3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. SAGU
Sagu (Metroxylon sp.) diduga berasal dari Maluku dan Papua. Hingga saat ini belum ada data yang mengungkapkan sejak kapan awal mula sagu ini dikenal. Di wilayah Indonesia bagian Timur, sagu sejak lama dipergunakan sebagai makanan pokok oleh sebagian penduduknya terutama di Maluku dan Papua. Jumlah curah hujan yang optimal bagi pertumbuhan sagu antara 2.000 – 4.000 mm/tahun, yang tersebar merata sepanjang tahun. Sagu dapat tumbuh sampai pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut (dpl), namun produksi sagu terbaik ditemukan sampai ketinggian 400 m dpl. Suhu optimal untuk pertumbuhan sagu berkisar antara 24,50 – 29oC dan suhu minimal 15oC, dengan kelembaban nisbi 90% (Haryanto dan Pangloli, 1992). Sagu dapat tumbuh baik di daerah 100 LS - 150 LU dan 90 – 180 darajat BT, yang menerima energi cahaya matahari sepanjang tahun. Sagu dapat ditanam di daerah dengan kelembaban nisbi udara 40%. Kelembaban yang optimal untuk pertumbuhannya adalah 60% (Sangihe, 2010).
Batang sagu merupakan komponen hasil utama pada tanaman sagu. Tepung sagu diperoleh dari empulur sehingga pengolahan hasilnya cukup berat dan memerlukan alat yang khusus pula. Sagu mempunyai banyak kegunaan dimana hampir semua bagian tanaman mempunyai manfaat tersendiri. Batangnya dapat dimanfaatkan sebagai tiang atau balok jembatan, daunnya sebagai atap rumah, pelepahnya untuk dinding rumah, dan acinya sebagai sumber karbohidrat (bahan pangan) dan untuk industri (Haryanto dan Pangloli, 1992).
B. AREN
Pohon Aren atau enau (Arenga pinnata) merupakan pohon yang menghasilkan bahan-bahan industri. Hampir semua dari bagian fisik pohon ini dapat dimanfaatkan, misalnya: akar (untuk obat tradisional dan peralatan), batang (untuk berbagai macam peralatan dan bangunan), daun muda atau janur (untuk pembungkus atau pengganti kertas rokok yang disebut dengan kawung) (Iswanto, 2009). Aren (Arenga pinnata) termasuk suku Arecaceae (pinang-pinangan), merupakan tumbuhan berbiji tertutup (Angiospermae) yaitu biji buahnya terbungkus daging buah. Batang aren tidak berduri, tidak bercabang, tinggi mencapai 25 m, diameter 65 cm (mirip pohon kelapa). Pohon ini dalam pertumbuhannya berguna sebagai perlindungan erosi terutama tebing-tebing sungai dari bahaya tanah longsor maupun unsur pereduksi (Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan, 1998).
Di Indonesia tanaman aren dapat tumbuh baik dan mampu berproduksi pada daerah-daerah yang tanahnya subur pada ketinggian 500-800 m diatas permukaan laut. Tanaman aren banyak terdapat mulai dari pantai timur India sampai ke Asia Tenggara. Di Indonesia tanaman ini banyak hampir terdapat hampir di seluruh wilayah Nusantara (Iswanto, 2009).
Pemanfaatan tanaman aren diantaranya sebagai penghasil nira. Nira aren dihasilkan dari penyadapan tongkol (tandan) bunga, baik bunga jantan maupun bunga betina. Akan tetapi biasanya, tandan bunga jantan yang dapat menghasilkan nira dengan kualitas baik dan jumlah yang banyak. Hasil dari air aren dapat diolah menjadi gula aren, tuak, cuka. minuman segar dan bietanol. Selain itu tanaman aren juga dapat menghasilkan tepung aren yang dapat diperoleh dari batang pohon aren. Batang aren yang tidak ekonomis untuk diambil niranya inilah yang biasanya ditebang oleh petani untuk diambil patinya. Kolang-kaling juga salah satu hasil dari pemanfaatan pohon aren. Kolang kaling dapat diperoleh dari inti biji buah aren yang setengah masak. Tiap buah
4 aren mengandung tiga biji buah. Buah aren yang setengah masak, kulit biji buahnya tipis, lembek dan berwarna kuning inti biji (endosperm) berwarna putih agak bening dan lembek, endosperm inilah yang diolah menjadi kolang-kaling.
