• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS IMPLEMENTASI FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL PADA INDUSTRI PENGOLAHAN SUSU (STUDI KASUS PADA PT.X)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS IMPLEMENTASI FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL PADA INDUSTRI PENGOLAHAN SUSU (STUDI KASUS PADA PT.X)"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

SUSU (STUDI KASUS PADA PT.X)

Risty Manggih Mukti, Gunadi

Program Studi Ekstensi Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

ristymanggih@yahoo.com Abstrak

Penelitian ini membahas tentang implementasi dari Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008 dan efektifitas dari fasilitas pajak penghasilan yang diterima oleh PT.X. Kebijakan tersebut yaitu kebijakan fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu. Dengan fasilitas pajak diharapkan terciptanya peningkatan penanaman modal di Indonesia. Tapi yang menjadi pertimbangan, dengan adanya fasilitas pajak penghasilan tersebut pemerintah harus mengorbankan penerimaan pajak dari sektor pajak penghasilan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan menggunakan wawancara mendalam dan studi pustaka. Analisa yang dilakukan adalah dengan membandingkan teori yang ada dengan data-data yang telah diperoleh dan peraturan yang berlaku. Perbandingan yang dilakukan mengacu pada tema penelitian ini. Kelemahan penelitian skripsi ini adalah masih adanya data yang kurang didapatkan untuk dijadikan bahan perbandingan.

Kata Kunci : Fasilitas Pajak Penghasilan; Pengurangan Penghasilan Neto; Industri Pengolahan Susu

Abstract

This study discusses the implementation of Government Regulation No. 62 of 2008 and the effectiveness of facility income tax received by PT.X. The policy of the facility income tax for investments in certain business areas and / or in certain areas. With the facility expected to create increased tax investment in Indonesia. But that into consideration, with facilities such income tax expense of the government should tax revenue from the income tax sector. The method used in this study is qualitative. Data was collected using in-depth interviews and literature. The analysis is done by comparing the existing theory with data that have been obtained and regulations. Comparisons were made referring to the theme of this study. Weakness of this thesis research is still a lack of data available to be used as comparison.

(2)

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Negara-negara yang berada dikawasan Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, dan negara-negara lainnya yang merupakan negara-negara yang disebut sebagai negara berkembang atau berada dalam tahap perkembangan. Khususnya di Indonesia, seperti dalam majalah The Economist menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang dapat bertahan dari krisis global karena mempunyai stabilitas moneter dan kebijakan fiskal untuk mendorong pengembangan ekonomi. Pengembangan sektor ekonomi pada umumnya dapat mengandalkan pada pengembangan ekonomi yang berpusat pada pemerintah yang didukung dengan sektor swasta. Pada sektor swasta perkembangan ekonomi dapat didukung dengan penanaman modal.

Penanaman modal atau investasi merupakan salah satu cara pengembangan ekonomi melalui sektor swasta untuk menunjang pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, penciptaan lapangan pekerjaan, peningkatan kualitas sumber daya strategis, pengalihan dan penerapan teknologi yang bersaing, pertumbuhan ekspor, dan meningkatkan neraca pembayaran. Oleh karena itu, pemerintah menciptakan kerangka hukum yang tepat sebagai persyaratan untuk mempromosikan lingkungan bisnis yang stabil, dapat diprediksi, dan menarik sehingga dapat menunjang sektor swasta untuk melakukan inventasi di Indonesia.

Kerangka hukum yang dimaksud mencakup perlakuan yang adil guna mendukung pertumbuhan sektor swasta terhadap tiap investor baik domestik maupun asing, perlindungan hukum bagi usaha, kebebasan untuk merepatriasi modal, dan juga penyelesaian sengketa yang cepat dan efektif. Investor sebagai pihak yang melakukan investasi dalam rangka menanamkan modalnya pada suatu negara pada umumnya mempertimbangkan beberapa faktor yang berkaitan dengan negara tersebut, seperti suku bunga pinjaman, tingkat pendapatan, pertumbuhan dan ukuran kelas menengah, tingkat inflasi yang rendah dan stabil, regulasi pemerintah, berupa insentif fiskal seperti fasilitas Tax Allowance dan Tax Holiday dan insentif non fiskal seperti pemberian kemudahan pelayanan investasi.

Investasi dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA) berpotensi mempercepat pertumbuhan dan transformasi ekonomi. Upaya menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia sampai saat ini masih merupakan salah satu agenda pemerintah khususnya investasi asing yang bersifat langsung (Foreign Direct Investment) yang memiliki pertalian ekonomi yang erat dengan Indonesia (Rahayu, 2005). Di samping itu, kehadiran modal asing khususnya di bidang industri manufaktur menjadi sumber perkembangan teknologi, pertumbuhan ekspor dan penyerapan tenaga kerja.

(3)

Gambar. Perkembangan Realisasi Penanaman Modal Tahun 2012

Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal

Berdasarkan data di atas, nilai Investasi Triwulan IV 2012 merupakan realisasi investasi yang dilakukan selama 3 bulan periode laporan Oktober s/d Desember 2012 berdasarkan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) yang diterima oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal. Nilai invetasi diatas diluar dari Investasi Migas, Perbankan, Lembaga Keuangan Non Bank, Asuransi, Sewa Guna Usaha dan Industri Rumah Tangga. Realiasai investasi pada Triwulan IV 2012 sebesar Rp. 83,3 Triliun, meningkat 1,83% dari triwulan sebelumnya yaitu Triwulan III 2012 sebesar Rp. 81,8 Triliun.

Dalam rangka memberikan daya tarik investasi di Indonesia, Pemerintah memberikan fasilitas atau insentif kepada investor baik lokal maupun luar negeri. Penggunaan kebijakan negara dalam bidang perpajakan, hingga pajak digunakan sebagai instrumen regulasi melalui fasilitas perpajakan tersebut dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, melalui investasi, menciptakan pemerataan ekonomi nasional, melalui pemerataan investasi dan pembangunan industri, menciptakan lapangan kerja dan kesempatan kerja dan menciptakan stabilitas ekonomi.(Marsuni, 2006, 64).

Salah satu insentif pajak penghasilan yang diatur berdasarkan ketentuan peraturan perpajakan adalah pemberian fasilitas perpajakan kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah tertentu yang mendapatkan prioritas tinggi dalam skala nasional yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (selanjutnya disebut dengan Undang-undang Pajak Penghasilan) dalam Pasal 31A.

