• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA SISTEM KEMITRAAN USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA SISTEM KEMITRAAN USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA SISTEM KEMITRAAN USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

(Kasus Pola Kemitraan di PT. Perkebunan Nusantara VI dan PT. Bakrie Pasaman

Plantation, Kabupaten Pasaman Barat Provinsi Sumatera Barat)

Oleh ASRI YARSI

A14302021

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

(2)

RINGKASAN

ASRI YARSI. Analisis Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja pada Sistem Kemitraan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit (Kasus Pola Kemitraan di PT. Perkebunan Nusantara VI dan PT. Bakrie Pasaman Plantation, Kabupaten Pasaman Barat Provinsi Sumatera Barat). Di bawah bimbingan TANTI NOVIANTI.

Pembangunan sektor pertanian pada dasarnya merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional secara keseluruhan. Sektor pertanian secara potensial mampu memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian Indonesia. Sampai tahun 2004, sektor pertanian menyumbang 15,39 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku dan menyerap 40 persen tenaga kerja dari 100 juta angkatan kerja nasional.

Sub sektor perkebunan memegang peranan yang penting dalam pembangunan pertanian terutama dalam penghasil devisa, penyerapan tanaga kerja dan kontribusi terhadap produk domestik bruto. Kelapa sawit sebagai salah satu komoditi andalan perkebunan Indonesia memiliki peluang besar untuk dikembangkan sebagai penghasil devisa. Jumlah nilai ekspor minyak sawit Indonesia pada tahun 2004 terhadap nilai ekspor non migas mencapai 8 persen atau sebesar 54 milyar dolar Amerika.

Tujuan penelitian ini adalah untuk : (1) Mengkaji mekanisme pola

kemitraan perkebunan yang diterapkan oleh PTPN VI dan PT BPP, (2) Menganalisis pendapatan usaha perkebunan yang diterima oleh petani plasma

dan perusahaan inti (kebun inti dan pabrik kelapa sawit) PTPN VI dan PT BPP, (3) Menganalisis penyerapan tenaga kerja pada sistem kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit ini, dan (4) Mengidentifikasi peran tenaga kerja kebun plasma dalam meningkatkan produksi kebun plasma.

Sistem kemitraan perkebunan adalah kerja sama yang strategis antara perkebunan rakyat dan perkebunan besar dengan memperhatikan prinsip saling membutuhkan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Pola kemitraan yang diterapkan oleh PTPN VI adalah pola PIR-Bun yang dikenal dengan proyek NESP Ophir sedangkan pola kemitraan PT BPP adalah pola Bapak Angkat Anak Angkat yang dikenal dengan Plasma KKPA project.

Pendapatan pada sistem kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit berbeda-beda tergantung dari penerimaan yang diperoleh dan jumlah biaya yang dikeluarkan. Pendapatan kebun plasma dan kebun inti PTPN VI lebih tinggi dari PT BPP. Untuk pendapatan pabrik kelapa sawit, Pabrik kelapa sawit PT BPP memperoleh pendapatan yang lebih besar dari PTPN VI. Pendapatan pada kebun plasma PT BPP tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga petani peserta. Dari keseluruhan perhitungan rasio penerimaan terhadap biaya, diperoleh nilai R/C lebih besar dari satu yang berarti pelaksanaan usaha perkebunan kelapa sawit sudah efisien atas biaya yang dikeluarkan. Perhitungan R/C untuk PKS, PKS PT BPP lebih efisien dan lebih menguntungkan dari PKS PTPN VI.

(3)

Tenaga kerja yang terserap pada perusahaan PTPN VI adalah sebanyak 772 karyawan dan satu hektar kebun kelapa sawit PTPN VI pada periode tahun 2005 membutuhkan satu tenaga kerja. Tenaga kerja yang terserap pada PT BPP adalah sebanyak 1621 orang dan satu hektar kebun kelapa sawit PT BPP pada periode tahun 2005 membutuhkan 1,08 tenaga kerja. PT BPP lebih banyak menyerap tenaga kerja dalam masyarakat untuk usaha perkebunan yang dilakukan dari pada PTPN VI.

Tenaga kerja kebun plasma sangat berperan dalam meningkatkan produksi kebun plasma. Hasil estimasi untuk regresi produksi perkebunan kelapa sawit kebun plasma diperoleh bahwa tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi kelapa sawit. Untuk setiap peningkatan penggunaan faktor produksi tenaga kerja satu HOK maka akan menyebabkan peningkatan produksi sebesar 0,788 ton. Dapat disimpulkan bahwa semakin banyak usaha perkebunan kelapa sawit maka akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja.

Pola kemitraan yang dikembangkan harus ditujukan untuk menciptakan kemandirian petani plasma seperti yang dilakukan pada proyek NESP Ophir. Pembentukan dan pengelolan organisasi petani plasma/KPS/KUD harus atas partisipasi dari anggota yang pembinaannya dilakukan oleh perusahaan inti dan pemerintah. Kedua sistem kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit baik proyek NESP maupun plasma KKPA project telah membuka kesempatan kerja yang cukup besar dalam masyarakat. Pola kemitraan dapat lebih banyak dikembangkan di daerah tetapi pelaksanaannya perlu dipantau oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Perusahaan inti tidak boleh hanya memperkaya diri sendiri dan menggunakan kebun plasma sebagai jaminan bahan baku pabrik kelapa sawit. Harus diciptakan hubungan yang saling menguntungkan antara petani plasma dan perusahaan inti.

(4)

ANALISIS PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA SISTEM KEMITRAAN USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

(Kasus Pola Kemitraan di PT. Perkebunan Nusantara VI dan PT. Bakrie Pasaman

Plantation, Kabupaten Pasaman Barat Provinsi Sumatera Barat )

Oleh ASRI YARSI

A14302021

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

(5)

Judul : Analisis Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja pada Sistem Kemitraan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit (Kasus Pola Kemitraan di PT. Perkebunan Nusantara VI dan PT. Bakrie Pasaman Plantation, Kabupaten Pasaman Barat Provinsi Sumatera barat)

Nama : ASRI YARSI NRP : A14302021

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Tanti Novianti, SP. MSi NIP. 132 206 249

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130 422 698

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA SISTEM KEMITRAAN USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (Kasus Pola Kemitraan di PT. Perkebunan Nusantara VI dan PT. Bakrie Pasaman Plantation, Kabupaten Pasaman Barat Propinsi Sumatera Barat)” ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. SKRIPSI INI BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Agustus 2006

ASRI YARSI A14302021

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kapar pada tanggal 7 Agustus tahun 1984. Penulis adalah anak kedelapan dari delapan bersaudara pasangan Bahtiar dan Sariaman. Penulis mengawali pendidikan formal di SD Negeri 81 Sarik pada tahun 1990. Tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 2 Pasaman. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Pasaman dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 2002.

Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor tahun 2002 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada Fakultas Pertanian, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya.

Bogor, Agustus 2006

Penulis

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat ALLAH SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”ANALISIS PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA SISTEM KEMITRAAN USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (Kasus Pola Kemitraan di PT. Perkebunan Nusantara VI dan PT. Bakrie Pasaman Plantation, Kabupaten Pasaman Barat Propinsi Sumatera Barat)”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan skripsi ini menjadi lebih baik.

Bogor, Agustus 2006

Penulis

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur kepada ALLAH SWT atas rahmat, berkah, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu selama masa perkuliahan dan juga dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu :

1. Keluarga besar tercinta, Ayahanda Bahtiar dan Ibunda Sariaman, Yarnalis, Yardinis, Yarnimas, Ali Uzmel, Arnita, Nurpima beserta keluarga dan kakakku tersayang Nursiwis atas semua do’a, kerja keras, kesabaran, dorongan, perhatian dan bantuan dalam meraih cita-cita penulis.

2. Tanti Novianti, SP. Msi sebagai dosen pembimbing skripsi yang dengan kesabarannya telah membimbing, mengarahkan, memberikan masukan, saran dan kritikan dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Ir. Nindyantoro, MSP dan A. Faroby Falatehan. SP, ME atas kesediannya menjadi dosen penguji utama dan dosen penguji wakil departemen.

4. Joni Fitrah atas segala bantuan dan dorongan kepada penulis, teman-teman EPS’39 dan all EPS’ers, teman di Pondok Surya dan Astri 378, teman-teman IMHP, anggota KKP Desa Ciparay Jampang Kulon, Rini dan Rinel serta teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas segala bantuan dan kebersamaannya selama ini.