C. PATI SAGU DAN PATI AREN
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa memiliki struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno, 2008). Pati salah satunya berasal dari tumbuhan palm. Pati ini diperoleh dari bagian empulur. Adapun contoh tumbuhan palm yang merupakan sumber pati adalah sagu (Metroxylon sp) dan aren (Arenga pinnata).
Pati sagu merupakan hasil ekstraksi empulur pohon sagu (Metroxylon sp) yang sudah tua (berumur 8-16) tahun. Komponen terbesar yang terkandung dalam sagu adalah pati. Pati sagu tersusun atas dua fraksi penting yaitu amilosa yang merupakan fraksi linier dan amilopektin yang merupakan fraksi cabang (Ahmad and Williams, 1999). Menurut Flach (1983) seperti yang dikutip oleh Saripudin (2006), empulur batang sagu mengandung 20.2-29 persen pati, 50-66 persen air, dan 13.8-21.3 persen bahan lain atau ampas. Dihitung dari berat kering, empulur batang sagu mengandung 54-60 persen pati dan 40-46 persen ampas. Sedangkan Adawiyah (2012) melaporkan bahwa jumlah pati yang terkandung dalam sagu sebanyak 93.76% (berat kering).
Pati sagu biasa digunakan untuk memproduksi kerupuk, tepung hunk kwee, bubuk puding, pembuatan dextrin, biskuit, dan makanan tradisional lain di Asia Tenggara (Flach, 1983). Sebagaimana pati yang lain, pati sagu dapat dikatakan tasteless. Adapun data proksimat pati sagu menurut Ahmad et al. (1999) diantaranya kadar air 10.6-20.0%, kadar abu 0.06-0.43%, kadar amilosa 24-31%, kadar lemak (kasar) 0.10-0.13%, kadar protein (kasar) 0.13-0.25%, dan kadar serat 0.26-0.32%. Syarat mutu pati sagu berdasarkan SNI 3729-2008 disajikan dalam Lampiran 1. Flach (1983) mengemukakan bahwa pati sagu mengandung amilosa 27% dan amilopektin 73%. Sedangkan menurut Adawiyah (2012) pati sagu memiliki kadar amilosa sebesar 36.55%. Perbandingan amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket, dan cenderung sedikit menyerap air. Sedangkan semakin besar kandungan amilosa maka pati akan bersifat lebih kering, kurang lekat, dan cenderung menyerap air lebih banyak. Adapun karakteristik gelatinisasi pati sagu hasil pengukuran dengan menggunakan DSC menurut Adawiyah (2012) disajikan dalam Tabel 1 dan pasting properties hasil pengukuran dengan menggunakan RVA disajikan dalam Tabel 2. Tabel 1 memperlihatkan suhu onset (To), suhu puncak (Tp), suhu conclusion (Tc), range (Tc-To) yang menunjukkan kestabilan kristalin, dan entalpi transisi (∆H) yang merupakan parameter mengenai jumlah rantai glukan dengan DP tinggi (DP>12).
