukang bangunan 5 10,0 6 Missing 4 8,0 7 Total 50 100,0

Sumber: Data Primer, 2013

Data Tabel 5.4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang mengkonversikan lahan pertanian mereka yang sebelumnya (para pendahulu mereka) dapat dipastikan bekerja di sektor pertanian, sudah beralih ke sektor lainnya, di luar sektor pertanian. Hanya sekitar 14 persen responden masih bekerja di sektor pertanian. Berdasarkan data yang ada sebagian besar responden sekarang ini bekerja sebagai pedagang dan ini berkaitan dengan konversi terhadap lahan pertanian yang dimilikinya. Responden yang bertempat tinggal di pinggir jalan atau lahan pertanian yang dimiliki berada di pinggir jalan, maka mereka akan mengkonversikan sebagian dari lahan pertanian mereka untuk usaha tertentu, umumnya untuk usaha dagang. Dengan demikian terlihat paling banyak responden bekerja di sektor tersebut. Data menunjukkan tidak

(31)

begitu banyak mereka bekerja di industri pariwisata, demikian juga sebagai PNS, pegawai swasta, dan sebagai tukang. Untuk daerah Mengwi misalnya dapat dikatakan sebagai daerah yang banyak penduduknya sebagai tukang bangunan baik sebagai tukang kayu maupun tukang batu sebagai istilah dalam pekerjaan pertukangan. Jadi saat ini daerah yang sebelumnya dapat dikatakan sebagai daerah pertanian, namun penduduknya sudah sebagian besar tidak menekuni lagi usaha tersebut.

Sektor pertanian sering dipandang sebagai sektor yang memberikan penghasilan yang lebih rendah daripada sektor lainnya sehingga ada fenomena orang beralih dari sektor pertanian ke sektor lainnya, berkaitan dengan penghasilan yang diperoleh. Secara rata-rata penghasilan utama responden sekitar 5,21 juta rupiah, dengan penghasilan minimum Rp.450.000,- dan tertinggi Rp.50.000.000,-. Responden yang memiliki penghasilan utama sebagian kecil juga memiliki penghasilan tambahan yang jumlahnya lebih kecil daripada penghasilan utama. Penghasilan tambahan responden memiliki rata-rata sebesar Rp.1,26 juta, dengan penghasilan tambahan paling rendah Rp. 300.000,- dan yang tertinggi Rp. 4.000.000,-. Jika dijumlahkan total penghasilan responden secara rata-rata mencapai Rp. 5,57 juta dengan penghasilan terendah dan tertinggi masih sama dengan penghasilan utama yaitu masing-masing Rp.450.000,- dan Rp. 50.000.000,- Jika dilihat dari rata-rata total penghasilan responden yang mencapai Rp.5,57 juta, ini jauh diatas penghasilan sebagai batas Upah Minimum Regional (UMR) yaitu sekitar Rp. 1.500.000,-. Untuk melihat informasi yang lebih akurat akan ditampilkan data penghasilan responden yang berada di bawah UMR, yaitu sebanyak 13 persen responden memiliki penghasilan di bawah Rp.1.500.000,- dan sisanya 87 persen memiliki penghasilan di Rp.1,5 juta ke atas. Data tersebut menunjukkan cukup banyak responden yang memiliki penghasilan di bawah UMR, meskipun secara rata-rata penghasilan total responden jauh melebihi nilai UMR tersebut. Kondisi ini juga dapat menunjukkan ada jarak (range) yang relatif lebar antara responden yang memiliki penghasilan minimum dengan responden yang memiliki penghasilan tinggi. Terdapat range atau jarak yang sangat lebar yaitu Rp.49.550.000,- (penghasilan tertinggi Rp. 50 juta dan yang terendah Rp. 450.000,-), dan penghasilan terendah dan tertinggi tersebut hanya dimiliki oleh masing-masing sekitar 2 persen responden.

Informasi yang lebih penting daripada sekedar berapa penghasilan mereka yaitu apakah penghasilan yang mereka dapatkan mencukupi untuk kebutuhan hidup mereka, karena tidak selalu ada korelasi antara banyaknya penghasilan yang diperoleh dengan tingkat kecukupan yang

(32)

mereka rasakan dari penghasilan tersebut. Dalam penelitian ini ditanyakan tentang persepsi responden mengenai kecukupan penghasilan yang mereka peroleh untuk membiayai kebutuhan keluarga, seperti Tabel 5.5 berikut.