5. Bapak Sar yang mau menjadi bapak angkat dan selalu membantu, keluarga besar PTPN VI dan PT BPP serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

(10)

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ... i DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi BAB I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 9

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Perkebunan ... 10

2.2. Sistem Kemitraan Usaha Perkebunan ... 12

2.3. Tenaga Kerja ... 17

2.3.1. Penawaran dan Permintaan Tenaga Kerja ... 18

2.3.2. Potret Tenaga kerja di Sektor Pertanian ... 19

2.4. Pendapatan Usaha ... 21

2.5. Penelitian Empiris Terdahulu ... 23

BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 25

3.1. Pembangunan Perkebunan Rakyat dengan Kemitraan Usaha ... 25

3.2. Dampak Penerapan Pola Kemitraan terhadap Pendapatan ... 26

3.3. Dampak Penerapan Pola Kemitraan terhadap Kesempatan Kerja ... 27

(11)

BAB IV. METODE PENELITIAN ... 30

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 30

4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 31

4.3.1. Pendapatan Usaha Perkebunan ... 31

4.3.2. Rasio Penerimaan dan Biaya ... 33

4.3.3. Penyerapan Tenaga Kerja ... 35

4.3.4. Peran Tenaga Kerja Kebun Plasma terhadap Produksi Kebun Plasma ... 36

BAB V. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN ... 40

5.1. PT Perkebunan Nusantara VI Persero (PTPN VI) Kebun Ophir ... 40

5.1.1. Sejarah Ringkas ... 40

5.1.2. Pola PIR-Bun/NESP Ophir ... 42

5.2. PT. Bakrie Pasaman Plantations (PT BPP) ... 47

5.2.1. Sejarah Ringkas ... 47

5.2.2. Pola Bapak Angkat Anak Angkat / Plasma KKPA Project ... 49

BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 55

6.1. Pendapatan Usaha Perkebunan PTPN VI dan PT BPP ... 55

6.1.1. Pendapatan Kebun Plasma ... 55

6.1.2. Pendapatan Kebun Inti ... 62

6.1.3. Pendapatan Kebun Plasma dan Kebun Inti ... 66

6.1.4. Pendapatan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) ... 67

6.2. Analisis Imbangan Penerimaan terhadap Biaya (R/C) ... 69

6.3. Penyerapan Tenaga Kerja ... 71

6.3.1. PTPN VI ... 71

6.3.2. PT BPP ... 73

6.4. Peran Tenaga Kerja Kebun Plasma terhadap Produksi Kebun Plasma. ... 74

(12)

BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

7.1. Kesimpulan ... 77

7.2. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 80

(13)

DAFTAR TABEL

No Halaman 1. Kontribusi Sub Sektor Pertanian terhadap Produk Domestik

Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001-2004 ... 2

2. Kontribusi Sub Sektor Tanaman Perkebunan terhadap Sektor Pertanian . dan PDB Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001-2004 ... 3

3. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia Tahun 1998-2003 ... 4

4. Potret Tenaga Kerja di Sektor Pertanian Tahun 2002-2009 ... 20

5. Perhitungan Pendapatan Usaha ... 34

6. Luas Lahan dan Tahun Tanam Kebun Inti dan Kebun Plasma PTPN VI ... 42

7. Total Biaya Tunai Kebun Plasma per 2 Ha Tahun 2005 ... 56

8. Total Biaya Tidak Tunai Kebun Plasma per 2 Ha Tahun 2005 ... 58

9. Total Biaya Kebun Plasma per 2 Ha Tahun 2005 ... 59

10. Analisis Pendapatan Perkebunan Kelapa Sawit Kebun Plasma Per 2 Ha Tahun 2005 ... 61

11. Total Biaya Tunai Kebun Inti 2 Ha Tahun 2005 ... 63

12. Total Biaya Tidak Tunai Kebun Inti per 2 Ha Tahun 2005 ... 64

13. Total Biaya Kebun Inti per 2 Ha Tahun 2005 ... 64

14. Analisis Pendapatan Perkebunan Kelapa Sawit Kebun Inti Per 2 Ha Tahun 2005 ... 66

15. Analisis Pendapatan Pabrik Kelapa Sawit Tahun 2005 ... 69

16. Nilai R/C Kebun Plasma, Kebun Inti dan Pendapatan Pabrik Kelapa Sawit PTPN VI dan PT BPP ... 70

17. Tenaga Kerja PTPN VI Periode Desember 2005 ... 72

(14)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman 1. Bagan Kerangka Pemikiran Konseptual ... 29

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman 1. Pendapatan Rata-rata Petani Plasma Kelapa Sawit PTPN VI Tahun 2005

per 2 Hektar ... 82 2. Pendapatan Rata-rata Kebun Inti Perkebunan Kelapa Sawit PTPN VI

Tahun 2005 per 2 Hektar ... 83 3. Pendapatan Pabrik Kelapa Sawit PTPN VI Tahun 2005 ... 84 4. Pendapatan Rata-rata Petani Plasma Perkebunan Kelapa Sawit PT BPP

Tahun 2005 per 2 Hektar ... 85 5. Pendapatan Rata-rata Kebun Inti Perkebunan Kelapa Sawit PT BPP

Tahun 2005 per 2 Hektar ... 86 6. Pendapatan Pabrik Kelapa Sawit PT BPP Tahun 2005 ... 87 7. Data Produksi, Tenaga Kerja dan Modal Pada Kebun Plasma PTPN VI Bulan Desember 2005 ... 88 8. Hasil Regresi Sederhana Faktor Produksi Perkebunan Kelapa Sawit

Kebun Plasma ... 89 9. Standar Tandan Buah Segar (TBS) Menurut Umur dan Kelas Lahan

(16)

1.1. Latar Belakang

Pembangunan sektor pertanian pada dasarnya merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional secara keseluruhan. Sektor pertanian secara potensial mampu memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian Indonesia. Sampai tahun 2004, sektor pertanian menyumbang 15,39 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku dan menyerap 40 persen tenaga kerja dari 100 juta angkatan kerja nasional (BPS, 2005).

Sektor pertanian menjadi harapan dalam mengurangi jumlah pengangguran. Meskipun laju penciptaan kerja di sektor pertanian tidak setinggi sektor industri, tetapi fakta memperlihatkan bahwa sektor pertanian pada tahun 2002 mampu menciptakan kesempatan kerja bagi 40,63 juta orang. Sektor pertanian diharapkan dapat menyerap tambahan tenaga kerja sebanyak 1,4 juta selama periode 2005 – 2009, sehingga jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor ini 42,4 juta pada tahun 2009 (Rencana Tenaga Kerja Nasional, 2004 – 2009).

Sektor pertanian mencakup sub sektor tanaman pangan, tanaman perkebunan, peternakan, kehutanan, perikanan dan hasil-hasilnya. Walaupun kontribusi sektor pertanian terhadap PDB sudah mulai menurun, namun sektor ini tetap menjadi tumpuan dan harapan dalam penyerapan tenaga kerja. Dilihat dari Tabel 1, pada tahun 2003 sektor pertanian memberikan kontribusi terhadap PDB atas harga berlaku sebesar 15,93 persen dan pada tahun 2004 menurun menjadi 15,39 persen.

(17)

Tabel 1. Kontribusi Sektor Pertanian Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001-2004

Tahun Pertanian (Milyar Rp) PDB (Milyar Rp) Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB (%)

2001 263.327,9 1.684.280,5 15,63

2002 298.876,8 1.863.274,7 16,04

2003 325.653,7 2.045.853,5 15,93

2004 354.453,3 2.303.031,5 15,39

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2005

Sub sektor perkebunan memegang peranan yang penting dalam pembangunan pertanian terutama dalam penghasil devisa, penyerapan tanaga kerja dan kontribusi terhadap produk domestik bruto. Devisa yang dihasilkan dari sektor pertanian tahun 2004 sebesar 4.859 juta dolar Amerika, dan kontribusi dari sub sektor perkebunan sebesar 7.784 juta dolar Amerika (160,20 %). Pada tahun 2004, sub sektor perkebunan mampu menyerap tenaga kerja sebesar 18,6 juta pekerja (45 %) dari 41,3 juta angkatan kerja di sektor pertanian (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2005).

Kontribusi sub sektor tanaman perkebunan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada Tabel 2, tahun 2004 pendapatan nasional dari sub sektor perkebunan atas dasar harga berlaku sebesar 57.418,9 milyar rupiah yaitu menyumbang sebesar 2,49 persen terhadap PDB atau sebesar 16,20 persen terhadap sektor pertanian. Kontribusi ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2001 yang memberikan kontribusi sebesar 2,18 persen terhadap PDB dan 13,96 persen terhadap sektor pertanian. Peningkatan penerimaan dari sub sektor perkebunan ini disebabkan meningkatnya luas areal tanam dan peningkatan produktivitas perkebunan.

(18)

Tabel 2. Kontribusi Sub Sektor Tanaman Perkebunan Indonesia terhadap Sektor Pertanian dan PDB Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001-2004

Tahun Perkebunan Tanaman (Milyar Rp) Pertanian (Milyar Rp) (Milyar Rp) PDB Kontribusi tanaman perkebunan terhadap sektor pertanian (%) Kontribusi tanaman perkebunan terhadap PDB (%) 2001 36.758,6 263.327,9 1.648.280,5 13,96 2,18 2002 43.956,4 298.876,8 1.863.274,7 14,71 2,36 2003 48.829,8 325.653,7 2.045.853,5 14,99 2,39 2004 57.418,9 354.453,3 2.303.031,5 16,20 2,49

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2005

Kelapa sawit sebagai salah satu komoditi andalan perkebunan Indonesia memiliki peluang besar untuk dikembangkan sebagai penghasil devisa. Hasil olahan dari kelapa sawit yang diekspor adalah minyak sawit kasar (Crude Palm Oil/ CPO), minyak inti sawit (Palm Kernel Oil/PKO), inti sawit (Palm Kernel/PK). Jumlah nilai ekspor minyak sawit Indonesia pada tahun 2004 terhadap nilai ekspor non migas mencapai 8 persen atau sebesar 54 milyar dolar Amerika (Suharto, 2006).

Perkebunan kelapa sawit merupakan perkebunan yang cukup potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena, Pertama, kelapa sawit merupakan bahan baku dalam proses produksi minyak goreng sehingga dengan suplai yang berkesinambungan akan menghasilkan harga yang relatif stabil. Kedua, dalam proses pengolahan kelapa sawit dari hulu ke hilir membuka kesempatan kerja yang cukup besar. Ketiga, adanya potensi peningkatan konsumsi minyak dan lemak perkapita. Selama tahun 2005, minyak sawit telah menjadi minyak makan yang terbesar di dunia. Konsumsi minyak sawit dunia mencapai 26 persen dari total konsumsi minyak makan dunia (Suharto, 2006).