5 Tabel 1. Karakteristik gelatinisasi pati sagu dan pati aren
Parameter gelatinisasi Rata-rata ± sd
Pati Sagu Pati Aren
To (oC) 58.10 ± 0.28 62.99 ± 0.12
Tp (oC) 67.33 ± 0.21 67.69 ± 0.07
Tc (oC) 79.36 ± 0.88 74.60 ± 0.42
Range (Tc-To) (oC) 21.26 ± 0.79 11.61 ± 0.49
∆H (J/g) 16.35 ± 0.24 15.40 ± 0.25
Rata-rata dan standard deviasi dari lima replikasi Sumber: Adawiyah (2012)
Tabel 2. Profil Gelatinisasi pati sagu dan pati aren Parameter pasting property Rata-rata
Pati Sagu Pati aren Suhu gelatinisasi (oC) 67.30 67.70 Viskositas puncak (Pa.s) 2.225 2.469 Suhu viskositas puncak (oC) 75.45 74.75 Viskositas minimum (Pa.s) 1.077 0.996
Viskositas akhir (Pa.s) 3.272 3.370
Range gelatinisasi (oC) 8.150 7.050
Breakdown (Pa.s) 1.148 1.472
Setback total (Pa.s) 2.195 2.374 Nilai rata-rata dari dua replikasi
Sumber: Adawiyah (2012)
Sumber pati dari tumbuhan palm lainnya adalah aren (Arenga pinnata). Menurut Kementerian Negara Riset dan Teknologi Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, pati aren dapat diperoleh dengan melakukan ekstraksi pada batang aren. Produk ini digunakan untuk pengolahan makanan, pakan, kosmetika, bahan baku industri kimia dan pengolahan kayu. Pendayagunaan pati aren untuk pangan manusia merupakan usaha diversifikasi pangan. Kelebihan pati aren adalah ketersediannya kontinyu dan mudah diperoleh dengan harga yang relatif murah.
Secara keseluruhan batang tanaman aren mengandung pati 2,83-11,51 g pati kering/100 g empulur (Nur Alam dan Saleh, 2006). Adawiyah (2012) menyebutkan bahwa kandungan pati dalam aren sebesar 92.67%. Untuk memperoleh pati pada batang aren, maka dilakukan penebangan terhadap tanaman aren itu sendiri. Penebangan bisa jadi dilakukan terhadap pohon aren dengan beragam umur (fase pertumbuhan). Pati dari batang aren dengan umur yang berbeda akan memiliki sifat-sifat yang berbeda, sehingga berbeda pula kecocokannya untuk membuat mi pati (starch noodle). Perbedaan tersebut terletak pada kandungan amilosanya (Alam dan Saleh, 2009). Kandungan amilosa pati aren sebesar 37.01% (Adawiyah, 2012). Kandungan amilosa dan amilopektin berpengaruh terhadap sifat gel yang dihasilkan. Sifat ini akan berpengaruh terhadap tekstur produk yang menggunakan pati tersebut (Sukatiningsih, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Adawiyah (2012) menunjukkan bahwa pati aren memiliki karakteristik gelatinisasi yang berbeda dibandingkan pati sagu walaupun suhu puncak gelatinisasinya tidak jauh berbeda (67,33oC untuk pati sagu dan 67,69oC untuk pati aren) seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1. Sedangkan profil gelatinisasi pati aren dapat dilihat pada Tabel 2. Pada tabel tersebut terlihat
6 bahwa suhu gelatinisasi pati aren dan pati sagu tidak jauh berbeda (67,30oC untuk pati sagu dan 67,70oC untuk pati aren) akan tetapi nilai breakdown dan setback antara pati aren dan pati sagu memiliki nilai yang berbeda, dalam hal ini pati aren memiliki nilai breakdown dan setback lebih tinggi dibandingkan pati sagu.
D. GELATINISASI PATI
Pati dalam jaringan tanaman memiliki bentuk granula yang berbeda-beda. Dengan mikroskop, jenis pati dapat dibedakan karena mempunyai bentuk, ukuran, letak helium yang unik, dan juga dengan sifat birefrigent yaitu sifat granula pati yang dapat merefleksikan cahaya yang terpolarisasi (Winarno, 2008). Pati mentah yang dilarutkan dalam air dingin tidak mampu menyerap air secara maksimal. Pati dapat menyerap air secara maksimal jika suspensi air dipanaskan pada suhu antara 55oC-65oC. Proses gelatinisasi pati adalah proses mengembangnya pati karena penyerapan pelarut secara maksimal sehingga pati tidak mampu kembali pada kondisi semula (Winarno, 2008).