Dengan adanya fasilitas pajak penghasilan tersebut, pemerintah menambahkannya pada Pasal 18 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, serta membuat peraturan pelaksanaannya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1

Triwulan  

I   Triwulan  II   Triwulan  III   Triwulan  IV   Tahun  2012   Target  2012   Realisasi   Total   71.2   76.9   81.8   83.3   313.2   283.5   110.5%   PMDN   19.7   20.8   25.2   26.5   92.2   76.7   120.2%   PMA   51.5   56.1   56.6   56.8   221.0   206.8   106.9%   0   50   100   150   200   250   300   350   Rp  T riliun  

(4)

Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu (selanjutnya disebut dengan PP No.1 Tahun 2007) yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu (selanjutnya disebut dengan PP No.62 Tahun 2008). Wajib Pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbatas dan koperasi, yang melakukan penanaman modal pada bidang-bidang usaha tertentu sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I PP No.62 Tahun 2008, atau pada bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II PP tersebut dapat diberikan fasilitas pajak penghasilan.

Dalam Lampiran I pada PP No.62 Tahun 2008, salah satu bidang tertentu yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagimana disebutkan diatas yaitu industri pengolahan susu dan makanan dari susu. Industri pengolahan susu nasional saat ini masih menjadi pangsa pasar yang menjanjikan, sehingga peluang investasi di sektor ini juga masih terbuka. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal izin invetasi untuk perluasan usaha di sektor industri pengolahan susu juga terus meningkat. Dalam tahun 2008 ada tiga perusahaan yang mendapatkan izin usaha tetap maupun prinsip. Tahun 2009 bertambah menjadi delapan perusahaan yang mendapatkan izin usaha tersebut, tujuh perusahan diantaranya yaitu PT Ajinomoto Calpis Beverage Indonesia, PT Frisian Flag Indonesia, PT Puri Purnama Delodyeh, PT Cisarua Mountain Dairy, PT Sari Husada, PT Danone Indonesia, dan PT Indolakto. Pertambahan nilai investasi tersebut dapat dilihat pada Tabel dibawah ini :

Tabel. Nilai Investasi Industri Pengolahan Susu Tahun Jumlah Perusahaan Nilai Investasi

2008 3 US$ 10 juta dan Rp 1,103 triliun

2009 8 US$ 56,757 juta dan Rp 10,2 triliun

Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal

Kebutuhan susu di negeri ini juga masih kurang jika dibandingkan dengan negara lain seperti dikutip dari Roadmap Industri Susu (2009, 1) disampaikan bahwa konsumsi rata-rata baru mencapai 10,47 kg/kapita/tahun, masih jauh dibawah negara ASEAN yaitu Philipina 20 kg/kapita/tahun, Malaysia 20 kg/kapita/tahun, Thailand 20-25 kg/kapita/tahun, dan Singapura 32 kg/kapita/tahun. Untuk mengatasi kondisi ini Kementerian Perindustrian telah menetapkan industri pengolahan susu sebagai salah satu industri prioritas dalam kelompok industri sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden 28 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Direktur Industri Minuman dan Tembakau Kementerian Perindustrian

(5)

(Kemenperin) Enny Ratnaningtyas mengatakan, industri pengolahan susu sudah masuk dalam industri prioritas. Pihak dari Kemenperin telah menyusun road map industri pengolahan susu pada Tahun 2009 lalu.

Di satu sisi pemerintah sangat berupaya untuk melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan realisasi investasi asing Foreign Direct Investment (FDI) dengan menawarkan berbagai fasilitas, salah satunya tax allowance namun di sisi lain ternyata dengan penggunaan fasilitas tax allowance ini perusahaan yang memanfaatkan fasilitas ini tidak membayar pajak dalam tahun – tahun awal produksi komersial karena melaporakan rugi dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) Badannya. Dengan demikian, pendapatan pemerintah dari sektor pajak khususnya PPh berpotensi menurun.

Tabel. Realisasi Penerimaan Pajak 2012

Jenis Pajak Target

Penerimaan 2012 Realisasi Penerimaan 2012 Persentase PPh Rp 513,65 Rp 464,66 90,46% PPN dan PPnBM Rp 336,05 Rp 337,41 100,4% PBB Rp 29,68 Rp 28,96 97,57% Total Rp 885,02 Rp 835,25 94,38% Sumber : Siaran Pers DJP Kementerian Keuangan

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, realisasi penerimaan pajak Tahun 2012 adalah Rp 835,25 triliun atau mencapai 94,38% dari target sebesar Rp 885,02 triliun. Dibandingkan dengan realisasi Tahun 2011, maka realisasi penerimaan perpajakan Tahun 2012 naik sebesar Rp 92,63 triliun atau mengalami pertumbuhan sebesar 12,47%. Dilihat per jenis pajaknya, maka yang paling rendah capaian targetnya adalah Pajak Penghasilan (PPh) khususnya PPh Non Migas, yaitu sebesar Rp 381,20 triliun dari target Rp 445,73 triliun atau mencapai 85,52%. Demikian juga, kinerja pertumbuhan PPh Non Migas hanya sebesar 6,49%. Rendahnya pencapaian penerimaan PPh Non Migas disebabkan oleh pengaruh kondisi penurunan ekonomi global (global economic

slowdown) yang berimbas pada turunnya ekspor komoditas. Akibatnya, pembayaran pajak

yang berasal dari Wajib Pajak mengalami penurunan. Dengan demikian, fasilitas pajak penghasilan berupa tax allowance yang diterima oleh Wajib Pajak di Indonesia perlu untuk dipahami dan potensi hilangnya penerimaan pajak dari fasilitas ini juga patut diperhitungkan.

Pada tahun – tahun awal dimulainya produksi komersial, Wajib Pajak yang menggunakan fasilitias pajak penghasilan ini akan mengalami kerugian pajak, karena adanya beban biaya yang besar untuk mengembalikan nilai investasi Wajib Pajak. Semakin banyak sektor-sektor industri yang mendapatkan fasilitas ini tentunya realisasi pendapatan pemerintah dari sektor PPh akan berkurang untuk diawal-awal berlakunya kebijakan fasilitas pajak

(6)

penghasilan ini. Pemerintah melakukan kebijakan industri nasional dalam rangka untuk mempercepat proses industrialisasi untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional sekaligus mengantisipasi dampak negatif globalisasi dan liberalisasi ekonomi dunia dan perkembangan di masa yang akan datang. Namun dengan tujuan yang ingin dicapai ini harus mengorbankan hilangnya potensi pajak penghasilan bagi Wajib Pajak yang menggunakan fasilitas pajak penghasilan yang telah diberikan oleh pemerintah.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, timbul pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana implementasi dari fasilitas pajak penghasilan yang diterima oleh PT.X

sebagaimana diatur dalam PP No.62 Tahun 2008?