(19)

Komoditi kelapa sawit diusahakan oleh perusahaan dan perkebunan rakyat, namun lebih dari 60 persen produksi kelapa sawit berasal dari perusahaan perkebunan. Berdasarkan data BPS sampai tahun 2004, perkebunan kelapa sawit telah diusahakan oleh 889 perusahaan perkebunan. Pada tahun 2003, luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai 5.239.171 hektar, 1.827.844 hektar merupakan perkebunan rakyat, 645.823 hektar merupakan perkebunan negara dan 2.765.504 hektar adalah perkebunan milik swasta. Luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami pertumbuhan yang signifikan. Perkembangan luas lahan dan volume produksi kelapa sawit disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia Tahun 1998-2003

Tahun Perkebunan Rakyat

Perkebunan Besar

Negara Perkebunan Besar Swasta Total luas areal (Ha) Luas

areal (Ha) Produksi (ton) areal (Ha) Luas Produksi (ton) areal (Ha) Luas Produksi (ton)

1998 890.506 1.344.569 556.640 1.501.747 2.113.050 3.084.099 3.560.196 1999 1.041.046 1.547.811 576.999 1.468.949 2.283.757 3.438 830 3.901.802 2000 1.166.758 1.905.653 588.125 1.460.945 2.403.194 3.633.901 4.158.077 2001 1.561.031 2.798.032 609.947 1.519.289 2.542.457 4.079.151 4.713.453 2002 1.808.424 3.426.740 631.566 1.607.734 2.627.068 4.587.871 5.067.058 2003 1.827.844 3.645.942 645.823 1.543.528 2.765.504 4.627.744 5.239.171 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2005

Kebijakan pengembangan kelapa sawit perlu diarahkan pada pengembangan usaha kelapa sawit rakyat, agar terjadi keseimbangan arus modal yang selama ini banyak dikuasai oleh pihak swasta dan pemerintah. Sebelum tahun 1979, hanya pemerintah dan perusahaan besar swasta yang memiliki perkebunan kelapa sawit. Sejak saat itu kebijakan pemerintah menfokuskan pada pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat melalui kemitraan dengan

(20)

perkebunan besar. Pola pengembangan perkebunan rakyat khususnya kelapa sawit dilakukan dengan berbagai metode antara lain dengan : (1) Program Inti Plasma yang dikenal dengan Perkebunan Inti Rakyat/PIR, (2) Program Rehabilitasi Tanaman Ekspor/PRPTE, (3) Unit Pelayanan dan Pengembangan (UPP) Berbantuan, Swadaya Berbantuan dan dengan Swadaya Murni, dan (4) Program Anak Bapak Angkat. Pola inti plasma memiliki berbagai tipe antara lain PIR-Bun dan PIR Trans (Direktorat Jenderal Perkebunan, 1999).

Berdasarkan kondisi tahun 2000, setiap hektar perkebunan kelapa sawit rata-rata menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 0,67 tenaga kerja dan setiap 6000 hektar kebun kelapa sawit membutuhkan pabrik kelapa sawit/PKS dengan kapasitas 30 ton TBS/jam yang menampung tenaga kerja sekitar 150 orang (Direktorat Jendral Perkebunan, 2000). Dari data tersebut berarti setiap hektar kebun kelapa sawit menampung tenaga kerja langsung sebanyak 0,695 orang (termasuk tenaga kerja pabrik). Luas areal kebun kelapa sawit di Indonesia sampai tahun 2003 mencapai 5.239.171 hektar yang berarti dapat menampung tenaga kerja sejumlah 3.641.224 orang.

1.2. Perumusan Masalah

Pemerintah sudah sejak lama melakukan berbagai upaya dalam mengembangkan perkebunan kelapa sawit karena dengan pembangunan perkebunan akan mendorong pertumbuhan wilayah. Salah satu usaha penelitian perencanaan pengembangan wilayah yang dilakukan adalah pada tahun 1970 oleh agricultural development project dengan dukungan biaya dari pemerintah Jerman Barat. Hasil penelitiannya menentukan wilayah Pasaman Barat menjadi salah satu

(21)

wilayah harapan di masa datang dan potensial untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit (Muchtar, 1987).

Perkebunan rakyat berkembang dalam kondisi dengan berbagai kelemahan namun mempunyai peranan yang strategis sebagai sumber pendapatan petani dan penghasilan devisa. Perkebunan rakyat mengalami keadaan yang sudah merupakan lingkaran setan yaitu antara harga yang rendah, rendahnya mutu, rendahnya produksi, menurunnya pendapatan, dan seterusnya. Untuk itu, kebijaksanaan pemerintah dalam pembangunan perkebunan menempatkan perkebunan rakyat sebagai sasaran utama dan perkebunan besar sebagai pendukung yang dikenal dengan sistem kemitraan usaha. Upaya pengembangan perkebunan kelapa sawit melalui pola kemitraan seperti : (1) Perkebunan Inti Rakyat, (2) Bangun Operasi Transfer, (3) Kerja Sama Operasional, (4) contrack Farming, dan (5) Dagang umum.

Pola kemitraan di bidang pekebunan telah dilakukan sebelum memasuki PJP I. Pola kemitraan yang ada saat ini merupakan kelanjutan, peningkatan, perluasan, penataan, dan pemantapan dari kerjasama kemitraan sebelumnya. Sistem kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit diarahkan untuk dapat mengembangkan perkebunan kelapa sawit berorientasi pasar, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani, serta mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan kerja.

Pola kemitraan perkebunan kelapa sawit yang dicetuskan oleh pemerintah tidak selamanya memberikan keuntungan. Berdasarkan penelitian WALHI tahun 2005, pola kemitraan tidak selamanya menguntungkan petani dan masyarakat

(22)

sekitar. Penelitian di Ngabang, Pontianak oleh Daliman (WALHI)1 menyimpulkan bahwa penghasilan petani plasma tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum seorang pekerja (tidak termasuk keluarganya), yakni rata-rata perbulan hanya Rp 148.500,00 perkapling. Selain itu, petani plasma diberbagai tempat di Indonesia memiliki produktivitas kebun yang rendah karena perkebunan kelapa sawit menggunakan input teknologi yang tidak dikuasai petani dan kurangnya pembinaan dari pemerintah dan perusahaan inti. Pemasaran TBS petani plasma yang hanya kepada perusahaan inti menyebabkan posisi tawar petani rendah.

PT Perkebunan Nusantara VI (PTPN VI) adalah perusahaan besar negara pertama dan satu-satunya di Kabupaten Pasaman Barat. PTPN VI kebun Ophir merupakan proyek pengembangan Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR Bun) yang dilaksanakan pada tahun 1981. Proyek PIR ini ternyata membuahkan hasil yang luar biasa karena dapat meningkatkan pendapatan petani dan menciptakan sentra-sentra pembangunan sosial ekonomi baru dalam pengembangan wilayah. Keberhasilan PTPN VI dalam usaha perkebunan kelapa sawit diikuti dengan berdirinya perusahaan-perusahaan perkebunan swasta di Kabupaten Pasaman Barat. PT Bakrie Pasaman Plantation (PT BPP) merupakan salah satu perkebunan besar swasta di Kabupaten Pasaman Barat yang memiliki areal perkebunan kelapa sawit terluas. PT BPP melaksanakan pola kemitraan dengan masyarakat sekitar dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit yang dilakukannya.

Sistem kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Pasaman Barat dilakukan oleh dua perusahaan inti yaitu perusahaan besar negara dan perusahaan besar swasta. Adanya dua perusahaan inti yang melakukan pola

(23)

kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit maka dapat dibandingkan pola kemitraan antara kedua perusahaan inti yang dapat dilihat dari mekanisme penerapan pola kemitraan, pendapatan dan penyerapan tenaga kerja yang terjadi dalam pola kemitraan.

Dari kondisi di atas maka masalah yang ingin dikaji dalam rangka mengembangkan usaha perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Pasaman Barat adalah :

1. Bagaimana mekanisme pola kemitraan perkebunan yang diterapkan oleh PTPN VI dan PT BPP ?

2. Bagaimana pendapatan yang diterima oleh petani plasma dan perusahaan inti (kebun inti dan pabrik kelapa sawit) PTPN VI dan PT BPP ?

3. Seberapa besar penyerapan tenaga kerja pada sistem kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit ini ?

4. Sejauh mana peran tenaga kerja kebun plasma dalam meningkatkan produksi kebun plasma ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mengkaji mekanisme pola kemitraan perkebunan yang diterapkan oleh PT Perkebunan Nusantara VI dan PT Bakrie Pasaman Plantation.

2. Menganalisis pendapatan usaha perkebunan yang diterima oleh petani plasma dan perusahaan inti (kebun inti dan pabrik kelapa sawit) PTPN VI dan PT BPP.

(24)

3. Menganalisis penyerapan tenaga kerja pada sistem kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit ini.

4. Mengidentifikasi pengaruh tenaga kerja kebun plasma dalam meningkatkan produksi kebun plasma.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dalam bidang studinya. 2. Memberikan informasi kepada perusahaan maupun pemerintah dalam

membuat kebijakan dan pengembangan pola kemitraan dimasa yang akan datang.

3. Sebagai informasi bagi petani untuk memutuskan keikutsertaan dalam pola kemitraan yang dilaksanakan.

4. Memberikan informasi kepada masyarakat pada umumnya dan pihak- pihak lain yang membutuhkan.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Fokus dari penelitian adalah pendapatan dan penyerapan tenaga keja kebun plasma, kebun inti, dan pabrik kelapa sawit PTPN VI dan PT BPP. Pendapatan kebun inti dan kebun plasma dihitung per kapling (luas lahan 2 hektar) sedangkan pendapatan pabrik kelapa sawit dihitung secara keseluruhan.

