• Tidak ada hasil yang ditemukan

KELARUTAN DAN KECERNAAN BAHAN KERING (IN VITRO) BULU AYAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KELARUTAN DAN KECERNAAN BAHAN KERING (IN VITRO) BULU AYAM"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

KELARUTAN DAN KECERNAAN BAHAN KERING (IN VITRO)

BULU AYAM

WISRI PUASTUTI, DWI YULISTIANI danI WAYAN MATHIUS

Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

ABSTRACT

Dry matter solubility and digestibility (in vitro) of poultry feather meal

Poultry feather meal is potential protein sources with crude protein content more than 80%. Feather meal protein is fiber protein, insoluble and without processing feather meal is digested difficultly. The experiment was conducted to investigate dry matter solubility and digestibility (in vitro) of feather meal which was chemically processed. Poultry feather meal was processed using 4 levels of hydrochloride acid concentration (0%, 6%, 12%, 24%) and 3 levels incubation time (2, 4, 6 days), data was analysed using 4x3 factorial design. Results from this study showed that the interaction of the concentration of hydrochloride acid and incubation time did not significantly (P>0.05) affect dry matter solubility and digestibility of feather meal. Hydrochloride acid concentration significanly (P<0.01) increased dry matter solubility and digestibility of feather meal. Incubation time only significantly (P<0.01) affect dry matter solubility. It was concluded that dry matter solubility and digestibility of feather meal could be increased by hydrochloride acid treatment, however the incubation time only increased dry matter solubility.

Key word: Feather meal, solubility, digestibility, hydrochloride acid

PENDAHULUAN

Bulu ayam merupakan limbah dari rumah pemotongan ayam (RPA) dengan jumlah berlimpah dan terus bertambah seiring meningkatnya populasi ayam. Akan tetapi bulu ayam tersebut belum dimanfaatkan secara optimal, sebagian besar hanya dibuang dan merupakan limbah yang mencemari lingkungan sekitar.

Bulu ayam yang berlimpah tersebut diketahui mengandung protein kasar >80% dari bahan keringnya, tetapi nilai biologisnya cukup rendah (LIN et al., 1992). Keadaan tersebut disebabkan oleh sulit terurainya nutrien tersebut dalam saluran pencernaan, sulit dihidrolisis dalam usus halus ataupun mengandung senyawa sekunder yang tidak diinginkan. Hal ini berkenaan dengan protein bulu ayam tergolong protein fibrous/serat, yakni keratin yang mempunyai sifat sulit larut dan resisten terhadap pencernaan oleh mikroba rumen dan enzim pencernaan pascarumen. Oleh karena itu, agar dapat dimanfaatkan oleh ternak secara optimal, maka bulu ayam, sebaiknya mendapat perlakuan sebelum diberikan kepada ternak.

Beberapa metode pengolahan bulu ayam telah diteliti untuk meningkatkan kecernaannya, yaitu secara fisik dengan temperatur dan tekanan, secara kimia dengan asam dan basa yang dikombinasi dengan temperatur, secara enzimatis serta mikrobiologi dengan bantuan mikroorganisme. Pada penelitian ini pengolahan bulu ayam dilakukan dengan perlakuan asam HCl, tanpa penggunaan temperatur dan tekanan

tinggi. Melalui metode ini diupayakan menjadi lebih aplikatif, mudah dan murah karena tanpa tambahan biaya untuk pemanasan, disamping menekan denaturasi protein akibat penggunaan temperatur dan tekanan tinggi.

Tujuan penelitian ini adalah meguji kelarutan dan kecernaan bahan kering secara in vitro dari hidrolisat bulu ayam yang diolah secara kimia dengan asam HCl sebagai sumber protein pakan bagi ternak ruminansia.

MATERI DAN METODE

Persiapan materi percobaan diawali dengan penyediaan bulu ayam. Bulu ayam yang dipakai adalah yang berwarna putih, merupakan limbah yang berasal dari pemotongan ayam ras pedaging dengan umur 5-6 minggu. Bulu ayam tersebut dikumpulkan dari tempat pemotongan ayam di wilayah Bogor. Bulu ayam yang terkumpul dipisahkan dari bagian kepala, kaki dan jeroan, kemudian dicuci bersih dan dikeringkan. Untuk mempermudah proses pengolahan bulu ayam yang sudah kering, terutama bulu ekor dan sayap yang panjang dan keras terlebih dahulu dipotong-potong dengan ukuran 2-3 cm.

