• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Islam Pendekatan dan Metode

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Studi Islam Pendekatan dan Metode"

Copied!
320
0
0

Teks penuh

(1)

ISLAMIC STUDIES

Pendekatan dan Metode

(2)

Islamic Studies Pendekatan dan Metode

Penulis

Zakiyuddin Baidhawy Editor

Arifin

Rancang Sampul M. Taufik N.H. Tata Letak Darwoko

Cetakan Pertama, April 2011

Jl. Kenanga, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta 55282 Telp. 0274-4332394, 4332397, Fax. 0274-4332395

Email : redaksi@insanmadani.com Website : www.insanmadani.com

Didistribusikan oleh

PT Bintang Pustaka Abadi (BiPA) Jl. Kapas No. 14 Yogyakarta

Telp. 0274-4332398, Fax. 0274-4332395

(3)

M

inat terhadap Studi Islam (Islamic Studies) mengalami peningkatan cukup pesat pada beberapa tahun terakhir, meskipun tidak selalu memiliki alasan-alasan yang tepat. Pada abad 19 hingga awal abad 20 kita dapat menyaksikan bahwa disiplin Studi Islam bangkit dimotivasi oleh keinginan para penguasa kolonial untuk memahami sumber-sumber rujukan dan praktik-praktik keagamaan dari negeri-negeri jajahan mereka. Karenanya kajian dan penelitian dalam disiplin lebih ditujukan untuk kebutuhan khusus, yaitu menentukan nilai-nilai dan praktik-praktik dari negeri-negeri terjajah itu. Mereka memiliki hasrat untuk menguasai secara penuh wilayah jajahan dengan berbagai macam cara sehingga mereka dapat menjalankan misi “memperadabkan” negeri-negeri terjajah dan mendorong mereka memperoleh kemajuan dalam hal pengetahuan tentang negeri-negeri terjajah serta memanfaatkan kaum terpelajarnya untuk mendapatkan legitimasi atas kekuasaan mereka.

(4)

oleh kepentingan diri. Studi Islam berkaitan dengan data-data yang jauh lebih konkret dan berinteraksi dengan metode-metode yang kompleks dan lebih mencakup. Hal ini bukan hanya terjadi di negeri-negeri Muslim sendiri, bahkan juga di negara-negara Barat. Masyarakat Barat mengalami tiga fenomena berbeda yang memperlihatkan perhatian mereka pada perluasan riset tentang Islam: semakin meningkatnya visibilitas generasi-generasi baru Muslim di Barat; arus migrasi yang terus mengalir yang tampak terus mengalami percepatan; dan terorisme yang dipandang sebagai ancaman baik bagi Barat maupun dunia Muslim sendiri. Persoalan-persoalan domestik dunia Muslim juga merupakan realitas yang mesti dipertimbangkan dalam politik internasional, seperti problem konflik Israel-Palestina, perang di Afghanistan dan Irak, kasus Iran, persoalan Turki dalam keanggotaan Uni Eropa. Dalam semua kasus ini, Studi Islam secara langsung maupun tidak langsung terlibat sebagai bagian dari cara untuk memahami dan mencegah, melindungi diri kita sendiri, mendominasi, dan bahkan berperang melawan kekerasan yang dilakukan kaum fundamentalis Islam. Akibatnya, banyak pakar sosiolog, ilmuwan politik, pakar terorisme dan lain-lain terlibat dalam sejumlah penelitian mengenai Islam, Muslim, identitas, imigrasi, fundamentalisme, radikalisasi, kekerasan, terorisme, dan sebagainya.

(5)

Studi Islam di negeri ini – sebagai negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia – agar mereka bukan hanya menjadi penonton dan penikmat hasil kajian keislaman, namun mereka juga berperan sebagai pelaku dari perkembangan itu. Buku ini merupakan satu upaya untuk menyajikan perkembangan Studi Islam yang dimaksud. Mudah-mudahan karya ini bermanfaat bagi mahasiswa dan dosen di perguruan tinggi Islam, dan para peminat kajian keislaman di perguruan tinggi umum serta masyarakat luas pada umumnya.

Omah Nderes, Soditan Sukoharjo 10 Februari 2011

(6)
(7)

Prakata ...iii

Daftar Isi ... vii

BAB 1 PENGERTIAN DAN METODOLOGI STUDI

ISLAM ... 1

A. Pengertian Studi Islam ... 1

B. Metodologi Studi Islam: Dimensi Keilmuan

dan Keagamaan ... 6

BAB 2 RUANG LINGKUP OBJEK KAJIAN STUDI

ISLAM ... 23

A. Pengalaman Keagamaan dan Ekspresinya ..23

B. Dimensi-dimensi Agama ...28

C. Cara Beragama ...35

BAB 3 SEJARAH PERKEMBANGAN STUDI

ISLAM ... 39

A. Studi Islam dan Orientalisme...46

B. Studi Islam sebagai Disiplin Mandiri ...53

(8)

BAB 4 MODEL PENDEKATAN KAJIAN TEKS-TEKS

ISLAM: STUDI AL-QUR’AN ... 67

A. Pendekatan I`jaz Klasik ...68

B. Pendekatan Sastra Modern ...72

C. Pendekatan Tajdid ...75

D. Pendekatan Tahlili ...77

E. Pendekatan Semantik...80

F. Pendekatan Tematik ...90

BAB 5 MODEL KAJIAN TEKS-TEKS KEISLAMAN:

STUDI HADIS ... 99

A. Kajian Orientalis tentang Hadis ... 101

B. Perbedaan Metodologi Kajian Hadis:

Sarjana Barat dan Sarjana Muslim ... 103

C. Kajian Sarjana Muslim Modern ...110

D. Pendekatan Revolusioner: al-Albani ... 115

BAB 6 MODEL KAJIAN ILMU KALAM ... 119

A. Kemunculan Ilmu Kalam ...122

B. Definisi dan Bahasan Ilmu Kalam ...124

C. Metodologi Ilmu Kalam ...125

D. Mazhab-mazhab Ilmu Kalam ...128

E. Metodologi Kalam Syi’ah ... 131

A. Mistisisme: Fenomena Universal...139

BAB 7 MODEL KAJIAN TASAWUF ... 139

B. Spirit: Domain Ketiga Ajaran Islam ... 141

C. Perspektif Memahami Tasawuf ...145

(9)

BAB 8 MODEL KAJIAN USUL FIKIH DAN

FIKIH ... 155

A. Definisi dan Ruang Lingkup ...155

B. Dua Pendekatan: Teoretis-Rasional dan

Deduktif ...159

BAB 9 MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA: Studi

Hermeneutika Pembebasan Farid Esack 167

A. Sekilas tentang Farid Esack ...169

B. Metode Hermeneutika Pembebasan ... 171

C. Al-Qur’an Bicara: Kunci Hermeneutika

Pembe-basan ...179

D. Simpulan ...183

BAB 10 MODEL KAJIAN FILSAFAT: Studi

Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan

Hermeneutika ... 185

A. Gagap Paradigma Fondasionalisme ...187

B. Pendekatan Hermeneutika: Pintu Keragaman

danRelativisme ...189

C. Menuju Hibrida Paradigmatik...193

D. Tafsir Multikultural, Sebuah Alternatif ...196

E. Simpulan ...203

BAB 11 MODEL KAJIAN PENDIDIKAN:

Pendekatan Multikultural terhadap

Pendidikan Agama ...205

A. Pendidikan Agama sebagai Aparatus

Ideologis ...208

(10)

C. Pendidikan Agama untuk Perdamaian

dan Harmoni ... 215

D. Simpulan ...224

BAB 12 MODEL KAJIAN PEMIKIRAN ISLAM: Kajian

tentang Islam Liberal ... 229

A. Beberapa Pendekatan Mengkaji

Islam Liberal ...230

B. Latar Sosial Islam Liberal ...236

C. Tantangan Islam Liberal ... 241

D. Simpulan ...245

BAB 14 MODEL KAJIAN POLITIK ... 247

A. Pendekatan Keamanan (Security) ...250

B. Pendekatan Demokrasi ...253

C. Pendekatan Globalisasi ...257

BAB 15 METODOLOGI ILMIAH MODERN DAN

STUDI ISLAM ...261

A. Pendekatan Ilmu Sejarah ... 261

B. Pendekatan Sosiologis ...264

C. Pendekatan Antropologi dan Etnografi .... 271

D. Pendekatan Fenomenologi ...278

E. Pendekatan Arkeologi ...288

Daftar Pustaka ...295

(11)

A. Pengertian Studi Islam

I

stilah “Islamic Studies” atau Studi Islam kini telah diperguna-kan dalam jurnal-jurnal profesional, departemen akademik, dan lembaga-lembaga perguruan tinggi yang mencakup bidang pengkajian dan penelitian yang luas, yakni seluruh yang memiliki dimensi “Islam” dan keterkaitan dengannya. Rujukan pada Islam, apakah dalam pengertian kebudayaan, peradaban, atau tradisi keagamaan, telah semakin sering dipakai dengan munculnya sejumlah besar literatur dalam berbagai bahasa Eropa atau Barat pada umumnya yang berkenaan dengan paham Islam politik, atau Islamisme. Literatur-literatur tersebut berbicara tentang perbankan Islam, ekonomi Islam, tatanan politik Islam, demokrasi Islam, hak-hak asasi manusia Islam, dan sebagainya. Sejumlah buku-buku terlaris sejak 1980-an berhubungan dengan

PENGERTIAN DAN

METODOLOGI STUDI ISLAM

(12)

judul-judul “Islam” dan hal-hal yang berkaitan dengan kata sifat “Islami”, yang menunjukkan betapa semua itu telah diistilahkan dengan sebutan “Islamic Studies” di dunia akademik.

