BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kelapa Sawit
Minyak kelapa sawit merupakan komoditas utama bagi negara Indonesia
maupun negara-negara lainnya. Komoditas kelapa sawit, berupa bahan mentah
maupun hasil olahannya. Tanaman kelapa sawit tidak hanya buahnya saja yang
digunakan oleh masyarakat, tetapi semua bagian-bagian tanaman kelapa sawit
hampir tidak ada yang dibuang, misalnya cangkang kelapa sawit yang digunakan
sebagai bahan bakar, tandan kosong yang digunakan sebagai pupuk dan lain-lain.
Minyak kelapa nabati yang dihasilkan dari pengolahan buah kelapa sawit
mentah (Crude Palm Oil) yang berwarna kuning dan minyak inti sawit mentah
(Palm Kernel Oil) yang tidak berwarna (jernih). CPO atau PKO banyak
digunakan sebagai bahan industri pangan (minyak goreng dan margarin), industri
sabun (bahan penghasil busa), industri baja (bahan pelumas), industri tekstil,
kosmetik dan sebagai bahan bakar alternative (minyak disel) (Sastrosayono,
2000).
2.1.1 Klasifikasi Tanaman Kelapa Sawit
Upaya klasifikasi tanaman kelapa sawit sudah dimulai sejak empat abad
yang lalu (abad ke 16) dan dilanjutkan pada abad-abad selanjutnya. Seperti halnya
dengan upaya pengklasifikasian jenis-jenis tumbuhan lainnya ataupun hewan, para
ahli berbeda pendapat mengenai klasifikasi kelapa sawit. Hal ini dapat dimengerti,
karena dimasa lampau Ilmu Taksonomi maupun ilmu-ilmu yang berkaitan
masih sederhana. Dengan berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
diperoleh data dan informasi baru yang memungkinkan para ahli untuk
mengadakan perubahan, penyesuaian dan pembetulan (Haryono, 2008).
Taksonomi kelapa sawit yang umum diterima sekarang adalah sebagai
berikut:
Divisi :Tracheophyta
Anak divisi :Pteropsida
Kelas :Angiospermae
Anak kelas (Subdivisi) :Monocotyledoneae
Bangsa (Ordo) :Spadiciflorae (Arecales)
Suku (Familia) :Palmae (Arecaceae)
Anak suku (Subfamilia) :Cocoideae
Marga (Genus) :Elaeis
Jenis (Spesies) :Elaeis guineensis Jacq.
Nama Elaeis guineensis diberikan oleh Jacquin pada tahun 1763
berdasarkan pengamatan pohon-pohon kelapa sawit yang tumbuh di Martinique,
kawasan Hindia Barat, Amerika Tengah.
Kata Elaeis (Yunani) berarti minyak, sedangkan kata guineensis dipilih
Jenis-jenis lain dari marga Elaeis antara lain adalah E.madagascariensis Becc.
dan E. melanococca sekarang lebih banyak dipakai nama Corozo oleifera
(Haryono, 2008).
2.1.2 Varietas Tanaman Kelapa Sawit
Ada beberapa varietas tanaman kelapa sawit yang telah dikenal.
Varietas-varietas itu dapat dibedakan berdasarkan tebal tempurung dan daging buah atau
berdasarkan warna kulit buahnya. Selain varietas-varietas tersebut, ternyata
dikenal juga beberapa varietas unggul yang mempunyai beberapa keistimewaan,
antara lain mampu menghasilkan produksi yang lebih baik dibandingkan dengan
varietas lain (Yustina dan Iman, 1992).
Pembagian varietas berdasarkan tempurung dan daging buah, yaitu:
1. Dura
Tempurung cukup tebal antara 2-8 mm dan tidak terdapat lingkaran sabut pada
bagian luar tempurung. Daging buah relatif tipis dengan persentase daging buah
terhadap buah bervariasi antara 35-50%. Kernel (daging biji) biasanya besar
dengan kandungan minyak yang rendah.
2. Pisifera
Ketebalan tempurung sangat tipis, bahkan hampir tidak ada, tetapi daging
buahnya tebal. Persentase daging buah terhadap buah cukup tinggi, sedangkan
daging biji sangat tipis. Jenis pisifera tidak dapat diperbanyak tanpa menyilangkan
sebab bunga betina gugur pada fase dini. Oleh sebab itu, dalam persilangan
dipakai sebagai pohon induk jantan. Penyerbukan silang antara pisifera dengan
dura akan menghasilkan varietas tenera.