Tahap pengolahan

Pengolahan bulu ayam dilakukan secara kimia dengan cara mencampur bulu ayam dengan asam HCl,

(2)

agar terjadi hidrolisis selama penyimpanan. Terdapat 4 konsentrasi asam HCl, yaitu 0%, 6%, 12% dan 24%. Pencampuran bulu ayam dengan asam HCl dengan imbangan 2:1 (b/v). Pencampuran harus benar-benar rata pada semua bagian bulu ayam. Kemudian dimasukkan dalam wadah tertutup rapat dan disimpan selama 2, 4 dan 6 hari. Bulu yang sudah dihidrolisis sesuai perlakuan kemudian dikeringkan dan digiling, untuk selanjutnya dianalisis.

Tahap pengujian

Untuk mengukur pH dari Hidrolisat Bulu Ayam (HBA), ditimbang sampel sebanyak 1 g ditambah 25 ml akuades, diaduk hingga merata dan diukur pH-nya dengan pH meter. Kecernaan Bahan Kering (BK) dari HBA diukur dengan menggunakan metode TILLEY dan TERRY (1963). Ditimbang sebanyak 0.5 g sampel dan dimasukkan ke dalam tabung fermentor, kemudian ditambahkan 10 ml cairan rumen dan 40 ml larutan saliva buatan. Dilakukan pengocokan dengan gas CO2

untuk menciptakan kondisi anaerob, kemudian difermentasi dalam shaker bath bersuhu 390C selama 2x24 jam. Untuk menghentikan proses pencernaan fermentatif, ke dalam tabung ditambahkan 0.2 ml HgCl2

jenuh. Dilanjutkan penambahkan 20 ml larutan pepsin 0. 2% dan diinkubasi selama 2x24 jam untuk proses pencernaan hidrolitik. Kemudian sisa pencernaan disaring dan dikeringkan dalam oven bertemperatur 1050C selama 24 jam. Dibuat blanko dengan cara yang sama, tetapi tanpa bahan sampel. Kecernaan BK dihitung dengan rumus:

% Kecer. BK = BK asal–BK residu–BK blanko x 100% BK asal

Adapun kelarutan BK diukur menggunakan metode seperti yang dilakukan SOPIAH (2002), sebagai berikut: sebanyak 1 g sampel dilarutkan dalam 20 ml larutan saliva buatan (McDougal) dan diinkubasi dalam penangas air pada suhu 390C selama 24 jam. Kemudian dilakukan penyaringan dengan kertas saring Whatman no 41 dengan bantuan pompa vakum. Hasil saringan kemudian dikeringkan dalam oven 1050C sampai bobotnya stabil. Kelarutan BK dihitung dengan rumus: % Kelarutan BK = BK awal – BK sisa x 100%

BK awal

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap berpola faktorial 4x3, dengan faktor pertama adalah 4 konsentrasi HCl dan faktor kedua adalah lama waktu hidrolisis. Untuk mengetahui perbedaan diantara nilai tengah perlakuan dilakukan uji kontras orthogonal (STEEL dan TORRIE, 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengolahan bulu ayam secara kimia dengan menggunakan asam HCl, menghasilkan produk berupa bulu ayam yang terhidrolisis, sehingga dalam pembahasan selanjutnya produk bulu terolah secara kimia ini disebut HBA. Hasil pengukuran pH, kelarutan dan kecernaan BK dari HBA tersaji pada Tabel 1.

Penggunaan asam HCl dan lama waktu hidro-lisis secara bersamaan tidak mempengaruhi nilai pH

Tabel 1. Rataan pengukuran pH, kelarutan dan kecernaan BK dari HBA yang diolah pada berbagai taraf asam HCl dan lama

waktu hidrolisis

HCl (%) Lama hidrolisis (hari) PH Kelarutan BK (%) Kecernaan BK (%) 0 2 4,73d 2,05a 11,97a 0 4 5,01d 6,04a 11,90a 0 6 4,90d 8,08a 13,28a 6 2 2,68c 2,86a 19,28b 6 4 2,67c 4,22a 25,07b 6 6 2,76c 8,57b 28,65b 12 2 2,56a 28,59c 57,69c 12 4 2,59b 37,94d 59,83c 12 6 2,56a 52,87e 59,84c 24 2 2,53a 62,06f 75,46d 24 4 2,52a 73,96g 74,44d 24 6 2,47a 71,83g 82,99d