2. Bagaimana efektifitas dari fasilitas Pajak Penghasilan yang diterima oleh PT.X?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan:

1. Menganalisis implementasi dari fasilitas pajak penghasilan yang diterima oleh PT.X sebagaimana diatur dalam PP No.62 Tahun 2008.

2. Menganalisi efektifitas dari fasilitas pajak penghasilan yang diterima oleh PT.X.

2. Tinjauan Teoretis

Suatu kebijakan hanya akan menjadi impian jika tidak diimplementasikan. Melalui implementasi dapat diketahui apakah suatu kebijakan mengenai sasaran atau tidak. Meter dan Horn mengartikan implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan baik individu-individu, pejabat-pejabat dari kelompok pemerintahan maupun swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan dalam suatu kebijakan (Wahab, 2002, 65).

Dalam bukunya Public Policy, Riant Nugroho (2009, 494) memberi makna implementasi kebijakan sebagai “cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang”. Ditambahakan pula, bahwa untuk mengimplementasikan kebijakan, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu: langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tesebut.

Dalam memahami bagaimana implementasi kebijakan bekerja dalam mewujudkan tujuan kebijakan, akan dibahas model implementasi menurut Edward III. Menurut Edward III (1980, 1) menegaskan bahwa masalah utama administrasi publik adalah lack of attention to

(7)

implementation. Dikatakannya, without effective implementation the decission of policymakers will not be carried out successfully. Edward menyarankan untuk

memperhatikan empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu

communication, resource, disposition or attitudes, dan beureucratic structures.

1. Komunikasi

Komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada organisasi dan/atau publik, ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan kebijakan, sikap dan tanggap dari pihak yang terlibat, dan bagaimana struktur organisasi pelaksana kebijakan. Komunikasi dalam implementasi kebijakan mencakup beberapa dimensi penting yaitu tranformasi informasi (transimisi), kejelasan informasi (clarity) dan konsistensi informasi (consistency) (Widodo, 2007). Dimensi tranformasi menghendaki agar informasi tidak hanya disampaikan kepada pelaksana kebijakan tetapi juga kepada kelompok sasaran dan pihak yang terkait. Dimensi kejelasan menghendaki agar informasi yang jelas dan mudah dipahami, selain itu untuk menghindari kesalahan interpretasi dari pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak yang terkait dalam implementasi kebijakan. Sedangkan dimensi konsistensi menghendaki agar informasi yang disampaikan harus konsisten sehingga tidak menimbulkan kebingungan pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak terkait.

2. Resources atau sumber daya

Resources atau sumber daya berkenaan dengan ketersediaan sumber daya

pendukung, khususnya sumber daya manusia. Hal ini berkenaan dengan kecakapan pelaksana kebijakan publik untuk carry out kebijakan secara efektif. Sumber daya memiliki komponen yaitu terpenuhinya jumlah staf dan kualitas mutu, informasi yang diperlukan guna pengambilan keputusan atau kewenangan yang cukup guna melaksanakan tugas sebagai tanggung jawab dan fasilitas yang dibutuhkan dalam pelaksanaan.

3. Disposition

Diposition berkenaan dengan kesediaan dari para implementor untuk

menjalankan kebijakan publik tersebut, kecakapaan saja tidak mencukupi, tanpa kesediaan dan komitmen untuk melaksanakan kebijakan.

4. Struktur birokrasi

Struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara implementasi kebijakan publik. Aspek struktur organisasi ini

(8)

melingkupi dua hal yaitu mekanisme dan struktur birokrasi itu sendiri (Widodo, 2007). Aspek pertama adalah mekanisme, dalam implementasi kebijakan sudah dibuat

Standart Operation Procedur (SOP). Aspek kedua adalah struktur birokrasi, struktur

birokrasi yang terlalu panjang dan terfragmentasi akan cenderung melemahkan pengawasan dan menyebabkan prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan aktivitas organisasi menjadi tidak fleksibel.

Terkait dengan keberhasilan implementasi kebijakan, Ripley dan Franklin (1987, 48) mengemukakan 3 (tiga) komponen yang digunakan untuk mengukur keberhasilan implementasi yakni : (1) tingkat kepatuhan pada bagian birokrasi terhadap birokrasi diatasnya atau setingkat sebagaimana diatur dalam Undang-undang; (2) keberhasilan implementasi ditandai dengan lancarnya rutinitas dan tidak ada masalah; (3) keberhasilan implementasi mengacu dan mengarahkan pelaksanaan dan dampak yang dikehendaki dari semua program yang ada.

Efektifitas mengandung pengertian yaitu dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektifitas disebut juga hasil guna. Efektifitas selalu terkait dengan dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Menurut Price (1968,1972), Steers (1975), dan Etzioni yang dikutip oleh Azhar Kasim mengatakan bahwa efektifitas suatu organisasi tergantung pada seberapa jauh organisasi tersebut berhasil dalam pencapaian tujuannya (1993, 11). Hal tersebut juga dikemukan oleh Stephen P. Robbins bahwa pencapaian tujuan merupakan kriteria yang paling banyak digunakan untuk menentukan keefektifatn (1994, 58).

Menurut Dunn, efektifitas berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakaannya tindakan, yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya (2003, 429). Berdasarkan pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa efektifitas suatu kebijakan dinilai dari pencapaian tujuannya. Apabila tujuan suatu kebijakan tersebut tercapai maka kebijakan tersebut bisa dikatakan efektif.

Apabila setelah pelaksanaan kegiatan kebijakan publik ternyata dampaknya tidak mampu memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa suatu kebijakan tersebut telah gagal, tetapi terkadang suatu kebijakan publik hasilnya tidak langsung efektif dalam jangka pendek, namun harus melalui proses tertentu. Menurut Mahmudi mendefinisikan efektifitas merupakan hubungan atara output dengan tujuan, semakin besar kontribusi (sumbanagn) output terhadap pencapaian tujuan, semakin efektif organisasi, program atau kegiatan (Mahmudi, 2005, 92).