3. Tenera
Varietas ini mempunyai sifat-sifat yang berasal dari kedua induknya, yaitu
dura dan pisifera. Varietas inilah yang banyak ditanam di perkebunan-perkebunan
pada saat ini. Tempurung sudah menipis, ketebalannya berkisar antara 0,5 -4 mm,
dan terdapat lingkaran serabut di sekelilingnya. Persentase daging buah terhadap
buah tinggi, antara 60-96%. Tandan buah yang dihasilkan oleh tenera lebih
banyak daripada dura, tetapi ukurannya relatif lebih kecil.
2.1.3 Bahan Baku Kelapa Sawit 1. Minyak Sawit
Sebagai minyak atau lemak, minyak sawit adalah suatu trigliserida, yaitu
senyawa gliserol dengan asam lemak. Sesuai dengan bentuk bangun rantai asam
lemaknya, minyak sawit termasuk golongan minyak asam oleat-linoleat. Minyak
sawit berwarna merah jingga karena kandungan karotenoida (terutama β
-karotena), berkonsistensi setengah pada pada suhu kamar (konsistensi dan titik
lebur banyak ditentukan oleh kadar ALB-nya) dan dalam keadaan segar dan kadar
asam lemak bebas yang rendah, bau dan rasanya cukup enak (Haryono, 2008).
Minyak sawit terdiri atas berbagai trigliserida dengan rantai asam lemak
yang berbeda-beda. Panjang rantai adalah antara 14-20 atom karbon. Dengan
tersebut. Karena kandungan asam lemak yang terbanyak adalah asam lemak tak
jenuh oleat dan linoleat, minyak sawit masuk golongan minyak asam
oleat-linoleat.
Jumlah asam jenuh dan asam tak jenuh dalam minyak sawit hampir sama.
Komponen utama adalah asam palmitat dan oleat. Pembentukan lemak dalam
buah sawit mulai berlangsung beberapa minggu sebelum matang. Oleh karena itu,
penentuan saat panen adalah sangat menentukan. Kandungan minyak tertinggi
dalam buah adalah pada saat buah akan memberondol (melepas dari tandannya).
Karena itu kematangan tandan biasanya dinyatakan dengan jumlah buahnya yang
memberondol. Seminggu sebelum matang, yaitu 19 minggu setelah penyerbukan,
minyak yang terbentuk baru 6-7%. Pada hari-hari terakhir menjelang
pematangannya pembentukan minyak berlangsung dengan cepat sehingga
mencapai maksimumnya, yaitu sekitar 50% berat terhadap daging buah segar pada
minggu ke-20 setelah penyerbukan (Yustina dan Iman, 1992).
Kebalikan dari pembentukan lemak adalah penguraian atau hidrolisis
lemak menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Proses ini dalam buah terjadi sejak
mulai berlangsungnya proses “kematian” yaitu saat buah membrondol atau saat
tandan dipotong dan terlepas hubungannya dengan pohon. Proses hidrolisis
dikatalisis oleh enzim lipase yang juga terdapat dalam buah, tetapi berada di luar
sel yang mengandung minyak. Jika dinding sel pecah atau rusak karena proses
pembusukan atau karena pelukaan mekanik, tergores atau memar karena benturan.
Enzim akan bersinggungan dengan minyak dan reaksi hidrolisis akan berlangsung
Pembentukan asam lemak bebas oleh mikroorganisme (jamur dan bakteri
tertentu) juga dapat terjadi bila suasananya sesuai, yaitu pada suhu rendah
dibawah 500C dan dalam keadaan lembap dan kotor. Oleh karena itu, minyak
sawit harus segera dimurnikan setelah pengutipannya. Pemanasan sampai suhu
900C akan menginaktifkan enzimya dan menghancurkan mokroorganismenya.
Pada kadar air kurang dari 0,8% mikroorganisme juga tidak dapat berkembang.
2. Inti Sawit
Bentuk inti sawit bulat padat atau agak gepeng berwarna cokelat hitam.
