• Tidak ada hasil yang ditemukan

KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PASIEN YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT UMUM MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PASIEN YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT UMUM MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PASIEN YANG

MENJALANI TERAPI HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT UMUM

MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

Saryono1, Handoyo2 ABSTRACT

Chronic or irreversible renal failure is a progressive reduction of function renal tissue such that the remaining kidney mass can no longer maintain the body’s internal environment. CRF can develop insidiously over many years, or it may result from episode of ARF from which the client has not recovered. To overcome that diseases, hemodialysis should be performed to normalise the ureum and creatinin level in the blood however, ureum and creatinin level sometimes have different value after performing hemodialysis. That situation occurred due to nutrition diet compliance.

The aim of this study is to evaluate the ureum and creatinin level during

hemodialysis performed for CRF patients. Descriptive observational with

cross sectional approach was used in this study. The population is CRF patients who performed hemodialysis in the Margono Soekardjo Hospital during March 2006. Of 52 CRF patients involved in this study. This study show that mostly CRF patients who will perform hemodialysis have high ureum and creatinin level. The frequency of dialysed during a week tend to decrease ureum and creatinin level, however, it could not reflect with the normal value of ureum and creatinin level .

Keywords : hemodialysis, ureum and creatinin level

PENDAHULUAN

Gagal ginjal kronis atau

chronic kidney disease (CKD), terjadi

secara perlahan-lahan dalam jangka waktu lama, tidak dapat disembuhkan tetapi dapat diusahakan untuk menghambat progresivitasnya. Di negara maju, insidensi gagal ginjal terminal berkisar antara 78 – 284 per juta penduduk, sedang prevalensi pasien

yang menjalani dialisis, berkisar

antara 476 – 1150 per juta penduduk. Di amerika Serikat saja, negara yang sangat maju dan tingkat gizinya tinggi, setiap tahun ada sekitar 20 juta orang dewasa menderita penyakit kronik ginjal. Dan hampir separohnya menderita penyakit ginjal yang sifatnya sudah

moderate (Lewis, Heitkemper and Dirksen, 2000). Keadaan di Indonesia lebih mengerikan lagi, tetapi masih sedikit data yang diketahui secara pasti.

Indonesia termasuk negara dengan tingkat penderita gagal ginjal cukup tinggi. Saat ini, jumlah penderita gagal ginjal mencapai 4.500 orang. Dari jumlah itu, banyak penderita yang meninggal dunia akibat tidak mampu berobat atau cuci darah (hemodialisa) karena biayanya sangat mahal, yang harus dilakukan 2-3 kali seminggu. Akibatnya, tidak sedikit penderita yang meninggal dunia (Soedarsono , 2001). Sebanyak 50-100 penderita gagal ginjal setiap tahun di Indonesia memerlukan transplantasi ginjal.

(2)

Sayangnya, hanya 20% dari penderita gagal ginjal yang bisa melakukan transplantasi dan sekitar 80% penderita gagal ginjal sulit mendapat organ ginjal untuk ditransplantasikan (Wiguno, 2001; Yusuf dan Wiguno, 2001).

Kecenderungan kenaikan penderita gagal ginjal itu antara lain terlihat dari meningkatnya jumlah pasien cuci darah, yang jumlahnya rata-rata 250 orang/tahun. Gagal ginjal dapat disebabkan oleh penyakit darah tinggi, kencing manis, batu ginjal, ginjal polikistik, infeksi kronis saluran kemih dan lain-lain. Beberapa penyakit tersebut merupakan penyakit degeneratif yang sering timbul pada lanjut usia, sehingga frekuensi gagal ginjal cenderung meningkat. Ginjal mempunyai peran strategis dalam tubuh yaitu mengeluarkan air dan sampah metabolisme dalam bentuk air kemih serta menghasilkan hormone erythropoietin yang berperan dalam pembentukan sel darah merah (Groer, 2001; Price and Lorraine, 1998; Copstead and Banasik, 2000). Peran yang penting tersebut akan menimbulkan masalah bila ginjal mengalami kegagalan. Sampah metabolit seperti ureum dan kreatinin akan meningkat, dan eritropoetin tidak bekerja optimal sehingga terjadi anemia (Price and Lorraine 1998; Copstead and Banasik, 2000). Bila fungsi ginjal hanya 5% atau kurang, maka pengobatan cuci darah

(hemodialisis) atau cangkok ginjal

mutlak diperlukan (KDOQI, 2002; Susalit, 1998).

