• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pada perjalanan kehidupan, manusia berada dititik- titik yang berbeda dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pada perjalanan kehidupan, manusia berada dititik- titik yang berbeda dalam"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Pada perjalanan kehidupan, manusia berada dititik- titik yang berbeda dalam siklus kehidupan keluarga. Fase-fase siklus kehidupan keluarga mencakup meninggalkan rumah dan menjadi orang dewasa yang hidup sendiri, bergabungnya keluarga melalui pernikahan (pasangan baru), menjadi orang tua dan sebuah keluarga dengan anak, keluarga dengan remaja, keluarga pada kehidupan usia tengah baya, dan keluarga pada kehidupan usia lanjut. Fase-fase kehidupan ini akan dijalani baik oleh pria maupun wanita.

Menjadi pasangan baru (new couple) merupakan fase dari siklus kehidupan keluarga, dimana dua individu dari dua keluarga yang berbeda bersatu untuk membentuk suatu sistem keluarga yang baru. Fase ini tidak hanya melibatkan pembangunan satu sistem pernikahan baru, tetapi juga penyusunna kembali hubungan dengan keluarga jauh dan teman-teman untuk melibatkan pasangan.

Relasi dalam pernikahan ditentukan oleh hubungan antara dua orang (pria dan wanita) yang saling mempengaruhi sehingga memang agak sulit untuk menilai apakah suatu hubungan suatu pernikahan dapat dikatakan benar-benar sukses atau gagal. Kesuksesan pernikahan ditandai bukan hanya oleh beberapa erat hubungan tersebut terjalin dan intensitas perasaan yang dialami dua orang yang menjalin relasi pernikahan. Bukan juga ditentukan oleh siapa diantara kedua pasangan pernikahan

(2)

mana pasangan merasakan kepuasan hubungan pernikahan pada sebagian besar waktu yang dilalui dalam ikatan pernikahan. Apakah kedua pasangan merasa yakin dan percaya bahwa kebutuhan fisik, emosional, dan psikologis terpenuhi dalam kebersamaannya dengan pasangannya (Nazwan, 2005).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh banyak pakar pernikahan menghasilkan data empirik yang membuktikan adanya hubungan yang erat antara hancurnya pernikahan dengan hancurnya sistem keluarga. Banyak pula penelitian yang memberikan data empirik mengenai korelasi yang positif antara kondisi marital discoord, marital distress, suatu kondisi dan iklim pernikahan beberapa waktu sampai jatuhnya keputusan bercerai (Sadarjoen, 2005).

Suka duka dalam hidup pernikahan merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari. Berkaitan dengan hal tersebut, Hammarskjold (dalam Sadarjoen, 2005) mengungkapkan bahwa setiap pernikahan tidak akan terhindar dari konflik. Dua orang yang tinggal dalam satu atap tidak mungkin hidup tanpa konflik, kecuali bila salah satu pasangan atau bahkan kedua pasangan memutuskan untuk mengalah daripada berkonfrontasi. Namun, walaupun salah satu pasangan memutuskan untuk mengalah, bukan berarti konflik tidak terjadi, karena sekalipun kejengkelan tidak diungkap secara konfrontatif, konflik akan tetap muncul dalam hati yang paling dalam dan mendasari iklim relasi yang selanjutnya tercipta dengan pasangannya.

Hal senada diungkapkan oleh Colleman (dalam Nazwan, 2005) bahwa dalam membina rumah tangga konflik pasti ada. Sering kita berusaha menghindar dari konflik dan pertengkaran yang lebih lanjut. Mungkin kita pergi tidur bila istri/ suami

(3)

telah memulai suatu pertengkaran atau pergi keluar rumah agar pertengkaran tidak bertambah berat. Setiap orang pasti tidak suka bila timbul konflik. Tapi menghindari konflik merupakan sesuatu yang riskan apalagi bila didasari perasaan takut atau perasaan kalah dan pemikiran “buat apa”. Konflik yang terus dipendam suatu saat akan memuncak dan menyebabkan suatu pertengkaran yang hebat. Perasaan kecewa, frustasi, dan sterss yang dipendam akan menyebabkan timbulnya penyakit seperti maag, ketegangan otot, denyut jantung meningkat. Jadi bila timbul konflik, jangan takut untuk mengadapi.