Inti sawit mengandung lemak, protein, serat dan air. Pada pemakaiannya lemak
yang terkandung di dalamnya (disebut minyak inti sawit) diekstraksi dan sisanya
atau bungkilnya yang kaya protein dipakai sebagai bahan makanan ternak. Kadar
minyak dalam inti kering adalah 44-53%. Kadar minyak dalam inti kering adalah
44-53%.
Minyak inti sawit juga dapat mengalami hidrolisis. Hal ini lebih mudah
terjadi pada inti pecah dan inti berjamur. Faktor yang menentukan pada
peningkatan kadar ALB minyak inti sawit adalah kadar asam permulaan, proses
pengeringan yang tidak baik, kadar air akhir dalam inti sawit kering dan kadar inti
pecah. Inti sawit pecah yang basah akan menjadi tempat biakan mikroorganisme
(jamur).
Dalam keadaan normal kadar ALB permulaan minyak inti sawit tidak
lebih dari 0,5%, sedangkan pada akhir pengolahan tidak lebih dari 1%. Dengan
pembentukan ALB lebih banyak terjadi pada penimbunan, yaitu jika tempat
penimbunannya lembap dan atau kadar air inti sawit terlalu tinggi melebihi kadar
air kesetimbangan terhadap lembap nisbi udara sekitarnya (di daerah tropika
sekitar 7-8%).
Pada suhu tinggi inti sawit dapat mengalami perubahan warna. Minyaknya
akan lebih berwarna lebih gelap dan lebih sulit dipucatkan. Suhu tertinggi pada
pengolahan minyak sawit adalah pada perebusan yaitu sekitar 1300C. Suhu kerja
maksimum dibatasi setinggi itu untuk menghindarkan terlalu banyak inti yang
berubah warna. Berondolan dan buah yang lebih tipis daging buahnya atau lebih
tipis cangkangnya adalah lebih peka terhadap suhu tinggi tersebut.
Pada umumnya jika tandan dibiarkan 45-60 menit saja pada tekanan uap
jenuh 2,5kg/cm2 dalam rebusan, hanya sedikit inti sawit yang mengalami
perubahan warna yang terlalu banyak.
Jika kurang dari 45 menit tidak ada perubahan warna, minyaknya akan
berwarna kuning muda. Dalam hal warnanya cokelat tua atau lebih gelap
minyaknya akan sukar atau tidak dapat dipucatkan. Demikian juga minyak dari
inti sawit yang berasal dari inti yang kurang kering ataupun dari inti yang
disimpan basah.
3. Tandan Buah Segar (TBS)
Tanaman yang dikembangkan sekarang adalah hibrida tenera (Dura
disilanngkan dengan Pisifera). Buahnya mengandung 80% daging buah dan 20%
terhadap buah. Buah dura lebih tipis daging buahnya tetapi lebih besar intinya.
Tanaman pisifera tidak dikembangkan karena jarang menghasilkan buah (Yustina
dan Iman, 1992).
Bagaimana bentuk, susunan atau komposisi tandan buah segar akan
menentukan bagaimana cara maupun hasil pengolahannya. Komposisi pertama
ditentukan oleh jenis tanamannya, kesempurnaan penyerbukan bunganya dan saat
pelaksanaan panennya. Jenis tenera adalah hasil persilangan jenis dura dengan
jenis pisifera. Buah dura mempunyai daging buah yang tipis dan cangkang yang
tebal. Sedangkan buah pisifera mempunyai daging buah yang sangat tebal dan
tidak mempunyai cangkang. Buah tenera mempunyai daging buah yang agak tebal
dan cangkang yang tipis. Kesempurnaan penyerbukan akan menentukan jumlah
buah yang terdapat dalam satu tandan. Penyerbukan dapat tidak sempurna jika
pemekaran bunga bersamaan dengan saat hujan. Jika penyerbukan hanya oleh
angin saja, buah yang seharusnya ada pada bagian terdalam dari tandan tidak
terbentuk.
Tandan buah terdiri atas Tandan Buah Kosong (TBK). Ini adalah bagian
yang tersisa setelah buah dipisah dari tandannya, yang dibuang sebagai limbah.
Adakalanya dipakai sebagai penambah bahan bakar. Karena lindak pada
umumnya dibakar dalam incinerator untuk memudahkan pembuangannya dan
abunya dipakai sebagai pupuk . Buah terdiri atas daging buah dan biji di bagian
dalamnya. Daging buah mengandung minyak, air dan serabut dan bahan lain.