(9)

Dalam Tax Law Design and Drafting secara umum insentif pajak dapat dibagi lima macam, yaitu (Holland dan Vann, 1998, 990) :

a. Tax Holidays, Pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan untuk Wajib

Pajak tertentu, seperti industri-industri pioner.

b. Investment Allowances and Tax Credits, Bentuk keringanan pajak didasarkan pada nilai pengeluaran kualifikasi investasi. Pada umumnya jenis insentif ini menggunakan persentase tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan kemudian diperhitungkan dalam perhitungan perpajakan.

c. Timing Differences, Pada jenis insentif yang ke tiga ini adanya perbedaan antara

laporan keuangan komersial dengan laporan fiskal dalam pengakuan biaya dan juga dalam hal pengakuan penghasilan.

d. Tax Rate Reduction, Jenis insentif ini lebih kepada pengurangan tarif pajak yang

merupakan jenis insentif yang mengurangi tarif pajak dikenakan kepada Wajib Pajak dari suatu persentase atau tingkatan tarif tertentu ke tarif yang berada dibawahnya. e. Administrative Discretion, Jenis insentif ini lebih kepada mengurangi tarif pajak

dikenakan kepada Wajib Pajak dari suatu persentase atau tingkatan tarif tertentu ke tarif yang berada dibawahnya. Jenis ini merupakan salah satu isu yang pada umumnya beredar dalam perumusan kebijakan fasilitas pajak, dimana Administrative Discretion adalah fasilitas pajak yang dinikmati secara otomatis oleh Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan atau harus mengajukan permohonan penggunaan fasilitas pajak terlebihdahulu. Discretion dapat diartikan sebagai selektif, sehingga Administrative

Discretion dapat diartikan sebagai proses administrasi yang selektif dalam rangka

pemberian fasilitas pajak.

3. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara mendalam bagaimana pelaksanaan dari pemanfaatan kebijakan fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal khususnya di bidang industri pengolahan susu. Selain itu, penelitian ini membutuhkan penjelasan yang rinci dari perusahaan yang menggunakan pemanfaatan fasilitas pajak penghasilan ini. Berdasarkan tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dimana peneliti akan membahas gambaran kebijakan fasilitas pajak penghasilan. Berdasarkan manfaat penelitian, penelitian ini merupakan penelitian terapan. Berdasarkan dimensi waktu yang digunakan, penelitian ini menggunakan dimensi cross-sectional. Penelitian ini dilakukan oleh peneliti

(10)

hanya sekali yaitu pada tahun 2013, selama periode bulan Januari 2013 hingga Juni 2013, dengan kata lain selama enam bulan dalam satu tahun. Dalam penelitian kualitatif, teknik pengumpuan data yang digunakan oleh peneliti adalah antara lain studi kepustakaan dan studi lapangan. Pada penelitian ini digunakan, tehnik analisis data Inductive data analysis atau analisa data induktif.

4. Hasil Penelitian dan Analisis

4.1 Implementasi Fasilitas Pajak Penghasilan bagi Industri Pengolahan Susu PT.X

Industri pengolahan susu merupakan salah satu bidang tertentu sebagaimana diatur dalam PP No.1 Tahun 2007 sebagimana diubah dengan PP No.62 Tahun 2008. Pada Pasal 26 ayat (1) PP No. 1 Tahun 2007 tersebut disebutkan fasilitas pajak penghasilan dapat diberikan kepada Wajib Pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbatas dan koperasi yang melakukan penanaman modal pada bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu. PT.X merupakan perusahaan terbatas yang memiliki 2 parbik pengolahan susu yang keduanya berlokasi di DKI Jakarta yang pelaksanan pengolahan industri susu ini yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan susu bagi masyarakat dengan harga terjangkau.

Untuk memperbesar kapasitas produksi susu seperti yang diinginkan pemerintah Indonesia demi kesejahteran gizi masyarakat Indonesia, PT.X melakukan pengembangan perluasan usahanya dengan meningkatkan kuantitas/ kualitas produk. Perluasan usaha yang telah ada dilakukan dengan memasukan para investor yang rata-rata berasal dari luar Indonesia. Berdasarkan data yang peneliti peroleh nilai investasi di tahun 2009 yang dilaporkan ke Badan Koordinasi Penanaman Modal sejumlah Rp 258.151.868.301. Angka investasi tersebut adalah nilai mesin/peralatan dan suku cadang yang akan diimpor oleh PT.X. Dikarenakan alasan tersebut, PT.X mengajukan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan pada tanggal 5 Juni 2009, kepada Menetri Keuangan melalui Kepada BKPM.

PT.X mendapatkan persetujuan pemberian fasilitas pajak penghasilan pada tanggal 22 Desember 2009. Pada awalnya, PT.X tertarik pada insentif pajak berupa pengurangan penghasilan neto sebesar 30% selama enam tahun (tax allowance) dengan pertimbangan bahwa insentif pajak tersebut dapat mengurangi penghasilan kena pajak secara langsung sehingga pajak yang dibayar menjadi lebih kecil. Jenis insentif pajak lainnya dapat mengurangi beban pajak juga, tetapi secara tidak langsung dan lebih bersifat sementara.

PT.X mengajukan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan pada tanggal 5 Juni 2009, kepada Menetri Keuangan melalui Kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal. Dalam permohonan fasilitas Pajak Penghasilan tersebut PT.X mengunakan formulir yang terdapat

(11)

dalam Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 2/P/2008. Formulir ini didapatkan oleh PT.X dari Konsultan Pajak perusahan PT.X dengan alasan bahwa mereka tidak mendapatkan sosialisasi dari Kantor Pelayanan Pajak PT.X mengenai peraturan fasilitas pajak penghasilan ini. Sehingga PT.X harus lebih ekstra aktif untuk mencari informasi dari media internet mengenai peraturan fasilitas pajak penghasilan ini.

Jika dilihat dari dimensi tranformasi untuk segi komunikasi, kebijakan telah disampaikan kepada para kelompok sasaran dari kebijakan ini yaitu para industri dibidang-bidang tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu. Komunikasi dilakukan oleh pembuat kebijakan melalui media komunikasi sosial seperti majalah dan internet. Yang menjadi tantangan adalah para kelompok sasaran dari pengguna kebijakan ini harus berperan aktif untuk mengetahui keseluruan dari kebijakan ini apabila industri-industri tersebut berkeinginan untuk mendapatkan fasilitas pajak penghasilan tersebut.

Berdasarkan peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No.2/P/2008, diatur jangka waktu untuk memberikan usulan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap dan benar. Pada tanggal 16 Juni 2009, PT.X mendapatkan Surat Usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal yang di tanda tangani atas nama Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal yang ditujukan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak. PT.X mengajukan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan pada tanggal 5 Juni 2009, namun Badan Koordinasi Penanaman Modal baru memberikan surat usulan atas pemohonan PT.X tersebut pada tanggal 16 Juni 2009. Hal tersebut melewati batas waktu yang telah ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal yaitu 5 (lima) hari kerja.

Atas surat usulan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal tertanggal 16 Juni 2009 tersebut, Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan menerbitkan keputusan atas surat usulan tersebut pada tanggal 25 Juni 2009 kepada PT.X. Dalam surat jawaban tersebut Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan belum dapat memproses permohonan fasilitas pajak penghasilan PT.X tersebut karena terdapatnya data yang belum lengkap yaitu belum dilampirkannya rincian berupa daftar investasi.