Konflik-konflik yang muncul pada bulan pertama pernikahan dapat ditelusuri dari harapan-harapan kedua pasangan tentang apa pernikahan dan apa yang seharusnya tidak terjadi pada pernikahan tersebut. Pada umumnya, pasangan pernikahan tidak mengungkapkan harapan-harapannya secara terbuka untuk mengidealkan set harapan-harapannya tentang pernikahan. Akibatnya, harapan kedua pasangan mungkin tidak akan terpenuhi sehingga akhirnya membuat mereka mengalami gangguan ilusi tentang status pernikahannya. Kadang-kadang, pasangan mencoba menyesuaikan harapan mereka pada saat berada dalam periode berpacaran. Sering kali setiap pasangan akan menunjukkan hal terbaik demi upaya menarik hati pasangannya sebelum pernikahan terjadi dan hal tersebut mustahil untuk dapat dipertahankan secara permanen. Begitu mereka menikah, mereka merasa relaks dan yakin bahwa perilaku baik yang biasa dimunculkan pada periode berpacaran sudah tidak perlu dilakukan lagi dan tidak tepat dilakukan secara kontiniu (Sadarjoen, 2005).

(4)

Menurut Zega (dalam Nazwan, 2005) konflik adalah realita kehidupan. Kapan saja dan dimana saja konflik selalu terjadi, baik dalam ruang lingkup yang besar maupun yang kecil. Bahkan, konflik dapat terjadi tanpa mengenal lama atau barunya usia pernikahan tersebut. Konflik seringkali terjadi karena ketidaksiapan seseorang untuk menerima perbedaan. Dan tidak jarang konflik dalam keluarga diakibatkan oleh hal-hal yang sepele. Misalnya, sebelum menikah suami terbiasa tidur dengan lampu yang dimatikan. Sementara istri terbiasa tidur dengan lampu yang menyala. Perbedaan terjadi disini, tarik menarik kepentingan pribadi pun terjadi. Seringkali lampu dinyalakan oleh istri akibatnya suami menjadi korban dan tidak bisa tidur. Ketika hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, lebih baik dibicarakan bersama sekaligus mencari solusi yang terbaik terhadap perbedaan yang muncul. Padahal, perbedaan seharusnya dijadikan suatu kekuatan untuk lebih mendekatkan diri dengan pasangan masing-masing.

Beberapa ahli pernikahan dan keluarga percaya bahwa pernikahan mencerminkn fenomena yang berbeda-beda bagi pria dan wanita yang membuat kita perlu untuk memisahkan pembahasan saat membicarakan pernikahan pada pria dan pernikahan pada wanita. Peran perempuan yang berubah, serta meningkatnya jarak antar tempat tinggala anggota keluarga, menambah beban berat pada pasangan untuk mendefenisikan hubungan pernikahan bagi diri mereka sendiri dibandingkan dengan yang terjadi di masa lampau.

Lahey (2004) menyatakan bahwa perbedaan jenis kelamin mempengaruhi cara individu menghadapi masalah. Menurut Lahey (2004), dalam menghadapi

(5)

masalah, wanita rata-rata rentan menghadapi stres dibandingkan pria. Kiecolt-Glaser dan Newton (dalam Lahey 2004) menyatakan bahwa pria sangat tergantung pada istri untuk memperoleh dukungan sosial dalam menghadapi stres.

Pengalaman dan implikasi dari pernikahan berbeda bagi istri dan suami. Hal ini umumnya tepat dalam ekspresi keintiman dan dalam pekerjaan rumah tangga. Penelitian Brown & Gary (dalam Santrock, 1998) mengemukakan bahwa hanya sepertiga wanita yang sudah menikah menyatakan bahwa mereka akan terlebih dulu mencari suami mereka untuk memperoleh dukungan jika mendapatkn masalah yang serius, seperti mengalami stres, depresi atau kecemasan. Selanjutnya, hanya sepertiga dari wanita tersebut yang menyebut suami mereka sebagai salah satu dari tiga orang terdekat mereka. Lebih banyak pria daripada wanita yang memandang pasangannya sebagai teman terbaik.