Data yang didapat dari Instalasi Hemodialisis RSMS menunjukan adanya peningkatan jumlah pasien gagal ginjal yang menjalani terapi pengganti

Hemodialisis. Pada tahun 2004 telah dilakukan tindakan Hemodialisis sebanyak 4543 kali, terdiri dari laki-laki sebanyak 3064 kali dan perempuan sebanyak 1479 kali. Sedangkan pada tahun 2005 dilakukan tindakan Hemodialisis 7208 kali, laki-laki 4225 kali dan perempuan 2983 kali, terhadap 150 pasien baik rawat inap maupun rawat jalan.

Pasien dengan ginjal yang tidak berfungsi, perlu menjalani program hemodialisis (Lewis, Heitkemper and Dirksen, 2000). Hemodialisis sebagai suatu solusi terbaik, dapat mendatangkan berbagai masalah, karena gagal ginjal terminal sebagai penyakit kronik bersifat irreversible, masalah selalu muncul setiap waktu dan tidak pernah berakhir sampai akhir hayat pasien (Parsudi, 1990). Pasien rata-rata menjalani hemodialisis dua kali seminggu di RSMS, sehingga dalam satu bulan minimal delapan kali. Hal ini akan berdampak pada tingginya biaya yang dikeluarkan dan kejenuhan akibat terapi rutinitas (Doenges, Moorhouse and Geissler, 2000).

Ureum-kreatinin merupakan produk sisa dari metabolisme tubuh. Kadar kreatinin yang tinggi 8 kali lebih umum ditemukan di antara para pengidap hipertensi dibanding individu lain yang tekanan darahnya normal. Kadar ureum kreatinin perlu dimonitor sebagai indikator kerusakan ginjal dan pemeriksaan ini dilakukan setiap akan menjalani hemodialisis. Pasien belajar bagaimana mengatur diitnya supaya kadar ureum kreatinin tidak berlebihan sebelum hemodialisis berikutnya. Seringnya hemodialisis yang dilakukan pasien, secara tidak langsung mengajarkan bagaimana pasien harus mematuhi diit yang

(3)

harus dijalaninya. Namun seringkali kadar ureum kreatinin justru berubah-rubah melebihi kadar normal akibat pasien melakukan diit tidak sesuai dengan kondisinya (Hudak dan Gallo, 1996; Curley and Maloney-Harmon, 2001). Berdasarkan data tersebut diatas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kadar ureum dan kreatinin darah pada pasien, setiap akan menjalani hemodialisis di Instalasi Hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam penanganan gagal ginjal selanjutnya dan dapat memotivasi pasien untuk mematuhi diitnya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain deskriptif observasional dengan pendekatan cross sectional. Tempat penelitian dilaksanakan di Instalasi Hemodialisis RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dan dilaksanakan pada bulan Maret 2006. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien gagal ginjal yang menjalani pengobatan pengganti yaitu Hemodialisis di Instalasi Hemodialisis RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto pada bulan Maret 2006.

Sampel yang digunakan pada penelitian ini diambil dengan teknik

purposive sampling pada subjek

yang memenuhi kriteria inklusi :

akan menjalani hemodialisis, dapat berkomunikasi dan bersedia menjadi responden. Sedangkan kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah hipertermi > 38 0C.

Variable yang diukur pada penelitian ini adalah kadar ureum dan kreatinin pada pasien yang akan menjalani hemodialisis. Data yang digunakan adalah data sekunder dari catatan medik. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik responden

Sebanyak 52 sampel pasien gagal ginjal telah berpartisipasi dalam penelitian ini. Umur responden bervariasi disajikan dalam Tabel 1. Usia termuda responden pada penelitian ini adalah 21 tahun dan tertua berusia 70 tahun.. Gagal ginjal dapat terjadi pada semua rentang usia dan mempunyai distribusi penyebab yang berbeda-beda (Groer, 2001). Pada usia muda, gagal ginjal jarang terjadi namun dapat terjadi akibat dehidrasi yang kronis maupun zat nefrotoksis. Konsumsi makanan atau minuman yang mengandung zat nefrotoksik akan mempercepat terjadinya pengrusakan sel-sel ginjal. Pada usia dewasa tua dan manula, secara anatomis kemampuan pertumbuhan sel-sel ginjal mulai menurun dan mulai terjadi pemunduran fungsi

sel-sel ginjal.