Kita dapat mengemukakan dua pendekatan mendasar mengenai definisi Islamic Studies, yaitu definisi sempit dan definisi yang lebih luas (Suleiman & Shihadeh, 2007: 6-7). Pendekatan pertama melihat Islamic Studies sebagai suatu disiplin dengan metodologi, materi dan teks-teks kuncinya sendiri; bidang studi ini dapat didefinisikan sebagai studi tentang tradisi teks-teks keagamaan klasik dan ilmu-ilmu keagamaan klasik; memperluas ruang lingkupnya berarti akan mengurangi kualitas kajiannya. Di samping itu, Islamic Studies berbeda dari ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial dan akan diperlemah bila pendidikan berbasis kepercayaan tentang Islam dan studi tentang Islam lintas disiplin berdasarkan kepada dua disiplin tersebut. Mesti ada perbedaan nyata antara antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya, dan Islamic Studies hanya sebagai distingsi yang dibuat dalam hubungannya dengan disiplin-disiplin lainnya seperti Christian Studies.

Menurut definisi ini, Islamic Studies mengimplikasikan:

Pertama, studi tentang disiplin dan tradisi intelektual-keagamaan klasik menjadi inti dari Islamic Studies, karena ada di jantung kebudayaan yang dipelajari dalam peradaban Islam dan agama Islam, dan karena banyak Muslim terpelajar masih memandangnya sebagai persoalan penting. Pengertian Islamic Studies sebagai studi tentang teks-teks Arab pra-modern utamanya karena itu mesti dipertahankan. Keterampilan utama yang dibutuhkan adalah bahasa Arab.

(13)

me-ngakibatkan berkurangnya kualitas kajian. Namun demikian, bidang ini terus menghadapi tekanan komersial untuk mem-perluas ruang lingkupnya, dengan memasukkan misalnya, studi tentang pengobatan dan keuangan Islam. Namun, imperatif utamanya adalah mempertahankan kualitas hasilnya. Penelitian dan pengajaran dalam wilayah-wilayah yang berada di luar defi-nisi Islamic Studies yang sempit mesti diupayakan secara kola-boratif dengan kalangan spesialis luar yang berkualitas.

Ketiga, pendidikan berbasis keimanan bagi Muslim menge-nai Islam, dan studi lintas disiplin tentang Islam yang bersandar kepada ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial, keduanya memberikan tujuan yang bermanfaat. Namun, Islamic Studies bagaimanapun berbeda dari keduanya dan jangan dipertipis garis batasnya. Yang diharapkan ialah upaya memperkaya dua bidang lainnya. Minat ilmu antropologi dan ilmu-ilmu sosial terhadap Islam memang dapat dibenarkan, namun jangan dipaksa untuk diistilahkan sebagai Islamic Studies.

(14)

dimasukkan, seperti antropologi dan ilmu-ilmu sosial. Dalam definisi ini, bidang Islamic Studies perlu juga memasukkan pendekatan sosiologis dan studi tentang dunia modern.

Mengajarkan Islamic Studies di perguruan tinggi mesti menjembatani kesenjangan antara pendekatan tekstual dan pendekatan etnografi, karena mahasiswa seringkali berminat pada teks-teks tradisional, meskipun studi teks dapat mencakup berbagai tradisi yang berbeda-beda. Artinya membatasi diri pada bidang kajian teks semata berisiko memberikan pengertian yang keliru tentang Islam dan masyarakat Islam.

Teks-teks dari tradisi klasik besar telah dihasilkan dan diper-gunakan oleh kaum Muslim dalam konteks sosial tertentu. Islam harus diajarkan baik sebagai tradisi tekstual dengan seluruh ke-satuan sejarahnya, dan sebagai realitas sosial yang dinamis dan terus berubah. Keduanya saling berhubungan, yakni tradisi teks menunjukkan bahwa Islam, di samping merupakan seperangkat ajaran keagamaan, adalah cara mendekati tantangan-tantangan ekonomi dan sosial praktis dalam kehidupan ini.

Islamic Studies bukanlah sebuah disiplin, namun ia lebih merupakan kesalinghubungan antara beberapa disiplin. Dalam bahasa metodologi, para peneliti meminjam serangkaian disi-plin termasuk ilmu-ilmu sosial. Kurang tegasnya batasan-ba-tasan ini justru menyediakan peluang untuk memperkaya studi interdisipliner yang beragam.

(15)

Islam kini sedang menjadi fenomena universal di dunia ini. Ini memunculkan satu pertanyaan lain, yakni apakah fungsi universitas diharapkan dapat menyediakan kebutuhan-kebutuhan bagi komunitas-komunitas minoritas untuk mema-hami keimanan mereka di dalam identitas lokal yang melekat dan konteks multikulturalnya. Jika kebutuhan semacam ini tidak dicapai secara mapan, akankah ia membuka pintu luas bagi eks-tremisme untuk menawarkan jasanya yang mematikan? Salah satu isu yang muncul dalam perbincangan mengenai Islam di kampus adalah bahwa Islamic Studies merupakan suatu wilayah kontestasi sebagian karena Islam itu sendiri adalah sesuatu yang dikontestasikan. Persoalan ini membawa pada pertanyaan: adakah suatu wilayah, apa pun namanya, yang dipikirkan oleh akal manusia yang tidak dikontestasi? Nilai keimanan atau kebudayaan apa pun berangkat dari komitmen para pemeluknya. Untuk mencapai masyarakat multikultural yang homogen, ada suatu kebutuhan untuk menerapkan metodologi serupa pada semua keimanan. Dengan kata lain, definisi tentang iman merupakan fenomena sosial yang berhubungan dengan bagaimana keimanan itu sendiri melihat dirinya.

(16)

Ini memunculkan masalah terminologi dan judul, bahkan persoalan konteks yang tetap valid khususnya pada periode kolonial, yang mempersepsi Islam sebagai salah satu dorongan utama bagi kohesi sosial dan dialog antariman. Barangkali satu proposal yang bisa diajukan ialah pengembangan suatu bentuk studi tentang Islam yang memasukkan pendekatan tradisional dan pendekatan luas, serta kombinasi dari keduanya dalam rangka memperluas disiplin daripada membingungkan antara keduanya.

B. Metodologi Studi Islam: Dimensi Keilmuan dan

Keagamaan

Masalah utama yang menopang definisi Islamic Studies tampak-nya muncul dari metodologi bagaimana Islam dikaji dan kemu-dian bagaimana diajarkan. Di negara-negara Barat umumnya, kajian tentang Islam mengikuti metodologi Barat, ini berten-tangan dengan kajian Islam di dalam suatu lingkungan yang ti-dak mengkontestasi agama tersebut.

(17)

tidak dapat mencapai kebenaran membawa pada perubahan dalam subjek yang dikaji mahasiswa. Salah satu topik favorit adalah studi kritis dan penyuntingan manuskrip-manuskrip berbahasa Arab. Cukup mengagumkan melihat bagaimana ada kemauan para pengkaji tersebut untuk menerima studi kritis itu dan mereka menyatakan bahwa pendekatan semacam ini tidak perlu kompromi dengan masalah keimanan mereka.

Hal serupa juga sering muncul ketika menguji ide-ide para pemikir Muslim modern tentang Islam dan pendekatan Barat terhadap pengetahuan. Ketakutan bukan datang dari Barat, melainkan dari sains yang dapat menjadi pendekatan yang salah arah jika dipercaya sebagai satu-satunya jalan menuju kebenaran. Pandangan ini juga digaungkan oleh para sarjana Barat sendiri. Salah satu kritik paling umum terhadap pendekatan “sains” diungkapkan oleh Stephen R. Sterling ketika ia menguji pendekatan sains terhadap subjek dari studi tentang alam. Mengutip Werner Heisenberg, ia mengatakan: “Melalui intervensinya, sains mengubah dan membentuk kembali objek”.

Berikut ini adalah beberapa perdebatan seputar metodologi dalam Islamic Studies. M. Izzi Dien (2003: 243-255) secara gamblang menggambarkan perdebatan metodologi tersebut mencakup kritik akademisi Muslim atas metodologi Barat, pendekatan apologetik Muslim terhadap metodologi penelitian, pendekatan radikal Muslim terhadap metodologi Barat, dan kritik metodologi Muslim dari dalam.

1. Kritik atas Metodologi Barat

(18)

ditegakkan di atas hukum pertentangan antara dua hal yang bersebrangan yang bertabrakan dengan filsafat Islam tentang kehidupan yang berdasarkan pada apa yang disebut teori fusi dua hal yang bersebrangan. Suatu teori yang juga disebut sebagai teori wasathiyyah (teori jalan tengah). Teori ini didasarkan atas Al-Qur’an surat al-Baqarah/2: 143 yang berbicara tentang “ um-mah wasath”, yang mampu merekonsiliasi dua hal yang berten-tangan dengan tujuan untuk meraih harmoni sosial.

Mutakallim abad pertengahan Islam, Abu Hamid al-Ghazali mengatakan bahwa wasathiyyah adalah berdiri di tengah-tengah antara dua ujung yang saling berlawanan. Karena itu, dalam ma-salah keuangan misalnya, ia berarti berdiri di antara berlebih-lebihan dan serba kekurangan, atau antara sembrono dan terlalu hati-hati. Filsafat Barat menemukan akar-akarnya dalam kebu-dayaan Yunani-Romawi yang memotong keimanan orang-orang Timur yang asli terhadap Yesus dan mengkombinasikannya de-ngan jiwa dan tubuh.

Pandangan dunia Islam berbeda dari pendekatan Barat ter-hadap pengetahuan ilmiah. Faruqi (1995) memaparkan bahwa ilmu-ilmu sosial memperoleh posisi mandiri di universitas-uni-versitas satu abad yang lalu, padahal akal yang telah membawa pada penemuan dan keberhasilan kembali pada dua abad lebih; pembentukan metodologi skeptis kembali pada revolusi Prancis yang berusaha melawan kendali gereja. Kemenangan metodolo-gi skeptis telah memberikan otoritas yang memperkenankannya menolak metodologi alternatif, bahkan metodologi ilmu-ilmu alam yang tergantung hanya pada apa yang dapat dilihat dan dirasakan.