Penerbitan keputusan berupa jawaban atas surat usulan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan tersebut diterbitkan dalam jangka waktu 8 hari kerja yaitu sejak 16 Juni 2009 s/d 25 Juni 2009. Dengan penerbitan keputusan tersebut, telah sesuai dengan Peraturan Kepala BKPM tersebut yaitu dalam jangka waktu paling lama 10 hari kerja yaitu atas dasar usulan

(12)

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan menerbitkan keputusan tentang pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja dan menyampaikannya kepada Wajib Pajak yang bersangkutan dengan tembusan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Dengan ditolaknya permohonan fasilitas pajak penghasilan tersebut diatas, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal meminta data-data pendukung mengenai rincian investasi kepada PT.X. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam PMK No.6 Tahun 2007 bahwa Badan Koordinasi Penanaman Modal akan melakukan evaluasi atas kelengkapan berkas permohonan dan kesesuaian bidang usaha, lokasi persyaratan serta tingkat realisasi penanaman modal yang bersangkutan.

Setelah semua data-data lengkap diterima dan dievaluasi oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, maka Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal kembali mengajukan surat usulan pemberian fasilitas pajak penghasilan untuk PT.X kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak pada pada tanggal 02 Desember 2009. Setelah semua data usulan pemberian fasilitas pajak penghasilan untuk PT.X tersebut diverifikasi, pada tanggal 22 Desember 2009 Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KEP-213/PJ/2009 tentang Persetujuan Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau Daerah-daerah Tertentu.

Penerbitan keputusan berupa jawaban atas surat usulan kedua dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan tersebut diterbitkan dalam jangka waktu 15 hari kerja yaitu sejak 02 Desember 2009 s/d 22 Desember 2009. Dengan demikian, untuk penerbitan keputusan ini penerbitan keputusan tersebut melewati batas waktu yang telah ditentukan dalam Peraturan Kepala BKPM No. 2/P/2008 yaitu dalam jangka waktu paling lama 10 hari keja.

Dengan dikeluarkan dua kali surat usulan dari BKPM ini, jika dilihat dari dimensi kejelasan informasi untuk segi komunikasi, menghendaki agar informasi yang jelas dan mudah dipahami untuk menghindari kesalahan interpretasi dari pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak yang terkait dalam implementasi kebijakan. PT.X mendapatkan informasi dari media sosial, hal ini menjadi salah satu penyebab tidak jelasnya informasi mengenai prosedur pengajuan permohonan untuk mendapatkan fasilitas pajak tersebut, sehingga PT.X harus mendapatkan persetujuan fasilitas pajak penghasilan tersebut dengan dua kali surat usulan. Apabila, pihak pelaksana kebijakan yaitu DJP & BKPM membuat sosialisasi dengan mendatangkan wajib pajak kesuatu tempat tertentu misal khusus

(13)

kepada Wajib Pajak yang berada di KPP Wajib Pajak Besar, tentunya dapat meminimalisir ketidakjelasan informasi tersebut, karena Wajib Pajak dapat bertanya secara langsung mengenai kebijakan tersebut.

Wajib pajak yang telah memperoleh Keputusan Menteri Keuangan yang berisikan tentang persetujuan fasilitas pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam PP. No.62/2008 maka wajib pajak berhak untuk memanfaatkan fasilitas pajak penghasilan tersebut. Untuk jenis fasilitas pajak penghasilan berupa penyusutan dan amortisasi yang dipercepat serta pengurangan tarif dividen yang dibayarkan ke luar negeri, wajib pajak secara langsung dapat memanfaatkan fasilitas pajak penghasilan tersebut. Sedangkan untuk jenis fasilitas pajak penghasilan berupa pengurangan penghasilan netto dan kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 tahun tetapi tidak lebih dari 10 tahun, wajib pajak perlu melakukan permohonan secara tertulis terlebih dahulu ke Direktur Jenderal Pajak dan melalui proses pemeriksaan lapangan atas permohonan tertulis wajib pajak.

Agar fasilitas pajak penghasilan yang telah diterima oleh PT.X tersebut dapat dimanfaatkan oleh PT.X maka pada tanggal 14 Juni 2010 PT.X mengajukan permohonan untuk penetapan saat dimulainya produksi komersial terhitung sejak 01 Januari 2010. Pengajuan tersebut diajukan oleh Direktur PT.X kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak pada tanggal 14 Juni 2010.

Setelah Direktur Jenderal Pajak menerima surat permohonan tersebut, PT.X harus melalui proses pemeriksaan lapangan yang dilakukan oleh tim pemeriksa dari Direktur Pemeriksaan dan Penagihan. Untuk itu, Direktorat Jenderal Pajak pada tanggal 24 Juni 2010, menerbitkan surat pemberitahuan kepada PT.X tentang akan dilakukannya pemeriksaan lapangan tersebut. Tim pemeriksa memberitahukan akan dilakukannya pemeriksaan lapangan ini melalui fax dan surat yang asli diterima oleh PT.X beberapa hari kemudian.

Untuk mengetahui dimulainya masa produksi komersial ini, tim pemeriksa pajak memerlukan dokumen-dokumen PT.X yang terkait dengan fasilitas pajak penghasilan. Untuk itu, dalam surat pemberitahuan pemeriksaan lapangan ini tim pemeriksa pajak juga menyampaikan kepada PT.X daftar buku, catatan dan dokumen yang wajib dipinjamkan oleh PT.X kepada tim pemeriksa.

Semua buku, catatan dan dokumen yang wajib dipinjamkan oleh PT.X kepada tim pemeriksa pajak tersebut diberikan oleh PT.X pada saat tim pemeriksa pajak datang pada tanggal 28 Juni 2010 untuk melakukan pemeriksaan lapangan dilokasi usaha PT.X. Dari dokumen-dokumen tersebut, pemeriksa pajak akan memeriksa apakah PT.X sudah layak untuk mendapatkan persetujuan masa produksi komersial terhitung sejak 1 Januari 2010.

(14)

Dari hasil pemeriksaan lapangan yang dilakukan oleh tim pemeriksa pajak dilokasi usaha PT.X diketahui bahwa aktiva yang diajukan sebagai dasar investasi dalam fasilitas pajak penghasilan ini belum seluruhnya terealisasi. Sehingga atas permohonan yang diajukan PT.X tersebut belum disetujui permohonannya oleh tim pemeriksa dari Direktur Pemeriksaan dan Penagihan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan bahwa saat dimulainya berproduksi secara komersial didasarkan pada saat seluruh penanaman modal direalisasikan, dan saat penjualan hasil produksi kepasaran diajukan.