Table 1. Distribusi frekuensi responden menurut umur No Umur Frekuensi Persentase

1 <25 1 2,3

2 25-30 1 2,3

3 31-35 2 4,7

4 36-40 9 16

(4)

6 46-50 15 19 7 51-55 3 7,1 8 56-60 5 11,9 9 61-65 6 11,9 10 66-70 4 9,5 Total 52 100

Frekuensi hemodiálisis perminggu Hemodialisis atau cuci darah dilakukan dengan tujuan untuk membuang hasil metabolisme dan cairan yang tidak dapat dikeluarkan dari tubuh karena ginjal gagal menjalankan fungsinya (Price and Lorraine, 1998). Hemodiálisis dapat dilakukan beberapa kali dalam seminggu. Gagal ginjal terminal harus dilakukan tindakan cuci darah secara rutin 2 kali seminggu masing-masing selama 4 jam.

Frekuensi hemodiálisis dapat dilihat dalam Tabel 2. Penarikan cairan saat hemodialisis dilakukan sampai tercapai berat badan kering pasien (Lewis, Heitkemper and Dirksen, 2000). Berat badan kering yaitu berat badan di mana sudah tidak ada cairan berlebihan dalam tubuh. Hal ini bisa dilihat dari tanda-tanda seperti pembengkakan pada tubuh atau sesak yang diakibatkan adanya cairan di paru-paru (edema paru). Table 2. Distribusi frekuensi responden berdasarkan frekuensi

hemodialisis perminggu No Frekuensi hemodialisis perminggu Frekuensi Persentase 1 1 X 6 12 2 2 X 46 88

Konsentrasi cairan dalam tubuh akan dipertahankan secara konstan, meskipun asupan dan ekskresi air dan solut cukup besar. Keadaan cairan dan plasma tubuh dipertahankan dengan memekatkan atau mengencerkan kemih. Bila cairan banyak diminum akan menyebabkan cairan tubuh menjadi encer. Kemih menjadi encer dan kelebihan air akan dikeluarkan dengan cepat. Maka tubuh akan berkemih lebih sering dan lebih banyak. Namun sebaliknya jika asupan cairan tubuh sedikit atau asupan solut berlebihan maka cairan tubuh menjadi pekat, kemih menjadi sangat pekat. Sehingga saat berkemih banyak cairan solut

yang ikut terbuang dalam air. Ginjal berfungsi sebagai tempat membersihkan darah dari berbagai zat hasil metabolisme tubuh dan racun yang tidak dibutuhkan dalam bentuk air seni (Copstead and banasik, 2000; Smeltzer and Bare, 2002).

Berdasarkan jenis kelamin, penyakit gagal ginjal sering terjadi pada laki-laki (Tabel 3). Hal ini dimungkinkan karena saluran kemih laki-laki lebih panjang sehingga memungkinkan tingginya hambatan pengeluaran urin dari kantong kemih. Hambatan ini dapat berupa penyempitan saluran (stricture) ataupun tersumbatnya saluran oleh batu. Karena urin banyak membawa

(5)

produk beracun sisa metabolisme, hambatan pengeluaran akan menyebabkan gangguan fungsi nefron. Karena filtrasi berjalan terus-menerus, urin yang dihasilkan juga semakin bertambah

dan racun/zat toksik semakin melimpah dalam urin sehingga kerusakan akan semakin bertambah (Morton, Fontaine, Hudak and Gallo, 2005; Doengoes, Moorhouse and Geissler, 2000)

Table 3. Distribusi frekuensi responden menurut jenis kelamin No Jenis

kelamin

Frekuensi Persentase

1 Laki-laki 35 67

2 Perempuan 17 33

Batu dapat menyebabkan kerusakan/ gangguan fungsi ginjal karena menyumbat aliran urine sehingga ginjal membengkak (salurannya melebar = hydronephrosis). Proses ini umumnya berlangsung lama sekali . Tapi juga bisa mendadak (akut) bila sumbatan secara total. Kerusakan lain juga bisa karena infeksi yang timbul karena adanya batu tesebut dan adanya gangguan aliran urine. Jadi batu umumnya terbentuk pada saluran (di ginjal terdapat di bagian calyxnya) atau di pialanya (pyelum/pangkal saluran yang menuju kebawah). Bahkan yang sering menyumbat bila batu disaluran yang lebih bawah (ureter) dan umumnya akan menimbulkan

rasa sakit disebut colic (Groer, 2001; Price and Lorraine, 1998).