(19)

karenanya, penemuan apa pun oleh akal yang membawa pada kejadian fenomena tertentu dipandang sebagai sebentuk penaf-siran. Penafsiran semacam ini, secara inheren akan membawa pada pengendalian dan pengarahan terhadap apa yang didefi-nisikan. Ilmu-ilmu alam akan membawa pada kontrol atas selu-ruh alam, akibatnya apa pun dapat diberlakukan pada alam dan ilmu-ilmu alam dapat diterapkan pada pemahaman manusia dan perilakunya dengan tujuan untuk menggunakannya demi mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.

(20)

mengkaji Muslim dan masyarakat Islam. Ini sejalan dengan pernyataan Smart (1989: 11) bahwa sejarah agama-agama mesti lebih dari mengurutkan peristiwa-peristiwa: ia harus berupaya untuk masuk ke dalam makna peristiwa-peristiwa itu sendiri.

Jadi, kunci untuk masuk ke dalam makna peristiwa-peristiwa Islam ada dalam pemahaman tentang kepasrahan individu kepada Tuhan atau Islam yang dijalani oleh para pengikutnya selama perjalanan hidup mereka. Kini, dalam Islamic Studies di Barat, para sarjana Barat perlu mengapresiasi metodologi kajian Islami dalam rangka memahami bagaimana cara Muslim berpikir. Dengan definisi metodologi semacam ini maka “dimensi spiritual” sekaligus “dimensi ilmiah” dapat dijangkau secara bersamaan.

2. Pendekatan Apologetik Insider

(21)

ti-dak ada hubungannya sama sekali dengan jiwa Islam (al-Umari, 1987: 110).

Argumen semacam ini sering dinyatakan oleh kalangan Muslim dan membawa pada persoalan apakah mungkin atau tidak memisahkan Islam sebagai teori dari praktik aktualnya sebagaimana teramati dalam realitas dunia Islam. Realitas yang salah arah ini rupanya melahirkan dekadensi dan kemunduran pada semua tingkatan dan kita dapat mempertanyakan apakah Islam merupakan pandangan hidup yang gagal dalam masyara-kat kontemporer. Jika benar, maka akan ada kebutuhan untuk mengadopsi metodologi berpikir yang lebih sejalan dengan ma-syarakat modern sebagai sarana untuk mencapai apa yang dise-but kebudayaan yang lebih maju. Ini penting setidaknya bagi mereka yang hidup di Barat dan membutuhkan Islam pribumi yang berdasarkan atas nilai-nilai asli dan Islam tentang sains dan pengetahuan kehidupan. Metodologi semacam ini membutuh-kan bahan-bahan sebagai berikut:

(22)

Kedua, upaya mempopulerkan tujuan Islam dalam men-ciptakan banyak masyarakat dan kebudayaan sehingga Islam berhasil sebagai fenomena kebudayaan sekaligus fenomena ke-agamaan. Dua hal ini setidaknya dapat diidentifikasi, jika tidak dikatakan sebagai pemisahan. Pemahaman tentang Islam seba-gai agama akan lebih baik dipahami jika dilihat dari dalam, se-bagaimana disebut oleh Smart sebagai dimensi-dimensi agama (akan dijelaskan pada bab II). Lebih lanjut, ada kebutuhan un-tuk mengidentifikasi hubungan integral antara hakikat Islam se-bagai agama yang diwahyukan Tuhan dan sese-bagai fleksibilitas kultural yang membuatnya dapat diterima. Jika Islam dipahami murni sebagai agama, ini akan membuatnya seperti sel yang ko-song dan akan kehilangan kekuatan dan kemampuan dinamis-nya untuk melahirkan hasrat dan visi kemanusiaan.

(23)

seperti jigsaw yang membentuk gambar utuh. Pada akhirnya, konsep tentang realitas yang dipahami sebagai wujud yang diderivasi dari kesadaran Tuhan yang Maha Esa, patut dipahami dengan cara seperti di bawah ini.

Berbagai posisi tentang realitas Islam, seperti dipahami kaum Sufi adalah fenomena yang divergen yang dapat dipahami menurut berbagai perspektif dan aspek, meskipun sumber dan tujuannya serupa. Ada kontradiksi yang muncul, namun salah antara mistisisme/sufisme dan arus utama Islam. Padahal sufisme adalah sisi paling dalam dari struktur realitas Islam sepanjang ia dipahami dari sumber dan tujuan Tuhan. Tuhan dalam Islam adalah Pencipta dan Pemelihara dan hubungan antara Dia dan manusia itulah yang dimaksud Sufi. Jika dikotomi ini dipahami, maka hasilnya tidak kontradiksi; sebaliknya kesalahpahaman mengenai hal ini mengarah pada penyimpangan dan penghargaan Islam atas jiwa manusia akan disalahmengerti. Hubungan spiritual antara Tuhan dan manusia memiliki aspek sosial, yang dalam dunia Sufi disebut sebagai jalan kolektif dan jalan individual menuju Tuhan, tariqah.

Tariqah berarti menerima banyak jalan dalam keimanan Islam. Sayangnya, ada ketidakseimbangan di mana ortodoksi Islam telah menuduh heterodoksi sebagai bidah. Salah satu alasan mengapa Islam menolak individu-individu seperti al-Husayn ibn Mansur al-Hallaj (858-922) adalah karena ia memahami dirinya sendiri sebagai bagian dari wujud Tuhan, daripada sebagai wujud bersama Tuhan.

(24)

dan metode penelitian objektif. Contoh yang relevan mengenai hal ini dapat dilihat pada berbagai isu yang dihadapi para sarjana Barat dan Islam ketika mengutip Al-Qur’an. Sarjana non-Muslim berasumsi bahwa Al-Qur’an bukan firman Tuhan; dalam banyak tulisan kaum orientalis awal digambarkan bahwa Al-Qur’an merupakan perkataan Muhammad. Di sisi lain, sarjana Muslim percaya bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan sehingga mereka memulai kutipan dengan “Tuhan berfirman”, sementara sarjana non-Muslim memulainya dengan “Muhammad berkata”. Kita menghadapi masalah nyata di sini. Bila kita menerima pandangan sarjana non-Muslim itu berarti akan menyakiti keimanan Muslim atau para mahasiswa Muslim yang datang ke Barat untuk memperluas pengetahuan mereka. Barangkali kompromi terbaik adalah menganjurkan kepada mereka agar memulai dengan ungkapan “Al-Qur’an mengatakan”, atau “dinyatakan dalam Al-Qur’an”. Mesikpun ini juga dikritik sebagai penegasian aspek ketuhanan, namun sudah merupakan solusi terbaik untuk mendamaikan masalah di atas.

3. Kritik Radikal atas Metodologi Barat

(25)

Jika Anda menggunakan teknik-teknik Barat, maka Anda akan menafsirkan Islam sesuai dengan kritik Heidegger dan kritik sastra yang banyak digunakan Nietzsche dan Foucault. Jika Anda melakukan studi bahasa, maka Anda akan bersandar pada antropologi dan kritik sastra, hal ini juga berarti Anda kembali kepada Levi Straus dan lain-lain dan problem relativitas. Kini, satu pertanyaan muncul ketika Anda menerapkan apa pun teknik-teknik ini adalah bagaimana Anda akan melihat Al-Qur’an dan Sunnah? Akankan Anda memandangnya hanya sebagai teks-teks sejarah? Jika Anda mengatakan demikian, maka Anda telah membuat kesalahan besar dalam bidang Akidah. Inilah masalah-masalah yang muncul dalam Islamic Studies di Barat, menentang namun tidak memiliki basis yang nyata dalam sumber-sumber Islam. Jadi, kita bukan Barat secara keseluruhan dan bukan pula Muslim secara keseluruhan dalam hal pemikiran. Komentar mereka juga menyatakan, mungkin ada manfaat melakukan penelitian di Barat dalam Islamic Studies, namun karena kami adalah Muslim, kami harus setia kepada agama kami (Ahl-Hadith, 2006).

4. Kritik Metodologi dari Dalam (

from within

)

(26)

menerapkan yang nyata kepada yang ideal dalam kehidupan keseharian. Ini seringkali tampak ketika ideal-ideal historis menjadi sebentuk pelarian dari tanggung jawab sosial untuk membenarkan kegagalan hidup mereka. Kedua, kesalahan dalam memahami hubungan antara sebab dan akibat, khususnya dalam kesalahpahaman tentang doktrin tentang ketergantungan kepada Tuhan dimaknai sebagai penghapusan peran sebab dalam penciptaan dan akibatnya. Ketiga, kekeliruan memahami pandangan komprehensif Islam tentang alam. Ini dapat dilihat pada hubungan antara komponen-komponen yang nyata dan yang gaib dalam kosmos ini atau dengan melihat pada bagian parsial dari masalah ini atau faktor waktu.

(27)

Peradaban Barat telah membuktikan kekuatan dan supremasi-nya terhadap peradaban-peradaban lain melalui peran mereka dalam sains, teknologi dan industri. Inilah peradaban yang mempergunakan metodologi empirik dan organisasi untuk mendekati fenomena alam untuk melayani kebutuhan manusia. Dengan mengkombinasikan peradaban instrumental ini dengan paham Islam tentang nilai, kemajuan yang berarti bisa diraih di dunia Muslim khususnya dan menyebar ke seluruh dunia pada umumnya.

