• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN DALAM TRANSAKSI TERAPIUTIK. oleh :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN DALAM TRANSAKSI TERAPIUTIK. oleh :"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

1 ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN

DALAM TRANSAKSI TERAPIUTIK oleh :

Rizki Yudha Bramantyo1, Hery Lilik Sudarmanto2, Irham Rahman3, Gentur Cahyo Setiyono4

Abstraksi

Transaksi terapeotik adalah sebuah tindakan hukum keperdataan dimana bentuknya adalah sebuah perjanjian. dalam hal ini bentuk perjanjian yang terjadi bukan menjanjikan kepada hasil tetapi menjanjikan upaya terbaik semaksimal mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah profesionalitas sang pemberi layanan kesehatan serta dalam naungan kaidah syarat sah-nya perjanjian menurut hukum keperdataan Indonesia. Namun demikian dalam prakteknya sesuai dengan keterbatasan manusia mungkin saja terjadi kealpaan, kesalahan dan tindakan diluar kuasa lainnya yang berujung pada terjadinya kerugian pada pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana hukum dapat melindungi kepentingan pasien dalam perjanjian terapinya sehingga pasien sebagai warga negara Republik Indonesia meras terlindungi dan aman terlebih lagi pasien dalam kondisi sakit dan menderita. Penelitian ini adalah penelitian normatif yang bersumber data utama pada kaidah-kaidah serta ketentuan-ketentuan hukum yang digali dari pustaka-pustaka para ahli-ahli hukum. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumbangsih pemikiran guna mengembangkan ilmu hukum terlebih Hukum Kesehatan di Indonesia.

Kata Kunci : Transaksi Terapeotik, Pasien, Pemberi layanan kesehatan

1. Latar Belakang

Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang maha Kuasa dengan segala potensi dan keutamaannya, manusia dapat berfikir dengan kecerdasan akalnya dan mengatasi berbagai masalah kehidupan bersama-sama hingga mencapai derajat yang mulia sebagai pemimpin di bumi. Untuk menjalani kehidupan dengan baik dan menjalankan

1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Kadiri, email : [email protected] 2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Kadiri, email : [email protected] 3 Dosen Fakultas Hukum Universitas Kadiri, email : [email protected] 4 Dosen Fakultas Hukum Universitas Kadiri, email : [email protected]

CORE Metadata, citation and similar papers at core.ac.uk

(2)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

2 segala aktifitasnya secara maksimal manusia haruslah berada dalam kondisi sehat. Tanpa kondisi tubuh yang sehat, manusia akan kesulitan dan kehidupannya menjadi beban bagi manusia yang lain. Tidak mungkin pula dia mampu menjalani kehidupannya sehari-hari secara normal dan berbahagia. Oleh karena itu dalam kehidupan kita, dimana seserorang yang menderita sakit pasti akan mencari pengobatan dan juga perawatan dalam rangka mencapai kesembuhan hingga dapat beraktivitas seperti sedia kala dengan baik.

Pada kehidupan modern dewasa ini, orang-orang yang sakit atau merasa tak baik dengan tubuhnya akan pergi ke dokter untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Maka dari itu akan terjadi interaksi atau hubungan antara pasien yaitu orang yang sakit tersebut dengan dokter sebagai pemberi layanan kesehatan. Hubungan ini didasarkan atas dua prinsip, yakni hak asasi yang mana diakui secara internasional atau the right to self determination dan hak mengenai informasi atau the right to informed, dimana kedua hak tersebut sama sama sebagai hak seorang individu atau bisa disebut individual human right.

Seorang pasien dalam memberikan sebuah Kepercayaan kepada dokter dilandasi oleh keyakinan bahwa dokter tahu yang terbaik untuk mengupayakan kesembuhan bagi pasiennya adalah dasar dari munculnya prosesi pelayanan kesehatan. Dalam perkembangannya atas dasar peletakan kepercayaan tersebut, seringkali dalam hubungan antara dokter dengan pasiennya dikatakan sebagai sebuah perjanjian terapeutik, padahal bagian dari kesepakatan yang timbul diantara dokter dan pasiennya ini bukan memperjanjikan suatu kondisi atau menjanjikan

(3)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

3 kesembuhan, melainkan dokter menjajikan upaya terbaik, terapi penyembuhan setepat mungkin serta upaya semaksimal mungkin untuk melayani kebutuhan medis pasien hingga pasien mencapai kondisi sembuh. Hal ini dikenal sebagai bentuk

inspaning verbintenis dimana sesuatu yang menjadi objek perjanjian bukanlah hasil

atau suatu barang tertentu melainkan usaha terbaik dari hal tertentu.

Maka demi tercapainya suatu kejelasan hukum serta dalam memberikan sebuah perkindungan kepada dokter, perawat, bidan atau siapapun yang berperan sebagai pemberi layanan kesehatan, juga bagi penerima layanan kesehatan, pengguna jasa layanan kesehatan, dalam hal ini pasien, perangkat hukum yang bersifat dinamis dan sesuai kebutuhan jaman, mutlak diperlukan. Hal ini juga akan menunjang pembangunan ketaatan hukum, sesuai dengan cita-cita hospital by law dan juga mengarahkan serta memberikan landasan bagi pembangunan masyarakat di bidang hukum kesehatan.

Kaidah-kaidah kesehatan banyak mengalami suatu perubahan, khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap orang yang berhubungan di dalam kegiatan usaha kesehatan, beserta hak dan juga kewajiban untuk pihak yang berkaitan (Skripsi

tesis.com. Diakses pada tanggal 15 Juni 2014 pkl.11.00). Berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 , dikatan bahwa, pemerintah sudah

memerintahkan secara jelas untuk menghargai hak-hak seorang pasien. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan akan perlindungan hukum terhadap hak pasien yang mengalami suatu peningkatan. Perlindungan hak pasien termaktub juga pada UU Nomor 8 tahun 1999 mengenai perlindungan terhadap konsumen, dimana hal tersebut

(4)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

4 dimaksudkan untuk menjadi pelindung dari UU mengenai konsumen, dalam hal ini seorang pasien dinilai sebagai seorang pemakai tenaga kesehatan.