Wanita secara konsisten lebih terbuka pada pasangan mereka daripada pria, dan cenderung mengekspresikan kelembutan, ketakutan dan kesedihan daripada pasangan mereka. Bagi sebagian besar pria, mengendalikan kemarahan merupakan orientasi emosional yang umum (Cancian & Gordon dalam Sadarjoen, 2005). Keluhan umum yang disampaikan wanita dalam suatu pernikahan yakni suami mereka tidak perduli pada kehidupan emosional mereka dan tidak mengekspresikan perasaan dan pikiran mereka sendiri (Rubin, dalam Sadarjoen, 2005). Wanita sering mengeluh bahwa mereka harus membuat pasangannya mengatakan apa yang dirasakannya dan mendorong mereka untuk terbuka. Pria seringkali menganggap bahwa mereka sudah terbuka dan tidak mengerti apa yang sebenarnya diinginkan oleh

(6)

pasangannya.

Pria sering protes bahwa sebanyak apapun mereka berbicara, hal tersebut tidak cukup bagi pasangannya. Wanita juga menyatakan bahwa mereka menginginkan kehangatan yang lebih banyak seperti halnya juga keterbukaan dari suami mereka. Sebagai contoh, wanita lebih sering memberikan ciuman atau pelukan spontan kepada pasangannya jika sesuatu yang positif terjadi, sebaliknya pria jarang melakukannya (Blumstein & Schwartz dalam Sadarjoen, 2005). Secara umum wanita lebih ekspresif dan lebih berperasaan daripada pria dalam pernikahan, dan perbedaan ini sangat mengganggu banyak wanita.

Ada juga perbedaan gender dalam pekerjaan rumah tangga. Wanita biasanya lebih banyak melakukan pekerjaan rumah tangga daripada pria. Sebagian besar wanita dan pria setuju bahwa wanita seharusnya bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga dan pria seharusnya membantu. Sebagian besar wanita merasa tidak puas dengan sedikitnya jumlah pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh pasangannya. Sebagian besar wanita melakukan pekerjaan rumah tangga dua atau tiga kali lipat dari yang dilakukan oleh pasangannya. Penelitian yang dilakukan oleh Berk (dalam Santrock, 1998), hanya 10 % suami yang melakukan pekerjaan rumah tangga sebanyak pasangannya. Pria “khusus” tersebut biasanya berada dalam lingkungan keluarga yang memiliki banyak anak-anak kecil dengan pasangan yang bekerja penuh waktu.

Hakikat keterlibatan wanita dalam pekerjaan rumah tangga seringkali berbeda dengan pria. Walau mengerjakan lebih banyak, apa yang dikerjakannya dan

(7)

bagaimana mereka menghayati pekerjaan tersebut berbeda dengan pria. Pekerjaan rumah tangga yang sebagian besar dilakukan oleh wanita tidak pernah berakhir, berulang, dan rutin, biasanya mencakup membersihkan rumah, memasak, mengawasi anak, berbelanja dan mencuci pakaian. Pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh pria adalah pekerjaan yang tidak rutin, tidak teratur, seringkali mencakup memperbaiki rumah, membuang sampah, menyiangi rumput, dan berkebun. Wanita seringkali melaporkan bahwa mereka harus melakukan beberapa pekerjaan sekaligus, yang mungkin menjelaskan mengapa mereka menganggap pekerjaan rumah tangga tersebut kurang membuat santai dan lebih menekan dibanding yang dilakukan oleh pria.

Walaupun demikian, pekerjaan rumah tangga bagi wanita sering membuat cemas, lelah, merasa hina, terisolasi, tidak pernah selesai dan tidak dapat dihindari. Maka tidak heran jika banyak wanita yang berperasaan campur aduk terhadap pekerjaan rumah tangga yang dapat menyebabkan stres. Bagi pria, pekerjaan rumah tangga itu adalah pekerjaan yang membosankan dan memuakkan.

