• Tidak ada hasil yang ditemukan

S PPB 1006850 Chapter1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "S PPB 1006850 Chapter1"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Evi Astuti, 2015

TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Masa remaja dipandang sebagai masa yang berpotensi untuk meraih kegemilangan karena seluruh aspek perkembangan berkembang secara pesat. Scherf

(2011, hlm. 1) memaparkan remaja merupakan waktu terjadinya perkembangan fisik,

kognitif, emosi, moral, sosial secara dramatis. Aspek perkembangan yang dapat

berjalan secara seimbang memfasilitasi peningkatan potensi individu.

Remaja dapat mengintegrasikan informasi yang diperoleh dengan tantangan di

masa mendatang dan merencanakan masa depan. Kemampuan mengintegrasikan

berkaitan dengan perkembangan kognitif remaja yang berada pada tahap operasi

formal yang memungkinkan remaja berpikir tidak hanya sebatas pada peristiwa yang

terjadi tetapi dapat membayangkan berbagai kemungkinan dalam situasi yang

beragam (Papalia, et all, 2008, hlm. 555). Remaja dinilai sudah mampu berfikir logis

tentang gagasan yang abstrak, dapat berfikir hipotesis, ilmiah dan sistematis dalam

berupaya menyelesaikan masalah (Yusuf, 2007, hlm. 194).

Pencapaian tugas perkembangan akan membentuk pribadi yang efektif.

Blocher (dalam Budiman, 2012, hlm. 36) mengatakan yang dimaksud dengan pribadi

yang efektif adalah pribadi yang mampu mempertimbangkan kemampuan diri,

ketersediaan waktu dan tenaganya dan bersedia menanggung berbagai resiko secara

ekonomis, psikologis dan fisik. Pribadi yang efektif juga mampu mengenal,

mendefinisikan dan menyelesaikan masalah dengan memberdayakan kemampuan

berpikirnya secara genuine dan kreatif sehingga mampu mengontrol

dorongan-dorongan untuk merespon situasi frustasi, permusuhan dan ketidakjelasan secara

wajar.

Remaja tidak semua dibesarkan dalam kondisi yang ideal. Beberapa remaja

(2)

Evi Astuti, 2015

TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

negatif atau status ekonomi. Situasi kurang ideal dapat menghambat perkembangan

sosial, emosi, dan kognitif sehingga potensi remaja yang mengalaminya di masa

dewasa akan terganggu. Zolkozki & Lyndal (2012, hlm. 2296) menyatakan individu

yang mengalami permasalahan yang kompleks beresiko mengalami kegagalan dalam

mengatasi kesulitan. Rak dan Patterson (dalam Zolkozki & Lyndal, 2012, hlm. 2296)

menyatakan kemiskinan, kekerasan, disonasi keluarga memiliki kerentanan yang

cukup tinggi sehingga mengkhawatirkan adanya ketidakmampuan individu untuk

mengoptimalkan potensinya dimasa dewasa dalam keadaan yang kurang beruntung.

Waxman (2003, hlm. 1) melaporkan pelajar yang beresiko mengalami kegagalan

dalam akademik cenderung memiliki latarbelakang masalah kemiskinan, kesehatan,

dan kondisi sosial lainnya sehingga menghambat kesuksesannya disekolah.

Pada saat remaja tidak mampu menghadapi permasalahan yang kompleks

dalam hidupnya, remaja cenderung menunjukkan perilaku-perilaku yang mengarah

pada tindakan destruktif bagi diri dan lingkungan sekitarnya. Ha-Na & Hyung (2005,

hlm. 1) memaparkan temuan yang menunjukkan peserta didik dengan perceraian

orang tua yang dalam hal ini dianggap sebagai pemicu ketidakidealan menunjukkan

kenakalan yang lebih tinggi dan prestasi akademik yang lebih rendah dibandingkan

peserta didik dari keluarga utuh. Rutter & Garmezy (dalam Santrock, 2007, hlm.

296) menemukan fakta apabila sejumlah stressor dialami secara kumulatif, akan

menimbulkan efek yang bersifat gabungan, sehingga individu yang dikepung oleh

dua stressor hidup yang kronis, memiliki kecenderungan empat kali lebih besar

membutuhkan layanan psikologis, dibandingkan yang harus mengatasi sebuah

stressor. Liu & Tein (dalam Santrock, 2007, hlm. 296) memaparkan studi terkait

remaja yang memiliki ide bunuh diri cenderung pernah mengalami peristiwa hidup

yang negatif ditahun sebelumnya dibandingkan remaja yang tidak memiliki ide bunuh

diri.