Dengan dibentuknya UU Nomor 8 tahun 1999 mengenai perlindungan konsumen, banyak dari kalangan aktivis yang memberikan tanggapan yang cukup baik, dimana dalam UU ini mengatur mengenai hak seorang konsumen, tanggung jawab seorang pengusaha, tentang prospek perlindungan hak seorang konsumen dengan makna yang sebenarnya, serta hal-hal untuk kebaikan seorang konsumen. Seorang pasien dapat menggugat jika ia menganggap haknya telah dilanggar, seringkali terjadi pada beberapa dekade ini, hal tersebut dilakukan pasien yang mengalami kerugian dengan tujuan memperoleh ganti rugi dari pihak terkait (dokter) maupun pelayan kesehatan yang mana telah berbuat lalai dalam melaksanakan pekerjaannya. Mengenai hal tersebut telah banyak kasus yang berakhir di meja hijau, salah satunya adalah kasus tentang seorang tenaga medik yang menyuntikan penisilin kepada pasiennya di Pati, Kasus tenaga medik yang menyuntikan silikon pada pasiennya di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya, serta banyak kasus lainnya

(Bahder Johan Nasution, 2005:4). Permasalah tersebut menjadi perhatian dari lapisan

profesi hukum.

Selain itu masih terdapat banyak kasus yang terjadi di berbagai rumah sakit di Indonesia yang mengakibatkan pekerja tenaga medis mau tak mau berhadapan dengan masalah hukum, maupun keluarga pasiennya yang merasa mengalami kerugian dalam pelayanan kesehatan yang diterima. Hal ini memperlihatkan suatu

(5)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

5 gejala bahwa krisis etik medik mulai melanda dunia kedokteran, bahkan kode etik kedokteran tidak dapat menyelesaikan krisis keterampilan medik tersebut sehingga mengharuskan untuk menyelesaikannya melalui jalur yang rumit lagi yakni jalur hukum.

Pada hakikatnya kesalahan yang ditimbulkan dokter ketika menjalankan pekerjaannya bisa membuat efek yang sangat merugikan, sehingga hal tersebut sangat penting untuk dibahas lebih lanjut. Selain menyebabkan kerugian terhadap pasien, juga menyebabkan hilangnya keyakinan masyarakat untuk mempercayai profesi dokter lagi.

Karena itu maka terdapat kewajiban profesi yang berguna untuk memahami dan menghindari agar tidak terdapat lagi kesalahan-kesalahan pada profesi kedokteran. Di sisi lain, harus melihat dari aspek hukum yang mana menjadi acuan mengenai hubungan antara dokter dan pasiennya dengan dasar transaksi terapeutik. Agar tidak terjadinya suatu tindakan medik yang dapat berakibat pada kesalahan maupun kelalaian dokter yang mana pasti akan mengakibatkan kerugian bagi pasien sebagai pihak konsumen, Maka, tenaga medik diharuskan untuk mempunyai keahlian dan pengetahuan, serta dapat bekerja secara profesional. Pengetahuan yang dimaksudkan adalah, bisa memahami dengan baik tentang standar dalam pelayanan kesehatan serta standar profesi medik, dan masih banyak lagi.

2. Rumusan Masalah

(6)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

6 2.1 Bagaimana tinjauan hukum positif yang ada di Indonesia mengenai

pengaturan tentang kewajiban serta hak bagi pelaku transaksi terapeutik? 2.2 Bagaimana seorang dokter bertanggung jawab, jika terdapat suatu kerugian

terhadap pasien sebagai akibat dari tindakan terapeutik ? 3. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan, dimana dalam melakukannya bisa dengan cara mengkaji beberapa referensi-referensi seperti buku, undang undang yang berkaitan mapun artikel. Penelitian ini menggunakan pendekatan doktrinal dimana mengannggap bahwa hukum memiliki sifat yang normatif. Dalam penelitian ini juga menggunakan studi dokumen dalam mengumpulkan bahan hukum, yaitu dengan cara pengkajian hal-hal yang terkait obyek, baik itu dalam buku, kamus maupun undang-undang. Penelitian ini selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif.

4. Tujuan Penelitian

Hal yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah, untuk menggali, mencari, mendeskripsikan bentuk dari suatu hukum yang melindungi seorang pasien berkenaan transaksi terapiutik. Transaksi terapiutik merupakan kesepakatan antara seseorang dan orang lainnya dimana seseorang tersebut menyerahkan dirinya untuk dilakukan upaya pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan kepada orang lain. Dengan adanya penelitian ini, semoga dapat memberikan andil bagi dunia pengetahuan terkait dengan hukum yang melindungi pasien pada transaksi terapiutik dan juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap pihak-pihak

(7)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

7 yang berkepentingan, sedang menjalani upaya pelayanan kesehatan, perawat, dokter, dan pemberi layanan kesehatan.

5. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini, semoga bisa memberi manfaat kepada pasien berupa pengetahuan tentang hukum perlindungan pasien terhadap transaksi terapiutik. Selain itu manfaat dari adanya penelitian ini dapat memberikan rasa aman bagi pasien dalam melakukan transaksi terapiutik apapun bentuknya karena mengetahui adanya mekanisme hukum guna melindungi pasien dalam tiap-tiap transaksi. Dalam penelitian ini juga diharapkan bagi para pemberi layanan kesehatan agar lebih mengutamakan keselamatan pasien, lebih berhati-hati jika memberi pelayanan kesehatan, dan lebih menjaga harmonisasi hubungan dalam bentuk-bentuk yang baik lagi antara petugas medik maupun dokter dengan pasien.

6. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan, dimana dalam melakukannya bisa dengan cara mengkaji beberapa referensi-referensi seperti buku, undang undang yang berkaitan mapun artikel. Penelitian ini menggunakan pendekatan doktrinal dimana mengannggap bahwa hukum memiliki sifat yang normatif. Dalam penelitian ini juga menggunakan studi dokumen dalam mengumpulkan bahan hukum, yaitu dengan cara pengkajian hal-hal yang terkait obyek, baik itu dalam buku, kamus maupun undang-undang. Penelitian ini selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif.

(8)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

8 7. Pembahasan

7.1. Hukum positif di Indonesia telah meninjau mengenai Pengaturan Hak dan tanggung jawab para pihak yang terkait dalam transaksi Terapiutik.

Berkenaan dengan upaya pembangunan tentang kesehatan, dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 23 Tahun 1992 mengatakan :

“ Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”. Berdasarkan pada PP No. 32 Tahun 1996 Pasal 2 ayat (1) jo. Ayat (3) seorang perawat digolongkan ke dalam tenaga keperawatan (Sri Praptianingsih, 2006:8).

Mengenai ketetapan yang terdapat pada pasal 53 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1992 jo. Pasal 21 ayat (1) PP No.32 Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan, dimana dikatakan secara tegas bahwa tenagan medik diharuskan menghargai hak seorang pasien sebagai standar profesinya di dalam melaksanakan usaha kesehatan. Para tenaga kesehatan memerlukan standar profesi sebagai sebuah pedoman dalam menjalankan tugasnya, khususnya tentang hal yang dilakukan oleh pelayan kesehatan harus sesuai dengan apa yang diperlukan pasien, dimana tenaga kesehatan diharapkan mampu melakukan tugasnya secara profesional.