5. Problem Pendekatan Emik dan Pendekatan Etik

Problem metodologis juga muncul berkenaan dengan sia-pakah yang dipandang lebih otoritatif dalam melakukan kajian Islam, apakah mereka yang menjadi orang dalam atau mereka yang disebut sebagai orang luar. Problem serupa sesungguhnya pernah dialami juga dalam disiplin Sejarah Agama-agama (The History of Religions). Pada akhir abad ke-20, Belanda telah mem-berikan kontribusi terhadap studi akademik agama-agama yang berupaya mengembangkan suatu metode empirik bagi Religious Studies baik dalam hal klasifikasi wacana maupun istilah-istilah yang dipinjam dari kosakata teknis dari ilmu-ilmu bahasa yang mereka transformasikan ke dalam Antropologi Budaya. Dalam karya-karya mereka tampak usaha untuk membedakan antara dua tipe berbeda tentang perbincangan mengenai agama, yakni

pendekatan emik yang menyajikan pola-pola pemikiran dan aso-siasi simbolik yang diungkap dari perspektif kaum beriman, dan

(28)

Memang ada kesulitan berkaitan dengan dua model kajian semacam itu, khususnya pada masa modern ketika diterapkan pada Studi Islam. Ada pertentangan antara pendekatan akademik yang mendorong peneliti dan pengkaji memosisikan diri seo-lah-olah sebagai “orang luar” (outsider) dan pendekatan konfen-sional yang hanya menerima perspektif “orang dalam” (insider); antara pengkaji Muslim dan pengkaji Barat. Suatu perdebatan yang sering kali menjadi hambatan dalam wacana publik ten-tang identitas dan politik kekuasaan. Mempertimbangkan reali-tas historis tersebut, pemikiran kembali tentang bidang sejarah intelektual Muslim harus dimulai dari pengakuan mengenai fakta bahwa lebih dari satu abad hingga kini, kita masih diha-dapkan dengan wacana pendekatan emik dan pendekatan etik tentang Islam, dan persoalan ini mengandung dinamika yang kompleks dan kreatif dalam pemikiran Islam. Barangkali con-toh yang paling menonjol dalam interaksi polemik intelektual antara sarjana Barat modern dan sarjana Muslim dapat dijumpai pada perdebatan di akhir abad ke-19 antara Jamal al-Din al-Af-ghani dan Ernst Renan tentang hubungan Islam dan sains dan kemajuan yang dipandang mencakup modernitas pada masa itu. Perdebatan ini memunculkan kontroversi yang berlanjut sepanjang abad ke-20 sebagaimana dikemukakan oleh karya-karya para pemikir seperti Muhammad Abduh, Ameer Ali, dan Sayyid Ahmad Khan, dan belakangan Sayyid Qutb, Abul A’la al-Maududi, Ismail Raji al-Faruqi dan lain-lain.

(29)

sosial Muslim di Afrika Utara, dan pengaruh karya Geertz atas perdebatan yang terjadi di kalangan Muslim Indonesia. Karya-karya semacam ini mendapatkan tempat di kalangan Muslim di mana pendekatan eklektik lebih tampak dalam karya-karya itu daripada pendekatan yang mengkombinasikan antara para penulis Barat yang sering dikutip dalam literatur Islam modern dengan karya-karya klasik era kolonial, seperti penggambaran Carlyle tentang Muhammad dalam On Heroes, Hero-Worship, dan

The Heroic in History serta karya Lothrop Stoddard New World of Islam secara bertahap memberikan arah bagi karya-karya seperti Maurice Bucaille La Bible, Le Coran, et la Science, dan karya Samuel Huntington Clash of Civilizations.

Dalam menilai perkembangan tersebut, tugas yang paling penting bukanlah menemukan bibliografi dengan judul-judul yang popular, namun lebih dari itu ialah melakukan evaluasi kritis terhadap karya-karya semacam itu yang sesuai dengan kebudayaan intelektual dan kebudayaan popular masyarakat Muslim modern.

(30)

karya Ziya Golkap di Turki, Ali Shariati di Iran, Nurcolish Madjid dan Ahmad Syafii Maarif di Indonesia. Yang lebih baru adalah perkembangan hermeneutics dan bidang-bidang kelimuan Hu-maniora yang juga mencerminkan perkembangan lebih jauh dalam karya-karya para pemikir seperti Muhammad Arkoun dan Nasr Hamid Abu Zayd.

Sedikit contoh dari Indonesia pada pertengahan abad ke-20 juga dapat disebutkan di sini. Dalam karyanya tentang sejarah sufi, Hamka memuji Louis Massignon sebagai pilar utama kaum orientalis dan mengutip secara positif karyanya tentang al-Hallaj, sekaligus teorinya tentang peran kaum sufi Irak abad ke-10 bagi perkembangan Islam di kepulauan Indonesia (Hamka, 1952: 116). Karya HAR. Gibb yang memberikan gambaran holistik tentang hakikat Islam menjadi dominan dalam ceramah-ceramah umum dan karya-karya M. Natsir yang dipublikasikan sepanjang pertengahan abad ke-20. Bahkan, pengaruh konsepsi tentang Islam yang asalnya berkembang di Barat pun terjadi pada pemahaman kaum fundamentalis modern tentang Islam sebagai sistem dan pandangan hidup menyeluruh, dan ini diakui lebih luas dalam berbagai analisis tentang masa depan intelektualisme Muslim modern.

(31)
(32)
(33)

A. Pengalaman Keagamaan dan Ekspresinya

S

etiap kajian ilmiah menghendaki objek sebagai prasyarat utama. Kejelasan objek memudahkan para pengkaji mem-buat batasan akan ruang lingkup suatu studi. Studi Islam sebagai kajian ilmiah pada intinya adalah upaya mencari pemahaman mengenai hakikat agama, bukan sekadar fungsi agama. Hakikat agama itu terletak pada pengalaman keagamaan.

Joachim Wach (1958) menjelaskan beberapa kriteria menge-nai pengalaman keagamaan. Pertama, pengalaman keagamaan merupakan suatu respon terhadap apa yang dialami sebagai Re-alitas Ultim (the Ultimate Reality). Realitas Ultim di sini artinya sesuatu yang “mengesankan dan menantang kita”. Pengalaman ini melibatkan empat hal, yaitu asumsi tentang adanya kesadar-an, yakni pemahaman dan konsepsi; respon dipandang sebagai

RUANG LINGKUP OBJEK

KAJIAN STUDI ISLAM

(34)

bagian dari perjumpaan; pengalaman tentang Realitas Ultim mengimplikasikan relasi dinamis antara yang mengalami dan yang dialami; dan kita perlu memahami karakter situasional dari pengalaman keagamaan itu sendiri dalam suatu konteks tertentu.

Kedua, pengalaman keagamaan itu harus dipahami sebagai suatu respon menyeluruh terhadap Realitas Ultim, yaitu pribadi yang utuh yang melibatkan jiwa, emosi dan kehendak sekaligus. Karenanya, pengalaman keagamaan terdiri dari suatu hirarki tiga unsur, yaitu intelektual, afeksi, dan kesukarelaan.

Ketiga, pengalaman keagamaan menghendaki intensitas, yaitu suatu pengalaman yang sangat kuat, komprehensif, dan mendalam. Para tokoh pembawa agama sepanjang masa dan di manapun telah memberikan kesaksian tentang intensitas ini baik dalam pikiran, ucapan maupun tindakan. Dalam Islam misalnya, antusiasme yang bergairah terhadap Allah telah mem-bangkitkan spiritualitas Nabi Muhammad, dan para tokoh lainnya seperti Rabiah al-Adawiyah, al-Hallaj, Ibnu Taimiyah, Ibnu Hanbal, al-Afghani, dan sebagainya.

Keempat, pengalaman keagamaan sejati selalu berujung pada tindakan. Ia melibatkan imperatif, sumber motivasi dan tindakan yang kuat. Praktik-praktik dan tindakan-tindakan kita dalam keseharian merupakan bukti nyata bahwa kita seorang yang beragama sejati.

(35)

lang-sung dari kajian ilmiah dalam Studi Islam. Meskipun demiki-an, para pengkaji agama-agama tidak perlu khawatir, karena pengalaman keagamaan bisa dipelajari melalui bentuk-bentuk ekspresinya yang meliputi tiga hal sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini.

Ekspresi dalam Pikiran

Ekspresi pengalaman keagamaan dalam pikiran ialah ung-kapan intelektual orang yang mengalami perjumpaan dengan Tuhannya. Ekspresi teoretis dari pengalaman keagamaan ini yang utama berbentuk mitos. Mitos adalah cara yang unik dan primitif untuk memahami realitas. Di dalam realitas mitos yang agung, konsepsi manusia tentang ketuhanan benar-benar dapat diartikulasikan. Simbol adalah cara atau wahana untuk mengar-tikulasikan konsepsi manusia tentang relitas Tuhan.

Ekspresi kedua dari pengalaman keagamaan dalam pikiran ialah doktrin dan atau dogma. Doktrin atau ajaran berfungsi untuk: mengeksplikasi dan mengartikulasikan keimanan; meru-pakan aturan normatif bagi kehidupan dalam ibadah dan peng-hambaan; untuk mempertahankan keimanan dan mendefinisi-kan hubungannya dengan pengetahuan lain. Dalam pengertian ini, doktrin bersifat mengikat dan bermakna hanya bagi komu-nitas orang-orang yang mengimaninya, dan bukan orang lain.

(36)

Ekspresi dalam Tindakan

Ekspresi pengalaman keagamaan dalam tindakan ialah tin-dakan-tindakan keagamaan yang menjadi sarana bagi perjum-paan manusia dengan Tuhannya. Dua bentuk ekspresi tindakan yang utama ialah ketaatan dan penghambaan. Keduanya ber-hubungan erat. Realitas Maha Agung disembah dalam suatu tin-dakan pemujaan dan diabdikan untuk untuk merespons pang- gilan dan kewajiban untuk menyatu dengan Tuhan. Maka, dalam setiap tingkatan, ibadah itu selalu bermakna (menghamba ke-pada) Tuhan. Disibukkan dengan kemahasucian dan keagungan Tuhan, ibadah yang dilakukan oleh manusia adalah upaya un-tuk menetralisasi kekurangan hakikat keprofanannya.

Ibadah adalah tindakan tertinggi dari manusia dalam ke-hidupan ini. Ia merupakan respons atas Realitas Ultim. Ia juga merupakan pemujaan dan rasa syukur kemahaagungan dan ke-mahasucian Tuhan.

Jadi, Studi Islam mempunyai suatu wilayah kajian yang menyangkut seluruh tindakan ibadah dan penghambaan dalam Islam, yang terungkap dalam rukun Islam yang lima –syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji–, dan tindakan-tindakan lain yang menyertainya dalam kerangka pengabdian dan penghambaan kepada Allah.

Ekspresi dalam Jamaah

(37)

cara menjalankan kebenaran itu. Yang dimaksud kelompok atau komunitas keagamaan itu lebih dari sekadar asosiasi atau per-kumpulan, namun juga menghadirkan dirinya sendiri sebagai mikrokosmos dengan seluruh hukum-hukumnya, pandangan-nya tentang kehidupan, sikap dan atmosfer kehidupan.