Kadar minyak dan air tergantung pada kematangan buahnya, sedangkan tebal
cangkang atau batok. Bagian dalamnya adalah inti yang mengandung minyak, air,
protein dan serat (Haryono, 2008).
Penentuan saat panen sangat mempengaruhi kandungan asam lemak bebas
(ALB) minyak sawit yang dihasilkan. Apabila pemanenan buah dilakukan dalam
keadaan lewat matang, maka minyak yang dihasilkan mengadung ALB dalam
prosentase tinggi (lebih dari 5%). Sebaliknya, jika pemanenan dilakukan dalam
keadaan buah belum matang, maka selain kadar ALB-nya rendah, rendemen
minyak yang diperolehnya juga rendah. Di sinilah, pengetahuan mengenai kriteria
matang panen berdasarkan jumlah berondolan yang jatuh berperan cukup penting
dalam menentukan derajat kematangan buah.
Berdasarkan hal tersebut diatas, dikenal ada beberapa tingkatan atau fraksi
dari TBS yang dipanen. Fraksi-fraksi tersebut sangat mempengaruhi mutu panen,
termasuk juga kualitas minyak sawit yang dihasilkan. Dikenal ada lima fraksi
TBS yang dapat kita lihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Beberapa Tingkatan Fraksi TBS
NO Keterangan Fraksi Jumlah
Berondolan
Keterangan
1 Mentah 00 Tidak ada Sangat mentah
0 1-10 buah luar
memberondol
Mentah
luar memberondol
2 25-50% buah luar
memberondol
Matang I
3 50-75% buah luar
memberondol
Matang II
3 Lewat
matang
4 75-100% buah
luar memberondol
Lewat matang I
5 Buah dalam juga
memberondol,
ada buah yang
buruk
Lewat matang II
Derajat kematangan yang baik yaitu jika tandan-tandan yang dipanen
berada pada fraksi 1,2 dan 3 (Haryono, 2008).
2.1.4 Pencirian Bagian Tanaman Kelapa Sawit
Kelapa sawit temasuk tanaman monokotil. Batangnya tumbuh lurus,
umumnya tidak bercabang dan tidak mempunyai kambium. Tanaman ini berumah
satu atau monoecious, bunga jantan dan bunga betina terdapat pada satu pohon.
Kedua jenis bunga yang keluar dari ketiak pelepah daun berkembang terpisah.
Bunga dapat menyerbuk bersilang atau menyerbuk sendiri. Tanaman kelapa sawit
dapat dibagi menjadi bagian vegetatif dan bagian generatif. Bagian vegetatif
sebagai alat perkembangbiakan, adalah bunga dan buah. Kelapa sawit
diperbanyak secara generatif dengan biji yang dikecambahkan. Cara ini telah
dilakukan sejak tanaman mulai dibudidayakan (cara konvensional).
Cara lain adalah memperbanyak tanaman secara vegetatif atau cara klonal,
dengan mengambil bagian vegetatif tanaman (bagian daun atau akar yang masih
sangat muda), yang ditumbuhkan dalam alas makanan (media) buatan. Cara ini
dikenal dengan cara kultur jaringan yang dikembangkan pada tahun 1970 dan
hasilnya mulai ditanam dilapangan di Indonesia pada tahun 1987 (Yustina dan
Iman, 1992).
a. Akar
Seperti jenis tanaman Palmae yang lain, tanaman kelapa sawit mempunyai
akar serabut. Calon akar yang muncul dari biji kelapa sawit yang dikecambahkan
disebut radikula, panjangnya 10-15mm. Pertumbuhan radikula mula-mula
menggunakan makanan cadangan yang ada dalam endosperm, yang kemudian
fungsinya diambil alih oleh akar primer (Yustina dan Iman, 1992).