(9)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

9 Pada ketetapan Pasal 22 ayat (1) PP No. 32 Tahun 1996 mengatakan secara tegas dimana seorang pelayan kesehatan, seperti dokter, perawat, bidan serta tenaga medik lainnya ketika melayani seorang pasien diharuskan untuk:

1. Menghargai hak-hak pasiennya.

2. Tidak menyebarkan privasi seorang pasien seperti data pribadi dan identitas untuk merahasiakan privasi pasien

3. Memberi informasi yang dibutuhkan

4. Dalam melakukan tindakan meminta izin terlebih dahulu

5. Memperhatikan dan memberikan pemeliharaan terhadap rekam medis

Dalam menjalankan tugasnya seorang dokter menggunakan kode etik sebagai pedomannya. Etika dapat dikaitkan pada artian filsafat, dimana artian tersebut dibagi menjadi dua ( Esmi Warassih , 2005:192) dimana dua hal tersebut adalah :

1. Merupaka batasan tentang sesuatu hal yang mana dinilai hal yang benar. 2. Persyaratan yang mana digunakan dalam menentukan perbuatan yang baik

dan benar.

Dalam sebuah pekerjaan profesional, terdapat yang aturan yang disebut etika, etika ini merupakan sebuah consensus, dimana consensus sendiri berarti sebuah keputusan bersama dari para ahli untuk memutuskan sesuatu hal yang berkenaan pada suatu standar profesionalisme. Dalam hal ini, diharapkan para tenaga kesehatan untuk memahami dan memperhatikan nilai-nilai yang terkandung dalam kode etik kedokteran Indonesia atau disingkat KEKI dalam menjalankan pekerjaannya.

(10)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

10 Penanaman nilai-nilai KEKI yakni pendek atau panjangnya durasi waktu dalam upaya menanamkan itu dilaksanakan dan diharapkan membuahkan hasil. Oleh sebab itu, ketaatan pada KEKI hanya bisa dikendalikan oleh seorang tenaga kerja itu sendiri. Pekerjaan dokter dinilai mempunyai karakter dalam memberi layanan kepada pasiennya, dan memiliki 2 hal ( Esmi Warassih , 2005: 192) yakni :

1. Dalam menyelesaikan suatu masalah, dokter menggunakan ilmu pengetahuan yang mana ilmu pengetahuan tersebut tersusun secara sistematis.

2. Masalah-masalah yang ada memiliki suatu hubungan yang erat kaitannya dengan nilai pokok dalam suatu masyarakat.

Untuk memberi suatu perlindungan hukum kepada pasien dan menuntut tenaga kesehatan untuk bekerja secara profesional, maka hal tersebut diatur pada Pasal 53 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1992 jo. Pasal 24 ayat (1) PP No. 32 Tahun1996. Hukum yang melindungi seorang pasien diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1992, yaitu “ Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan”, sedangkan Pasal 24 ayat (1) PP No. 32 mengatur perihal perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan. Ketika tahun 1996, terdapat suatu kebijakan yang memberikan suatu perlindungan hukum kepada tenaga kesehatan berdasar standar keprofesiannya, sehingga ketika terjadi suatu hal yang mengakibatkan pasien tidak sembuh maka seorang tenanga kesehatan tidak bisa diguguat dan pasien pun tidak berhak untuk mendapatkan ganti rugi.

The right self of determination yang berarti hak dalam menentukan jalan hidupnya sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi suatu tumpuan dalam transaksi

(11)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

11 terapeutik antara dokter dengan pasien untuk mendapat informasi atau the right to information dimana hal tersebut berada dalam dokumen internasional. Di negara Indonesia ini, melalui Amandemen UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 berkenaan tentang Hak Asasi Manusia mengatur mengenai hak dalam mendapatkan sebuah informasi dan hak dalam menentukan jalan hidupnya sendiri, sedangkan Pasal 45 jo. Pasal 52 UU No. 29 Tahun 2004 mengenai Praktek Kedokteran merupakan peraturan khusus mengenai hak dalam usaha pelayanan kesehatan. Yang mana telah menetapkan beberaoa hal, yakni :

1. Pasal 45 ayat (1) “menentukan segala tindakan kedokteran atau kedokteran gigi

yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien terlebih dahulu harus memperoleh persetujuan”.

2. Ayat (2) “persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien memperoleh penjelasan secara lengkap”.

3. Ayat (3) “menerangkan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup: tata cara tindakan medis dan diagnosis., tujuan dari tindakan medis yang dilakukan., alternatif tindakan lain dan resikonya., resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi., prognosis terhadap tindakan yang dilakukan”.

4. Pada Pasal 52 yang mana menyebutkan bahwa “Pasien dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran mempunyai hak : memperoleh penjelasan secara lengkap perihal tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45

(12)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

12 ayat (3)., Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain., Memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis., Menolak tindakan medis., Memperoleh hasil isi rekam medis.

Dokter dan pasien merupakan subyek hukum akibat hubungan hukum yang terjadi. Subjek hukum merupakan suatu individu atau badan yang memiliki memiliki hak atau kewajiban menurut hukum terutama atas sesuatu yang tertentu pula. Sehingga dengan kata lain, pendukung hak dan kewajiban adalah subyek hukum. Pada dasarnya subjek hukum itu bisa dibedakan atas badan hukum dan orang. Pemerintah atau Perseroan Terbatas, atau Yayasan bisa mengelola rumah sakit yang merupakan lembaga pelayanan kesehatan, karena merupakan suatu badan hukum dan berkedudukan sebagai subjek hukum sama halnya dengan orang. Rumah sakitnya sendiri merupakan kegiatan yang dipimpin oleh seseorang sehingga memiliki statusnya bukan merupakan badan hukum. Badan hukumnya adalah pemilik rumah sakit tersebut. Rumah sakit merupakan suatu organisasi yang melakukan “duty of

care” sehingga apapun yang terjadi di rumah sakit adalah tanggung jawabnya.

Pemilik rumah sakit memberikan kewenangan kepada kepala rumah sakit dan menjadi tanggung jawab pemimpin rumah sakit untuk mengatur jalannya kegiatan tersebut.

7.2. Tanggung Jawab Dokter atas Kerugian akibat dari Transaksi Terapiutik.

Pasien merupakan konsumen yang memakai jasa pelayanan kesehatan, oleh sebab itu konsumen menyangkut segala individu,konsumen memiliki hak untuk

(13)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

13 mendapatkan perlindugan hukum yang dalam kehidupan sehari-hari hokum memiliki fungsi sebagai perlindungan bagi kepentingan individu atau manusia. Hukum harus dilaksanakan agar kepentingan manusia terlindungi. Meskipun pelaksanaan hukum bisa berjalan secara damai dan normal tapi pada kenyataannya juga terdapat pelanggaran hukum danhukum yang telah dilanggar tersebut harus ditegakkan. Hukum menjadi kenyataan melalui penegakan hukum. Radburch dalam Sudikno Mertodikusumo, (2003 ;160) berpendapat bahwa terdapat tiga unsur dalam penegakkan hokum,antara lain yaitu : 1). Kepastian hukum, 2). Kemanfaatan, 3). Keadilan.