Integrasi kelompok keagamaan telah menjadi subjek banyak studi dalam Sosiologi Agama. Salah satu subjek penting dalam kajian ini ialah struktur kelompok keagamaan. Struktur ini ditentukan oleh dua perangkat faktor, yaitu faktor keagamaan dan faktor di luar keagamaan. Anugerah-anugerah spiritual seperti penyehatan dan pengajaran adalah contoh-contoh faktor keagamaan; sementara umur, posisi sosial, etika dan latar belakang merupakan faktor non-keagamaan.

Ada empat faktor yang menentukan diferensiasi dalam ke-lompok atau komunitas keagamaan: Pertama, diferensiasi dalam fungsi. Meskipun di dalam kelompok kecil yang hanya terdiri dari beberapa anggota saja yang diikat dengan ikatan pengala-man keagamaan bersama, kita mesti dapat menemukan pem-bagian fungsi. Misalnya, anggota-anggota kelompok yang senior dan lebih berpengalaman biasanya akan menjadi pemimpin dalam ibadah atau pemujaan, sementara yang lebih muda ber-tugas mempersiapkan alat-alat atau benda-benda yang dibutuh-kan dalam ibadah qurban misalnya.

Kedua, diferensiasi atas dasar karisma. Dalam kelompok ke-agamaan yang paling egalitarian sekalipun, ada pengakuan ten-tang keragaman anugerah yang menjelaskan perbedaan dalam otoritas, prestise, dan posisi dalam komunitas. Max Weber mem-perluasnya menjadi karisma personal dan karisma resmi.

(38)

muda biasanya memainkan peran berbeda dalam kehidupan komunitas keagamaan baik secara individual maupun kolektif. Perempuan dan lelaki seringkali dipisahkan dalam kultus atau fungsi-fungsi tertentu, sementara di lain aktivitas mereka dapat bercampur baur. Keempat, diferensiasi atas dasar status.

B. Dimensi-dimensi Agama

Islam adalah salah satu dari agama-agama yang hidup di du-nia. Karena itu, untuk dapat mengkaji Islam sebagai bagian dari agama, para pengkaji perlu memahami dan memikirkan tentang agama. Ada beberapa esensi yang dapat dijumpai dalam keselu-ruhan agama-agama. Meskipun berbeda tradisi dan kebudayaan, sangat mungkin untuk menemukan beberapa dimensi-dimensi agama. Dari sini mereka dapat melihat dimensi-dimensi Islam yang dapat dijadikan objek studi ilmiah. Menurut Smart (1989), semua agama-agama yang hidup di dunia ini memiliki tujuh di-mensi sebagaimana akan dijelaskan sebagai berikut.

Dimensi Praktik dan Ritual

Setiap tradisi agama-agama memiliki beberapa praktik ke-agamaan yang dilakukan oleh para pemeluknya, seperti ibadah yang teratur, berdoa, persembahan, dan seterusnya. Praktik-praktik ini biasa juga disebut sebagai ritual-ritual keagamaan. Dimensi praktik dan ritual ini khususnya dipandang penting dalam agama-agama yang memiliki praktik sakramen, seperti Kristen Ortodoks Timur yang telah mempunyai tradisi panjang yang dikenal sebagai liturgi. Tradisi biara Yahudi kuno terbiasa dengan praktik pengorbanan. Demikian pula ritual-ritual pe-ngorbanan dianggap penting dalam tradisi Hindu Brahmin.

(39)

ber-fungsi untuk meningkatkan kesadaran spiritual atau ketajaman etis: praktik-praktik seperti Yoga dalam tradisi Hindu dan Budha, meditasi yang dapat menolong orang meningkatkan rasa cinta dan kesabaran, dan sebagainya. Praktik-praktik ini dapat dikom-binasikan dengan ritual-ritual persembahan.

Dalam konteks Islam, dimensi-dimensi praktik dan ritual ke-agamaan berupa rukun Islam yang lima: syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Lima rukun menjadi kategori utama ri-tual Islam dan peristiwa-peristiwa yang lebih kurang tersusun di bawahnya dalam bentuk yang teratur. Misalnya, Idul Adha/Qurban bera-kar dalam haji; Idul Fitri berperan sebagai penutup puasa Ra-madan. Salat khusus pada saat terjadi gerhana mata-hari atau bulan. Semuanya dilakukan secara teratur. Empat dari lima ru-kun mempunyai rujukan komunal dan dibuat untuk mengeks- presikan dan menyalurkan kekuatan rukun pertama syahadat yang secara implisit mengandung gambaran iman Muslim yang sempurna. Dua dari rukun ini juga mempunyai rujukan tempat yang kuat karena salat dan haji dipusatkan pada Ka’bah di Mek-kah. Salat, puasa dan haji juga mempunyai waktu tertentu se-hingga Islam memiliki serangkaian ritual yang berkaitan dengan ruang dan waktu suci (Denny dalam Martin, 1985).

Karena itu, Studi Islam dapat mempelajari dan mengkaji semua bentuk praktik dan ritual atau ibadah dalam Islam, baik ritual kenosis (pengosongan diri) seperti puasa Ramadan, mau-pun ritual plerosis (pengisian diri) seperti zakat, dan qurban.

Dimensi Pengalaman dan Emosional

(40)

visi-visi yang diperlihatkan oleh Nabi Muhammad atau pencerahan yang dialami Budha Gautama. Ini jelas menggambarkan ten-tang emosi-emosi dan pengalaman-pengalaman para pemeluk agama-agama. Dimensi ini merupakan makanan bagi dimensi-dimensi agama lainnya. Ritual tanpa emosi terasa dingin; ajaran tanpa cinta itu kering. Jadi, sedemikian penting dalam mema-hami suatu tradisi kita berusaha untuk masuk ke dalam per-asaan-perasaan untuk merasakan kesakralan, kedamaian, dan dinamika batiniah, sensasi harapan, persepsi kekosongan, dan rasa syukur yang mendalam.

Rudolf Otto (1860-1937) melukiskan dengan tepat ten-tang dimensi ini dengan kata “numinous”, yang artinya spirit. Dari kata ini, ia menjelaskan suatu pengalaman, perasaan yang dibangkitkan oleh suatu misteri yang menggetarkan, menakut-kan, mendebarkan (mysterium tremendum), dan sekaligus misteri yang mempesona, menarik penghambaan (mysterium fascinans). Inilah yang dalam konteks Islam dapat dimengerti bahwa yang pertama merupakan manifestasi Allah sebagai al-Jalal, dan yang kedua sebagai al-Jamal. Ini semacam pengalaman mistik yang mudah dijumpai dalam semua agama tak terkecuali Islam.

Dimensi pengalaman dan emosi dari para pemeluk Islam mengenai Tuhan Allah, apakah kehadiran-Nya dirasakan oleh hamba-Nya sebagai Yang Maha Agung, atau sebagai Yang Maha Indah dan Mempesona, dapat menjadi bagian dari objek kajian ilmiah dari Studi Islam.

Dimensi Naratif dan Mitos

(41)

dari semua keimanan untuk menyampaikan suatu kisah-kisah penting. Sebagian kisah itu bersifat historis, terjadi dalam di-mensi ruang dan waktu nyata; dan sebagian lainnya berkenaan dengan waktu primordial yang misterius ketika dunia belum muncul dalam waktu yang belum dapat dinamakan; sebagian tentang segala hal yang datang dan berakhir pada suatu waktu; sebagian tentang kisah para pahlawan dan orang-orang suci; se-bagian tentang para pendiri dan pembawa agama-agama, seperti Musa, Isa, Muhammad, dan lain sebagainya.

Dalam Islam kita dapat menjumpai kisah-kisah tentang penciptaan alam semesta sebelum masa sejarah, penciptaan Adam dan Hawa dalam surga dan akhirnya terhempas ke muka bumi. Ini merupakan contoh kisah-kisah yang terjadi dalam waktu primordial yang misterius, tidak historis. Di sisi lain, terdapat kisah-kisah dan peristiwa-peristiwa historis tentang kehidupan Nabi Muhammad, para sahabatnya, para pejuang Muslim, dan sebagainya. Yang tidak historis itulah yang disebut sebagai mitos; dan yang historis disebut sebagai narasi.

Studi Islam memiliki bahan yang sangat kaya dengan men-jadikan kisah-kisah yang naratif maupun mitos ini sebagai ob-jek kajiannya. Kajian tentang kisah-kisah bisa bersumber dari Al-Qur’an, hadis nabi, kitab-kitab sirah yang tertulis, maupun kisah-kisah yang hanya ditransmisi secara oral dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Dimensi Doktrin dan Filosofis

(42)

agama dipegang oleh mereka yang terpelajar dan berusaha men-cari dasar-dasar intelektual/filosofis sebagai basis dari iman.

Wajar terjadi dalam sejarah agama-agama kecenderungan mementingkan kitab suci dan doktrin. Ini tidak mengherankan karena banyak pengetahuan yang kita miliki tentang agama-agama terdahulu berasal dari dokumen-dokumen keagama-agamaan yang dipelajari oleh kaum elite mereka.

Dalam konteks Islam, dimensi ajaran tentu saja sangat mudah ditemukan dalam dua sumber utama tertulisnya, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Di balik ajaran-ajaran itu para pemeluk Islam dan bahkan para pengkaji Islam pun dapat menemukan muatan-muatan filosofis dari agama/Islam. Dalam haji, kita jumpai ajaran tentang rukun, kewajiban dan larangan di dalam-nya. Ajaran tentang ihram (berpakaian putih-putih) selama melaksanakan haji atau umrah, secara filosofis mengandung pesan egalitarianisme, kesetaraan manusia di hadapan Allah. Tawaf penuh dengan muatan filosofis bahwa beribadah bukan semata menciptakan harmoni dengan Tuhan Allah di mana Ka’bah menjadi pusat, bahkan juga melukiskan harmoni dalam makrokosmos di mana selalu ada benda-benda yang menjadi satelit dan mengelilingi pusatnya.

