• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan rumah sakit. Tanpa pelayanan spesialistik, eksistensi rumah sakit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. pelayanan rumah sakit. Tanpa pelayanan spesialistik, eksistensi rumah sakit"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1. Latar Belakang

Ketersediaan dokter spesialis mutlak diperlukan untuk pelayanan kuratif di rumah sakit sebab pelayanan profesional dokter spesialis adalah inti dari pelayanan rumah sakit. Tanpa pelayanan spesialistik, eksistensi rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan menjadi tidak berarti (Scholten & Grinten, 2005).

Hubungan kolaboratif antara rumah sakit dengan dokter masih mencari bentuk yang ideal. Walaupun rumah sakit dan dokter sudah lama dikenal sebagai satu kesatuan bentuk pelayanan kesehatan, namun hingga saat ini masih diperlukan kajian mendalam mengenai format dan kualitas hubungan tersebut. Pada kenyataannya, rumah sakit membutuhkan dokter dan dokter memerlukan rumah sakit. Rumah sakit membutuhkan keberadaan dokter untuk menjalankan fungsinya sebagai organisasi pelayanan kesehatan. Dokter sebagai tenaga profesional memerlukan wadah yang mampu menampung dan memfasilitasi pekerjaan teknis medis melalui penyediaan tim, peralatan, serta berbagai keperluan pendukung lainnya.

Memperhatikan tingkat interdependensi antara rumah sakit dengan dokter tersebut, secara normatif tidak ada persoalan fundamental yang menganggu hubungan keduanya. Namun hubungan kemitraan antara rumah sakit sebagai organisasi dengan dokter sebagai profesional yang bekerja di dalamnya masih belum diformulasikan dengan jelas. Masih terdapat serangkaian isu dalam

(2)

hubungan kemitraan yang bersifat kolaboratif tersebut. Rumah sakit sebagai organisasi yang mempekerjakan dokter seringkali berada dalam posisi sulit untuk mendapatkan tenaga dokter karena sedikitnya jumlah dokter dibandingkan dengan keberadaan rumah sakit. Manajemen rumah sakit masih sering mengalami hambatan untuk mengatur jam kerja dan mekanisme kerja para dokter karena kultur pendidikan dokter yang berbeda-beda. Perbedaan ini mengakibatkan terjadinya variasi pola pengobatan dalam satu rumah sakit, sehingga menimbulkan inefisiensi. Hubungan rumah sakit dengan dokter sangat berpengaruh dalam sistem pelayanan, bahkan sampai pada aspek keuangan (Mick, 1990; Cuellar & Gertler, 2006; Trybou et al., 2014).

Dominasi dokter dalam skema hubungan organisasi dengan individu profesional ini sering menjadi isu yang dikhawatirkan oleh pihak manajemen rumah sakit, sebagai pengelola organisasi. Kinerja finansial rumah sakit sangat bergantung pada kinerja dokter dalam memberikan pelayanan (Burns & Muller, 2008). Oleh sebab itu, jika terjadi permasalahan dalam hubungan rumah sakit dengan dokter, maka yang merasakan akibatnya adalah seluruh anggota organisasi rumah sakit tersebut.

Dokter, pada sisi lain, menganggap manajemen rumah sakit menjadi penghambat proses pengembangan pelayanan klinik yang menjadi tanggungjawabnya (Ovretveit, 1996). Manajemen rumah sakit sering dipandang kurang sensitif untuk mengakomodasi kepentingan profesional dokter, terutama dalam hal penyediaan obat mutakhir dan peralatan canggih, yang sesuai dengan perkembangan keahlian mereka. Dokter sebagai revenue-centre dalam sistem

(3)

keuangan rumah sakit merasa menjadi “cash-cow” dan kurang mendapatkan kompensasi yang layak. Situasi ini menyebabkan dokter menjadi kurang nyaman bekerja di rumah sakit dan menjadi kritis dalam memberikan pandangan kepada pengelola rumah sakit.

Rumah sakit tanpa dokter bukanlah rumah sakit dan dokter tanpa rumah sakit akan mengalami kesulitan untuk bekerja secara optimal dalam upaya melayani masyarakat. Walaupun terdapat berbagai isu dalam hubungan keduanya, rumah sakit dan dokter tetap saling membutuhkan serta saling memberikan kontribusi penting dalam pengembangan masing-masing pihak (de Jong et al., 2006). Konsumen rumah sakit sering kali datang untuk mencari pelayanan dokter tertentu dan dokter pada kondisi tertentu memerlukan rumah sakit untuk dapat memberikan pelayanan kepada pasien. Hubungan yang bersifat mutual dan interdependen mutlak terselenggara dalam hubungan rumah sakit dengan dokter (Birk, 2009).

1.1.1 Konsep hubungan rumah sakit dengan dokter yang berlaku saat ini.

Konsep hubungan rumah sakit dengan dokter dapat ditinjau dari berbagai pendekatan (Scholten & Grinten, 2005). Salah satu pendekatannya adalah pendekatan kepentingan. Dalam konteks hubungan kerja, terdapat banyak faktor yang melandasi keeratan hubungan yang berlandaskan kepentingan ini, faktor-faktor tersebut, mungkin tidak pernah dikenal di organisasi lain. Hubungan unik antara organisasi dengan tenaga professional ini merupakan tarik menarik antara mekanisme kontrol dan koordinasi, kemitraan kolegial dan hubungan atasan-bawahan, yang dilandasi oleh otonomi profesional (Mick, 1990).

(4)

Dokter sebagai profesional telah lama dipahami dan mendapatkan tempat khusus dalam sistem pelayanan kesehatan. Terminologi profesional merujuk pada pemahaman tradisional terhadap sifat pekerjaan dokter yang spesialistik dan individualistik, steril dari mekanisme kontrol pihak luar ketika sedang bekerja, serta tidak disamakan dengan status pekerjaan lain, terutama pekerja non-klinik. Oleh sebab itu, hubungan rumah sakit dengan dokter sebagai tenaga profesional sangat bervariasi, bergantung pada kedalaman dan kesepahaman makna profesional tersebut (Mick, 1990; Burn & Muller, 2008).