Hukum harus ditegakkan dan dilaksanakan. Harapan setiap orang hukum bisa ditetapkan ketika terjadi suatu peristiwa yang konkret. Hal inilah yang kepastian hukum inginkan . Seseorang akan bisa mendapatkan sesuatu yang di inginkan dalam keadaan tertentu, hal ini berarti bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti. Dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib dalam menjalani kehidupan sehingga masyarakat mengharapkan adanya kepastian. Hukum memiliki tugas dalam menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat.

Hukum ada untuk manusia sehingga dengan adanya penegakan hukum atau pelaksanaan hukum harus bermanfaat bagi masyarakat. Masyarakat mengharapkan hukum dalam penegakan hokum atau pelaksanaan hukum harus memperhatikan keadilan. Hukum harus memiliki sifat adil, mengikat setiap orang, bersifat umum,

(14)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

14 dan bersifat menyamaratakan. Friedmann dalam Satcipto Raharjo (1996:20) membagi keadilan menjadi dua bagian, yaitu :

1. Keadilan Distributif, yaitu keadilan yang berkaitan dengan kehormatan dalam masing-masing orang sesuai dengan tempatnya dan pembagian barang-barang yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. orang-orang yang memiliki kedudukan yang sama maka memperoleh perlakuan yang sama pula di hadapan hukum.

2. Keadilan Korektif, yaitu keadilan yang memberikan ukuran terhadap orang yang menjalankan hokum dalam kehidupan sehari-hari.

Kita harus memiliki standar yang umum dalam menjalankan hukum sehari-hari guna memulihkan atau memperbaiki konsekuensi-konsekuensi akibat dari suatu perbuatan yang dilakukan orang dalam hubungannya pada orang lainnya. Pemulihan memperbaiki kesalahan dalam keperdataan, ganti rugi merupakan cara mengembalikan keuntungan yang didapat secara salah, Pidana memperbaiki yang telah diperbuat oleh kejahatan. Tanpa melihat kedudukan orang, standar tersebut harus dilaksanakan dan semuanya harus patuh pada standar yang objektif. Inti dan arti dari penegakan hokum secara konseptual terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah untuk menciptakan, mempertahankan, memelihara kedamaian dalam kehidupan. Berdasarkan uraian diatas maka bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi masalah pokok bagi penegakan hukum berada pada faktor yang memberikan pengaruh. Dimana faktor

(15)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

15 tersebut bersifat netral maka dapat berdampak positif maupun negatif. Factor-faktor tersebut antara lain (Soerjono Soekanto 2005:8 ) sebagaimana berikut :

1. Faktor yang terdapat pada hukum itu sendiri, yang mana hal tersebut hanya dibatasi oleh UU.

2. Faktor para pihak yang terkait dalam pembuatan dan penerapan hukum, atau penegak hukum.

3. Faktor mengenai sarana dan prasarana dalam upaya penegakkan hukum. 4. Faktor dalam masyarakat mengenai lingkunan dimana hukum tersebut

berlaku.

5. Faktor mengenai karya cipta manusia dalam melakukan sosialisasi atau disebut sebagai faktor budaya.

Mengenai hubungan antara seorang dokter dengan pasiennya yang menghasilkan suatu tindakan medik, terdapat suatu asas yang berlaku (Syahrul Mahmud, 2008:102) sebagaimana berikut :

1. Asas Legalitas.

Dimana dalam asas ini didasarkan pada Pasal 50 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 mengenai Kesehatan yang mana menegaskan bahwasanya “tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan/atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan”. Mengenai hal tersebut dapat diartikan bahwa dalam melakukan pelayanan kepada pasien, tenaga kesehatan wajib memiliki ke ahlian di bidangnya serta memiliki pendidikan yang mana telah ditentukan dalam UU yang telah berlaku. Di dalam

(16)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

16 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 mengenai Praktek Kedokteran, didasarkan atas asas legalitas, terutama pada Pasal 26 sampai 28 yang mana menjelaskan mengenai standar dalam pendidikan Profesi kedokteran serta kedokteran gigi.

2. Asas Keseimbangan.

Dalam hal ini diharuskan hukum bisa melindungi seorang individu dan memberikan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat. Dimana Asas tersebut juga berlaku untuk umum tidak hanya pada hubungan terapeutik saja. Dalam menyelengarakan layanan kesehatan harus dilakukan secara seimbang sebagaimana tujuan selaras dengan sarana, mental dengan fisik, antara suatu sarana dengan hasil, tentang manfaat dengan resiko yang mana muncul karena adanya usaha medik serta antara kepentingan individu dengan masyarakat.

3. Asas Tepat Waktu.

Dimana, dalam asas ini merpakan asas yang paling penting dan perlu diperhatikan oleh para tenaga kesehatan terutama oleh dokter. Jika dalam melakukan penanganan kepada pasien megalami sebuah keterlambatan, maka hal tersebut akan berakibat kefatalan untuk pasien seperti kematian pasien. Kelambatan dalam menangani pasien dan asal-asalan dalam melakukan penanganan merupakan tindakan yang tidak baik dan sangat berlawanan mengenai asas ini. Sedangkan jika dalam melakukan penanganan dilakukan dengan cepat maka kesempatan pasien untuk sembuh sangatlah besar.

(17)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

17 Dalam menjalankan tugasnya, diharapkan dokter berpedoman pada aasas itikad baik yang berarti harus berbuat baik kepada pasiennya. Dimana dokter harus bersifat profesional dalam bekerja serta menghargai hak seorang pasien. Kewajiban mengenai asas ini yang mana dilakukan oleh dokter tidak serta merta untuk merugikan diri sendiri.

5. Asas Kejujuran.

Dalam hubungan antara dokter dan seorang pasien, kejujuran adalah hal yang paling penting. Dokter harus jujur dalam memberikan informasi mengenai hasil pemeriksaannya kepada pasien beserta tentang cara penyembuhannya secara bijaksana. Demikian pula pasien, seorang pasien harus jujur dalam mengatakan segala hal tentang riwayat Penyakitnya.