Gagal ginjal dapat disebabkan oleh penyakit darah tinggi, kencing manis, batu ginjal, ginjal polikistik, infeksi kronis saluran kemih dan lain-lain (Copstead and Banasik, 2000). Beberapa penyakit tersebut merupakan penyakit degeneratif yang sering timbul pada lanjut usia, sehingga frekuensi gagal ginjal cenderung meningkat. Ginjal mempunyai peran strategis dalam tubuh yaitu mengeluarkan air dan sampah metabolisme dalam bentuk air kemih serta menghasilkan hormon erythropoietin yang berperan dalam pembentukan sel darah merah (Groer, 2001; Price and Lorraine, 1998).

Table 4. Distribusi frekuensi responden menurut penyakit penyerta No Jenis penyakit Frekuensi Persentase

1 Hipertensi 39 75

2 Diabetes melitus 4 8

3 DM dan hipertensi 7 13

4 Ginjal polikistik 2 4

Berdasarkan hasil penelitian di atas, penyakit penyerta yang paling sering menyertai gagal ginjal adalah hipertensi. Gagal ginjal akan menyebabkan ginjal tidak mampu mengkonsentrasikan atau

mengencerkan urin secara normal. Respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium dan cairan sehingga meningkatkan risiko

(6)

terjadinya edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi. Hipertensi ini juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin-angiotensin dan aldosteron (Smeltzer and Bare, 2002, Lewis, Heitkemper and Dirksen, 2000).

Ureum dan kreatinin

Hemodialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang serius. Hemodialisis akan memperbaiki abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas, menghilangkan kecenderungan perdarahan dan membantu penyembuhan luka (Price and Lorraine, 1998). Menurunnya filtrasi glomerulus, menyebabkan klirens kreatinin akan menurun dan kadar kreatinin serum akan meningkat,

seperti dalam Tabel 4. Selain kadar kreatinin, kadar urea nitrogen (BUN) darah juga biasanya meningkat. Kreatinin serum ini mencerminkan kerusakan ginjal yang paling sensitive karena dihasilkan secara konstan oleh tubuh (Lewis, Heitkemper and Dirksen, 2000).

Ureum dipengaruhi isi protein dalam makanan, sedang kreatinin ditentukan oleh banyaknya masa otot (laju katabolisme protein), disamping bagaimana aktivitas metabolisme badan kita, misalnya meningkat bila kita sakit (panas/adanya infeksi) (Smeltzer and Bare, 2002). Maka bila tubuh gemuk, berat badan lebih 60 kg, atau makan tidak sesuai diet yang dianjurkan, atau karena sakit, maka hemodialisis 2 kali seminggu tidak cukup, sehingga hemodialisis perlu dievaluasi

Table 4. Kadar ureum dan kreatinin darah responden yang akan menjalani hemodialisis di RS Margono Soekarjo.

No Jenis penyakit Rata-rata Standard deviasi

1 Ureum 151,11 63,29

2 Kreatinin 12,62 8,94

Berdasarkan hasil penelitian, kadar ureum rata-rata responden mengalami peningkatan di atas normal. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit ginjal, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme jaringan dan luka RBC dan obat steroid (Smeltzer and Bare, 2002). Menurut Price dan Lorraine (1998) ginjal berfungsi mengeluarkan sampah metabolisme (seperti urea, kreatinin dan asam urat), zat kimia asing dan menghasilkan rennin, bentuk aktif vitamin D serta eritropoetin, namun fungsi ini akan menurun bahkan

berhenti bila ginjal tidak mampu melakukannya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kadar ureum dan kreatinin pasien yang akan menjalani hemodiálisis rata-rata mengalami hiperuremik. Seringnya menjalani hemodiálisis tidak mencerminkan penurunan kadar ureum dan kreatinin menjadi normal. Namun situasi dan kepatuhan diit sehari-hari yang memegang peranan penting dalam pengaturan kadar ureum dan kreatinin tersebut. Hal ini perlu penelitian selanjutnya untuk menganalisis factor-faktor yang

(7)

mempengaruhi kadar ureum dan kreatinin pada pasien gagal ginjal.

DAFTAR PUSTAKA

Copstead LC and Banasik JL. 2000. Pathophysiology, Biological and Behavioral Perspektives, 2nd edition. W B Saunders Co, USA.