Dengan dikeluarkannya penolakan permohonan masa produksi komersial tersebut, PT.X berusaha untuk merealisasikan seluruh penanaman modalnya tersebut agar fasilitas pajak penghasilan dapat dimanfaatkan. Hingga pada tanggal 14 November 2011 PT.X untuk kedua kalinya mengajukan permohonan secara tertulis untuk penetapan saat dimulainya produksi komersial yaitu terhitung tanggal 1 Oktober 2011 kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak. Tim pemeriksa pajak kembali melakukan pemeriksaan lapangan ke lokasi usaha PT.X pada tanggal 29 November 2011. Pemeriksaan lapangan tetap harus dilakukan oleh tim pemeriksa walaupun tim pemeriksa pajak telah melakukannya pada permohonan yang pertama. Hal tersebut karena Keputusan tentang saat dimulainya produksi komersial ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan atas permohonan tertulis Wajib Pajak.

Setelah dilakukan pemeriksaan lapangan oleh tim pemeriksa pajak, atas dasar Laporan Pemeriksaan Lapangan Nomor LAP-034/PJ.0401/2011 tanggal 20 Desember 2011, Direktur Jenderal Pajak menetapkan PT.X telah mulai berproduksi komersial teritung sejak tanggal 1 Oktober 2011 melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-330/PJ/2011 tertanggal 23 Desember 2011. Dengan adanya persetujuan tersebut, PT.X sudah dapat memanfaatkan fasilitas pajak penghasilan berupa pengurangan penghasilan netto untuk mengurangi beban investor di masa awal produksi perluasan usahanya.

Berdasarkan PMK No.16 Tahun 2007, wajib pajak yang telah memperoleh keputusan pemberian fasilitas pajak penghasilan wajib menyampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak laporan – laporan terkait realisasi penanaman modal. Atas kewajiban tersebut, sudah semestinya PT.X selaku wajib pajak yang mendapatkan fasilitas pajak penghasilan dari Direktur Jenderal Pajak melaksanakan kewajiban tersebut. Hal tersebut terlihat dari data yang ditemui oleh peneliti selama melakukan penelitian bahwa PT.X melakukan laporan realisasi penanaman modalnya hingga awal Tahun 2013. Semua laporan tersebut diserahkan melalui Sekretariat Direktorat Jenderal Pajak untuk disampaikan kepada Direktur Pemeriksaan dan

(15)

Penagihan. Selain itu untuk setiap laporan realisasi penanaman modal tersebut juga disampaikan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua selaku Kepala KPP dimana PT.X terdaftar.

Sampai dengan proses penelitian dilakukan, PT.X tidak pernah melakukan pengalihan aktiva tetap yang diajukan sebagai penanaman modalnya tersebut. Hal tersebut telah sesuai dengan PP No.62 Tahun 2008, bahwa wajib pajak tidak boleh mengalihkan sebagian atau seluruh aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas dan jika hal tersebut sampai dilakukan maka fasilitas pajak penghasilan ini dapat dicabut. Penegasan seperti ini dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan dari fasilitas pajak penghasilan yang diterima oleh PT.X.

Selain itu untuk tahun pajak 2010, 2011 dan 2012, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, PT.X pada pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan tiap tahunnya selalu melampirkan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik. Pelaporan Surat Pemberitahuan ini disampaikan setiap tahunnya oleh PT.X kepada KPP dimana PT.X terdaftar.

4.2 Efektifitas Fasilitas Pajak Penghasilan pada PT.X 4.2.1 Pengurangan Penghasilan Neto

Jenis fasilitas pajak penghasilan berupa pengurangan penghasilan neto yang biasa disebut investment allowances merupakan fasilitas pajak penghasilan yang diberikan sebagai kompensasi atas investasi yang dilakukan oleh investor. Fasilitas pajak penghasilan ini bersifat sebagai pengurang dari penghasilan kena pajak yang dimiliki oleh wajib pajak. Besarnya jumlah pengurangan ini berdasarkan PP No.62 Tahun 2008 adalah sebesar 30% dari jumlah penanaman modal dan pembebanannya dibebankan selama 6 tahun. Sehingga jumlah pembebanan yang dapat dilakukan oleh wajib pajak adalah sebesar 5% pertahun dari jumlah investasi awal.

Fasilitas pajak penghasilan ini dimaksudkan agar pada awal periode operasi komersial Wajib Pajak tidak dibebani dengan pengenaan pajak yang besar bakkan bisa sampai nihil. Hal tersebut mengingat pada tahapan ini Wajib Pajak masih dalam tahap penetrasi pasar yang membutuhkan biaya yang besar. Semakin besar jumlah investasi yang dilakukan oleh investor maka semakin besar pula jumlah investment allowances yang diterima. Dengan menggunakan fasilitas pengurangan penghasilan neto ini maka investor akan lebih cepat pengembalian modalnya. Sehingga peluang bagi investor untuk melakukan reinvestasi menjadi lebih cepat. Dengan kombinasi bidang usaha tertentu dan daerah tertentu maka jenis fasilitas pengurangan

(16)

penghasilan neto ini akan memberikan pertumbuhan industri dan daerah tertentu menjadi lebih cepat.

Dengan adanya fasilitas pengurangan penghasilan neto ini, investor dapat melakukan reinvestasi dengan lebih cepat. Akan tetapi hal ini tentu saja memperhatikan kondisi lainnya yang mendukung perkembangan usaha. Dalam kasus Indonesia yang juga memberikan fasilitas kompensasi kerugian antara 5 hingga 10 tahun maka jenis fasilitas ini akan semakin berguna karena jumlah investment allowances yang tidak habis dikurangkan dapat dikompensasikan ke tahun pajak berikutnya. Sehingga kecil kemungkinan investment

allowances tidak dimanfaatkan.