Asas-asas hukum dalam transaksi terapeutik telah menjadi hukum positif serta menjadi bagian dari sistem hukum yang ada di Indonesia, terutama yang termaktub pada Undang-undang mengenai Praktek Kedokteran, yang mana harus dipatuhi oleh dokter. Adanya kasus dokter dengan pasien yang berakhir pada persidangan merupakan dampak tidak dipatuhinya asas-asas hukum. Mengenai hubungan antara dokter dan pasiennya, hal yang menjadi utama adalah “melakukan sesuatu perbuatan”, baik itu secara kuratif, preventive, promotif, ataupun secara rehabilitatif. Jika suatu aspek hukum didalam malpraktik tersebut di perincikan maka harus melihat hal dibawah ini. Wiradharma , 1996:40) antara lain :

(18)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

18 2. Kelalaian ataupun kesengajaan sebagai bentuk kesalahan yang dilakukan oleh

dokter

3. Efek yang diperoleh akibat dari tindakan medis yang menimbulkan kerugian baik materiil/non materiil, atau fisik (luka atau kematian)/mental.

“kelalaian akibat” merupakan kelalaian yang terjadi dalam melakukan pelayanan kesehatan dan dilakukan oleh dokter / tenaga pemberi layanan kesehatan. Oleh karena itu, yang bisa dipidana adalah pihak yang bersangkutan dimana yang melakukan kelalaian tersebut, misalnya, kecacatan dan kematian seoarang pada saat ditangani oleh seorang dokter, maka dokter tersebut lah yang dianggap sebagai pelaku dan dapat dipidanakan. Untuk memutuskan sesorang dokter melakukan tindak pidana, maka harus dibuat terang peristiwa pidana tersebut sesuai dengan aturan profesi bersinergi dengan aturan hukum sipil / hukum pidana. Semisal seorang dokter telah memberikan obat yang salah kepada pasien sehingga mengakibatkan pasien mengalami cacat atau bahkan meninggal dunia. Di sisi lain juga melihat apakah seorang dokter memberikan perawatan yang baik sesuai dengan apa yang dibutuhkan pasien atau tidak dan sadar tidaknya dokter memberikan perawatan kepada pasiennya.

Dalam perundangan-undangan kealpaan atau kelalaian dapat diartikan sebagai peristiwa pidana. Kelalaian atau kealpaan dapat disimpulkan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Bahder Johan Nasution (2005:56) yang mana terdapat tiga unsur didalamnya, yakni:

(19)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

19 1. Pelaku melakukan hal yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan berdasarkan hukum baik itu secara tertulis maupun tidak tertulis. Dimana sebenarnya pelaku telah melanggar hukum.

2. Pihak yang bersangkutan telah melakukan kelalaian, tidak berhati hati dalam melakukan tindakan, tidak berpikir panjang terlebih dahulu, serta ceroboh. 3. Perbuatan pelaku tidak bisa dicela, sehingga pelaku harus bertanggung jawab

atas akibat perbuatan yang dilakukannya itu. Dengan melihat dari unsur suatu kealpaan diatas, maka dapat dipahami bahwa dalam melakukan pelayanan kesehatan jika terdapat suatu kealpaan didalamnya, maka mudah untuk dilihat karena kealpaan tersebut bersifat normative, kealpaan tersebut diukur berdasarkan persyaratan yang mana telah dipenuhi oleh dokter. Dimana dalam ukuran normative tersebut berdasarkan tindakan yang diharapkan.

Sehingga dapat diketahuai bahwa apakah seoarang dokter tersebut telah menerapkan sikap kehati-hatian dalam melakukan tindakannya, memiliki ilmu sesuai dengan keahliannya ataupun belum, jika belum menerapkan hal tersebut maka seorang dokter telah dianggap melakukan kelalaian atau kealpaan dalam menjalankan tugasnya, sehingga seorang dokter tersebut dapat diminta pertanggungjawaban ketika terjadi seseuatu kerugian yang dialami pasien. Dimana kesalahan tersebut memiliki beberapa unsur menurut Danny Wiradharma (1996:94) dimana unsur-unsur tersebut adalah :

1. Dapat beranggungjawab mengenai perbuatan yang dilakukan seseorang tersebut.

(20)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

20 2. Berhubungan dengan suatu tindakan orang tersebut, baik itu kealpaan maupun

kesengajaan

Pada dasarnya, adanya suatu pelayanan kesehatan bertujuan untuk mampu memberikan kesehatan pada pasien, dimana seorang dokter diharapkan memiliki sikap profesional, memiliki etika dan moral, medikolegal serta mengutamakan keselamatan seorang pasien. Terdapatnya suatu kesalahan yang dilakukan oleh profesional dalam pekerjaannya atau pada umumnya lebih dikenal sebagai istilah malpraktek, yang mana dinilai oleh sebagian orang adalah suatu kesalahan dalam ranah kesehatan yang mana dilakukan oleh tenaga kesehatan kepada pasiennya, Malpraktek dalam dunia kesehatan disebut dengan istilah medical malpraktek atau malpraktik medik.

Malpraktek merupakan suatu kelalaian ataupun kesalahan dalam melakukan pekerjaannya, yang mana tidak sesuai dengan “standar profesi medis.”. Dimana jika seorang dokter dalam melakukan pekerjaannya tidak sesuai dengan standar keprofesiannya maka dokter tersebut dianggap sudah menyalahi aturan dan dinilai telah melakukan kesalahan dalam menjalankan profesinya, sehingga seorang pasien ataupun keluarga pasien jika mendapat kerugian berhak untuk menuntut dokter tersebut ke pengadilan, namun, jika seorang dokter tersebut dalam melakukan suatu tindakan medik telah sesuai dengan standar profesi nya, dokter tersebut tidak perlu khawatir jika diadukan ke pengadilan, karena dalam bertindak telah sesuai dengan standar profesi nya, sehingga hakim pasti memutuskan dokter tersebut tidak terbukti bersalah.

(21)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

21 Malpraktek bisa terjadi apabila ada unsur suatu kesengajaan maupun suatu yang tidak disengaja, Dimana perbedaanya ada pada motif atau latar belakang tindakan tersebut. Jika seorang dokter sadar akan tindakannya serta didasarkan pada tujuan mengenai akibat yang akan ditimbulkan dan mengetahui jika tindakan tersebut berakibat fatal dan melawan hukum, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan malpraktek. dimana, dalam arti sempit dikatakan sebagai malpraktek kriminal. Suatu perbuatan yang bisa disebut sebagai malpraktek kriminal adalah tindakan yang telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana berikut (http//mail.archive.com. Diakses pada tanggal 19 Juni 2014):

1. Dimana tindakan yang dilakukan merupakan sebuah tindakan yang tidak baik (actus reus),

2. Melakukan dengan sikap batin yang tidak benar (mens rea)

3. Dimana dalam melakukan tindakan tersebut ada unsur kesengajaan atau intensional, kecerobohan atau recklessness dan suatu kealpaan atau negligence.