Penyerapan air akan bertambah besar jika granula pati disuspensikan dalam air berlebih dan dipanaskan. Air akan masuk ke dalam daerah amorphous dalam granula pati dan menyebabkan terjadinya pembengkakan granula. Pembengkakan ini menimbulkan tekanan pada daerah kristalin yang terdiri dari molekul amilopektin dan merusak susunan double helix yang ada. Kerusakan double helix amilopektin dapat mengganggu susunan kristalin bahkan dapat menghilangkan kristalinitasnya. Selama pemanasan granula pati akan terus menyerap air sampai granula pecah dan molekul amilosa akan keluar sehingga mengakibatkan ketidakteraturan struktur granula, peningkatan viskositas suspensi pati, dan hilangnya sifat birefringent pati. Perubahan ini dikenal dengan sebutan gelatinisasi pati dan sifatnya tidak dapat balik (Roder et
al., 2005).
Menurut Fennema (1996), suhu gelatinisasi pati adalah titik suhu saat sifat
birefringent pati mulai menghilang dan menurut Roder et al. (2005), suhu gelatinisasi pati adalah
suhu saat mulai terjadi perubahan tidak dapat balik. Suhu gelatinisasi tidak selalu tepat pada satu titik tetapi berupa kisaran suhu karena populasi granula pati memiliki ukuran yang bervariasi. Gelatinisasi pati terjadi pada kisaran suhu pemanasan tertentu yang sesuai dengan karakteristik masing-masing pati.
Harper (1981) menjelaskan mekanisme gelatinisasi sebagaimana digambarkan dalam Gambar 1.
7 Gambar 1. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981)
E. RETROGRADASI PATI
Retrogradasi adalah suatu proses penggabungan kembali komponen pati membentuk suatu kristal atau biasa dikenal dengan proses rekristalisasi. Beberapa perubahan sifat reologi yang terjadi karena proses retrogradasi antara lain adalah meningkatnya kekerasan atau kerapuhan. Selama penyimpanan, retrogradasi dapat terlihat dari hilangnya sifat pengikatan air dan terbentuk kembali fraksi kristalin. Ada dua proses yang terjadi, pertama adalah rigidity dan
crystallinity gel yang berkembang secara cepat untuk membentuk kristal kembali, hal ini terjadi
pada amilosa. Kedua, gel yang berkembang secara perlahan terjadi pada amilopektin (Billiaderis, 1990). Tingkat gelatinisasi pati dan laju retrogradasi secara signifikan berpengaruh pada tekstur dan umur simpan tepung (Feam dan Russel, 1982). Retrogradasi pati secara alami terbentuk tergantung asal pati, jumlah amilosa, suhu penyimpanan dan bahan additif (Chang dan Liu, 1991; Ward et al., 1994).
Adapun beberapa fenomena yang terjadi akibat retrogradasi menurut Swinkle (1995) antara lain: meningkatnya viskositas, terbentuknya lapisan tak larut pada pasta panas, terbentuknya endapan partikel pati yang tidak larut, terbentuknya gel, dan keluarnya air dari pasta (sineresis). Lebih lanjut Swinkle (1995) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi peristiwa retrogradasi adalah tipe pati, konsentrasi pati, prosedur pemasakan, suhu, waktu penyimpanan, pH, prosedur pendinginan, dan keberadaan komponen lain. Peristiwa retrogradasi lebih mudah terjadi pada suhu rendah dengan konsentrasi pati tinggi. Kecepatan retrogradasi optimum pada pH 5-7 dan menurun pada pH dibawah atau diatas rentang pH tersebut. Retrogradasi tidak terjadi pada pH diatas 10 dan saling lambat pada pH dibawah 2.
Granula pati tersusun dari amilosa (berpilin) dan amilopektin (bercabang)
Masuknya air merusak kristalinitas amilosa dan merusak helix. Granula membengkak/mengembang.