Dokter tidak bisa dipandang sebagai tenaga kerja di rumah sakit, melainkan sebagai mitra. Semula sering terdengar bahwa rumah sakit adalah pengguna dokter, bukan “employer” atau majikan. Dokter merasa sulit untuk menempatkan diri sebagai karyawan mengingat tingkat otonomi pekerjaannya, tuntutan akan kebebasan profesional, serta kontribusinya yang tinggi dalam mekanisme pelayanan di rumah sakit (de Jong et al., 2006). Rumah sakit juga menjadi canggung dan ragu untuk menempatkan diri sebagai majikan para dokter. Kompetensi klinis yang tinggi serta kemampuan doker untuk mengatur arah pengembangan rumah sakit (dari sisi pelayanan klinik) menyebabkan pengelola rumah sakit memberikan ruang yang luas bagi para dokter untk mengambil keputusan klinik yang berpengaruh pada keputusan manajerial. Bahkan terkadang, pengelola rumah sakit berupaya mengurangi keterlibatan mereka dalam proses pelayanan klinik agar tidak dianggap mengintervensi otonomi para dokter. Namun demikian, sifat profesional dokter sering dipersepsikan sebagai kebanggaan

(5)

profesi, individualisme, dan budaya kolegial, yang bersifat negatif (Hogan & McKee, 2007).

Pada saat ini, banyak dokter yang bersedia dianggap sebagai pekerja di rumah sakit (Birk, 2009). Perubahan lingkungan organisasi rumah sakit serta perubahan paradigma masyarakat terhadap pelayanan kesehatan mendorong terjadinya kompleksitas pengelolaan organisasi pelayanan kesehatan. Rumah sakit yang semula steril dari tuntutan, saat ini menjadi sangat rentan terhadap tuntutan akan kualitas pelayanan. Rumah sakit yang dulu menjadi penentu tingkat kesehatan masyarakat, saat ini keberadaannya ditentukan oleh masyarakat. Rumah sakit menjadi organisasi yang sensitif terhadap perubahan lingkungan. Situasi ini menyebabkan dokter menjadi enggan untuk terlibat dalam pengelolaan rumah sakit dan mendorong dokter untuk berfokus pada pelayanan klinik saja. Menjadi pekerja di rumah sakit memudahkan dokter dari sisi administrasi, karena semua isu administratif akan diselesaikan oleh pengelola rumah sakit. Manajemen rumah sakit berpeluang untuk memanfaatkan situasi ini dalam upaya mengembangkan hubungan yang mutual antara rumah sakit dengan dokter (Mick, 1990).

Mintzberg memperkenalkan istilah birokrasi profesional (professional

bureaucracy). Istilah ini dipergunakan bila terdapat kelompok profesional dengan

jumlah anggota yang sangat besar dan sangat berpengaruh dalam organisasi, misalnya di universitas dan rumah sakit. Hubungan antara pengelola organisasi dengan kelompok profesional tidak bersifat top-down. Hirarki kontrol pihak pengelola tidak sampai pada proses kerja yang sudah masuk pada ranah profesional. Mekanisme kerja profesi diatur oleh kelompok profesional melalui

(6)

mekanisme yang bersifat otonomi. Keterikatan kelompok ini pada organisasi hanya sebatas sisi administrasi saja. Kontrol yang dilakukan oleh pihak pengelola dilakukan melalui titik-titik psikologis, seperti: motivasi, etika, kepercayaan, pembentukan tim, pengelolaan konflik, serta penempatan wakil kelompok profesional dalam struktur manajemen untuk mengangkat kepentingan kelompok. Tujuan utamanya tidak lain adalah untuk melibatkan kelompok profesional dalam proses pengelolaan dan meningkatkan efektifitas organisasi.

Konsep yang sering dipergunakan untuk mengukur hubungan rumah sakit dengan dokter adalah konsep conjoint professional organization. Konsep ini mengidentifikasi hubungan organisasi dengan kelompok profesional dalam 2 dimensi, yaitu dimensi struktur dan dimensi strategi. Dimensi struktural mengukur tingkat kelekatan hubungan yang berspektrum mulai dari hubungan yang longgar sampai dengan hubungan yang kuat. Kelekatan hubungan yang kuat akan mengikis habis batasan-batasan dalam organisasi yang mengganggu kenyamanan hubungan. Sedangkan kelekatan hubungan yang longgar akan memelihara batasan-batasan tersebut, walaupun antara organisasi dengan kelompok profesional masih saling bertanggungjawab atas peran masing-masing. Dimensi strategi merupakan tujuan dari masing-masing pihak dalam membina hubungan dalam organisasi. Sebarannya mulai dari strategi yang disadari kemudian (realized

strategy) sampai dengan strategi yang dirancang (intended strategy). Hubungan

yang tujuannya sudah dirancang sejak semula adalah hubungan yang kuat dan dapat dikembangkan. Hubungan ini disebut sebagai hubungan yang strategis. Kombinasi dari dua dimensi tersebut memunculkan 4 kemungkinan hubungan

(7)

rumah sakit dengan dokter. Kemungkinan tersebut adalah kombinasi dari hubungan yang kuat dan strategis, hubungan yang kuat tetapi tidak strategis, hubungan yang lemah tetapi strategis, serta hubungan yang lemah dan tidak strategis. Masing-masing tipe hubungan akan membawa konsekuensi yang berbeda-beda dan memerlukan penanganan yang spesifik (Mick, 1990; Scholten & Grinten, 2005).