Studi Islam dapat membuat salah satu fokus perhatiannya pada dimensi ajaran dan filosofis dari Islam itu sendiri. Kajian-kajian bisa menitikberatkan pada ajaran-ajaran di satu sisi, dan ada pula yang menekankan pada dimensi filosofis dalam Islam yang tak kurang-kurangnya terus digali oleh para mahasiswa, dosen, dan pembelajar lainnya.

Dimensi Etika dan Hukum

(43)

menjawab persoalan tentang pembebasan dan penyelamatan utama. Hukum terkait dengan sumber yang melahirkannya yang disebut sebagai dimensi etika dari suatu agama. Dalam Budha misalnya, terdapat lima kebenaran utama yang mengikat secara universal, yang bersamaan dengan seperangkat aturan lainnya mengendalikan kehidupan para rahib dan pendeta dan komunitas biara. Dalam Yahudi terdapat 10 perintah Tuhan, bahkan lebih dari 600 aturan yang diturunkan oleh Tuhan kepada komunitas mereka.

Dalam konteks Islam, kita mengenal kehidupan yang di-pandu oleh sistem hukum yang disebut syariah. Dimensi ini membentuk masyarakat baik sebagai masyarakat keagamaan maupun masyarakat politik, sekaligus kehidupan moral indivi-dual –yang menjelaskan kewajiban beribadah salat lima waktu sehari semalam, memberi makan fakir miskin dan zakat, dan seterusnya–.

Tradisi yang lebih kurang terkait dengan masalah hukum ini adalah etika. Misalnya sikap etis dalam agama Kristen adalah cinta. Sumber cinta bukan hanya perintah Yesus kepada para pengikutnya untuk mencintai Tuhan dan para tetangganya, ia juga bersumber dari kisah tentang Yesus itu sendiri yang memberikan cintanya kepada umat manusia.

(44)

Majid Fakhry (1991). Yang pertama mengkaji teologi keadilan, dan yang terakhir menstudi teori-teori etika dalam Islam.

Dimensi Sosial dan Institusional

Dimensi-dimensi yang sudah dipaparkan di muka –ritual, pengalaman, narasi, doktrin dan etika–, merupakan dimensi-di-mensi yang abstrak tanpa memiliki perwujudannya dalam ben-tuk eksternal. Dimensi sosial dan institusional bicara tentang manifestasi eksternal dari agama. Setiap gerakan keagamaan terbentuk dalam kelompok pemeluk yang seringkali diorganisir secara formal seperti gereja, sangha atau ummah. Untuk mema-hami agama kita perlu melihat bagaimana agama itu bekerja di kalangan pemeluknya. Inilah alasan mengapa diperlukan suatu alat untuk menyelidiki agama, yakni suatu disiplin yang dikenal sebagai sosiologi agama. Kadang-kadang, aspek sosial dari suatu pandangan dunia identik dengan masyarakat itu sendiri, yang dalam bentuk terkecil adalah suku misalnya. Di sana terdapat berbagai relasi antara agama-agama formal dan masyarakat luas: suatu keimanan mungkin menjadi agama resmi, atau ia hanya menjadi satu denominasi saja, atau mungkin bisa mengasing-kan diri dari kehidupan sosial seperti sekte.

(45)

Dimensi Material

Dimensi material ialah segala manifestasi agama yang bersifat kebendaan, seperti bangunan-bangunan peribadatan (masjid, pura, wihara, klenteng, sinagog), tempat-tempat suci, pekerjaan tangan atau seni keagamaan, dan kreasi-kreasi material lainnya. Simbol-simbol keagamaan seperti salib, bulan bintang, dan sebagainya, juga termasuk dimensi material.

Studi Islam dapat mengkaji aspek material dalam agama Is-lam. Ketika salat, kita menjumpai benda-benda yang dipergu-nakan dalam peribadatan ini, mulai dari sajadah, peci, muke-nah, tasbih, masjid, mimbar. Ketika salat, Muslim menghadap Ka’bah sebagai kiblat. Ketika haji, Muslim mengelilingi Ka’bah, mengusap hajar aswad, di dalamnya juga ada hijr Ismail, mas-jid haramain, makam nabi Muhammad dan Ibrahim, dan seba-gainya. Semua itu adalah dimensi kebendaan yang digunakan dalam peribadatan dan ritual-ritual lainnya. Benda-benda ke-agamaan yang dipandang suci bukan semata menjadi objek ka-jian ilmiah, bahkan seringkali menjadi objek ziarah atau wisata agama bagi para pemeluknya. Bahkan kita juga menjumpai satu benda keagamaan yang dianggap suci oleh beberapa pemeluk agama sekaligus, seperti Masjid al-Aqsa yang dianggap suci dan menjadi kiblat bagi kaum Yahudi, Nasrani dan Muslim.

C. Cara Beragama

(46)

be-ing religious) atau bentuk penghayatan yang selaras dengan ke-peribadiannya dan situasi dalam kehidupan.

Dale Cannon (2002) menjelaskan tentang enam cara beragama yang dapat dijumpai hampir di semua agama-agama yang hidup di dunia, tak terkecuali Islam. Enam cara beragama itu adalah sebagai berikut: Pertama, jalan menuju Tuhan melalui pelaksanaan kewajiban tanpa pamrih, termasuk sejumlah ritual dan perbuatan baik. Cara beragama semacam ini disebut juga cara perbuatan benar (way of right action). Tujuannya ialah memenuhi peran dalam hidup ini sebagai sebuah kemestian Ilahi, menunaikan semuanya dengan kesadaran bahwa peran seseorang telah ditetapkan oleh Tuhan sejak zaman azali.

Cara beragama ini dalam konteks Islam memusatkan per-hatian pada perbuatan dan tingkah laku yang benar. Itulah etika atau akhlak, baik yang sifatnya individual maupun kolektif. Ia mencakup prinsip-prinsip moral yang mendasar, aturan-aturan kelembagaan dan kewajiban-kewajiban khusus.

Kedua, jalan menuju Tuhan melalui pemujaan dan ketaatan. Ini biasa disebut cara ketaatan (way of devotion). Tujuan ketaatan adalah menjadikan perasaan seseorang terbakar oleh cinta kepada Tuhan (mahabbah) semata, meniadakan semua perasaan yang lain dalam merespons karunia-Nya yang penuh kasih dan sayang.

(47)

Dalam Islam, cara pencarian mistik dikenal dengan tradisi tasawuf dan tarekat. Para mistikus atau sufi berupaya melalui disiplin mujahadah melampaui maqam-maqam zuhud dan zikir untuk meraih dan merasakan hakikat Yang Maha Mutlak, Allah swt. Untuk mencapai ini para pencari (salik) biasanya membutuhkan bimbingan spirtual dari guru, wali, mursyid atau

qutub.

Keempat, jalan menuju Tuhan melalui kegiatan rasional, argumentatif, dan pemahaman intelektual. Cara beragama ini bertujuan untuk meraih perubahan pandangan hidup menuju dasar mutlak segala sesuatu; supaya akal manusia mencapai perspektif dan pengetahuan “akal absolut”. Cara beragama ini disebut cara penelitian akal (way of reasoned inquiry).

Dalam sejarah Islam, kita menjumpai ada sebagian indivi-du dan kelompok Muslim yang mementingkan upaya pencarian petunjuk-petunjuk untuk memahami masalah-masalah kognitif kehidupan, bayang-bayang argumentasi rasional dan pandangan dunia yang komprehensif serta sistematik sebagai sarana menuju Tuhan. Individu ataupun kelompok semacam ini dalam lintasan sejarah Islam dikenal dengan kelompok Mu’tazilah dan Qada-riah misalnya. Juga para filosof yang mengedepankan penelitian intelektual untuk memahami fenomena kehidupan.

(48)

Ritus suci dalam Islam adalah semua bentuk ibadah mahdah

yang telah ditetapkan cara-caranya, waktu-waktunya, maupun tempat-tempatnya. Dalam ritus suci ini juga termasuk ritus peralihan (rites de passage) seperti upacara kelahiran, aqiqah, pernikahan, dan kematian; upacara-upacara peneguhan dan pembatalan, seperti pernikahan, perceraian, adopsi, kontrak, persetujuan; dan ritual-ritual suci yang mengakui hal-hal yang suci dan menjaganya agar terpisah dari yang profan.

Keenam, jalan menuju Tuhan dengan membuka hubungan ke sumber-sumber supranatural dari imajinasi dan kekuatan, seperti peminjaman kekuatan ilahiah (kesurupan), lupa daratan, meracau, dan pengembaraan spiritual. Ini disebut sebagai cara mediasi samanik (way of shamanic mediation).

Dalam konteks Islam, kita bisa menyaksikan bagaimana sebagian orang memanfaatkan perantara orang-orang suci (shaman: wali, mursyid, dukun, guru) untuk menyampaikan hajatnya kepada Tuhan. Ini yang dikenal dengan tawasul. Termasuk dalam tradisi ini pula ialah orang-orang yang mempergunakan kekuatan supranatural (melalui mantra, aji-aji, jimat, doa-doa tertentu) untuk meraih tujuan-tujuan yang sifatnya natural.

(49)

S

tudi Islam mulai muncul pada abad ke-9 di Irak, ketika ilmu-ilmu agama Islam mulai memperoleh bentuknya dan berkembang di dalam sekolah-sekolah hingga terbentuknya tradisi literer di kawasan Arab masa pertengahan. Studi Islam bukan hanya berjalan di dalam peradaban Islam itu sendiri bahkan juga menjadi fokus diskusi di negara-negara Barat.

Bahkan, sebelum kemunculan Islam pada abad ke-7, orang-orang Arab sudah dikenal oleh bangsa Israel dan Yunani Kuno serta para pendiri gereja. Pandangan orang-orang Eropa tentang Islam sepanjang masa pertengahan diambil dari konstruk Injili dan teologis. Mitologi, teologi, dan missionarisme menyediakan formulasi utama tentang apa yang diketahui gereja mengenai Muslim sekaligus alasan-asalan bagi perkembangan wacana resmi tentang Islam. Secara mitologis, Muslim dipandang

SEJARAH PERKEMBANGAN

STUDI ISLAM

(50)

sebagai orang Arab, Sarasen, yang merupakan keturunan Ibrahim melalui Siti Hajar dan putranya Ismail.