b. Batang
Karena kelapa sawit termasuk tanaman monokotil, maka batangnya tidak
mempunyai kambium dan pada umumnya tidak bercabang. Batang berbentuk
silinder dengan diameter antara 20-75cm atau tergantung pada keadaan
lingkungan. Selama beberapa tahun, minimal 12 tahun, batang tertutup rapat oleh
Tinggi batang bertambah kira-kira 45cm/tahun, tetapi dalam kondisi
lingkungan yang sesuai dapat mencapai 100cm/tahun. Tinggi maksimum tanaman
kelapa sawit yang ditanam diperkebunan adalah 15-18m, sedangkan dialam
mencapai 30m. karena tanaman yang terlalu tinggi akan menyulitkan pemetikan
buahnya, maka perkebunan kelapa sawit menghendaki tanaman yang pertambahan
tinggi batangnya kecil. Batang berfungsi sebagai penyangga tajuk serta
menyimpan dan mengangkut bahan makanan. Dari segi ekonomis, batang kelapa
sawit dapat dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi, pulp (bahan baku kertas),
bahan kimia atau sebagai sumber energi.
c. Daun
Susunan daun tanaman kelapa sawit mirip dengan tanaman kelapa yaitu
membentuk susunan daun majemuk. Daun-daun tersebut akan membentuk suatu
pelepah daun yang panjangnya dapat mencapai kurang lebih 7,5-9,0m. jumlah
anak daun pada tiap pelepah berkisar antara 250-400 helai. Daun muda yang
masih kuncup berwarna kuning pucat. Pada tanah yang subur daun cepat
membuka sehingga makin efektif menjalankan fungsinya sebagai tempat
berlangsungnya fotosintesa dan juga sebagai alat respirasi. Semakin lama proses
fotosintesa berlangsung, maka semakin banyak bahan makanan yang dibentuk
sehingga produksi tananam kelapa sawit akan meningkat.
Tanaman kelapa sawit yang tumbuh normal, pelepah daunnya berjumlah
40-60 buah. Umur daun mulai terbentuk sampai tua sekitar 6-7 tahun. Daun kelapa
ini, belum banyak yang dapat dimanfaatkan. Hanya sebagian kecil dari lidinya
dimanfaatkan untuk sapu (Yustina dan Iman, 1992).
d. Bunga
Kelapa sawit sudah mulai berbunga pada umur sekitar dua tahun. Tanaman ini
merupakan tanaman berumah satu, artinya pada satu tananman terdapat bunga
jantan dan bunga betina yang masing-masing terangkai dalam suatu tandan.
Rangkaian bunga jantan terpisah dengan rangkaian bunga betina. Setiap satu
rangkaian bunga akan muncul dari pelepah daun. Sebelum bunga mekar (masih
diselubungi seludang), dapat dibedakan antara bunga jantan dan bunga betina
yaitu dengan cara melihat bentuknya (Yustina dan Iman, 1992).
e. Buah
Buah kelapa sawit termasuk buah keras (drupe) menempel dan bergerombol
pada tandan buah. Warna buah kelapa sawit tergantung pada varietas dan
umurnya. Buah yang masih muda berwaran hijau pucat kemudian berubah
menjadi hijau hitam. Semakin tua warna buah menjadi kuning muda dan pada
waktu sudah masak berwarna kuning muda dan pada waktu sudah masak
berwarna merah kuning atau merah jingga. Mulai dari penyerbukan sampai buah
matang diperlukan waktu kurang lebih 5-6 bulan. Cuaca kering yang terlalu
Secara anatomi, bagian-bagian buah tanaman kelapa sawit adalah sebagai
berikut:
1. Perikarpium, terdri dari:
a. Eksokarp yaitu kulit buah yang keras dan licin
b. Mesokarp yaitu daging buah yang berserabut dan
mengandung minyak dengan rendemen paling tinggi.
2. Biji, mempunyai bagian
a. Endokarp yaitu kulit biji = tempurung berwarna hitam dan
keras.
b. Endosperm (kernel= inti = daging buah), berwarna putih dan
dari bagian ini akan menghasilkan minyak inti sawit setelah
melalui ekstraksi.
c. Lembaga atau Embrio.
2.2 Standar Mutu Minyak Kelapa Sawit
Rendahnya mutu minyak sawit sangat ditentukan oleh beberapa faktor.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa hal yang secara langsung berkaitan
dengan penurunan mutu minyak sawit antara lain yaitu :
1. Asam lemak Bebas
Asam lemak bebas dalam konsentrasi tinggi yang terikut dalam minyak
sawit sangat merugikan. Tingginya asam lemak bebas ini mengakibatkan
rendemen minyak turun. Untuk itulah perlu dilakukan usaha pencegahan
ditentukan mulai dari saat tandan dipanen sampai tandan diolah di pabrik (PS,
1992).