Pandangan yang lebih makro menggambarkan kompleksitas hubungan rumah sakit dengan dokter dalam satu sistem pasar. Rumah sakit adalah organisasi penyelenggara pelayanan dan dokter adalah tenaga profesional yang melayani klien rumah sakit. Klien rumah sakit atau pasien dengan segala karakteristiknya mempengaruhi hubungan rumah sakit dengan dokter. Karakteristik ekonomi pasien, yang menjadi klien rumah sakit tertentu, berhubungan dengan keinginan dokter untuk bekerja di rumah sakit tersebut. Pada sisi lainnya, rumah sakit dengan karakteristik tertentu akan mempengaruhi jenis klien yang menjadi pelanggannya. Rumah sakit dengan fitur pelayanan kelas atas tidak akan diminati oleh klien dari kalangan ekonomi kelas bawah. Dokter akan menyesuaikan penempatannya dengan karakteristik rumah sakit dan karakteristik klien rumah sakit tersebut. Pendekatan ekonomi ini menjelaskan keterkaitan rumah sakit dengan dokter dalam lingkup organisasi dan dalam lingkup makro (suplai dan kebutuhan). Teori “circular-flow” menjelaskan hubungan rumah sakit dengan dokter dalam konteks yang lebih luas dengan unit analisis sistem pasar.

(8)

Gambar 1. Model Circular Flow (Sumber: Trisnantoro, 2005)

Konsep ini menjelaskan bagaimana interaksi antara rumah sakit (sebagai firma yang menyediakan pelayanan) dengan rumah tangga (sebagai pasien yang membayar biaya pelayanan). Firma menyediakan kebutuhan akan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan situasi rumah tangga. Rumah tangga menyediakan biaya pelayanan sesuai dengan kebutuhan firma. Hubungan yang terjadi tidak secara langsung terjadi kontrak, karena terdapat pasar produksi dan pasar faktor produksi diantara firma dan rumah tangga. Dokter adalah penyedia layanan yang terintegrasi dengan firma, namun penghasilannya juga ditentukan oleh kekuatan ekonomi rumah tangga. Semakin baik kemampuan rumah tangga dalam membayar pelayanan yang disediakan firma, maka semakin besar kesempatan dokter untuk bekerja dalam firma. Semakin baik pelayanan yang diberikan oleh firma kepada rumah tangga, maka semakin tinggi kemauan rumah tangga untuk

Input yang dibutuhkan firma Firma Pasar Produksi Rumah tangga Pasar Faktor-faktor Produksi Pengeluaran rupiah oleh rumah tangga

Barang dan jasa yang dibutuhkan Pemasukan rupiah dari produksi Pasokan input dari rumahtangga Penerimaan Pasokan Barang Biaya Produksi yang dibayar firma

(9)

membayar firma. Dokter menjadi pihak yang mendapatkan keuntungan dalam hubungan yang positif ini (Trisnantoro, 2005).

1.1.2 Masalah yang masih terjadi pada hubungan rumah sakit dengan dokter

Persoalan yang timbul dalam hubungan rumah sakit dengan dokter dapat diidentifikasi berdasarkan pendekatan ketersediaan dokter dan pendekatan retensi dokter untuk bekerja di daerah atau organisasi pelayanan kesehatan tertentu. Ketersediaan dokter berhubungan dengan produksi dokter, sedangkan retensi dokter berhubungan dengan faktor kelekatan dokter dengan rumah sakit tempat kerjanya. Jika diurutkan, maka secara regional hubungan rumah sakit dengan dokter dipandang dari sisi distribusi dokter dan retensi dokter. Secara organisasi hubungan rumah sakit dengan dokter dipandang dari sisi kelekatan diantara keduanya.

Penelitian Bukit, et al (2002) menunjukkan bahwa turn over tenaga dokter spesialis di Bengkulu Selatan yang tinggi disebabkan oleh rendahnya tingkat kepuasan kerja, yang salah satu elemennya adalah besaran insentif yang dianggap terlalu kecil. Saat ini pemerintah daerah sedang berupaya untuk mengatasi persoalan tersebut dengan pendekatan ekonomi. Namun demikian, motivasi dokter untuk bekerja tidak saja dilandasi oleh motivasi material. Dokter memerlukan kasus untuk menerapkan pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya. Semakin banyak kasus, maka semakin besar kesempatan untuk mengasah kemampuan.

Penelitian Napitupulu, et al (2005) menemukan bahwa tenaga dokter spesialis di Abepura, Papua, memiliki tingkat harapan yang tinggi akan

(10)

penghasilan profesional mereka. Walaupun telah mendapatkan berbagai fasilitas dan tunjangan dari pemerintah daerah, serta memiliki tingkat penghasilan setara dengan Rp. 20-30 juta, namun tingkat turn over tenaga dokter spesialis masih tetap tinggi. Salah satu penyebabnya adalah harapan akan penghasilan yang belum terpenuhi karena dilandasi oleh tingkat pengeluaran yang cukup besar. Selain itu, fasilitas rumah sakit yang kurang mendukung pekerjaan teknis medis menyebabkan terjadinya ketidaknyamanan dalam bekerja.

Penelitian PT Askes dan PB IDI (2006) memberikan gambaran bahwa tingkat penghasilan tenaga dokter di Indonesia dari sektor asuransi sangat kecil dan diabaikan. Situasi ini terjadi karena mekanisme pembagian jasa medis pasien yang dibayar melalui skema asuransi tidak jelas. Ketidaktepatan waktu pembayaran juga menjadikan sumber pendapatan ini tidak dianggap signifikan oleh dokter. Penelitian ini menunjukkan kelemahan dalam sistem pembagian jasa medis di rumah sakit, yang berujung pada kecurigaan dokter terhadap manajemen. Pada tingkat makro, hasil kajian ini mengindikasikan bahwa sistem pembiayaan kesehatan tidak dapat memenuhi harapan profesional dokter.

Terjadinya berbagai kasus tersebut menunjukkan bahwa hubungan rumah sakit dengan dokter tidak berjalan dengan harmonis. Ada berbagai faktor yang melandasinya, antara lain kesalahan dalam melihat motivasi dokter untuk bekerja, penyediaan fasilitas yang kurang mendukung profesionalisme dokter, serta transparansi dan akuntabilitas mekanisme pembayaran dokter. Faktor-faktor tersebut menyebabkan hubungan antara rumah sakit dengan dokter menjadi kurang lekat dan kurang harmonis.