Adanya panas dan air menyebabkan pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi keluar dari granula
Granula hanya mengandung amilopektin, rusak dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel
8 Fraksi pati yang berperan pada peristiwa retrogradasi adalah fraksi amilosa. Fraksi amilosa yang terlarut dapat berikatan satu sama lain membentuk agregat yang tidak larut air. Dalam larutan (konsentrasi pati rendah), agregat amilosa akan membentuk endapan. Tetapi pada dispersi yang lebih terkonsentrasi (konsentrasi pati lebih tinggi), agregat amilosa akan memerangkap air dan membentuk gel. Jenis pati juga berpengaruh terhadap laju retrogradasi. Pati serealia lebih cepat mengalami retrogradasi dibandingkan pati kentang atau tapioka. Swinkle (1995) menjelaskan bahwa hal ini desebabkan tingginya kadar amilosa pati serealia, ukuran molekul amilosa kecil (DP 200-1200), dan tingginya kandungan lemak. Tingginya kandungan lemak dapat mendorong terjadinya retrogradasi.
F. MODIFIKASI
PATI
DENGAN
TEKNIK
HEAT
MOISTURE
TREATMENT
Menurut Collado dan Corke (1999) dan Collado et al. (2001) Heat Moisture Treatment (HMT) didefinisikan sebagai modifikasi fisik yang melibatkan perlakuan pemanasan pati pada kadar air terbatas (< 35% b/b) pada suhu 80-120°C, selama beberapa waktu yang berkisar antara 15 menit sampai 16 jam. Modifikasi HMT dapat mengubah karakteristik pati karena selama proses modifikasi terbentuk kristal baru atau proses rekristalisasi dan penyempurnaan struktur kristalin pada granula pati (Kulp dan Lorenz 1981). Perlakuan ini menyebabkan perubahan fisik, berupa perubahan profil gelatinisasi (Collado dan Corke 1999; Collado et al. 2001; Adebowale 2005; Purwani et al. 2006), perubahan karakteristik termal melalui pengujuan dengan DSC (Differential Scanning Calorymetry) (Collado dan Corke 1999), perubahan swelling power (Collado dan Corke 1999; Collado et al. 2001), dan perubahan kelarutan (Collado dan Corke 1999).
Energi yang diterima oleh pati selama pemanasan berlangsung kemungkinan dapat melemahkan ikatan hidrogen inter dan intra molekul amilosa dan amilopektin di dalam granula pati. Kondisi ini memberikan peluang kepada air untuk mengimbibisi granula pati. Jumlah air yang terbatas menyebabkan pergerakan maupun pembentukan interaksi antara air dan molekul amilosa atau amilopektin juga terbatas sehingga tidak menyebabkan adanya peningkatan kelarutan pati di dalam air selama pemanasan berlangsung. Dengan kata lain, keberadaan air yang terbatas selama pemanasan yang dilakukan pada modifikasi HMT belum mampu membuat pati mengalami gelatinisasi yang ditunjukkan dengan masih terjaganya integritas granula pati termodifikasi HMT yang dilihat melalui studi difraksi sinar X (Lawal dan Adebowale 2005; Vermeylen et al. 2006).
Studi yang dilakukan oleh Adebowale et al. (2005) menunjukkan bahwa modifikasi dengan teknik heat moisture treatment (HMT) dapat mengubah profil gelatinisasi pati sorgum merah, yaitu dapat meningkatkan suhu gelatinisasi, meningkatkan viskositas pasta pati, menurunkan viskositas panas pasta, meningkatkan breakdown, meningkatkan viskositas akhir, dan meningkatkan kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi (meningkatkan setback). Selain itu berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Adawiyah (2012), modifikasi dengan teknik heat moisture treatment (HMT) dapat menggeser puncak gelatinisasi ke suhu yang lebih tinggi dan mengurangi enthalpy gelatinisasi dari pati sagu dan pati aren.
Modifikasi HMT dapat dilakukan dengan metode oven ataupun metode autoclaving. Perbedaan dari kedua metode ini adalah terletak pada pemberian tekanan dan tingginya suhu pemanasan. Pada metode oven pemanasan dapat dilakukan hingga suhu 100oC sedangkan pada metode autoclaving pemanasan dapat dilakukan hingga mencapai 120oC karena dipengaruhi oleh pemberian tekanan tinggi dimana tekanan berbanding lurus dengan suhu.