Jika dalam melakukan perbuatan tidak didasarkan pada tujuan untuk mengakibatkan suatu hal yang buruk, maka hal tersebut dikatakan sebagai suatu kelailaian, dimana hal tersebut diluar keinginan yang bersangkutan. Menurut Anny Isfandyarie (2006:195) ada tiga hal umum yang harus menjadi pedoman bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan sebuah profesinya, yang mana ketiga hal tersebut adalah :

(22)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

22 Dimana maksud dari kewenangan ini adalah sebuah kewenangan hukum (rechtsbevoegheid ) yang dimiliki oleh tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya. Untuk memiliki kewenangan dalam melakukan profesinya, maka tenaga kesehatan tersebut harus mendapat kewenangannya melalui Departemen Kesehatan. Namun sejak adanya UU mengenai Praktek Kedokteran pada tanggal 6 Oktober 2005, Kewenangan yang awalnya didapatkan dari Departemen Kesehatan beralih pada Konsil Kedokteran Indonesia (Pasal 29 ayat (2) Undang-undang Praktik Kedokteran). Dengan adanya Surat Tanda Registrasi Dokter oleh Konsil Kedokteran Indonesia, sehingga seorang dokter yang memiliki Surat Tanda Registrasi atau disebut sebagai STR, mempunyai hak dalam menjalankan praktek kedokteranya, dimana telah memiliki syarat administrasi dalam menjalankan pekerjaannya.

2. Kemampuan Rata-rata.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan di dalam mengetahui kemampuan rata-rata seorang tenaga medik. Selain melihat dari pengalaman dan keahliannya, kondisi lingkungan dan juga fasilitas yang tersedia di tempat kerjanya dapat memberikan pengaruh kepada tenaga kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya. Sehingga untuk mengetahui kemampuan rata-rata seorang tenaga kesehatan tersebut sangat susah.

3. Ketelitian yang umum.

Dalam hal ini, yang dimaksudkan dengan sebuah ketelitian umum adalah ketelitian yang mana menjadi hal yang umum dilakukan oleh tenaga medik dalam menjalankan profesi nya, dimana dalam menentukan penilaian umum mengenai

(23)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

23 ketelitian tersebut diambil dari para anggota tenaga kesehatan yang melakukan ketelitian tersebut pada situati dan juga Kondisi yang sama, sehingga memperoleh sebuah ketelitian yang sama pula, namun, dalam menentukan standar profesi tenaga medik berdasarkan ketelitian itu pun juga tidak mudah, sehingga dalam melakukan penilaian terhadap ketelitian umum seorang profesional tersebut, hakim haruslah menilai secara obyektif. Sehingga untuk melakukan gugatan kepada seorang dokter, hanya bisa dilakukan jika telah terdapat kerugian yang dialami pasien. Dimana gugatan tersebut adalah sebagai berikut :

3.1. Tuntutan atau Gugatan Berdasarkan Wanprestasi.

Tuntutan ini didasarkan pada sebuah keingkaran janji atau tidak terpenuhinya suatu perjanjian. Dalam melakukan sebuah perjanjian terapeutik diantara seoranng dokter dan pasienya, maka sebuah prestasi yang harus dilakukan oleh dokter ialah melayani mitranya(pasiennya) sesuai dengan standar profesinya, yakni dengan kesungguhan, berhati hati dalam melakukan sebuah tindakan medik, serta bertindak sesuai dengan keahliannya berdasarkan dengan ilmu dan pengetahuannya. Dengan dipenuhinya prestasi tersebut sesuai dengan apa yang ada dalam standar profesinnya maka dokter tidak perlu khawatir mengenai tuntutan atau gugatan wanprestasi.

Mengenai perjanjian tersebut, dokter tidak bisa untuk memberikan jaminan kepada pasiennya untuk memberikan kesembuhan mengenai penyakit si pasien tersebut, mengingat bahwa antara pasien yang satu dengan pasien yang lainnya memiliki kondisi yang berbeda karena kondisi tubuh atau daya tahan tubuhnya berbeda, tentunya hal ini akan memberikan efek yang berbeda beda pula pada

(24)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

24 kesembuhan pasien, sebagaimana tentang keluhan mengenai sakit yang sama dan obat yang sama namun untuk hasilnya bisa tidak sama. Namun, dalam melakukan gugatan kepada dokter seorang pasien maupun keluarga pasien cukup sulit, karena dalam membuktikan tuduhan tersebut harus mengetahui apakah dokter tersebut benar benar tidak sesuai dengan standar profesinya atau belum. Dimana dalam hukum perdata yang ada di negara ini, diharuskan untuk membuktikan apa yang didalilkannya, dan yang tergugat dapat melakukan pembelaan dan bantahan mengenai apa yang didalilkan oleh penggugat.

Tetapi, pada kenyataanya yang ada di peradilan selama ini adalah, hakim menuntut untuk tenaga kesehatan (dokter) yang bersangkutan untuk membuktikan tindakannya tidak bersalah dengan kata lain pembuktian terbalik, Dimana hal ini berdasarkan pada keadilan (melihat dari kedudukan pasien maupun keluarga yang dinilai lemah) . Mengenai permasalahan yang bisa dilihat oleh mata maka tidak perlu sulit dalam melakukan pembuktian, misalnya, setelah melakukan operasi kepada pasienya dokter dan teamnya melakukan kelalaian atau keslahan dengan tertinggalnya alat-alat operasi seperti kasa atau gunting didalam tubuh pasien. Yang mana hal ini telah jelas merupakan kesalahan seorang tenaga kesehatan yang memberikan kerugian pada pasien.

Penggugat mengenai gugatan wanprestasi dapat meminta tuntutan (Syahrul Mahmud , 2008: 183) sebagaimana berikut: Terpenuhinya suatu Prestasi, ganti rugi sebagai pemenuhan prestasi, tidak jadinya suatu perjanjian (pembatalan), ganti rugi karena terjadinya pembatalan. Dalam hal ini, Pasien memiliki hak untuk menentukan

(25)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

25 dan memilih mengenai tuntutan apa yang telah ditetapkan. Pasien biasanya memilih untuk tidak lagi percaya kepada dokter apabila tidak terpenuhinya hal yang diharapkan oleh pasien tersebut. Oleh sebab itu, penentuan pada point a dan b tidak dapat dilaksanakan. Namun beda halnya dengan tuntutan pada point d dan e yang mana memiliki kemungkinan untuk terjadi jika belum adanya suatu tindakan medis, sehingga pada umumnya yang digugat oleh pasien mengenai malpraktek adalah point c yakni tuntutan untuk mengganti rugi.