Richard C. Martin dengan gamblang menjelaskan fase-fase perkembangan Studi Islam, antara lain sebagai berikut:

Fase Pertama (800-1100), masa di mana banyak bermunculan polemik teologis antara Muslim, Kristen dan Yahudi. Mitos dan legenda Yahudi-Kristen menyebutkan kemunculan kaum monoteistik Arab non-Yahudi dan Kristen pada abad ke-7. Polemik teologis sering terjadi dalam ruang publik atau dalam audiensi Khalifah atau pejabat remi negara, yang dilakukan oleh para mutakallimun. Kaum Yahudi dan Kristen sebagai kelompok atau ahlu zimmi berpartisipasi dalam ritual-ritual sosial diskur-sus dan perdebatan publik dengan kaum Muslim. Ini semua membutuhkan banyak pengetahuan tentang ajaran-ajaran Is-lam, dengan tujuan hanya untuk menolak ajaran tersebut.

Orang-orang Yahudi dan Kristen Eropa berupaya untuk mengkonstruk pemahaman mereka sendiri tentang Islam. Karena kurangnya pengalaman kerjasama dan perjumpaan di kalangan mereka ketika hidup di bawah kekuasaan Islam di Timur, Gereja Romawi memandang Islam sebagai “yang lain”, asing, musuh Kristen yang harus dikonversi melalui kampanye militer dan missionaris.

(51)

bangsa Sarasen dengan bangsa Ismail, keturunan Ibrahim dari Hajar.

Fase Perang Salib dan Kesarjanaan Cluny (1100-1500). Studi Islam untuk tujuan-tujuan misionaris mulai pada abad ke-12 pada masa Peter Agung (1094-1156), seorang Biarawan Cluny di Prancis. Ini adalah masa awal Perang Salib sekaligus reformasi besar kehidupan biara, yang kemudian menjadi lembaga utama pendidikan Kristen. Para pasukan Perang Salib dan rahib-rahib –yang menerjemahkan Al-Qur’an dan teks-teks Islam– berperan sebagai pihak-pihak yang menyerang peradaban Islam, yang membentuk batas-batas di sebelah selatan dan timur dari Kerajaan Kristen Barat. Pada masa ini, Peter Agung membentuk komisi penerjemahan dan penafsiran teks-teks Islam berbahasa Arab. Banyak karya mereka yang memahami Muhammad sebagai dewa bagi kaum Muslim, penyuka perempuan, penipu, orang Kristen yang murtad, ahli ilmu sihir, dan seterusnya. Korpus Cluny dikenal sebagai permulaan kanon kesarjanaan Barat tentang Islam. Peter juga memerintahkan para penerjemah untuk menerjemahkan Al-Qur’an, hadis, dan sirah Muhammad, serta teks-teks Arab lainnya.

(52)

Terjemahan paling berpengaruh adalah “Apologi al-Kindi”. Karya ini beredar dan populer di kalangan sarjana Kristen pada masa pertengahan karena karya ini menyediakan argumentasi menentang Islam. Serangan-serangan mereka ditujukan pada kenabian Muhammad, Al-Qur’an, dan jihad. Tiga tema besar ini membentuk topik-topik utama kesarjanaan Kristen pada masa pertengahan. Akhir abad 12 koleksi karya Ibnu Sina muncul dan beredar di Eropa. Sejalan dengan banyak terjemahan karya-karya filsafat dan keilmuan dari Arab ke dalam bahasa Latin, para sarjana Eropa mulai melihat dunia Muslim saat itu sebagai peradaban kaum terpelajar dan filosof, sangat berlawanan de- ngan pandangan negatif tentang Muhammad dan praktik-prak-tik keagamaan Islam. Keberhasilan militer dan diplomasi Sala-huddin al-Ayyubi (1138-1193) terkenal dalam legenda Eropa.

Fase Reformasi (1500-1650). Sejalan dengan Eropa memasuki periode perubahan keagamaan, politik dan intelektual pada abad ke-16, pengetahuan dan Studi Islam juga terpengaruh. Pada abad ke-14 dan 15, Eropa Timur mengganti Spanyol dan Palestina sebagai front utama antara Kerajaan Kristen Romawi Barat dan Islam. Pada pertempuran Kosovo pada 1389, Ottoman mengontrol Balkan Barat. Pada 1454, Ottoman mengambil alih Constantinopel. Banyak Kristen Ortodoks di wilayah taklukan ini masuk ke dalam militer dan pemerintahan Ottoman, yang menciptakan pluralisme keagamaan yang didominasi Islam. Gereja-gereja Ortodoks dilindungi oleh hukum Islam dan Ottoman mengakui hirarki dan tidak ikut campur dalam urusan-rusuan lokal gereja, inilah yang membuat Ottoman memperoleh dukungan dari gereja.

(53)

menganggap Muhammad sebagai kepala dan Islam sebagai tubuh anti-Kristus. Kaum Protestan membandingkan Roma dan Islam, melihat Islam sebagai bidah, bukan sebagai agama lain yang mempunyai haknya sendiri. Jadi, patut dicatat bahwa kaum reformis telah menghasilkan kesarjanaan tentang Islam yang tidak berbeda dari masa sebelumnya. Pada abad ke-16, edisi-edisi Al-Qur’an dan teks-teks Islam lainnya yang diterbitkan di Eropa cenderung mengikuti korpus Cluny pada empat abad sebelumnya.

Fase Penemuan dan Pencerahan (1650-1900). Kesarjanaan Eropa yang baru dan orisinal tentang Islam berkembang pada akhir abad ke-16 dan 17 karena beberapa alasan. Pertama, realitas politik baru agresi Ottoman. Ancaman Ottoman terhadap Eropa tidak berkurang hingga abad ke-18, ketika kerajaan Ottoman mengalami kemunduran dan keseimbangan kekuasaan bergerak ke Eropa. Faktor lain yang mendorong bangkitnya kesadaran Eropa tentang dunia Islam adalah tumbuhnya pelayaran dan ekspansi perdagangan melampaui Mediterania. Ekspansi pasar dan militer merupakan awal dari kolonialisme dan imperialisme. Eropa membuat pakta-pakta dengan negara-negara Muslim, misalnya Prancis dan Ottoman untuk melawan bangsa Hapsburg. Di sisi lain, alasan Eropa mempelajari Islam tidak lain adalah untuk membatasi perdebatan teologis seputar Al-Qur’an, nabi, dan penaklukan Muslim awal.

(54)

perdebatan teologis meskipun tidak menghilangkannya. Pada akhir abad ke-16, kajian bahasa Arab diperkenalkan di Collège de France dan pada 1635 diajarkan di Leiden dan Cambridge serta Oxford di Inggris. Karya-karya sarjana ahli bahasa Arab di universitas-universitas ini merupakan kesarjanaan Eropa perta-ma yang luas dan serius sejak korpus Cluny pada abad ke-12.

Akibat dari perkembangan ini ialah perubahan cara pandang tentang kehidupan dan misi Nabi Muhammad. Pada akhir abad ke-18, beberapa sarjana melihat Muhammad sebagai seorang dai agama yang lebih alami dan rasional daripada Kristen. Seba-gian lainnya masih memandang Muhammad sebagai ekstremis seksual dan politik. Minat mengkaji kehidupan Muhammad dan aspek-aspek lain dari sejarah Islam telah melahirkan para spesi-alis. Edmund Gibbon (1737-1794) menulis bab khusus tentang kehidupan Muhammad dan tahap-tahap sejarah Islam awal. Ia menyajikan Muhammad sebagai manusia spiritual jenius yang dalam pengasingannya (khalwat) di Mekkah, menerima wahyu suci monotheisme. Setelah hijrah dari Mekkah ke Madinah, Is-lam mulai memperoleh kemenangan dan kekuasaan militer. Namun, secara keseluruhan Gibbon menyajikan Muhammad secara positif. Karenanya, abad ke-18 ini diakhiri dengan suatu proyek kajian Islam yang lebih menyeluruh daripada korpus Cluny. Pada 1798, Napoleon menginvasi Mesir dengan kekua-tan militer, yang dibarengi oleh tim besar sarjana yang ditugasi untuk mengkaji dan mendokumentasikan bahasa, kebudayaan, dan agama penduduk Mesir. Hubungan yang tampak antara sarana-sarana ilmiah dan tujuan-tujuan politik adalah untuk menggantikan tujuan-tujuan Injili dari Studi Islam di Eropa.

(55)

dikunjungi dan dihubungi melalui berbagai sarana komuni-kasi dan transportasi. Banyak kesempatan bagi para sarjana, misionaris, pengusaha dan wisatawan Eropa berjumpa dengan masyarakat Islam saat itu. Kesempatan untuk mendiskusikan Islam dengan Muslim masih sering terjadi dalam bentuk perdebatan antara agamawan dan pemimpin Kristen dan Muslim, namun istilah polemik telah berubah, yakni merefleksikan ide-ide baru tentang agama dan evolusi penemuan ilmiah dalam ilmu-ilmu kemanusiaan.

Satu perkembangan menarik bagi Studi Islam ialah muncul-nya historisisme, suatu gagasan bahwa peristiwa seperti kemun-culan agama baru dapat dijelaskan sebagai suatu peristiwa yang tergantung dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Implikasi-nya adalah penolakan atas orisinalitas mutlak terhadap femone-ma sejarah yang dijelaskan. Implikasi lainnya ialah bahwa hanya kaum orientalis, ahli bahasa Arab yang mengkhususkan kajian teks-teks Islam, yang dianggap sebagai memiliki keterampilan ilmiah untuk mengkaji Islam. Sejarah Islam, agama, sains, seni, dan topik-topik lainnya menjadi domain yang hampir eksklusif milik orientalis daripada sejarawan atau spesialis dalam bidang agama, sains, dan seni.