2. Kadar Kotoran
Pada umumnya penyaringan hasil minyak sawit dilakukan dalam
rangkaian proses pengendapan, yaitu minyak sawit jernih dimurnikan dengan
sentrifugasi. Dengan proses ini kotoran-kotoran yang berukuran besar memang
bisa disaring. Akan tetapi kotoran-kotoran atau serabut yang berukuran kecil tidak
bisa disaring, hanya melayang-layang di dalam minyak sawit sebab berat jenisnya
sama dengan minyak sawit (PS, 1992).
3. Kadar Logam
Mutu dan kualitas minyak sawit akan menurun bila mengandung kadar
logam yang tinggi. Sebab dalam kondisi tertentu logam-logam tersebut dapat
menjadi katalisator yang menstimulir reaksi oksidasi minyak sawit. Reaksi ini
dapat dimonitor dengan melihat perubahan warna minyak sawit yang semakin
gelap dan akhirnya berbau tengik (PS, 1992).
4. Kadar Air
Kadar air dapat mempengaruhi mutu minyak sawit mentah dan derifatnya,
semakin tinggi kadar air, maka semakin rendah mutu minyak sawit. Kadar air
yang tinggi dapat menyebabkan hidrolisa yang akan merubah minyak atau lemak
menjadi asam-asam lemak bebas sehingga dapat menyebabkan ketengikan
2.3 Air
Air merupakan salah satu unsur penting dalam bahan makanan, meskipun
keberadaannya sering diabaikan. Walaupun air bukan merupakan sumber nutrien
seperti bahan makanan lain, akan tetapi sangat esensial dalam kelangsungan
proses biokimiawi organisme hidup. Air dalam suatu bahan makanan terdapat
dalam bentuk air bebas, air yang terikat secara lemah, dan air dalam keadaan
terikat kuat. Air bebas, terdapat dalam ruang-ruang antar sel dan inter-granular
dan pori-pori yang terdapat dalam bahan. Sedangkan air yang terikat secara lemah
karena terserap (teradsorbsi) pada permukaan koloid makromolekuler seperti
protein, pektin pati, sellulosa. Selain itu air juga terdispersi diantara koloid
tersebut dan merupakan pelarut zat-zat yang ada dalam sel. Air yang ada dalam
bentuk ini masih tetap mempunyai sifat air bebas dan dapat dikristalkan pada
proses pembekuan. Ikatan antara air dengan koloid tersebut merupakan ikatan
hidrogen. Air dalam keadaan terikat kuat yaitu membentuk hidrat. Ikatannya
bersifat ionik sehingga relatif sukar dihilangkan atau diuapkan. Air ini tidak
membeku meskipun pada 0oF (Sudarmadji, dkk., 1989).
Air yang terdapat dalam bentuk bebas dapat membantu terjadinya proses
kerusakan bahan makanan misalnya proses mikrobiologis, kimiawi, enzimatik,
bahkan oleh aktivitas serangga perusak. Sedangkan air yang dalam bentuk lainnya
tidak membantu terjadinya proses kerusakan tersebut diatas. Oleh karena itu,
kadar air bukan merupakan parameter yang absolut untuk dapat dipakai
digunakan pengertian Aw (aktivitas air) untuk menentukan kemampuan air dalam
proses-proses kerusakan bahan makanan (Sudarmadji, dkk., 1989).
2.3.1 Penetapan Kadar Air
Penetapan kadar air dengan bahan yang mengandung air hidrat dapat
digunakan metode titrimetri, metode azeotropi atau metode gravimetri. Prinsip
penetapan kadar air secara titrimetri berdasarkan atas reaksi secara kuantitatif air
dengan larutan anhidrat belerang dioksida dan iodium dengan adanya dapar yang
bereaksi dengan ion hidrogen (Depkes RI, 1995).
Penentuan kadar air dalam bahan makanan dapat ditentukan dengan
berbagai cara antara lain, metode pengeringan, penentuan kadar air cara destilasi
dan metode kimiawi (Sudarmadji, dkk., 1989).
Metode Pengeringan
Prinsip penentuan kadar air cara pengeringan (thermogravimetri) adalah
menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan pemanasan. Kemudian
menimbang bahan sampai berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan.