Tindakan destruktif lain yang sering dijumpai di kalangan remaja ketika

mengalami kesulitan adalah merokok. Informasi bahaya rokok sudah menyebar luas,

jumlah perokok semakin meningkat. Departemen Pendidikan Nasional (dalam

(3)

Evi Astuti, 2015

TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

tahun sekitar 25, 56%. Merokok disebut sebagai proses kompensatoris setiap tekanan

yang terjadi pada individu. Komalasari (2000, hlm. 39) mengulas pernyataan Klinke

& Meeker, motif perokok adalah relaksasi karena merokok dapat mengurangi

ketegangan dan memudahkan berkonsentrasi, sehingga merokok disebut sebagai

proses kompensatoris dari rasa tertekan yang dialami oleh individu.

Kondisi yang menghimpit, tidak selalu membuat remaja mampu membentuk

pribadi tangguh untuk tetap berjuang menjalani kehidupan yang lebih konstruktif.

Hasil penyelidikan yang dilakukan MacArthur Foundation Research Network (dalam

Lioyd & Berlin, 2004, hlm. 13) terhadap 1.000 orang berusia 10 hingga 30 tahun

menunjukkan apabila dibandingkan dengan orang dewasa, remaja memiliki fokus

yang lebih pendek dalam mempertimbangkan konsekuensi dari perilaku yang

memiliki potensi beresiko, keadaan yang menghimpit remaja membuatnya lebih

mudah untuk melakukan tindakan yang bersifat merusak.

Individu yang berhasil terlepas dari kesulitan, mengindikasikan memiliki

ketangguhan, kekuatan dan faktor yang membantu mengatasi kondisi buruk yang

dirasakan. Menurut Hersberger (2012, hlm. 3) sebesar apapun tingkat kesulitan yang

dialami individu yang tangguh tidak akan berpengaruh besar pada kehidupan yang

dijalani. Kemampuan individu untuk bangkit kembali dari keterpurukan dan

menghadapi tantangan baru disebut sebagai resiliensi (Winder, 2006, hlm. 8).

Pooley & Cohen (dalam Grant & Kinman, 2012, hlm. 606) mendefinisikan

resiliensi sebagai kemampuan untuk mengatasi masalah dengan menggunakan

sumber daya internal dan eksternal dalam konteks dan perkembangan tantangan yang

berbeda. Davoudi (2013, hlm. 5) menyatakan “resilience is not a fixed asset, property

or character that people or places have or do not have. It is acontinually evolving

and fluctuating process. It is not a being, but a becoming”, artinya resiliensi adalah

sebuah kompetensi yang harus dilatihkan dan dikembangkan bukan sebuah kelebihan

yang mutlak dimiliki oleh setiap individu tanpa melalui sebuah proses.

Pada setting sekolah, penelitian terkait resiliensi diantaranya penelitian

Munawaroh (2011) yang menggambarkan resiliensi akademik peserta didik SMK

(4)

Evi Astuti, 2015

TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

banyak karena jumlah mata pelajaran dan waktu belajar lebih padat dari pada sekolah

regular lainnya. Hasil penelitian menunjukkan 19,5% peserta didik memiliki

resiliensi akademik kategori tinggi, 63,4% pada kategori sedang dan 17% pada

kategori rendah. Artinya, lebih dari setengah peserta didik memiliki ketangguhan

dalam menghadapi tantangan akademik.

Fenomena tentang resiliensi secara umum di sekolah terbuka juga dipaparkan

oleh Hudzaifa (2012) dalam penelitiannya terkait dengan resiliensi di SMP terbuka

menggambarkan 1% peserta didik memiliki kategori sangat sesuai dalam artian

peserta didik memiliki resiliensi yang sangat tinggi, 73% pada kategori sesuai yang

artinya memiliki resiliensi yang tinggi, 26% kategori ragu-ragu, 0% pada kategori

tidak sesuai dan 0% pada kategori sangat tidak sesuai. Secara keseluruhan, profil

penelitian di SMP terbuka menunjukkan peserta didik memiliki tingkat resiliensi

yang tinggi meskipun mayoritas peserta didik SMP terbuka berasal dari keluarga

berekonomi rendah. Artinya kesulitan yang dihadapi peserta didik di SMP Terbuka

tidak berpengaruh negatif terhadap kehidupannya secara umum.