Menurut Dr. Ismed Yusuf (dalam Nazwan, 2005) urusan keluarga merupakan sumber stres terbesar (70%) dibandingkan dengan faktor lain seperti pekerjaan (20%) dan lingkungan sosial (10%). Holmes dan Rahe (dalam Duffy & Wong, 2003) menyatakan bahwa pengalaman hidup yang positif seperti pernikahan menjadi sumber stres terbesar.

Meskipun pernikahan telah melewati berbagai tahap persiapan matang, tetap saja konflik kerap terjadi. Masalah-masalah yang datang silih berganti kepada

(8)

pasangan yang baru menikah kerap kali menimbulkan stres. Sebagai contoh, perubahan peran dari kedua pasangan. Sebelum menikah, keduanya hidup sebagai individu yang bebas dan lebih mementingkan diri sendiri, namun stelah menikah peran mereka berubah menjadi suami istri yang harus saling berbagi dan terikat oleh tali pernikahan (Sadarjoen, 2005).

Stres sendiri merupakan suatu fenimena yang tidak dapat dielakkan dari kehidupan seseorang, baik yang masih muda maupun yang tua pasti pernah mengalami stres, dimana saja, dalam setiap situasi dan itu merupakan hal yang wajar. Morgan (1986) mengatakan, negara barat dalam mengatasi masalah stres, misalnya Amerika sampai mengeluarkan biaya dalam jumlah besar untuk mengatasi penyakit yang berhubungan dengan stres.

Stres memiliki banyak pengertian, Lazarus (1996) mengatakan bahwa defenisi stres dilihat dari tingkat internal yang disebabkan oleh pengaruh fisik terhadap tubuh (kondisi penyakit, aktivitas, dan suhu tubuh) dan melalui tingkat eksternal disebabkan oleh faktor lingkungan dan situasi sosial. Hal- hal yang dapat menyebabkan seseorang mengalami stres disebut sebagai stressor.

Selye (dalam Rice, 1987) mengemukakan bahwa stres adalah respon tubuh yang tidak spesifik terhadap suatu tuntutan yang sedang dihadapi. Stres bukan ketegangan saraf, melainkan ketegangan tubuh. Stres menerangkan efek-efek dari reaksi tubuh terhadap tekanan. Penyebab stres, yang disebut stressor, bisa saja semata-mata bersifat jasmani, sosial atau kejiwaan. Pikiran yang menafsirkannya sebagai sesuatu yang menyenangkan atau tidak menyenangkan.

(9)

Stres tidak harus dihindari, karena stres tersebut perlu juga dalam kehidupan seseorang. Supaya manusia dapat bertahan di dalam lingkungannya, maka ia harus tetap menyesuaikan diri terhadap tuntutan yang dihadapinya. Dia harus melawan apa saja yang mengancam keadaannya. Dia mungkin bisa tenang dan tidur lelap, namun dia tetap berada dibawah suatu tekanan. Jantung seseorang harus terus berdetak dan memompakan darah, pencernaannya harus mencerna makanan yang dikonsumsinya terakhir kali, dan otot-ototnya harus bekerja untuk menggerakkan dada saat bernafas. Otaknya terus berfungsi meskipun ketika seseorang sedang bermimpi. Hanya orang yang sudah mati yang benar-benar terbebas dari stres (Rice, 1992).

Individu akan memberikan reaksi yang berbeda untuk mengatasi stres. Dewasa ini proses terhadap stres menjadi pedoman untuk bereaksi terhadap stres tersebut. Secara umum, stres dapat diatasi dengan melakukan transaksi dengan lingkungan, dimana hubungan transaksi tersebut merupakan proses dimana seseorang berusaha untuk menangani atau mengatasi situasi stres yang menekan dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku. Hal tersebut berfungsi untuk memperoleh rasa aman dalam diri individu (Lazarus, 1996).