(3)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0 6 12 24 Konsentrasi HCl (%) Persentase (%) Kel Kec. BK

Gambar 1. Kelarutan dan kecernaan BK dari HBA dengan konsentrasi HCl yang berbeda

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 2 4 6

Waktu hidrolisis (hari)

Persentase (%)

Kel Kec. BK

Gambar 2. Kelarutan dan kecernaan BK dari HBA dengan waktu hidrolisis yang berbeda

HBA (P>0,05). Secara parsial penggunaan asam HCl dalam proses pembuatan HBA menunjukkan pengaruh linier positif, artinya semakin tinggi konsentrasi asam HCl yang digunakan akan menghasilkan HBA yang semakin asam yang ditunjukkan dengan nilai pH yang semakin menurun (P<0,01). Adapun lama waktu hidrolisis tidak mengakibatkan perbedaan tingkat keasaman (P>0,05). HBA yang dihasilkan mempunyai nilai pH tertinggi pada perlakuan tanpa asam HCl, yaitu

5,01 dan terendah pada konsentrasi HCl 24%, yaitu 2,47.

Kelarutan BK dari HBA sangat dipengaruhi oleh penggunaan asam HCl dan lama waktu hidrolisis (P<0,01). Pada perlakuan asam HCl 0% dan 6% dengan waktu hidrolisis 6 hari memperlihatkan tingkat kelarutan BK sedikit lebih besar dibanding 2 dan 4 hari. Adapun dengan konsentrasi asam HCl 12% dan 24%, waktu hidrolisis 2 hari sudah menunjukkan perbedaan

(4)

tingkat kelarutan BK dibanding 4 maupun 6 hari (P<0,01). Kelarutan BK meningkat seiring meningkatnya konsentrasi asam HCl, sedangkan semakin lama waktu hidrolisis mula-mula meningkatkan kelarutannya hingga 4 hari, setelah itu nilainya mulai menurun pada hari ke-6 (Gambar 1 dan

2). Meningkatnya konsentrasi asam HCl ternyata

meningkatkan daya hidrolisis, sementara itu semakin lama waktu pemrosesan akan menurunkan daya hidrolisis dari asam HCl. Hal ini juga mengindikasikan semakin banyak fraksi yang dapat dilarutkan akibat dari semakin banyak ikatan-ikatan antar asam amino yang diputus selama proses hidrolisis oleh asam HCl. Hasil ini mendukung pernyataan WILLIAM et al. (1991), dengan mengolah bulu melalui biofermentasi akan terjadi perombakan struktur jaringan kimia dinding sel, pemutusan ikatan disulfida, ikatan hidrogen dan penurunan kadar keratin.

Nilai kelarutan yang diperoleh pada perlakuan HCl 0% sebesar 5,39%, perlakuan asam HCl 6% sebesar 5,22%, perlakuan HCl 12% sebesar 39,8% dan pada perlakuan HCl 24% adalah sebesar 69,28%. Berdasarkan hasil percobaan ini penggunaan asam HCl 12%, sudah menghasilkan kelarutan BK yang lebih besar dari HBA komersial. Seperti yang dilaporkan SOPIAH (2002) bahwa besarnya kelarutan BK dari HBA komersial sebesar 11,6%. Kecilnya nilai kelarutan BK dari HBA komersial yang diolah menggunakan suhu tinggi diduga karena banyak protein yang terdenaturasi, mengkristal sehingga kelarutannya menurun. Bila dilihat semakin besarnya nilai kelarutan BK akibat meningkatnya konsentrasi HCl dan lama waktu hidrolisis, berarti mencerminkan bahwa bahan tersebut mudah dicerna. Seperti pernyataan NOCEK (1998) bahwa fraksi terlarut dari suatu bahan sebagian besar didegradasi di dalam rumen.

Uji kecernaan terhadap HBA menunjukkan bahwa penggunaan HCl dan waktu hidrolisis tidak mengakibatkan peningkatan terhadap kecernaan BK (P>0.05). Penggunaan HCl secara parsial menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan, akan dihasilkan kecernaan BK yang semakin tinggi dan terus meningkat hingga penggunaan HCl 24% (Gambar 1).