Penelitian terhadap profil resiliensi siswa penerima Bantuan Khusus Murid

(BKM) di SMA Negeri 1 Cimalaka Tahun Ajaran 2013/2014 dilakukan oleh Widianti

(2014). Hasil menunjukkan 8,82% siswa yang termasuk ke dalam kriteria diatas

rata-rata yang berarti siswa tersebut sudah mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan

yang adversif dan sudah mampu belajar memperkuat diri mengubah kondisi adversif

menjadi kondisi yang kondusif. Siswa yang termasuk kriteria rata-rata mencapai

77,94% dan siswa yang termasuk kriteria di bawah rata-rata mencapai 13,24%

ditandai dengan ketidakmampuan siswa dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan

yang adversif .

Kondisi tidak ideal yang terjadi pada setiap individu seharusnya tidak

berpengaruh negatif pada kehidupan yang dijalani. Individu diharapkan memiliki

daya lentur atau fleksibilitas dalam menjalani kehidupan walaupun bagi remaja bukan

sesuatu yang mudah untuk dihadapi. Menurut Hall (Santrock, 2007, hlm. 6) usia

remaja yang berkisar antara 12 hingga 23 tahun diwarnai dengan berbagai pergolakan

(5)

Evi Astuti, 2015

TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

and stress view. Sebagian besar remaja mengalami masa storm and strees sebagai

konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial

yang baru (Nurihsan & Agustin, 2011, hlm. 66). Offer dan koleganya (dalam

Santrock, 2007, hlm.10) menemukan pandangan berbeda terhadap remaja, 73% dari

remaja memiliki citra diri yang positif, optimis, percaya diri, mampu menilai dirinya

sebagai sosok yang mampu melatih kontrol diri, menghargai pekerjaan dan sekolah,

merasa memiliki kapasitas untuk mengatasi tekanan hidup dan tidak persis menyamai

gambaran stress and storm yang dikemukakan oleh Hall.

Penanganan yang serius terhadap kondisi remaja yang rentan perlu

dirumuskan untuk menghindari atau mengatasi vulnerability (kerentanan). Bimbingan

dan konseling memiliki peranan yang penting dalam mengantisipasi kerentanan

peserta didik yang mengalami kesulitan, karena layanan bimbingan dan konseling

berfokus pada pengembangan segi-segi pribadi dan sosial serta pemecahan masalah

secara individual (Sukmadinata, 2007, hlm.4).

Beberapa upaya bimbingan dan konseling telah teruji efektif dalam

meningkatkan resiliensi, seperti penelitian yang dilakukan oleh Suwarjo (2008) yang

menggunakan konseling teman sebaya untuk meningkatkan resiliensi anak asuh di

panti asuhan sosial anak. Mashudi (2012) menggunakan konseling rasional emotive

behavioral untuk meningkatkan resiliensi remaja di SMK Negeri 9 Bandung. Hasil

penelitian Mashudi (2012) tentang konseling rasional emotif behavioral untuk

meningkatkan resiliensi remaja menunjukkan konseling rasional emotif behavioral

teruji efektif dalam mengembangkan seluruh aspek resiliensi, terutama terhadap

aspek keterampilan pemecahan masalah dan kemampuan menggunakan humor secara

efektif.

Penelitian Hernandez dan Mendoza (2011, hlm. 375) menunjukan Shame

Resilience Theory (SRT) mampu memicu adanya perubahan secara signifikan pada

aspek kesehatan general, gejala depresi, rasa malu yang berlebihan, pengaruh

kesadaran diri, dan resiliensi. Shame Resilience Theory (SRT) mengupayakan

responden untuk bisa membuka diri, merasakan empati terhadap kesulitan yang

(6)

Evi Astuti, 2015

TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

perasaan dan kebutuhan responden secara efektif, sehingga akan muncul karakteristik

resilien (Hernandez & Mendoza, 2011, hlm. 375).

Penelitian terkait resiliensi telah dilakukan pula oleh Barret, et all (dalam

Tanpa nama, 2007, hlm.14) yang membuktikan efektivitas Cognitif Behavioral

Therapy (CBT) kepada satu kelompok berusia 10 sampai 12 tahun atau 15-16 tahun.

Barlow & Hall (dalam Grant & Kinman, 2012, hlm. 615) menyatakan pendekatan

Cognitive Behavioural Therapy dapat mengatur distress dan meningkatkan resiliensi

pada individu dengan mengembangkan strategi alternatif untuk mengatur emosi dan

perilaku.

Peneliti menggunakan pendekatan CBT sebagai upaya untuk meningkatkan

resiliensi peserta didik dengan asumsi kunci resiliensi adalah kemampuan mengenali

pikiran sendiri dan struktur keyakinan, memanfaatkan kekuatan untuk meningkatkan

keakuratan dan fleksibilitas berpikir sehingga mampu mengatur konsekuensi emosi

dan perilaku secara lebih baik (Reivich & Shatte, 2002, hlm. 52). Salah satu teknik

CBT yang efektif meningkatkan resiliensi adalah teknik restrukturisasi kognitif

(Hing, 2013, hlm. 175).