(11)

1.1.2.1 Upaya untuk mendorong dokter agar dapat bekerja di daerah

Pemerintah telah berusaha untuk memenuhi kebutuhan tenaga dokter di daerah yang kurang favorit dengan mengeluarkan berbagai instrumen kebijakan. Tujuan kebijakan ini adalah mendorong motivasi dokter agar bersedia bekerja di daerah dengan kategori tertentu. Melalui Permenkes No.132/Menkes/Per/IV/2006 tanggal 21 April 2006, Depkes RI mengeluarkan kebijakan pemberian insentif bagi dokter spesialis, dokter/dokter gigi, bidan PTT yang bekerja di daerah sangat terpencil di seluruh Indonesia. Besaran insentif (sebelum dipotong pajak) sama untuk seluruh daerah yang dikategorikan sangat terpencil yaitu untuk dokter spesialis sebesar Rp. 7.500.000,00/bulan dan untuk dokter umum dan dokter gigi sebesar Rp. 5.000.000,00/bulan. Kebijakan ini dikeluarkan untuk mendorong dokter agar bersedia bekerja di organisasi pelayanan kesehatan yang berada di daerah yang kurang diminati. Tetapi hasilnya masih belum memuaskan. Rokx et

al. (2012) menunjukkan bahwa distribusi dokter di Indonesia per 100.000

populasi masih timpang, dengan terdapat 36 dokter yang bekerja di daerah urban dan hanya 6 dokter yang bekerja di daerah rural.

Pemda Provinsi Papua pada tahun 2000 memberikan berbagai fasilitas untuk dokter spesialis agar betah dan puas bekerja di provinsi paling timur tersebut (Napitupulu, et al, 2006). Fasilitas-fasilitas yang diberikan pemerintah daerah untuk dokter spesialis berupa rumah dinas, mobil dinas dan diberikan insentif (uang betah) Rp. 2.000.000/bulan, tunjangan hari raya dan tunjangan kesejahteraan. Total tunjangan yang diterima dokter spesialis di RSUD Abepura rata-rata sebesar Rp 7.000.000/bulan, selain gaji dan jasa medis. Tetapi berbagai

(12)

fasilitas yang diberikan Pemerintah Daerah tersebut nampaknya belum memberikan pengaruh yang signifikan, karena dokter spesialis masih juga pergi meninggalkan Papua. Temuan dalam penelitian ini, jumlah total pendapatan dokter spesialis untuk tingkat kehidupan di Papua masih kurang karena besarnya biaya sosial dan tingkat kemahalan daerah yang tinggi.

Pemerintah Daerah Sambas, Provinsi Kalimantan Barat, mengambil kebijakan kompensasi untuk mengantisipasi masalah kelangkaan dokter spesialis di Kabupaten Sambas. Diantaranya, memberikan insentif atau tambahan kesejahteraan di luar gaji yang diterima sebesar Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) per bulan, satu unit kendaraan roda empat yang diperuntukkan untuk kendaraan operasional dokter spesialis, dan mengalokasikan dana perumahan. Fasilitas ini diharapkan dapat membuat dokter spesialis bersedia menetap bekerja di Rumah Sakit Sambas. Namun fakta menunjukkan cara tersebut belum dapat mengatasi masalah kelangkaan dokter spesialis. Data keberadaan dokter mulai tahun 2004-2008 menunjukkan adanya masalah retensi di rumah sakit ini. Hanya terdapat 3 dokter yang bersedia untuk bekerja di Sambas melebihi masa kontrak kerja. Selebihnya hanya bekerja selama 6-29 bulan saja.

Berbagai usaha telah dilakukan pada tingkat mikro organisasi. Direktur rumah sakit melakukan perubahan dalam bidang manajemen agar status kelembagaan rumah sakit diubah menjadi swadana dan Badan Layanan Umum. Perubahan ini diharapkan dapat menjadikan rumah sakit lebih akomodatif terhadap dokter spesialis, terutama dari sisi pemberian insentif. Penelitian Bukit, Trisnantoro, Meliala (2003) menunjukkan perubahan status RSUD Manna

(13)

menjadi swadana agar mempunyai kewenangan dalam pengaturan keuangan dan pengelolaan sumber daya manusia terutama dokter spesialis, kurang menarik bagi dokter spesialis. Walaupun besaran jasa medis yang dikembalikan langsung kepada spesialis mencapai 80% dari total jasa pelayanan. Tidak ada perubahan yang berarti terhadap jumlah dokter spesialis 4 besar di RSUD Manna sejak tahun 1997. Sejak tahun 2008, tersedia pelayanan dokter spesialis 4 besar di RSUD Manna, namun status dokter tersebut adalah dokter kontrak kerja yang belum tentu bersedia untuk bekerja secara tetap di Kabupaten yang rawan gempa ini.

Tabel 1. Jumlah Dokter Spesialis 4 Besar RSUD Manna 1997-2002, 2008

Jenis Spesialis Tahun

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2008 Spesialis Anak + + - + - - + Spesialis Bedah + - + + - - + Spesialis Penyakit Dalam - - + + + + + Spesialis Kebidanan & Kandungan - - + - + + +

Sumber: Data Bagian Kepegawaian RSUD Manna Tahun 2002 & wawancara pribadi dengan Direktur RSUD Manna, Bengkulu Selatan (2008)

1.1.2.2 Ketertarikan dokter untuk bekerja di beberapa tempat.

Sektor swasta menikmati tenaga dokter tanpa harus mendidiknya, namun memberikan imbalan yang jauh lebih besar dibanding sektor pemerintah sebagai kompensasinya. Dokter cenderung untuk bekerja di sektor swasta karena alasan penghasilan. Penelitian Trisnantoro (2001) juga menunjukkan bahwa dokter

(14)

spesialis 4 besar di rumah sakit pemerintah rata-rata 2,4 dokter di tiap rumah sakit. Tetapi untuk rumah sakit swasta fenomena yang terjadi adalah kebalikannya, dimana 1 dokter bekerja di 4,25 rumah sakit swasta.