Kantor (dalam Sadarjoen, 2005) yakin bahwa setiap relasi memiliki pola aksi dan reaksi perilaku yang menjadi mekanisme pengarah untuk relasinya sendiri. Ia juga menggambarkan bahwa hal ini sama dengan strategi yang berkembang secara spesifik bagi setiap pernikahan dan setiap sistem keluarga. Strategi tersebut sebenarnya penting dibentuk untuk mengambil keputusan, mengatasi masalah, dan mendapatkan solusi dari masalah yang timbul, baik untuk hidup maupun bekerja

(10)

bersama (Kantor, dalam Sadarjoen, 2005).

Berangkat dari uraian di atas, peneliti ingin melakukan sebuah penelitian untuk mengetahui perbedaan coping stress (upaya mengatasi stres) pada pria dan wanita dalam pernikahan berdasarkan aspek-aspek coping stress yang dikemukakan oleh Jerabek (1998). Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat komparatif.

I.B. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan coping stress (upaya mengatasi stres) pada pria dan wanit dalam pernikahan.

I.C. Manfaat Penelitian I.C.1. Manfaat Teoritis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan kajian ilmu Psikologi, khususnya di bidang Psikologi Perkembangan karena menyangkut permasalahan dalam masa dewasa saat memasuki fase kehidupan baru (pernikahan).

I.C.2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini dapat dipakai sebagai informasi tambahan bagi penelitian-penelitian sejenis dalam bidang Psikologi Perkembangan.

b. Penelitian ini dapat dipakai sebagai informasi bagi pasangan yang beru menikah untuk dapat mengatasi stres yang dihadapinya dalam pernikahan.

(11)

I.D. Sistematika Penulisan

Proposal skripsi ini dibagi atas 5 (lima) bab dan masing-masing bab dibagi atas beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan dari proposal skripsi ini adalah : Bab I : Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Uraian latar belakang adalah mengenai coping stress pada pasangan baru dalam menghadapi pernikahan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian, meliputi landasan teori dari jenis kelamin (pria dan wanita), pasangan baru (pernikahan), coping stress, hubungan antara coping stress pasangan baru dalam menghadapi pernikahan dan hipotesis penelitian.

Bab III : Metode Penelitian

Bab ini akan menjelaskan tentang identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional penelitian, subjek penelitian, metode pengumpulan data, prosedur penelitian, dan metode analisis data untuk pengujian hipotesis yang digunakan peneliti dalam penelitian.

Bab IV : Hasil dan Interpretasi Data

Dalam bab ini akan dipaparkan hasil-hasil yang diperoleh, meliputi gambaran subjek penelitian, hasil utama penelitian, dan hasil tambahan.

Bab V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

(12)

Referensi

Dokumen terkait

Yang bertanda tangan di bawah ini saya, Fatimah Zahrah, menyatakan bahwa skripsi dengan judul : Pengaruh Diversifikasi Perusahaan dan Praktik Manajemen Laba terhadap

Bab ini menguraikan tentang landasan teori yang mendasari penulisan laporan tugas akhir ini, yaitu desain prototipe aplikasi pembelajaran jarak jauh yang dapat

Kecemasan yang dialami ibu bersalin selama dalam proses persalinan khususnya pada kala I fase aktif akan menimbulkan berbagai komplikasi selama persalinan, seperti

Kerjasama dengan dealer lebih diarahkan untuk kerjasama secara avalist agar tidak menimbulkan kerugian di pihak PT. Tamsan Dharma dimana tanggung jawab untuk

4 Tahun 2004, badan peradilan agama sebagai salah satu badan dalam lingkup kekuasaan kehakiman memasuki babak baru, selanjutnya untuk melaksanakan pengalihan

Berdasarkan observasi, objek kajian belum memiliki sertifikasi dari Lembaga Ekolabel Indonesia, sehingga hasil yang dicapai dari kriteria kayu bersertifikat adalah

5) Ciri kebahasaan teks berita adalah adanya kaidah pernyataan berisi bujukan untuk menganjurkan hal yang tertera dalam iklan tersebut. Selain kalimat yang berupa bujukan, iklan

 sesuatu dimana manusia adalah sesuatu dimana manusia adalah bagian atau milik tanah daraipada bagian atau milik tanah daraipada manusia yang memiliki tanah.. manusia yang