PT.X selaku industri pengolahan susu, melakukan perluasan kapasitas produksinya dengan menanamkan modalnya sebesar Rp. 258.151.868.301 untuk mendapatkan fasilitas pajak penghasilan berdasarkan PP No.62 Tahun 2008. Seperti telah dijelaskan diatas, PT.X mulai memanfaatkan fasilitas ini sejak ditetapkan masa komersial oleh Direktur Jenderal Pajak pada tanggal 1 Oktober 2011. Sehingga pada perhitungan PPh Badan Tahun 2011, PT.X sudah diperbolehkan memanfaatkan pengurangan penghasilan neto tersebut dengan perhitungan sebagai berikut :

Total Modal Investasi = Rp 258.151.868.301 Total Investment Allowance = Rp 77.445.560.490

(30% x Total Modal Investasi)

Tabel. Ilustrasi Investment Allowances yang Diperoleh PT.X pertahun (dalam ribuan rupiah) Tahun Komersial Investment Allowance Tax Saving Tahun 1 12,907,593 3,226,898 Tahun 2 12,907,593 3,226,898 Tahun 3 12,907,593 3,226,898 Tahun 4 12,907,593 3,226,898 Tahun 5 12,907,593 3,226,898 Tahun 6 12,907,593 3,226,898 Total 77,445,560 19,361,390

Sumber : PT.X, data diolah lebih lanjut oleh peneliti

Berdasarkan Undang-undang No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, perhitungan tax saving menggunakan tarif pajak penghasilan sebesar 25% sehingga nilai tax

saving yang diperoleh mulai tahun komersial pertama sampai dengan tahun komersial keenam

masing-masing sebesar Rp. 3.226.898.354 (25% x Rp 12.907.593.415). Akan tetapi hal ini akan berlaku apabila investment allowance setiap tahunnya habis digunakan dan tidak

(17)

dikompensasikan ke tahun beikutnya. Apabila investment allowances dikompensasikan ke tahun berikutnya maka jumlah tax saving tiap tahunnya juga akan berubah mengikuti kompensasi kerugian yang ada.

4.2.2 Penyusutan dan Amortisasi yang Dipercepat

Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat atau accelerated depreciation dapat dikategorikan sebagai fasilitas yang bersifat timing differencesApabila ditinjau dari metode percepatan penyusutan, metode penyusutan dan amotisasi yang dipercepat ini dapat dikatogerikan sebagai memperpendek umur (shorted life). Dengan umur yang menjadi pendek maka unsur pembagi yang digunakan untuk menentukan nilai aktiva menjadi lebih kecil, sehingga penyusutan menjadi lebih besar. Penyusutan dapat dipercepat dapat meningkatkan arus kas, karena jika penyusutannya besar, pajak akan menjadi kecil sehingga nilai pengembalian atas investasi akan menjadi tinggi.

Percepatan pembebanan aktiva tetap yang dimaksud dalam PP No.62 Tahun 2008 ini berupa percepatan pembebanan aktiva tetap sebesar 2 kali lebih cepat dari pembebanan normalnya yang terdapat dalam Pasal 11 Undang-undang No. 36 Tahun 2008. Dengan memanfatkan fasilitas pajak penghasilan ini, PT.X beranggapan dapat mempercepat pembebanan dari aktiva tetap yang dimilikinya sehingga dapat mengurangi penghasilan kena pajak dari PT.X sendiri. Berhubung penyusutan dan armortisasi yang dipercepat ini merupakan timing differences maka penyusutan dan amortisasi yang dipercepat ini hanya berupa penundaan saja karena adanya pengalihan beban pajak dari saat dimanfaatkan ke saat yang akan datang yang disebabkan pergeseran pembebanan kemasa yang akan datang.

Seperti penjelasan sebelumnya PT.X menanamkan modalnya sebesar Rp 258.151.868.301 untuk kategori bidang industri pengolahan susu. Nilai investasi ini merupakan aktiva tetap berwujud yang terdiri dari Aktiva kelompok 1, aktiva kelompok 2 dan Bangunan permanen. Untuk penyusutan dan amortiasai yang dipercepat dan pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Subjek Pajak luar negeri sebesar 10% bisa secara langsung dimanfaatkan oleh wajib pajak dihitung sejak wajib pajak mendapatkan persetujuan fasilitas pajak penghasilan tersebut. Namun dalam pada saat penelitian yang dilakukan peneliti, PT.X memanfaatkan fasilitas pajak penghasilan berupa penyusutan dan amortisasi yang dipercepat sejak ditetapakannya masa produksi komersial. Dengan demikian PT.X tidak efektif memanfaatkan fasilitas percepatan penyusutan tersebut, karena semestinya PT.X

(18)

sudah dapat memanfaatkanya sejak tanggal 22 Desember 2009. Namun dalam penelitian ditemukan bahwa PT.X memanfaatkannya sejak ditetapkannya masa produksi komersial yaitu 1 Oktober 2011. PT.X beralasan karena mereka ingin menyeragamkan saat mulainya pemanfaatan seluruh fasilitas pajak penghasilan yang mereka terima. Sehingga dapat dilakukan perhitungan tax saving yang dapat diperoleh PT.X untuk tahun 2011 sebesar Rp. 1.959.440.693 dengan cara mengalikan selisih dari total penyusutan yang menggunakan penyusutan dipercepat dan penyusutan normal setiap tahunnya dengan tarif Pajak Penghasilan Badan sebesar 25% berdasarkan Undang-undang No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Dikarenakan sifat dari penyusutan dipercepat yang merupakan timing differences sehingga hanya terdapat perbedaan waktu pengakuannya saja. Sehingga pada masa awal produksi memungkinkan terjadi pembebanan biaya penyusutan yang besar. Hal tersebut akan mengakibatkan dua kemungkinan yaitu perusahaan mengalami PPh Badan yang Kurang Dibayar menjadi lebih kecil atau perusahaan akan mengalami PPh Badan Lebih Bayar.

4.2.3 Pengurangan Tarif Pajak Atas Dividen Yang Dibayarkan Ke Luar Negeri

Jenis fasilitas pajak penghasilan berupa pengurangan tarif pajak atas dividen yang dibayarkan ke luar negeri dapat dikategorikan sebagai insentif pajak yang dikategorikan sebagai reduced rates, yang dapat diartikan sebagai pengurangan tarif pajak yang dikenakan kepada wajib pajak dari tarif pajak yang normal yang diatur di dalam Tax Treaty. Pada fasilitas ini pengurangan tarif yang diterapkan hanya untuk tarif pemotongan pajak penghasilan atas dividen yang dibayarkan ke luar negeri.

Fasilitas pengurangan tarif pajak atas dividen dapat secara langsung dimanfaatkan oleh wajib pajak dihitung sejak wajib pajak mendapatkan persetujuan fasilitas pajak penghasilan tersebut. PT.X selaku wajib pajak yang menerima fasilitas tersebut secara bersama-sama memanfaatkan fasilitas pengurangan tarif pajak atas dividen ini dengan menggunakan reduced rate berdasarkan Tax Treaty dan fasilitas pajak penghasilan kepada para pemegang sahamnya. PT.X beralasan para pemegang saham perusahaan berada di Singapura dan tarif pajak atas dividen yang diatur dalam Tax Treaty Indonesia – Singapore sama dengan tarif yang diberikan dalam fasilitas pajak penghasilan ini yaitu dengan tarif 10%.