Penelitian PB IDI, PT Askes dan PMPK-UGM (2006) menggambarkan proporsi pendapatan dokter spesialis dari sektor swasta yang mendominasi sumber pendapatan lainnya. Porsi pendapatan dokter spesialis dari second-job di luar sektor pemerintah mencapai lebih dari 50%. Informasi ini menunjukkan bahwa pendapatan dokter spesialis sebenarnya lebih banyak dihasilkan dari sektor swasta yang bukan menjadi tempat kerja utamanya. Waktu yang diperlukan untuk bekerja di sektor swasta juga lebih besar. Hal ini terlihat dari porsi pendapatan tersebut. Akibatnya efektivitas kerja di sektor pemerintah berkurang.

Perkembangan rumah sakit swasta di Indonesia mengalami percepatan setelah desentralisasi dan krisis keuangan tahun 1998. Data Departemen Kesehatan tahun 2008 menunjukkan bahwa pertumbuhan rumah sakit swasta di Indonesia mencapai rata-rata 2,91%, dibandingkan dengan pertumbuhan rumah sakit pemerintah sebesar 1,25% per tahun. Perhitungan ini berdasarkan pertumbuhan rumah sakit di Indonesia pada periode 1998-2008.

(15)

Sumber: Kementrian Kesehatan (2008)

Gambar 2. Grafik Pertumbuhan Jumlah RS Swasta di Indonesia 1998- 2008)

1.1.2.3 Pengelolaan hubungan rumah sakit dengan dokter

Pengelolaan hubungan rumah sakit dengan dokter menjadi sangat penting karena tidak saja memberikan dampak pada tingkat mikro organisasi, melainkan juga memberikan dampak pada sistem pelayanan kesehatan secara makro. Dalam skema sistem kesehatan yang dikembangkan oleh WHO, maka health provision menjadi komponen penting yang ikut menentukan outcome dari sistem kesehatan secara umum.

Konsep hubungan yang dikembangkan dalam menyempurnakan hubungan rumah sakit dengan dokter menggunakan pendekatan teori organisasi dalam konteks pelayanan kesehatan. Pemahaman bahwa organisasi pelayanan kesehatan, dalam hal ini rumah sakit, didominasi oleh satu profesi, yaitu dokter, telah bergeser. Hubungan hirarkis antara profesi medis dengan profesi lainnya, sudah dianggap tidak sesuai dengan situasi organisasi yang padat dengan profesi dari

Pertumbuhan Jumlah RS Swasta di Indonesia (1998 - 2008) 450 500 550 600 650 700 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

(16)

berbagai disiplin ilmu. Saat ini model kolaboratif lebih diterima dalam membangun hubungan antar-profesional dalam organisasi rumah sakit (Mick, 1990; Freshman, 2010).

Walaupun demikian, satu isu penting yang masih jarang dibicarakan adalah strategi untuk menahan dokter agar betah bekerja di rumah sakit dalam jangka waktu yang panjang dan bersedia mencurahkan waktu, pikiran dan tenaganya sepenuh hati untuk memberikan pelayanan yang terbaik. Hubungan rumah sakit dengan dokter yang telah disepakati memiliki berbagai karakteristik yang khusus, belum ditinjau dengan pendekatan yang sistematik untuk menghasilkan kebijakan serta pengelolaan yang efektif. Teori institusional (Scott & Backman, dalam Mick, 1990) pada awal pengembangannya meninjau organisasi dari sisi profesi, dimana profesi dianggap sebagai cikal bakal dari organisasi. Profesi dibahas dalam upaya melakukan perbandingan antar profesi yang berada dalam organisasi serta yang membangun organisasi. Oleh sebab itu, konsep organisasi yang menghidupi profesi menjadi kurang berkembang. Sampai saat ini pemahaman ini masih banyak dipergunakan untuk meninjau hubungan rumah sakit dengan dokter secara praktis. Profesi dokter dianggap sebagai faktor penentu keberhasilan organisasi rumah sakit. Setiap upaya untuk memajukan kinerja rumah sakit selalu dikaitkan dengan dokter sebagai profesi yang membentuk organisasi, bukan sebagai anggota organisasi biasa. Akibatnya, kebijakan yang dilakukan untuk meningkatkan retensi dokter di rumah sakit selalu dikaitkan dengan dokter saja, tanpa banyak menyinggung aspek rumah sakit sebagai organisasi.

(17)

Konsep hubungan rumah sakit dengan dokter akhirnya dapat dilihat sebagai hubungan yang tidak berkembang. Konsep yang dikemukakan oleh Mick pada tahun 1990 diulang kembali sebagai bentuk pengembangan hubungan kolaborasi oleh Freshman pada tahun 2010.

Akhir-akhir ini banyak dibahas mengenai pendalaman hubungan sumber daya manusia dengan organisasi, atau secara spesifik hubungan dokter dengan rumah sakit, pada tingkat hubungan yang lebih interdependen. Keterlekatan SDM dengan organisasi atau keterlekatan dokter dengan rumah sakit, dipandang menjadi salah satu arah pengembangan hubungan SDM dengan organisasi yang lebih menjanjikan.