Data yang digunakan adalah data pada tahun 2005. Kedua perusahaan ini memiliki perbedaan waktu, PTPN VI dibangun tahun 1980 sedangkan PT BPP pada tahun 1989. Penelitian ini hanya menganalisis pendapatan dan penyerapan tenaga kerja pada tahun 2005 tanpa melihat perbedaan waktu berdirinya perusahaaan dan waktu pelaksanaan proyek kemitraan.

(25)

2.1. Perkebunan

Usaha perkebunan terdiri dari usaha budidaya perkebunan dan usaha industri perkebunan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 107 Kpts II Tahun 1999, Usaha budidaya perkebunan adalah serangkaian kegiatan pengusahaan tanaman perkebunan yang meliputi kegiatan pra tanam, penanaman, pemeliharaan tanaman dan pemanenan termasuk perubahan jenis tanaman. Usaha industri perkebunan merupakan serangkaian kegiatan pengolahan produksi tanaman perkebunan yang bertujuan untuk memperpanjang daya simpan atau meningkatkan nilai tambah, sebagai contoh dari usaha lndustri perkebunan adalah ekstraksi kelapa sawit, industri gula pasir dari tebu, teh hitam dan teh hijau, lateks dan lain sebagainya.

Pengusahaan tanaman perkebunan di Indonesia dilakukan oleh perkebunan rakyat dan perkebunan besar yang terdiri dari perkebunan besar swasta dan perkebunan besar negara (PNP/PTP/BUMN). Menurut BPS (2005) perkebunan besar adalah usaha perkebunan yang dilakukan oleh badan usaha dan badan hukum diatas tanah negara yang mendapat izin dari instansi yang berwenang, diluar batasan tersebut merupakan perkebunan rakyat. Perkebunan besar memiliki ciri-ciri usaha antara lain : (1) Merupakan bentuk usaha pertanian berskala luas dan kompleks, (2) Menggunakan areal pertanahan yang luas, (3) Bersifat padat modal, (4) Menggunakan tenaga karja yang cukup besar, dengan pembagian kerja yang dirinci dan struktur hubungan kerja yang rapi, (5) Menggunakan teknologi

(26)

modern, dan (6) Berorientasi pada pasar. Hal ini berbeda sekali dengan perkebunan rakyat dengan ciri-ciri usaha sebagai berikut : (1) Bentuk usahanya kecil, (2) Penggunaan lahan terbatas, (3) Tidak padat Modal, (4) Sumber tenaga kerja terpusat pada anggota keluarga, dan (5) Lebih berorientasi pada kebutuhan subsisten (Mubyarto, 1992).

Pembangunan perkebunan merupakan salah satu alternatif aktivitas dalam pemberdayaan masyarakat. Peranan pembangunan perkebunan di negara Indonesia menurut Siahaan (1995) adalah :

1. Menaikkan penerimaan devisa dan pendapatan negara.

2. Penyediaan lapangan pekerjaan/sumber mata pencaharian dan lapangan usaha.

3. Turut membantu dan melaksanakan kelestarian alam yang lebih terjamin. 4. Membantu usaha pemerintah dalam bidang kegiatan lainnya seperti

tranmigrasi, pengaturan pemilikan tanah, penggalakan koperasi, penataaan desa dan sebagainya

5. Menciptakan iklim yang baik bagi pertumbuhan Indonesia.

6. Turut menciptakan pembangunan/pertumbuhan ekonomi ”growth centre” baru.

Kebijakan pembangunan perkebunan oleh pemerintah difokuskan untuk mengembangkan perkebunan rakyat yaitu dengan pola kemitraan dengan perkebunan besar. Dalam pelaksanaan pola kemitraan ini, petani tergabung dalam suatu kelembagaan petani misalnya koperasi yang akan memperjuangkan hak-hak mereka. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 107 Kpts II Tahun 1999 ketentuan mengenai pola usaha perkebunan adalah :

(27)

a. Pola koperasi usaha perkebunan yaitu pola pengembangan yang sahamnya 100 persen dimiliki oleh koperasi usaha perkebunan.

b. Pola patungan koperasi dan investor yaitu pola pengembangan yang sahamnya 65 persen dimiliki koperasi dan 35 persen dimiliki investor/perusahaan.

c. Pola patungan investor dan koperasi yaitu pola pengembangan yang sahamnya 80 persen dimiliki investor/perusahaan dan minimal 20 persen dimiliki koperasi yang ditingkatkan secara bertahap.

d. Pola BOT (Build, Operate and Transfer) yaitu pola pengembangan dimana pembangunan dan pengoperasian dilakukan oleh investor/perusahaan yang kemudian pada waktu tertentu seluruhnya dialihkan kepada koperasi.

e. Pola BTN yaitu pola pengembangan dimana investor/perusahaan membangun kebun dan atau pabrik yang kemudian akan dialihkan kepada peminat/pemilik yang tergabung dalam koperasi.

2.2. Sistem Kemitraan Usaha Perkebunan

Landasan pengembangan kemitraan di bidang pertanian dalam Undang-undang No. 12 Tahun 1992 telah menetapkan :

1. Pasal 47 ayat 3 ”Badan usaha diarahkan untuk kerjasama secara terpadu dengan masyarakat petani dalam melakukan usaha budidaya tanaman”. 2. Pasal 47 ayat 4 ” Pemerintah dapat menugaskan badan usaha untuk

pengembangkan kerjasama dengan petani”.

3. Pasal 49 ” Pemerintah membina usaha lemah serta mendorong dan membina terciptanya kerjasama yang serasi dan saling menguntungkan antara pengusaha lemah”.

(28)

Istilah kemitraan berdasarkan Undang-undang No. 9 Tahun 1995 yaitu kerja sama antara usaha kecil dan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Pola kemitraan antara pengusaha besar dan pengusaha kecil atau koperasi dapat dilakukan melalui berbagai bentuk. Berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1995, kemitraan dilaksanakan dengan pola :

1. Inti-Plasma

Hubungan kemitraan yang didalamnya usaha menengah atau usaha besar bertindak sebagai inti dan usaha kecil selaku plasma. Perusahaan inti melaksanakan pembinaan mulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis, sampai dengan pemasaran hasil produksi.

2. Subkontrak

Hubungan kemitraan yang didalamnya usaha kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar sebagai bagian dari produksinya.

3. Dagang Umum

Hubungan kemitraan yang didalamnya usaha menengah atau besar memasarkan hasil produksi usaha kecil atau usaha kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar mitranya.

4. Waralaba

Hubungan kemitraan yang didalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaannya disertai bantuan bimbingan manajemen.

(29)

5. Keagenan

Hubungan kemitraan yang didalamnya usaha kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa mitranya.

6. Bentuk-bentuk lain atau pola kemitraan yang belum di bakukan.

Sistem kemitraan perkebunan adalah kerja sama yang strategis antara perkebunan rakyat dan perkebunan besar dengan memperhatikan prinsip saling membutuhkan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Kemitraan usaha perkebunan mengacu pada terciptanya keseimbangan, keselarasan, keterampilan, dan interpendesi yang dilandasi saling percaya dengan keterbukaan (Daim, 2003). Menurut Undang-undang No. 9 Tahun 1995 selama kerja sama ini berlangsung maka seharusnya yang terjadi dalam suatu pola kemitraan usaha adalah :

a. Proses transfer teknologi. b. Proses transfer manajemen.

c. Adanya jaminan terhadap resiko produksi. d. Adanya jaminan modal.

e. Adanya jaminan pasar

f. Adanya jaminan peningkatan kesejahteraan atau asset dari mitra usaha g. Adanya pengurangan tingkat ketergantungan mitra usaha.

Bentuk-bentuk pola kemitraan perkebunan menurut Daim (2003) : 1. Perkebunan Inti Rakyat (PIR)

PIR adalah perusahaan yang melakukan tugas perencanaan, bimbingan dan pelayanan sarana produksi, kredit pengolahan hasil dan pemasaran hasil bagi usaha tani yang dibimbingnya (plasma) sambil mengusahakan usahatani yang

(30)

dimiliki dan dikelola sendiri. Pola PIR diarahkan pada wilayah-wilayah yang mempunyai aksesibilitas rendah (remote).

Menurut sumber dananya pola PIR/NES (Perkebunan Inti Rakyat/Nucle Estate and small hiolder project) terbagi atas :

a. PIR Swadaya

PIR ini dibiayai sepenuhnya dari dana dalam negeri yang terdiri dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan kredit perbankan. Contohnya PIR-lokal dan PIR-khusus.

b. PIR –NES Perbantuan

PIR ini dibiayai dari sumber dana dalam negeri yang dilengkapi dengan sumber dana dari kerjasama/bantuan negara atau badan luar negeri. Konsep ini melahirkan PIR-Bun.

2. Bangun Operasi Transfer (BOT)

Pola pengembangan dimana pembangunan dan pengoperasian dilakukan oleh investor/perusahaan yang kemudian pada waktu tertentu seluruhnya dialihkan kepada koperasi/petani.

3. Kerjasama Operasional (KSO)

Kerjasama yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan operasional bapak angkat, tetapi tidak terlalu mengikat kepastian pemakaian barang/bahan yang dipasok mitra usahanya. Pola keterkaitan ini banyak dilakukan perusahaan besar dan menengah yang membutuhkan berbagai macam bahan dan barang-barang dalam manajemen usahanya.