Cara ini relatif mudah dan murah. Kelemahan cara ini adalah:
- Bahan lain disamping air juga ikut menguap dan ikut hilang bersama
dengan uap air misalnya alkohol, asam asetat, minyak atsiri dan lain-lain
- Dapat terjadi reaksi selama pemanasan yang menghasilkan air atau zat
mudah menguap lain
- Bahan yang mengandung bahan yang dapat mengikat air secara kuat sulit
Untuk mempercepat penguapan air serta menghindari terjadinya reaksi yang
menyebabkan terbentuknya air ataupun reaksi yang lain karena pemanasan maka
dapat dilakukan pemanasan dengan suhu rendah dan tekanan vakum (Sudarmadji,
1989).
Adapun metode pengeringan oven vakum adalah dengan cara sampel
dikeringkan dengan berat konstan dan pada tekanan konstan atau berkurang pada
suhu yang ditentukan untuk waktu yang ditentukan. Kadar air adalah perbedaan
berat yang diukur sebelum dan sesudah pengeringan. Metode ini berlaku untuk
produk makanan umum (Oiso, 1985).
Menurut farmakope, bahan untuk obat tanaman yang akan ditetapkan
kadar airnya, ditimbang dalam wadah yang telah ditara lalu dikeringkan pada suhu
105ºC selama 5 jam, dan ditimbang. Lanjutkan pengeringan dan timbang pada
jarak 1 jam sampai perbedaan antara dua penimbangan berturut-turut tidak lebih
dari 0,25%.
2.4 Gravimetri
Gravimetri merupakan cara pemeriksaan jumlah zat yang paling tua dan
yang paling sederhana dibandingkan dengan cara pemeriksaan kimia lainnya.
Analisis gravimetric adalah cara analisis kunatitatif berdasarkan berat tetap (berat
konstan). Dalam analisis ini, unsure atau senyawa yang dianalisis dpisahkan dari
sejumlah bahan yang dianalisis. Bagian terbesar analisis gravimetri menyangkut
perubahan unsure atau gugus dari senyawa yang dianalisis menjadi senyawa lain
unsure atau gugus yang dianalisis selanjutnya dihitung dari rumus senyawa serta
berat atom penyusunnya (Gandjar dan Rohman, 2007).
Gravimetri adalah penetuan kadar langsung dengan melakukan
pengukuran massa zat murni yang dipisahkan dalam bentuk senyawa yang
diketahui susunan kimianya dengan menghitung kandungan komponen analitnya.
Pemisahan analit dapat dilakukan dari larutannya, jadi sampel padat harus
dilarutkan lebih dahulu, baru dilakukan pengendapan dengan pereaksi pengendap
atau dengan dipisahkan dengan cara ekstraksi. Untuk memurnikan endapan
diperlukan proses pencucuian atau pengkristalan ulang dan pengeringan sampai
berat konstan. Demikian juga halnya dengan wadah endapan, cawan, baik pada
waktu penimbangan awal cawan kosong, maupun cawan yang sudah berisi
endapan yang menggunakan suatu cara pengeringan tertentu harus ditimbang
sampai berat konstan (Kosasih, 2004).
2.4.1 Alat-alat Untuk Gravimetri
Sebagian besar alat untuk gravimetri adlah alat-alat gelas. Untuk
menghindari hal-hal yang tdak diigninkan selama analisis maka harus digunakan
alat-alat gelas yang tahan terhadap panas.
Berikut akan diuraikan beberapa alat yang sering digunakan:
1. Gelas piala
Gelas piala (gelas beaker) yang digunakan adalah gelas piala yang ada
a. Sebagai tempat gelas pengaduk pada waktu gelas piala ditutup
dengan gelas arloji.
b. Merupakan lubang tempat keluarnya uap/gas meskipn ditutup
dengan gelas arloji
2. Labu Erlenmeyer
Digunakan untuk menampung tapisan pada penyaringan. Labu Erlenmeyer
mempunyai keuntungan yakni corong tidak perlu di “klem”. Pada
penyaringan memakai penghisapan digunakan labu hisap yang bentuknya
adalah labu erlenmeyer dengan cabang pipa untuk hisapan.