Gottlieb menyatakan restrukturisasi kognitif mampu membuat individu

bersikap adaptif terhadap kesulitan yang dihadapinya (dalam Hing, 2013, hlm. 175).

Sesuai dengan definisi resiliensi yang diungkapkan Coatsworth (2003, hlm. 3), yaitu

kemampuan individu untuk beradaptasi dengan baik dalam menghadapi kesulitan.

Pada dimensi lain, Engle (1996, hlm. 4) mengungkapkan resiliensi merupakan

kebalikan dari vulnerability (kerentanan), kerangka vulnerability menekankan

kelemahan psikososial dan hidup penuh resiko, sehingga memungkinkan individu

untuk berkeyakinan irasional. Teknik restrukturisasi kognitif membantu

mengidentifikasi ide-ide atau keyakinan yang irasional dan menggantinya dengan

pernyataan-pernyataan yang lebih realistis dan rasional (Suryaningrum, 2007, hlm.

66).

Berdasarkan pengamatan peneliti di SMP Negeri 43 Bandung pada bulan

Januari hingga bulan Mei 2014, menunjukkan adanya indikasi resiliensi yang rendah.

(7)

Evi Astuti, 2015

TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

2013/2014 yaitu tidak mengikuti pelajaran salah satu guru yang dianggap galak, tidak

sekolah karena sering dibully oleh teman sekelasnya, pura-pura sakit saat mata

pelajaran yang dianggap sulit, memilih untuk tidak berangkat sekolah karena tidak

memiliki ongkos, memilih untuk tidak bersosialisasi karena sering merasa

tersinggung dengan gaya bercanda salah satu teman sekelasnya, bahkan memutuskan

untuk tidak melanjutkan sekolah saat merasa tidak mampu mengatasi kesulitan yang

dihadapi disekolah.

Berdasarkan fenomena yang diutarakan, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian secara empiris mengenai efektivitas teknik restrukturisasi kognitif untuk

meningkatkan resiliensi peserta didik agar kesulitan yang dialami tidak menimbulkan

efek buruk bagi kehidupan di masa depan.

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah

Masa remaja dikenal sebagai masa transisi antara masa anak-anak dan masa

dewasa. Terdapat banyak perubahan yang terjadi pada masa remaja, diantaranya

perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007, hlm. 19). Setiap

perubahan tidak menutup kemungkinan menimbulkan permasalahan bagi remaja dan

berpengaruh pada cara pandang individu terhadap setiap keadaan yang menimpanya.

Remaja yang hidup dalam kondisi yang kurang menyenangkan, seperti

kesulitan ekonomi keluarga, hubungan keluarga yang kurang harmonis, hubungan

pertemanan yang kurang dinamis, kekerasan dari lingkungan sekitar akan terasa lebih

sulit. Akhirnya remaja melakukan tindakan yang beresiko negatif, seperti bolos

sekolah, tidak peduli dengan aktivitas belajar, merokok, terlibat aksi kenakalan

remaja, menunjukkan perilaku mudah kecewa, menunjukkan respon emosi secara

berlebihan, mudah menyerah, tidak berdaya menghadapi masalah tanpa bantuan

orang lain. Artinya terdapat kekeliruan dalam sistem kognitif remaja yang

menyebabkan diri bersikap salah suai terhadap realita keadaan hidupnya.

Dipandang perlu untuk mengembangkan bantuan layanan bimbingan dan

konseling bagi peserta didik yang sedang mengalami kondisi sulit untuk dapat

(8)

Evi Astuti, 2015

TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

terbebani dengan permasalahan yang dihadapi. Kemampuan bangkit disebut dengan

resiliensi yaitu proses, kemampuan, atau hasil kesuksesan untuk beradaptasi

meskipun dalam lingkungan yang menantang atau dalam keadaan yang mengancam

(Howard & Johnson dalam Martin, 2002, hlm. 35). Individu yang resilien memiliki

kemampuan untuk bertahan dalam krisis, pengaruh perubahan, tetapi menjadi pribadi

yang sehat (Collussi & Michelle, 2000, hlm. 4). Individu yang resilien mampu

mengatasi stress dan tekanan, menerima tantangan setiap hari, menerima kekecewaan

dan kesulitan secara positif, berkembang dan memiliki tujuan yang realistis serta

mampu memperlakukan diri dan orang lain dengan penuh penghargaan (Brooks &

Goldstein, 2001, hlm.1).