(31)

4. Contrack Farming (CF)

Contrack farming merupakan suatu pola dimana petani melalui wadah kelompok tani atau gabungan kelompok /KUD membuat perjanjian kontrak penjualan dengan perusahaan prosesor/eksportir. Dalam perjanjian kontrak tersebut tertulis jumlah, mutu dan penyerahan barang serta harga yang telah disepakati bersama antara petani/kelompok tani/KUD dengan perusahaan pembeli.

5. Dagang Umum (DU)

Kemitraan pola dagang umum adalah kemitraan yang terjadi pada tingkat pemasaran. Pada dasarnya dalam pola ini perusahaan besar berperan sebagai pemasar produk yang dihasilkan oleh perusahaan kecil. Latar belakang timbulnya kemitraan pola ini adalah adanya kepentingan bisnis antar kedua belah pihak yang bermitra.

Berdasarkan bentuk pola kemitraan seperti pola PIR, BOT, KSO, CF dan DU, dalam memilih pola kemitraan harus tetap sejalan dengan kebijaksanaan pembangunan perkebunan yang berkaitan dengan kesempatan kerja, pemasok bahan baku industri, peningkatan produktivitas, peningkatan pendapatan. Perlu pula diperhatikan kelemahan petani yang umumnya meliputi teknologi, modal, akses pasar, pengolahan hasil, SDM, kelembagaan dan produktivitas. Berdasarkan berbagai faktor tersebut maka dapat disarankan bahwa kemitraan pola PIR lebih tepat untuk terus dikembangkan pada pembangunan dibidang perkebunan.

Dengan adanya kemitraan usaha seperti itu diharapkan mengangkat perkebunan rakyat menjadi pilar pembangunan ekonomi karena kelemahan mendasar petani pekebun adalah modal, teknis dan manajemen. Melalui sistem

(32)

kemitraan akan tercipta transfer pengetahuan dari perkebunan besar dan membuka akses bagi perkebunan rakyat ke sumber permodalan dan pasar. Keuntungan bagi perkebunan besar adalah memperoleh kontinuitas produksi atau meningkatnya kapasitas yang lebih besar. Sistem kemitraan usaha perkebunan diharapkan menciptakan keterkaitan usaha yang dilaksanakan melalui kegiatan pembinaan dan pengembangan dalam bidang produksi, pengolahan, pemasaran, permodalan, teknologi dan sumberdaya manusia.

2.3. Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan faktor produksi yang unik. Tenaga kerja berbeda dengan faktor produksi lainnya seperti modal. Perbedaan yang utama adalah sumberdaya tenaga kerja tidak dapat dipisahkan secara fisik dari tenaga kerja itu sendiri. Tenaga kerja mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan, dan yang melakukan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga (Simanjuntak, 1998).

Besarnya suplai tenaga kerja dalam masyarakat adalah jumlah yang menawarkan jasanya untuk proses produksi. Diantara tenaga kerja ini sebagian sudah aktif dalam kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa yang dinamakan dengan golongan yang bekerja (employed persons). Sebagian lainnya tergolong yang siap bekerja atau sedang berusaha mencari pekerjaan yang dinamakan pencari kerja atau pengangguran. Jumlah orang yang bekerja tergantung dari besarnya permintaan atau demand dalam masyarakat. Permintaan tenaga kerja dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi dan tingkat upah.

(33)

2.3.1. Penawaran dan Permintaan Tenaga Kerja

Penawaran tenaga kerja adalah hubungan antara tingkat upah dan jumlah satuan pekerja yang disetujui oleh pensuplai untuk ditawarkan (Ananta, 1990). Sedangkan menurut Simanjuntak (1998) penyediaan tenagakerja merupakan sejumlah usaha atau jasa yang tersedia dalam masyarakat untuk mengahasilkan

barang dan jasa. Jumlah satuan pekerja yang ditawarkan tergantung pada (1) Besarnya jumlah penduduk, (2) Persentase penduduk yang memilih berada

dalam angkatan kerja, dan (3) Jam kerja yang ditawarkan oleh peserta angkatan kerja. Ketiga komponen ini dipengaruhi oleh upah pasar.

Perusahaan merupakan unit ekonomi yang berkecimpung dalam produksi dimana produksi merupakan transformasi dari input (faktor produksi) ke dalam output. Permintaan perusahaan akan input merupakan suatu permintaan turunan (devired demand) yang diperoleh dari permintaan konsumen terhadap produk perusahaan. Fungsi perusahaan cukup bervariasi, meliputi memaksimumkan keuntungan dan memaksimumkan penjualan atau perilaku untuk memberikan kepuasan pada konsumen, namun maksimisasi keuntungan sering dijadikan dasar dalam menentukan penggunaan tenaga kerja. Pengusaha harus membuat pilihan mengenai input (tenaga kerja dan input lainnya) serta output (jenis dan jumlah) dengan kombinasi yang tepat agar diperoleh keuntungan maksimal.

Besarnya permintaan perusahaan akan tenaga kerja pada dasarnya tergantung pada besarnya permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan tersebut. Fungsi permintaan tenaga kerja biasanya didasarkan pada teori neoklasik mengenai marginal physical product of labor (VMPL). Dengan asumsi perusahaan beroperasi pada sistem persaingan, maka

(34)

perusahaan cenderung untuk mempekerjakan tenaga kerja dengan tingkat upah sama dengan nilai produk marginal tenaga kerja. VMPL menunjukkan tingkat upah maksimum yang mau dibayarkan oleh perusahaan agar keuntungan perusahaan maksimum.

Berlawanan dengan fungsi penawaran tenaga kerja, maka permintaan terhadap tenaga kerja berkurang bila tingkat upah naik. Besarnya elastisitas permintan tenaga kerja tergantung pada : (1) Kemungkinan subsitusi tenaga kerja dengan faktor produksi yang lain, (2) Elastisitas permintaan terhadap barang yang dihasilkan, (3) Proporsi biaya karyawan terhadap seluruh biaya produksi, dan (4) Elastisitas persediaan faktor produksi pelengkap lainnya.

2.3.2. Potret Tenaga Kerja di Sektor Pertanian

Tenaga kerja di sektor pertanian adalah tenaga kerja yang terlibat dalam kegiatan pertanian dalam arti luas yang meliputi usahatani, peternakan, nelayan, petani tambak baik sektor buruh maupun pengelolaan usahatani. Jumlah tenaga kerja di sektor pertanian pada tahun 2000 adalah 40.970.856 orang (BPS, 2000). Berdasarkan bidang usaha, sektor pertanian dibagi atas subsektor tanaman pangan/palawija, hortikultura, perkebunan, peternakan, mixed farming, jasa pertanian, perikanan, dan kehutanan. Dilihat dari jumlah tenaga kerja yang terlibat, sektor pertanian paling dominan dalam menciptakan kesempatan kerja. Pada tahun 2002, kesempatan kerja yang diciptakan di sektor pertanian sebanyak 40,63 juta orang (44,34%). Sebagian besar tenaga kerja pertanian berada pada sub sektor tanaman pangan/palawija, hortikultura, dan perkebunan, yang jumlahnya

(35)

pada tahun 2002 mencapai 34,9 juta orang atau 84,15 persen dari total tenaga kerja pertanian di luar perikanan dan kehutanan (39.173.283 jiwa)

Tabel 4. Potret Tenaga Kerja di Sektor Pertanian Tahun 2002-2009 3

No Uraian Keterangan

1 Jumlah tenaga kerja di sektor pertanian a. Tahun 2002

b. Tahun 2009 (perkiraan)

40,634 juta (44,3 %) 42,4 Juta 2 Sebaran TK menurut sub sektor tahun 2002

a. Tan.pangan/palawija/hortikultura/perkebunan b. Peternakan

c. Mixed farming d. Jasa pertanian

Total (tidak termasuk perikanan, kehutanan)

34.921.185 (84,15%) 2.706.135 (6,91%) 601.665 (1,53%) 944.298 (2,41%) 39.173.283 3 Angka produktivitas sektor Pertanian

a. Tahun 2002 b. Tahun 2003

Rp. 1,69 juta/orang Rp. 1,68 juta/orang 4 Sebaran TK menurut umur tahun 2002

a. 10 - 24 b. 25 - 44 tahun c. > 45 th 6.184.551 (16%) 18.128.777 (46%) 14.859.955 (38%) 5 TK Pertanian menurut tingkat pendidikan tahun 2002

a. < SD b. SLTP c. SLTA d. PT 38.210.995 (81,68%) 5.028.849 (12,84%) 2.042.619 (5,21%) 107.226 (0,27%) 6 Curahan jam kerja tahun 2002

a. Kurang 35 jam/mg b. Lebih 35 jam/mg

23.268.178 (59%) 15.905.105 (41%) 7 Peningkatan Jumlah RT pertanian tahun 2002

a. Jawa b. Luar Jawa c. Indonesia 1,97% 2,74% 2,31% 8 Penduduk miskin bekerja di sektor pertanian

a. Tahun 2002 b. Tahun 2003

20.604.600 (57,8%) 22.250.600 (59,6%) 9 Setengah Penganggur di Sektor pertanian Tahun 2002 70,2% Sumber : Rencana Tenaga Kerja Nasional 2004-2009

Produktivitas tenaga kerja sektor pertanian adalah yang paling rendah dibandingkan dengan sektor lain. Pada tahun 2002 produktivitas sektor pertanian bernilai 1,68 juta rupiah per orang dan pada tahun 2003 nilainya turun menjadi 1.68 juta rupiah per orang. Angka produktivitas sektor pertanian ini sangat rendah

(36)

jika dibandingkan dengan sektor pertambangan, listrik, gas dan air yang angka produktivitasnya mencapai Rp 54,94 juta per orang (Soegiharto, 2004). Angka produktivitas tersebut mengandung arti bahwa kondisi pekerja di sektor pertanian sangat memprihatinkan dan dapat pula dikatakan bahwa sektor pertanian saat ini dalam kondisi yang sudah jenuh terhadap kesempatan kerja.