Berapa besarnya ganti rugi ditentukan oleh besarnya kerugian yang dialami oleh pasien. Mengenai hal ini hakim lah yang akan memutuskannya terhadap besaran tersebut atas dasar keadilan. Ganti rugi secara tanggung renteng biasanya akan berlaku, tanggung renteng adalah ganti rugi bersama jika tuntutan tersebut juga ditujukan kepada team-team dokter.

3.2. Tuntutan atau Gugatan Sesuai dengan Tindakan yang Melanggar Hukum.

Bagi tindakan yang melanggar hukum dijelaskan pada Pasal 1365 KUH Perdata dimana secara tegas menerangkan “ Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Pasal 1365 KUH Perdata sering dikait kaitkan pada Pasal 1371 ayat (1) KUH Perdata, yaitu: “Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja atau kurang hati-hati, memberikan hak kepada si korban untuk, selain penggantian biaya pemulihan, menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut”. Yang

(26)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

26 dapat melakukan gugatan ganti rugi atau tuntutan hukum ketika pasien meninggal adalah suami istri maupun ahli waris, hak tersebut sesuai dengan Pasal 1370 KUH Perdata.

Beberapa hal yang bisa dikatakan sebagai tindakan melawan hukum adalah adanya sesuatu tindakan yang bertentangan atau melawan hukum, adanya suatu kerugian, terdapat jalinan kausalitas antara tindkaan yang melanggar hukum dengan kerugian, serta terdapat suatu kesalahan (Anny Isfandyarie, 2006:11). Dalam Pasal 1365 KUHPerdata dimana kontruksi hukumnya dikaitkan dengan hubungan antara dokter dengan pasien yang mana menetapkan kompenen-kompenen dari kegiatan yang melanggar hukum, yaitu :

3.2.1. a duty of due care yang artinya suatu pemberian dari dokter apa sudah memenuhi kelayakan. Dimana, menerangkan mengenai layanan yang diberikan dokter apakah sudah sesuai dengan standar keperawatan yang sesuai harapan.

3.2.2. the breach of the duty yang berarti apa ada suatu tindakan yang mana telah melanggar kewajiban. Untuk membuktikan suatu pelanggaran tersebut apakah benar atau tidak, maka dibutuhkan kesaksian dari dokter lain yang memiliki keahlian di bidangnya. Untuk memberikan bukti apakah ada suatu hal yang dilanggar dalam standar keperawatan yang diterima oleh pasien. Biasanya kesaksian ini tidak mudah untuk didapatkan karena adanya suatu kecenderungan bahwa dokter akan melindungi teman sejawatnya

(27)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

27 3.2.3. “causation” Apakah timbul suatu cidera yang benar-benar disebabkan oleh

suatu kelalaian.

3.2.4. “Damages.” Terdapat suatu kerugian bilamana terbukti bahwa kelalaian merupakan penyebab terjadinya cidera, tentunya pasien mempunyai hak untuk mendapaatkan ganti rugi.

Dengan kata lain perlu adanya pembuktian terlebih dahulu mengenai empat unsur malprakter, sebagaimana yang telah dilakukan seorang dokter ataupun seorang dokter gigi yang mana telah melakukan suatu kesalahan yang mengakibatkan seorang pasien memmperoleh suatu kerugian, yang mana kerugian tersebut ditimbulkan dari kekeliruan dokter itu sendiri. Melihat karakter dari perjanjian terapeutik yakni bekerja pada bidang pemberian jasa kesehatan, dimana hasil dari jasa tersebut tidak bisa untuk dipastikan, maka jika pihak penerima jasa atau pasien menganggap bahwa dirinya telah dirugikan atas kesalahan yang ditimbulkan dari pelayan jasa tersebut, Maka seorang pasien atau penerima jasa memiliki hak untuk menuntutnya.

Seperti yang telah ditegaskan pada Pasal 19 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen yang mana telah menerangkan bahwa “ Pelaku usaha bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugaian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Sesuai yang dijelaskan pada Pasal 19 ayat (1) tentang Undang-undang Perlindungan Konsumen “kerugian yang diderita pasien akibat tindakan medis yang dilakukan oleh dokter dapat dituntut berupa sejumlah ganti rugi”. Dimana, pasien dapat meminta Ganti rugi, berdasarkan pada Pasal 19 ayat (2)

(28)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

28 mengenai UU Perlindungan terhadap Konsumen bisa berupa dengan mengembalikan uang, menganti dengan suatu barang yang sama dengan uangnya, serta pemberian perawatan, dan lain sebagainya. (Hendrojono Soewono, 2006:102).

Mengenai jangka waktu dalam memberikan ganti rugi, telah diterangkan secara jelas melalui Pasal 19 ayat (3) tentang UU perlindungan terhadap konsumen yang mana menjelaskan bahwa dalam pelaksanaanya dilakukan pada jangka waktu 7 hari, seusai tanggal dimana telah melakukan transaksi. Jika telah melebihi jangka waktu yang telah ditentukan yakni 7 hari, maka seorang pasien sudah tidak dapat melakukan suatu penuntutan atau gugatan kepada pihak pelayan kesehatan jika terdapat suatu kesalahan didalamnya. Sehingga hal tersebut akan memberikan kerugian kepada pihak konsumen(pasien), jika tindakan medik baru memiliki dampak negatif setelah 7 hari, otomatis pasien sudah tidak memiliki hak untuk menuntutnya (

Safitri Hariyani, 2005:51)

Dalam memberikan ganti rugi atas suatu kelalaian yang ditimbulkan oleh pemberi layanan kesehatan, secara jelas telah diterangkan sebagaimana pada Pasal 19 ayat (4) tentang UU perlindungan terhadap konsumen, yang mana menjelaskan mengenai status seorang dokter walaupun telah memberikan ganti rugi kepada pasien tetapi tidak serta merta menghilangkan tuntutan pidananya, sehingga dokter tersebut tetap dapat dipidanakan meskipun sudah memberikan ganti rugi. Lebih jelasnya terdapat pada Pasal 19 ayat (4) mengenai UU perlindungan konsumen dimana menjelaskan bahwasanya dalam memberikan sebuah ganti rugi berdasarkan apa yang dimaksudkan pada ayat (1) dan (2) dimana, tidak menghilangkan kemungkinan

(29)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

29 bahwa gugatan pidana tetap dapat dilaksanakan, karena adanya bukti tentang faktor kelailaian atau kesalahan.