Keterlekatan (engagement) SDM dengan organisasi secara umum dapat diartikan sebagai kemauan untuk terlibat, menjaga komitmen dan semangat kerja, dan keinginan untuk menuntaskan pekerjaan, dimana seluruh perasaan tersebut didemonstrasikan secara utuh pada saat SDM bekerja di organisasi. SDM yang memiliki keterlekatan tinggi dengan organisasi akan menjalankan pekerjaannya dengan penuh semangat, dedikasi, dan akan menuntaskan pekerjaannya secara utuh serta akan merasa puas pada saat ketuntasan tersebut dicapai. Hubungan SDM dengan organisasi tidak sekedar hubungan industrial atau hubungan administrasi semata, melainkan telah masuk pada tingkat hubungan emosional. SDM akan merasa percaya diri untuk bekerja dalam organisasi yang memberikan kepercayaan dan memberdayakannya. Keterlekatan dapat diartikan sebagai karakteristik SDM yang menjadi pembeda diantara SDM yang berada dalam satu organisasi. SDM yang memiliki keterlekatan tinggi akan dengan mudah

(18)

dibedakan dengan SDM yang memiliki keterlekatan hubungan yang rendah. Terdapat ciri-ciri yang mudah diidentifikasi pada SDM yang memiliki keterlekatan hubungan yang kuat dengan organisasinya, yaitu semangat kerja, keinginan untuk terlibat, ketuntasan pekerjaan, sampai dengan kemauan untuk mengembangkan komitmen pada tingkat yang lebih tinggi. Keterlekatan juga dapat diartikan sebagai tingkat perasaan SDM ketika bekerja untuk satu organisasi dalam periode waktu tertentu. Perasaan SDM ketika bekerja untuk satu organisasi jarang dilihat sebagai faktor penting yang dapat diintervensi untuk memacu produktifitas. Hubungan transaksional antara organisasi dan SDM mengaburkan manfaat dari pemahaman akan perasaan SDM terhadap organisasinya. Pemberian insentif dan fasilitas kerja dianggap sebagai upaya pokok dalam memicu kinerja SDM. Bagaimana perasaan SDM ketika menerima insentif dan fasilitas kerja, kurang diperhatikan. SDM yang memiliki keterlekatan tinggi dengan organisasi tidak lagi melihat pola transaksional sebagai konsep hubungannya dengan organisasi, melainkan transformasional. SDM dengan perasaan pada tingkatan ini akan memberikan seluruh kemampuannya untuk menuntaskan pekerjaan dan memberikan visinya untuk pengembangan organisasi. Dedikasinya kepada organisasi tidak hanya tampak pada hal-hal administrasi saja, melainkan sampai pada tingkat strategis yang menentukan kelangsungan hidup organisasi dimasa mendatang. Keterlekatan juga dapat diartikan sebagai perilaku SDM yang selalu menampilkan perilaku yang tidak nyaman dengan status quo, menunjukkan inovasi, atau menjadi anggota organisasi yang baik semata. Variasi perilaku ini

(19)

ditentukan oleh tingkat keterlekatan SDM dengan organisasinya (Mone & London, 2010).

Melihat pengertian keterlekatan (engagement) tersebut, terlihat kemungkinan untuk menerapkannya pada upaya pengembangan hubungan rumah sakit dengan dokter. Mengacu pada fakta bahwa dokter cenderung tidak loyal dengan rumah sakit, tidak memiliki komitmen untuk ikut dalam proses manajemen yang membangun organisasi, tidak bersemangat untuk bekerja sebagai profesional di rumah sakit dalam jangka waktu yang lama, maka konsep

engagament memiliki potensi untuk menganalisis dan memberikan rekomendasi

untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.

Ketika dokter merasa menjadi bagian penting dalam rumah sakit, memiliki kepercayaan yang kuat terhadap organisasi, menjadi lebih berdaya dan lebih berkompeten, serta dapat hidup lebih sejahtera, maka produktifitas dan loyalitas dokter terhadap rumah sakit masih memiliki ruang untuk dikembangkan. Rumah sakit sebagai organisasi wajib mengembangkan kinerja dokter dalam kerangka konsep manajemen kinerja yang jelas dan sistematis. Dokter sebagai profesi khusus dalam organisasi rumah sakit perlu dikelola dengan pendekatan yang khusus pula. Salah satu pendekatan khusus ini adalah dengan menerapkan konsep

engagement pada upaya mengidentifikasi, menganalisis, mengintervensi, serta

(20)

1.2 Perumusan Masalah

Hubungan rumah sakit dengan dokter sampai saat ini masih menjadi isu penting dalam sistem pelayanan kesehatan. Namun demikian, pengelolaan hubungan ini belum dikembangkan berdasarkan pendekatan akademik.

Kebijakan yang dikeluarkan untuk mengatur hubungan rumah sakit dengan dokter masih terbatas pada upaya untuk menempatkan dokter, dan belum sampai pada tahap memfasilitasi hubungan keduanya pada tingkat mikro organisasi. Hubungan rumah sakit dengan dokter di Indonesia secara tersurat diakomodasi dalam aspek hubungan administratif. Hubungan profesional diantara keduanya belum ditempatkan sebagai landasan pengembangan hubungan yang interdependen.

Kesulitan untuk mengelola dokter spesialis oleh rumahsakit, agar dapat menjadi motor peningkatan mutu pelayanan, terjadi karena sedikitnya bukti ilmiah yang dapat dipergunakan untuk membantu mengatasi masalah ini. Pengembangan konsep hubungan rumah sakit dengan dokter di Indonesia tidak berjalan sesuai dengan perkembangan sistem pelayanan kesehatan yang menuntut integrasi penuh komponen-komponen ke dalam sistem tersebut.

Pengelolaan dokter spesialis tidak terlepas dari fungsi produksi dan distribusi. Kesenjangan antara produksi dengan kebutuhan, serta kesenjangan antara ketersediaan dengan distribusi, menjadikan pengelolaan dokter spesialis di rumah sakit semakin sulit.

Mengacu kepada keempat fakta penting tersebut dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

(21)

1. Masih belum diketahui tingkat keterlekatan dokter dengan rumah sakit dan mekanisme yang mendasarinya.

2. Kebijakan pemerintah saat ini belum mampu mengatasi masalah ketersediaan dokter spesialis di Indonesia

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Mengidentifikasi variasi hubungan rumah sakit dengan dokter dan pola keterlekatan dokter dengan rumah sakit di Indonesia.