Rendahnya produktivitas tenaga kerja pertanian dipengaruhi oleh kondisi umur, tingkat pendidikan, curahan jam kerja, dan luas garapan petani. Sebaran tenaga kerja pertanian (di luar perikanan dan kehutanan) berdasarkan kelompok umur memperlihatkan bahwa, sebagian besar berada pada umur 25-44 tahun (46%), kemudian kelompok umur diatas 45 tahun (38%), dan kelompok umur kurang dari 25 tahun (16%). Mengamati komposisi umur tenaga kerja tersebut dikhawatirkan di masa depan akan kekurangan tenaga kerja pertanian. Sektor pertanian menunjukan trendaging agriculture , yaitu suatu kondisi dimana tenaga kerja yang berada di pertanian adalah tenaga kerja yang berusia lanjut. Tenaga kerja pertanian sampai saat ini masih didominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SD ke bawah, yang jumlahnya mencapai 81 persen dari tenaga kerja pertanian.

2.4. Pendapatan Usaha

Usahatani sebagai suatu kegiatan untuk memperoleh produksi dilapangan pertanian, pada akhirnya akan dinilai dari biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh. Pendapatan merupakan balas jasa dari kerjasama faktor-faktor produksi. Pendapatan usaha adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya yang telah dikeluarkan (Soekartawi, 1995). Besarnya pendapatan yang diterima

(37)

merupakan balas jasa atas tenaga kerja, modal yang dipakai, dan pengelolaan yang dilakukan. Balas jasa yang diterima pemilik faktor produksi dihitung untuk jangka waktu tertentu misalnya satu musim tanam atau satu tahun.

Pendapatan usaha yang diterima berbeda untuk setiap orang, perbedaan pendapatan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor ini ada yang masih dapat diubah dalam batas-batas kemampuan petani atau tidak dapat diubah sama sekali. Faktor yang tidak dapat diubah adalah iklim dan jenis tanah. Beberapa faktor yang mempengaruhi pendapatan dan dapat dilakukan perbaikan untuk meningkatkan pendapatan adalah luas lahan usaha, efisiensi kerja, dan efisiensi produksi.

Luas rata-rata usahatani di Indonesia amat kecil hal ini merupakan salah satu penghambat untuk mengadakan perubahan dalam memilih jenis tanaman dan menggunakan alat mekanis. Efisiensi kerja yang merupakan jumlah pekerjaan produktif yang berhasil diselesaikan oleh seorang pekerja. Umumnya makin tinggi efisiensi kerja makin tinggi pendapatan petani. Meningkatkan pendapatan melalui peningkatan efisiensi produksi dapat dilaksanakan dengan perbaikan cara-cara berusahatani, makin tinggi efisiensi produksi maka makin tinggi pendapatan usahatani (Soehardjo dan Patong, 1973).

Analisis pendapatan mempunyai kegunaan bagi petani maupun bagi pemilik faktor produksi. Ada dua tujuan utama dari analisis pendapatan, yaitu menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usahatani dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. Analisis pendapatan memberikan bantuan untuk mengukur keberhasilan dari usaha yang dilakukan. 2.5. Penelitian Empiris Terdahulu

(38)

Secara umum penelitian terhadap analisis pendapatan dan penyerapan tenaga kerja pada kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit bertujuan untuk mengetahui apakah pola kemitraan ini menguntungkan petani atau tidak. Oleh karena itu akan dilihat penelitian-penelitian sejenis pada komoditas kelapa sawit.

Menurut Muchtar (1987), dari penelitiannya yang berjudul ”Dampak Ekonomi Perusahaan Inti Rakyat Kelapa Sawit Ophir Terhadap Pengembangan Wilayah Pasaman Barat” dengan analisis basis ekonomi dan analisis pendapatan. Hasil analisis basis ekonomi diperoleh nilai multiplier sebesar 100 Artinya setiap investasi Rp 1,00 akan memberikan multiplier sebesar Rp 100,00. Pendapatan petani sebelum menjadi peserta PIR adalah Rp 283.020,00 sedangkan pendapatan setelah PIR adalah Rp 1.123.120, Pendapatan petani sebelum menjadi peserta PIR dibandingkan dengan pendapatan setelah ikut PIR meningkat 396 persen. Data yang ada juga memperlihatkan bahwa pendapatan kepala keluarga peserta PIR 230 persen lebih besar dari pendapatan kepala keluarga tidak peserta PIR.

Mangkuprawira et al (1989) melakukan penelitian mengenai pendapatan petani di lokasi perkebunan inti rakyat di Jawa Barat. Dalam analisis pendapatan ini dibandingkan pendapatan petani PIR kelapa sawit, kelapa dan karet begitu juga untuk alokasi jam kerja petani. Pelaksanaan pola perkebunan inti rakyat ini belum mencapai target dari pemerintah yaitu masih di bawah 1.500 dolar Amerika dan alokasi jam kerja petani lebih tinggi pada petani perkebunan kelapa sawit daripada perkebunan kelapa dan karet.

Yudistira (2003), meneliti analisis finansial dan ekonomi kelapa sawit PT. Mesa Inti Kebun. Analisis ini menunjukkan perkebunan di PT. Mesa Inti Kebun layak dilaksanakan. Dari hasil penelitian menggunakan faktor diskonto sebesar 11

(39)

persen untuk analisis finansial kebun inti diperoleh NPV yang bernilai positif yaitu sebesar Rp 29.391.962.210, net B/C sebesar 1,37, IRR sebesar 14,40 persen dan MPI selama 10 tahun 11 bulan. Analisis finansial kebun plasma pada faktor diskonto sebesar 11 persen diperoleh NPV sebesar Rp 22.876.791.670, net B/C sebesar 1,20, IRR sebesar 12,60 persen dan MPI selama 12 tahun 8 bulan. Analisis ekonomi kebun inti pada tingkat diskonto 11 persen diperoleh NPV yang bernilai positif yaitu sebesar Rp 208.638.607.670, net B/C sebesar 4,02, IRR sebesar 29,87 persen dan MPI selama 8 tahun 10 bulan sedangkan untuk kebun plasma diperoleh NPV sebesar Rp 52.686.057.040, net B/C sebesar 1.49, IRR sebesar 14,80 persen dan MPI selama 11 tahun 4 bulan. Perkebunan PT. Mesa Inti Kebun, kebun plasma maupun kebun inti layak dilaksanakan karena memenuhi kriteria kelayakan investasi secara finansial dan ekonomi.

Daliman (2005) meneliti dampak perkebunan kelapa sawit dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani. Hasil analisis pendapatan menyimpulkan penghasilan petani plasma tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum seorang pekerja (tidak termasuk keluarganya), yakni rata-rata perbulan Rp 148.500,00 per kapling (± 2 Ha). Pendapatan tunai petani meningkat pada 3 - 4 bulan pertama dalam setahun tetapi untuk pendapatan tidak tunai mengalami penurunan antara 40 - 60 persen.

Penelitian sebelumnya belum pernah membandingkan pola kemitraan perkebunan kelapa sawit pada perusahaan milik swasta dan negara. Penelitian ini akan melihat pendapatan petani plasma dan perusahaan inti serta penyerapan tenaga kerja pada dua perusahaan tersebut.

(40)

3.1. Pembangunan Perkebunan Rakyat dengan Kemitraan Usaha

Suatu kegiatan pertanian yang menyeluruh dan saling berkaitan merupakan suatu upaya untuk meningkatkan produksi pertanian, pendapatan petani dan menciptakan nilai tambah. Upaya ini secara luas akan mempunyai dampak terhadap peningkatan devisa melalui ekspor dan subsitusi impor.

Kelemahan petani pada umumnya meliputi teknologi, modal, akses pasar, pengolahan hasil, sumberdaya manusia, kelembagaan dan produktivitas. Kebijaksanaan pembangunan perkebunan yang dikembangkan harus berkaitan dengan kesempatan kerja, pemasok bahan baku industri, peningkatan produktivitas dan peningkatan pendapatan.

Keberhasilan kemitraan usaha sangat tergantung kepada pihak yang bermitra. Pengusaha harus menyadari para petani memerlukan berbagai upaya pemberdayaan. Kemitraan usaha perkebunan mengacu pada terciptanya keseimbangan, keselarasan, keterampilan, dan interdependensi yang dilandasi saling percaya dengan keterbukaan. Kemitraan akan terwujud dengan terciptanya : (1) Saling membutuhkan atau intervedensi artinya pengusaha memerlukan pasokan bahan baku, sedang petani memerlukan bimbingan teknologi, pemasaran, dan processing, (2) Saling menguntungkan artinya kedua bilah pihak harus dapat memperoleh nilai tambah dari kerjasama, dan (3) Saling memperkuat artinya kedua belah pihak sama-sama memahami hak dan kewajiban.

(41)

Upaya pemantapan yang memerlukan perhatian dan penanganan dalam pola kemitraan antara lain kerjasama yang transparansi sejak awal sehingga masing-masing pihak tahu dan sadar hak-hak serta kewajibannya, penumbuhan dan pengembangan fungsi dari kelembagaan kelompok tani yang merupakan basis terkecil dari manajemen produksi yang dilakukan mitra usaha atau perusahaan inti. Pembentukan koperasi (kelembagaan petani) harus lebih terkonsentrasi pada sektor jasa (angkutan pupuk, angkutan produksi dan lain-lain).