(56)

Pembahasan tentang manusia sebagai makhluk beragama secara naluriah telah memberikan pengaruh atas studi-studi agama dan atas Studi Islam. Hampir seluruh masa pertengah-an abad ke-19 dpertengah-an awal abad ke-20 menyaksikpertengah-an upaya-upaya untuk membangun sains tentang studi agama ( Religionswissen-schaft). Karakteristik Studi Agama ini tergantung pada filologi sebagai metode utama dalam memahami peradaban lain, per- adaban kuno utamanya. Friedrich Max Müller (1823–1900) ya-kin bahwa “siapa pun belum benar-benar memahami agama, jika ia hanya mengetahui agamanya sendiri”, yang dikenal de-ngan ungkapan Inggrisnya “he who knows one, knows none”. Is-lam dapat dan harus dikaji sebagai agama menurut karakternya sendiri menjadi mungkin dilakukan oleh sains filologi. Müller mensupervisi the Sacred Books of the East Series pada 1870-an, yang 50 volumenya merupakan teks-teks dan terjemahan kitab-kitab suci Asia ke dalam bahasa Inggris. Volume 6 dan 9 memuat terjemahan Al-Qur’an oleh E.H. Palmer. Dengan menempat-kan edisi Al-Qur’an dalam seri teks tentang agama-agama Asia, kaum orientalis berhubungan dengan usaha-usaha yang telah dilakukan oleh berbagai universitas di Eropa untuk menemukan metode ilmiah mengkaji agama-agama.

A. Studi Islam dan Orientalisme

(57)

pandangan dunia Romantisisme dan pencarian terhadap apa yang berharga pada masa lalu dan “dunia liyan” yang eksotik.

Karya manuskrip berbahasa Arab banyak dikaji oleh utamanya para sarjana yang dikenal luas dalam bidang studi Injili dan filologi klasik. Islam masa pertengahan telah meninggalkan sejumlah khazanah karya-karya tertulis yang sangat kaya dalam bentuk manuskrip di antara peradaban-peradaban besar dunia lainnya. Ribuan manuskrip dalam koleksi di seluruh Timur Tengah, Eropa dan Amerika Utara disunting dan dikaji secara kritis dan serius. Tugas menemukan tradisi literer Islam kuno yang menghasilkan penerbitan-penerbitan teks-teks kuno yang masih dalam bentuk manuskrip merupakan capaian penting pada abad ke-19, abad orientalis. Pendidikan kesarjanaan di dunia Muslim sekaligus di Eropa dan Amerika Utara telah menghasilkan karya penting yang secara keseluruhan masih berkembang hingga pertengahan terakhir abad ke-20. Sebagaimana dalam kritik Injili dan karya sejarah tentang asal-usul dan periode awal Agama Yahudi dan Kristen, kaum orientalis telah mencoba merekonstruksi pandangan kritis mengenai asal-usul dan kebangkitan Islam. Para sejarawan abad ke-19 cenderung melihat tujuan mereka ialah menemukan dan merekonstruksi suatu gambaran tentang masa lalu secara akurat.

(58)

masa, asal-usul yang akurat, otentisitas banyak hadis yang disan-darkan kepada Muhammad telah diperdebatkan di antara kaum orientalis dan para sarjana Muslim modern, kritik radikal atas sumber-sumber Al-Qur’an dan teks-teks Islam awal lainnya telah diupayakan bukan oleh para sarjana Muslim dan sangat sedikit oleh sarjana Barat.

Meskipun ada semacam konservatisme dalam historiografi di kalangan orientalis dan para sarjana Muslim tradisional, ada kritik besar yang ditujukan kepada orientalisme pada abad ke-20 dalam karya Edward Said Orientalism (1979). Salah satu kritik paling penting terhadap orientalisme adalah bahwa disiplin ini telah melayani desain kepentingan imperial atas kebanyakan du-nia Islam: dari masa invasi Napoleon ke Mesir hingga muncul-nya negara-negara Muslim merdeka, orientalisme dibebani de-ngan ambisi-ambisi ekonomi dan politik bangsa-bangsa Eropa. Faktor lain yang mempunyai kecenderungan lebih luas dalam kesarjanaan posmodern adalah mendekonstruksi sains dan di-siplin yang dilahirkan oleh Pencerahan. Akibatnya, hingga akhir abad ke-20, banyak sarjana Barat memilih mengganti label de-partemen akademik dari Oriental Studies menjadi label Islamic Studies misalnya, yang dirasa kurang bersifat eurosentris.

(59)

Sebagian sarjana memandang bahwa orientalisme meru-pakan suatu kerangka berpikir, sebentuk wacana keilmuan ten-tang realitas timur Islam yang dikonstruksi di bawah kesadaran Barat sejak masa-masa kolonialisme Eropa. Orientalisme mengemban tugas berat membaca dan menafsirkan teks-teks Islam. Ia bersifat politis sekaligus romantis. Teks-teks yang pa-ling banyak diminati oleh kaum orientalisme adalah teks-teks keagamaan dan kebudayaan Islam. Karenanya dapat dikatakan bahwa kejatuhan orientalisme identik dengan mundurnya kemampuan studi-studi linguistik tentang teks-teks keagamaan dan kebudayaan lainnya yang dilakukan oleh para sarjana Barat. Sebaliknya, Studi Kawasan lebih fokus kepada studi tentang masyarakat-masyarakat Islam pada masa modern, khususnya isu-isu kebijakan publik, sains politik, sains sosial, ekonomi dan pembangunan, serta antropologi sosial. Studi tentang bahasa-bahasa dan literatur Islam dilihat lebih sebagai sarana untuk tujuan-tujuan yang lain, bukan tujuan-tujuan humanistik atau tujuan keilmuan itu sendiri.

(60)

ke-20, pandangan ini nampaknya mengundang domestikasi Studi Islam di dalam kerangka universitas modern, daripada mengisolasi diri sebagai subjek khusus yang tidak begitu sesuai bagi departemen-departemen dan disiplin-disiplin konvension-al. Universitas-universitas modern terus terlibat dalam upaya merekonstruksi pengetahuan ilmiah di bawah suatu disiplin. Perkembangan mutakhir dalam mengkaji Islam menunjukkan minat terhadap studi perbandingan dalam sejarah dunia, yang diwakili oleh karya Marshall Hodgson The Venture of Islam (3 ji-lid, 1974) dan menjadi tengara bagi arah Studi Islam pada abad berikutnya. Semakin meningkatnya partisipasi para sarjana Mus-lim dan kerjasama antara sarjana MusMus-lim dan non-MusMus-lim juga penting dari aspek kecenderungan mutakhir dalam Studi Islam. Karya-karya orientalis tradisional tentang Islam mendefi-nisikan Islam sebagai korpus kepercayaan dan norma-norma abstrak yang menentukan berbagai ruang yang menengarai suatu kebudayaan. Karya Ira M. Lapidus A History of Islamic Societies (1988) dan beberapa karta Bernard Lewis –utamanya

(61)

studi tentang Islam dalam sejarah yang menyandarkan pada kajian-kajian mengenai hukum Islam, sistem politik, dan seni serta arsitektur Islam.

Dalam memperlakukan Islam, karya-karya ilmiah orientalis sedikit atau bahkan tidak memberi perhatian intelektual sama sekali dalam generalisasi berlebihan terhadap data-data tentang Islam. Generalisasi semacam itu rupanya problematik karena kebanyakan monograf fokus pada satu kebudayaan atau satu aspek, teks, masa, atau pengarang. Istilah “filsafat Islam” yang digunakan beberapa sejarawan termasuk figur-figur seperti Henry Corbin, Majid Fakhry, dan Oliver Leaman, tidak menunjukkan semacam perdebatan teoretik yang dihadapkan oleh “filsafat Kristen”, suatu paham yang ditolak oleh Émile Bréhier pada 1930-an ketika Étienne Gilson mencoba memperkenalkannya. Judul-judul terkait dengan Islam yang telah disebutkan di atas sama sekali tidak serius sebagaimana yang tampak dalam kajian tentang agama Kristen. Wacana akademik tentang Studi Islam sebagai dilakukan oleh para praktisi mutakhirnya, yaitu para Islamisis, masih belum mampu menawarkan penjelasan mengenai seberapa banyak bidang, teori, ruang budaya, disiplin, dan konsep-konsep yang dapat dihubungkan dengan kata tunggal “Islam” dan mengapa diskusi-diskusi yang berkembang tetap bersifat satu dimensi tentang Islam.

Gambar

Tabel I
Tabel IIParadigma Pascamodernisme dan Tafsir Multikultural

Referensi

Dokumen terkait

Sigmund Freud merupakan pakar psikologi yang terkenal dengan teori psikoanalisisnya. Ia berpendapat bahwa manusia dapat memperoleh agamanya sebagai akibat dari

Berdasarkan uraian tersebut tampak jelas bahwa pembelajaran dengan model PBL dimulai oleh adanya masalah (dapat dimunculkan oleh siswa atau guru), kemudian siswa

Berdasarkan wawancara di atas dapat dipahami bahwa terjadi keberhasilan pada kondisi pengkondisian klasik, dimana stimulus alami yang merupakan suara adzan tidak

Bagi al-Ghazali, anak didik diharapkan menjadi manusia yang sempurna, yang mampu mengintegrasikan kemampuan rasional dan kekuasaan Tuhan. Sehingga ia tumbuh berkembang

Pendekatan filologi dapat digunakan hampir dalam semua aspek kehidupan umat Islam, tidak hanya untuk kepentingan orang Barat tetapi juga memainkan peran penting dalam dunia orang

Dalam hal tersebut pendidikan juga dapat menjadi faktor pengahambat suatu kegiatan apapun yang telah disusun sedemikian seperti yang dikatakan oleh Bapak kepala desa ia mengatakan

1.2 PERUMUSAN MASALAH Agar penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka penulis harus merumuskan masalah sehingga jelas dari mana harus dimulai, kemana harus pergi, dan

beserta keluarganya dan para sahabat yang telah membimbing umat manusia ke alam terang benderang, sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini sebagai salah satu syarat untuk