Adapun lama hidrolisis tidak menunjukkan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap kecernaan BK (Gambar 2). Dalam percobaan ini HBA mempunyai

nilai kecernaan BK terendah pada perlakuan HCl 0% yakni sebesar 11,97% dan tertinggi pada penggunaan HCl 24% yakni 82,99%. Nilai ini jauh lebih besar dibandingkan dengan kecernaan BK bulu ayam tanpa diolah yakni 5,8% (AHMAD, 2001). Pada percobaan ini perlakuan HCl 12% dengan lama waktu 2, 4 dan 6 hari menghasilkan kecernaan BK lebih besar dibandingkan laporan AHMAD (2001) yang mengolah bulu ayam dengan asam HCl 12% dengan lama waktu 3 hari, yakni sebesar 45,5% dan hampir sama dengan HBA yang diolah dengan NaOH 12% disertai pemanasan dan tekanan tinggi menghasilkan nilai kecernaan BK sebesar 64,6%.

KESIMPULAN

Kelarutan dan kecernaan BK dari HBA meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi asam HCl, sedangkan lama waktu hidrolisis hanya meningkatkan kelarutannya.

DAFTAR PUSTAKA

ACHMAD, W. 2001. Potensi limbah agroindustri sebagai pakan sapi perah. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

LIN, X., C.G. LEE, E.S. CASALE and J.H. SHIH. 1992. Purification and characterization of keratinase from feather-degrading Bacillus licheniformis strain. Appl. and Envirom. Microb., 58 (120):3271-3275.

NOCEK, J.E. 1998. In situ and ather methods to estimate ruminant protein and energy digestibility. A Review. J. Dairy Sci. 71:2051-2069.

SOPIAH, S.S. 2002. Evaluasi in vitro beberapa limbah agroindustri untuk pakan sapi perah. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

STEEL, R.G.D danJ.H. TORRIE. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT. Gramedia.Jakarta.

TILLEY, J.M.A. andR.A. TERRY. 1963. Two stage technique for in vitro digestion of forage crops. J. British Grassland Soc. 18:104.

WILLIAM, L.M., L.G. LEE, J.D. GARLICH andJ. C.H. SHIH. 1991. Evaluation of a bacterial feather fermentation product, feather-lysate, as a feed pretein. Poultry Sci. 70: 85-95.

DISKUSI Pertanyaan:

(5)

2. Bagaimana dengan hasil in vitro, apakah hasilnya akan selaras ? Apakah ada korelasi daya cerna in vitro dengan in vivo ?

Jawaban:

1. Terjadi hidrolisa pada antar asam amino pada protein keratine, sehingga mempermudah penetrasi enzim dalam saluran pencernaan.

Gambar

Gambar 2. Kelarutan dan kecernaan BK dari HBA dengan waktu hidrolisis yang berbeda  HBA (P&gt;0,05)

Referensi

Dokumen terkait

In the previous study of cerebellar vermis, patients were found to have a positive correlation between the size of the vermis and the size of the temporal lobe, with both of

[r]

Lingkup kegiatan penyusunan indeks pembangunan kesehatan masyarakat adalah kegiatan penyusunan data 24 indikator/variabel kesehatan untuk menggambarkan kemajuan pembangunan

Kurikulum Pendidikan Muzik sekolah rendah bermatlamat untuk membina potensi diri murid ke arah melahirkan insan kreatif yang menghayati dan menikmati muzik

Pada hari ini Jum’at tanggal Dua Puluh Dua bulan Juli tahun Dua Ribu Enam Belas ( 22-07-2016 ), kami pokja ULP Pengadaan Embossing R2/R3/R4 Ditlantas Polda Sumsel Ta.2016

Hasil docking dapat diamati pada tabel 1 dimana dari 19 ligan yang dianalisis, nilai skor CHEMPLP yang terendah berada pada ligan senyawa biji buah nangka yaitu senyawa

Hewan uji DM tipe 2 resisten insulin dapat dilihat dari parameter: (1) uji kadar glukosa darah preprandial dan postprandial; (2) uji aktivitas hipoglikemik dari

Sambungan ulir pada sistem ini digunakan pada pipa berdiameter 1 inchi sebagai penyambung alat ukur Pressure gauge dengan ball valve dan juga untuk valve