Kualitas sumberdaya manusia yang masih rendah dalam perkebunan rakyat memerlukan berbagai upaya penyuluhan dan pembinaan. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia di tingkat petani dapat dilakukan dengan peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan pengorganisasian. Skala ekonomi petani harus terus ditata sampai mencapai usaha berskala ekonomi. Tugas utama perusahaan mitra adalah menjaga agar pengelolaan produksi ditingkat petani tetap sesuai dengan standar teknis dan bertanggung jawab sejak awal pembangunan perkebunan sampai pasca konversi sehingga produktivitas optimal.

3.2. Dampak Penerapan Pola Kemitraan terhadap Pendapatan

Pembangunan perkebunan dengan pola kemitraan memiliki tujuan untuk mendorong peningkatan pendapatan petani, pembangunan wilayah, pembangunan sentra produksi dan pertumbuhan ekonomi. Kehadiran perusahaan inti dalam pola kemitraan dapat berperan dalam pemberdayaan petani di bidang teknologi, modal, kelembagaan dan lain-lain.

Pola kemitraan akan meningkatkan produktivitas karena berisikan paket intensifikasi yang ditransfer oleh perusahaan inti kepada petani plasma berupa

(42)

teknologi baru. Teknologi yang digunakan akan berpengaruh pada produksi yang dihasilkan, biaya dikeluarkan serta tenaga kerja yang digunakan. Dalam pola kemitraan juga terjadi inovasi dalam manajemen, kelembagaan, pengolahan dan pemasaran. Semua paket intensifikasi dalam pola kemitraan bertujuan meningkatkan produktivitas yang pada akhirnya berpengaruh pada peningkatan pendapatan.

Peningkatan pendapatan apabila dilihat dari pendekatan produksi maka akan berkaitan dengan masalah produktivitas. Produktivitas merupakan pembagian antara hasil/keluaran yang dicapai dengan keseluruhan sumberdaya/masukan yang telah digunakan persatuan tertentu. Peningkatan produktivitas mengandung arti bahwa jumlah produksi yang dicapai dapat lebih besar dengan menggunakan sumberdaya yang sama. Sumberdaya terdiri dari faktor produksi seperti lahan, sumberdaya manusia, peralatan dan lain-lain. Pada pola kemitraan biasanya produktivitas kebun plasma diharapkan dapat setara dengan produktivitas kebun intinya.

3.3. Dampak Penerapan Pola Kemitraan terhadap Kesempatan Kerja

Tenaga kerja dipandang sebagai suatu faktor produksi yang mampu meningkatkan daya guna faktor produksi lainnya (mengolah tanah, memanfaatkan modal dan sebagainya). Terdapat dua faktor yang mempengaruhi keadaan tenaga kerja, yaitu faktor permintaan dan penawaran. Faktor permintaan dipengaruhi oleh dinamika pembangunan ekonomi, sedangkan faktor penawaran ditentukan oleh perubahan struktur umur penduduk

(43)

Salah satu tujuan yang penting dalam pembangunan ekonomi adalah penyediaan lapangan kerja yang cukup untuk mengejar pertambahan angkatan kerja. Pembangunan perkebunan dengan sistem kemitraan usaha dimaksudkan untuk membina perkebunan rakyat (usahatani kecil) agar dapat membuka kesempatan kerja di pedesaan. Perkebunan rakyat merupakan usaha yang strategis dalam menyerap tenaga kerja keluarga dan luar keluarga. Dalam perkebunan kelapa sawit baik untuk kebun inti maupun kebun plasma dibutuhkan tenaga kerja dalam aktivitas pemeliharaan, panen, pangangkutan dan lain-lain. Perkembangan usaha perkebunan kelapa sawit akan membutuhkan pabrik kelapa sawit untuk mengolah tandan buah segar yang dihasilkan petani, pabrik kelapa sawit akan menambah lapangan kerja yang tersedia dan dapat menyerap tenaga kerja yang ada dalam masyarakat.

3.4. Kerangka Pemikiran Konseptual

Pola kemitraan menawarkan suatu pendekatan pembangunan yang mengkaitkan perusahaan besar dengan petani kecil, sehinggga kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh perusahaan besar dapat ditransfer kepada petani kecil. Kelebihan yang dialihkan dapat berupa kemampuan teknologi, manajemen dan finansial sehingga petani kecil mampu menjadi manajer yang mandiri dan tangguh bagi usahataninya.

Pola kemitraan merupakan kerjasama strategis antara petani dan perusahaan besar. Perusahaan mitra bertindak sebagai penyedia sarana produksi, pelaksana pemasaran sekaligus pengolahan produksi. Petani dalam pola kemitraan bertindak sebagai pelaksana usahatani. Pemberian bantuan dari perusahaan kepada

(44)

petani akan diakumulasikan dan dibayar kembali oleh petani setelah perkebunan kelapa sawit yang dimiliki berproduksi. Pengembangan perkebunan kelapa sawit memiliki peluang dalam menciptakan lapangan kerja dari kegiatan pra panen hingga pasca panen. Alur pemikiran dalam penelitian ini dapat disimpulkan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran Konseptual Ket :

: Alur pemikiran : Hal-hal yang dianalisis : Dijual : Alur analisis

Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit

Sistem Kemitraan Usaha

Pola Kemitraan dengan Perkebunan Besar Negara Pola Kemitraan dengan Perkebunan Besar Swasta

Pengolahan, Pemasaran, dan Produksi TBS

PTPN VI PT BPP

Peserta Kemitraan Kebun Plasma

Perusahaan Inti Pabrik dan Kebun Inti Peningkatan Produktivitas

Penciptaan Kesempatan Kerja

Produksi TBS - Pendapatan - Penyerapan tenaga kerja - Pendapatan - Penyerapan tenaga kerja

(45)

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di perkebunan milik PT Perkebunan Nusantara VI dan PT Bakrie Pasaman Plantation. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan PT Perkebunan Nusantara VI merupakan Perkebunan Besar Negara pertama di Kabupaten Pasaman Barat yang melakukan pola kemitraan dan PT Bakrie Pasaman Plantation merupakan Perkebunan Besar Swasta dengan areal perkebunan kelapa sawit terluas di Kabupaten Pasaman Barat yang melakukan pola kemitraan. Pengumpulan data dilakukan mulai Bulan April sampai dengan Bulan Juni 2006.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dipergunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan dan diolah oleh peneliti dan langsung diperoleh dari objek yang diteliti. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan petani peserta, pemilik perkebunan, pengawas perkebunan, dan pekerja perkebunan kelapa sawit. Data sekunder adalah data yang diterbitkan atau digunakan oleh organisasi atau lembaga yang bukan merupakan hasil pengolahan peneliti. Data sekunder diperoleh dari PTPN VI, PT BPP, Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia, Biro Pusat Statistik, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, dan dapat juga diperoleh melalui studi literatur, internet dan lembaga terkait lainnya.

(46)

4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data disesuaikan dengan data yang ada dan tujuan yang ingin dicapai. Untuk mencapai tujuan pertama digunakan metode deskriptif. Untuk mencapai tujuan kedua dan ketiga, data dianalisis dengan metode deskriptif tabulasi. Sedangkan untuk mencapai tujuan keempat digunakan analisis model ekonometrika.

4.3.1. Pendapatan Usaha Perkebunan

Pada analisis usahatani diperlukan data tentang penerimaan, biaya, dan pendapatan usahatani. Cara analisis terhadap variabel penerimaan, biaya, dan pendapatan disebut dengan analisis anggaran arus uang tunai atau cash flow analysis (Soekarwati, 1995).

Penerimaan usahatani adalah suatu nilai produk total dalam jangka waktu tertentu, baik untuk dijual maupun untuk dikonsumsi sendiri. Penerimaan adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Rumus penerimaan usahatani adalah :

TR = Y x PY Dimana :

TR : Total Penerimaan.

Y : Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani. PY : Harga Y

Biaya usahatani merupakan nilai penggunaan sarana produksi dan lain-lain yang dibebankan pada produk yang bersangkutan. Biaya usaha tani diklasifikasikan menjadi dua yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan.

(47)

Biaya tunai merupakan pengeluaran tunai usahatani yang dilakukan oleh petani sendiri. Biaya tunai digunakan untuk melihat pengalokasian modal yang dimiliki oleh petani. Biaya tidak tunai (diperhitungan) adalah biaya penyusutan alat-alat pertanian, sewa lahan milik sendiri dan tenaga kerja dalam keluarga.

Biaya dalam usahatani terdiri dari biaya tetap/fixed cost dan biaya variabel/variabel cost. Biaya tetap didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Besarnya biaya tetap tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang diperoleh dan sifat penggunaannya tidak habis dipakai dalam satu kali proses produksi. Contoh biaya tetap adalah pajak, tanah, dan bunga pinjaman dan lain-lain. Biaya tidak tetap adalah biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh dan sifat penggunaannya habis terpakai dalam satu kali proses produksi. Contoh biaya tidak tetap adalah biaya untuk sarana produksi dan tenaga kerja luar keluarga.

Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Pendapatan yang diukur adalah pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total.

1. Pendapatan Atas Biaya Tunai

Pendapatan atas biaya tunai diperoleh dari penerimaan total yang dikurangi dengan biaya tunai yang benar-benar dikeluarkan baik biaya variabel maupun biaya tetap dan merupakan ukuran kemampuan usaha untuk menghasilkan uang tunai. Rumus pendapatan atas biaya tunai adalah :

Π tunai = TR – TC tunai Π tunai = (Y x PY ) – (TFC1 + TVC1)

(48)

2. Pendapatan Atas Biaya Total

Pendapatan atas biaya total adalah pendapatan yang diperoleh dari total penerimaan dikurangi dengan biaya tunai termasuk biaya-biaya yang diperhitungkan. Rumus pendapatan atas biaya total adalah :

Π total = TR – TC

Π total = (Y x PY) – ((TFC1 + TVC1) + (TFC2 + TVC2)) Dimana :

Π tunai : Pendapatan Usahatani tunai. Π total : Pendapatan Usahatani total. TR : Total Penerimaan.