Namun, jika seorang dokter tersebut telah dapat membuktikan bahwa kerugian yang terjadi bukan karena kesalahannya, tetapi dari kesalahan pasien itu sendiri, maka dokter tersebut tidak dapat dituntut untuk memberikan sebuah ganti rugi. Dimana, hal tersebut telah dijelaskan pada Pasal 19 ayat (1) dan (2) yang mengatakan bahwa, tidak berlakunya sebuah tuntutan apabila seorang pemberi jasa atau layanan mampu membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan, namun kerugian tersebut timbuk karena adanya kesalahan yang dilakukan oleh penerima jasa itu sendiri ( Safitri Hariyani, 2005:51) :

8. Kesimpulan

1. The right self of determination atau hak untuk dapat menjalankan takdir atau

jalan hidupnya sendiri dan the right to information atau memiliki hak atas sebuah informasi. Yang mana telah termaktub pada dokumen internasional, dimana hal tersebut dijadikan sebagai acuan dalam hubungan terapeutik antara seorang dokter dengan pasiennya. Di Indonesia sendiri, mengenai hak untuk memutuskan nasib sendiri atau menentukan jalan hidup sendiri dan hak atas sebuah informasi, telah ditetapkan di dalam amandemen Undang-Undang 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 mengenai HAM dan untuk bidang bantuan kesehatan terutama dalam tenaga layanan medik atau doktor hak tersebut sudah terjamin pada pasal 45 jo Pasal 52 UU No. 29 Tahun 2004 mengenai Praktek Kedokteran. Diantaranya adalah :

(30)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

30 a. Pasal 45 ayat (1) “setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan”.

b. Ayat (2) “persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap”.

c. Ayat (3) “penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup: diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan resikonya, resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi serta prognosis terhadap tindakan yang dilakukan”.

d. Pasal 52 menyatakan secara tegas mengenai hak seorang pasien dalam mendapatkan layanan dari praktek kedokteran, yang mana hak-hak tersebut adalah

2. Pasien memiliki hak untuk memperoleh kejelasan dari sebuah tindakan medis, seperti yang ada pada pasal 45 ayat (3).

3. Memiliki hak untuk mengajukan permintaan pendapat kepada dokter mapun dokter gigi lainnya.

4. Memiliki hak untuk mendapat pelayanan,sebagaimana apa yang dubutuhkan medis.

5. Memiliki hak untuk melakukan penolakan terhadap tindakan medis. 6. Memiliki hak untuk memperoleh isi dari rekam medis.

(31)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

31 Seorang pasien dapat mengajukan tuntutannya kepada dokter apabila telah menimbulkan suatu kerugian pada dirinya, dimana tuntutan tersebut adalah :

1. Tuntutan atau gugatan yang berdasarkan atas suatu prestasi yang tidak dipenuhi atau gugatan wanprestasi

2. Gugatan atau tuntutan karena adanya suatu tindakan yang melawan hukum. (Pasal 1365 KUH Perdata).

9. Saran

1. Apabila dirasakan dalam transaksi terapeutik terdapat pelanggaran oleh dokter/pemberi jasa layanan kesehatan, disarankan agar pasien bertanya, bersikap kritis dan berani dalam menggunakan haknya sebagai pasien.

2. Kepada dokter dan juga pemberi layanan kesehatan lainnya disarankan bahwa dalam melayani dan memperlakukan pasien yang mana merupakan mitra dalam transaksi terapeutik, hendaknya bersikap profesional sebagaimana standar profesinya serta selalu berpedoman pada standart operasional prosedur yang baku yang diakui oleh organisasi profesinya sehingga apabila terjadi hal-hal yang diluar kuasa dari pemberi layanan kesehatan, pihak dokter atau pemberi layanan kesehatan lainnya memiliki legal standing yang kuat dan dapat menunjukkan serta membuktikan bahwa tindakan yang dilakukan terhadap pasien tersebut telah sesuai dengan standar keilmuan dan juga kesepakatan tindakan organisasi profesi pemberi layanan kesehatan.

3. Disarankan kepada pemerintah untuk aktif menjembatani serta mengawasi dan mengikuti semua perkembangan hukum terutama dalam bidang hukum

(32)

Jurnal Transparansi Hukum

P-ISSN 2613-9200 E-ISSN 2613-9197

32 kesehatan, hukum obat dan makanan, hukum tansaksi medis dan lain sebagainya.

9. Daftar Pustaka

Anny Isfandyarie. 2006.Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter. Prestasi Pustaka Jakarta. Bahder Johan Nasution, 2005. Hukum Kesehatan

Pertanggung jawaban Dokter. PT. Rineka Cipta. Danny Wiradharma.1996. Hukum Kedokteran. Binarupa Aksara. Jakarta.

Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT Suryandaru Utama Semarang.

Friedmann dalam Satcipto Raharjo. 1996. Ilmu Hukum, 1996. PT.Citra Aditya Bakti, Bandung

Hendrojono Soewono. 2006. Perlindungan Hak-hak Pasien dalam Transaksi

Terapeutik. Srikandi Surabaya.

Radburch dalam Sudikno Mertodikusumo. 2003. Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta.

Safitri Hariyani. 2005. Sengketa Medik Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara

Dokter Dengan Pasien. Diadit Media, Jakarta

Soerjono Soekanto, 2005. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.Raja Grafindo Persada Jakarta

Syahrul Mahmud, 2008. Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter

yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek .CV.Mandar Maju Bandung

Muliadi Nur. Hukum dan Etika Profesi. http//hukumonline.com.Diakses pada tanggal 10 Juni pkl.11.30 M.Jusuf Hanafiah dan Amri Amir. 1999. Etika

Referensi

Dokumen terkait

41 Kotler dan Amsrong, Prinsip-prinsip Pemasaran, hal. 42 Tjiptono, Manajemen Pemasaran , hal.. dapat diartikan sebagai suatu keadaan terbaik dalam batas-batas kondisi tertentu

Dalam menentukan rating pengaman keluaran genset menurut PUIL 2000 pasal 5.6.1.2.3 yang berisi “generator yang bekerja pada 65 V atau kurang dan dijalankan oleh motor

Dalam tahun 2017 ini tidak terdapat program/kegiatan yang diusulkan para pemangku kepentingan, baik dari kelompok masyarakat terkait langsung dengan pelayanan provinsi,

Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan bahwa ekspansi pemukiman Israel di wilayah Palestina yang terjajah tidak mempengaruhi proses perdamaian di daerah tersebut..

Tenaga kerja yang tidak memerlukan keahlian khusus sedapat mungkin diambil dari tenaga kerja lokal yang tersedia disekitar  lokasi ren$ana pembangunan* sedangkan untuk

Pendekatan konseptual digunakan peneliti untuk dapat menemukan serta memberi jawaban atas permasalahan- permasalahan hukum, terutama yang terkait dengan akibat hukum

Strategi kepala sekolah merupakan faktor yang paling menentukan dalam keberhasilan peningkatan mutu lembaga pendidikan, apabila kepala sekolah sebagai pemimpin telah

Berdasarkan perumusan strategi yang telah dilakukan menggunakan tiga alat bantu (matriks SWOT, matriks IE, matriks grand strategy ), maka alternatif strategi yang