Curley MAQ and Maloney-Harmon PA. 2001. Critical Care Nursing of Infants and Children, 2nd edition, WB Saunders Co, Philadelphia.

Doenges ME, Moorhouse MF dan Geissler AC. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi III, EGC, Jakarta.

Groer MW., 2001. Advanced Pathophysiology, Application to Clinical Practice, Lippincott, Philadelphia.

Hudak CM dan Gallo BM. 1996. Perawatan Kritis, Pendekatan holistic, Vlume II, edisi VI, EGC, Jakarta.

Lewis SM, Heitkemper MM and Dirksen SR. 2000. Medical Surgical Nursing, Mosbi inc, USA.

Morton PG, Fontaine D, Hudak CM and Gallo BM.2005. Critical Care Nursing, A Holistic Approach, Lippincott, Philadelphia.

Parsudi I, Pengelolaan Gagal Ginjal Terminal dalam Soewitho A dan Poerwanto AP (eds), Simposium Gagal Ginjal Kronik Terminal, Semarang, 1990.

Price SA and Lorraine CW, 1998. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses

Penyakit,(terjemahan), EGC, Jakarta.

Smeltzer SC and Bare BG. 2002. Brunner and Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing (terjemahan), vol 2 , edisi ke-8, EGC, Jakarta.

Susalit, 1998. Strategi Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik memasuki Abad XXI, Maj Kedok Indon, 1998; 48 : 308-310

Sudarsono S. 2001. Penanganan Gagal Ginjal, Yayasan Pembina Asuhan Bunda (YPAB) Rumah Sakit Khusus Ginjal Ny. R.A. Habibie, dalam acara peringatan HUT RSKG Ny. R.A. Habibie ke-16 Bandung.

National Kidney Foundation (NKF)/Kidney Disease Outcome Quality Initiative (K/DOQI) Advisory Board, 2002. K/DOQI Clinical Practice Gueidelines for Chronic Kidney Disease, Evaluation, Classification and Stratification, Kidney Disease Outcome Quality Initiative, Am J

Kidney 2002; 39: 51 –

5246(suppl 1).

Wiguno, P. 2001. Dialisis Peritoneal, Subbagian Ginjal dsan Hipertensi, Fakultas Kedokteran , Universitas Indonesia, Jakarta. Yusuf MN. dan Wiguno P. 2001. Pemeriksaan Penunjang pada Penyakit Ginjal, dalam Arjatmo T dan Hendra U, Ilmu Penyakit Dalam, FKUI, Jakarta.

Gambar

Table 1. Distribusi frekuensi responden menurut umur No Umur Frekuensi Persentase
Table 2. Distribusi frekuensi responden berdasarkan frekuensi hemodialisis perminggu No Frekuensi hemodialisis perminggu Frekuensi Persentase 1 1 X 6 12 2 2 X 46 88
Table 4. Distribusi frekuensi responden menurut penyakit penyerta No Jenis penyakit Frekuensi Persentase
Table 4. Kadar ureum dan kreatinin darah responden yang akan menjalani hemodialisis di RS Margono Soekarjo.

Referensi

Dokumen terkait

Dari pernyataan-pernyataan pada masalah no 2 dan 3 di atas, yaitu benda yang diam akan tetap diam jika tidak dipengaruhi oleh gaya apapun dan sebuah benda yang bergerak

Oleh karena nilai prob &lt; 0,05 maka dapat ditafsirkan bahwa variabel bebas Akuntabilitas, Independensi dan Kompetensi secara bersama-sama (simultan) mempunyai

Sedangkan kondisi lain yang dipengaruhi, karena sebagian besar masyarakat berasal dari golongan masyarakat bawah, sehingga tekanan ekonomi ini juga membuat

Bila anda mengklik New Table Maka akan muncul tampilan window seperti di bawah ini, terdapat Coloumn Name (untuk mengisikan Nama Kolom/ Nama Field), Data Type (untuk

Mengenai kedudukan hukum atau legal standing dari Pemohon dalam mengajukan permohonan ini berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,

Pada latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan di atas maka perumusan masalah untuk penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan gaya kepemimpinan kepala

Naskah ini dikarang pada pertengahan abad ke-19 M., masa perluasan wilayah jajahan Belanda dan sekutunya. Masa yang dapat melumpuhkan potensi penduduk pribumi yang

16 Menurut pandangan saya, sekolah bukan sarana yang tepat untuk seorang anak mencapai prestasi belajar. 17 Menurut penilaian saya, keterlibatan