3. Corong
Terbuat dari gelas dengan sudut kerucut 600 dengan berbagai ukuran garis
tengah 5,7 dan 9cm. Pipa paruh bergaris tengah sedikitnya 4mm dan
panjang paruh tidak melebihi 15cm.
4. Botol Pencuci
Dapat terbuat dari gelas dan plastik.
5. Gelas Pengaduk
Terbuat dari batang gelas padat, garis tengah 3-5mm dan panjang
20-25cm.
6. Alat Pemanas
Untuk pemanasan yang tinggi digunakan pembakar bunsen atau meker
yang memakai bahan bakar gas.
Eksikator digunakan untuk mendinginkan krus yang habis dipijarkan atau
krus penyaring setelah dikeringkan sampai suhu kering sama dengan suhu
kamar. Selama pendinginan, eksikator harus tertutup dari udara luar
sehingga tidak akan menyerap lembab.
8. Kompor Listrik (Hot Plate)
Kompor listrik yang baik mempunyai tiga pengaturan suhu yaitu rendah
(low), sedang (medium) dan tinggi (high).
2.4.2 Teknik Analisis Gravimetri
1. Proses pengendapan
Pemisahan unsur murni (analit) yang terdapat dalam sampel dapat terjadi
melalui beberapa cara. Diantaranya yang terpenting adalah dengan cara
pengendapan, cara penguapan atau pengeringan (evolution), cara analisis
pengendapan dengan memakai listrik dan berbagai cara fisik lainnya (Gandjar dan
Rohman, 2007).
Dalam gravimetri, endapan yang diinginkan adalah endapan hablur kasar,
karena endapan seperti ini mudah disaring dan dicuci. Selain itu, lantaran luas
permukaan endapan hablur halus, maka endapan hablur kasar ini lebih sedikit
mengandung kotoran (Rivai, 1995).
2. Proses penyaringan
Tujuan penyaringan adalah untuk mendapatkan endapan yang bebas (terpisah)
a. Kertas saring (pakai corong gelas)
b. Krus gooch dilapisi serat asbes
c. Krus penyaring atau gelas sinter
Saringan yang digunakan tergantung dari sifat endapan dan juga dari suhu
pengerjaan selanjutnya. Kertas saring dipakai untuk endapan yang gelatinus atau
endapan lain yang akan dipijarkan pada suhu tinggi, misalnya sampai suhu
12000C. Krus penyaring serta gelas sinter hanya dipergunakan jika endapan
nantinya hanya dipanasi pada suhu yang lebih rendah dari 2000C (Gandjar dan
Rohman, 2007).
3. Proses Pencucian Endapan
Pencucian endapan dimaksudkan untuk membersihkan endapan dari cairan
induknya yang selalu terbawa. Adanya cairan ini pada pemanasan akan
meninggalkan bahan-bahan yang tidak mudah menguap, karenanya endapan harus
dicuci seberisih-bersihnya (Gandjar dan Rohman, 2007).
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pencucian endapan adalah
pemilihan larutan pencuci. Sebenarnya air murni merupakan cairan pencuci yang
paling baik dan cocok, namun air hanya dapat digunakan bila endapan yang akan
dicuci berupa hablur dan mempunyai kelarutan yang rendah (misalnya BaSO4).
Untuk menghindarkan larutnya endapan kembali karena terbentuknya koloid,
maka endapan-endapan yang tak terbentuk seperti Fe(OH)3, Al(OH)3 dicuci
dengan air panas yang mengandung elektrolit lembam, misalnya NH4NO3,
hidrolisisnya, misalnya MgNH4PO4.6H2O dicuci dengan larutan ammonia (Rivai,
1995).
4. Proses Pengeringan dan Pemijaran Endapan
Pengeringan adalah proses pemanasan endapan pada suhu 100-1500C dan
digunakan untuk mengubah endapan yang basah menjadi bentuk timbang yang
kering. Contoh-contoh endapan yang diubah menjadi bentuk timbang dengan
pengeringan. Endapan yang akan dikeringkan biasanya dikumpulkan pada alat
penyaring kaca masir. Sedangkan pemijaran adalah proses pemanasan endapan
bersama-sama dengan kertas saring pada suhu rendah pada mulanya untuk
mengarangkan kertas saring itu tanpa timbulnya nyala, dilanjutkan dengan