1.3.2 Mendeskripsikan keterlekatan dokter spesialis dengan rumah sakit di Indonesia

1.3.3 Mengeksplorasi hubungan antara kebijakan pemerintah (pusat dan daerah) dengan keterlekatan dokter di suatu wilayah

1.3.4 Mendeskripsikan pola pengelolaan dokter spesialis di Indonesia

1.3.5 Mengusulkan perbaikan kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan pengelolaan dokter spesialis di Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

Pengambil kebijakan dalam pengelolaan SDM kesehatan dapat memanfaatkan temuan dan rekomendasi dari penelitian ini untuk membuat kebijakan yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi hubungan rumah sakit dengan dokter. Jika selama ini pengambil kebijakan lebih banyak memanfaatkan regulasi dan insentif dalam upaya memotivasi dokter untuk bekerja di rumah

(22)

sakit, maka selanjutnya berdasarkan pada temuan dan rekomendasi penelitian ini, diperoleh perspektif baru untuk membuat kebijakan yang lebih tajam, mengarah pada isu sentral hubungan rumah sakit dengan dokter.

Organisasi profesi dokter dapat menggunakan temuan dan rekomendasi penelitian ini untuk menggambarkan variasi konsep bekerja dokter di rumah sakit. Selama ini dokter dianggap sebagai profesi yang siap bekerja di mana saja dan mampu bekerja dalam kondisi terbatas. Asumsi tersebut kemungkinan akan berubah karena adanya gambaran baru mengenai konsep bekerja dokter di rumah sakit.

Asosiasi rumah sakit dapat memanfaatkan penelitian ini untuk menggambarkan preferensi dokter untuk bekerja di rumah sakit. Kemungkinan akan ditemukan sisi-sisi yang selama ini belum dimanfaatkan untuk membantu efektivitas pengelolaan dokter di rumah sakit.

Penelitian ini berupaya membuka jalan bagi manajemen SDM kesehatan untuk masuk pada isu sensitif yang selama ini jarang dibicarakan, yaitu manajemen dokter spesialis di rumah sakit. Penelitian ini akan menjadi titik temu yang membantu dokter dan manajer rumah sakit untuk saling berkomunikasi, membicarakan kebutuhan masing-masing serta mencari common ground untuk meningkatkan kualitas hubungan rumah sakit dengan dokter.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran produksi, distribusi, dan kualitas kinerja dokter spesialis, sehingga dapat dimanfaatkan oleh pengambil kebijakan untuk memperbaiki ketersediaan dokter, terutama di Daeah Terpencil, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK).

(23)

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan wacana baru dalam teori perilaku organisasi tentang hubungan rumah sakit dengan dokter, dimana selama ini konsep hubungan keduanya ditinjau dengan teori organisasi yang generik, yang belum spesifik untuk profesi tertentu, yatu dokter. Temuan dan rekomendasi penelitian ini diharapkan dapat memicu penelitian sejenis, yang dapat memperkaya serta memberikan masukan yang positif bagi konsep manajemen SDM kesehatan.

1.5 Keaslian Penelitian

Penelitian ini mengacu pada beberapa penelitian tentang hubungan rumah sakit dengan dokter, faktor yang berhubungan dengan motivasi kerja dokter, dan upaya retensi dokter di rumah sakit. Penelitian tentang hubungan rumah sakit dengan dokter lebih banyak dilakukan oleh perusahaan konsultan, yang hasilnya tidak dipublikasikan. Berikut adalah ringkasan beberapa penelitian tersebut.

Tabel.2 Keaslian Penelitian Judul &

Peneliti

Lokasi Tujuan Desain Prosedur Kesimpulan Impact of financial incentives on clinical autonomy and internal motivation in primary care: ethnographi c study (McDonald Dua tempat pelayan an primer di Inggris Mengeksplor a-si dampak pemberian insentif terhadap mutu pelayanan, otonomi klinik dan motivasi internal dokter dan perawat Studi kasus ethnografi Mengamati 12 dokter, 9 perawat, 4 asisten tenaga kesehatan dan 4 tenaga adminsitras i di pelayanan primer Inggris Insentif finansial, sebagai faktor motivasi eksternal, tidak mempengaruh i motivasi internal tenaga kesehatan untuk mengoptimalk

(24)

et al.2007) bekerja di primary care an pelayanan di primary care Primary Care Physicians’ Experience of Financial Incentives in Managed Care Systems (Grumbach, 1998) Urban counties Primary care di Californ ia, USA Mengidentifi -kasi dampak pemberian insentif finansial pada keterlibatan dokter dalam sistem managed-care dari perspektif dokter Studi analitik dengan rancangan cross-sectional Menggali informasi tentang tipe insentif, besaran insentif, tekanan yang dialami berkaitan dengan insentif serta dampaknya terhadap pelayanan kepada pasien Insentif yang dikaitkan dengan limitasi pelayanan memberikan tekanan tertentu kepada dokter. Insentif yang dikaitkan dengan kepuasan pasien dan mutu pelayanan meningkat-kan kepuasan kerja dokter Physician migration: views from professiona l in Colombia, Nigeria, India, Pakistan, and the Phillipines (Astor et al.2005) Multi negara Mengumpul-kan informasi tentang alasan migrasi, struktur pendidikan, efek migrasi dan kebijakan yang melandasi adanya migrasi tenaga dokter spesialis Survey, cross sectional Menyebar-kan kuesioner kepada dokter spesialis tertentu di Colombia, Nigeria, India, Pakistan, danFilipina Alasan migrasi adalah pengembang-an keahlipengembang-an, migrasi terkait dengan struktur pendidikan, migrasi berakibat ada kurangnya tenaga dokter di daerah tertentu, kebijakan tentang migrasi belum jelas Financial and Professiona l Incentive in Health Inggris dan Kanada Mengkaji hubungan struktur insentif dengan Studi kepustaka an Mengkaji data sekunder dari 2 negara, Efektifitas sistem kesehatan sangat berhubungan