Tabel 5.5: Distribusi Responden Menurut Kecukupan Penghasilan No Persepsi Tentang

kecukupan penghasilan

Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 Cukup 33 71,7

2 Tidak cukup 13 28,3

3 Total 46 100,0

Sumber: Data Primer, 2013

Data Tabel 5.5 menunjukkan tidak semua responden merasakan penghasilan mereka mencukupi untuk membiayai kebutuhan hidup. Lebih dari seperempat dari total responden menyatakan bahwa penghasilan mereka tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan hidup mereka, dan hanya sekitar 72 persen yang menyatakan sebaliknya. Ada kemungkinan yang lebih besar responden yang merasa penghasilannya tidak mencukupi adalah responden yang memiliki penghasilan yang lebih rendah, namun tetap ada kemungkinan terjadi kondisi yang sebaliknya. Tabel 5.5 menunjukkan jumlah responden yang menjawab tentang pertanyaan kecukupan penghasilan ini adalah hanya responden yang memiliki penghasilan, sedangkan responden yang tidak bekerja, tidak ditanyai tentang persepsinya mengenai kecukupan penghasilan.

Data yang mendukung hasil tersebut menunjukkan bahwa responden yang menyatakan penghasilannya tidak mencukupi ternyata memiliki rata-rata penghasilan yang jauh lebih rendah daripada rata-rata penghasilan total responden secara keseluruhan yaitu Rp. 1.56 juta berbanding Rp.5,57 juta. Apalagi jika dibandingkan dengan rata-rata penghasilan responden yang menyatakan penghasilan mereka mencukupi, maka pasti akan lebih lebar lagi perbedaan rata-rata penghasilan responden yang menyatakan penghasilan mereka tidak mencukupi, jika dibandingkan dengan yang menyatakan penghasilan mereka mencukupi. Dengan demikian dapat disimpulkan secara umum bahwa responden yang menyatakan penghasilannya tidak mencukupi ternyata memiliki rata-rata penghasilan yang jauh lebih rendah daripada rata-rata penghasilan total responden. Di antara responden yang menyatakan penghasilan mereka tidak mencukupi juga dapat dilihat penghasilan mimimumnya dan juga penghasilan maksimumnya. Data yang terkumpul menunjukkan bahwa responden yang menyatakan penghasilan yang mereka dapatkan

Gambar

Tabel 1.1:  Perkembangan Tingkat Pertumbuhan  Penduduk Tahun 1990, 2000,   dan Tahun 2010 di  Kabupaten  atau Kota di Provinsi Bali (Jiwa)
Tabel 1.2: Jumlah Produksi Padi Sawah, Luas Panen, dan Rata-rata Produksi Per Hektar                   Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2011
Tabel 1.3: Kondisi Produksi dan Konsumsi Beras Tahun 2006-2010 di Provinsi Bali   No  Tahun  Produksi beras
Tabel 2.1: Penggunaan Lahan Tahun 2009 dan 2011 di Provinsi Bali (Ha)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sumber : Anonim, 1997, Konsep Laporan Akhir Penyusunan Rencana Detail Kawasan Ratu Boko Tahap II, hal: II - 20. Tabel 7 : TeIjemahan Arsitektural Vegetasi Kawasan

Proses komputasi pengurutan data acak dengan metode mergesort yang dijalankan secara paralel dengan menggunakan virtual komputer dari layanan IAAS cloud dapat

Pengadaan Perangkat Managemen perpustakaan Elektronik Dan Multimedia Pembelajaran Interaktif) Rp 1.375.000.000,00 Triwulan IV 6 Kompetisi Hasil - Hasil Pembelajaran Siswa. Cetak

 Prioritas akan naik jika proses makin lama menunggu waktu jatah CPU... Round

Karena berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa peranan kepala sekolah sebagai pendidik (edukator) yangtugasnya untuk memberikan nasihat terhadap guru dalam

Dari Pasal 28 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat ditafsirkan bahwa terhadap suami istri yang bertindak dengan itikad

Banyak hambatan yang ditemui kurator, antara lain terkait dengan kepastian hukum terhadap profesi ini yaitu belum adanya jaminan hukumyang jelas untuk melindungi tugas

Petunjuk relaksasi progresif dibagi dalam dua bagian, yaitu bagian pertama dengan mengulang kembali pada saat praktek sehingga lebih mengenali bagian otot tubuh yang paling