(19)

4.2.4 Kompensasi Kerugian Yang Lebih Lama Dari 5 Tahun Tetapi Tidak Lebih Dari 10 Tahun

Bagi wajib pajak dalam bentuk badan hukum maupun orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan dan mengalami kerugian, maka kerugian yang didapatkan dalam satu tahun pajak dapat digunakan untuk menutupi keuntungan pada tahun-tahun berikutnya sehingga pada tahun-tahun tersebut Pajak Penghasilan nya menjadi lebih kecil atau tidak terutang sama sekali. Hal ini dinamakan sebagai Kompensasi Kerugian (Carrying Loss).

Dalam penerapannya yang dilakukan oleh PT.X selaku perusahaan yang memanfatkan fasilitas pajak penghasilan berupa perpanjangan kompensasi kerugian ini, sayangnya PT.X hingga tahun pajak 2012 tidak dengan efektif memanfaatkan fasilitas kompesasi kerugian tersebut. Hal ini dikarenakan PT.X beralasan mereka hanya mengajukan perluasan kapasitas produksi susu saja kalau membuat pabrik baru dengan nilai investasi yang sangat tinggi baru ada peluang untuk memanfaatkan fasilitas ini.

5. Kesimpulan

Adapun simpulan yang dapat diambil dari uraian di atas adalah sebagai berikut:

1. Implementasi dari fasilitas pajak penghasilan sebagimana diatur dalam PP No.62 Tahun 2008 telah dilaksanakan oleh pembuat kebijakan kepada wajib pajak. Dari segi komunikasi, dimensi tranformasi informasi melalui media komunikasi seperti majalah pajak ataupun media elektronik internet. Dimensi kejelasan informasi, informasi masih kurang jelas dan namun mudah dipahami. Dan dari segi struktur birokrasi diimplementasikan melalui dua tahap birokrasi, Badan Koordinasi Penanaman Modal yang melakukan verifikasi awal bagi setiap wajib pajak yang mengajukan permohonan. Setelah verifikasi semua terpenuhi maka Direktorat Jenderal Pajak yang akan melakukan evaluasi atas verifikasi tersebut. Ditambah pihak Direktorat Jenderal Pajak juga melakukan pemeriksaan lapangan agar wajib pajak dapat memanfaatkan fasilitas pajak penghasilan seperti yang terdapat dalam PP No.62 Tahun 2008 tersebut. 2. PT.X secara efektif memanfaatkan 2 (dua) jenis fasilitas pajak penghasilan

berdasarkan PP No.62 Tahun 2008 yaitu pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari nilai penanaman modal dan percepatan penyusutan dan amortisasi. Sedangkan untuk pengurangan tarif pajak atas dividen, PT.X melakukannya bersamaan dengan tarif yang terdapat pada Tax Treaty Indonesia – Singapore yaitu sebesar 10%. Selanjutnya untuk penambahan jangka waktu kompensasi kerugian belum dipergunakan oleh PT.X.

(20)

6. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat dipertimbangkan adalah: 1. Untuk menghindari ketidakjelasan informasi, DJP harus melakukan sosialisasi baik

melalui media massa maupun langsung kepada Wajib Pajak misal khusus kepada Wajib Pajak yang berada di KPP Wajib Pajak Besar, DJP dapat melakukan sosialisasi dikantor KPP Wajib Pajak Besar tersebut dengan mendatangkan para Wajib Pajaknya. Hal ini untuk terhindar dari proses pengajuaan yang berulang-ulang. Karena keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur dengan lancarnya rutinitas kebijakan tersebut.

2. Pihak PT.X harus mengoptimalkan semua fasilitas pajak penghasilan yang telah diterimanya, karena dengan fasilitas pajak penghasilan ini PT.X dapat mengurangi beban pajak badan perusahaan.

7. Kepustakaan

Dunn, William N. Public Policy Analysis – An Introduction. New Jersey : Pearson Education. 1981.

______________. Public Policy Analysis – An Introduction. Second Edition (Terjemahan). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 2003.

Edward III, George C. Implementing Public Policy. Washington: Congressional Quarterly Press. 1980.

Holland, David dan Richard J. Vann. “Income Tax Incentives for Investment” dalam Victor Thuronyi (Editor), Tax Laws Design and Drafting, (Washington D.C.: International Monetary Fund). 1998.

Kasim, Azhar. Pengukuran Efektifitas Dalam Organisasi. Jakarta : Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 1993.

Nugroho, Riant. Public Police. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. 2009.

Mahmudi. Manajemen Kinerja Sektor Publik. (Yogyakarta : UP AMP YKPN. 2002.

Marsuni, Lauddin. Hukum dan Kebijakan Perpajakan di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Press. 2006.

Robbins, Stepehn P. Teori Organiasasi : Struktur, Design & Aplikasi Edisi 3 (Terjemahan). Jakarta : Arean. 1994

Wahab, Solichin Abdul. Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi Ke Implementasi

(21)

Widodo, Joko. Analisis Kebijakan Publik. Malang : Banyumedia Publishing. 2007.

Rahayu, Ning. “Kebijakan Investasi Asing (Foreign Direct Investment) di Indonesia dan Vietnam”. Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol.13, No.1 Januari. 2005.

Referensi

Dokumen terkait

Bab ini membahas mengenai beberapa metode uji alternatif yang dapat digunakan pada analisis variansi satu arah dengan asumsi homogenitas variansi antar level

Melihat potensi dan hambatan industry meubel yang merupakan produk unggulan daerah, maka pemerintah Kabupaten Klaten perlu menyusun strategi pengembangan

Bagi peserta yang berkeberatan terhadap pengumuman ini dapat mengajukan sanggahan melalui sistem aplikasi SPSE LPSE Kabupaten Aceh Jaya di

Dan apabila terjadinya sengketa antara kedua belah pihak yang melalukan kontrak maka, penyelesaian sengketa antara bank sebagai kreditur atas keterlambatan pembayaran utang debitur

Komunikator pada media massa, misalnya wartawan surat kabar atau penyiar televisi, karena media yang digunakan merupakan suatu lembaga dalam menyebarluaskan pesan

Dalam kesempatan tersebut Ali Ghufron juga mengungkapkan kembali fokus perhatian dari Direksi saat ini adalah upaya meningkatkan kualitas layanan kepada peserta sesuai

Ibrahim Anis dalam bukunya “ al-Mu’jam al-Wasith” menge- mukakan bahwa ilmu akhlak adalah: ilmu yang objek pem- bahasannya adalah tentang nilai-nilai yang bekaitan dengan

Kemudian divisualisasikan dalam bentuk karya kayu tiga dimensi dan dua dimensi dengan menggabungkan beberapa macam kayu yang memiliki warna alami seperti kayu