TC : Total Pengeluaran.

TFC1 : Total Biaya Tetap yang Dibayar Tunai. TVC1 : Total Biaya Variabel yang Dibayar Tunai. TFC2 : Total Biaya Tetap yang Diperhitungkan. TVC2 : Total Biaya Variabel yang Diperhitungkan.

4.3.2. Rasio Penerimaan dan Biaya (Return Cost Ratio)

Analisis return cost ratio atau R/C adalah perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. Return cost ratio digunakan untuk mengukur efisiensi usahatani terhadap setiap penggunaan satu unit input. Analisis imbangan penerimaan dan biaya digunakan untuk mengetahui relatif usahatani berdasarkan perhitungan finansial. TCtunai tunai C R = TR TC TR Total C R =

(49)

Dimana :

TR : Total Penerimaan. TC : Total Pengeluaran. TC tunai : Total Pengeluaran tunai. Kriteria :

R/C > 1, usaha menguntungkan.

R/C = 1, usaha tidak untung dan tidak rugi. R/C < 1, usaha tidak menguntungkan atau rugi.

Apabila R/C > 1 berarti penerimaan yang diperoleh lebih besar daripada tiap unit biaya yang dikeluarkan untuk menerima penerimaan tersebut. Apabila R/C < 1 maka tiap unit biaya yang dikeluarkan akan lebih besar daripada penerimaan yang diperoleh.

Menurut Soeharjo dan Patong (1973), perhitungan pendapatan usaha adalah seperti dalam Tabel 5.

Tabel 5. Perhitungan Pendapatan Usaha

Arus Penerimaan

Produksi Kotor = A kg Harga Satuan Produksi = Rp B Total Penerimaan (Ax B) = Rp C Arus Pengeluaran

Biaya Tunai :

- Biaya bahan baku = Rp D - Biaya upah = Rp E - Pajak usaha = Rp F - Biaya lain-lain = Rp G

Total biaya tunai (D+ E + F + G) = Rp H Biaya diperhitungkan :

- Biaya penyusutan = Rp I - Tenaga kerja keluarga = Rp J - Bunga modal = Rp K

Total biaya diperhitungkan (I + J + K) = Rp L Total seluruh pengeluaran (H + L) = Rp M Analisis pendapatan/keuntungan (C – M) = Rp N Analisis imbangan penerimaan atas biaya tunai (C/H) = Rp Q Analisis imbangan penerimaan atas biaya total (C/M) = Rp T

(50)

4.3.3. Penyerapan Tenaga Kerja

Penyerapan tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja dalam dan luar keluarga yang digunakan secara produktif dalam usaha perkebunan. Penggunaan tenaga kerja dihitung dalam satuan hari kerja pria (HKP), dimana HKP adalah sekitar tujuh jam kerja dengan tingkat konversi :

1. Satu hari kerja wanita (HKW) = 0,8 HKP 2. Satu hari kerja anak (HKA) = 0,5 HKP

Untuk mengetahui persentase tenaga kerja yang terserap pada usaha perkebunan terhadap jumlah tenaga kerja yang tersedia dalam keluarga, perlu diketahui potensi kerja. Potensi kerja dihitung dengan menghitung jumlah tenaga kerja yang tersedia dalam rumah tangga dikonversikan dalam hari kerja pria (HKP) dan dikalikan 300 atau jumlah hari kerja dalam setahun. Dengan demikian akan diperoleh angka ketersediaan tenaga kerja pertahun dalam rumah tangga. Curahan jam kerja untuk kegiatan perkebunan dihitung berdasarkan alokasi jam kerja anggota keluarga dalam sehari untuk kegiatan perkebunan.

4.3.4. Peran Tenaga Kerja Kebun Plasma terhadap Produksi Kebun Plasma Analisis regresi berkenaan dengan studi ketergantungan satu variabel tak bebas pada satu atau lebih variabel tak bebasnya, dengan maksud menaksir atau meramalkan nilai rata-rata hitung (mean) atau rata-rata (populasi) variabel tak bebas. Diantara model-model regresi, model regresi linear merupakan model yang paling sederhana dan paling sering digunakan. Model regresi linear diduga dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa (method of ordinary least sguare). Metode ini dilakukan dengan meminimumkan jumlah kuadrat simpangan nilai yi

(51)

terhadap E(yi) atau disebut dengan galat atau error. Metode kuadrat terkecil biasa dikemukakan oleh Carl F Gauss (Gujarati, 1978). Asumsi-asumsi yang harus dipenuhi dalam metode kuadrat terkecil adalah :

1. Kehomogenan ragam sisaan 2. Kenormalan galat

3. Hasil plot sisaan yang saling bebas

Untuk mencapai tujuan keempat digunakan alat analisis kuantitatif linear dengan menggunakan rumus analisis regresi :

Y = a + b1X1+ b2X2

Dimana :

Y : Produksi kebun plasma (ton) X1 : Modal usaha (Rp)

X2 : Tenaga kerja di kebun plasma (HOK)

a : Konstanta

b1, b2 : Koefisien regresi

Pengujian hipotesis : Uji R2

Penjelasan persentase variasi total peubah tidak bebas yang disebabkan oleh peubah bebas digunakan dengan pengujian R2. Uji ini digunakan untuk mengukur sampai sejauh mana besar keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel bebas terhadap variabel tak bebas.

(52)

Uji F-Statistik

Uji F digunakan untuk mengetahui bagaimana pengaruh peubah bebas terhadap peubah tidak bebas secara keseluruhan.

Hipotesis :

H0 : β1 = β2 = β3 = 0

H1 : Minimal terdapat satu βi ≠ 0 ; dimana i = 1,2,3,…n

F Hitung = F tabel = Fα(k-1, n-k)

Kriteria uji :

F-Hitung > Fα(k-1, n-k), maka tolak H0

F-Hitung < Fα(k-1, n-k), maka terima H0

Dimana :

R : Koefisien determinasi n : Banyaknya data

k : Jumlah koefisien regresi dugaan

Jika H0 ditolak berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh

nyata terhadap total besarnya output, dan sebaliknya jika H0 diterima maka tidak

ada satu pun variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap output. Uji t-Statistik

Uji t digunakan untuk mengetahui bagaimana pengaruh suatu peubah bebas secara individu atau masing-masing berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah tidak bebas.

k

n

/

)

R

(

k

/

R

2 2

1

1

(53)

Hipotesis : H0 : bi = 0 H1 : bi ≠ 0 ; dimana i = 1,2,3,…k t-hitung = t-tabel = tα / 2(n-k) Dimana :

S(b) = simpangan baku koefisien dugaan Kriteria uji :

t-hitung > tα / 2(n-k), maka tolak H0

t-hitung < tα / 2(n-k), maka terima H0

Jika H0 ditolak berarti variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel

tidak bebas dalam model dan sebaliknya jika H0 diterima maka variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas.

Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas adalah pengujian yang dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan linear diantara beberapa atau semua variabel bebas dari model regresi. Gejala multikolinearitas dalam suatu model akan menimbulkan beberapa konsekuensi diantaranya adalah :

1. Meskipun penaksiran OLS mungkin bisa diperoleh namun kesalahan standarnya mungkin akan cenderung semakin besar dengan meningkatnya tingkat korelasi antara peningkatan variabel.

2. Standar error dari parameter diduga sangat besar sehingga selang keyakinan untuk parameter yang relevan cenderung lebih besar.

( )

b

S

Gambar

Tabel 2.  Kontribusi Sub Sektor Tanaman Perkebunan Indonesia terhadap    Sektor Pertanian dan PDB Atas Dasar Harga Berlaku Tahun   2001-2004
Tabel 3. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia   Tahun 1998-2003
Tabel 4. Potret Tenaga Kerja di Sektor Pertanian Tahun 2002-2009  3
Gambar 1.  Bagan Kerangka Pemikiran Konseptual  Ket :
+7

Referensi

Dokumen terkait

Karakteristik Subjek Penelitian. Karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah remaja usia 16-22 tahun, laki-laki dan perempuan, tercatat aktif sebagai mahasiswa di

Pasien cidera kepala yang mengalami peningkatan kadar glukosa darah maka Glasgow Coma Scale juga akan semakin menurun.. Begitu juga sebaliknya, apabila pasien cidera kepala

Mistar ukur adalah sebuah pita ukur yang ditopang vertikal dan digunakan untuk mengukur jarak vertikal antara garis bidik dan sebuah titik tertentu yang berada

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana huruf a dan huruf b, perlu ditetapkan Keputusan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem tentang

Hal ini selari dengan Kostetska dan Berezyak (2014) yang telah menegaskan keusahawanan sosial memenuhi keperluan bidang tertentu iaitu dalam skop: perkara yang tidak dapat

Dengan demikian perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan pada data-data

Saya mengesahkan bahawa satu Jawatankuasa Peperiksaan Tesis telah berjumpa pada 8 Ogos 2012 untuk menjalankan peperiksaan akhir bagi Nurul Nadia Binti Ibrahim bagi menilai tesis

Kandungan logam berat pada organ ternak sapi pedaging yang digembalakan disekitar tambang nikel maupun di luar tambang ini sering kali terjadinya cemaran akibat dari