Salah satu pendekatan yang dinilai tepat untuk meningkatkan resiliensi remaja

pada umumnya adalah dengan menggunakan teknik restrukturisasi kognitif. Teknik

restrukturisasi kognitif diharapkan dapat membantu peserta didik untuk

meningkatkan resiliensi agar menjadikan peserta didik tangguh dalam menghadapi

setiap kesulitan yang dialaminya dengan mendorong pemikiran remaja agar lebih

rasional.

Berdasarkan pertimbangan teknik restrukturisasi kognitif mampu

meningkatkan resiliensi remaja, secara umum rumusan masalah yang akan diteliti

pada penelitian adalah “Apakah teknik restrukturisasi kognitif efektif untuk

meningkatkan resiliensi peserta didik?"

Rumusan masalah diturunkan menjadi pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1) Bagaimana rancangan teknik restrukturisasi kognitif untuk meningkatkan

resiliensi peserta didik kelas VIII SMP Negeri 43 Bandung Tahun Ajaran

2014/2015?

2) Bagaimana gambaran efektifitas teknik restrukturisasi kognitif untuk

meningkatkan resiliensi peserta didik kelas VIII SMP Negeri 43 Bandung

Tahun Ajaran 2014/2015?

(9)

Evi Astuti, 2015

TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Tujuan umum dari penelitian adalah menghasilkan gambaran secara empiris

efektivitas teknik restrukturisasi kognitif untuk meningkatkan resiliensi peserta didik.

Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai dari penelitian yaitu menghasilkan:.

1) Rancangan intervensi teknik restrukturisasi kognitif untuk meningkatkan

resiliensi peserta didik kelas VIII SMP Negeri 43 Bandung Tahun Ajaran

2014/2015.

2) Gambaran efektifitas teknik restrukturisasi kognitif untuk meningkatkan

resiliensi peserta didik kelas VIII SMP Negeri 43 Bandung Tahun Ajaran

2014/2015.

1.4 Manfaat Penelitian 1) Bagi Departemen

Bagi departemen menambah hasil penelitian tentang intervensi teknik

restrukturisasi kognitif untuk meningkatkan resiliensi peserta didik melalui

layanan bimbingan dan konseling.

2) Bagi Konselor/Guru BK

Bagi Konselor/ guru BK menjadi panduan layanan bimbingan dan konseling

untuk meningkatkan resiliensi peserta didik. Hasil penelitian diharapkan

menjadi rujukan bagi guru bimbingan dan konseling dalam meningkatkan

resiliensi peserta didik dengan menggunakan teknik restrukturisasi kognitif.

3) Bagi Peneliti Selanjutnya.

Bagi peneliti selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan kajian pengembangan

penelitian tentang resiliensi dan teknik restrukturisasi kognitif.

1.5 Struktur Organisasi Skripsi

Struktur organisasi skripsi disusun bertujuan untuk memberikan gambaran

secara keseluruhan dan mempermudah penyusunan skripsi. Struktur organisasi

skripsi berisi urutan penulisan setiap bab dan bagian bab dalam skripsi. Berikut

(10)

Evi Astuti, 2015

TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Bab I Pendahuluan, meliputi latar belakang penelitian, identifikasi dan

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan struktur organisasi

skripsi. Bab II Kajian Pustaka, meliputi konsep resiliensi, dan konsep teknik

restrukturisasi kognitif. Bab III Metode Penelitian, meliputi subjek dan lokasi

penelitian, pendekatan dan desain penelitian, definisi operasional variabel,

pengembangan instrumen penelitian, langkah-langkah penelitian, program intervensi,

teknik analisis data penelitian. Bab IV Temuan dan Pembahasan, meliputi hasil

analisis data dan pembahasan berdasarkan data temuan. Bab V Simpulan, Implikasi

Referensi

Dokumen terkait

Data Direktorat Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis Kementerian Kesehatan menyebutkan hingga akhir Januari tahun 2016, kejadian luar biasa (KLB) penyakit DBD

 Menganalisis kurva-kurva yang melalui beberapa titik untuk menyimpulkan berupa garis lurus, garis-garis sejajar,.. atau garis-garis

jamu brands showed that most of them (92.3%) had a registration number, only 4 had none; expiration date included in the labels of 16 (30.8%) products; five products did not

Jika dua garis yang disajikan sebagai. persamaan matriks

[r]

Tujuan dari optimisasi ini untuk meminimumkan nilai perbedaan antara tegangan tangensial maksimum dengan minimum ( objective function 1), serta volume piringan,

Tujuan dari pembuatan Tugas Akhir Perencanaan Pengamanan Pantai Dari Bahaya Abrasi Di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak adalah untuk memberikan perlindungan pada Pantai Sayung

[r]