(25)

Care: Comparing the UK and Canadian Experience s (Llwellyn et al. 1999) alokasi sumber daya di Inggris dan Kanada Inggris dan Kanada dengan struktur insentif Factors associated with rural practice among Australian-trained general practitioner s (Laven et al. 2003) Australi a Menganalisi s faktor-faktor yang berhubungan dengan penempatan dan lokasi kerja dokter di Australia Retros-pective, case-control study, survey Case adalah GP yang bekerja di rural dan control adalah dokter yang bekerja di rural area Menyebark an kuesioner kepada 2414 dokter yang dididik di Australia dan bekerja di daerah urban dan rural Karakteristik, salah satunya atar belakang dokter dan pasangannya menjadi penentu pemilihan tempat kerja

(26)

Consultants’ attitudes to clinical governance: Barriers and incentives to engagement (Hogan et al. 2007) UK Menganalis is keterlekata n dokter spesialis dengan clinical governance Studi kualitatif terhadap 24 dokter spesialis yang bekerja di rumah sakit dengan karateris-tik tertentu Dilakukan interview semi terstruktur pada 24 dokter spesialis, yang terlibat pernuh dan tidak terlibat sama sekali dalam pengembang an clinical governace di rumah sakit Hubungan inter-profesiona l yang buruk, kurangnya perhatian manaje-men pada kegiatan klinik, dan kurangnya perhatian pada kualitas pelayanan , memberi-kan efek negatif pada engage-ment The Crossover of Daily Work Engagement: Test of an Actor–Partner Interdependen ce Model (Baker & Xanthopulou, 2009) Netherla nd Menganalis is transmisi engagemen t dalam organisasi survei, responden diminta untuk mengisi berbagai informasi yang terkait dengan hubungan kerja, kinerja, dan komunikas i) Responden mengisi diary-survey, setiap hari setelah jam kerja berakhir Transmisi work-engageme nt dapat terjadi karena komunika si yang intensif dan kinerja yang baik dalam organisasi .

(27)

Penelitian ini berupaya untuk menggambarkan hubungan rumah sakit dengan dokter melalui perspektif keterlekatan (engagement) serta mengungkapkan berbagai aspek manajemen yang melatarbelakanginya. Keberadaan dokter di rumah sakit yang terletak di daerah dengan variasi karakteristik yang berbeda akan diukur keterlekatannya.

Konsep engagement selama ini banyak dipergunakan dalam manajemen SDM organisasi non rumah sakit. Konsep ini dipandang sangat penting untuk mengelola SDM dari 2 sisi, yaitu sisi psikografi SDM dan sisi organisasi. Penerapan konsep ini dalam manajemen dokter di rumah sakit merupakan upaya untuk mengembangkan wawasan dan wacana mengenai pendekatan baru manajemen SDM kesehatan, terutama dokter spesialis, di rumah sakit. Istilah keterlekatan (engagement) di rumah sakit Indonesia dan internasional masih belum banyak dipergunakan. Jikapun ada istilah physician engagement biasanya dihubungkan dengan program atau layanan tertentu yang disediakan rumah sakit, bukan dengan organisasi rumah sakit itu sendiri.

Keterlekatan dokter dengan rumah sakit yang masih menjadi isu besar dalam upaya meretensi dokter, saat ini belum menjadi isu utama dalam pembuatan kebijakan penyebaran dokter, baik untuk daerah terpencil maupun untuk daerah biasa. Dasar pembuatan kebijakan untuk meretensi dokter masih bertumpu pada konsep motivasi dan altruisme, yang semakin sulit diterapkan oleh karena keterbatasannya dalam menjangkau sisi profesional pekerjaan dokter.

Penelitian ini berupaya untuk membantu pembuatan kebijakan distribusi dan retensi dokter, serta membantu pengayaan wacana manajemen dokter dalam

(28)

sistem kesehatan Indonesia yang terdesentralisasi. Temuan dalam penelitian ini juga dapat dipergunakan untuk tingkat meningkatkan efektifitas manajemen SDM kesehatan pada tingkat makro dan mikro organisasi. Oleh sebab itu, penelitian ini akan menggunakan metode yang dapat menggali aspek makro dan aspek mikro dalam meninjau keterlekatan hubungan rumah sakit dengan dokter.

Gambar

Gambar 1. Model Circular Flow (Sumber: Trisnantoro, 2005)
Gambar 2.  Grafik Pertumbuhan Jumlah RS Swasta di Indonesia 1998-  2008)

Referensi

Dokumen terkait

Jika miselium telah tumbuh pada media PDA selanjutnya akan dipindahkan ke wadah yang berisi jagung, dimana ketika miselia jamur telah banyak pada wadah berisi jagung tersebut, maka

Setelah pemain mengklik tombol keluar, maka akan muncul peringatan tentang konsekuensi keluar dari permainan dan terdapat konfirmasi apakah yakin bahwa pemain tersebut mau keluar

Ketiga sumbu kristal dari sistam ini sama panjang dan semuanya saling tegak

layaknya tukang bunga serta tidak membawa bunga dan Arswendo merupakan tamu penting yaitu anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) gadungan. Hal ini sesuai

Sebelum masuk pada tahap rekomendasi diperlukan paduan kriteria (preferensi) mahasiswa yang ingin direkomendasikan. Tahap ini bertujuan untuk menghasilkan paduan

Lokasi penelitian ini adalah empat perguruan tinggi yang ada di Kota Palopo (IAIN Palopo, UNANDA Palopo, UNCOK Palopo dan STIEM Palopo. Jenis penelitian ini

Hasil dari filtering merupakan spektrum anomali gravitasi yang komponen frekuensinya telah diatenuasi untuk nilai di atas cutoff frequency pada iterasi tersebut.. Hasilnya

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Pada Pasien Yang Mengalami Gagal Ginjal Kronik Dengan Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh